BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Manajemen Pendidikan Dalam Kaitannya Dengan Kesenjangan Gender Usaha pembahasan secara bermakna tentang dinamika relasi kepemimpinan pendidikan dengan manajemen pendidikan, selanjutnya dikaitkan dengan prespektif gender, bukanlah suatu yang mudah. Istilah kepemimpinan pendidikan dan manajemen pendidikan memang dalam praktek sehari-hari merupakan dua konsep yang sering dipertentangkan. Seringkali pengertian kepemimpinan dan manajemen disamakan oleh banyak orang, namun ada pula yang membedakan pengertian keduanya. Jhon Kotter dalam (Robins, 2006) berpendapat bahwa kepemimpinan berbeda dari manajemen. Menurutnya manajemen berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi kerumitan. Artinya menghasilkan menyusun tata manajemen tertib dan rencana-rencana yang baik konsistensi formal, dapat dengan merancang struktur organisasi yang ketat dan memantau hasil lewat pembandingan terhadap rencana yang telah 15 ditetapkan sebelumnya. Sedangkan kepemimpinan sebaliknya, berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi perubahan. Artinya pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian mengkomunikasikannya kepada setiap orang dan menginspirasi orang-orang tersebut dalam menghadapi segala rintangan. Sehingga Kotter menganggap, baik kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat merupakan faktor penting bagi optimalisasi efektifitas organisasi. Lebih lanjut mengungkapkan dengan visi (Bush bahwa dan dan Coleman, kepemimpinan nilai, sedangkan 2006) diidentikan manajemen diidentikan dengan proses yang berkaitan dengan struktur. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa manajemen pendidikan adalah suatu proses pengembangan kegiatan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang akan ditetapkan. Proses pelaksanaan kelompok tersebut mencakup perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating) dan pengawasan (controlling), yang kesemuanya merupakan rangkaian kegiatan secara utuh (Mulyasa 2007;Lazaruth 1988). Sayangnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh (Owens,1995) tentang pelaksanaan manajemen di sekolah seringkali 16 masih bersifat birokratis, atau dilaksanakan layaknya mengelolah sebuah pabrik dalam rutinitas sehari-hari. Jika dalam pelaksanaan manajemen pendidikan seperti demikian berarti telah merendahkan manajemen pendidikan itu sendiri, pada waktu yang sama juga menghalangi diterapkannya pengembangan ke- pemimpinan pendidikan yang benar. Oleh karena itu, sudah seharusnya seorang kepala sekolah tidak hanya berperan sebagai pemimpin pendidikan yang baik, namun sekaligus juga seorang manajer dengan kinerja yang bagus. Paradigma baru manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas secara efektif dan efisien, sesungguhnya perlu didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pengembangan kualitas SDM tidak hanya sekedar meningkatkan kemampuan, namun juga menyangkut pemanfaatan kemampuan, proses pengembangan SDM tersebut seharusnya juga dapat menyentuh berbagai aspek kehidupan sekolah yang tercermin pada kepribadian pemimpin pendidikan terutama kepala sekolah. Menurut (Mulyasa, 2007) seorang kepala sekolah sangat berperan penting dalam lembaga pendidikan karena Kepala sekolah adalah sebagai motor penggerak sekaligus penentu arah kebijakan sekolah yang akan 17 menentukan cara pencapaian tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan. Oleh karena itu kepala sekolah harus mengetahui dengan pasti tugasnya sebagai seorang kepala sekolah. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006) tugas kepala sekolah dapat digolongkan menjadi tujuh bidang yaitu: 1. Sebagai Educator (pendidik) Kepala sekolah sebagai pendidik harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan disekolahnya. Kepala sekolah dapat menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberi nasehat kepada warga sekolah, dan memberi dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan. Kepala sekolah juga harus berusaha menanamkan, memajukan dan meningkatkan sedikitnya empat nilai, yaitu pembinaan mental, pembinaan moral, pembinaan fisik, pembinaan artistik. Sebagai edukator, kepala sekolah wajib menjalankan tugasnya yaitu: (1) mengikutsertakan para guru dalam kegiatan ilmiah, seperti workshop, pelatihan, seminar, dan penataran. Hal tersebut harus dilakukan oleh kepala sekolah agar dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan guru. (2) Menggerakkan tim evaluasi hasil belajar 18 peserta didik untuk lebih giat bekarja, dan hasilnya diumumkan secara terbuka. (3) menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah. 2. Sebagai Manajer Tugas kepala sekolah sebagai manajer yaitu: (1) memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau kooperatif untuk meningkatkan tenaga profesional di lingkungan sekolah. (2) memberi kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya. (3) mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan pada setiap kegiatan. 3. Sebagai Administrator. Kepala sekolah sebagai administrator memiliki hubungan yang sangat erat dengan berbagai aktivitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, pendokumentasian penyusunan seluruh program dan sekolah. Secara spesifik, kepala sekolah harus memiliki kemampuan administrasi untuk mengelola kurikulum, didik, administrasi peserta personalia, administrasi sarana dan prasarana, administrasi kearsipan, dan administrasi 19 keuangan. Untuk menjalankan tugas sebagai administrator, kepala sekolah kini harus bisa mengembangkan modern layanan guna administrasi. betul-betul berbasis memudahkan Sehingga tampak teknologi pengelolaan administrasi profesional dan sekolah berjalan secara efektif dan efesien. 4. Sebagai Supervisor Tugas kepala sekolah sebagai supervisor yaitu memberi masukan kepada tenaga kependidikan yang masih dirasa perlu dibenahi, dibina dan ditingkatkan kemampuan dan ketrampilannya. Tindakan ini perlu dilakukan untuk mencegah agar para tenaga kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati melaksanakan pekerjaannya. 5. Sebagai Leader Kepala sekolah sebagai leader membutuhkan karakteristik khusus, yaitu (1). memiliki kepribadian mantap, seperti (jujur, percaya diri, tanggung-jawab, berani mengambil resiko dan keputusan, berjiwa besar, emosi yang stabil dan teladan). (2) Memiliki keahlian dasar, seperti (memahami kondisi tenaga kependidikan, 20 tahu kondisi dan karakteristik peserta didik, menyusun program pengambangan tenaga kependidikan, menerima masukan, saran kritik dari pihak lain. (3) memiliki pengalaman dan pengetahuan profesional, serta (4). Memiliki pengetahuan administrasi dan pengawasan. 6. Sebagai Innovator Sebagai innovator, kepala sekolah harus memiliki staregi yang tepat untuk menjalin hubungan harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan model-model pembelajaran yang innovatif. Kepala sekolah sebagai innovator akan terlihat dari bagaimana ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan objektif, pragmatis, keteladanan, adaptable dan fleksibel. Sebagai innovator juga harus mampu mencari, menemukan dan melaksanakan berbagai pembaruan di sekolah. 7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah 21 seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirausahaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam halhal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya. Bila dihubungkan dengan perspektif gender, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan manajemen pendidikan dikaitkan dengan data dan masalah kesenjangan gender dalam kepemimpinan pendidikan. Arti dari kesenjangan gender dalam konteks ini, adalah menunjuk kepada fakta yang timpang, tidak seimbang atau adanya gap antara lakilaki dan perempuan berkaitan dengan representasi atau keterwakilan, cara menghadirkan diri maupun munculnya berbagai dampak negatif kesenjangan gender. Menurut (Chliwniak,1997) terjadinya gap antara laki–laki dan pendidikan menjelaskan perempuan dipengaruhi rendahnya di oleh bidang tiga kepemimpinan manajemen model yang perempuan dalam organisasi pendidikan. Pertama, Individual or Meritocrasy model/model individual atau model 22 kepantasan. Model ini menekankan kepada keberadaan perempuan dan model penghargaan yang pantas atau kepatutan menjadi perempuan penyebab itu adanya sendiri yang kesenjangan dianggap gender di bidang kepemimpinan. Model ini mempunyai tekanan atau berorientasi kepada aspek psikis, misalnya: sifatsifat pribadi, ciri–ciri pribadi, kemampuan atau kualitas diri. Demikian juga sikap pribadi yang tercermin pada citra diri serta rasa percaya diri, motivasi, aspirasi kesemuanya termasuk pada model ini. Pendapat yang melatar-belakangi model ini adalah adanya anggapan bahwa perempuan tidak cukup tegas, tidak menginginkan kekuasaan, kurang percaya diri, tidak memiliki aspirasi untuk posisi kepemimpinan, tidak menghendaki terlibat dalam permainan maupun kerja di dalam sistem. Disamping itu mereka tidak melamar menjadi pemimpin pendidikan. Keyakinan bahwa tidak menginginkan kekuasaan mungkin bukan berkaitan dengan tidak ingin mempunyai kekuasaan, tetapi sebetulnya berhubungan dengan bagaimana mereka memandang kekuasaan tersebut. Cara perempuan menggunakan kekuasaannya ternyata memang cukup berbeda dengan cara laki–laki menggunakan kekuasaanya. Perempuan menggunakan kekuasaan bukan untuk menguasai orang lain, tetapi cenderung untuk memberdayakan orang lain. 23 Kedua, Organizational or discrimination model/ model perspektif organisasi atau model diskriminasi. Model ini berfokus kepada sistem pendidikan. Adanya perbedaan aspirasi karier dan berbagai pencapaian pekerjaan antara laki – laki dan perempuan, menurut model ini, merupakan suatu akibat dari kesempatan yang terbatas yang dihadapi oleh perempuan. Model ini menjelaskan bagaimana struktur organisasi pendidikan telah perempuan. Kelihatannya laki–laki dan praktek mendiskriminasi memang lebih diuntungkan dan diunggulkan dalam praktik promosi ke aras yang lebih tinggi karena mereka sering mendapat perlakuan istimewa, sementara perempuan sulit mencapai aras lebih tinggi meskipun mereka sudah berusaha dengan sungguh-sungguh. Ketiga, woman’s place or social perspective model/model tempat perempuan atau model perspektif sosial. Model ini menekankan kepada norma budaya dan sosial. Norma budaya dan sosial diidentifikasi telah mendorong terjadinya praktek diskriminasi kepada perempuan. Norma–norma, cerita rakyat dan aturan sosial ternyata bersesuaian dengan pola sosialisasi yang mengarahkan baik laki–laki maupun perempuan kepada perbedaan bidang kerja maupun perbedaan status dan upah. 24 2.2.Teori Pembagian Kerja Berbasis Gender Salah satu kesenjangan faktor gender, signifikan adalah dari karena fenomena ada fakta pembagian kerja berbasis gender. Untuk menjelaskan adanya pembagian kerja berbasis gender, akan dipilih tiga teori dasar yang dapat digunakan, yaitu nature, nurture dan fungsional a. Teori Nature Dan Nurture Teori ini pada gilirannya juga digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan posisi atau kedudukan, peran dan sifat-sifat dari laki-laki dan perempuan. Pertama, menurut teori nature, realita adanya perbedaan biologis atau seks merupakan suatu kodrat. Menurut (Zimbalist,1984) dalam pengamatannya terhadap berbagai kelompok manusia, mengungkapkan bahwa pada umumnya perempuan mempunyai kedudukan sebagai ibu, yang erat kaitannya dengan mata rantai reproduksi. Berkaitan dengan keadaan tersebut, maka peran perempuan dibatasi terutama untuk urusan domestik, yaitu yang berkaitan dengan rumahtangga, yang berhubungan dengan anak dan sebagai istri. Sehingga pada akhirnya hampir tidak ada atau sedikit sekali perempuan memiliki peran dalam dunia publik. Dengan adanya pemikiran mengenai citra perempuan tersebut, maka berkembanglah aturan dan adat istiadat yang berbasis kepada perbedaan biologis 25 alami atau nature tersebut. Sementara untuk laki-laki dengan kodrat memperlihatkan biologis yang kekuatan, dimilikinya ketegaran bahkan kekerasan. Dengan kodrat tersebut, laki-laki dibentuk dengan peran selalu berada di dunia publik yang keras dan kompleks. Laki-laki yang selalu membuat kontakkontak dengan dunia luas, dengan kedudukan lebih tinggi dari perempuan, sekaligus untuk melindungi perempuan sebagai istri dan anak-anak yang lemah. Sehingga pada saat yang sama kedudukan perempuan disubordinasikan di bawah laki-laki. Kedua, teori nurture. Pada hakekatnya teori ini bertentangan dengan teori nature, atau teori kodrat. Teori ini mengungkapkan bahwa realita biologis tidak menyebabkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan, pemilihan sektor domestik dan publik, sekaligus pengunggulan terhadap masing-masing jenis kelamin dengan lingkungan (Sanderson,1995). Pembedaan sifat dan sikap yang dianggap kelaki-lakian dan keperempuanan juga merupakan rekayasa lingkungan sosial, hasil pemupukan proses sosialiasi atau melalui usaha pendidikan. Menurut (Budiman,1985), kedudukan maupun peran di satu sisi merupakan usaha buatan yang direncanakan, hasil kombinasi antara tekanan dan paksaan dengan rangsangan yang tidak wajar. Di sisi lain, upaya tersebut menyesatkan, khususnya untuk perempuan. 26 b. Teori Fungsionalis: Keserasian Rumah Tangga Dan Masyarakat. Teori fungsionalis diungkapkan di sini karena dianggap mempunyai kaitan dengan kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Teori ini berpendapat bahwa pembagian kerja berbasis kebutuhan masyarakat gender dan merupakan diciptakan untuk masyarakat secara keseluruhan (Budiman,1985). Teori ini pada hakikatnya merupakan upaya bantahan terhadap teori Freudian yang secara tidak langsung menyatakan bahwa pembagian kerja berdasar perbedaan gender merupakan akibat wajar dari “kodrat perempuan” itu sendiri, yang membuat perempuan jadi kurang aktif dibanding dengan laki-laki. Kaum fungsionalis memerikan perhatian kepada fungsi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat, khusunya dalam keluarga inti. Menurut Talcot Parson (dalam Budiman,1985), untuk mengerjakan fungsi perempuan pekerjaan-pekerjaan adalah rumah- tangga. Dengan cara itu maka ditiadakan kemungkinan terjadinya persaingan antara suami dan isteri. Adanya pembagian fungsi yang jelas, laki-laki sebagai suami harus mengembangkan kariernya di luar rumah. Isteri boleh bekerja di luar rumah, tapi seharusnya tidak merupakan kariernya. Menurut Murdock (dalam Budiman,1985), pembagian kerja berbasis gender akan 27 memberi rasa tenang bagi keduanya dalam keluarga, dan sekaligus menjadi tonggak penopang bagi keserasian (harmoni) masyarakat. 2.3 Model–Model Kesenjangan Gender Dan Dampaknya Masalah utama yang berkaitan dengan fenomena gender di Indonesia adalah karena masyarakat kita menganut hukum hegemoni patriarkhi (Handayani dan Sudiarti,2002). Sistem patriarkhi menggambarkan dominasi laki – laki atas perempuan dan anak–anak di dalam keluarga (Russel, 1996), dominasi tersebut berlanjut di semua ruang lingkup kehidupan masyarakat. Patriarkhi adalah konsep bahwa laki–laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, antara lain di bidang pemerintahan, militer, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama, termasuk bidang pendidikan. Hukum hegemoni patriarkhi ternyata juga telah menyebabkan timbulnya berbagai masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Penjabarkan hal ini akan dijelaskan melalui model terjadinya kesenjangan/ “gender gap”, dan dampak ketidakadilan gender yang terutama dialami oleh perempuan. (Chliwniak,1997), mengemukakan bahwa ada tiga model yang menjelaskan rendahnya kepemimpinan 28 perempuan dalam organisasi pendidikan. Pertama, Individual or Meritocrasy model/ model individual atau model kepantasan. Model ini menekankan kepada keberadaan perempuan dan model penghargaan yang pantas atau kepatutan, dimana perempuan sendiri yang dianggap menjadi penyebab adanya kesenjangan gender di bidang kepemimpinan. Model ini berorientasi kepada aspek psikis, misalnya: sifat-sifat pribadi, cirriciri pribadi, kemampuan atau kualitas diri, rasa percaya diri, motivasi, dan harapan. Pendapat yang melatar-belakangi model ini adalah adanya anggapan bahwa perempuan tidak cukup tegas, tidak menginginkan kekuasaan, kurang percaya diri, tidak memiliki harapan untuk posisi kepemimpinan, dan mereka menolak untuk melamar menjadi pemimpin pendidikan. Kedua, Organiztional or Discrimination Model/ model perspektif organisasi atau model diskriminasi. Model ini berfokus kepada sistim pendidikan. Adanya perbedaan harapan tentang karier dan berbagai pencapaian pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Model ini menjelaskan bagaimana struktur dan praktek organisasi pendidikan telah perempuan. Kelihatannya laki-laki mendiskriminasi memang lebih diutungkan dan diunggulkan dalam praktek promosi ke aras yang lebih tinggi karena mereka sering mendapat 29 perlakuan istimewa, sementara perempuan mencapai aras lebih tinggi meskipun sulit mereka sudah berusaha dengan sungguh-sungguh. Ketiga, Woman’s place or social perspective model/ model tempat perempuan atau model perspektif sosial. Model ini menekankan kepada norma budaya dan sosial. Norma budaya dan sosial diidentifikasi telah mendorong terjadinya praktek diskriminasi kepada perempuan. 2.3.1.Teori Ketidakadilan Gender Di samping model kesenjangan gender yang diungkap Chliwniak perempuan juga di dapat atas, penyisihan diidentifikasi kepada oleh teori ketidakadilan gender. Sebetulnya sistim dan struktur yang tidak adil gender tidak hanya merugikan perempuan namun juga laki–laki. Meskipun demikian rupanya perempuan lebih mengalami dampak negatif yang parah. Beberapa teori ketidakadilan gender dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. Menyisihkan hak – hak perempuan Ada beberapa mekanisme proses penyisihan hak– hak perempuan karena perbedaan gender. Misalnya, karena kekuasaan atau kebijakan pemerintah, keyakinan pada tradisi, melanjutkan kebiasaan dan asumsi ilmu pengetahuan. Contohnya, diterapkan 30 revolusi hijau yang memfokuskan pada pengembangan pertanian yang ditangani oleh laki–laki mengakibatkan perempuan tersisih dan menjadi miskin. Untuk para guru taman kanak–kanak dan pekerja pabrik, perempuan biasanya diberi upah yang rendah. Adanya anggapan bahwa perempuan sebagai istri harus bekerja di bidang domestik menyebabkan banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk bekerja dan menerima upah di sektor publik, misalnya di bidang ekonomi, politik, maupun pendidikan. Hal ini juga menjadikan perempuan tergantung secara ekonomi kepada suaminya (Yaqin,2005). b. Gender dan Subordinasi Pelaksanaan peran gender cenderung menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi karena adanya menempatkannya realita pada “dominasi”, “posisi nomor dan dua/sub- ordinasi”. Hal ini terjadi karena faktor –faktor yang telah terkonstruksi secara sosial. Ada anggapan bahwa perempuan irasional dan emosional sehingga tidak mampu tampil sebagai pemimpin. Oleh karena itu muncul sikap untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak penting. Bentuk sub-ordinasi yang sangat menonjol misalnya semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai “pekerjaan rumah tangga” yang dilakukan oleh perempuan dianggap lebih rendah dari 31 “pekerjaan produksi” yang dikuasai atau didominasi oleh laki–laki (Mutali’in,2001) c. Gender dan “triple peran” Pada masyarakat Indonesia, perempuan sebagai istri harus mengerjakan berbagai pekerjaan dalam rumah tangga. perkembangan Meskipun keadaan pembangunan, demikian, terutama untuk perempuan dalam mengisi juga harus menyumbangkan tenaganya sekaligus mencari nafkah bagi keluarga, namun perannya hanya dihargai sebagai pencari nafkah tambahan. Akibatnya, perempuan harus berperan sebagai istri sekaligus ibu, pengelola rumah tangga, dan sebagai tenaga kerja; perempuan harus berperan rangkap tiga atau juga disebut sebagai “triple peran”. Curahan waktu dan tenaga yang dihabiskan oleh perempuan untuk mengerjakan tiga bidang pekerjaan dibandingkan tersebut jauh lebih berat dengan laki–laki. Meskipun demikian, secara ekonomi dan secara sosial statusnya di dalam masyarakat dianggap kurang berharga dan rendah (Mutali’in 2001,Handayani dan Sugiaarti,2002). d. Gender dan pelabelan Pemberian label tertentu atau peran stereotip kepada perempuan merupakan tindakan dan tidak laki–laki, adil dan juga sering diskriminatif 32 terutama yang berkaitan dengan penandaan citra negatif kepada perempuan. Misalnya terdapat anggapan budaya bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut, sabar, tekun, penurut, emosional, irasional, keibuan, cantik. Oleh karena itu, perempuan identik dengan pekerjaan–pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga. Misalnya Pembantu Rumah Tangga (PRT), perawat, sekretaris, pengasuh, guru TK, pengelola salon kecantikan. Dengan demikian peluang perempuan untuk bekerja di luar bidang–bidang yang sudah ditentukan atau dilabelkan menjadi terbatas, dianggap “sebagai bukan pekerjaan perempuan”, atau setidaknya mereka kecurigaan terhadap mengalami prasangka kompetensi yang dan dimiliki (Handayani dan Sugiarti,2002). Dari paparan mengenai pembagian kerja berbasis gender dengan memanfaatkan teori yang relevan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kehidupan perempuan terutama diharapkan untuk melayani dan berorientasi ke dunia domestik menyebabkan ia tidak terlalu cocok untuk fungsi memberikan bimbingan, mengajar dan memimpin kehidupan publik maupun untuk fungsi hal–hal yang penting bagi suatu kelompok orang. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dalam kepemimpinan pendidikan, suatu peran dan kedudukan yang berorientasi kepada arena publik, sekaligus mengarahkan dan memimpin suatu 33 organisasi; kehadiran dan peran perempuan “kurang dianggap sah” dan kurang diterima dibandingkan dengan laki–laki. Keengganan komunitas pendidikan untuk menerima peran kepemimpinan perempuan dan sekaligus menduduki tempat yang dianggap signifikan, mungkin ada dasarnya, tetapi keadaan tersebut sebetulnya bersumber kepada kesempatan yang kurang dan lingkungan yang ada, dan bukan pada soal hakiki yang menyangkut potensi dan bakat perempuan. Model–model kesenjangan gender yang diungkap oleh Chliwniak dan dipadu dengan teori dampak bias gender, serta hegemoni petriarkhi yang banyak disorot pada konteks Indonesia, tentu saja menjadi acuan yang berharga penelitian bagi analisa yang kesenjangan dilakukan. Baik gender secara untuk langsung ataupun tidak, apa yang diutarakan di atas pasti ada pengaruhnya pada bidang kepemimpinan pendidikan. Untuk mengatasi kesenjangan gender di bidang pendidikan memang merupakan tugas yang sulit. Meskipun demikian, pemahaman terhadap berbagai teori dan model–model yang dikemukakan, kiranya dapat memandu untuk melihat berbagai sisi dari kehidupan para korban dan kerugian organisasi, yang seharusnya tidak terjadi di bidang pendidikan. Melalui penelitian ini, analisa penyebab permasalahan akan dilakukan dengan “pisau bedah” teori–teori maupun model atau contoh yang telah 34 dikemukakan. Pada akhirnya diharapkan dapat menawarkan alternatif ataupun solusi, supaya bidang pendidikan menjadi arena pelayanan dan karya yang lebih adil, setara dan menghargai hak–hak asasi manusia. Penelitian pendidikan ini dilakukan karena tanggungjawab kepada masyarakat dalam penyediaan kualitas layanan, pada giliranya juga ingin merumuskan cara–cara untuk meningkatkan mutu layanan dengan menghilangkan dampak ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Pola pikir yang tidak tepat berimplikasi kompleks sehingga guru-guru perempuan tidak berkembang untuk menjadi lebih lagi dari pada hanya profesi seorang guru. Perempuan sendiri yang tidak yakin dengan kemampuan mereka, pola pikir mereka masih sangat kental terhadap budaya patriakal, menganggap bahwa laki-laki lebih pantas mereka untuk menjadi pemimpin, sedangkan perempuan lebih baik hanya ada di bawah laki-laki dan perempuan juga harus tahu tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga, oleh sebab itu untuk dapat mengakses kemampuan mereka pada level yang lebih tinggi, guru perempuan sudah tidak memiliki motivasi dari dalam diri. Seperti yang telah di paparkan di atas bahwa pengaruh budaya masih sangat kental dalam perspektif dan perilaku sebagian guru-guru perempuan di kota 35 Ambon. Namun dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman pemikiran dan tatanan masyarakat tentang budaya pemikiran patriakhal modern dan mulai beralih menjadikan kepada kedudukan perempuan bukan lagi sebagai golongan “kelas dua” yang harus hidup di ruang domestik, melainkan telah menjadikan perempuan sebagai orang-orang dapat mengakses kesempatan yang mengembangkan kariernya pada ruang publik. 36