3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila Oreochromis niloticus Nutrisi pada pakan merupakan sumber energi untuk metabolisme ikan. Sebagai hewan yang hidup di lingkungan perairan dimana sumber karbohidrat lebih sedikit dari pada di darat, ikan teradaptasi untuk menggunakan energi yang berasal dari protein dan lemak. Ikan nila merupakan salah satu ikan tropis omnivora (Lovell, 1989). Ikan yang bersifat omnivora dapat memanfaatkan karbohidrat lebih baik karena usus ikan omnivora memiliki enzim amylase yang dapat menghidrolisis karbohidrat lebih baik (Nagayama dan Saito, 1968; Furuichi, 1988 dalam Watanabe 1988). Formulasi dari suatu pakan ikan harus memenuhi kebutuhan nutrisi dari ikan yang dibudidayakan dalam hal kebutuhan protein (asam amoni esensial), lemak (asam lemak esensial), energi, vitamin, dan mineral (Watanabe, 1988). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu formulasi pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ikan sehingga ikan dapat tumbuh dengan baik. 2.1.1. Kebutuhan Protein Protein merupakan kumpulan asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida (NRC 1993), dimana sekitar 65-75 % dari tubuh ikan dalam berat kering merupakan protein (Halver 1989). Ikan menggunakan protein secara efisien sebagai sumber energi (Lovell 1989). Selain itu, hewan akuatik membutuhkan protein untuk mempertahankan metabolisme tubuh (maintenance) seperti mengganti jaringan yang rusak dan membentuk jaringan yang baru atau pertumbuhan dan reproduksi (Millamena dalam SEADFEC, 2002). Jika ikan kekurangan sumber protein, maka pertumbuhan akan terhambat dikarenakan protein yang dimakan oleh ikan akan digunakan untuk mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting. Hal ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot ikan karena protein yang terkandung dalam jaringan tubuh ikan dipecah kembali untuk mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting tersebut (NRC 1993; Halver 1989). Kandungan protein yang optimal pada pakan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keseimbangan antara protein dan energi, komposisi asam amino, dan kecernaan protein (Halver 1989). 4 Tingkat kebutuhan protein optimum pada pada ikan nila (ukuran di atas 40 gr) diduga berkisar antara 27,5 – 35% (Jauncey and Roses, 1982 dalam Webster dan Lim, 2002). Pada praktiknya kandungan protein pakan yang digunakan untuk pembesaran ikan nila berkisar antara 25-35%. Sedangkan pada kolam atau tambak yang memiliki pakan alami yang dapat menyumbangkan protein bagi ikan, maka kadar protein dalam pakan yang memadai untuk ikan dapat berkisar antara 20-25% (Newman, et.al. 1979: Lovell, 1980 dalam Webster dan Lim, 2002) 2.1.2. Kebutuhan Lemak Lemak dan minyak merupakan salah satu sumber energi dalam pakan ikan. Lemak memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan dengan energi yang terkandung dalam protein atau karbohidrat. Dalam satu gram lemak memiliki energi dalam pakan (gross energy) sebesar 9,4 kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5,6 dan 4,1 kkal (Watanabe, 1988). Kadar lemak dalam pakan sebesar 5% sudah mencukupi untuk kebutuhan ikan nila, tetapi jika kadar lemak dalam pakan ditingkatkan menjadi 12% akan memberi pengaruh berupa perkembangan maksimal pada ikan nila (Chou dan Shiau, 1996 dalam Webster, 2002). Millena dalam SEADFEC (2002) menyatakan bahwa asam lemak esensial sangat penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan, juga berperan sebagai pelarut beberapa vitamin yang tidak larut dalam air seperti vitamin A, D, E, dan K, sumber steroid untuk menjaga sistem mebran, transpor lemak, dan sebagai prekusor steroid. Jenis asam lemak yang dibutuhkan ikan diantaranya asam lemak ω3 dan ω6, berupa asam linolenat (18:3ω3), asam linoleat (18:2ω6), asam eicosapentaenoic (EPA, 20:5ω3), dan decosahexaenoic (DHA, 20:6ω3) (Millamena dalam SEADFEC 2002). Akan tetapi menurut Takeuchi et al (1983) dalam Watanabe (1988), jenis asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh ikan nila adalah 18:2ω6 1.0% asam lemak linoleat. Menurut Takeuchi, Satoh, dan Watanabe (1983) dalam Lovell (1989) Sumber lemak yang baik untuk ikan nila adalah berasal dari minyak nabati seperti minyak jagung atau minyak kedelai yang memiliki kandungan 18:2ω6 (linoleat) yang ditunjukkan dengan pertumbuhan yang baik pada ikan dibandingkan dengan minyak ikan yang memiliki kandungan asam lemak 20:5ω3 (EPA). Kekurangan kadar asam lemak lemak omega 3 dan omega 6 pada pakan 5 dapat menyebabkan nafsu makan ikan menurun, pertumbuhan yang lambat, dan pembengkakan pada ikan, pucat, dan lemak pada hati (Lovell 1989). 2.1.3. Kebutuhan Karbohidrat Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam tanaman yang termasuk di dalamnya adalah gula sederhana, pati, selulosa, getah, dan substansi lainnya (Millamena dalam SEADFEC 2002). Karbohidrat merupakan sumber energi yang murah dan dapat menggantikan atau menghemat penggunaan protein (protein sparing effect) yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena dalam SEADFEC 2002). Hal yang sama dinyatakan oleh Watanabe (1988) bahwa karbohidrat merupakan sumber energi yang murah dan berlimpah di alam, sehingga penggunaannya menjadi subjek yang penting untuk pengembangan budidaya ikan. Setiap jenis ikan memiliki kemampuan yang berbeda dalam mencerna karbohidrat. Kandungan karbohidrat dalam pakan harus digunakan pada kandungan yang paling tinggi yang dapat ditoleransi oleh ikan (NRC 1993). Dalam pakan, karbohidrat terdapat dalam bentuk bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan serat kasar (Zooneveld et al, 1991). Sumber karbohidrat seperti pati digunakan dalam pakan sebagai perekat (binder) dalam pakan ikan dan udang untuk meningkatkan ketahanan pakan dalam air (water stability) (Millamena et al. 2002). Kadar optimum karbohidrat dalam pakan ikan sulit untuk ditentukan karena protein dan lemak mendahului fungsi karbohidrat sebagai sumber energi (Nagai dan Ikeda, 1973; Furuichi, 1988 dalam Watanabe, 1988). Tetapi pada umumnya ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat secara optimal sebanyak 10-20% dalam pakan, sedangkan ikan omnivora rata-rata 30-40% (Furuichi dalam Watanabe, 1988). Ikan omnivora seperti nila dan mas lebih dapat mencerna pati (starch) daripada jenis ikan karnivora. Hal ini karena ikan omnivora memiliki enzim amylase yang lebih baik untuk menghidrolisis pati (Nagayama dan Saito, 1968; Furuichi, 1988 dalam Watanabe 1988). Karbohidrat berupa pati dihidrolisis oleh enzim menjadi bentuk dextrin, maltosa, dan terakhir glukosa. Glukosa merupakan produk utama yang terbentuk dari hidrolisis karbohidrat komplek dalam proses pencernaan (Millamena et al., 2002). Setelah itu glukosa akan dioksidasi dalam sel untuk menghasilkan energi 6 dan disimpan dalam hati dan otot sebagai glikogen (Tucker dan Hargreaves, 2004). Sumber pati yang berbeda akan menyebabkan perbedaan nilai kecernaan karbohidrat (Millamena et al., 2002). Hal ini dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin (Guillaume et al., 2001) yang terdapat dalam pati. Dimana amilosa lebih mudah dicerna daripada amilopektin karena perbedaan struktur rantainya (Muhtadi dan Sugiyono, 1992 dalam Suryani 2001). Oleh karena itu, semakin besar rasio amilosa dan amilopektin, maka nilai kecernaan karbohidrat menjadi semakin baik (Cruz-suarez, 1994 dalam Noegroho, 2000). Marini (1997) dalam Suryani (2001) melaporkan bahwa kandungan amilosa dalam pati adalah berkisar 10-20% sedangkan amilopektin 80-90%. Adapun menurut Bennion (1980) dalam Suryani (2001) menyatakan bahwa proporsi amilosa adalah 17-32% dari total pati. 2.2. Tepung Elot Elot merupakan pati yang memiliki kualitas yang kurang bagus (Anonima, 2004). Tepung elot didapatkan dari hasil sisa endapan tapioka. Saripati yang berasal dari perasan parutan singkong yang telah diendapkan menghasilkan tepung tapioka. Setelah air dan tapioka dipisahkan, maka air sisa pengendapan tersebut diendapkan kembali. Hasil pengendapan yang kedua inilah yang disebut dengan elot atau lindur. Tepung elot dikatakan sebagai pati yang kualitasnya kurang bagus karena masih adanya kandungan getah pada pati tersebut, sehingga biasanya memiliki warna kekuning-kuningan dan terkadang memiliki sifat asam. Kadar nutrisi yang terdapat dalam tepung elot dan tepung tapioka adalah sebagai berikut : Tabel 1. Data proksimat tepung elot dan tapioka Komposisi Proksimat Kadar (%) Tepung elot Tepung tapioka* 3,4 1,29 Protein Lemak total 0,54 0,25 Karbohidrat / BETN 80,72 85,71 1,5 0 Serat kasar Abu 1,32 0.34 Kadar Air 12,52 12,41 * sumber : Sunaryanto, Rofic et. al. (2001). 7 Salah satu masalah yang timbul dari penggunaan tepung berbahan dasar singkong ini adalah adanya kandungan HCN yang bersifat toksik. Daryanto dan Muryati (1980) dalam Sihombing (2007) menyatakan bahwa HCN yang terkandung dalam singkong akan hilang saat proses ekstraksi. Saat umbi diparut dan sel-selnya pecah, enzim linamarase akan memecah glikosida sianorganik dan HCN akan terlepas yang dapat terjadi dalam waktu 4-6 jam. Glikosida dan HCN akan terbuang bersama air yang digunakan dalam proses pengolahan tepung tapioka. Selain itu, menurut Febriyanti (1990) dalam Suryani (2001) menyatakan bahwa proses pencucian dapat menghilangkan HCN sebanyak 36.02%. Pengukusan juga dapat menyebabkan penguapan HCN dan menginaktivasi enzim linamarinase yang berperan dalam pembebasan HCN. HCN akan dengan mudah menguap kerena bersifat volatil dan titik didihnya rendah yaitu pada suhu 26o C (Muharam, 1992 dalam Suryani 2001). Pemasakan pada tepung tapioka dilakukan untuk meningkatkan nilai kecernaannya (Suryani, 2001). Hal ini dilakukan karena kandungan amilosa dan amilopektin pada tapioka, dimana rasio antara amilosa dan amilopektin yang hanya sebesar 17/83 (Elliasson, 2004) sehingga menyebabkan nilai kecernaan tepung tapioka rendah. Tabel 2. Perbandingan amilosa dan amilopektin beberapa sumber karbohidrat Sumber Karbohidrat Diameter (mikron) Amilosa / Amilopektin - 20/80 Terigub 1-45 25/75 Tapiokab 4-3 17/83 Gaplekd - 22.4/77.6 Sagub 15-65 26/74 Jagungb 5-30 25/75 Kedelaic - 22/78 Gandum a Sumber : a) Cheftel and cheftel (1976); Cruz-suarez et al. (1994) dalam Noegroho (2000). b) P. Taggart, National Starch and Chemical, UK dalam Eliasson (2004). c) Stevenson et al. (2006), http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=18186124. d) Guanaratne and Hoover, 2001 in Freitas, et. al., (2003), http://www.sciencedirect.com. 8 Bahan baku yang baik akan menghasilkan 400 kg tapioka dan 160 kg onggok dari bahan baku total sebanyak 1 ton. Total pati yang didapat berkisar antara 19-25% rendemen tapioka dari bahan baku singkong segar (Anonimb, 2003). Adapun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pengrajin tapioka di daerah Tarik Kolot, Bogor Utara, maka rendemen elot yang didapat hanya sekitar 2%, namun sebagian besar para pengrajin tapioka langsung membuang sisa air pengendapan tapioka. Greenfield (1971) mengemukakan bahwa limbah industri tapioka mengandung bahan organik seperti pati, serat, protein, gula, dsb. Sebagai contoh limbah cair sisa pengendapan mengandung tanah, protein, serat, gula, dan pati terlarut. 2.3. Tepung Gaplek Tepung gaplek merupakan salah satu bahan yang digunakan pada pakan ikan. Murtidjo (2001) menyatakan bahwa tepung ini biasa digunakan dalam pakan tidak lebih dari 5 % sebagai binder atau perekat. Tepung gaplek sendiri merupakan ubi kayu yang telah dikeringkan kemudian digiling menjadi bentuk tepung. Kandungan nutrisi yang terkandung dalam tepung gaplek diantaranya protein 1,1%, lemak 0,5%, karbohidrat 88,2% (Soetanto, 2008). Sebagai salah satu bahan yang terbuat dari ubi kayu, masalah yang dihadapi dalam penggunaan tepung ini hampir sama dengan tepung elot, yakni kandungan HCN yang terdapat dalam ubi kayu. Namun kandungan HCN tersebut ternyata dapat dikurangi hingga batas aman dalam penggunaannya sebagai bahan pakan ikan melalui beberapa proses yang dilalui dalam pembuatan tepung gaplek (Murtidjo, 2001). Rangkaian proses tersebut meliputi pengupasan kulit ubi kayu, pencincangan ubi kayu, perendaman pada larutan garam 5 % selama 24 jam, penjemuran, penggilingan menjadi tepung. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penggunaan tepung gaplek hingga 15% sebagai sumber karbohidrat dalam pakan ikan masih dapat diterima oleh ikan (personal communication). 2.4. Jagung Jagung merupakan salah satu sumber karbohidrat yang sering digunakan dalam pembuatan pakan ikan. Bahan baku jagung yang digunakan dalam formulasi pakan berupa butiran biji jagung yang telah dikeringkan dan melalui proses grinding sehingga memiliki tekstur yang halus. 9 Penggunaan jagung dalam pakan dibatasi oleh adanya kandungan afla toksin pada jagung. Afla toksin merupakan komponen metabolit sekunder kapang Aspergillus sp. Umumnya efek yang ditimbulkan karena mengkonsumsi afla toksin pada hewan ternak adalah rendahnya pertumbuhan, kerusakan hati, gangguan pembekuan darah, menurunkan respon terhadap imun, dan meningkatkan kematian (Lovell, 1989). Negara beriklim tropis seperti Indonesia merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan jamur. Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban, sangat berperan dalam munculnya kontaminasi aflatoksin. Kandungan afla toksin dalam jagung di Indonesia bervariasi antara 20 – 2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati, 2006). Pada ikan channel catfish, dosis yang mematikan (LD50) berkisar antara 15 – 30 ppm. 2.5. Kecernaan Kecernaan dapat menggambarkan fraksi nutrien atau energi dalam pakan yang dicerna dan tidak dikeluarkan dalam bentuk feses (NRC, 1993). Melalui pengukuran kecernaan, maka akan dapat dievaluasi potensi cocok atau tidaknya suatu bahan jika diberikan pada ikan tertentu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Watanabe (1988) bahwa hal pertama yang harus dilakukan untuk mengevaluasi potensi sebuah bahan baku untuk digunakan pada pakan adalah mengukur kecernaannya. Hal ini dilakukan karena setiap jenis bahan memiliki tingkat kecernaan yang berbeda-beda pada setiap jenis ikan. Pada umumnya, bahan pakan nabati lebih sukar dicerna daripada bahan hewani. Hal ini dikarenakan adanya kandungan serat kasar dalam bahan nabati, dimana serat kasar ini sulit dicerna dan memiliki dinding sel yang kuat sehingga sulit dipecahkan (Hepher, 1988). Untuk mengukur nilai kecernaan, dapat digunakan bahan indikator yang dapat bertahan untuk tidak rusak atau tercerna oleh saluran pencernaan ikan. Salah satu bahan yang umumnya digunakan sebagai indikator adalah Cr2O3. bahan ini akan dikonsumsi ikan akan melalui sistem pencernaan dan terlihat dalam feses (NRC, 1993). Banyaknya kandungan Cr2O3 yang digunakan dalam formulasi pakan adalah sebesar 0.5-1% (Watanabe 1988 dan NRC 1993). Keunggulan dari penggunaan metode ini adalah mengurangi jumlah feses yang harus dikumpulkan (NRC, 1993). Metode ini dapat diaplikasikan untuk 10 menentukan nilai kecernaan energi, protein kasar, karbohidrat, lemak dan bahan kering pada berbagai jenis ikan (Cho, 1982 dalam NRC, 1993) Selain dari jenis bahan yang berbeda, nilai kecernaan suatu bahan juga dipengaruhi oleh proses pengolahan bahan-bahan tersebut. Proses pengolahan yang terlalu ekstrim seperti pemanasan yang berlebih, dapat menyebabkan kerusakan dalam bahan pakan yang akhirnya mengurangi nilai nutrisi (Finley, 1989 dalam NRC, 1993). 2.6. Kualitas Air Walaupun ikan nila termasuk ikan air tawar, ikan ini bersifat euryhaline dan dapat bertahan, tumbuh, dan beberapa spesies dapat memijah pada perairan yang bersalinitas 40 mg/l. Beberapa jenis nila yang telah dibudidayakan mampu bertahan pada kadar oksigen 0.1 mg/l (Lovell, 1988). Aktifitas makan ikan akan berkurang pada suhu di bawah 20oC dan berhenti makan pada suhu 16oC (Lovell, 1989). Sebagai hewan yang bersifat poikilothermal, suhu sangat memperngaruhi laju metabolisme ikan. Suhu yang tinggi akan mempercepat metabolisme dan sebaliknya, suhu yang rendah akan menurunkan metabolisme. Umumnya ikan tropis dan sub tropis tidak dapat tumbuh baik di bawah suhu 25oC, dan suhu mematikan pada suhu dibawah 10 atau 15oC. Spesies periaran hangat akan tumbuh baik pada suhu 20-28 oC (Boyd, 1998) . Kadar oksigen sangat penting untuk kelangsungan metabolisme pada tubuh ikan. Pescod et al. (1973) dalam Merantica (2007) menyatakan bahwa kadar oksigen yang baik untuk budidaya adalah lebih besar dari 2 ppm. pH merupakan logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen (Boyd, 1998). Organisme akuatik mengeluarkan buangan atau ekresi utama berupa nitrogen. Hal yang sama dikemukakan oleh Lovell (1998) bahwa ikan teleostei air tawar mengeluarkan 60-90% buangan nitrogen dalam bentuk amoniak yang dikeluarkan melalui insang. Kadar pH yang cocok bagi kelangsungan hidup organisme akuatik seperti ikan berkisar antara 7-8.5 (Effendi, 2003) Meade (1985) dalam Boyd (1990) menyatakan bahwa secara umum baik NH3 ataupun NH4 dapat bersifat toksik, tetapi NH3 memiliki sifat yang lebih toksik dari NH4. Ikan nila memiiki toleransi terhadap amoniak hingga 2.4 mg/L (Lovell, 1989). Toksisitas amoniak pada ikan nila mulai terlihat pada kisaran 0.070.14 mg/L dimana mulai terjadi efek negatif terhadap pertumbuhan ikan nila, 11 sehingga direkomendasikan konsentrasi amoiak dipertahankan di bawah 0.1 mg/L (El Shafai et. al. 2004 dalam El Sayed, 2006)