I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tikus merupakan hama utama pada sektor pertanian yang menyebabkan kerugian terbesar di Indonesia dan di Asia Tenggara pada umumnya. Serangan tikus terjadi pada saat pra-tanam (pesemaian), pertanaman dan bahkan pada tahap pasca panen yaitu pada saat penyimpanan di gudang. Tikus sawah (Rattus argentiventer, Rob & Kloss) merupakan organisme pengganggu utama tanaman padi dan selalu mengakibatkan kerugian terbesar di kalangan petani Indonesia (Geddes, 1992; Murakami et al., 1992; Singleton et al., 1997; Sudarmaji & Rochman, 1997). Data terbaru periode 2012-2014 menunjukkan bahwa tikus sawah selalu menduduki urutan pertama penyebab kerusakan tertinggi pada tanaman padi dibanding hama lainnya yaitu wereng coklat dan penggerek batang. Rerata tahunan luas serangan tikus sawah pada rentang waktu tersebut mencapai 140.284 Ha. Apabila rerata luas serangan tikus sawah dikaitkan dengan rerata produktivitas padi 5,139 ton/Ha dan harga gabah kering giling Rp. 4.600/kg maka kerugian akibat serangan tikus sawah pada skala nasional setara dengan Rp. 3,3 Triliun per tahun (Anonymous, 2014; 2015a). Seperti binatang pengerat lainnya, tikus sawah memiliki kemampuan reproduksi yang sangat cepat (Goot, 1951; Murakami et al., 1992; Rochman & Sudarmaji, 1997). Hal inilah yang mengakibatkan populasi tikus sawah dapat berkembang pesat apabila tersedia pakan yang berkualitas di lingkungan sekitarnya. Kemampuan reproduksi tikus sawah yang relatif cepat merupakan masalah utama bagi petani. Kombinasi sejumlah teknologi pengendalian yang berbasis pada pendekatan biologi tikus sawah telah diterapkan di beberapa negara berkembang untuk mengatasi hama tersebut (Singleton et al., 1999). Hal itu merupakan pengembangan dari konsep pengendalian hama terpadu dan ditujukan sebagai strategi pengendalian tikus sawah (Singleton, 1997). Namun hingga saat ini sebagian besar petani masih mengandalkan rodentisida untuk mengendalikan tikus sawah. Petani beranggapan bahwa metode tersebut paling efektif karena mampu membunuh tikus secara langsung, terbukti dengan ditemukannya bangkai tikus di lokasi pengumpanan setelah aplikasi rodentisida tertentu. Pengumpanan dengan rodentisida juga merupakan metode yang sering dilakukan oleh petani di sejumlah negara tropis (Buckle, 1999; Singleton et al., 2003). Penggunaan rodentisida merupakan metode pengendalian yang tidak ramah lingkungan karena beresiko toksik terhadap spesies non target (Singleton et al., 2003). Kelemahan lain metode ini adalah diperlukan beberapa kali aplikasi di lapangan. Oleh karena itu diperlukan metode pengendalian yang lebih efektif, dapat menekan populasi tikus sawah pada kisaran terendah, dan aman terhadap lingkungan serta organisme non target. Pengendalian kesuburan (fertility control) merupakan salah satu metode alternatif untuk menekan populasi tikus sawah melalui penurunan tingkat fertilitasnya. Penggunaan Diazacholesterol senyawa kimia dihydrochloride), tertentu seperti Nicarbazin DiazaCon (20,25 (campuran 4,4 dinitrocarbanilide/DNC dan 2-hydroxy-6-6-dimetylpyrimidine/HDP), GonaCon (Gonadotropin releasing hormone (GnRH) decapeptide) dan VCD (4-Vinyl 2 Cyclohexene Diepoxide) sebagai bahan kontrasepsi pada sejumlah hewan anggota Mammalia sedang dikembangkan di beberapa negara (Singh & Chakravarty, 2003; Mauldin & Miller, 2007; Nash et al., 2007; Cross et al., 2011; Kafka et al., 2011; Kirkpatrick et al., 2011; Snape et al., 2011; Yoder et al., 2011; Mayle et al., 2012). Senyawa VCD merupakan bahan antifertilitas yang terbukti mampu mengendalikan kesuburan Rattus norvegicus betina (Springer et al., 1996a; Hoyer et al., 2001a; Devine et al., 2002; 2004; 2009; Muhammad et al., 2009). Fakta tersebut memberikan peluang bagi peneliti untuk menguji efektivitas VCD sebagai bahan pengendali kesuburan pada spesies berbeda yang merupakan hama tanaman padi yaitu tikus sawah (R. argentiventer, Rob & Kloss). Namun untuk mempelajari potensi suatu bahan kimia, perlu dipahami beberapa hal antara lain sebagai berikut: 1) efek yang ditimbulkan, 2) dosis yang sesuai untuk memunculkan efek tersebut, 3) informasi mengenai bahan kimia terkait dan paparannya dalam tubuh individu. Paparan senyawa kimia tersebut dapat dipelajari lebih detail melalui rute dan durasi serta frekuensi pemberiannya (Eaton & Klaassen, 2001). Pengendalian kesuburan merupakan metode yang tepat untuk diterapkan pada tikus sawah karena beberapa alasan (Jacob et al., 2004), yaitu: 1) reproduksi tikus sawah sangat tergantung pada ketersediaan tanaman padi yang hanya berlangsung sekitar 7-9 minggu untuk setiap musim tanam (Lam, 1983; Leung et al., 1999). Oleh karena itu efek yang diakibatkan oleh bahan pengendali kesuburan cukup efektif untuk membatasi reproduksi tikus sawah dalam rentang waktu tersebut; 2) tikus sawah berkumpul di habitat refuge selama periode bera, 3 sehingga memudahkan pengaplikasian bahan pengendali kesuburan sebelum memasuki masa reproduksi (Jacob et al., 2003). Di samping itu dinamika populasi tikus sawah (R. argentiventer, Rob & Kloss) yang memiliki satu kali puncak populasi pada saat kondisi bera dalam satu kali musim tanam (Sudarmaji & Herawati, 2008) merupakan faktor pendukung lainnya dalam penerapan pengendalian kesuburan tersebut. Berdasarkan permasalahan hama tikus sawah yang terjadi di Indonesia dan ketergantungan petani terhadap rodentisida, diperlukan metode pengendalian yang dapat menekan populasi hama tersebut, bersifat ramah lingkungan, dan mudah diterapkan oleh petani. Pengendalian kesuburan (fertility control) terhadap tikus sawah merupakan metode alternatif karena prinsip dasar dari metode ini tidak menghilangkan keberadaan individu dari suatu populasi, tetapi hanya membatasi reproduksi organisme tersebut (Jacob et al., 2004). Pengendalian kesuburan melalui pengumpanan merupakan metode baru yang memenuhi kriteria tersebut. Pengembangan metode ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan umpan sebagai media pendistribusi bahan antifertilitas yang bersifat toksik dan dapat menekan populasi hama (Douglas, 1959; Bullard & Shumake, 1977; Morgan, 1982). Disamping sebagai metode alternatif pengendalian tikus sawah yang merupakan hama utama tanaman padi, fertility control juga dapat diterapkan pada bidang kesehatan. Metode tersebut diharapkan dapat menekan populasi spesies tikus lainnya yang merupakan vektor sejumlah penyakit menular. Senyawa VCD merupakan salah satu bahan kimia yang memiliki potensi antifertilitas karena memiliki efek ovotoksik terhadap ovarium mamal. Oleh 4 karena itu senyawa ini berpeluang untuk diujicobakan pada tikus sawah betina. Uji pendahuluan secara in vivo dan in vitro perlu dilakukan untuk memperoleh informasi lengkap mengenai ketepatan dosis dan durasi aplikasi senyawa VCD serta respon individu dan organ target terhadap senyawa tersebut. Salah satu wujud respon organ target terhadap senyawa VCD adalah proses detoksifikasi yang dilakukan oleh enzim epoxide hydrolase, glutathione Stransferase dan cytochrome P450 yang terdapat pada ovarium (Mukhtar et al., 1978a; 1978b; Bengtsson et al., 1983). Proses metabolisme suatu bahan kimia dalam ovarium dimungkinkan terjadi dalam struktur tertentu seperti folikel yang terdiri dari beberapa stadium yang berbeda. Hal ini menyebabkan tingkat tanggapan terhadap bahan kimia tersebut berbeda pada setiap stadium folikel. Kemampuan detoksifikasi folikel primordial dan folikel primer pada tikus laboratorium albino (R. norvegicus) terhadap VCD lebih rendah apabila dibandingkan dengan folikel yang lebih matang (Hoyer et al., 2001). Oleh karena itu penelitian mengenai deteksi enzim pendetoksifikasi VCD pada folikel perlu dilakukan. Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa efek ovotoksik VCD terhadap ovarium terjadi pada folikel stadium tertentu. Penelitian lanjutan mengenai efek antifertilitas VCD melalui formulasi umpan dalam skala laboratorium juga perlu dilakukan. Hal tersebut bertujuan untuk mempelajari efektivitas VCD sebagai bahan antifertilitas yang sudah diformulasikan dalam umpan. Uji pendahuluan mengenai preferensi umpan harus dilakukan sebelumnya untuk mempermudah aplikasi di lapangan. Uji dosis pemberian VCD telah dilakukan terhadap tikus laboratorium secara oral. Hasil 5 penelitian menunjukkan bahwa kisaran dosis VCD 500-750 mg/kg berat badan menunjukkan efek ovotoksik yang signifikan terhadap tikus laboratorium (personal communication: Hinds, 2008). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa umpan merupakan material yang sering digunakan untuk mendistribusikan toksikan dalam pengendalian hama. Konsumsi umpan oleh spesies target berpengaruh terhadap efektivitas dan biaya pengumpanan. Tingginya konsumsi umpan oleh hewan target juga menurunkan tingkat konsumsi bahan tersebut oleh organisme non target, sehingga dapat menekan dampak negatif terhadap lingkungan. Preferensi umpan dan efikasi strategi pengumpanan tergantung pada pakan, kebiasaan mencari pakan, dan perilaku sosial hewan target (Cagnacci et al., 2007). B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, berikut adalah beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian: 1) Apakah VCD memiliki efek ovotoksik dan berpengaruh terhadap folikel primordial tikus sawah betina secara in vivo? 2) Apakah VCD memiliki efek ovotoksik dan berpengaruh terhadap folikel primordial tikus sawah betina secara in vitro? 3) Apakah ovarium tikus sawah betina mampu merespon senyawa VCD? 4) Apakah efek ovotoksik VCD terhadap fertilitas tikus sawah betina tetap terdeteksi apabila bahan kimia tersebut diaplikasikan melalui formulasi umpan? 6 C. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk : 1) Mempelajari pengaruh ovotoksik VCD pada tikus sawah betina secara in vivo & pengaruhnya terhadap folikel primordial 2) Mempelajari pengaruh ovotoksik VCD pada tikus sawah betina secara in vitro & pengaruhnya terhadap folikel primordial 3) Mempelajari kemampuan ovarium tikus sawah sebagai organ target dalam merespon VCD 4) Mendeteksi pengaruh ovotoksik VCD terhadap perkembangbiakan tikus sawah melalui formulasi umpan pada skala laboratorium & enclosure D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai efek antifertilitas VCD sudah dilakukan pada anjing, tikus laboratorium dan mencit, oleh sejumlah peneliti dari beberapa negara. Metode dan aspek yang diamati sangat beragam tergantung pada tujuan dan latar belakang akademis masing-masing peneliti. Semua penelitian yang telah dilakukan belum memberikan informasi tentang efek antifertilitas bahan kimia tersebut terhadap tikus sawah. Hingga saat ini belum terdapat informasi mengenai efek antifertilitas VCD terhadap tikus sawah baik secara in vivo maupun in vitro. Informasi mengenai efek antifertilitas VCD terhadap tikus sawah betina pada penelitian ini sangat penting karena individu tersebut merupakan hama utama pada tanaman padi di Indonesia. 7 Informasi ilmiah mengenai bahan antifertilitas sejauh ini masih merupakan hasil penelitian tahap awal. Sejumlah penelitian menyebutkan adanya potensi tumbuhan sebagai sumber bahan antifertilitas yang berasal dari alam. Namun demikian penelitian hanya berkisar tentang khasiat ekstrak tanaman tersebut yang berpengaruh terhadap individu jantan dan betina serta belum mendeteksi sejauh mana kemampuan toksisitasnya. Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa minyak gossypol dari biji kapuk (Gossypium sp) mempunyai efek antifertilitas terhadap tikus laboratorium (Rattus norvegicus) yaitu menyebabkan penurunan produksi spermatozoa tikus jantan dan kegagalan kebuntingan pada tikus betina (Oka & Hrudka, 1984; Yang & Wu, 1987). Ekstrak biji jarak juga dapat menyebabkan keguguran pada janin tikus (Banerjee et al., 1999). Ekstrak buah pare diketahui memiliki fungsi menghambat fungsi testis anjing dalam memproduksi spermatozoa (Dixit et al., 1978). Penelitian terhadap bahan yang sama juga menunjukkan pengaruh abnormalitas terhadap morfologi, motilitas dan viabilitas spermatozoa tikus laboratorium (Wardoyo, 1990). Ekstrak buah pare juga terbukti menurunkan kualitas dan kuantitas spermatozoa mencit dan bersifat reversible (Adimunca, 1996). Penelitian lain terhadap ekstrak buah pare menunjukkan efek antifertilitas bahan tersebut pada mencit. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah terhambatnya proses spermatogenesis secara reversible yang selanjutnya menurunkan jumlah anak mencit (Sutyarso, 1992). Pengaruh ekstrak buah pare terhadap fertilitas tikus putih juga telah dilaporkan melalui penurunan berat ovarium, penurunan jumlah folikel, folikel de Graaf, dan corpus luteum (Sharanabasappa et al., 2002). Ekstrak methanol kulit buah manggis (Garcinia 8 mangostana, L) terbukti efektif dapat menghambat pertumbuhan folikel menjadi masak (de Graaf) pada ovarium mencit (Palupi, 2008). Efek antifertilitas ekstrak methanol kulit buah manggis juga teramati pada menurunnya konsentrasi spermatozoa, berat testis, dan diameter tubulus seminiferus (Azhar, 2013). Penelitian lanjutan bahkan menunjukkan ekstrak 40 jenis tanaman lainnya mampu merusak fungsi ovarium sehingga menimbulkan efek negatif terhadap fungsi reproduksi tikus betina. Tiga belas jenis diantaranya memicu penurunan jumlah dan tipe folikel serta menyebabkan gangguan siklus estrus. Efek tersebut bersifat reversible dan hanya berlangsung dalam jangka pendek (Tran & Hinds, 2013). Tujuh jenis dari 13 tanaman tersebut diantaranya adalah papaya (Carica papaya, L.), bunga sepatu (Hisbiscus rosasinensis, L), sirih (Piper betle, L), tembakau (Nicotiana sp), putri malu (Mimosa pudica, L), nanas (Ananas sativus) dan wortel (Daucus carota, L.). Tujuh tanaman tersebut memiliki potensi antifertilitas pada tikus laboratorium (Rattus norvegicus) dan mencit (Mus musculus) betina berupa penghambatan fungsi ovarium. Ekstrak bagian tanaman tersebut seperti biji, bunga, akar, tangkai daun, buah dan biji disebutkan memiliki efek memperpanjang, merusak serta menghambat siklus estrus, yang selanjutnya berdampak pada terhambatnya ovulasi, konsepsi dan implantasi sehingga menurunkan jumlah anakan. Dampak negatif lainnya meliputi penurunan berat organ reproduksi seperti uterus dan ovarium, berkurangnya jumlah folikel normal, reduksi ukuran dan jumlah folikel de Graaf, peningkatan jumlah folikel yang mengalami atresia, serta ketiadaan corpora lutea (Garg & Mathur, 1972; Kholkute et al., 1976; Adhikary et al., 1989; Bhatnagar, 1995; Chinoy et al., 1995; Joshi & 9 Chinoy, 1996; Chinoy et al., 1997; Majumder et al., 1997;1998; Patil et al., 1998; Hiremath et al., 1999; Shyamala & Salma, 2001; Mandal et al., 2004; Raji et al., 2005; Holloway et al., 2006; Ganguly et al., 2007; Sharma et al., 2007; Das et al., 2008; Dosumu et al., 2008). E. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat membuktikan bahwa VCD bersifat toksik terhadap folikel ovarium tikus sawah betina. Terbatasnya jumlah folikel primordial (Hirshfield, 1991a), menyebabkan efek toksik VCD yang tertuju pada folikel tersebut bersifat permanen, karena apabila rusak tidak dapat diproduksi ulang. Selain itu dari hasil penelitian juga diharapkan diperoleh informasi mengenai dosis dan frekuensi aplikasi VCD paling efektif yang dapat menyebabkan infertilitas pada individu betina dewasa. Informasi ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam perakitan umpan yang mengandung bahan aktif penyebab antifertilitas tersebut dalam rangka pengendalian tikus sawah. Dalam implementasinya di lapangan, umpan tersebut diharapkan dapat diaplikasikan pada awal musim tanam. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi bahan antifertilitas VCD, karena dengan terbatasnya sumber pakan pada saat itu menyebabkan tikus akan mengkonsumsi umpan dalam jumlah relatif banyak. Penyebaran umpan yang sudah dicampur dengan VCD diharapkan dapat meminimalkan persentase individu betina dewasa yang akan bereproduksi pada stadium padi generatif. Sebagai akibatnya VCD mampu menekan jumlah generasi baru pada stadium generatif pertanaman hingga 10 populasi tikus pada musim tanam berikutnya dapat terkontrol pada tingkat terendah. Pemanfaatan VCD dalam pengendalian tikus sawah melalui perakitan umpan selanjutnya diharapkan akan berdampak pada penurunan biaya sarana produksi padi, terutama kebutuhan bahan kimia pembasmi tikus seperti rodentisida dan belerang yang digunakan dalam fumigasi. Hal tersebut karena penggunaan rodentisida dan fumigasi merupakan dua metode andalan dan paling populer yang dipraktekkan oleh petani lokal. Selain keuntungan finansial bagi petani, dampak pencemaran akibat paparan rodentisida terhadap lingkungan dan organisme non target juga dapat diminimalkan apabila umpan VCD berhasil diaplikasikan di habitat. Keberhasilan aplikasi umpan VCD di lapangan diharapkan dapat menekan populasi tikus sawah sehingga mengurangi tingkat kerusakan tanaman padi. Penurunan populasi tikus sawah dan serangannya diharapkan akan berdampak pada peningkatan produksi padi, sehingga dapat menstabilkan persediaan pangan nasional. Manfaat lain dari keberhasilan aplikasi umpan VCD ini adalah peningkatan pendapatan petani yang secara langsung berujung pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga. 11