tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada
seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal
(hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Dalimartha 2003). Seseorang dapat menderita penyakit DM karena berbagai
faktor berikut ini (Utami et al. 2003):
(1)
Faktor genetik atau keturunan
(2)
Virus dan bakteri
(3)
Bahan toksik atau beracun
(4)
Nutrisi
Secara klinis DM dibedakan menjadi Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) atau DM tergantung insulin (DMTI) dan Non-Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM tidak tergantung insulin (DMTTI).
Penyebab DM adalah aktivitas insulin yang tak memadai baik karena sekresi
insulin yang berkurang (DMTI) atau karena adanya resistensi insulin pada
jaringan yang peka insulin (DMTTI).
Akhir-akhir ini pada sebagian penderita DMTTI yang disebut MODY
(maturity onset diabetes of the young), selain terdapatnya resistensi insulin juga
ditemukan pula cacat (defect) pada sekresi insulin. Namun pada MODY sekresi
insulin masih dapat ditingkatkan dengan pemberian obat hipoglikemik oral
(OHO), sedangkan pada DMTI kekurangan insulin hanya dapat diatasi dengan
pemberian insulin eksogen atau dengan transplantasi.
Berikut ini adalah klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa menurut
WHO (2008):
A. Kelas klinis
I. Diabetes Melitus (DM)
1. DM tipe I atau DM Tergantung Insulin (DMTI)
2. DM tipe II atau DM Tidak Tergantung Insulin (DMTTI)
3. DMTM (DM Terkait Malnutrisi)
4. DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu
9
II. Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)
Penderita gangguan toleransi glukosa (GTG) dinyatakan dengan
adanya peningkatan kadar glukosa darah pada tes toleransi glukosa oral
(TTGO) dimana nilainya ada di daerah perbatasan yaitu di atas normal,
tetapi di bawah nilai diagnostik untuk DM (Dalimartha 2003).
III. DM pada kehamilan (gestational DM)
Pada waktu hamil, akan terjadi perubahan-perubahan biokimia akibat
kehamilan seperti adanya hormon plasenta yang bersifat insulin antagonis
dan meningkatnya pemecahan insulin oleh plasenta, merupakan faktor
diabetogenik (Adam 1987).
B. Kelas resiko statistik
Semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai resiko
yang lebih besar untuk mengidap DM. Penderita yang termasuk dalam
golongan ini adalah penderita yang kedua orang tuanya menderita DM, pernah
menderita GTG kemudian normal lagi, pernah melahirkan bayi dengan berat
badan lebih dari 4 kg (Dalimartha 2003).
Gambar 1 Mekanisme kerja insulin dalam menjaga homeostasis glukosa darah
(www.google.com)
DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol. Untuk mengendalikan penyakit DM, Perkumpulan Endokrionologi
Indonesia (Perkeni) menetapkan empat pilar utama dalam penatalaksanaan DM,
yang meliputi perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan
10
kesehatan, dan pemberian obat hipoglikemia oral atau pemberian insulin. Pada
penderita DM tipe II, obat hanya perlu diberikan, bila setelah melakukan diet dan
latihan jasmani secara maksimal tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar
glukosa darah. Ada dua macam obat hipoglikemik berdasarkan cara
pemberiannya, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet yang disebut obat
hipoglikemik oral atau antidiabetes oral.
Menurut Rayfield dan Valentine (2006), obat hipoglikemik secara oral
mempunyai beberapa cara kerja dalam menurunkan kadar glukosa darah.
Mekanisme kerja obat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Menurunkan penyerapan glukosa dalam usus
b. Meningkatkan penyerapan glukosa pada sel
c. Menurunkan produksi glukosa oleh hati
d. Meningkatkan sekresi insulin
Penggunaan obat-obat hipoglikemik dapat menyebabkan beberapa efek
samping, diantaranya yaitu penggunaan obat acarbose dapat menyebabkan
flatulensi dan diare karena acarbose dapat menghasilkan metabolit berupa gas
dari karbohidrat yang tidak terabsorbsi di kolon (Buchanan 1988), penggunaan
metformin dapat menimbulkan efek samping seperti pusing, sakit perut dan diare
(Rayfield dan Valentine 2006) sedangkan penggunaan insulin yang tidak tepat
jumlahnya juga dapat menyebabkan terlalu rendahnya kadar gula dalam tubuh
(hipoglikemik). Fenomena saat ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih
cenderung menggunakan tanaman obat dalam mengatasi berbagai gejala penyakit
termasuk penyakit diabetes.
Minuman Fungsional Berbasis Ekstrak Daun Kumis Kucing
(Orthosiphon aristatus B1. Miq)
Salah satu pemanfaatan tanaman obat adalah dengan mengolahnya menjadi
pangan fungsional. Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)
mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang secara alamiah maupun
telah mengalami proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan
kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi secara fisiologis tertentu yang
bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dapat berupa makanan dan
minuman yang berasal dari hewani atau nabati. Beberapa persyaratan yang harus
11
dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional
adalah: (1) Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau
bubuk) yang berasal dari bahan alami; (2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai
bagian dari diet atau menu sehari-hari; (3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat
dikonsumsi, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti
memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu,
membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit, menjaga kondisi fisik dan
mental, serta memperlambat proses penuaan.
Dari konsep yang telah dikembangkan, jelas bahwa pangan fungsional tidak
sama dengan food supplement atau obat. Pangan fungsional dibedakan dari
suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap
kesehatan. Pangan fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu dan bisa
dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan bergizi. Peran
dari pangan fungsional bagi tubuh semata-mata bertumpu pada komponen gizi
dan non-gizi yang terkandung di dalamnya yang merupakan komponen bioaktif.
Bila fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional lebih
bersifat pencegahan terhadap penyakit, rehabilitatif dan promotif.
Walaupun konsep pangan fungsional baru populer beberapa tahun
belakangan, sesungguhnya banyak jenis makanan tradisional Indonesia yang
memenuhi persyaratan sebagai pangan fungsional. Banyak produk makanan dan
minuman tradisional Indonesia yang mengandung rempah-rempah atau tanaman
obat sebagai bahan penyusunnya bermanfaat bagi kesehatan (Antara 1997).
Minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus
B1. Miq) merupakan hasil formulasi yang dilakukan oleh Herold (2007), dengan
memanfaatkan beberapa jenis rempah dan tanaman herrbal atau obat. Formula
minuman tersebut mengandung beberapa jenis ekstrak tanaman obat yaitu daun
kumis kucing, kayu secang, rimpang jahe, rimpang temulawak dan buah jeruk
lemon dengan komposisi ekstrak daun kumis kucing lebih banyak dibandingkan
ekstrak tanaman obat lainnya. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam
minuman tersebut adalah sukrosa (gula pasir) sebagai pemanis, CMC
(karboksimetil selulosa) sebagai penstabil, dan kalium sorbat atau benzoat sebagai
pengawet.
12
Formula minuman dengan kombinasi ekstrak daun kumis kucing a %,
ekstrak jahe b %, ekstrak kayu secang c %, ekstrak buah jeruk lemon d %, dan
ekstrak temulawak e % (dari total campuran ekstrak dalam minuman) dipilih
sebagai minuman dengan formula optimal yang memiliki aktivitas antioksidan
cukup baik (621.78 ppm Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity,
disingkat AEAC) dan tidak berbeda nyata dibandingkan aktivitas antioksidan
tertinggi yang mampu dicapai komponen tunggalnya. Minuman formula optimal
tersebut terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang secara nyata lebih tinggi
dibandingkan aktivitas antioksidan beberapa produk minuman fungsional berbasis
rempah komersil, dengan skor kesukaan panelis yang cukup baik (Herold 2007).
Kordial (2009), telah melakukan modifikasi proses pasteurisasi serta
mengganti salah satu ingredien minuman yaitu ekstrak buah jeruk lemon dengan
ekstrak buah jeruk purut sehingga dapat meningkatkan umur simpan minuman
fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing tersebut. Ekstrak buah jeruk purut
dipilih dari buah jeruk lainnya untuk menggantikan buah jeruk lemon dari
formulasi sebelumnya berdasarkan skor kesukaan aroma dan rasa. Setelah
dilakukan penambahan ekstrak jeruk purut, pengemasan dengan botol gelas steril
berwarna gelap, dan pasteurisasi pada suhu 80˚C selama 30 menit, maka dapat
diperoleh minuman fungsional berbasis kumis kucing dengan umur simpan
minimal 3 bulan pada suhu ruang.
Penelitian yang dilakukan oleh Diana (2010), menunjukkan bahwa minuman
fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing tersebut (dengan melakukan
modifikasi pada pemanis yang digunakan dalam formula, yaitu mengganti sukrosa
dengan sukralosa) mempunyai kemampuan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase
dengan IC50 sebesar 217.12 dan 217.41 mg/ml (in vitro). Ekstrak dalam minuman
yang diduga berperan dalam inhibisi α-glukosidase minuman adalah kayu secang
(IC50 0.54 mg/ml) dan buah jeruk purut (IC50 26.33 mg/ml), sedangkan ekstrak
lainnya seperti daun kumis kucing dan jahe gajah tidak memiliki kemampuan
inhibisi α-glukosidase. Ekstrak dalam minuman yang berperan dalam inhibisi αamilase minuman diduga diperoleh dari ekstrak buah jeruk purut (IC50 15.08
mg/ml), sedangkan ekstrak lainnya seperti daun kumis kucing, kayu secang, dan
jahe gajah tidak mempunyai kemampuan inhibisi α-amilase. Jahe gajah justru
13
memiliki potensi dalam mengaktivasi enzim α-amilase.
Minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing ini mampu
meningkatkan penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit sebesar 37.48 µg
glukosa/g sel (ex vivo). Kemampuan minuman dalam meningkatkan penyerapan
glukosa diduga diperoleh dari jahe gajah dan jeruk purut yang dapat
meningkatkan penyerapan glukosa sebanyak 17.91 dan 35.16 µg glukosa/g sel.
Peningkatan penyerapan glukosa oleh ekstrak buah jeruk purut dan minuman
fungsional tidak berbeda nyata terhadap kontrol positifnya yaitu insulin (31.77 µg
glukosa/g sel). Ekstrak lainnya dalam minuman yaitu daun kumis kucing dan kayu
secang, tidak dapat meningkatkan penyerapan glukosa pada sel diafragma mencit.
Minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing lebih berpotensi dalam
stimulasi penyerapan glukosa dari saluran darah ke dalam sel-sel tubuh
dibandingkan dengan inhibisi enzim α-glukosidase dan α-amilase, sehingga
minuman ini lebih berpotensi dalam menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi
(Diana 2010).
Ekstrak Tanaman Obat dalam Minuman Fungsional
Berbasis Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus B1. Miq)
Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus)
Tanaman kumis kucing termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub
divisi
Angiospermae,
kelas
Dicotyledonae,
keluarga
Lamiaceae,
genus
Orthosiphon, dan spesies Orthosiphon spp. Tanaman ini mempunyai sinonim
nama latin yaitu Orthosiphon stamineus Bent. Tanaman ini disebut kumis kucing
karena kumpulan sari bunganya yang panjang dan menjulur dari dua sisi yang
berbeda sehingga mirip dengan kumis kucing. Terdapat dua jenis kumis kucing
yaitu kumis kucing dengan bunga berwarna ungu dan kumis kucing dengan bunga
berwarna putih.
Tanaman yang umumnya tumbuh liar ini, kini banyak ditanam di
pekarangan rumah sebagai tanaman obat. Bagian tanaman kumis kucing yang
umumnya digunakan sebagai obat adalah bagian daunnya terutama bagian pucuk
daun karena bagian ini memiliki kandungan bahan obat lebih tinggi dibanding
dengan bagian yang lain (Puspita 2007). Hal ini didukung oleh penelitian Harinu
14
(1989) yang menunjukkan bahwa daun muda tanaman kumis kucing memiliki
khasiat diuretik yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua.
Tanaman kumis kucing mempunyai khasiat untuk penyakit yang berkaitan
dengan saluran urin, hipertensi, reumatik, diabetes melitus, peradangan, dan
kelainan menstruasi (Awale et al. 2003). Kumis kucing juga mempunyai
kemampuan sebagai antioksidan. Kapasitas antioksidan dari kumis kucing adalah
90.21% dengan DPPH dan 77.72% dengan sistem β-karoten (Khamsah et al.
2006). Menurut Khamsah et al. (2006), kemampuan kumis kucing dalam
menangkap radikal bebas tidak hanya disebabkan oleh komponen fenol (9.71
mg/g bobot kering), tetapi juga oleh komponen terpenoid lainnya.
Penelitian lebih lanjut terhadap kemampuan kumis kucing sebagai
antidiabetes telah banyak dilakukan. Berdasarkan penelitian Minggawati (1990),
pemberian infus daun kumis kucing 0.129 g/kg bb tidak dapat menurunkan kadar
glukosa darah kelinci, sedangkan pemberian infus daun sambiloto 0.3 g/kg bb
dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci secara nyata. Namun, pemberian
infus kombinasi (daun kumis kucing 0.129 g/kg bb dan daun sambiloto 0.3 g/kg
bb) mempunyai efek penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan infus daun
sambiloto saja. Hal ini menunjukkan adanya efek sinergisme antara kumis kucing
dan sambiloto sebanding dengan glibenklamid.
Penelitian Sriplang et al. (2007) menunjukkan bahwa ekstrak air dari kumis
kucing, yang mengandung komponen fenol dan flavonoid masing-masing sebesar
13.24 mg/g dan 1.73 mg/g, memiliki pengaruh signifikan dalam menurunkan
kadar glukosa plasma darah dan meningkatkan HDL plasma dengan pemberian
ekstrak 0.5 g/kg selama 14 hari dan 1.0 g/kg berat badan tikus pada OGTT
mendekati glibenklamid 5 mg/kg BB. Sriplang et al. (2007) juga menyatakan
bahwa pemberian ekstrak sebanyak 100 µg/ml secara in situ pada pankreas
berpotensi dalam menginduksi sekresi insulin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Myint et al. (2003), pemberian
ekstrak air kumis kucing dari 25 gram daun kumis kucing secara signifikan
menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes sebesar 35% jika
dibandingkan dengan kontrol. Kemampuan antioksidan dari kumis kucing juga
diduga dapat mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit diabetes dan
15
komplikasinya (Jung et al. 2006).
Jahe (Zingiber officinale)
Jahe merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Zingiberaceae dan
genus Zingiber. Terdapat 3 varietas utama jahe di Indonesia berdasarkan bentuk,
ukuran dan warna rimpangnya, yaitu jahe gajah, jahe emprit, dan jahe merah
(Hamiudin 2007). Rimpang jahe telah dimanfaatkan secara luas sebagai bumbu
masak dan tanaman obat untuk menanggulangi berbagai kondisi (Kimura et al.
2005).
Umur panen untuk rimpang jahe yang akan dimanfaatkan sebagai tanaman
obat adalah 10-12 bulan karena mempunyai kandungan senyawa aktif yang tinggi
(Hamiudin 2007). Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, jahe
mempunyai kemampuan dalam memodifikasi kerja sistem pencernaan, sistem
kardiovaskular
dan
sebagai
antiemetik
(mencegah
muntah),
antiradang,
kemoprotektif, hipolipidemik, antimikroba, serta penghilang stress (Kimura et al.
2005).
Menurut Ali et al. (2007), komponen pemberi rasa pedas pada jahe segar
adalah gingerol dengan komponen utama [6]-gingerol, sedangkan pemberi rasa
pedas pada jahe kering adalah [6]-shogaol yang merupakan produk dehidrasi dari
[6]-gingerol. Jahe kering mengandung 0.6-1.1 % b/b [6]-gingerol dan 0.05-0.1%
b/b shogaol, sedangkan jahe segar mengandung 0.2-0.7% b/b [6]-gingerol dan
0.3-0.7% b/b shogaol. Hal ini disebabkan karena gingerol berubah menjadi
shogaol pada suhu tinggi (Kano 1987 dalam Kimura et al. 2005).
Jahe juga dikenal karena kemampuannya sebagai antioksidan. Kandungan
antioksidan pada jahe adalah 40.9 mEq/kg dengan kandungan total polifenol
sebesar 60.1 ± 0.14 mg% (Chanwitheesuk et al. 2004). Penelitian Kikuzaki dan
Nakatani (1993) menunjukkan bahwa [6]-gingerol memiliki efisiensi dalam
inhibisi autooksidasi asam linoleat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
[6]-shogaol. Penelitian tentang kemampuan jahe dalam mengatasi diabetes telah
banyak dilakukan. Sharma dan Sukla (1977) telah menunjukkan bahwa jahe yang
diperas segar mempunyai kemampuan menurunkan kadar glukosa darah pada
tikus diabetes.
16
Penelitian Kar et al. (2003) menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari jahe
dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan pada tikus diabetes
dengan pemberian ekstrak sebanyak 500 mg/kg selama 2 minggu. Kadar glukosa
serum darah pada tikus diabetes dapat menurun sebanyak 50% dengan pemberian
ekstrak jahe dan kemampuan antioksidan dari jahe diduga berperan dalam
mengurangi kerusakan oksidatif atau nitrosatif pada jaringan ginjal (Al-Qattan et
al. 2008). Penelitian Akhani et al. (2004) menyatakan bahwa kemampuan
antidiabetik jahe mungkin disebabkan oleh perannya pada reseptor serotonin (5hidroksitriptamin (5-HT)) dalam pengendalian glikemik pada tikus. Ekstrak jahe
diduga bekerja pada reseptor serotonin sehingga memiliki aktivitas antiserotonin
yang menyebabkan penurunan serotonin dan mengakibatkan peningkatan sekresi
insulin.
Kayu Secang (Caesalpinia sappan)
Kayu secang merupakan bagian lignin dari tanaman kelas Magnoliopsida
dan genus Caesalpinia. Kayu secang banyak digunakan sebagai pewarna pada
minuman. Kayu secang bewarna jingga (brazilin) saat awal setelah ditebang dan
dengan cepat berubah warna menjadi merah (brazilein) karena terekspos dengan
oksigen. Ekstrak kayu secang juga digunakan sebagai indikator asam basa karena
pada suasana asam brazilin bewarna kuning (pH 2-5) dan pada suasana basa
brazilein bewarna merah (pH 6-7) (Adawiyah dan Indriati 2003).
Kayu secang memiliki aktivitas farmakologi seperti relaksasi pembuluh
darah, antiaterosklerosis (anti penebalan dinding arteri), analgesik (penahan sakit),
hipoglikemik, antiinflammasi, sitotoksik, antibakteri, antiviral, dan antioksidan
(Jun et al. 2008). Komponen fenol yang terkenal dengan kemampuan antioksidan
yang terdapat pada kayu secang umumnya adalah homoisoflavonoid dan
komponen turunannya, protosappanin A, protosappanin B, brazilin, dan brazilein.
Jun et al. (2008) menyatakan bahwa komponen ini memiliki kemampuan
antioksidan yang berbeda-beda. Ekstrak kayu secang, protosappanin A dan
protosappanin B menunjukkan inhibisi yang lebih besar terhadap MDA dan
hidrogen peroksida sedangkan brazilein menunjukkan kemampuan dalam
menangkap radikal hidroksil.
17
Ekstrak kayu secang secara tradisional digunakan sebagai obat diabetes oleh
masyarakat di Kalimantan Barat. Ekstrak methanol dari kayu secang
menunjukkan aktivitas antihiperglikemik dengan metode toleransi glukosa
(Widiyanto 2006). Menurut penelitian Moon et al. (1990), brazilin secara
signifikan dapat menurunkan kadar glukosa pada plasma darah tikus diabetes
dengan meningkatkan sensitivitas insulin dan tidak terdapat kenaikan dalam kadar
insulin. Selain itu, terdapat kenaikan pada sintesis glikogen, glikolisis, dan
oksidasi glukosa pada otot pada hewan diabetes yang diberi brazilin 3 x 500 mg
sehari selama 14 hari. Komponen kaesalpin P, sappankalkon, 3-deoksisappanon,
brazilin, dan protosappanin A telah diidentifikasi sebagai inhibitor terhadap enzim
aldosa reduktase yang dapat menyebabkan komplikasi pada diabetes, dimana
pemberian sappankalkon dengan dosis sebesar 105 mol/l dapat menghambat
aldosa reduktase sebesar 84% (Moon 1986 dan Morota et al. 1990 dalam Li et al.
2004) sehingga dapat menghambat terjadinya diabetes neuropati.
Jeruk Purut (Citrus histryx DC) dan Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolia)
Jeruk purut dan jeruk nipis merupakan tanaman dari kingdom plantae, ordo
Sapindales, famili Rustaceae, dan genus Citrus. Genus Citrus kemudian dibagi
kembali menjadi dua sub genus yaitu Eucitrus dan Papeda. Papeda mempunyai
rasa yang pahit, berbunga ungu, dan perkecambahan epigeous yang membuat
jenis jeruk ini berbeda dengan subgenus Eucitrus. Subgenus Papeda kemudian
dibagi lagi menjadi Papeda dan Papedocitrus. Jeruk yang termasuk dalam
Papedocitrus adalah C. ichangensis, C. latipes, C. junos dan C. wilsonii,
sedangkan jeruk yang termasuk dalam Papeda antara lain C. celebica, C.
macrophylla, C. macroptera, C. combara, C. kerrii, C. excels, C. micrantha dan
C. hystrix (Wiart 2001).
Jeruk purut banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat sebagai obat sakit
perut akibat gangguan pencernaan serta dimanfaatkan untuk berbagai masakan
(ekstrak buah dan daun). Jeruk purut memiliki ukuran lebih kecil dari kepalan
tangan, berbentuk buah pir, banyak tonjolan sehingga bentuknya susah
dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwarna hijau, hanya buah yang masak
benar yang akan berwarna sedikit kuning. Daging buahnya berwarna hijau
18
kekuningan, rasanya sangat masam dan kadang pahit.
Citrus aurantiifolia dikenal dengan nama jeruk nipis, memiliki sinonim
yaitu lain yaitu Limonia aurantifolia Christm., Limon spinosum Mill., Citrus
limonia Osbeck, Citrus lima Luman, Citrus spinosissima G.F.W. Meyer, Citrus
acida Roxb., Citrus aurantium. Buahnya berbentuk bulat sebesar bola pingpong
dengan diameter 3,5-5 cm berwarna (kulit luar) hijau atau kekuning-kuningan.
Tanaman jeruk nipis mempunyai akar tunggang. Buah jeruk nipis yang sudah tua
rasanya asam. Jeruk nipis Citrus aurantiifolia (Cristm.) Swingle mengandung
unsur-unsur senyawa kimia yang bemanfaat, seperti asam sitrat, asam amino
(triptofan, lisin), minyak atsiri (sitral, limonen, felandren, lemon kamfer, kadinen,
geranilasetat, linalilasetat, aktilaldehid, nonildehid), damar, glikosida, asam sitrat,
lemak, kalsium, fosfor, besi, belerang vitamin B1 dan C. Selain itu, jeruk nipis
juga mengandung senyawa saponin dan flavonoid yaitu hesperidin (hesperetin 7rutinosida), tangeretin, naringin, eriositrin, eriositrosida. Jeruk nipis juga
mengandung 7% minyak esensial yang mengandung sitral, limonen, terpineol,
bisabolene, dan terpenoid lainnya (Budipratama et al. 2011).
Buah jeruk nipis berkhasiat sebagai obat batuk, obat penurun panas, dan
obat pegal linu. Selain itu, buah jeruk nipis juga bermanfaat sebagai obat disentri,
sembelit, ambeien, haid tidak teratur, difteri, jerawat, kepala pusing/vertigo, suara
serak batuk, menambah nafsu makan, mencegah rambut rontok, ketombe,
flu/demam, menghentikan kebiasaan merokok, amandel, penyakit anyanganyangan, mimisan, radang hidung (getahnya), dan lain sebagainya (Budipratama
et al. 2011).
Beberapa jenis jeruk seperti C. aurantium atau C.aurantifolia, C. sinensis
dan C. grandis telah terbukti mempunyai kemampuan anti-diabetes (Abo et al.
2008 dan Kim et al. 2009). Serat tak larut dari ekstrak kulit buah jeruk C. sinensis
dapat meningkatkan absorpsi glukosa dan menghambat aktivitas enzim α-amilase
secara in vitro sehingga diduga dapat menurunkan kadar glukosa darah (Chau et
al. 2003).
Flavonoid dari juice lemon dapat menekan terjadinya stress oksidatif pada
mencit diabetes (Miyake et al. 1998). Senyawa golongan flavonoid jeruk yaitu
naringin dan hesperidin dapat memperbaiki kondisi hiperlipidemia dan
19
hiperglikemia pada hewan diabetes tipe-2 dengan mengatur sebagian metabolisme
asam lemak dan kolesterol, serta mempengaruhi ekspresi gen untuk enzim-enzim
metabolisme glukosa (Jung et al. 2006). Hesperidin juga memiliki aktivitas
antihiperglikemik sehingga dapat menghambat terjadinya komplikasi pada otak
mencit diabetes (Ibrahim 2008).Senyawa flavonoid jeruk lainnya yaitu naringenin
dapat menekan produksi glukosa hepatik (Purushotham et al. 2008).
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Tanaman temulawak merupakan tanaman asli Indonesia yang termasuk
salah satu jenis temu-temuan dari famili Zingiberales. Eksistensi temulawak
sebagai tumbuhan obat telah lama diakui, terutama di kalangan masyarakat Jawa,
rimpang temulawak merupakan bahan pembuatan obat tradisional yang paling
utama, disamping sebagai upaya pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan,
atau pengobatan penyakit. Dalam hal ini temulawak umumnya digunakan dalam
bentuk ramuan jamu (Sidik et al. 2005).
Kandungan kimia rimpang temulawak dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu
fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri. Kandungan fraksi pati
merupakan kandungan terbesar dalam rimpang temulawak. Fraksi kurkuminoid
merupakan komponen pemberi warna kuning pada rimpang dan diketahui
memiliki aktivitas biologik dalam spektrum yang luas. Fraksi minyak atsiri
temulawak terdiri dari senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen. Fraksi
minyak atsiri ini juga diketahui memiliki aktivitas biologik dengan spektrum luas
yang dalam beberapa hal bekerja sinergistik dengan fraksi kurkuminoid (Sidik et
al. 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekstrak temulawak ternyata
mempunyai efek antioksidan. Jitoe et al. (1992) mengukur efek antioksidan dari
sembilan jenis rimpang temu-temuan dengan metode Tiosianat dan metode Asam
Tiobarbiturat (TBA) dalam sistem air-alkohol. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa aktivitas antioksidan ekstrak temulawak ternyata lebih besar dibandingkan
dengan aktivitas tiga jenis kurkuminoid yang diperkirakan terdapat dalam
temulawak sehingga diduga ada zat lain selain ketiga kurkuminoid tersebut yang
mempunyai efek antioksidan. Selanjutnya Masuda et al. (1992) berhasil
20
mengisolasi analog kurkumin baru dari rimpang temulawak, yaitu: 1-(4-hidroksi3,5-dimetoksifenil)-7-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-(1E.6E)-1,6-heptadien-3,4-dion.
Senyawa tersebut ternyata menunjukkan efek antioksidan melawan auto-oksidasi
asam linoleat dalam sistem air-alkohol.
Penelitian yang dilakukan oleh Meghana (2007), menunjukkan bahwa
kurkumin memiliki aktivitas melindungi sel β pankreas terhadap kerusakan
oksidatif akibat induksi streptozotocin. Kurkumin juga dapat menghambat
produksi glukosa hepatik (Fujiwara et al. 2008).
Streptozotocin
Hewan coba seperti mencit, tikus, kelinci maupun monyet telah digunakan
secara luas sebagai hewan model dalam penelitian diabetes. Penggunaan hewan
model tersebut dapat menggambarkan dengan baik berbagai keadaan diabetes
pada manusia baik dari aspek fisiologi, morfologi maupun heterogenitas
genetiknya. Hewan model juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi
beberapa keadaan yang tidak memungkinkan dilakukan pada manusia (Andayani
2003).
Hewan model untuk percobaan diabetes diantaranya dapat diperoleh dengan
cara menggunakan bahan kimia diabetonik seperti aloksan dan streptozotocin
dengan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel β
pankreas (Szkudelski 2001). Sifat diabetonik aloksan maupun streptozotocin
dimediasi oleh senyawa oksigen reaktif yang terbentuk melalui cara yang berbeda.
Aloksan secara selektif dapat merusak sel-sel β pankreas. Mekanisme toksisitas
aloksan diawali dengan masuknya aloksan ke dalam sel-sel beta pankreas dan
kecepatan pengambilan akan menentukan sifat diabetonik aloksan. Kerusakan
pada sel-sel β terjadi melalui beberapa proses secara bersamaan, yaitu melalui
oksidasi gugus sulfidril dan pembentukan radikal bebas (Szkudelski 2001).
Mekanisme kerja aloksan menghasilkan kerusakan pada sel-sel β pankreas
terutama menyerang senyawa-senyawa seluler yang mengandung gugus sulfidril,
asam-asam amino sistein dan protein yang berikatan dengan dua gugus SH
(termasuk enzim yang mengandung gugus SH). Aloksan bereaksi dengan dua
gugus SH yang berikatan pada bagian sisi dari protein atau asam amino
21
membentuk ikatan disulfida sehingga menginaktifkan protein yang berakibat pada
gangguan fungsi protein tersebut (Szkudelski 2001).
Mekanisme kerja aloksan lainnya adalah menginduksi pembentukan radikal
bebas karena bersifat polar sehingga dapat memberikan satu elektronnya kepada
oksigen. Melalui reaksi redoks, asam dialurat dibentuk sebagai hasil reduksi
aloksan dengan menghasilkan metabolit intermediet radikal aloksan (HA*). Asam
dialurat kemudian dioksidasi kembali membentuk aloksan sehingga menghasilkan
radikal ion superoksida (O2*). Anion superoksida dapat mengalami reaksi
dismutasi oleh enzim SOD menjadi hidrogen peroksida. Radikal bebas tersebut
dapat menyerang komponen penyusun sel sehingga menyebabkan kerusakan sel.
Aloksan sering digunakan untuk membuat keadaan diabetes pada hewan
percobaan secara eksperimental dengan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan
selektif pada sel-sel β pankreas sehingga menghasilkan hiperglikemia permanen
yang merupakan salah satu etiologi dari IDDM (diabetes tipe 1).
Streptozotocin (STZ,2-deoksi-2-(3-metil-3-(nitrosoureido)-D-glukopiranosa)
disintesis oleh Streptomycetes achromogenes dan biasanya digunakan untuk
menginduksi DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Sifat diabetonik STZ diduga terjadi
karena kerusakan DNA dalam sel-sel β pankreas. Elsner et al. (2002), melaporkan
bahwa penyebab kematian sel-sel β pankreas hasil induksi STZ adalah proses
alkilasi DNA. Disamping itu, kerusakan DNA pada sel-sel β pankreas juga akibat
aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan dari nitrogen oksida (NO)
bersumber dari STZ. Dalam mitokondria NO akan meningkatkan aktivitas xantin
oksidase dan menurunkan konsumsi oksigen yang berdampak pada gangguan
produksi ATP mengakibatkan kerusakan DNA (Szkudelski 2001).
Pada mencit dewasa, pemberian STZ dengan dosis rendah secara berulang
(40 mg/kg, selama 5 hari) dapat menginduksi diabetes tergantung insulin yang
sangat mirip dengan bentuk autoimun (inflamasi pulau Langerhans dan kematian
sel β) pada diabetes tipe 1. (Fr’’ode dan Medeiros 2008). Pemberian STZ dengan
dosis tungal antara 60 dan 100 mg/kg juga dapat menginduksi diabetes tergantung
insulin tetapi tidak memiliki profil autoimun (Yu et al. 2000 dalam Fr’’ode dan
Medeiros 2008 ). Streptozotocin dapat menginduksi kondisi diabetes yang lebih
22
stabil dan kerusakan pulau Langerhans yang permanen dibandingkan dengan
aloksan (Andrade et al. 2000).
Gambar 2 Struktur kimia streptozotocin (Konrad et al. 2001)
Download