1 Sebuah laporan penelitian menyarankan tiga hal yang

advertisement
Tugas Ringkasan Mata Kuliah Corporate and Business Strategy
Topik:
Merger Dan Akuisisi
Sumber:
HG Bab 13; BJB Bab 14; RS
Oleh:
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi – No. MHS: 8605210299
Sebagian besar diversifikasi dilakukan melalui Merger dan Akuisisi (M&A) dari pada
pengembangan internal, hal ini dikarenakan proses M&A jauh lebih cepat mendukung
pertumbuhan dan perluasan bisnis dibandingkan dengan pengembangan internal (Hubbard, 2000;
Schoenberg, 2003). Selain itu, M&A juga merupakan salah satu wujud dari aliansi strategik yang
sejak 1990-an terus berkembang sebagai efek dari internasionalisasi bisnis. Hal lain yang
mendukung meningkatnya M&A, di antaranya filosofi Total Quality Management (TQM) yang
mengajarkan perlunya kemitraan dengan customer dan supplier, meningkatnya kebutuhan modal
untuk Riset dan Pengembangan (R&D) dan upaya fokus untuk menguasai kompetensi bisnis
tertentu.
Akuisisi (takeover) - perusahaan membeli saham perusahaan lain dengan jumlah tertentu
sehingga memiliki saham mayoritas dan mengambil alih kendali manajemen - merupakan salah
satu cara mengimplementasikan strategi yang pada umumnya dilakukan dengan beberapa
pertimbangan: lingkungan secara umum sudah tidak atraktif; lingkungan persaingan dalam
industri tertentu sudah tidak menarik; intensi strategik perusahaan menghendaki aktivitas
multibisnis; memanfaatkan kelebihan kapasitas guna memenuhi celah (gap) sumber daya di
dalam organisasi itu sendiri; dan mencapai sasaran manajerial.
Berbeda dengan akuisisi, merger menggabungkan aset dua perusahaan yang ukurannya
hampir sama dan terpisah kepemilikannya, selanjutnya dikendalikan oleh dua belah pihak secara
proposrsional (Barney, 2002). Merger menghasilkan entitas bisnis baru yang merupakan jelmaan
dari dua perusahaan sebelumnya. Pemegang saham dua perusahaan yang ber-merger menjadi
pemilik bersama dari perusahaan baru hasil merger.
Sebuah laporan penelitian menyarankan tiga hal yang akan mempengaruhi
keberhasilan M&A. Pertama, perhatikan kemampuan keuangan yang mencukupi guna
membiayai penggabungan dua entitas bisnis. Proses M&A pada umumnya membutuhkan
banyak dana, tidak hanya untuk membeli saham perusahaan tetapi juga untuk membiayai
proses penggabungan dua perusahaan sehingga semua elemen perusahaan dapat
membentuk budaya baru perusahaan. Kedua, upayakan integrasi karakter antara kedua
1
bisnis tanpa menghancurkan struktur organisasi yang dapat merugikan kemampuan dari
kedua entitas bisnis. Ketiga, resistensi pegawai dalam proses M&A harus diminimalisir
guna menghindari masalah sumber daya manusia dan kehilangan personal kunci.
Motivasi
Selain pertimbangan dalam melakukan akuisisi sebagaimana tersebut di atas, Schoenberg
menambahkan tiga motivasi yang melatar-belakangi dilakukannya M&A: strategik, keuangan,
dan manajerial. Strategik bila M&A dimaksudkan untuk meningkatkan penetrasi pasar, atau
untuk memasuki pasar yang baru, atau untuk memasuki wilayah pemasaran yang sebelumnya
tidak dilayani, atau diversifikasi dari bisnis intinya. Motivasi keuangan bila M&A dilakukan
dengan maksud meningkatkan nilai buku perusahaan. Selain itu melalui M&A juga dapat
meningkatkan likuiditas keuangan dan memanfaatkan kredit pajak. Motivasi manajerial terjadi
ketika M&A dilakukan dengan maksud memenuhi kepentingan manajer dari pada mendahulukan
kepentingan pemilik saham. Dalam motif ini pemilik saham tidak memperoleh nilai maksimum,
karena dikalahkan oleh kepentingan pribadi manajer, atau manajer berani membayar tinggi untuk
membeli saham perusahaan target tanpa analisa manfaat dan kelayakan ekonomi.
Senada dengan Schoenberg, Barney (2002) mengemukakan lima alasan dilakukannya
M&A: memastikan kelangsungan hidup perusahaan (survival); memanfaatkan adanya arus kas
berlebih; permasalahan manajerial (agency problem); managerial hubris; dan potensi
diperolehnya profit di atas normal.
Permasalahan Dalam Mencapai Suksesnya M&A
M&A yang dilatar-belakangi berbagai motif dapat meningkatkan value dan membantu
perusahaan mencapai return di atas rata-rata. Namun demikian, strategi M&A tidak bebas resiko.
Hokisson et all menyebutkan, hanya 20% dari keseluruhan M&A yang berhasil, 60%
menghasilkan output di bawah dari yang dikehendaki, dan 20% sisanya mengalami kegagalan
penuh. M&A yang sukses pada umumnya melibatkan strategi yang terurai dengan rapi dalam
memilih target, menghindari membeli dengan harga tinggi, dan proses integrasi yang efektif
(Hokisson, Hitt, Ireland, 2004). Beberapa permasalahan yang menyebabkan kegagalan M&A
sebagaimana dinyatakan Hokisson et all antara lain: hambatan integrasi, evaluasi target secara
tidak memadai, kewajiban hutang yang terlalu besar, ketidak-mampuan mencapai sinergi, terlalu
banyak diversifikasi, manajer terlalu fokus pada akusisi, dan perusahaan target berukuran terlalu
besar dibandingkan dengan perusahaan peng-akuisisi.
2
Lingkup ekonomi (economic of scope) mempengaruhi keputusan M&A. Namun
demikian kemampuan ekonomi untuk menghasilkan profit di atas normal, dan mencapai
keunggulan kompetitif juga ditentukan oleh daya saing pasar sehingga pembeli memiliki alasan
kuat untuk mengakuisisi perusahaan target. Menyadari bahwa tidak semua M&A menjanjikan
keberhasilan, beberapa yang sukses ternyata menerapkan strategi M&A yang dirancang khusus
untuk itu. Dari pengalaman mereka yang sukses, ada pola aksi yang terbukti dapat meningkatkan
probabilitas suksesnya M&A.
Ketika aset perusahaan yang hendak di-akuisisi komplementer dengan aset perusahaan
peng-akuisisi, pada umumnya akuisi memberi keberhasilan. Dengan aset yang komplementer,
penyatuan operasional dua perusahaan mempermudah terjadinya sinergi, dan acapkali
menghasilkan kemampuan dan kompetensi inti yang unik. Perusahaan peng-akuisisi dapat
menjaga fokus perhatian pada bisnis intinya dengan memanfaatkan aset komplementer yang
dimiliki perusahaan target.
Selain adanya aset yang saling menunjang, akuisisi yang dilakukan secara bersahabat
juga mendukung segera terciptanya integrasi di antara dua perusahaan. Karyawan dua perusahaan
yang bergabung bekerja sama mencari cara mengintegrasikan operasionalnya dan mencapai
sinergi. Sebaliknya bila merger dan akuisisi dilakukan secara kasar (hostile takeover) tak
terbantahkan bahwa kemungkinan besar muncul dendam atau rasa permusuhan di antara para
eksekutif di dalam perusahaan baru hasil penggabungan. Sebagai hasilnya, perusahaan dapat
kehilangan eksekutif kunci dan mereka yang tinggal masih menyisakan keengganan untuk
melakukan integrasi.
Proses due-diligence secara hati – hati yang melibatkan eksekutif perusahaan target dan
evaluasi terhadap kesehatan perusahaan target (kesehatan keuangan, kesesuaian budaya, dan nilai
– nilai yang dipegang oleh para karyawan) mendukung suksesnya M&A. Di samping itu
termasuk dalam strategi akuisisi yang memberi keberhasilan adalah
dengan melanjutkan
investasi R&D. Investasi R&D yang cukup besar menunjukkan komitmen kuat perusahaan untuk
melakukan inovasi, sebuah karakteristik yang mendukung daya saing dan juga suksesnya M&A.
Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi merupakan dua atribut lainnya yang memberi
kesuksesan M&A. Ketika eksekutif dari dua perusahaan peng-akuisisi dan yang di-akuisisi
memiliki pengalman dalam mengelola perubahan dan bersedia belajar dari akuisisi, mereka akan
lebih trampil dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Sebagai hasilnya, mereka
mengalami kemudahan dalam menyatukan dua perusahaan, satu hal yang sangat penting ketika
dua perusahaan memiliki budaya yang berbeda.
3
Kinerja M&A
Rata – rata tingkat kegagalan Akuisisi mencapai 50% selama dua puluh lima tahun
terakhir. Implikasi dari tingkat kegagalan yang bersifat statik ini adalah kemungkinan bukti riset
dan saran – saran terkait tidak diketahui oleh para eksekutif, atau terjadinya managerial hubris
menyebabkan banyak eksekutif yang memercayai bahwa keputusan M&A yang dibuatnya akan
termasuk dari salah satu di dalam 50% yang berhasil. Selain masih adanya perilaku managerial
hubris, salah satu area yang perlu dikaji lebih lanjut adalah bagaimana dampak resistensi
karyawan terhadap suksus-gagalnya M&A. Hal ini beralasan, bukan saja karena karyawan
seringkali yang menjadi korban dalam M&A, karena M&A lazimnya diikuti dengan rasionalisasi
dan atau perampingan struktur, tetapi juga dampak perbedaan budaya yang dianut para karyawan
terhadap kinerja M&A.
Meskipun kinerja M&A menunjukkan rata-rata keberhasilan hanya mencapai 50%
namun demikian, dan laju pertumbuhan M&A diduga akan mengalami penurunan, namun
demikian nilai transaksi M&A diperkirakan akan terus bertambah. Kegagalan hari ini akan
menjadi divestasi dan akuisisi pada kesempatan berikutnya. Bersamaan dengan itu, peningkatan
arus globalisasi di beberapa sektor industri akan menjadikan M&A sebagai strategi konsolidasi
yang tepat dalam upaya memenangkan persaingan global. Selain itu, cepatnya laju pertumbuhan
perusahaan baru (start-up companies) yang sebagian dibangun dengan motivasi agar suatu ketika
di-akuisisi atau di-merged oleh perusahaan besar selalu mewarnai motivasi dan kinerja M&A.
Restrukturisasi
Tak dapat dielakkan bahwa pada akhirnya M&A berujung pada perlunya melakukan
restrukturisasi, sebuah strategi yang diambil untuk mengubah model bisnis atau struktur keuangan.
Kegagalan M&A seringkali diawali dengan tidak adanya strategi restrukturisasi. Salah satu
contoh akuisisi yang mengalami kerugian akibat tidak dilanjuti dengan restrukturisasi adalah
ketika AT&T membeli NCR dengan harga $7.4 milyar dan pada saat menjual kembali hanya laku
seharga $3.4 miliyar. Dari transaksi ini pemegang saham AT&T mengalami kerugian sebesar &4
milyar. Di pihak lain, perusahaan dapat menerapkan strategi restrukturisasi karena terjadi
perubahan lingkungan eksternal dan internal perusahaan.
Terdapat tiga alternatif strategi restrukturisasi yang acapkali digunakan: downsizing,
downscoping, dan leverage buyouts. Downsizing dilakukan dengan mengurangi jumlah karyawan
dan atau dalam keadaan tertentu dengan mengurangi unit operasi dengan atau tanpa mengubah
komposisi portofolio bisnis. Dengan demikian downsizing merupakan strategi proaktif
4
manajemen dengan memperkecil jumlah sumber daya manusia terutama yang tidak lagi dapat
berperan sebagai aset dan cenderung menjadi liability.
Dibandingkan dengan downsizing, downscoping menghasilkan efek yang lebih positif
terhadap kinerja perusahaan. Hal ini terjadi karena strategi yang dilakukan berupa pelepasan aset
(divestiture), pemisahan unit bisnis (spin-off), atau cara lain yang dimaksudkan untuk mngurangi
aktivitas bisnis yang tidak terkait dengan bisnis inti perusahaan. Dengan downscoping diharapkan
perusahaan akan fokus pada bisnis intinya saja.
Leverage buyout (LBO) di pihak lain, merupakan strategi restrukturisasi yang banyak
digunakan untuk memperbaiki kesalahan manajemen baik yang disebabkan oleh kesalahan dalam
membuat keputusan atau keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan kepentingan pribadi bukan
karena kepentingan pemegang saham. Dengan LBO, manajemen menggunakan hutang untuk
membiayai akuisisi. Guna membayar pinjaman plus bunganya dan melakukan downscoping agar
perusahaan fokus pada bisnis intinya, pemilik baru dapat menjual sebagian aset perusahaan atau
menjual seluruh perusahaan setelah jangka waktu tertentu perusahan memberikan untung.*****
5
Download