KONSTRUKSI BARU METODOLOGI STUDI HUKUM ISLAM: Perpaduan Antara Inferensi Tektual dan Historis (SosialEmpirik-Kultural) Oleh Achmad Mulyadi (Dosen tetap pada Jurusan Syariah STAIN Pamekasan, Alumni S2 Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Syari’ah) Abstrak : Hukum Islam bisa dipahami sebagai kelanjutan logis atau produk jadi dari metodologi studi hukum Islam. Ketika hukum Islam "dianggap" tidak relevan dengan realitas empiris di masyarakat, maka yang patut dikaji adalah metodologi yang digunakan. Banyak para pemerhati hukum Islam menyatakan bahwa salah satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan yang ada dalam metodologi studi hukum Islam saat ini adalah coraknya yang tekstualistik dan bersifat sui generis. Karena itu, perlu kontruksi baru metodologi studi hukum Islam sebagai pengembangan metodologi studi hukum Islam yang ada. Tulisan ini akan mengelaborasi secara detail tawaran (konstruksi) baru metodologi studi hukum Islam yang bercorak historis (sosial-empirik kulturak) dan bersifat sui generis-kum-empiris denga mengunakan pendekatan Integralistik. Kata Kunci: Metodologi, Tekstual, Historis (Sosial-Empirik-Kultural) dan Integralistik Pendahuluan Studi hukum Islam merupakan sebagian dari studi Islam pada umumnya. Perdebatan mengenai pemetaan (kawasan) studi keislaman sampai sekarang belum juga usai, dimulai, secara historis, dari tradisi orientalisme di Eropa Barat sampai munculnya desakan perubahan kurikulum IAIN/STAIN1 seiring dengan perubahan statusnya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Sehingga studi keislaman yang mulanya bercorak teologis merambah pada kajian-kajian sosiologis, eksakta dan humaniora. Studi hukum Islam pun mengalami nasib serupa. Studi hukum Islam merupakan cabang ilmu-ilmu keislaman paling tua usianya dan telah dikembangkan secara kurang lebih Kawasan studi Islam Indonesia yang digelar di IAIN/STAIN selama ini berpijak pada keputusan Menteri Agama Nomor 110 tahun 1982 yang meliputi bidang; (1) Al-Quran-Hadis, (2) Pemikiran dalam Islam, (3) Fiqh/Hukum Islam dan Pranata Sosial, (4) Sejarah dan Peradaban Islam, (5) Bahasa, (6) Tarbiyah Islamiyah, (7) Dakwah Islamiyah, (8) Perkembangan Modern Dunia Islam dan beberapa disiplin ilmu sebagai cabangnya. Disiplin ilmu yang dikembangkan di PTAI mengerucut pada pembidangan ilmu tersebut. Sejak dekade terakhir ini dalam mengapresiasi perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN banyak pakar yang menawarkan perluasan studi Islam dengan mencari titik temu antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum, yang paling tidak terdapat tiga pemikiran pakar yang patut dicermati (Imam Suprayogo dengan Pohon Ilmunya, Amin Abdullah dengan Jaring laba-labanya dan A. Qadri Azizy dengan Fase-fase Keilmuannya. Lihat Jurnal ISTIQRA, (Jurnal Penelitian Ditpertais), Vol. 4, Nomor 1, 2005. 1 Konstruksi Baru Metodologi Hukum Islam Achmad Mulyadi profesional sejak zaman Tabi'in dan terus berlangsung sampai sekarang. Hanya saja dalam pengkajiannya tampak lebih banyak terfokus pada pendekatan atomistik dan tekstual.2 Dalam tulisan ini, dikemukakan pengembangan metodologi studi hukum Islam sebagai tawaran (konstruksi) baru metodologi studi hukum Islam sesuai dengan tuntutan perkembangan problem masyarakat dan perluasan kawasan studi hukum Islam dewasa ini. Sejarah Perkembangan Metodologi Studi Hukum Islam. Sejarah metodologi studi hukum Islam sesungguhnya dimulai sejak zaman yang amat dini dalam Islam yaitu sejak asy-Syafi'i menggarap metodologi studi hukum Islam dalam karyanya ar-Risalah. Dalam karyanya ini, metode yang ditawarkan oleh as-Syafi'i lebih bercorak teologis-deduktif. Walaupun demikian semua ulama mazhab selain Hanafiyah sangat apresiatif terhadap metode tersebut. Sementara metode yang dikembangkan oleh ulama Hanafiyah lebih bercorak induktif-analitis. Namun demikian, semua metode yang ditawarkan tersebut memiliki kesamaan paradigma, yaitu paradigma literalistik. Dalam paradigma literalistik kajian terhadap teks bahasa arab lebih dominan, baik dari segi grammer maupun sintaksisnya dan mengabaikan kajian terhadap maksud dasar wahyu yang ada di balik teks literal. 3 Syamsul Anwar," Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam " dalam Mazhab Jogja : Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: AR-RUZZ Press, 2002), hlm.147-148. 3 Dengan meminjam kerangka analisis al-Jabiri, model berpikir yang memusatkan pada kajian teks dan bahasa pada umumnya dikategorikan sebagai corak berpikir yang menggunakan epistimologi bayani, yang berbeda secara tegas dengan model berpikir yang menggunakan epistemologi burhani, dan lebih-lebih irfani. Lihat Amin Abdullah, "Paradigma Alternatif Pengembangan Usul Fiqh", dalam Mazhab Yogya., hlm. 118 2 902 Sebagai penyambung lidah paradigma di atas dan mengembangkannya dengan paradigma baru adalah al-Gazali. Al-Gazali dapat dicatat sebagai orang yang telah melakukan upaya pengembangan paradigma metodologi studi hukum Islam, yang sumbangan pokoknya adalah pertama, memperkenalkan dan mempertegas penerapan metode induksi dalam studi hukum Islam, yang sebelumnya kajian hukum Islam lebih bersifat deduktif dan kedua, memperkenalkan konsep Maqasid asy-Syari'ah dan Maslahat.4 Paradigma literalistik berlangsung selama kurang lebih lima abad (abad 2-7 H) dan baru mengalami penyempurnaan dan pengembangan sejak munculnya asy-Syatibi abad ke 8 dengan menambahkan teori Maqasid asy-Syari'ah. Dengan demikian, paradigma metodologi studi hukum Islam tidak hanya terpaku pada paradigma literalisme teks. Namun demikian kehadiran asy-Syatibi sama sekali tidak menghapus paradigma literal tapi ingin lebih melengkapi dan mengembangkannya agar studi hukum Islam lebih sempurna, valid dan akurat dalam memahami ajaran Allah.5 Enam abad kemudian (abad 14), sumbangan asy-Syatibi direvitalisasikan oleh pembaharu hukum Islam di dunia modern, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Abdul Wahab Khalaf, 'Allal al-Fasi dan Hasan Turabi. Karena tidak menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip maslahah yang ditawarkan oleh Syatibi melalui teori maqasidnya, maka Wael B. Hallaq mengakategorikan mereka sebagai kelompok penganut aliran utilitarianisme.6 Syamsul Anwar," Pengembangan …" dalam Mazhab Yogya., hlm. 148. 5Amin Abdullah, Paradigma Alternatif, hlm,119. 6 Seperti dikutip Amin, Wael b.Hallaq mengistilahkannya dengan religious utilitarianism dalam A History of Islamic 4 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 Konstruksi Baru Metodologi Hukum Islam Achmad Mulyadi Sementara itu, pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak lagi sama dengan konteks zaman Nabi tetap saja masih menjadi agenda besar bagi umat Islam dewasa ini yang menurut sebagian pakar seperti Iqbal, Taha, an-Naim, Said Ashmawi, Fazlurrahman dan Syahrur sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip maslahah. Bahkan mereka beranggapan bahwa prinsip maslahah tersebut tidak lagi memadai untuk membuat hukum Islam mampu hidup di dunia modern. Pakar pakar ini dalam rangka membangun metodologinya ingin menghubungkan antara teks suci dengan realitas dunia modern lebih berpijak pada upaya melewati makna ekplisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luar dari teks. Metodologi yang mereka bangun bercorak liberal dan cenderung membuang teori-teori lama sehingga terkategori kelompok yang menganut aliran liberalisme keagamaan (religious liberalisme).7 Walaupun demikian, tawaran pembaharuan metodologi yang mereka ciptakan tetap saja menyisakan sejumlah kontroversi dan perdebatan. Akar utama penyebab kontroversi adalah karena teori mereka tidak memiliki landasan kuat pada kerangka teoritik (Theoritical frame) ilmu metodologi hukum Islam sebelumnya. Historiografi metodologi studi hukum Islam di atas memperlihatkan bahwa betapa panjang perdebatan antara studi hukum Legal Theories: an Introduction to Sunni Ushul Fiqh, ( Cambridge: Cambridge University Press, 1987).` 7 Salah satu teori yang mereka bangun seperti double movement (Fazlurrahman) dan Nazariyyah al-Hudud (Syahrur). Dari sample contoh teori yang mereka bangun tersebut sebenarnya mereka telah melakukan apa yang menurut Thomas Kuhn disebut Paradigm Shift (pergeseran paradigma), teori mereka tidak berpija pada teori lama, akan tetapi menawarkan sebuah paradigma yang sama sekali baru. Islam yang semata-mata studi teks dan studi hukum Islam yang mempertimbangkan konteks tidak kunjung berakhir bertemu pada satu titik padu yang saling melengkapi. Problem ini perlu dijembatani dengan menggagas metode baru yang mengintegrasikan antara normativitas teks ilahi ke dalam historisitas realitas empiris dengan memadukan pendekatan tekstualistik dengan pendekatan kontekstual. Tekstualitas Metodologi Studi Hukum Islam Metodologi studi hukum Islam yang selama ini ada, terkesan semata-mata bersifat normatif dan sui-generis. Kesan ini tidak terlalu berlebihan karena kata kuncinya adalah teks-teks yang terperinci sehingga fokus kajiannya tidak lebih dari sekedar analisis teks. Kesan di atas mengindikasikan bahwa hukum Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book), sementara realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional dalam kerangka metodologi studi hukum Islam.8 Miskinnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) tersebut disinyalir oleh banyak pihak menjadi salah satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan yang ada dalam metodologi studi hukum Islam saat ini.9 Pendekatan sosial empirik sebenarnya sudah mulai digagas oleh al-Gazali dan dikuatkan oleh asy-Syatibi, namun secara praksis dalam kebanyakan karyanya masih memusatkan kajiannya pada analisis normatif tekstual. Hal yang sama juga telah Hasyim Kamali, Peinciples of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic Tekts Society, 1991) 9 Abu Sulaiman, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for metodology and Thought, (Virginia: tnp, 1994), hlm. 87. 8 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 903 Konstruksi Baru Metodologi Hukum Islam Achmad Mulyadi diupayakan oleh para pakar setelahnya, namun kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris dalam metodologi studi hukum Islam masih belum terselesaikan. Dengan demikian, secara metodologis, studi hukum Islam masih menyisakan ruang kosong (jarak) antara dirinya dengan realitas yang ada di sekelilingnya. Tekstualitas metodologi studi hukum Islam tentu saja bukan suatu kebetulan, akan tetapi merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem epistemologi, yaitu pola pemikiran sebagian umat Islam yang menganut subjektifisme teistik10, yang menyatakan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu ilahi yang dibakukan dalam kata-kata Nabi berupa alQur'an dan Sunnah. Keyakinan inilah yang tampaknya mempersempit wacana hukum Islam hanya analisis teks-teks suci semata. Patut disadari bahwa kecenderungan tektualitas yang berlebihan dalam metodologi studi hukum Islam, pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidakcakapan dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial dan tidak mustahil akan selalu tertinggal sejarah dan bahkan, sampai batas tertentu, mungkin akan ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan situasi aktual umatnya.11 Syamsul Anwar, "Epistemologi Hukum Islam: Probabilitas dan Kepastian", dalam Yudian W. Asmin, Ke Arah Fiqh Indonesia,(Yogyakarta: FSHI Fak Syari'ah, 1994)., hlm. 74. 11 Dalam konteks yang lebih luas, Syamsul Anwar mencatat ada lima karakteristik metodologi studi hukum Islam yang dominan, yaitu pemusatan studi hukum Islam sebagai law in book, tidak mencakup law in action; pencabangan yang rumit tanpa memperhatikan relevansi dengan permasalahan yang berkembang; sifat polemik apologetik; inward looking dan atomistik. Lihat Syamsul Anwar. " Paradigma Fiqh Kontemporer: Mencari arah baru telaah hukum Islam " Makalah lokakarya Pogram Doktor Fiqh Kontemporer pada pascasarjana IAIN ar-Raniry, Banda Aceh, 28 Agustus 2002. 10 904 Ketidakcakapan metodologi studi hukum Islam dapat diasumsikan karena dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral, yaitu pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik dan adanya orientasi untuk menghilangkan seluruh kriteria dan standar rasional dengan menggunakan metodologi yang murni intuitif dan esoteris. Disamping itu, ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan yang holistik, sehingga relasi-relasi sosial bisa disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, pada saat yang sama metodologi studi hukum Islam justru bersifat atomistik, yang mendasarkan analisisnya pada penalaran analogis.12 Ketidakcakapan dan keterbatasan tersebut pada akhirnya membawa kajian keislaman pada satu krisis metodologi yang melanda hampir seluruh wilayah kajian Islam. Pada situasi seperti ini, kemunculan suatu tawaran alternatif yang bisa menutupi kekurangan sangat diharapkan. Lahirnya metodologi studi hukum Islam yang baru diharapkan dapat lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut dan mengarahkannya pada kontekstualisasi metodologi studi hukum Islam. Ke Arah Kontekstualisasi Studi Hukum Islam Metodologi Kebuntuan metodologi studi hukum Islam yang tekstualistik dalam menghadapi berbagai problem kehidupan masyarakat memaksa para pengkaji hukum Islam menawarkan metodologi baru yang lebih menjanjikan yaitu melahirkan sintesa positif dari dimensi normatif (wahyu) dan dimensi empiris. Dalam kerangka inilah pendekatan terpadu hukum Islam dan sosial perlu ditempatkan. Model pemaduan yang 12 Abu Sulaiman, Toward an Islamic Theory. hlm. 62. KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 Konstruksi Baru Metodologi Hukum Islam Achmad Mulyadi ditawarkan bukan mencampuradukkan dua tradisi secara eklektis (Islam dan Barat), akan tetapi mengintegrasikan pengetahuan yang diperoleh dari wahyu dengan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman manusia. Yang patut dipertanyakan adalah bagaimana merumuskan kerangka dasar dan langkahlangkah metodologis dari upaya integrasi tersebut? Model metode integralistik13 ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu membuat inferensi tekstual dan historis (sosialempiris-kultural), untuk kemudian dibuatkan analisisnya yang bersifat terpadu (inferensi integralistik). Inferensi tersebut dilakukan dengan melakukan tiga prosedur inferensi, yaitu pertama, prosedur inferensi tekstual, kedua prosedur inferensi historis dan ketiga prosedur inferensi integralistik (tekstual-historis). Prosedur inferensi tekstual dilakukan untuk menderivasi aturan-aturan dan konsep-konsep dari wahyu secara sistematis dan memadai. Terdapat empat langkah yang harus dilalui dalam prosedur ini, yaitu (1) mengidentifikasi teks (al-Quran dan Sunnah) yang relevan dengan persoalan yang sedang dibahas. Akan tetapi identifikasi ini tidak semata-mata untuk menginventarisasi teks, melainkan juga mencakup analisis dan pendalaman linguistik secara tematis, (2) memahami (menafsirkan) makna pernyataan teks secara memadai, baik kaitannya dengan pribadi/individual (leksikal) maupun dalam kaitannya dengan yang lain (secara kontekstual), (3) menjelaskan (ta'lil) terhadap teks, yaitu mengidentifikasi causa Model metodologi integralistik ini ditawarkan oleh Loouay Safi yang dijelaskan secara gamblang dalam bukunya " The Foubdation of Knaowledge a Comparative Study Islamic and Western Methods of Inquiry" (Selangor; IIU & IIIT, 1996) dalam Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,( Yogyakarta; LkiS, 2005), hlm.263. 13 efisien ('illah) yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks. Langkah ini bertujuan mengidentifikasi sifat umum yang dimiliki oleh benda yang berbedabeda, yang menjustifikasi acuan penggunaan term yang sama sebagai langkah awal menemukan pinsip-prinsip universal yang mengatur berbagai pernyataan syari'ah. Dan (4) membangun suatu aturan dan konsep umum yang diderivasi dari teks. Ini dapat dicapai dengan proses abstraksi terus menerus sehingga konsep hasil derivasi dari teks dapat dimasukkan ke dalam aturan lain yang memiliki abstraksi lebih tinggi.14 Namun demikian, sebelumnya harus disadari bahwa bagaimanapun canggihnya sistem aturan dan konsep yang diderivasikan dari wahyu, hal itu tidak cukup memadai untuk mendasari 15 perbuatan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu studi terhadap interaksi manusia. Di sinilah, inferensi sosial historis harus dimulai dengan menganalisis elemenelemen dasar yang membentuk fenomena. Dalam prosedur inferensi historis, terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh, yaitu (1) menganalisis aksi individu yang masuk ke dalam fenomena sosial yang sedang dibahas. Langkah ini ditempuh dengan maksud untuk mengetahui tujuan (seluruh objek yang dikemukakan aktor), motif (dorongan psikologis aktor) dan aturan (prosedur teknis) aksi tersebut, (2) mengklasifikasi berbagai bentuk atau tipe Ibid, hlm. 263-264. Hal di atas paling tidak karena dua alasan, pertama, sistem itu sendiri terdiri dari aturan general dan universal, sehingga aplikasinya terhadap kasus yang partikular membutuhkan pertimbangan dan spesifikai lebih lanjut. Ini dapat dilakukan dengan memasukkan informasi tentang watak aksi dan interaksi individual dan kolekstif. Kedua, aplikasi aturan universal mensyaratkan pengetahuan tentang syarat-syarat yang ada. Aplikasi aturan ini dimungkinkan ketika syarat teoritis dari suatu aksi bersesuaian dengan kondisi aktualnya. 14 15 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 905 Konstruksi Baru Metodologi Hukum Islam Achmad Mulyadi aksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan komponennya. Aksi yang memiliki tujuan sama akan membentuk satu kelompok homogen, sementara aksi yang memiliki tujuan berbeda akan terbagi dalam populasi heterogen. (3) mengidentifikasi aturanaturan universal yang menjadi dasar interaksi antara berbagai kelompok yang diidentifikasi dalam langkah kedua. Untuk menarik aturan-aturan yang universal, polapola kerjasama dan konflik, dominasi dan submisi, serta pertumbuhan dan kemunduran sosial harus dikaji secara komparatif melampaui batasan waktu dan geografi. Dan (4) melakukan sistimatisasi atas aturan-aturan universal yang didapatkan dari langkah-langkah sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan inkonsistensi internal di dalam sistem yang dihasilkan. Setelah dua prosedur inferensi di atas, kemudian disusun dan dilakukan prosedur inferensi yang integral (padu antara keduanya). Adapun prosedur yang harus dilakukan adalah (1) analisis teks (fenomena) dan memasukkannya ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan (wacana) dan aksi (fenomena), (2) mengelompokkan pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori, (3) mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori, (4) mengidentifikasi aturan-aturan dan tujuantujuan general yang membangun interaksi atau inter-relasi berbagai kategori, dan (5) sistematisasi aturan-aturan yang diperoleh melalui prosedur-prosedur sebelumnya untuk menghilangkan kontradiksi.16 Inferensi integralistik di atas tidak terbatas pada persamaan prosedur analisis tekstual dan historis, akan tetapi juga dapat diperluas pada struktur aksi dan wacana, yang sesungguhnya memiliki sistem aturan, 16 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia., hlm.266. 906 motif dan tujuan yang memungkinkan untuk disatukan dan dikoherensikan serta diperbandingkan dan dipertentangkan antara keduanya. Di sinilah dapat dicari lebih lanjut tentang pola hubungan antara tekstualitas wahyu dan empirisisme.17 Secara metodologis, model inferensi integralistik di atas sesungguhnya hanya menyajikan suatu model penelitian ilmiah (sosial) alternatif yang dekat dengan aspirasi Islam. Namun demikian, rancangan metodologi alternatif tersebut bisa dijadikan inspirasi bagi pengembangan studi hukum Islam yang mengapresiasi dan memasukkan data-data sosial empiris dalam analisisnya. Penerapan Metodologi Islam Di Indonesia Studi Hukum Secara aplikatif, dalam tataran metode keilmuan yang lebih operasional proses inferensi integralistik mengandaikan adanya pendekatan "induksi sosial" dalam hukum Islam yang dilakukan secara simultan dengan pendekatan deduktif. Dengan demikian, data realitas empiris harus dimasukkan dalam proses analisis dan penyimpulan hukumnya, bukan semata-mata diderivasi dari teks.18 Kesulitan yang masih ditemukan dalam memasukkan realitas empiris itu Model Integralistik ini, apabila dibawa ke dalam metode hukum Islam, maka model integrasi tersebut berjalan di atas peta yang sedikit berbeda. Jika proses inegrasi wahyu dan rakyu dalam ilmu sosial modern bergerak untuk memasukkan wahyu (yang sekian lama telah disingkirkan) ke dalam analisis sosial-historis (empiris), maka hal itu terjadi pada arah yang sebaliknya, yaitu membawa datadata dan fenomena sosial-historis (empiris) ke dalam analisis hukum Islam. (tekstual-wahyu). Hal ini karena dimensi sosial empirislah yang telah disingkirkan dalam metodologi studi hukum Islam selama ini. Lihat Syamsul Anwar. Teori Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam", hlm. 205. 18 Pola Induksi tersebut menurut Qadri Azizy akan lebih terasa hidup dan leluasa, namun perlu pembatasan menyangkut sejauhmana seseorang dapat berinduksi dalam hukum. A.Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Yogyakarta; Gama Media, 2002), hlm 47. 17 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 Konstruksi Baru Metodologi Hukum Islam Achmad Mulyadi adalah melalui jalan mana realitas dan datadata sosial empiris itu dapat ditarik dan disertakan dalam analisis teori dan metodologi studi hukum Islam? Dalam banyak hal, pendekatan induksi sosial sendiri tampaknya lebih relevan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan causa efisien (illah) maupun causa finalis (hikmah) dari objek-objek hukum dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial dan kealaman. Ketika kasus hukum telah disebut dalam teks tanpa disertai illat atau hikmah maka analisis empiris bertujuan untuk menjelaskan atau mengungkapkan illat dan hikmah-nya guna memantapkan penerimaan terhadap hukum tersebut, atau juga mungkin untuk mengubahnya. Bagi kasus hukum baru yang belum ada ketentuan hukumnya di dalam teks maka analisis empiris bertujuan untuk membangun fondasi hukum bagi kasus tersebut.19 Dalam teori hukum Islam, hal ini disebut ta′lil al-ahkam atau kausasi hukum. Hal ini sesuai dengan inferensi historis seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa analisis aksi berupaya membongkar tujuan, motif dan aturan. Metode ini paralel dengan analisis ta′lil dalam prosedur inferensi tekstual. Disinilah dimensi sosial empiris dapat dimasukkan dalam setiap analisis hukum Islam. Pada saat keduanya berhadapan secara kontradiktif maka realitas empiris (misalnya adat) harus direkonstruksi sistem aturan dan tujuannya sedemikian rupa dengan tetap memberinya hak hidup. Hal ini didasarkan pada kesimpulan inferensi integralistik, bahwa suatu aksi kolektif (fenomena sosial empiris) maupun wacana (wahyu) memiliki sistem aturan dan tujuan sehingga memungkinkan dilakukannya upaya menyatukan, memperbandingkan atau mempertentangkan.20 Berdasarkan hal itu maka pola hubungan yang terbangun tidak bersifat hirarkis, tetapi alternatif, saling mendukung antara realitas empiris dan wahyu. Realitas empiris dan wahyu harus berfungsi komplementer dan selamanya berhubungan secara dialektis, baik ketika realitas sosial itu terdapat di dalam teks wahyu maupun ketika ia berseberangan dengan teks wahyu. Berbagai bentuk pembaruan hukum yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, seperti ta′lik talak (pasal 45), pengaturan harta bersama (gono-gini) (pasal 85-97), ahli waris pengganti (plaatsvervulling) untuk cucu yatim (pasal 185), wasiat wajibah untuk anak dan orang tua angkat (pasal 209), serta harta hibah yang diperhitungkan sebagai warisan (pasal 221), barangkali bisa dijadikan contoh sekaligus aplikasi pendekatan inferensi integralistik metodologi studi hukum Islam di Indonesia. Karena itu, semua bentuk pembaruan tersebut banyak diilhami sekaligus merupakan kreasi hukum Indonesia ketika berhadapan dengan realitas sosial dan kultural yang benarbenar menjadi hukum yang hidup (living law) di masyarakat. Sebagai satu contoh hukum Islam Indonesia sebagai aplikasi pendekatan inferensi integralistik metodologi studi hukum Islam di Indonesia adalah kasus harta hibah orang tua kepada anak yang kemudian diperhitungkan sebagai warisan bagi anak yang bersangkutan. Hibah, menurut terminologi fiqh, adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi atau akad tanpa mengharap imbalan apa pun dari orang yang diberi ketika si pemberi masih hidup.21 Sedangkan Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia., hlm.270 Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), III:388 20 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung; LPPM UIB, 1995), hlm. 68 19 21 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 907 Konstruksi Baru Metodologi Hukum Islam Achmad Mulyadi menurut rumusan KHI pasal 171 huruf (g), menyebutkan bahwa "hibah adalah pemberian sesuatu secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Berdasarkan rumusan di atas, dapat dipahami bahwa hibah dapat dilakukan oleh siapa saja yang cakap tanpa adanya unsur paksaan, hanya ada beberapa batasan-batasan yang harus dipenuhi seperti batasan umur dan kepemilikan.22 Persoalan hibah orang tua yang selanjutnya diperhitungkan sebagai harta warisan merupakan suatu fenomena baru dalam konteks pemikiran hukum yang belum pernah ditemukan dalam literaturliteratur fiqh klasik. Di Indonesia, persoalan ini hanya dapat ditemukan dalam hukum adat, sebuah realitas sosial-empiris-kultural di masyarakat kita.23 Dalam konteks Indonesia, KHI secara tegas mengkonstruksikannya menjadi ketentuan hukum Islam yang positif.24 Apabila dikaji lebih mendalam maka terobosan baru KHI dalam bidang kewarisan ini ternyata mendasarkan diri pada realitas sosial yang hidup di sekelilingnya, yaitu fenomena aksi kolektif berupa hibah wasiat. Dilihat dari pendekatan Seperi dijelaskan dalam KHI pasal 210 ayat (1) dan (2) bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan, dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki, serta harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. 23 Dalam hukum adat penerusan harta warisan yang bersifat individual –seperti dalam hukum waris Islamkepada ahli waris dapat terjadi sebelum atau sesudah pewaris wafat, yang di kalangan keluarga Jawa disebut lintiran. Penerusan harta warisan ini berlaku melalui penunjukan dalam bentuk hibah-wasiat tertulis maupun tidak tertulis yang berupa pesan dari orang tua (pewaris) kepada ahli warisnya. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Mandar Maju, 1992), hlm.215-217. 24 Dijelaskan dalam pasal 221 KHI, yang menyebutkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. 22 908 inferensi historis, maka dapat dijelaskan bahwa fotmulasi hukum dalam KHI tersebut dilakukan dengan memasukkan analisis empiris terhadap fenomena hibah wasiat, yaitu dengan mengungkap motif dan tujuannya, yakni mendistribusikan keadilan ekonomi dan menjaga perdamaian di antara anak-anaknya. Dengan demikian, motif dan tujuan fenomena hibah wasiat tersebut sesuai dengan asas hukum kewarisan Islam, yaitu asas kesimbangan dan keadilan dan sistem aturannya direkonstruksi menurut aturan yang ada dalam hukum waris Islam (furud almuqaddaraha).25 Fenomena aksi kolektif tersebut dianggap sah menurut hukum Islam karena didorong oleh semangat dan keinginan untuk menghindari adanya perasaan tidak adil dalam pembagian harta warisan tersebut. Para orang tua biasanya memberikan bagian-bagian tertentu dari hartanya kepada anaknya yang telah berkeluarga. Kemudian, ketika orang tua meninggal maka harta tersebut diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan ketentuan jika kurang maka ditambah, dan sebaliknya, apabila dipandang lebih dapat diminta kembali kelebihannya.26 Dari elaborasi di atas dapat dikatakan bahwa formulasi hukum dalam Kompilasi Hukum Islam tentang hibah yang diperhitungkan sebagai warisan tersebut tampak sekali mengakomodasi realitas empiris sebagaimana dikandung dalam nilai-nilai hukum adat yang telah hidup dan mapan di tengah masyarakat dengan melakukan revisi sistem aturannya disesuaikan dengan hukum waris dalam Islam yaitu memasukkan sistem pembagian Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia., hlm.273 Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, cet. 1 (Yogyakarta: UII Press, 1982), hlm.154 25 26 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 Konstruksi Baru Metodologi Hukum Islam Achmad Mulyadi tidak melebihi 1/3 dari keseluruhan harta warisan. Penutup Metodologi studi hukum Islam yang selama ini ada terkesan semata-mata bersifat normatif dan sui-generis. Tekstualitas normatif ini menjadi salah satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan yang ada dalam metodologi studi hukum Islam. Semetara itu, realitas empirik dibiarkan berjalan dan bergulir sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat tanpa ada aturan legal yang mejustifikasinya. Ini menunjukkan bahwa ada ruang kosong (jarak) antara hukum Islam dengan realitas sosial empiris kultural yang ada di sekelilingnya. Mengatasi problem ini perlu tawaran baru metodologi studi hukum Islam yang lebih kontekstual, yaitu pendekatan inferensi integralistik yang memadukan analisis inferensi tekstual dengan inferensi historis (sosial-empiriskultural). Karena itu, walaupun sifat sui generis merupakan trade mark dalam metodologi studi hukum Islam, namun perlu diimbangi dengan apresiasi yang proporsional terhadap realitas empiris yang harus dapat dibawa masuk ke dalam analisis penyimpulannya sehingga hukum Islam Indonesia dapat tampil lebih kreatif dan hidup di tengah-tengah proses perubahan sosial modern Wa Allâh a’lam bi al-shawâb KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 909