2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di laut mau pun di perairan umum secara bebas. Kegiatan ini dibedakan dengan perikanan budidaya, dimana pada perikanan tangkap binatang atau tanaman air masih belum merupakan milik seseorang sebelum binatang atau tanaman air tersebut ditangkap atau dikumpulkan. Pada perikanan budidaya, komoditas tersebut telah merupakan milik seseorang atau kelompok orang yang melakukan budidaya tersebut (Monintja DR 1989). Menurut Nelwan A (2006), perikanan tangkap merupakan sebuah satuan yang bertujuan mengeksploitasi sumberdaya hayati perairan bagi kesejahteraan manusia melalui usaha penangkapan atau melakukan pengumpulan. Satuan yang dimaksudkan adalah tersedianya sumberdaya hayati yang akan dieksploitasi dan sarana untuk melakukan tujuan tersebut. Satuan sarana yang dimaksudkan disebut dengan unit penangkapan, yang adalah satuan teknis untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Umumnya terdiri atas nelayan, perahu atau kapal, dan alat penangkapan ikan. Kegiatan perikanan tangkap akan menghasilkan sejumlah hasil tangkapan yang dipengaruhi oleh stok sumberdaya ikan serta jumlah dari unit penangkapan tersebut atau juga disebut upaya penangkapan dalam kurun waktu tertentu. Komponen utama dari perikanan tangkap menurut Monintja DR (1989) adalah unit penangkapan, yang terdiri atas : (1) perahu (kapal), (2) alat tangkap, dan (3) tenaga kerja/nelayan. Jenis dan skala unit penangkapan yang diperlukan oleh suatu usaha penangkapan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang merupakan faktor penentu atau pembatas pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan tertentu. Kaitan-kaitan tersebut dapat digambarkan secara sederhana seperti terlihat pada Gambar 1. Masyarakat Prasarana dan Industri hulu Unit Penangkapan Prasarana dan Industri hilir Sumber Perikanan Gambar 1. Hubungan faktor-faktor dalam usaha perikanan Garis panah yang tidak terputus menunjukkan suatu proses operasi atau pelayanan (1) Masyarakat membangun prasarana dan industri, (2) Prasarana dan Industri akan melayani kebutuhan unit penangkapan, (3) Unit penangkapan dioperasikan untuk mengeksploitasi sumberdaya, (4) Hasil tangkapan akan diproses oleh industri hilir, (5) Produk yang dihasilkan oleh industri hilir akan dikonsumsi oleh masyarakat dan (6) Unit penangkapan akan mendapat imbalan rupiah dari masyarakat. Garis panah yang terputus-putus menggambarkan kaitan pengaruh antara lain (1) jenis dan besarnya potensi sumberdaya akan menentukan jenis dan besarnya unit penangkapan ikan, (2) Kapasitas dan jenis industri hilir akan ditentukan oleh preferensi masyarakat terhadap jenis produk dan juga oleh jenis dan besarnya hasil tangkapan, (3) jenis dan besarnya unit penangkapan tergantung pula pada kapasitas prasarana dan industri hilir dan juga pada kemampuan modal dan keterampilan yang ada pada masyarakat (Monintja DR 1989). 6 2.2 Pembangunan Regional Pembangunan dapat berarti pertumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan yang dimaksudkan disini adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kebijaksanaan ekonomi regional ialah penggunaan secara sadar berbagai peralatan (instrumen) untuk merealisasikan tujuan-tujuan regional, dan tanpa adanya usaha yang disengaja tersbeut tidak akan tercapai. Kebijaksanaan pembangunan regional harus disesuaikan dengan struktur dasar masing-masing daerah. Salah satu tujuan dari kebijaksanaan pembangunan adalah mengurangi perbedaan dalam tingkat perkembangan atau pembangunan dan kemakmuran antar daerah yang satu dengan yang lain (Kadariah 1985 diacu dalam Farida NA 2006). Perencanaan regional (regional planning) dimaksudkan agar semua daerah dapat melaksanakan pembangunan secara proporsional dan merata sesuai dengan potensi yang ada di daerah tersebut. Manfaat perencanaan regional adalah untuk pemerataan pembangunan atau perluasan dari pusat ke daerah (spread effects). Bila perencanaan regional dan pembangunan regional berkembang dengan baik, maka diharapkan bahwa kemandirian daerah dapat tumbuh dan berkembang sendiri (mandiri) atas dasar kekuatan sendiri (Soekartawi 1990). Salah satu aspek yang mengalami perubahan dalam proses pembangunan adalah aspek fisik wilayah. Pembangunan wilayah merupakan pembangunan ekonomi dengan mempertimbangkan variabel tempat dan waktu. Karakteristik fisik dan sosial di wilayah Indonesia beragam memberikan berbagai potansi wilayah berbeda. Perbedaan potensi wilayah di Indonesia menyebabkan kesenjangan yaitu kesenjangan antar wilayah, kesenjangan antar desa dan kota, kesenjangan antara golongan pendapatan (Nindyantoro 2004 diacu dalam Mailasari K 2007). Pembangunan nasional terkait erat dengan pembangunan wilayah. Menurut Noragawati (2002) dalam Mailasari K (2007), proses pembangunan yang dilaksanakan suatu bangsa mengandung unsur perubahan besar di segala aspek kehidupan, yaitu perubahan struktur ekonomi, perubahan struktur sosial, perubahan fisik wilayah, perubahan pola konsumsi, perubahan sumber alam dan lingkungan hidup, perubahan teknologi serta perubahan sistem nilai dan kebudayaan. 7 2.3 Teori Basis Ekonomi Dalam konteks ilmu ekonomi regional, terdapat berbagai teori yang mencoba menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan suatu wilayah. Salah satu konsep yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang pertumbuhan suatu wilayah adalah Teori Basis Ekonomi (Economic Basic Theory) (Glasson J 1977). Inti dari model ekonomi basis adalah bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barangbarang dan jasa, termasuk tenaga kerja (Budiharsono 2001). Dalam bahasa akademi, perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua sektor yaitu kegiatan basis dan kegiatan bukan basis. Kegiatan basis (basic activities) adalah kegiatan yang mengekspor barang-barang dan jasa-jasa ke tempat-tempat di luar batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, atau yang memasarkan barang-barang dan jasa-jasa kepada orang-orang yang datang dari luar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan bukan basis (non-basic activities) adalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal di dalam batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan ini tidak mengekspor barang-barang jadi, luas lingkup produksi dan daerah pasar yang terutama adalah bersifat lokal (Glasson J 1977). Implisit di dalam pembagian kegiatan ini terdapat hubungan sebab dan akibat yang membentuk teori basis ekonomi. Bertambah banyaknya basis di dalam suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan, menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya berkurangnya kegiatan basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah yang bersangkutan, dan turunnya permintaan terhadap produk dari kegiatan bukan basis. Dengan demikian, sesuai namanya, kegiatan basis mempunyai peranan penggerak utama (prime mover role) dimana setiap perubahan mempunyai multiplier effek terhadap perekonomian regional (Glasson J 1977). Arus pendapatan yang masuk ke dalam susatu wilayah akan menyebabkan kenaikan konsumsi mau pun kenaikan investasi dalam wilayah, yang pada glirannya 8 dapat meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang baru akan menampung pengangguran yang terdapat di daerah tersebut atau dapat menjadi daya tarik bagi orang-orang dari luar wilayah yang mencari pekerjaan (Kadariah 1985 diacu dalam Farida NA 2006). Teori basis ekonomi ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah, dan dapat memberikan peramalan jangka pendek pertumbuhan suatu wilayah (Glasson J 1977). Kelemahan dari teori basis ekonomi menurut Arsyad (1999) adalah bahwa model ini didasarkan pada permintaan eksternal bukan internal. Pada akhirnya akan menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan-kekuatan pasar secara nasional mau pun global, namun model ini sangat berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi. Teori basis ekonomi tetap relevan digunakan dalam analisis dan perencanaan regional, meskipun terdapat beberapa kekurangan (Glasson J 1977). Pada kondisi tertentu, misalnya dalam mempelajari wilayah yang kecil dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada kegiatan ekspor, kekurangan yang ada dapat diminimumkan dan teori ini sangat bermanfaat untuk membuat peramalan jangka pendek (short-run forecasting). 2.4 Location Quotient Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kegiatan basis dan non basis adalah metode Kuosien Lokasi atau Location Quotient (LQ). Analisis tersebut merupakan analisis untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan tertentu. Pada dasarnya analisis LQ menganalisis perbandingan relatif antara kemampuan sektor di suatu daerah yang diselidiki dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas (Warpani S 1984). Apabila nilai LQ suatu sektor lebih dari satu, maka sektor tersebut merupakan sektor basis dan jika LQ kurang dari satu, maka sektor tersebut merupakan sektor non basis. Metode yang merupakan modifikasi dari LQ adalah metode Kuosien Lokalisasi 9 (LQi). Metode ini dapat mencerminkan tingkat aglomerasi, sedangkan untuk menelaah keuntungan komparatif suatu wilayah dalam memproduksi suatu komoditas maka digunakan Kuosien Spesialisasi (KSi) (Farida NA 2006). Menurut Tarigan (2004), metode LQ adalah membandingkan porsi lapangan kerja atau nilai tambah suatu sektor tertentu di wilayah yang dibandingkan dengan porsi lapangan kerja atau nilai tambah untuk sektor yang sama secara nasional. Asumsi yang digunakan adalah bahwa penduduk di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sama dengan pola permintaan pada tingkat nasional. Selain itu, permintaan wilayah akan suatu barang pertama-tama akan dipenuhi oleh hasil produksi wilayah itu sendiri, jika jumlah yang diminta melebihi jumlah produksi wilayah, maka kekurangannya diimpor. Sebaliknya, produksi yang dihasilkan terlebih dulu ditujukan untuk konsumsi lokal dan diekspor ke luar wilayah apabila terjadi surplus produksi. Apabila LQ kurang dari satu, maka wilayah yang bersangkutan harus mengimpor, sedangkan jika nilai LQ lebih dari satu maka wilayah tersebut dapat melakukan ekspor. Metode LQ banyak dikritik karena didasarkan atas asumsi bahwa produktivitas rata-rata atau konsumsi rata-rata antar wilayah adalah sama. Bisa saja dari suatu wilayah yang lapangan kerjanya untuk sektor satu rendah, tetapi total produksinya lebih tinggi. Perbedaan pengklasifikasian dari sektor kegiatan ekonomi yang mungkin berbeda dari suatu wilayah ke wilayah lain. Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan terjadinya perhitungan ganda (doublecounting) jika di suatu daerah terdapat banyak pekerja yang berasal dari daerah lain sebagai pelaju (Tarigan 2004 diacu dalam Farida NA 2006). Menurut Tarigan (2004) secara umum rumus LQ adalah: LQ = vi / VI vt / VT Dimana: vi = pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja atau indikator lain dari industri atau sektor tertentu di suatu wilayah; VI = total pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja atau indikator lain di wilayah tersebut; 10 vt = pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja atau indikator lain dari industri atau sektor tertentu di wilayah yang lebih luas; VT = total pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja atau indikator lain di wilayah perbandingan yang lebih luas. 2.5 Multiplier Effect Setiap peningkatan yang terjadi pada kegiatan basis akan menimbulkan efek pengganda (Multiplier effect) pada perekonomian wilayah secara keseluruhan. Menurut Glasson J (1977), peningkatan pada kegiatan basis akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan, menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume kegiatan bukan basis. Selain itu arus pendapatan akan meningkatkan konsumsi dan investasi yang pada gilirianya dapat meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja (Kadariah 1985 diacu dalam Farida NA 2006). Multiplier dengan menggunakan indikator pendapatan wilayah dilandaskan pada kenyataan bahwa penginjeksian sejumlah tertentu uang ke dalam perekonomian regional akan menaikkan pendapatan regional yang mengakibatkan bertambahnya pengeluaran konsumen (walaupun dalam jumlah yang lebih kecil daripada jumlah uang yang diinjeksikan semula). Bagian pendapatan yang dibelanjakan ini akan menjadi pendapatan bagi pihak lain yang selanjutnya membelanjakannya sebagian, dan demikian seterusnya (Glasson 1977). Menurut Glasson J (1977) secara keseluruhan pendapatan wilayah (Y) merupakan penjumlahan pendapatan sektor basis (Yb) dan sektor non basis (Yn). Pendapatan sektor basis akan dibelanjakan kembali di dalam wilayah maupun untuk impor. Pendapatan yang dibelanjakan kembali di dalam wilayah untuk produksi lokal akan menghasilkan efek pengganda terhadap pendapatan wilayah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Jika proporsi pendapatan sektor basis yang dibelanjakan kembali dalam wilayah sebesar “r”, maka total pendapatan sektor basis yang dibelanjakan kembali adalah sebesar (r) Yb. Selanjutnya pembelanjaan kembali di 11 dalam wilayah akan menghasilkan total pendapatan sebesar (r2)Yb, kemudian menjadi (r3)Yb dan seterusnya. Keadaan ini dapat ditulis dalam bentuk rumus: Y = Yb + rYb + r2Yb + r3Yb + ... + rnYb = (1 + r + r2 + r3 + ... + rn) Yb ..................................................(2) Rumus tersebut dapat disederhanakan menjadi : ⎛ 1 ⎞ Y = Yb ⎜ ⎟ .......................................................................................(3) ⎝1− r ⎠ Faktor 1/(1-r) di atas merupakan economic multiplier yang menimbulkan efek pengganda terhadap perekonomian secara keseluruhan. Secara empiris nilai “r” sulit ditemukan, maka rumus tersebut dapat diturunkan lebih lanjut untuk mencari nilai “r” sebagai berikut : Yb Y ⎛ 1 ⎞ =⎜ sehingga ⎟ atau 1 − r = Yb Y ⎝1− r ⎠ r = 1− Yb Y − Yb atau r = Y Y Karena Y – Yb = Yn, maka : r= Yn ...................................................................................................(4) Y Dengan demikian economic multiplier dalam jangka pendek adalah : MSY = = 1 1− r = 1 Yn 1− Y Y 1 1 ............................................................(5) = = Y − Yn Yb Yb Y Y Dimana : MSY = koefisien pengganda jangka pendek untuk indikator pendapatan; Y = jumlah total pendapatan wilayah; Yb = jumlah pendapatan sektor basis. Berdasarkan rumus di atas, perubahan pendapatan wilayah karena adanya peningkatan kegiatan basis adalah : ΔY = ΔYb(MSY ) ................................................................................(6) Dimana : MSY = koefisien pengganda jangka pendek untuk indikator pendapatan; 12 ∆Y = perubahan pendapatan wilayah; ∆Yb = perubahan pendapatan sektor basis. Koefisien pengganda jangka pendek tersebut kemudian digunakan untuk memprediksi dampak kegiatan atau sektor basis terhadap perekonomian wilayah secara keseluruhan. 13