34. Peranan Gizi Pada Anemia Ibu Hamil

advertisement
PERANAN GIZI PADA
ANEMIA IBU HAMIL
OLEH :
Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt, M.Kes
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
1
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................
i
SURAT KETERANGAN .................................................................................................
ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................
iii
A. Pendahuluan ........................................................................................................
1
B. Anemia pada Kehamilan .......................................................................................
4
C. Zat Besi
............................................................................................................
D. Interaksi Zat Besi, Asam Folat dan Seng ................................................................
9
14
E.. Kesimpulan ............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA
2
Peranan Gizi Pada Anemia Ibu Hamil
A. Pendahuluan
Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang sampai
saat ini masih terdapat di Indonesia yang dapat meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Pada tahun 2003, Republika
Online memaparkan bahwa kematian ibu melahirkan dan bayi saat
kelahiran di Indonesia dinilai masih tinggi. Angka kematian bayi pada saat
kelahiran mencapai 39 per 1000 kelahiran. Sedangkan angka kematian
ibu melahirkan mencapai 307 per 100.000 kelahiran.
Seperti Negara berkembang lainnya, di Indonesia anemia disebabkan
karena defisiensi zat gizi mikro (micronutrient) dengan penyebab
terbanyak defisiensi zat besi. Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung
berlangsung di Negara sedang berkembang, ketimbang Negara yang
sudah maju. 36% atau kira-kira 1400 juta orang dari perkiraan populasi
3800 juta orang di Negara sedang berkembang menderita anemia jenis
ini, sedangkan prevalensi di Negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira
100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang. (Arisman, 2010).
Sedangkan menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007,
prevalensi anemia gizi ibu hamil di Indonesia sebesar 24,5%, dan di
Sulawesi Selatan 46,7% . Hal ini masih sangat besar khususnya yang
terjadi di Sulawesi Selatan.
Selama ini diketahui bahwa defisiensi besi bukan satu-satunya
penyebab anemia namun bila prevalensi anemia tinggi, defisiensi besi
3
dianggap sebagai penyebab utama. Sebuah penelitian di Takalar,
Sulawesi Selatan menyebutkan asupan Besi yang kurang pada ibu hamil
anemia adalah 82,35% dan pada asupan Seng yang kurang yaitu
62%.(Tunny,2011). Intake mikronutrien yang lebih rendah dari jumlah
yang dianjurkan bisa memperbesar risiko terhadap timbulnya defisiensi
mikronutrien sehingga daerah yang memiliki prevalensi anemia gizi besi
yang tinggi, prevalensi defisiensi Seng (Zn) dan Folat diperkirakan tinggi
juga. Hal ini sangat erat kaitannya pada Negara berkembang yang
kebanyakan makanan pokok berasal dari sumber nabati, sementara
konsumsi produk hewaninya rendah, sehingga ketersediaan dan asupan
Besi (Fe), Seng (Zn), sering rendah dan dapat menimbulkan anemia
khususnya pada ibu hamil yang mengalami peningkatan kebutuhan akan
zat-zat gizi.
Penanggulangan anemia sudah cukup lama dilakukan namun
prevalensinya masih tinggi. Di Indonesia penanggulangan anemia ibu
hamil diprioritaskan pada pemberian suplementasi Tablet Besi Folat.
Namun berbagai masalah diperkirakan mempengaruhi suplementasi ini,
seperti distribusi, dosis yang tidak tepat, serta kepatuhannya. Sekarang
berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi
anemia pada ibu hamil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
suplemen multi zat gizimikro lebih efektif dalam menurunkan kejadian
anemia dan pencegahan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR). Salah
satu penelitian yang akan dilakukan adalah dengan suplementasi kapsul
daun
kelor
(Moringa
oleivera).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
4
mengembangkan tepung daun kelor menjadi herbal untuk ibu hamil,
memberikannya kepada ibu hamil trimester I, membuktikan pengaruhnya
terhadap status gizimikro dan kerusakan DNA ibu. Dengan memberikan
kapsul tepung daun kelor
yang berisi 500 mg selama 90 hari. yang
mengandung Kalsium 10,203 mg, Tembaga 0,006 mg, Besi 0,14 mg,
Kalium 6,92 mg, Magnesium 2,253 mg, Fosfor 4,483 mg, Mangan 0,042,
Seng 0,127 mg, Vit.A 78,1 UI, Vit.C 3,865 mg. Sebelum dan sesudah
intervensi akan dilakukan pengukuran kadar Hb, Folat, feritin plasma,
kerusakan DNA.
Kondisi status zat-zat gizi mikro pada kejadian anemia ibu hamil
belum banyak diteliti,
terlebih lagi sebelum pemberian suplementasi.
Secara teori status salah satu zat gizimikro saling berinteraksi dengan zat
gizimikro lainnya. Dalam interaksi antar zat gizimikro ini, ada dua hal yang
mungkin terjadi, yaitu saling bersaing saat diabsorpsi atau defisiensi pada
salah satu zat gizimikro akan mempengaruhi metabolisme zat gizimikro
lainnya.
Hasil penelitian di Cina menunjukkan bahwa 80% wanita menderita
anemia hanya 17% yang penyebabnya defisiensi Besi dan 44% laiinya
terjadi karena defisiensi satu atau lebih vitamin B. Sebuah penelitian di
Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa vitamin A dan Seng ibu hamil
mempengaruhi
menyebutkan
hasil
bahwa
suplementasi
konsentrasi
Besi
asupan
Folat.
Besi
Sebuah
yang
pustaka
tinggi
akan
mempengaruhi absorpsi Tembaga dan Seng karena mempunyai bilangan
valensi yang sama. Defisiensi Folat dan vitamin B 12 akan mempengaruhi
5
replikasi Deoxideribo Nucleic Acid (DNA) dan proses pembelahan sel
yang pada gilirannya mengganggu pembentukan hemoglobin.
B. Anemia Pada Kehamilan
Ibu hamil merupakan salah satu kelompok penderita anemia. Angka
anemia ibu hamil tetap saja masih tinggi meskipun sudah dilakukan
pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan. Berdasarkan data
SKRT tahun 1995 dan 2001, anemia pada ibu hamil sempat mengalami
penurunan dari 50,9% menjadi 40,1% (Amiruddin, 2007).
Angka kejadian anemia di Indonesia semakin tinggi dikarenakan
penanganan anemia dilakukan ketika ibu hamil bukan dimulai sebelum
kehamilan. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2010 didapatkan data
bahwa cakupan pelayanan K4 meningkat dari 80,26% (tahun 2007)
menjadi 86,04% (tahun 2008), namun cakupan pemberian tablet Fe
kepada ibu hamil menurun dari 66,03% (tahun 2007) menjadi 48,14%
(tahun 2008) (Depkes, 2008).
Menurut WHO (1972), anemia pada kehamilan terjadi jika kadar
hemoglobin kurang dari 11 mg/dL (Basu,2010). Sedangkan menurut CDC
(1998), anemia terjadi pada ibu hamil trimester 1 dan 3 jika kadar
hemoglobin kurang dari 11 mg/dL sedangkan pada ibu hamil trimester 2
jika kadar Hb kurang dari 10,5 mg/dL (Lee,2004).
Anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis
eritrosit, terutama besi, vitamin B12, asam folat. Selebihnya merupakan
akibat dari berbagai kondisi seperti pendarahan, kelainan genetik penyakit
kronik atau keracunan. Pada kehamilan, tubuh kekurangan beberapa zat
6
gizi maka akan terjadi anemia (Hoffbrand, 2005). Anemia sebagai akibat
kekurangan gizi disebut anemia gizi, yang sebagian besar disebabkan
kekurangan besi yang lazim disebut anemia gizi besi (Narins, 1992).
Berdasarkan klasifikasi dari WHO kadar hemoglobin pada ibu hamil
dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu ; Hb > 11 gr%Tidak anemia
(normal), Hb 9-10 gr% Anemia ringan, Hb 7-8 gr% Anemia sedang dan Hb
<7 gr% Anemia berat.
kehamilan menyebabkan terjadinya peningkatan volume plasma
sekitar 30%, eritrosit meningkat sebesar 18% dan hemoglobin bertambah
19%. Peningkatan tersebut terjadi mulai minggu ke-10 kehamilan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa bertambahnya volume
plasma lebih besar daripada sel darah
pertengahan kehamilan dan
meningkat kembali pada akhir kehamilan.(Hoffbrand, 2005)
Pengenceran darah (hemodilusi) pada ibu hamil sering terjadi
dengan peningkatan volume plasma 30%-40%, peningkatan sel darah
18%-30% dan hemoglobin 19%. Secara fisiologis hemodilusi untuk
membantu meringankan kerja jantung.
Hemodulusi terjadi sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai
puncaknya pada kehamilan 32-36 minggu. Bila hemoglobin ibu sebelum
hamil berkisar 11 gr% maka dengan terjadinya hemodilusi akan
mengakibatkan anemia hamil fisiologis dan Hb ibu akan menjadi 9,5-10
gr%.
Saat hamil diperlukan hingga 600 mg besi untuk meningkatkan
massa eritrosit dan 300 mg lagi untuk janin. Walaupun absorpsi meningkat
7
hanya sedikit wanita yang terhindar dari kekurangan cadangan besi yang
parah pada akhir kehamilan.(Hoffbrand, 2005)
Kehamilan
merupakan
kondisi
yang
banyak
menghabiskan
cadangan besi pada wanita usia subur, pada tiap kehamilan seorang ibu
kehilangan rata-rata 680 mg besi, jumlah ini ekuivalen dengan 1300 ml
darah (Bothwell, 2000). Di daerah katulistiwa besi lebih banyak keluar
melalui keringat, sedangkan masuknya besi yang dianjurkan setiap
harinya untuk wanita hamil 17 mg. untuk memenuhi kebutuhan
meningkatnya volume darah selama kehamilan, ibu hamil membutuhkan
tambahan 450 mg besi (Wiknyosastro, 1999).
Pada awal kehamilan ferritin serum mengalami kenaikan ringan. Hal
ini dimungkinkan karena turunnya aktivitas eritropoetik sehingga besi
dialihkan ke cadangan. Tetapi setelah itu konsentrasi ferritin serum turun
sampai 50% pada pertengahan kehamilan. Hal ini mencerminkan adanya
hemodilusi dan mobilisasi besi dari tempat cadangan untuk memenuhi
kebutuhan yang meningkat akibat kehamilan (Yetti, 2002). Ibu hamil dan
bayi yang sedang tumbuh termasuk yang paling rentan menderita
defisiensi besi serta harus menyerap zat besi lebih banyak dari pada yang
hilang dari tubuh (Litwin, 1998).
Selain besi, kebutuhan folat meningkat sekitar dua kali lipat pada
kehamilan dan kadar folat serum turun sampai sekitar separuh kisaran
normal dengan penurunan yang kurang dramatis dalam folat eritrosit
(Hooffbrand, 2005).
8
Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia
defisiensi besi sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga
gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan
gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya. Gejalagejala
dapat
berupa
kepala
pusing,
palpitasi, berkunang-kunang,
perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu,
lemah, lelah, disphagia dan pembesaran kelenjar limpa. Pada umumnya
sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejalagejala dan tanda-tanda anemia akan jelas (Helen, 2002).
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada
kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas,
berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat.
Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering
dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab
wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah. Dampak
anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga
terjadinya
gangguan
kelangsungan
kehamilan
abortus,
partus
imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus
lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim,
daya tahan terhadap infeksi dan stress kurang, produksi ASI rendah), dan
gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian
peri¬natal, dan lain-lain) (Manuaba, 1998).
Pengobatan anemia biasanya dengan pemberian tambahan zat besi.
Sebagian besar tablet zat besi mengandung ferosulfat, besi glukonat atau
9
suatu polisakarida. Tablet besi akan diserap dengan maksimal jika
diminum 30 menit sebelum makan. Biasanya cukup diberikan 1 tablet/hari,
kadang diperlukan 2 tablet. Kemampuan usus untuk menyerap zat besi
adalah terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam dosis yang lebih
besar adalah sia-sia dan kemungkinan akan menyebabkan gangguan
pencernaan dan sembelit. Zat besi hampir selalu menyebabkan tinja
menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek samping yang normal dan
tidak berbahaya (Arisman, 2010).
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang
dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Zat besi dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama
daging merah) seperti sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran
berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis, kacang
polong, serta kacang-kacangan. Perlu diperhatikan bahwa zat besi yang
terdapat pada daging lebih mudah diserap tubuh daripada zat besi pada
sayuran atau pada makanan olahan seperti sereal yang diperkuat dengan
zat besi. Anemia juga bisa dicegah dengan mengatur jarak kehamilan
atau kelahiran bayi. Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan
dan melahirkan, akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi
makin anemis. Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap
kehamilan
akan
menguras
persediaan
Fe
tubuh
dan
akhirnya
menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Oleh karena itu, perlu
diupayakan agar jarak antar kehamilan tidak terlalu pendek, minimal lebih
dari 2 tahun (Arisman,2010).
10
C. Zat Besi
Besi adalah salah satu unsure terbanyak dalam lapisan kulit bumi,
tetapi defisiensi besi adalah penyebab anemia tersering, yang menngenai
sekitar 500 juta orang diseluruh dunia. Hal ini terjadi karena tubuh
mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengabsorpsi besi dan
seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang berlebihan akibat
pendarahan (Hoffbrand, 2005).
Besi merupakan unsur mikro (trace element) yang berperan penting
dalam proses metabolisme tubuh. Besi berperan dalam tubuh pada
proses respirasi seluler.
Besi merupakan
komponen
hemoglobin,
myoglobin,dan cytochrome, terdapat juga pada enzim katalase dan
peroksidase. Didalam semua komponen tersebut besi sebagai porphyrin.
Besi yang tersisa didalam tubuh berikatan dengan protein, sebagai protein
penyimpan (ferritin dan hemosiderin) dan bentuk transport (transferin).
Senyawa
yang
mengandung
besi
bagi
tubuh
berperan
dalam:
pengangkutan (carrier) O2 dan CO2, pembentukkan sel darah merah,
sebagai katalisator pembentukkan betakaroten menjadi vitamin A, sintesis
collagen, sintesis DNA, detoksifikasi zat racun pada hepar, transport
elektron pada mitokondria, dan proliferasi dan aktivasi dari sel T, sel B dan
sel NK (Sudarmadji, 1996).
Zat besi dalam tubuh manusia erat dengan ketersediaan jumlah
darah yang diperlukan. Dalam tubuh manusia zat besi memiliki fungsi
yang sangat penting, yaitu untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke
11
jaringan dan mengangkut elektron di dalam proses pembentukan energi di
dalam sel ( Garrow, 1993).
Gambar 2.1 Sebaran Besi di Dalam Tubuh Manusia
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa: (1)
senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang
berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang
dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang
berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi
dari satu kompartemen ke kompartemen lain (Sudoyo, 2006).
Besi dalam makanan terdapat dua bentuk, yaitu besi heme dan besi
non heme. Besi heme terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan
seperti dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi, tidak dihambat
oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi.
Sedangkan besi non heme terdapat dalam sayuran, biji-bijian dan buah-
12
buahan. Tingkat absorpsinya rendah rendah, dipengaruhi oleh bahan
pemacu atau bahan penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah
(Tranggana, 2009; Sudoyo, 2006).
Sebagian besar besi dalam diet (88%) berupa besi non heme dan
terutama terdiri atas garam besi dan besi non heme dibebaskan dari
ikatan organik di dalam lambung (Litwin, 1998).
Jumlah besi dalam kompartemen tubuh yaitu dalam bentuk transferin
3-4 mg, hemoglobin dalam sel darah merah 2500 mg, dalam bentuk
mioglobin dan berbagai enzim 300 mg, disimpan dalam bentuk feritin dan
dalam bentuk hemosiderin 1000 mg. Tidak ada jalur fisiologis untuk
pengeluaran Fe dari tubuh, sehingga absorbsi diatur secara ketat melalui
duodenum proksimal. Pada keadaan normal tubuh akan kehilangan 1 mg
besi per hari dan akan digantikan melalui absorpsi (Sudarmadji, 1996)
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran tertutup yang
diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi
fisiologis bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara
1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui deskuamasi
sel epitel usus. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung
dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang
sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoiesis sebanyak
24 mg per hari. Eritrosit yang beredar secara efektif di sirkulasi
membutuhkan 17 mg besi, sedangkan besi sebesar 7 mg akan
dikembalikan di makrofag karena terjadinya eritropoiesis non efektif
(hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar
13
juga akan dikembalikan ke makrofag setelah mengalami proses penuaan,
yaitu sebesar 17 mg (Setiabudy, 2011).
Transportasi dan penyimpanan besi terutama diperantarai oleh tiga
protein – transferin, reseptor transferin dan feritin. Transferin mengangkut
besi ke jaringan yang mempunyai reseptor transferin, khususnya eritroblas
dalam sumsum tulang, yang menggabungkan besi menjadi hemoglobin.
Sebagian besi disimpan dalam sel retikuloendotel sebagai feritin dan
hemosiderin. Kadar feritin dan reseptor transferin (TfR) berkaitan dengan
status besi sehingga kelebihan besi menyebabkan terjadinya peningkatan
feritin jaringan dan penurunan TfR, sedangkan pada defisiensi besi feritin
rendah dan TfR meningkat (Hoofbrand, 2005)
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan.
Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses
absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi pada bagian proksimal
duodenum. Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase (Gropper, 2009) :
-
Fase luminal  besi pada makanan diolah di lambung lalu siap
diserap di duodenum.
-
Fase mukosal  proses penyerapan dalam mukosa usus yang
merupakan proses aktif.
-
Fase korporeal  meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi,
utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi
oleh tubuh.
Absorbsi besi akan meningkatkan bila dikomsumsi bersama dengan
asam Askorbat (vitamin C ) yang banyak terdapat pada buah-buahan
14
tertentu. Faktor penghambat absorbsi besi diantaranya adalah pytat, besi
berikatan pada senyawa fenolik (kopi, teh, sayuran tertentu, bumbu
tertentu), magnesium dan kalsium ( misalnya dalam susu dan keju).
Dalam diet sebagai besi heme (Fe3+) yang berasal dari hewani dan
besi non heme (Fe2+) yang berasal dari nabati. Besi diabsorbsi dalam
bentuk Fe2+, reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ oleh enzim ferireduktase.
Enterosit di duodenum proksimal berperan dalam absorbsi Fe. Besi
diangkut dalam tubuh adalah dalam bentuk transferin. Konsentrasi
Transferin dalam plasma sekitar 300 mg/dL.
Absorpsi besi dipengaruhi oleh 2 faktor utama :
1. Regulator kebutuhan besi (Hepcidin)
Hepsidin merupakan pengatur besi dalam tubuh, di mana molekul
ini akan meningkat saat terjadi inflamasi melalui pelepasan IL-6 dari
makrofag. Adanya hepsidin menyebabkan menurunnya pelepasan
besi dari makrofag. Hepsidin pada enterosit dapat menghambat
kerja ferroportin, sehingga absorbsi besi untuk dibawa ke hati
berkurang (Setyabudy, 2011)
2. Regulator Hematopoesis
Kalau ada hipoksia jaringan yang akan dimonitor oleh ginjal.
Sebagai respons ginjal akan mengeluarkan hormon eritropoetin
untuk merangsang eritropoesis dalam sumsum tulang. Regulator ini
lebih penting dari regulator pentimpanan, namun demikian regulator
penyimpanan memegang peran yang cukup penting dalam mgatur
15
kebutuhan besi yang meningkat dan dalam mencegah kelebihan
besi (Tranggana, 2009)
Gambar 2.2 Metabolisme Zat Besi
D. Interaksi Zat Besi, Asam Folat dan Seng
Status dan manipulasi terhadap satu atau lebih zat gizimikro dalam
tubuh akan mempengaruhi metabolism zat gizimikro lainnya (Watts,
1997).
Zat gizimikro yang mungkin berinteraksi dengan besi dalam
fungsinya pada sintesis hemoglobin cukup banyak antara lain adalah
asam folat, vitamin B12, vitamin A, vitamin C, seng dan tembaga
(Ronnenberg, 2000).
Interaksi besi dan folat adalah peranan folat pada metabolism asam
nukleat. Pada defisiensi folat akan menyebabkan gangguan pematangan
inti eritrosit yang pada gilirannya akan menyebabkan gangguan dalam
16
replikasi
DNA
dan
proses
pembelahan
sel.
Keadaan
ini
akan
mempengaruhi kinerja sel tubuh termasuk sel yang berperan dalam
sintesis hemoglobin (Mc Laren, 2002)
Defisiensi folat akan menyebabkan gangguan metabolism DNA dan
bila berkelanjutan akan menyebabkan kerusakan DNA dan gangguan
ekspresi gen (Choi, 2000)
Dari sisi pandang eritopoisis, defisiensi folat akan menyebabkan
gangguan pematangan eritrosit, yang menyebabkan munculnya sel darah
merah dengan bentuk dan ukuran yang abnormal. Kondisi ini disebut
anemia megaloblastik. Keadaan ini akan mempengaruhi kinerja seluruh
sel tubuh termasuk sel yang berperan dalam pembentukan hemoglobin.
Biasanya defisiensi folat seiring dengan defisiensi besi. Pada populasi
defisiensi besi rendah maka prevalensi defisiensi folat juga rendah
(Monge, 2001).
Peranan asam folat dalam proses sintesis nukleo protein merupakan
kunci pembentukan dan produksi butir-butir darah merah normal dalam
susunan tulang. Kerja asam folat tersebut banyak berhubungan dengan
kerja dari vitamin B12 (Winarno, 1997). Folat diperlukan dalam berbagai
reaksi biokimia dalam tubuh yang melibatkan pemindahan satu unit
karbon dalam interkonversi asam amino misalnya konversi homosistein
menjadi metionin da serin menjadi glisin atau pada sintesis prekusor DNA
purin (Hoffbrand, 2005).
Asam folat berperan sebagai koenzim dalam transportasi pecahanpecahan karbon tunggal dalam metabolisme asam amino dan sintesis
17
asam nukleat. Bentuk koenzim ini adalah tetrahidrofolat (THF) atau asam
tetrahidrofolat (THFA) THFA beperan dalam sintesis purin-purin guanin
dan adenin serta pirimidin timin, yaitu senyawa yang digunakan dalam
pembentukan DNA dan RNA. THFA berperan dalam saling mengubah
antara serin dan glisin, oksidasi glisin, metilasi hemosistein menjadi
metionin dengan vitamin B12 sebagai kofaktor dan metilasi prekusor
etanolamin
menjadi
vitamin
kolin.
Asam
folat
dibutuhkan
untuk
pembentukan sel darah merah dan sel darah putih dalam sumsum tulang
dan untuk pendewasaannya. Asam folat berperan sebagai pembawa
karbon tunggal dalam pembentukan hem. Vitamin B12 diperlukan untuk
mengubah folat menjadi bentuk aktif
dan dalam fungsi normal
metabolisme semua sel, terutama sel-sel saluran cerna, sumsum tulang,
dan jaringan saraf (Almatsier, 2008).
Seng merupakan trace element yang paling banyak terdapat dalam
tubuh manusia selain besi. Interaksi antara seng dan besi telah dibuktikan
oleh sejumlah penelitian pada hewan percobaan dan manusia. Besi
menghambat absorpsi Zn manakala keduanya diberikan dalam bentuk
anorganik (Lonnerdal, 1998).
Interaksi Zn dengan besi pertama kali terjadi di usus. Zn
berkompetisi dengan besi untuk dapat diserap di usus. Bila Zn lebih
banyak jumlahnya maka Zn akan diserap lebih banyak dibanding Fe.
Setelah diserap di usus, besi dan Zn akan dibawa oleh transferin ke
darah, jaringan, hati, dan sebagainya. Dalam keadaan normal transferin
akan membawa besi kurang dari 50%. Pada kasus kelebihan besi,
18
transferin akan mengikat lebih dari 50% besi yang akan mengakibatkan
tempat ikatan untuk Zn tinggal sedikit, sehingga Zn tidak bisa dibawa oleh
transferin. Disamping itu asupan berlebihan salah satu atau kombinasi
trace element dapat menimbulkan defisiensi besi dan akhirnya anemia
(Watts, 1997).
Pemberian Zn dalam jangka lama dapat menyebabkan defisiensi
tembaga, dimana tembaga mempengaruhi aktivitas peroksidase yang
akan menghambat eritropoesis dan akhirnya menimbulkan anemia
(Lonnerdal, 1998)
Jika status Zn rendah, sintesa dari RBP (Retinol Binding Protein)
terganggu/berkurang. RBP ini berfungsi membawa vitamin A dari
cadangan ke jaringan yang membutuhkan. Selain itu, Zn merupakan cofactor dari enzim asam amino levulinic dehidratase untuk sintesis
transferin. Transferin berfungsi untuk membawa besi yang berasal dari
makanan yang diserap usus, dibawa oleh darah kemudian didistribusikan
ke sum-sum tulang dan jaringan yang membutuhkan.
Interaksi antara besi dan seng berlangsung secara tidak langsung,
peran seng dalam sintesi protein transferin yaitu protein pengangkut besi,
serta karena defisiensi seng juga menurunkan sistem kekebalan dan
dapat mengganggu metabolism besi (Nixon, 2000)
Hemoglobin tersusun atas molekul porfirin besi, protein dan globin.
Molekul porfirin (C20H14N4) tersusun atas 4 molekul pirol. Molekul porifin
dengan bantuan enzyme heme sintetase atau ferrochelatase aka
mengikat molekul Fe2+ untuk selanjutnya membentuk heme. Molekul
19
protein globin merupakan molekul tetramer yang terdiri atas 4 subunit,
dimana tiap subunit terdiri atas rantai polipeptida. Dua rantai mempunyai
struktur yang identik yaitu α dan 2 rantai indentik lainnya adalah β.
Pemberian
besi
dalam
bentuk
anorganik
akan
menurunkan
konsentrasi Zn serum (O’Brien, 1999). Pemberian Zn dalam bentuk
anorganik akan menurunkan konsentrasi serum feritin. Zn dalam bentuk
senyawa anorganik dapat menghambat penyerapan besi dalam bentuk
senyawa anorganik (Yadrick, 1989).
Pemberian Zn dalam bentuk anorganik dan Fe dalam bentuk organik
nyata tidak mempengaruhi penyerapan Zn. Begitu sebaliknya, pemberian
Zn dalam bentuk organik dan Fe dalam bentuk anorganik nyata tidak
mempengaruhi penyerapan Zn (Solomons, 1981).
Adanya ligan dalam makanan penyerapan Zn tidak dipengaruhi oleh
konsentrasi besi. Besi dan Zn tidak berkompetisi untuk mendapatkan
tempat ikatan transferin pada permukaan usus, karena Zn diserap
kemudian diikat oleh albumin (Lonnerdal, 1998).
E. Kesimpulan
Menurut WHO (1972), anemia pada kehamilan terjadi jika kadar
hemoglobin kurang dari 11 mg/dL. Sedangkan menurut CDC (1998),
anemia terjadi pada ibu hamil trimester 1 dan 3 jika kadar hemoglobin
kurang dari 11 mg/dL sedangkan pada ibu hamil trimester 2 jika kadar Hb
kurang dari 10,5 mg/dL.
Anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis
eritrosit, terutama besi, vitamin B12, asam folat. Selebihnya merupakan
20
akibat dari berbagai kondisi seperti pendarahan, kelainan genetik penyakit
kronik atau keracunan. Pada kehamilan, tubuh kekurangan beberapa zat
gizi maka akan terjadi anemia. Anemia sebagai akibat kekurangan gizi
disebut anemia gizi, yang sebagian besar disebabkan kekurangan besi
yang lazim disebut anemia gizi besi.
21
Daftar Pustaka
Almatsier, Sunita. 2008. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta.
Amiruddin, Ridwan, Ermawati Syam, Rusnah, Septi Tolanda, Irma
Damayanti. 2007. Anemia Defisiensi Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia
(Evidenced
Based).
Diakses
tanggal
10
Mei
2012.
http://ridwanamiruddin.wordpress.com
Arisman, MB. 2010. Buku Ajar Ilmu Gizi Dalam Daur Kehidupan. EGC :
Jakarta.
Choi SW.,Mason J.B. 2000. Folate and Carcinogenics. An Intregerated
Scheme. J.Nutr. 129-32
Departemen Kesehatan. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Diakses
tanggal 10 Mei 2012. http://www.depkes.go.id
Garrow J.S.,James W.,Ralph A. 1993. Human Nutrtition Dietetics 10th
Edition. Elsevier. Inggris
Gropper S.S.,Smith L.J.,Groff L.J. 2009. Advanced Nutrition and Human
Metabolism 5th Edition. Wadsworth. Amerika Serikat
Hoffbrand V.A. Pettit.E.J. dan Moss.H.A. 2005.
Hematologi. Penerbit EGC Kedokteran : Jakarta
Kapita
Selekta
Lee, Rae Lynne. 2004. Iron Deficiency Anemia. Diakses tanggal 10 Mei
2012. http://www.cdph.ca.gov
Litwin C. 1998. Serum Soluble Transferin Receptor in Diagnosis of Iron
Deficiency Anemia. 1-4
Lonnerdal P. 1998. Iron-Zinc-Copper Inteaction in Micronutrients
Interactions : Impact on Children Health and Nutrition. USAID/FAO.
Washington DC.
Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan dan Keluarga
berencana Untuk pendidikan bida. Penerbit Buku kedokteran EGC,
Jakarta.
Mc Laren DS. 2002. B Group Vitamin in The News. Medical Progress. 812
Monge R.V.,Rivero A. 2001. A Iron and Folat Status in Urban and Rural
Costarica Teenagers. Food and Nutrition Buletin. 45-51
22
Narins DMC. 1992. Minerals. Nutrition and Diet Therapy. WB Saunders Co
: Philadelpia
Nixon P. 2000. Iron Transport, Storage and Overload in GMC
Biochemistry Home Page. Biochemistry Departement. The University of
Queensland Australia.
Ronnenberg A.G.dkk. 2000. Anemia and Deficiencies of Folat and Vitamin
B6 are Comon and Vary with Season in Chinese Women of Chilbering
Age. Community and International Nutrition : 2703-2709
Setiabudy D.R. 2011. Anemia Defisiensi Besi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
Solomons N.W.,Jacob R.A. 1981. Studies on The Bioavailability of Zinc in
Human effects of Heme and Non Heme Iron on The Absorption of Zinc.
Am.J.Clin.Nutr. 475-482
Sudarmadji, S., Bambang Haryono dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Librty. Yogyakarta
Sudoyo W.A.,Setiyohadi B.,Alwi I.,Simadibrata K.,Setiati S. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi ke-4. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta
Tranggana S. 2009. Buku Ajar Hematologi Anak. Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK Unhas. Makassar
Watts D.L. 1997. Iron in Trace Elements and Other Essential Nutrients.
Dallas .Amerika Serikat : 106-116
Wiknyosastro H. 1999. Ilmu Kebidanan Edisi Ke-3. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiharjo. Jakarta
Yadrick M.K.,Kenney M.A.,Winterfelt E.A.1989. Iron, Copper and Zinc
Status : Response to Supplementation with Zinc or Zinc and Iron in Adult
Females. Am.J.Clin.Nutr. 145-50
23
Download