TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Cabai Menurut Setiadi (2006) klasifikasi tanaman cabai merah termasuk ke dalam: Kingdom : Plantae Diviso : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Solanes Famili : Solanaceae Genus : Capsicum Spesies : Capsicum annuum L. Perakaran tanaman cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut‐serabut akar (akar tersier). Panjang akar primer berkisar 35‐50 cm. Akar lateral menyebar sekitar 35‐45 cm (Prajnanta, 2007). Batang utama cabai tegak lurus dan kokoh, tinggi sekitar 30‐37,5 cm dan diameter batang antara 1,5‐3 cm. Batang utama berkayu dan berwarna coklat kehijauan. Pembentukan kayu pada batang utama mulai terjadi mulai umur 30 hari setelah tanam (Setiadi, 2006). Daun cabai berwarna hijau muda sampai hijau gelap tergantung varietasnya. Daun ditopang oleh tangkai daun. Tulang daun berbentuk menyirip. Secara keseluruhan bentuk daun cabai adalah lonjong dengan ujung daun meruncing (Prajnanta, 2007). vi Universitas Sumatera Utara Bunga tanaman cabai umumnya suku Solanaseae, berbentuk seperti terompet (hypocrateriformis). Bunga cabai tergolong bunga yang lengkap karena terdiri dari kelopak bunga (calyx), mahkota bunga (corolla), benang sari (stamen), dan putik (pistilum). Bunga cabai biasanya menggantung berwarna putih, terdiri dari 6 helai kelopak bunga berwarna kehijauan dan 5 helai mahkota (Setiadi, 2006). A B Gambar 1. Tanaman cabai merah (Capsicum annum), A= Fase Vegetatif, B= Fase Generatif (Sumber: Foto langsung) Syarat Tumbuh Iklim Tanaman cabai merah mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1400 m di atas permukaan laut. Tanaman cabai merah mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai merah adalah sekitar 600-1200 mm per tahun. Cahaya matahari sangat diperlukan sejak pertumbuhan bibit hingga tanaman berproduksi. Pada intensitas cahaya yang tinggi dalam waktu yang cukup lama, masa pembungaan cabai merah terjadi lebih cepat dan proses pematangan buah juga berlangsung lebih singkat (Sumarni dan Muharam, 2005). v Universitas Sumatera Utara Tanah Tanaman cabai merah dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asal drainase dan aerasi tanah cukup baik, dan air cukup tersedia selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tanah yang ideal untuk penanaman cabai merah adalah tanah yang gembur, remah, mengandung cukup bahan organik (sekurangkurangnya 1,5%), unsur hara dan air, serta bebas dari gulma. Tingkat kemasaman (pH) tanah yang sesuai adalah 6-7 (Sumarni dan Muharam, 2005). Tumpangsari Tanaman cabai mempunyai banyak jenis hama dan penyakit. Umumnya tanaman cabai dan sayuran lainnya menggunakan pestisida paling banyak serta berlebihan sebagai pengendalian tanpa memperhatikan dampak negatifnya karena hasilnya cepat kelihatan dan pestisida mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Kondisi yang demikian pada akhirnya dapat menyebabkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan penggunaan pestisida yang selektif dan cara pengendalian lainnya, melalui sistem tumpangsari dengan tanaman semusimnya lainnya. Keuntungan pengendalian dengan sistem/pola tanam adalah mengurangi penggunaan pestisida kimiawi, mengurangi resioko kegagalan panen dan meningkatkan pendapatan. Budidaya tanaman monokultur dapat mendorong ekosistem pertanian rentan terhadap organisme serangga hama. Salah satu pendorong meningkatnya serangga pengganggu adalah tersedianya makanan terus menerus sepanjang waktu dan disetiap tempat. Untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan maka tindakan mengurangi serangan hama melalui pemanfaatan musuh alami serangga dan meningkatkan keanekaragaman tanaman seperti penerapan tumpang sari, rotasi vi Universitas Sumatera Utara tanaman dan penanaman lahan-lahan terbuka sangat perlu dilakukan karena meningkatkan stabilitas ekosistem serta mengurangi risiko gangguan hama (Tobing, 2009). Pengendalian bercocok tanam dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan sistem tanam tumpangsari. Keberhasilan pengendalian dengan sistem tanam tumpangsari dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pemilihan tanaman pendamping. Tanaman pendamping dapat menurunkan serangan hama dengan cara mencegah penyebaran hama karena adanya pemisahan tanaman yang rentan. Salah satu jenis tanaman berperan sebagai tanaman perangkap (atraktan) hama dan jenis tanaman yang lain sebagai penolak (repellent) hama (Setiawati dan Asandhi, 2003). Tanaman tumpangsari dapat meningkatkan produksi tanaman dan pendapatan petani, serta menghindarkan kegagalan bagi satu jenis tanaman dengan menambahkan satu atau lebih jenis tanaman lain yang mempunyai sifat yang kompatibel (Eldriadi, 2011). Selain itu, tanaman tumpangsari juga bermanfaat dalam meningkatkan fungsi musuh alami untuk mengendalikan populasi hama dan pemanfaatan lahan secara optimal dengan sistem tumpangsari akan membawa keuntungan bagi petani, dengan meningkatnya produksi dan kegunaan lahan secara efisien. Penggunaan tanaman tumpangsari meningkatkan keanekaragaman tanaman di lapangan yang dapat menekan serangan hama dan meningkatkan kinerja musuh alami (Sullivan, 2003). Pengendalian dengan sistem tanam tumpangsari dengan tanaman budidaya dirasa sangat baik dan aman karena tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Menurut Stehr (1982), pola tanam dengan sistem tumpangsari berarti v Universitas Sumatera Utara memodifikasi ekosistem yang dapat memberikan beberapa keuntungan, yaitu (1) penjagaan fase musuh alami yang tidak aktif, (2) penjagaan keanekaragaman komunitas, (3) penyediaan inang alternatif, (4) pemyediaan makanan alami, (5) pembuatan tempat berlindung musuh alami dan (6) penggunaan insektisida yang selektif. Hama Pada Tanaman Cabai Merah Banyak jenis hama yang menyerang tanaman cabai merah sejak dari persemaian sampai panen. Namun demikian, sebenarnya hanya beberapa jenis hama saja yang merupakan hama utama. Hama utama adalah hama yang terus menerus merusak dan secara ekonomis merugikan, sehingga selalu perlu dilakukan tindakan pengendalian. Hama kedua adalah hama yang kadang-kadang merusak dan merugikan sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian. Pemahaman biologi dan ekologi hama utama dan kedua merupakan dasar dan langkah awal yang perlu dilakukan agar upaya pengendaliannya dapat berhasil dengan baik (Setiawati et al., 2005). vi Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Hama – hama yang menyerang tanaman cabai merah FASE PERTUMBUHAN Di persemaian/ sebelum tanam Fase Vegetatif Fase Generatif HAMA TANAMAN NAMA UMUM NAMA ILMIAH 1. Trips 1. T. Parvispinus 2. K utu daun persik 2. M. Persicae 3. T ungau teh kuning 3. P. latus 1. Ulat tanah 2. G angsir 3. A njing tanah 4. Uret 5. Ulat bawang 6. Ulat grayak 7. K utu daun persik 8. Trips 9. T ungau teh kuning 10. Kutu kebul 11. Wereng kapas 12. Lalat penggorok daun 1. A. ipsilon 2. B. portentotus 3. G. africnal 4. Phyllophaga spp. 5. S. exigua 6. S. litura 7. M. persicae 8. T. parvispinus 9. P. latus 10. B. tabaci 11. E. lybica 12. L. Huidobrensis 1. Ulat bawang 2. Ulat grayak 3. K utu daun persik 4. Trips 5. T ungau teh kuning 6. Kutu kebul 7. Wereng kapas 8. Lalat penggorok daun 9. Ulat buah tomat 10. Lalat buah 1. S. exigua 2. S. litura 3. M. persicae 4. T. parvispinus Karny 5. P. latus 6. B. tabaci 7. E. lybica 8. L. huidobrensis 9. H. armigera 10. B. dorsalis Fase Vegetatif Hama trips (Thrips parvispinus Karny) Trips menyerang tanaman cabai sepanjang tahun, serangan hebat umumnya terjadi pada musim kemarau. Serangga dewasa bersayap seperti jumbai (sisir bersisi dua), sedangkan nimfa tidak bersayap. Warna tubuh nimfa kuning pucat, sedangkan serangga dewasa berwarna kuning sampai coklat kehitaman. Panjang tubuh sekitar 0.8 – 0.9 mm. Daur hidup trips dari telur sampai dewasa di dataran rendah berkisar antara 7 – 12 hari. Tanaman inang trips lebih dari 105 jenis tanaman dari keluarga Cucurbitaceae, Solanaceae, Malvaceae dan Leguminoceae. Inang utama trips antara lain adalah tembakau, kopi, ubi jalar, v Universitas Sumatera Utara krotalaria dan kacang- kacangan. Permukaan bawah daun yang terserang berwarna keperak-perakan dan daun mengeriting atau berkerut. Intensitas serangan dapat mencapai 87% (Setiawati et al., 2005). Biologi Hama trips (Thrips parvispinus Karny) Klasifikasi trips menurut Direktorat Perlindungan Hortikultura (2013) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Thysanoptera Famili : Thripidae Genus : Thrips Spesies : Thrips parvispinus Karny Reproduksi trips tergolong tinggi, dan beberapa di antaranya mempunyai model reproduksi partenogenesis, beberapa arrhenotoky (partenogenesis dengan telur yang tidak dibuahi menjadi individu jantan haploid) dan thelytoky (partenogenesis dengan telur yang tidak dibuahi menjadi individu betina). Metamorfosis trips di antara tipe hemimetabola (sederhana) dan sempurna, karena melewati masa prapupa dan pupa yang inaktif. Jadi, dua tahap nimfa sifatnya aktif, diikuti oleh tahap ketiga yang disebut prapupa, dan tahap keempat yang berupa pupa (Sylvitria, 2010). Telur berbentuk oval atau bahkan mirip seperti ginjal manusia. Ukuran telurnya sangat kecil maka sering tak terlihat dengan mata telanjang. Telur ini diletakkannya dalam jumlah yang banyak, dengan rata-rata 80 butir tiap induk. vi Universitas Sumatera Utara Letak telur akan mudah diketahui dengan memperhatikan bekas tusukan pada bagian tanaman tersebut dan biasanya disekitar jaringan tersebut terdapat pembengkakan. Telur-telur ini akan menetas sekitar 3 atau 7 hari setelah peletakan oleh imago betina (Sylvitria, 2010). Gambar 2. Nimfa trips yang terdapat pada bunga cabai merah (Sumber: Foto langsung) Nimfa berwarna pucat, keputihan/kekuningan, instar 1 dan 2 aktif dan tidak bersayap. Nimfa yang tidak aktif berada di permukaan tanah. Pupa terbungkus kokon, terdapat di permukaan bawah daun dan di permukaan tanah sekitar tanaman. Perkembangan pupa menjadi trips muda meningkat pada kelembaban relatif rendah dan suhu relatif tinggi. Daur hidup sekitar 20 hari, di dataran rendah 7-12 hari dan hidup secara berkelompok (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2013). v Universitas Sumatera Utara Imago trips yang terdapat pada tanaman cabai merah (A) Imago Imago trips yang terdapat pada tanaman cabai merah (B) Gambar 3. Imago trips , A= Tampak atas, B= Tampak samping (Sumber: Foto langsung) Imago berukuran sangat kecil sekitar 1 mm, berwarna kuning sampai coklat kehitam-hitaman. Imago yang sudah tua berwarna agak kehitaman, berbercak-bercak merah atau bergaris-garis. Imago betina mempunyai 2 pasang sayap yang halus dan berumbai/jumbai seperti sisir bersisi dua. Pada musim vi Universitas Sumatera Utara kemarau populasi lebih tinggi dan akan berkurang bila terjadi hujan lebat. Umur stadium serangga dewasa dapat mencapai 20 hari (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2013). Gejala Serangan Dampak langsung serangan trips terdapat pada permukaan bawah daun berwarna keperak-perakan, daun mengeriting atau keriput. Secara tidak langsung trips merupakan vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting. Hama menyerang dengan menghisap cairan permukaan bawah daun dan atau bunga ditandai oleh bercak-bercak putih/keperak-perakan. Daun akan berubah warna menjadi coklat, mengeriting/keriput dan mati. Pada serangan berat daun, pucuk, serta tunas menggulung ke dalam dan timbul benjolan seperti tumor dan pertumbuhan tanaman terhambat, kerdil bahkan pucuk mati (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2013). Gambar 4. Daun tanaman cabai merah yang terserang hama trips berwarna keperakan dan mengeriting (Sumber: Foto langsung) v Universitas Sumatera Utara Beberapa spesies trips berperan sebagai hama penting, selain karena menimbulkan kerusakan akibat aktivitas makan. Gejala serangan trips amat khas. Daun yang terserang biasanya akan berwarna kekuning-kuningan, berbintik-bintik coklat, saling mengatup, dan berubah bentuk (malformasi) (Sylvitria, 2010). Fase Generatif Hama Lalat buah (Bactrocera dorsalis (HENDEL)) Lalat buah dapat menyerang banyak tanaman hortikultura terutama sayursayuran dan buah- buahan, sehingga sulit sekali untuk dikendalikan. Akibat serangan hama lalat buah produksi dan mutu buah cabai menjadi rendah, bahkan tidak jarang mengakibatkan gagal panen, karena buah menjadi busuk dan berjatuhan ke tanah. Lalat buah termasuk hama yang poliphagous atau mempunyai banyak tanaman inang alternatif, jika tanaman utamanya sedang tidak berbuah. Tanaman inang hama lalat buah selain cabai ialah nangka, belimbing, mangga, tomat, melon, pepaya, mentimun, paria dll. Lalat buah dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap 150 spesies tanaman buah dan sayursayuran baik di daerah tropis maupun daerah subtropis (Hasyim, 2014). Biologi Hama Lalat buah (Bactrocera dorsalis (HENDEL)) Klasifikasi lalat buah menurut Direktorat Perlindungan Hortikultura (2013) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Famili : Tephritidae vi Universitas Sumatera Utara Genus : Bactrocera Spesies : Bactrocera dorsalis (HENDEL) Telur lalat buah diletakkan secara berkelompok. Lalat buah betina dapat meletakkan telur 1-40 butir/hari yang diletakkan pada buah di tempat yang terlindung dan tidak terkena sinar matahari langsung serta pada buah-buah yang agak lunak dan permukaannya agak kasar (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2000). Larva terdiri atas 3 instar. Larva hidup dan berkembang di dalam daging buah selama 6-9 hari. Pada instar ke tiga menjelang pupa, larva akan keluar dari dalam buah melalui lubang kecil. Setelah berada di permukaan kulit buah, larva akan melentingkan tubuh, menjatuhkan diri dan masuk ke dalam tanah. Di dalam tanah larva menjadi pupa (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2000). Gambar 5. Lalat buah dewasa pada tanaman cabai merah (Sumber: Foto langsung) Pupa pada awalnya berwarna putih, kemudian berubah menjadi kekuningan dan akhirnya menjadi coklat kemerahan. Masa pupa berkisar antara 4- v Universitas Sumatera Utara 10 hari. Pupa berada di dalam tanah atau pasir pada kedalaman 2-3 cm di bawah permukaan tanah atau pasir. Setelah 6 -13 hari, pupa menjadi imago (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2013). Gejala Serangan Lalat buah betina menyerang buah cabai dengan cara menusukkan ovipositornya ke dalam buah cabai. Gejala serangan pada buah yang terserang lalat buah, ditandai dengan adanya noda-noda kecil bekas tusukan ovipositor. Buah yang baru ditusuk akan sulit dikenali karena hanya ditandai dengan titik hitam yang kecil sekali. Telur menetas menjadi belatung dan memakan bagian dalam buah cabai. Kerusakan pada daging buah bagian dalam tidak dapat dilihat, karena permukaan buah tetap mulus. Namun, apabila buah cabai di belah, maka akan terlihat biji-biji berwarna hitam, daging buah busuk, lunak, dan ada belatung yang merupakan larva lalat buah. Luka tusukan lalat buah dapat menyebabkan masuknya infeksi sekunder berupa penyakit busuk buah, baik dari cendawan maupun bakteri. Pada tingkat serangan parah, buah cabai banyak yang busuk dan rontok (Hasyim, 2014). A B vi Universitas Sumatera Utara Gambar 6. Gejala serangan lalat buah pada tanaman cabai merah, A= buah cabai merah yang rusak, B= buah cabai merah yang gugur dan membusuk (Sumber: Foto langsung) Serangan hama tersebut dapat menyebabkan buah menjadi rusak dan busuk karena perilaku lalat buah betina meletakkan telur, pada buah, kemudian telur menetas menjadi larva dan memakan daging buah, selanjutnya buah akan gugur sebelum waktunya (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2002). Di lapangan hama ini merusak buah yang masih segar, dari buah muda sampai dengan buah menjelang masak. Gejala serangan pada buah yang terinfestasi lalat buah ditandai dengan adanya noda-noda kecil bekas tusukan ovipositornya. Periode telur berlangsung sekitar 2–3 hari. Larva kemudian memakan daging buah sehingga mengakibatkan buah berwarna coklat kehitaman dan akhirnya buah busuk dan sering gugur. Kerusakan akibat serangan lalat buah berkisar antara 12 – 20% pada musim kemarau dan pada musim penghujan dapat mencapai 100% (Setiawati et al., 2005). v Universitas Sumatera Utara