KERAJAAN TELLU LIMPOE DAN PITU LIMPOE ABAD XVII MEMBENDUNG ARUS ISLAMISASI THE KINGDOMS OF TELLU LIMPOE AND PITU LIMPOE IN XVII CENTURY IN DAMING UP THE FLOW OF ISLAMIZATION Muh. Subair Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar Jalan A. P. Pettarani No. 72 Makassar, 90222 Telepon (0411) 452952 Faksimile (0411) 452982 Pos-el: [email protected] atau [email protected] Diterima: 14 Februari 2014; Direvisi: 26 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT This study aims to know the kingdoms existed in Sinjai and to know the process of islamization on that area. This study is conducted through some stages, sych as: (1) collecting historical data related to the problem of this study, (2) conducting the data or sources criticism that has been collected, and (3) arranging and interpretating the data then performing the writing. The study result shows that there were ten kingdoms in Sinjai the seventeenth century, including the Kingdoms of Tellu Limpoe and Pitu Limpoe. The Kingdoms of Tellu Limpoe is the union of the Kingdoms of Tondong, Bulo-Bulo, and Lamatti, while the Kingdom of Pitu Limpoe is the fellowship of the Kingdoms of Turungeng, Manimpahoi, Terasa, Manipi, Suka and Balasuka. Islam entered into the Kingdom of Tellu Limpoe Sinjai in 1607 prechristian, which started since the development of Islam in Tiro (Bulukumba) by Datuk ri Tiro. The kings and the palacemen who accepted Islam continue the development efforts of Islam into Sinjai societies. The Islamization of Sinjai kingdoms were from three streams, namely: Datuk ri Tiro, Datuk ri Bandang from Gowa, and Laming Wali Pute from Bone. Keywords: Islamization, the Kingdom of Tellu Limpoe, the Kingdom of Pitu Limpoe ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Sinjai dan untuk mengetahui proses islamisasi di wilayah tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, antara lain: (1) mengadakan pengumpulan data historis yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, (2) melakukan kritik data atau sumber yang telah dikumpulkan, dan (3) menyusun dan menginterprretasi data untuk selanjutnya melakukan penulisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sepuluh kerajaan di Sinjai pada abad XVII, termasuk Kerajaan Tellu Limpoe dan Pitu Limpoe. Kerajaan Tellu Limpoe adalah perserikatan dari Kerajaan Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti, sedangkan Pitu Limpoe adalah persekutuan dari Kerajaan Turungeng, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Balasuka. Islam masuk di Kerajaan Tellu Limpoe Sinjai pada tahun 1607 M, yaitu dimulai sejak berkembangnya agama Islam di Tiro (Bulukumba) oleh Datuk ri Tiro. Raja-raja dan pemuka istana yang menerima Islam melanjutkan usaha pengembangan Islam ke masyarakat Sinjai. Islamisasi kerajaan-kerajaan di Sinjai berasal dari tiga sumber, yaitu: Datuk ri Tiro, Datuk ri Bandang dari Gowa, dan Laming Wali Pute dari Bone. Kata kunci: Islamisasi, KerajaanTellu Limpoe, Kerajaan Pitu Limpoe PENDAHULUAN Bahwa kehidupan dunia dewasa ini sedang mengalami detradisionalisasi, di mana tradisitradisi etnik pada proses-proses berbangsa tidak lagi dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan. Etnik-etnik kemudian terpinggirkan ke citra “primitive” dan tradisi-tradisinya yang dahulu dimanfaatkan untuk kehidupan bersama pada akhirnya ditinggalkan. Sisi excellence (keunggulan) dan virtue (kebajikan) dari eksistensi tradisi etnik tidak lagi dijadikan sebagai tempat berpaling (Giddens, 2013). Kesadaran ini kemudian membangkitkan semangat untuk menggali kembali nilai-nilai tradisi etnik yang 171 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 171—181 excellence dan virtue sebagaimana tercermin dalam sejarah bangsa di masa silam. Pengkajian terhadap sejarah pun menjadi penting untuk dijadikan sebagai pelajaran dan sebagai bahan untuk melestarikan tradisi tersebut. Karena itu, tulisan ini berupaya memotret peristiwa sejarah Islam yang sarat dengan pesan dan tradisi keagamaan yang patut dilestrikan. Pada abad IX para ahli bumi Arab sudah mulai menyebut adanya Kepulauan Nusantara (wilayah Indonesia) di dalam tulisan-tulisan mereka, bahkan dalam tarikh Cina pada tahun 674 M (abad XVII), tersebut suatu catatan tentang seorang pemimpin Arab yang mengepalai orang-orang Arab yang menetap di Pantai Barat Sumatera, rombongan ini ditengarai telah memperkenalkan ajaran agama Islam kepada penduduk di mana mereka berada (Oesman, 1982:18). Sumber lain menyebutkan bahwa; Syekh Syamsuddin Ubaidillah Mihammad bin Thalib ad-Dimasyqy dalam bukunya Nukhbatu d-dahr, mengatakan bahwa Islam masuk di Kepulauan Nusantara pada 30 H. Pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Hal ini sejalan dengan tulisan Cina Muslim bernama Badaruddin dalam bukunya al-alaqaat bahwa utusan Arab datang ke Ibu Kota Cina pada tahun 651M. dan menghadap penguasa Cina lalu menceritakan bahwa “PenguasaKhalifah mereka bergelar amirul-mukminin dan negara mereka berdiri sejak 24 tahun lalu yang sudah mengalami pergantian Kahlifah tiga kali (Khalifah yang bergelar amairul-mukminin adalah Umar bin Khattab dan Khalifah III yaitu Utsman bin Affan). Utusan ini datang dari Arab ke Cina melalui Kepulauan Nusantara. Sayed Alwi bin Thahir al-Haddad dalam almudkhil LOD WDULNKL O,VODP ¿ V\DUTLO DTVKR mengatakan bahwa perdagangan antara Hindia ke Cina berada di tangan orang-orang Arab ketika itu (651 M). Keterangan ini mendukung pendapat yang mengatakan bahwa Islam masuk di Nusantara sejak tahun 30 H (Shihab dalam Ahmad, 1982:2728). Masuknya Islam di Nusantara pada tahun 30 H tidaklah mengherankan sebab jauh sebelum itu, sudah ramai lalu lintas perdagangan antara Arab, India dan Cina, sebagaimana pada abad VIII sudah banyak pedagang Arab yang ditemui di Canton (Arnold,1981:317). Di Sulawesi terutama bagian selatannya pada abad-XVI mulai didatangi pedagang Muslim, dari Malaka, Jawa dan Sumatera. 172 Meskipun disebutkaan pada awal abad-XVI di Sulawesi telah banyak sekali kerajaan-kerajaan yang menurut Tome Pires lebih kurang 50 jumlahnya, yang masih menganut berhala, atau belum menjadikan Islam sebagai agama kerajaan (Cortesao, 1944: 226). Pada tahun 1309 seorang sayyid bersama 15 orang rombongannya datang di daerah Bugis (Wajo, Tosora) Sulawesi Selatan dan meninggal di sana pada tahun 1320 M. Sayyid tersebut bernama Sayyid Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Pajajaran atas undangan raja yang masih beragama Budha waktu itu bernama Prabu Wijaya (1293-1309) (Assaqafah, dalam Hamid dkk, 2002:87). Meskipun tidak disebutkan tujuannya, namun sudah dimaklumi jika seorang sayyid mendatangi suatu daerah, tentu akan memberi pengaruh terhadap masyarakat di daerah tersebut, terutama pengaruh keyakinan terhadap agama Islam yang selalu melekat pada diri setiap muslim untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa Sayyid Jamaluddin Akbar Al-Husaini telah melakukan dakwah atau penyebaran Islam selama keberadaannya di Tosora. Demikian pula pada tahun 1580 Sultan Babullah dari Kesultanan Ternate telah datang di kerajaan Makassar (gabungan dari Kerajaan Gowa Tallo) dan mengajak Raja Makassar Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo’ (1565-1590) untuk memeluk Islam. Tetapi ajakan Sultan Babullah itu ditolak oleh Karaeng Bontolangkasa Tunijallo’ dan disebutkan bahwa salah satu pertimbangan penolokan itu karena adanya ketakutan raja Makassar untuk tunduk terhadap kesultanan Ternate. Meskipun begitu baginda raja sudah mengizinkan pendirian masjid bagi pedagang di Mangallekana (Mattulada, 1976:3). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pada saat itu, agama Islam belum diterima oleh raja sebagai agama kerajaan. Akan tetapi telah ada komunitas masyarakat yang memeluk agama Islam dalam wilayah Kerajaan Gowa Tallo, terbutki dengan adanya pendirian masjid yang tentu diperuntukkan bagi komunitas pemeluk agama Islam untuk melaksanakan ibadah. Di sisi lain, Arnold menceritakan bahwa ada persaingan yang cukup sengit antara da’wah Islam dengan missi Kristen sewaktu bangsa Portugis datang ke Sulawesi Selatan. Bahkan beberapa orang dapat dikristenkan oleh Antonio Galvao (Gubernur Maluku waktu itu). Tampaknya dengan Kerajaan Tellu Limpoe dan... Muh. Subair persaingan itulah menjadi pemicu para pedagang Melayu untuk mendatangkan tiga orang mubalig dari kota Tengah Minangkabau agar datang ke Makassar mengislamkan elite Kerajaan Gowa dan Tallo. Di samping itu ada motivasi lain yang mendorong para pedagang Melayu dalam mengambil kebijaksanaan mendatangkan mubalig ke Makassar adalah untuk mengantisipasi missi Katolik yang mulai marak ketika itu, di mana missionaris mulai menanamkan pengaruhnya ke Istana Kerajaan Gowa (Arnold, 1981:317). Pada abad XVII M di masa J. Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Matowayya menjabat sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa Tallo, datanglah tiga orang penyiar agama Islam yang dikenal dengan datuk tallua yaitu; Datuk ri Bandang (Abdul Makmur, Khatib Tunggal), Datuk ri Tiro (Abdul Jawad, Khatib Bungsu) dan Datuk Patimang (Sulaiman, Datuk Sulung). Kerajaan yang mula-mula menerima Islam adalah Kerajaan Luwu 1603 M. Karaeng Matowayya dari Tallo nanti masuk Islam pada tanggal 9 Jumadil awal 1014 H bertepatan dengan tanggal 22 September 1605 M yang kemudian diberi gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam, disusul kemudian oleh Raja Gowa Tallo I Manggarangi Daeng Manrabia diberi gelar Sultan Alauddin yang kemudian menjadikan Islam sebagai agama kerajaan (Sewang, 2005:112-113). Raja Gowa XIV, I Manggarangi Daeng Manrabia mendapat gelar “Sultan Alauddin”. Sedangkan I Malingkang Daeng Manyonri mendapat gelar Islam “Sultan Abdullah Awwalul Islam”. I Manggarangi Daeng Manrabia adalah raja yang menggantikan kakaknya Karaeng Tunipasulu dengan usia yang relatif muda yaitu 7 tahun. Itulah sebabanya sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan beliau senantiasa didampingi oleh pamannya I Malingkang Daeng Manyonri sebagai raja Tallo yang sering disebut Karaeng Matowayya. Disebutkan juga bahwa nanti pada tanggal 9 November 1607 M Islam baru dijadikan sebagai agama Kerajaan, yang ditandai dengan pelaksanaan shalat Jum’at untuk pertama kalinya oleh kerajaan (Sewang, 2005:113). Setelah raja Gowa dan Tallo menerima agama Islam dan menjadikannya sebagai agama kerajaan, maka kerajaan ini pun menjadi pusat pengislaman terhadap kerajaan-kerajaan sekitarnya. Hal ini berdasarkan pada perjanjian antar kerajaan-kerajaan yang berbunyi: “Jika ada di antara salah satu Kerajaan Gowa atau Bone atau selainnya yang menemukan cahaya kebaikan, maka menjadi kewajiban baginya untuk mensosialisasikan sinar kebaikan itu kepada kerajaan yang lainnya” (Paeni dan Robinson (ed). 1985:vii) Dari sinilah gerakan islamisasi terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Gowa Tallo dimulai. Berturut-turut kemudian yang menerima Islam sebagai agama kerajaan adalah Sidenreng dan Soppeng 1609 M, Wajo tahun 1610 M dan Bone 1611 M (Ahmad, 1982:112-119). Lalu bagaimana dengan kerajaan-kerajaan di Sinjai? Kerajaan-kerajaan apa sajakah yang eksis dalam wilayah Sinjai Abad XVII? dan bagaimanakah proses islamisasi berlangsung pada kerajaan-kerajaan tersebut? Pertanyaan inilah yang menjadi fokus permasalahan dari penelitian ini dengan tujuan untuk; mengetahui kerajaankerajaan yang pernah eksis di Sinjai dan untuk mengetahui proses islamisasi di kerajaan-kerajaan yang ada dalam wilayah Sinjai. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian KLVWRULRJUD¿ dengan tema islamisasi kerajaan islam lokal, yang dilakukan di Sinjai sebagai ibu kota kabupaten yang sangat strategis untuk mengkaji tema ini. Kondisi penduduk Sinjai yang mayoritas beragama Islam yakni mencapai 99 persen dari keseluruhan penduduk yang ada. Sehingga menarik sekali untuk dilihat apa yang terjadi pada masa lalu yang kemudian dapat melahirkan kondisi keagamaan yang sedemikian semarak. Penelitian dilakukan dalam empat tahap; mengadakan pengumpulan data historis yang berkaitan dengan masalah penelitian (heuristik), melakukan kritik data atau sumber yang telah dikumpulkan, untuk kemudian disusun dan diinterpretasi dan selanjutnya dilakukan penulisan sejarah (hitoriografi). Data dan analisis data dinarasikan secara deskriptif dalam bingkai permasalahan yang dibahas. Sehingga serpihan data yang tadinya berserakan dapat dirangkai dalam suatu plot sejarah. Penggunaan sumber data dalam penelitian ini tidak mengutamakan sumber data primer yang berupa naskah, karena penelitian ini sifatnya memfokuskan kepada 173 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 171—181 pemahaman masyarakat Sinjai terhadap sejarah masuknya Islam pada masa kerajaan. Sehingga rekonstruksi sejarah masuknya Islam di Sinjai ini, tidak dilakukan berdasarkan penulusran naskah semata yang merupakan suatu versi yang pasti berbeda bila melihatnya dari apa yang difahami oleh masyarakat secara umum. +LVWRULRJUD¿ VHEDJDL ODQJNDK DNKLU GDUL proses penelitian sejarah adalah langkah yang diambil sebagai rangkaian dari penyelidikan terhadap peninggalan masa lampau berupa tulisan (history as record) dan benda-benda peninggalan (history as remain). Jadi penelusuran sejarah Islam di Sinjai dilakukan dengan mencari catatan dan peninggalan tentang itu, menyelidiki dan merekonstruksi masa lampau dari bukti-bukti yang ditemukan. Selanjutnya mencatat dan mengekspresikan fakta-fakta secara logis dan kronologis dalam bingkai ilmiah. PEMBAHASAN Kerajaan Tellu Limpoe dan Pitu Limpoe Cikal bakal lahir dan berdirinya kerajaan di wilayah Sulawesi biasanya tidak lepas dari peran To Manurung. Demikian juga dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai, seperti Kerajaan Tellu Limpoe, yaitu persekutuan dari tiga kerajaan; Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti. Berdasarkan penjelasan Naskah Asal-usul rajaraja Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti mengatakan bahwa asal-usul manusia pertama yang menjadi raja di masing-masing kerajaan tersebut adalah To Manurung dari Ujung Lohe (Kamaruddin,1979:1). Tondong adalah kerajaan tertua di Sinjai yang pada mulanya bernama Tonroe dan didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Tanralili. Ia adalah Timpae Tana yang memperistri putri dari To Manurung di Ujung Lohe, (Kamaruddin, 1979:11) yang disebut Puatta Rampalala. Timpae Tana adalah gelaran yang diberikan karena dialah yang pertama membuka lahan di Tanralili sampai di Tonroe yang kemudian mendirikan kerajaan di Tonroe yang diberi nama Kerajaan Tondong (Hamid, dkk., 2002:70). Hasil perkawinan Timpae Tana dengan Puatta Rampalala melahirkan dua orang anak. Seorang wanita bernama Sappe Ribulu dan seorang laki-laki bernama Barubbu Tanae. Dari Tanralili Timpae Tana mengadakan perjalanan menuju ke utara hingga tiba di sebuah bukit di pinggir pantai, di sana ia maddumme atau bertempat tinggal 174 sementara, kemudian pindah mencari tempat lain yang strategis dan terakhir tiba di Tonroe lalu mendirikan sebuah kerajaan. Kemudian Tonroe berubah nama menjadi Tondong. Dikisahkan ada seorang To Manurung di Tanralili mempunyai seorang putra yang bernama La Patongai setelah dewasa ia mengembara bersama dengan Gellareng (Kepala Desa) dan orang Siajing Cera (famili terdekat) dan tiba di Tapilase kemudian berturutturut ke Bulu Sampiri, Bongkeng dan berakhir di Tonrona Bulukke (di atas gunung). Lalu I Patongai membabat hutan bersama dengan pengikutnya kemudian menjadi Aru Tonro (Aru Tondong) (Kamaruddin,1979:12-14). La Patongai atau gelarnya Timpae Tana didukung oleh rakyat Tokka dan Kolasa untuk menjadi raja dengan batas-batas kekuasaan yang ada. Kontrak pemerintahan antara rakyat Tokka-Kolasa dengan Timpae Tana, dilakukan dengan janji saling membantu dan tidak saling menggalikan lubang. Raja Timpae Tana kemudian memperistrikan putri dari To Manurungnge di Dampang Ujung Loe Bulukumba. Tiga tahun kemudian, istri Timpae Tana melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Sappe ri Bulu bergelar Cenrara langi dan seorang anak laki-laki yang bernama Barubbu Tanae. Sappe ri Bulu (tidak kawin) menggantikan ayahnya menjadi raja Tondong, sedangkan Barubbu Tanae menjadi raja pertama Kerajaan Bulo-Bulo. Raja La Barubbu Tanae kawin dengan anak raja Sangkala Lombok di Kajang dan keturunannya kemudian menjadi pewaris Kerajaan Tondong dan Bulo-Bulo secara turun-temurun (Bagenda, 1994:7). Kerajaan Tondong dianggap sebagai kerajaan tertua di Sinjai berdiri sekitar abad XIII dan berhasil mempersatukan persekutuan hidup sekitarnya dalam suatu ikatan wilayah. Semua perselisihan di antara persekutuan dipersatukannya dalam suatu janji (kontrak sosial) untuk hidup rukun dan damai sejak sekitar abad ke XIV (Fatbang, 1994:4). Raja Timpae Tana atau nama aslinya La Patongai diperkirakan memerintah negeri Tondong sebagai gabungan federasi dari pemukiman sekitarnya selama delapan tahun dan dimulai sekitar 1367 M. Sehingga diperhitungkan bahwa Barubbu Tanae diangkat oleh ayahnya menjadi raja Bulo-Bulo dalam usia muda, atas permintaan rakyat (Hamid, dkk., 2002:71) Selanjutnya Kerajaan Bulo-Bulo atau biasa disebut Hulo-Hulo merupakan kerajaan kembar dari Kerajaan Tellu Limpoe dan... Muh. Subair Kerajaan Tondong, adapun proses pelaksanannya bahwa: Setelah para Gella mengetahui kejadian menghilangnya To Manurung para Gella diliputi rasa kebimbangan, karena siapa putra To Manurung yang akan menggantikan kedudukannya sebagai raja. Sebab raja mempunyai dua anak, yaitu Sappe Ribulu dan La Barubbu Tanae. Mereka khawatir salah satu akan kecewa kalau yang lain diangkat menjadi raja. Olehnya itu sepakatlah para Gella untuk membagi dua kerajaan, yaitu Tondong dan Bulo-Bulo (Bagenda, 1994:7). Setelah kedua anak raja ini dinobatkan menjadi raja di kedua kerajaan tersebut, mereka bahu-membahu membangun kerajaannya, melakukan konsolidasi dan mengatur pemerintahan masing-masing. Adapun pusat Kerajaan Todong berpusat di Data dan Kerajaan Bulo-Bulo berpusat di Bongki. Kedua kerajaan kembar ini mempererat persahabatan dengan kerajaan yang ada di sekitarnya dan tetap memperlakukan Kerajaan Lamatti sebagai saudara tuanya yang telah dirintis oleh ayahnya. (Bagenda, 1994:7). Kerajaan Lamatti didirikan oleh orangorang dari Luwu dengan mengangkat salah seorang putra Arung Bulo-Bulo sebagai rajanya yang pertama. Setelah Kerajaan Lamatti berdiri, ketiga kerajaan baik Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti mengirim perutusan ke Luwu untuk segera melaporkan hal itu kepada raja Luwu dan sekaligus menyatakan pengakuannya terhadap kekuasaan tertinggi raja-raja Luwu. Kepada perutusan tersebut diberikan beberapa buah batu untuk digunakan sebagai singgasana di kerajaan masing-masing. Batu-batu tersebut oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap keramat dan ditempatkan di Alehanuae untuk Kerajaan Tondong dan Bulo-Bulo serta Panreng untuk Kerajaan Lamatti. Selain kerajaan Tellu Limpoe, di Sinjai juga terdapat kerajaan Pitu Limpoe. Terbentuknya Kerajaan Pitu Limpoe menurut tradisi lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut berasal dari Kerajaan Wawo Bulu ialah Kerajaan Turungeng. Rajanya seorang wanita yang diperistrikan oleh putra raja Tallo. Salah seorang turunan dari kedua raja tersebut kawin dengan seorang putra raja Bone. Dari perkawinan itu lahirlah tujuh orang terdiri atas satu putri dan enam laki-laki. Anaknya yang putri menggantikan ibunya menjadi raja di Turungeng dan mendapat gelar Datu Turungeng (Fatbang, 1994:5). Melihat masyarakat di daerah pegunungan memandang raja Bone sangat tinggi derajatnya. Istilah bugisnya maddara takku (bangsawan murni) karena masih dianggap turunan To Manurung. Dengan demikian maka kelompokkelompok masyarakat lainnya yang terdapat di Turungeng berdatangan kepada datu Turungang untuk memohon kepadanya agar saudara datu diperkenankan menjadi raja mereka. Itulah sebabnya, maka keenam putra raja tersebut masing-masing mendapat wilayah kerajaan. Seorang raja di Manimpahoi, seorang raja di Terasa, seorang raja di Pao, seorang raja di Manipi, seorang raja di Suka dan seorang raja di Balasuka. Untuk daerah Manimpahoi rajanya digelar Aru Manimpahoi karena rakyatnya yang diperintah adalah terdiri dari orang-orang Bugis, sedangkan yang lainnya digelar karaeng karena rakyatnya pada umumnya berbahasa Makassar dan Konjo. Selain kerajaan tersebut, terdapat pula kerajaan-kerajaan kecil yang ada seperti kerajaan Baringeng, dan Kerajaan Borong. Perkembangan kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai tampaknya berkembang secara genelogis sebagaimana Kerajaan Tondong melahirkan Kerajaan Bulo-Bulo dan Lamatti, yang kemudian beraliansi menjadi Kerajaan Tellu Limpoe. Demikian pula Kerajaan Turungeng yang berkembang menjadi tujuh kerajaan yaitu; Manipahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, dan Balasuka. Arus Islamisasi di Kerajaan Tellu Limpoe dan Pitu Limpoe Sinjai Setelah raja Gowa dan Tallo menerima agama Islam dan menjadikannya sebagai agama kerajaan pada tanggal 9 Jumadil awal 1014 H bertepatan dengan tanggal 22 September 1605 M. Maka kerajaan ini pun menjadi pusat pengislaman terhadap kerajaan-kerajaan sekitarnya. Hal ini berdasarkan pada perjanjian antarkerajaan bahwa; Jika ada di antara salah satu kerajaan, Gowa atau Bone atau selainnya yang menemukan cahaya kebaikan, maka menjadi kewajiban baginya untuk mensosialisasikan sinar kebaikan itu kepada yang lainnya. Dari sinilah gerakan islamisasi terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Gowa Tallo dimulai. Berturut-turut kemudian yang menerima Islam sebagai agama kerajaan adalah Sidenreng dan Soppeng 1609 M, Wajo tahun 1610 M dan Bone 1611 M (Ahmad, 1982:31). Daerah-daerah kerajaan lain yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Sultan Gowa adalah; 175 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 171—181 Salomekko, Cina Kacci, Kajang, Tondong, BuloBulo dan Lamatti serta Kerajaan Pitu Limpoe. Selain itu, wilayah Kerajaan Tellu Limpoe dan Pitu Limpoe sudah merupakan daerah taklukan Kerajaan Gowa di bawah pemerintahan raja Gowa X yaitu Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Tunipallangga 1547 M sampai 1569 M. (Hamid, dkk. 2002:93).Wilayah ini kemudian menjadi sasaran penyebaran Islam melalui Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang. Kedua datuk ini bersama Datuk Pattimang (Khatib Sulaeman) adalah yang membawa Islam ke Raja Luwu La Pattiawaru tahun 1603M. Proses islamisasi di Kerajaan Tellu Limpoe bermula dari kedatangan Datuk ri Tiro di Bulukumba setelah kembali dari Luwu bersama Datuk ri Bandang. Sebagaimana arahan datu Luwu yang menganjurkan Datuk Tallua (Datuk Ri Tiro, Datuk ri Bandang dan Datuk Pattimang) untuk mendekati raja Gowa Tallo dalam rangka penyebaran agama Islam. Di mana Datu Luwu Sultan Muhammad setelah menerima Islam dari ketiga datuk diminta untuk menggunakan pengaruh kekuasaannya dalam menyebarkan Islam. Akan tetapi datu Luwu merasa tidak mempunyai kekuatan besar untuk melakukan itu, dan menganggap bahwa Gowa Tallo lah yang mempunyai kekuatan untuk itu. Maka berangkatlah Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro menuju ke Gowa, sedangkan Datuk Pattimang memilih tinggal untuk mendampingi datu Luwu. Sejatinya mereka berdua berencana menemui raja Gowa sebagaimana saran dari datu Luwu. Namun karena adanya perbedaan pandangan tentang strategi dakwah yang akan digunakan dan masing-masing teguh pada pendirian. Maka keduanya mengambil keputusan untuk menjalankan dakwah di daerah yang berbeda. Datuk ri Bandang meneruskan perjalanan ke Gowa yang menekankan dakwah dengan pendekatan syariah. Sedangkan Datuk ri Tiro memutuskan menetap di Tiro Bulukumba mengajarkan Islam dengan pendekatan Tasawuf. Negeri Tiro merupakan pelabuhan transit yang menghubungkan sejumlah kerajaan dalam teluk Bone dan bahkan wilayah timur dan barat Nusantara seperti; Buton, Maluku, Ternate, Johor dan Jawa. Kawasan Tiro juga dipandang strategis untuk mengembangkan Islam di bagian selatan Sulawesi Selatan (Mahmud, 2012: 40-72). Selain itu wilayah Tiro juga berbatasan dengan Sinjai atau wilayah Kerajaan Bulo-Bulo. 176 Berkat kelihaian dan kearifan Datuk ri Tiro sehingga ajaran tasawuf dapat diterima oleh Karaeng La Unru Daeng Biasa. I La Unru Daeng Biasa sebagai raja ke-5 adalah cucu dari Karaeng Samparaja Daeng Malaya (Karaeng Sapo Batu) adalah raja pertama di Tiro. Setelah mengislamkan I La Unru Daeng Biasa (Raja V Tiro) pada tahun 1013 H atau 1604 M., Datuk ri Tiro kemudian mendirikan masjid yang dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam. Orang-orang kemudian berdatangan belajar untuk mengenal agama Islam secara lebih dalam. Berita penyebaran Islam pun tiba pada daerah kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai. (Mahmud, 2012:40-72). Pada tahun 1607 M agama Islam pun secara resmi masuk di Kerajaan Tellu Limpoe Sinjai, sebagai imbas dari berkembangnya agama Islam di Tiro (Bulukmba Sekarang) yang dibawa oleh Abdul Jawad Khatib Bungsu. Ulama yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Beliau mengembangkan Islam lewat ajaran tasawuf sebagai model pendekatan dalam merebut hati masyarakat dimana beliau berada. Setelah Datuk ri Tiro membawa Islam ke Sinjai, raja-raja dan pemuka istana serta masyarakat yang menerima Islam kemudian berinisiatif melanjutkan usaha pengembangannya (Thamar R, M., 1984:59) Raja-raja dan tokoh tersebut adalah; 1) Pada Kerajaan Tondong terdapat nama Kahare Daeng Mallabasa, dan Puang Belle. 2) Pada Kerajaan Bulo-Bulo, terdapat raja La Pateddungi, dan Puatta Massambangi di Talle bersama; Karaeng Bodo-Bodo di Bikeru, La Mappa di Talle dan sekitarnya. Di Bulo-Bulo juga ada, Syekh Ibrahim Bin Rahmat bergelar Tuan Sengngo di Bontopala, Puang Jawa di Baringeng, Puang Salama dan Puang Sapanang di Pattalassang, Puang Janggo dan Puang Pekkong di Dumme (Sinjai). Pada saat Datuk ri Tiro berada di Tiro untuk mengajarkan agama Islam, beberapa orang dari Bulo-Bulo datang secara diam-diam untuk mengenal dan mempelajari Islam. Sedangkan raja Bulo-Bulo IX La Pateddungi memeluk ajaran Islam dari Gowa 1607, di mana beliau menikah dengan Watenricini putri Mangkubumi kerajaan Gowa I Malingkang Daeng Manyonri. Setelah kembali dari Gowa, La Pateddungi pun mengajak rakyatnya untuk memeluk agama Islam, rakyatnya menyambut dengan gembira ajakan tersebut, Kerajaan Tellu Limpoe dan... Muh. Subair sebab sebelumnya mereka telah jatuh hati dengan Islam dan bahkan secara diam-diam sudah banyak yang pergi mempelajarinya dari Datuk ri Tiro di Bulumba. Kemudian La Pa Teddungi mengutus Petta Massambangi untuk menjemput Datuk ri Tiro guna mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Bulo-Bulo (Hamid, dkk. 2002:94). 3) Pada Kerajaan Lamatti, Islam pertama kali diterima oleh Arung Lamatti VI yaitu Towasuro bersama Syekh Abu Bakar, dalam perkembangan Islam selanjutnya disebutkan nama; Syekh Husain, A.Makkuraga Daeng Pagan yang bergelar Matinroe ri Masiji’na. Pada kerajaan ini juga disebutkan adanya “Galoggo” yang dikenal dengan Puang Belle bersama dengan tiga orang temannya; ..... Daeng Parani, Raja Daeng Mattojeng, dan .... Daeng Pahongin (Baharuddin, 1981:11) Puang Belle dan Puang Maccambangnge kembali dari Tiro bersama Abdul Jawad Khatib Bungsu dan pertama-tama melakukan pengislaman kepada raja Tondong dan Lamatti. Disebutkan juga, datangnya utusan Islam dari Gowa (Mustafa Puatta Massambange) yang mendapat izin dari Datuk ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal) untuk mengislamkan Aru Bulu di Talle (Hamid, dkk. 2002: 97). Di Lamatti juga terdapat nama pengajur Islam abad XVII yang bernama Laming,Wali Pute, sezaman dengan Raja Bone XI Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng. Baginda inilah yang memberikan izin kepada Wali Pute untuk menyebarkan agama Islam di Lamatti sekaligus mengajarkan shalat, puasa dan zakat (Baharuddin, 1981:13). Dari data ini terdapat dua nama yang serupa disebutkan yaitu; Puatta Maccambangnge dan Puatta Massambangnge, ada kemungkinan kedua nama ini adalah orang yang sama hanya penyebutannya saja yang berbeda. Indikasinya terlihat dari periode yang sama dan gelaran yang sama pula yaitu puatta. Adapun disebutkan adanya Puatta Massambangnge berguru padaTuanta Salamaka Syekh Yusuf pada tahun 1650, dapat dikompromikan dengan adanya masa tersebut tidak terlalu jauh dari masa islamisasi Bulo-Bulo tahun 1607. 4) Kerajaan Turungeng, Sallatang Daeng Ma’ Jumba putra raja Turungeng La Tenri Waru. La Tenri Waru mempunyai makam yang nisannya bercabang dua (Nisan Mappakae) sebagai tanda bahwa beliau belum menerima 5) 6) 7) 8) Islam. Anaknya Sallatang Daeng Ma’Jumba menerima Islam dari Datuk Ri Bandang, dan menyerbarkannya di pesisir sebelah Utara Gunung Lompo Battang. Kerajaan Manipi Turungeng, To Maeppe Daeng Situnchu Puatta Bontosalama. Puatta Bontosalama dikenal dengan tujuh nama; 1) Tellettu Mangunjungi Dg. Paliheng, 2) Sallatang Dg. Rimoncong, 3) To Maeppe Daeng Situnchu, 4) Petta Lalo, bila berada di Turungeng, 5) Petta Salabettae, bila berada di Korong, 6) Petta Lebba Songko, bila berada di Lempangan, 7) Puatta Magguliling. Kerajaan Manimpahoi, La Bolong Dg. Makketti raja IV putra dari raja III Toabbi Daeng Paroto. La Bolong Daeng Makketti merupakan ahli agama Islam yang mengadakan penulisan al-Qur’an 30 Juz dengan tangan sendiri. Penulisan itu kemudian disalin pada tahun 1286 Hijriah di Mangara Bombang, Bulo-Bulo Sinjai, hal ini sesuai dengan keterangan yang tertulis pada lembaran akhir dari al-Qur’an tersebut (Kamaruddin, 1978:7). Kerajaan Pao. Kerajaan Pao adalah lebih tepatnya disebut kekaraengan yang merupakan persekutuan dari adat Pao. Demikian juga dengan Kerajaan Suka dan Kerajaan Belasuka keduanya merupakan kesatuan adat yang dipimpin oleh seorang karaeng dan keduanya bersekutu dengan Pao (Kamaruddin, 1990:5-6). Kerajaan Terasa, Kerajaan Suka dan Kerajaan Balasuka. Sebagai wilayah persekutuan dari kerajaan Turungeng kerajaan-kerajaan ini disebutkan sebagai pengikut dari arus islamisasi yang terjadi ketika itu. Bahkan mereka adalah pendukung setia dari Raja Turungeng Sallatang Daeng Ma’ Jumba putra Raja Turungeng La Tenri Waru. Dari data di atas dapat terbaca bahwa islamisasi di kerajaan-kerajaan Sinjai terjadi dalam tiga gelombang yaitu; Pertama,masa pemelukan agama Islam secara orang per orang dari masyarakat dan Arung atau kalangan istana melalui jalur Datuk ri Tiro di Bulukumba pada tahun 1604. Kedua, masa masuknya Islam secara resmi di Kerajaan Bulo-Bulo dan Islam dinyatakan sebagai agama kerajaan yang wajib diikuti oleh seluruh rakyat. Ketiga, masa pengajaran syariah Islam yang dilakukan setelah kerajaan resmi menjadikan Islam sebagai agama kerajaan. Data di atas juga menunjukkan adanya tiga arus masuknya 177 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 171—181 Islam di Sinjai yaitu; Arus yang bersumber dari Datuk Ri Tiro, Arus yang bersumber dari Datuk Ri Bandang dan Arus dari Bone. Arus Datuk Ri Tiro Arus Datuk ri Tiro yang berlangsung melalui gelombang pengajian ajaran Islam di Tiro Bulukumba yang berbatasan dengan kerajaan Bulo-Bulo Sinjai. Gelombang pengajian inilah yang menarik perhatian masyarakat banyak, sehingga tersebar sampai di wilayah Kerajaan Bulo-Bulo. Kemudian menarik perhatian Arung Bulo-Bulo dan secara personil berusaha mengetahui gelombang pengajian tersebut dengan melakukan penelitian partisipatif, yaitu ikut serta dalam pengajian tersebut atau dengan berdialog secara langsung dengan Datuk ri Tiro. Karena yang dibawa oleh Datuk ri Tiro merupakan suatu kebaikan maka Arung ini pun menerimanya. Berita penyebaran Islam pun tiba pada daerah kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai. Karena itu, Kahare Daeng Mallabasa mengutus Puang Belle dari Tondong dan Petta Massambangi dari BuloBulo untuk menemui Datuk ri Tiro. Arus Datuk Ri Bandang Meskipun Datuk ri Bandang tidak pernah disebutkan menginjakkan kaki di Kerajaan Bulo-Bulo maupun di Kerajaan Tondong Sinjai. Namun keterlibatannya dalam islamisasi di Sinjai terjadi melalui Raja Bulo-Bulo IX La Pateddungi yang datang memeluk ajaran Islam dari Gowa 1607, dimana beliau menikah dengan Watenricini putri Mangkubumi Kerajaan Gowa I Malingkang Daeng Manyonri. Setelah kembali dari Gowa, La Pateddungi pun mengajak rakyatnya untuk memeluk agama Islam, rakyatnya menyambut dengan gembira ajakan tersebut, sebab sebelumnya mereka telah jatuh hati dengan Islam dan bahkan secara diam-diam sudah banyak yang pergi mempelajarinya dari Datuk ri Tiro di Bulumba. Kemudian La Pa Teddungi mengutus Petta Massambangi untuk menjemput Datuk ri Tiro guna mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Bulo-Bulo. Selain itu, Sallatang Daeng Ma’Jumba menerima Islam dari Datuk Ri Bandang, dan menyerbarkannya di pesisir sebelah utara Gunung Lompo Battang. Ia mendapat dukungan dari kerjaan-kerajaan kecil (ballitudang) yang ada di sekitarnya, sehingga raja Turungeng kemudian dijuluki “Kaju Mallabbakka Lekakna” atau 178 “Bungun Madingingnga Jeknekna”. Kerajaankerajaan kecil tersebut terhimpun dalam dua belas punggawa atau hulu balang, yaitu; 1) Turungeng, 2) Lamatti, 3) Tondong, 4) Bulo-Bulo, 5) Terasa, 6) Manimpahoi, 7) Suka, 8) Balassuka, 9) Tokka, 10) Kolasa, 11) Pao, 12) Pattuku. Kerajaankerajaan inilah yang dikenal dengan “sampulo ruanna roko’ ri Turungeng”. Arus Laming Wali Pute dari Bone Di Lamatti juga terdapat nama pengajur Islam abad XVII yang bernama Laming,Wali Pute, sezaman dengan Raja Bone XI Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng. Baginda inilah yang memberikan izin kepada Wali Pute untuk menyebarkan agama Islam di Lamatti sekaligus mengajarkan shalat, puasa dan zakat. Sebagaimana disebutkan bahwa pada awal penerimaan Islam oleh raja Bulo-Bulo penekanannya masih sebatas keyakinan akan kebenaran Islam. Sehingga upaya pengajaran syariat Islam masih terus dilakukan dari tahun ke tahun. Salah satu tokoh yang disebutkan ikut dalam pengajaran syariat Islam tersebut adalah Wali Pute yang diutus oleh raja Bone La Tenri Ruwa. Nama Wali Pute ini juga disebutkan dalam sejarah Islam di Letta (wilayah Pinrang Sulawesi Selatan), akan tetapi tidak ditemukan data yang valid apakah nama tersebut merupakan orang yang sama atau tidak. Penerimaan Islam melalui raja-raja dan golongan istana adalah strategi yang diaanggap efektif untuk memperlancar diterimanya ajaran Islam secara luas di masyarakat. Terutama saat dijadikannnya Islam sebagai agama kerajaan. Sebelum masuknya Islam di kerajaan-kerajaan Sinjai, masyarakat paling tidak mengalami beberapa hal yang berbeda setelah Islam datang. Pergaulan tidak merata atau tidak ada persamaan hak antara sesama warga masyarakat. Bahkan perbudakan terjadi secara sitematis dan mengakibatkan terjadinya kasta dalam masyarakat. Perbedaan derajat kemanusiaan yang terjadi demikian membuat adanya sebagian banyak masyarakat yang terpinggirkan bahkan terjajah hak-haknya. Kelompok masyarakat yang terpinggirkan adalah mereka yang tidak punya pilihan karena kemiskinan atau kebodohan yang membelenggu mereka, sehingga mereka hanya tahu bagaimana menerima perintah dari penguasa. Mereka tidak pernah berani menyampaikan pendapat apalagi Kerajaan Tellu Limpoe dan... Muh. Subair menuntut hak sebagai warga masyarakat yang merdeka. Selain itu, kehidupan masyarakat masih penuh dengan takhyul dan khurafat. Mereka banyak yang percaya kepada hal-hal mistis yang mempengaruhi kejumudan pemikiran dan menghambat terbukanya pengetahuan mereka. Situasi ini sangat rawan untuk dipermainkan oleh penguasa untuk mengeksploitasi kekuatan masyarakat melalui pendekatan mistisme. Setelah masuknya Islam di Sinjai keadaan masyarakat berangsur-angsur membaik dengan disertai adanya pemulihan hak-hak yang lebih layak kepada masyarakat secara lebih luas. Berkembangnya pendidikan agama juga membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sebagai sarana memperbaiki kualitas hidup. Karena itu Raja Bulo-Bulo Batupake mengutus putranya yang bernama La Darise untuk memperdalam ilmu agama Islam di Mesir, yang kemudian kembali ke masyarakat untuk mengajarkan ilmunya secara lebih luas (Kamaruddin, 1983:26). Kedatangan Islam di Sinjai seringkali pula disebut dengan ungkapan “mompoqna tajangnge ri Sinjai” yaitu terbitnya terang di Sinjai. (Muhannis, wawancara: 2013) Konotasinya adalah bahwa sebelum Islam datang masyarakat Sinjai berada dalam “kegelapan” baik dalam aspek ilmu pengetahuan dan kesejahteraan/kedudukan sosial. Dimana sebelumnya mereka ditindas VHFDUD¿VLNGDQPHQWDOROHKNHNXDVDDQUDMD\DQJ hanya menuntut bakti mereka terhadap kerajaan. Namun setelah Islam menjadi anutan raja dan menjadi agama kerajaan. Maka hak-hak mereka sebagai warga kerajaan menjadi terpulihkan dengan adanya prinsip-prinsip persamaan hak yang diajarkan dalam Islam. Implikasi sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah adanya perubahan sistem upacara-upacara kemasyarakatan menjadi bercorak islami. Sepertihalnya pelaksanaan pestapesta adat senantiasa diselipkan nuansa ajaran Islam oleh para penganjurnya. Seperti dalam acara perkawinan adanya tradisi Mappaccing yang sebelumnya diisi dengan mantra-mantra sebelum Islam, kemudian mantra-mantra itu diganti dengan zikir-zikir. Adapun falsafah Bugis yang sesuai dengan ajaran Islam tetap dipertahankan, misalnya falsafa pemerintahan “Maliliu sipakainge, rebba sipatokkong, mali siparappe, siriu menre tessiriu no tessikaereng alebbong”. Lempu, getteng, ada tongeng, temmappasilaingeng, adapi na gau, nabolai sining jamang’e nenniya pangulu sagala’e. Riyoloi napatiroang, ri tengngai na paddaga-raga, ri munri na pa ampiri. Kemudian muncul ungkapan yang bernuansi islami; Tellumi parellu ri akkatenning; 1) Tau’e ri Puang Allaa Ta’ala, 2) Siri’e ri padatta ripancaji, 3) Siri’e ri watakkaleta. Falsafah tersebut bermakna nasehat kepada bangsa agar masyarakat senantiasa saling mengingatkan akan kebaikan, saling membantu, dan senantiasa memiliki sikap jujur, teguh pendirian, menepati janji, adil dalam menegakkan hukum, konsisten dalam kebenaran, dan berpengetahuan luas. Selain itu terdapat juga nasehat kuno yang sudah bernuansa islami yaitu; hendaknya manusia menjaga ketakwaan kepada Allah Ta’ala (ketakwaan tidak hanya berarti takut kepada Allah, tetapi di dalamnya terdapat cinta, dan ketaatan atas perintah dan laranganNya), hendaknya manusia juga menjaga harga dirinya dari sesamanya makhluk bahkan harga dirinya bagi segenap jiwa dan raganya. Sebuah pesan yang menyiratkan pentingnya pengenalan diri sebagai makhluk Allah. PENUTUP Kerajaan Tellu Limpoe adalah perserikatan dari Kerajaan Tondong, Kerajaan Bulo-Bulo, dan Kerajaan Lamatti. Kerajaan Bulo-Bulo atau biasa disebut Hulo-Hulo merupakan kerajaan kembar dari kerajaan Tondong, kemudian kedua kerajaan kembar ini mempererat persahabatan dengan kerajaan yang ada di sekitarnya dan memperlakukan kerajaan Lamatti sebagai saudara taunya yang telah dirintis oleh ayahnya. Pitu Limpoe menurut tradisi lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut berasal Kerajaan Wawobulu ialah Kerajaan Turungeng. Rajanya seorang wanita yang diperistrikan oleh putra raja Tallo. Salah seorang turunan dari kedua raja tersebut kawin dengan seorang putra raja Bone. Dari perkawinan itu lahirlah tujuh orang terdiri atas satu putri dan enam laki-laki. Anaknya yang putri menggantikan ibunya menjadi raja di Turungeng dan mendapat gelar Datu Turungeng. Keenam putra raja tersebut memeritah di enam tempat, yaitu seorang raja di Manimpahoi, seorang raja di Terasa, seorang raja di Pao, seorang raja di Manipi, seorang raja di Suka dan seorang raja di Balasuka. 179 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 171—181 Proses Masuknya Islam di kerajaan-kerajaan Sinjai terjadi dalam masa gerakan islamisasi yang digalakkan oleh Sultan Gowa yang menerima agama Islam dan menjadikannya sebagai agama kerajaan pada tanggal 9 Jumadil awal 1014 H bertepatan dengan tanggal 22 September 1605 M. Tahun 1607 M agama Islam masuk di Kerajaan Tellu Limpoe dan Kerajaan Pitu Limpoe Sinjai, yaitu dimulai sejak berkembangnya agama Islam di Tiro (Bulukmba Sekarang) dibawa oleh Abdul Jawad Khatib Bungsu. Ulama yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Beliau mengembangkan Islam lewat ajaran tasawuf sebagai model pendekatan dalam merebut hati masyarakat dimana beliau berada. Setelah Datok ri Tiro membawa Islam ke Sinjai, raja-raja dan pemuka istana yang menerima Islam kemudian melanjutkan usaha pengembangannya. Islamisasi di kerajaan-kerajaan Sinjai terjadi dalam tiga gelombang yaitu; Pertama, pemelukan agama Islam secara orang per orang dari masyarakat dan arung atau kalangan istana melalui jalur Datuk ri Tiro di Bulukumba pada tahun 1604. Kedua, masa masuknya Islam secara resmi di Kerajaan Bulo-Bulo dan Islam dinyatakan sebagai agama kerajaan yang wajib diikuti oleh seluruh rakyat. Ketiga, pengajaran syariah Islam yang dilakukan setelah kerajaan resmi menjadikan Islam sebagai agama kerajaan. Data di atas juga menunjukkan adanya tiga arus masuknya Islam di Sinjai yaitu; Arus yang bersumber dari Datuk ri Tiro, Arus yang bersumber dari Datuk ri Bandang dan Arus dari Bone. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Muhammad. 1982. Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia. Ujungpandang: IAIN Alauddin. Arnold, Thomas, W. 1981. Sejarah Da’wah Islam. Diterjemahkan oleh A. Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaya. Bagenda, Ramlan, 1994. “Sinjai Dulu, Kini dan Esok”. Makalah Seminar Menelusuri Hari Jadi Sinjai untuk Menyongsong Masa Depan yang Cerah. Sinjai tanggal 2-3 September 1994. Baharuddin. 1981. “Analisis Historis tentang Pendidikan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Kabupaten Sinjai”. Skripsi. Ujung 180 Pandang: IAIN Alauddin Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome’ Pires, Vol. I, London Reprinted for the Hakluyt Society. Fatbang, Zaenuddin, 1994. “Sejarah Singkat Sinjai”. (Makalah). Disusun Berdasarkan Makalah dan Pendapat yang Berkembang dalam Seminar Hari Jadi Sinjai Tanggal 2-3 September. Giddens, Anthony. 2013. The Third Way, http:// sosbud.kompasiana.com/2013/02/26/ menemukenali-kearifan-lokal-dalam-duniayang-tunggang-langgang-538452.html, diakses 21 Mei 2013. Hamid, Abu, dkk. 2002. Sejarah Daerah Sinjai. Sinjai: Yayasan Kebudayaan “Pusaka Sinjai”. Kamaruddin. 1990. “Perlawanan Baso Kalaka Terhadap Belanda”. (Makalah). Kandep Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai. Kamaruddin. 1983. “Selayang Pandang Sejarah Pekembangan Kerajaan-Kerajaan di Sinjai”. (Makalah). Kandep Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai. Kamaruddin,1979. “Terjemahan Naskah Asalusul raja-raja Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti”. (Makalah). Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kab.Sinjai. Kamaruddin. 1978a. “Sejarah Ringkas Kerajaan Manimpahoi di Sinjai”. (Makalah). Kandep Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai, Seksi Kebudayaan Sinjai. Kamaruddin. 1978b. “Penganjur Agama Islam th.1653-1905 di Kabupaten Sinjai”. (Makalah). Kandep Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai Mahmud, Irfan. 2012. Datuk ri Tiro, Penyiar Islam di Bulukumba - Misi, Ajaran dan Jati Diri. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Mattulada. 1976. Agama Islam di Sulawesi Selatan. Ujungpandang: Fak Sastra Univ. Hasanuddin. Oesman, H.A.Moerad. 1982. Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia. Ujungpandang: IAIN Alauddin. Paeni dan Robinson, Kathryn, (ed). 1985. Agama dan Realitas Sosial. Ujung pandang: Kerajaan Tellu Limpoe dan... Muh. Subair LEPHAS. Sewang, Ahmad M.. 2005. Islamisasis Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Thamar R, M. 1984. “Islam di Kerajaan Tellu Limpoe” (Skripsi). Ujungpandang: Fakultas Adab IAIN Alauddin. Hasil wawancara, Muhannis: tanggal 15 April 2013 181