1 I. PENGANTAR A. Latar Belakang Permasalahan Radiografi dental untuk tujuan diagnostik merupakan bentuk penggunaan sinar X dalam bidang medis, yang dalam pelaksanaannya berkaitan dengan adanya radiasi pengion sinar X dengan kategori dosis sangat rendah (Wall et al., 2006). Pada penggunaan teknik digital, dosis efektif yang diserap oleh pasien pada radiografi panoramik berkisar antara 4,7 microsievert (µSv) sampai dengan 14,9 µSv sedangkan teknik analog mencapai 26 μSv (Gijbels et al., 2005). Berdasarkan data pada penelitian Kurniawati (2013), diperoleh hasil bahwa perhitungan laju dosis yang dihasilkan oleh mesin radiografi panoramik merk Yoshida Panoura di Laboratorium Radiologi Dentomaksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi UGM dalam sekali paparan adalah 47 μSv. Menurut Whaites (2009) nilai batas dosis paparan radiasi yang dipersyaratkan oleh The International Commission on Radiological Protection (ICRP) maksimal sebesar 0,3 milisievert (mSv). Dengan demikian dosis yang dihasilkan oleh paparan radiasi radiografi panoramik di Kedokteran Gigi UGM masih jauh di bawah dosis yang dipersyaratkan. Radiografi panoramik di bidang kedokteran gigi sangat sering digunakan sebagai prosedur rutin untuk menegakkan diagnosis dan sebagai evaluasi keberhasilan perawatan dalam bidang kesehatan gigi dan mulut. Penggunaan radiografi untuk tujuan tersebut sering berakibat terjadinya pengulangan paparan radiasi radiografi dan terjadinya peningkatan dosis efektif yang diterima pasien (Okano & Sur, 2010). Dosis yang sangat rendah akibat paparan radiasi radiografi 2 panoramik bukan berarti tidak menimbulkan efek sama sekali terhadap sel dan jaringan hidup yang terpapar (Wall et al., 2006). Radiasi pengion akibat paparan radiasi radiografi panoramik dapat menyebabkan reaksi ionisasi pada objek yang dikenainya. Pada teknik radiografi panoramik, mukosa mulut yang berkontak langsung dengan saliva akan menjadi objek pertama yang terpapar oleh radiasi pengion dan mengalami ionisasi (Whaites, 2002). Radiasi pengion dapat merusak sel dengan cara mentransfer sejumlah energi terhadap atom atau biomolekul target sehingga mengubah karakteristiknya (Fenech, 2000). Pada sel yang terkena paparan radiasi akan terjadi beberapa jalur kerusakan baik sitotoksisitas maupun genotoksisitas. Kerusakan sitoksisitas berupa piknosis, karioreksis serta kariolisis dan kerusakan genotoksisitas berupa pembentukan mikronukleus (Tolbert et al., 1992). Pada penelitian Cerqueira et al. (2008), Ribeiro et al. (2008) dan Popova et al. (2007) menemukan bahwa, radiasi sinar X akibat radiografi dental menggunakan teknik panoramik menyebabkan terjadinya efek genotoksik berupa peningkatan jumlah mikronukleus pada sel epitel gingiva dan mukosa bukal. Peningkatan jumlah mikronukleus tersebut maksimal terjadi pada hari ke-10 sesudah paparan dan akan mengalami penurunan pada hari ke-14 setelah paparan dihentikan. Menurut Cerqueira et al. (2008), belum diketahui dengan pasti kapan waktu hilangnya mikronukleus secara total pada sel yang telah terpapar radiografi panoramik. Peningkatan jumlah mikronukleus menunjukkan terjadinya peningkatan frekuensi kerusakan kromosom dan perubahan inti sel akibat paparan radiasi salah satunya radiografi dental teknik panoramik (Ribeiro et al., 2008). 3 Lebih lanjut, Rana et al. (2010) mengungkapkan bahwa, biomarker mikronukleus akibat dosis radiasi sinar X yang sangat rendah tidak menyebabkan kerusakan ikatan rantai ganda pada deoxyribonucleic acid (DNA), namun tetap berefek menyebabkan terjadinya perubahan kestabilan kromosom yang berkaitan dengan karsinogenesis. Terlebih lagi, ketika paparan radiasi radiografi panoramik dilakukan pengulangan sehingga terjadi paparan sebanyak 2 kali dalam 1 hari, menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah mikronukleus yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan mikronukleus akibat paparan radiasi radiografi panoramik satu kali paparan (Shantiningsih, 2012). Munculnya mikronukleus merupakan salah satu tanda awal terjadinya gangguan proliferasi sel dan berkaitan dengan mekanisme penting dalam karsinogenesis (Prasad et al., 1995). Mikronukleus ini bersifat semipermanen karena akan menetap dalam jangka waktu sekitar 1-2 kali pembelahan (Pawitan, 2005). Timbulnya mikronukleus sering diyakini sebagai penanda (marker) pada tahap dini mekanisme karsinogenesis pada sel yang terkena (van Poppel et al., 1992). Pada pasien dengan head and neck carcinoma cell squamosa ditemukan adanya peningkatan frekuensi mikronukleus pada mukosa normal di sekitar lesi, yang potensial menjadi lesi prekanker akibat terjadinya ketidakstabilan kromosom (Delfino et al., 2002). Akibat paparan radiasi akan terjadi reaksi ionisasi sehingga menyebabkan terbentuknya senyawa kimia yang disebut radikal bebas. Radikal bebas memiliki sifat yang sangat reaktif sehingga dapat menyebabkan oksidasi lebih lanjut pada molekul di sekitarnya. Ketika radikal bebas dan hasil oksidasi bereaksi terhadap 4 molekul kompleks dalam sel terutama kromosom, maka rantai kromosom menjadi terputus dan susunan basa nukleotida berubah (Whaites, 2009). Akibat lebih lanjut jika kerusakan DNA terjadi terutama pada gen gatekeeper akan menginduksi mekanisme karsinogenesis berupa pembelahan sel yang tertunda, modifikasi dan perubahan sel secara permanen serta peningkatan kecepatan pembelahan sel (Alberts et al., 2002). Pada sel yang mengandung radikal bebas setelah terjadinya reaksi oksidasi menyebabkan beberapa senyawa kimia bergabung dengan DNA membentuk DNA adduct (Tremblay, 2010). DNA adduct tersebut dapat dikenali dengan adanya senyawa 8-hydroxy-2-deoxyguanosine yang terekspresi sebagai 8-oxo-dG. Senyawa 8-hydroxy-2-deoxyguanosine merupakan suatu bentuk DNA adduct yang terjadi akibat reaksi oksidatif antara lain akibat paparan sinar X (Wulff et al., 2008). DNA adduct 8-oxo-dG dapat terdeteksi pada sel-sel mukosa bukal yang terkelupas (Borthakur et al., 2008). Jika terbentuknya DNA adduct 8-oxo-dG tidak diperbaiki akan menyebabkan terjadinya misspairing pada susunan basa nukleotida G:C menjadi A:T sehingga menimbulkan mutasi genetik (Preston et al., 2009). Perubahan genetik juga dapat terjadi sebagai respon sel terhadap radiasi sinar X, ultraviolet, dan sinar gama yang dapat merupakan rangkaian dalam mekanisme karsinogenesis dalam tahap inisiasi (Wulff et al., 2008). Berkaitan dengan hal tersebut, maka penggunaan radiasi pengion akibat radiografi panoramik yang mempunyai efek terbentuknya radikal bebas terhadap sel yang terpapar juga harus diminimalkan, terutama dihindarkan terjadinya pengulangan paparan radiasi radiografi dental untuk mencegah kemungkinan 5 dimulainya mekanisme karsinogenesis (Cameron, 1991). Bagi dokter gigi yang bekerja di bidang Radiologi Kedokteran Gigi (RKG), tentunya perlu melakukan upaya yang berkaitan dengan proteksi radiasi termasuk dalam hal ini menghindari pengulangan paparan radiasi radiografi. Dengan upaya tersebut diharapkan efek samping yang diperoleh pasien setelah mendapatkan paparan radiasi dapat diminimalkan. Segala kemungkinan terbentuknya mutasi akibat berbagai mutagen perlu diminimalkan (Alberts et al., 2004). Selain dengan menghindari pengulangan paparan, perlu dicari suatu bahan yang dapat berfungsi sebagai proteksi terhadap efek samping paparan radiasi radiografi sehingga dapat mencegah risiko timbulnya mekanisme karsinogenesis pada pasien yang mendapatkan paparan radiasi radiografi panoramik. β-carotene merupakan salah satu agen antioksidan yang telah diketahui mempunyai peran mencegah mekanisme karsinogenesis (Davison & Moon, 1992). Peran antikanker pada β-carotene ini lebih tinggi dibandingkan lycopene (Arab et al., 2001). Pada percobaan pencegahan terjadinya kanker paru, pemberian β-carotene secara peroral dengan dosis 30 mg/hari menghasilkan konsentrasi pada jaringan paru sebesar 26 μmol/kg. Konsentrasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi lycopen sebesar 1,2 μmol/kg dengan dosis pemberian 60 mg/hari sehingga disimpulkan bahwa, pemberian β-carotene lebih efektif untuk mencegah terjadinya kanker paru (Krinsky et al., 2004). Senyawa β-carotene juga telah dibuktikan dapat menurunkan jumlah mikronukleus pada beberapa kasus. Pada kasus kebiasaan mengunyah tembakau yang memicu terbentuknya kanker mulut, dilakukan percobaan pemberian suplemen β-carotene secara oral. Hasilnya, walaupun kebiasaan itu tetap 6 diteruskan, namun jumlah mikronukleus dalam sel mengalami penurunan (Rosin, 1993). Dalam penelitian van Poppel et al. (1992) β-carotene juga dilaporkan dapat digunakan untuk menurunkan frekuensi mikronukleus pada sputum dahak perokok berat setelah diberikan suplementasi secara peroral. Hal ini mengindikasikan bahwa, β-carotene dapat berperan pula dalam menurunkan risiko terjadinya kanker paru. Pada beberapa penelitian sebelumnya melaporkan suplementasi oral β-carotene pada subjek manusia dan tikus, secara signifikan mampu meningkatkan konsentrasi β-carotene dalam plasma darah. Suplementasi itu berperan pula menurunkan jumlah mikronukleus pada sel limfosit yang diradiasi sinar X. Berdasarkan hasil tersebut diyakini bahwa, β-carotene memberi perlindungan melawan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan pada kromosom (Umegaki et al., 1994; Umegaki et al., 1997; Salvadori et al., 1996). Mekanisme kerja β-carotene dalam mencegah terjadinya mekanisme karsinogenesis yaitu dengan berperan sebagai antioksidan karena memiliki ikatan rangkap yang dapat mengikat radikal bebas dan dengan memfasilitasi komunikasi sel (Zhang et al., 1992; Krinsky et al., 2004). Gap junction ini disusun oleh protein transmembran yang disebut connexin yang salah satunya adalah Connexin-43 atau yang sering disebut dengan Cx-43. Protein Cx-43 merupakan suatu protein utama penyusun gap junction yang memfasilitasi komunikasi antar gap junction. Terjadinya peningkatan komunikasi gap junction ditandai dengan adanya peningkatan ekspresi Cx-43 sehingga Cx-43 dikenal sebagai penanda komunikasi gap junction (Zhang et al., 1992). Komunikasi interseluler gap junction tersebut, sangat penting dalam fungsi regulasi proliferasi mitosis sel (Albert et al., 2004). Pada beberapa jenis sel kanker ditemukan adanya penurunan 7 kapasitas komunikasi interseluler dan terjadi penurunan jumlah gap junction (Klaunig&Ruch, 1990). Oleh karena itu, maka kemampuan carotenoid termasuk β-carotene dalam menghambat transformasi neoplastik berhubungan dengan kemampuannya untuk menstimulasi komunikasi junctional (Ball, 2004). Kemampuan β-carotene ini lebih tinggi dalam meningkatkan gap junction dibandingkan dengan lycopene (Arab et al., 2001). Dalam penelitian Buajeeb et al. (2008) ditemukan bahwa, β-carotene dapat digunakan untuk menurunkan jumlah mikronukleus pada mukosa oral pasien yang mengalami Oral Lichen Planus (OLP). Dosis yang digunakan dalam penelitian tersebut sebesar 60 mg per hari yang diberikan selama 3 bulan. Menurut beberapa penelitian sebelumnya, efek suplementasi β-carotene selama 3 bulan tersebut tidak akan memberikan efek toksisitas selama diberikan dalam dosis aman maksimal 60 mg per hari (Mayne et al., 1998). Dari penelitian tersebut dapat diasumsikan bahwa, jika kondisi sudah terlanjur parah, seperti terjadinya OLP yang merupakan kondisi premaligna, pemberian suplementasi β-carotene harus diberikan dalam jangka panjang dan dosis yang lebih besar. Efek suplementasi oral selama 3 bulan dengan dosis 60 mg tersebut akan memberikan efek kekuningan yang bersifat reversibel pada telapak tangan dan palatum lunak (Buajeeb et al., 2008). Untuk mencegah efek samping pemberian dalam dosis besar, perlu dicari alternatif dengan cara aplikasi lokal di rongga mulut. Aplikasi lokal pada rongga mulut memiliki keuntungan adanya kemampuan untuk menurunkan dosis obat yang digunakan dibandingkan dengan pemberian secara sistemik (Shargel et al., 2007). 8 Rongga mulut merupakan tempat awal masuknya sediaan obat namun kontaknya dengan mukosa mulut hanya berlangsung sebentar. Untuk mendapatkan hasil pengobatan melalui mukosa mulut atau pengobatan lokal pada mukosa mulut, sistem penghantaran obat harus didesain untuk dapat bertahan pada area yang dituju. Hal ini karena absorbsi obat secara lokal melalui rongga mulut memiliki kendala dengan adanya kemungkinan larutnya obat dalam saliva. Kemungkinan larutnya sediaan obat tersebut dapat menghambat keberhasilan absorbsi obat dalam mukosa (Washington et al., 2001). Pada sediaan berbentuk patch mukoadesif, absorbsi obat dapat dicapai secara langsung terlokalisir pada daerah yang ditempatkan patch. Sediaan patch yang terbentuk mempunyai kekuatan mukoadesif sehingga tidak akan terlepas dari tempatnya akibat gerakan lidah (Divyen, et al., 2010). Hewan coba kelinci memiliki karakter dan periode turn over mukosa gingiva yang mirip dengan manusia yaitu berkisar antara 10-12 hari pada mukosa gingiva (Misra, 2011). Oleh karena itu, pemberian β-carotene secara lokal di rongga mulut akan diberikan dengan bentuk patch gingiva mukoadesif pada hewan coba kelinci. B. Perumusan masalah Paparan radiasi yang dihasilkan pada teknik radiografi panoramik hanya menggunakan dosis relatif kecil sekitar 47 μSv. Dosis yang rendah tersebut ternyata menimbulkan efek berupa pembentukan mikronukleus (Cerqueira et al., 2008; Riberio et al., 2008). Mikronukleus diyakini merupakan penanda yang berhubungan dengan tahap dini mekanisme karsinogenesis (van Poppel et al., 1992). Reaksi oksidatif yang mengenai DNA akibat paparan radiasi sinar X dapat 9 dideteksi dengan ekspresi 8-oxo-dG (Wulff et al., 2008). Penelitian menggunakan suplementasi oral β-carotene telah banyak dilakukan dan dilaporkan dapat menurunkan jumlah mikronukleus, baik pada pasien kanker mulut, kanker paru maupun pasien OLP (van Poppel et al., 1992; Rosin, 1993; Buajeeb et al., 2008). Suplementasi oral β-carotene pada subjek manusia dan tikus juga dilaporkan secara signifikan menurunkan jumlah mikronukleus pada sel limfosit yang secara in vitro diradiasi sinar X (Umegaki et al., 1994; Salvadori et al., 1996). Salah satu kemampuan β-carotene adalah dengan meningkatkan komunikasi gap junction yang dideteksi dengan adanya Cx-43 (Zhang et al., 1992; Krinsky et al., 2004). Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam penelitian ini akan digunakan β-carotene sebagai suatu bahan pencegah efek samping prosedur radiografi di kedokteran gigi dengan harapan dapat meminimalkan peningkatan jumlah mikronukleus akibat paparan radiasi radiografi panoramik sehingga transformasi ke arah terjadinya karsinogenesis dapat dihindarkan. Untuk menghindari suplementasi oral dengan dosis besar yang akan menyebabkan efek samping kekuningan seperti yang terjadi pada penelitian Buajeeb et al. (2008), maka peneliti ingin mencoba pemberian β-carotene sebagai agen pencegah efek samping radiasi secara lokal pada mukosa dalam bentuk patch gingiva mukoadesif. Penggunaan aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene ini diharapkan mampu menurunkan dosis obat yang diberikan dibandingkan dengan suplementasi secara sistemik. Dengan demikian pada penelitian ini diajukan beberapa masalah yaitu: 1. Apakah β-carotene dapat menembus membran mukosa gingiva dan dibuat sediaan patch gingiva mukoadesif β-carotene? 10 2. Apakah aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene memberi efek terhadap hasil radiograf? 3. Apakah aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene meningkatkan kadar β-carotene dalam darah? 4. Apakah patch gingiva mukoadesif β-carotene mampu mencegah peningkatan jumlah mikronukleus akibat paparan radiasi radiografi panoramik pada mukosa gingiva? 5. Pada dosis berapakah patch gingiva mukoadesif β-carotene mampu mencegah peningkatan jumlah mikronukleus? 6. Kapankah waktu yang paling efektif untuk aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene sebagai pencegah terjadinya efek samping paparan radiasi radiografi panoramik? 7. Apakah peningkatan jumlah mikronukleus setelah aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene berhubungan dengan peningkatan ekspresi Cx-43? 8. Apakah terjadinya mikronukleus akibat paparan radiasi radiografi panoramik pada mukosa gingiva berhubungan dengan perubahan ekspresi 8-oxo-dG? 9. Apakah patch gingiva mukoadesif β-carotene juga mempunyai efek terhadap perubahan ekspresi 8-oxo-dG? 10. Apakah aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene akan menimbulkan reaksi inflamasi pada mukosa gingiva? C. Keaslian Penelitian Penelitian yang telah ada di antaranya adalah penelitian Poppel et al. (1992) tentang efek pemberian β-carotene dapat menurunkan jumlah mikronukleus pada sputum dahak perokok berat. Penelitian lain, Rosin (1993) adalah penggunaan 11 β-carotene dapat menurunkan frekuensi mikronukleus pada individu yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau walaupun kebiasaan tersebut tetap diteruskan. Umegaki et al. (1994) meneliti efek β-carotene secara sistemik dalam mencegah pembentukan mikronukleus pada sel limfosit tikus yang dipapar sinar X. Salvadori et al. (1996) meneliti penggunaan β-carotene sebagai pencegah efek samping sistemik pada tikus yang diberi paparan sinar X ditinjau dari frekuensi mikronukleus. Buajeeb et al. (2008) meneliti efek β-carotene untuk menurunkan jumlah mikronukleus pada mukosa oral pasien yang mengalami OLP. Untuk pembuatan dalam sediaan film patch mukoadesif, Divyen et al. (2010) membuat sediaan film mukoadesif dengan bahan lycopen. Dari seluruh penelitian yang ada, sejauh ini belum ditemukan adanya penelitian tentang sediaan patch gingiva mukoadesif β-carotene yang digunakan sebagai pencegah efek samping pada paparan radiasi dental dilihat melalui jumlah mikronukleus dalam sel gingiva. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1. Memberikan informasi ilmiah tentang efek β-carotene sebagai agen pencegah efek samping paparan radiasi radiografi panoramik yang menggunakan dosis paparan radiasi sangat rendah. 2. Menjadi bahan pertimbangan dalam pemberian agen pencegah efek samping secara lokal di rongga mulut sebelum, pada saat dan atau sesudah paparan. 12 3. Memperluas kajian pemanfaatan β-carotene dengan bentuk sediaan lokal di rongga mulut untuk memperkecil dosis yang diberikan dibandingkan dengan pemberian suplementasi oral. 4. Menjadi acuan ilmiah bagi peneliti selanjutnya untuk mengkaji lebih lanjut mengenai agen pencegah efek samping untuk radiodiagnosis di kedokteran gigi. E. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui mekanisme β-carotene dalam menembus mukosa gingiva untuk kemudian dibuat dalam sediaan patch gingiva mukoadesif β-carotene. 2. Mengetahui efek aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene terhadap hasil radiograf. 3. Mengetahui kadar β-carotene dalam darah setelah aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene. 4. Memahami penggunaan patch gingiva mukoadesif β-carotene sebagai pencegah efek samping prosedur radiografi panoramik untuk mencegah peningkatan jumlah mikronukleus pada mukosa gingiva. 5. Mendapatkan dosis patch gingiva mukoadesif β-carotene yang dapat berfungsi sebagai pencegah efek samping paparan radiasi radiografi panoramik. 6. Mengetahui waktu yang paling sesuai untuk aplikasi patch gingiva mukoadesif β-carotene supaya dapat berfungsi sebagai pencegah efek samping paparan radiasi radiografi panoramik. 13 7. Membuktikan bahwa mekanisme patch gingiva mukoadesif β-carotene dalam mencegah peningkatan jumlah mikronukleus melalui peningkatan ekspresi Cx-43. 8. Memahami hubungan terbentuknya mikronukleus dan 8-oxo-dG sebagai akibat paparan radiasi radiografi panoramik. 9. Membuktikan bahwa patch gingiva mukoadesif β-carotene berefek terhadap perubahan ekspresi 8-oxo-dG? 10. Mengetahui apakah patch gingiva mukoadesif β-carotene dapat bersifat biokompatibel terhadap mukosa gingiva yang ditempelinya.