BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Disfungsi ereksi (DE) 2.1.1 Definisi DE

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Disfungsi ereksi (DE)
2.1.1 Definisi
DE didefinisikan sebagai ketidakmampuan yang menetap dan atau
kambuhan (setidaknya tiga bulan) untuk mencapai dan mempertahankan ereksi
yang cukup untuk hubungan seksual yang memuaskan (Wespes dkk, 2006).
Walaupun DE merupakan gangguan yang tidak berbahaya, DE berhubungan
dengan kesehatan fisik dan psikologis, dan memiliki pengaruh yang bermakna
pada kualitas hidup, baik bagi penderita maupun pasangannya (Hatzimouratidis
dkk, 2010, Wespes dkk., 2012).
2.1.2 Epidemiologi DE
DE diperkirakan mempengaruhi 20 juta sampai 30 juta laki-laki di
Amerika Serikat (Wespes dkk., 2006). Penelitian epidemiologi memperkirakan
sekitar 5-20% laki-laki menderita DE sedang sampai berat. Adanya perbedaan
dalam laporan insiden kemungkinan disebabkan karena perbedaan metodologi,
usia, dan status sosioekonomi dari populasi penelitian (Hatzimouratidis dkk.,
2010). DE dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis, neurologis, gangguan
hormonal, arteri atau kavernosus, obat-obatan, serta kombinasi faktor ini dan
merokok (Wespes dkk., 2006).
Menurut World Health Organization (WHO), ada 13 milyar perokok di
dunia dan sepertiganya berasal dari populasi global yang berusia 15 tahun ke
atas. Indonesia menduduki peringkat ke-4 jumlah perokok terbanyak di dunia
dengan jumlah sekitar 141 juta orang (Gondodiputro, 2007). Pada hasil survei
Massachusetts Male Aging Study (MMAS) menemukan bahwa kebiasaan
merokok memiliki resiko 24% terjadinya disfungsi ereksi sedang dan berat,
sementara pada bukan perokok hanya memiliki resiko sebesar 14% dan pada
penelitian lain mengatakan kebiasaan merokok pada laki-laki yang berumur 3040 tahun dapat meningkatkan prevalensi disfungsi ereksi sebanyak 40% (Kumar,
2010).
Beberapa penelitian ilmiah tentang penggunaan rokok berkaitan dengan
disfungsi ereksi. Studi ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok merupakan
faktor risiko independen untuk disfungsi ereksi vaskulogenik dan menggaris
bawahi kemungkinan kebiasaan merokok dapat bertindak secara sinergis dengan
faktor risiko lainnya. Kebiasaan merokok satu setengah kali lebih mungkin untuk
terkena disfungsi ereksi dibandingkan yang tidak merokok (Familia, 2010;
Pangkahila, 2011; Irianto, 2014).
Beberapa penelitian pendahuluan menyebutkan angka kejadian DE di
beberapa daerah di Indonesia. Penelitian di Manado dengan 41 responden yang
mempunyai kebiasaan merokok, 58,3% mengalami disfungsi ereksi sedangkan
yang tidak mengalami disfungsi ereksi sebanyak 10,0% (Grace Turalaki, 2014).
Demikian pula penelitian lain juga dilakukan di Manado dilaporkan, bahwa
secara keseluruhan penelitian pada laki-laki dengan kebiasaan merokok
berpengaruh terhadap fungsi ereksi, didapatkan seluruh responden mengalami
disfungsi ereksi dan dengan tingkatan atau stadium yang berbeda-beda,
didapatkan distribusi perokok menurut hasil perhitungan skor International
Index of Erectile Function (IIEF-5), berdasarkan kelompok usia, yaitu normal
sebanyak 0 orang (0%), disfungsi ereksi ringan sebanyak 19 orang (38%),
disfungsi ereksi sedang-ringan 19 orang (38%), disfungsi sedang 11 orang
(33%), dan disfungsi berat 1 orang (2%) (Nurbaitt dkk, 2015).
2.1.3 Fisiologi Ereksi Penis
Ereksi penis adalah peristiwa neurovaskuler yang dimodulasi oleh faktor
psikologis dan status hormonal. Ereksi penis terjadi ketika arteri di penis
mengalami dilatasi dan jaringan erektil (korpura kavernosus dan korpura
spongiosum) mengalami relaksasi (Wespes dkk., 2012). Secara hemodinamika,
telah diketahui beberapa fase ereksi sebagai berikut:
1. Fase flaksid (lemas)
Pada fase ini otot polos trabekular berkontraksi, aliran darah arteri
berkurang, dan aliran darah vena meningkat. Tekanan dalam korpura kavernosus
kurang lebih sama dengan tekanan vena (Wespes dkk., 2006).
2. Fase pengisian awal
Pada
stimulasi
seksual,
impuls
saraf
menyebabkan
pelepasan
neurotransmitter dari saraf kavernosus terminal dan faktor relaksasi dari sel-sel
endotel di penis, sehingga terjadi relaksasi otot polos arteri dan arteriol yang
memasok jaringan ereksi dan peningkatan beberapa kali lipat aliran darah penis.
Pada saat yang sama, relaksasi dari otot trabekular halus meningkatkan
kepatuhan dari sinusoid, memfasilitasi pengisian cepat dan perluasan sistem
sinusoidal (Wespes dkk., 2006).
3. Fase tumesensi
Pada fase ini tekanan interkavernosus mulai meningkat dan ukuran penis
terus bertambah. Aliran arteri perlahan-lahan mulai berkurang sampai terjadi
fase ereksi penuh (Wespes dkk., 2006).
4. Fase ereksi penuh
Selanjutnya terjadi kompresi pada pleksus venular subtunika antara
trabekula dan tunika albugenia, sehingga menyebabkan oklusi hampir total dari
aliran vena. Peristiwa ini menjebak darah di dalam korpus kavernosa dan
menegakkan penis dari posisi tergantung, dengan tekanan intrakavernosus (fase
ereksi penuh) (Wespes dkk., 2006).
5. Fase ereksi kaku
Selama hubungan seksual yang memicu reflex bulbokavernosus, otot-otot
ischiokavernosus dengan kuat menekan dasar korpura bulbokavernosus yang
dipenuhi darah dan penis menjadi lebih keras lagi, dengan tekanan
intrakavernosus mencapai beberapa ratus millimeter air raksa. Selama fase ini,
arus masuk dan keluar darah berhenti sementara (Wespes dkk., 2006).
6. Fase detumesensi
Detumesensi (ukuran yang mengecil) dapat dihasilkan dari penghentian
pelepasan neurotrasmiter, pemecahan messenger kedua oleh fosfodiesterase, atau
pelepasan simpatik saat ejakulasi. Kontraksi otot polos trabekula membuka
kembali saluran vena, darah yang terperangkap dikeluarkan, dan kembali ke
keadaan flaksid (Wespes dkk., 2006).
Gambar 2.1 Erection Physiology (Anton, 2012)
Gambar 2.2 Kontrol Ereksi Perifer (Antonm, 2012)
Gambar 2.3 Anatomi dan mekanisme ereksi penis (Wespes dkk., 2006)
Neurotransmiter yang dilepaskan ujung saraf pasca ganglionik simpatis dan
parasimpatis di penis memegang peranan penting dalam mengontrol ereksi.
Noradrenalin (NA) dan neuropeptide Y (NPY) dilepaskan oleh ujung serat simpatis.
NA adalah agen kontraktil utama dari otot polos dan arteri penis, dan NPY
menambah dampaknya NA berperan pada flaksiditas dan detumesensi. Ujung serat
parasimpatis melepaskan asetikolin (Ach), vasoactive intestinal peptide (VIP), dan
nitrit oksida (NO) (Cuzin dkk., 2011; Thorve dkk., 2011). NO sebagai pembawa
pesan intraselular membuka era baru pentingnya mekanisme yang mendasari fisiologi
dan patofisiologi pada organ dan jaringan otonom (Cuzin dkk., 2011). NO disintesis
dan dilepaskan dari ujung saraf non adrenergik, non kolinergik oleh sintesa NO
neuronal (nNOS) dan dari endothelium oleh sintase NO endothelial (eNOS). NO
memodulasi tonus pembuluh darah, agregasi dan adhesi platelet, serta proliferasi otot
polos vascular. Lebih lanjut, NO berfungsi sebagai neurotransmiter non-adrenergik,
non-kolinergik dari serat saraf parasimpatis pascaganglion, termasuk korpura
kavernosus. NO berperan dalam mempertahankan tekanan intrakavernosus,
vasodilatasi penis, dan ereksi penis (Anil, 2009). NO meningkatkan produksi cyclic
nucleotides guanosine monophoaphate (cGMP) pada otot polos dan merupakan
aktivator yang penting untuk relaksasi lokal dari otot polos penis. Seperti diketahui,
ereksi terutama disebabkan oleh peningkatan sintesis dua second messenger
intraseluler, cGMP dan cyclic adenosine monophosphate (cAMP). cGMP dan cAMP
dihancurkan oleh fosfodieterase (Cuzin dkk., 2011).
2.1.4 Patofisiologi dan Klasifikasi
Disfungsi ereksi dapat disebabkan dari tiga mekanisme dasar yaitu: (Anil,
2009)
1. Kegagalan menginisiasi (psikogenik, endokrinologi, atau neurogenik)
2. Kegagalan pengisian (arteriogenik)
3. Kegagalan untuk menyimpan volume darah yang cukup di dalam jaringan
lacunar (disfungsi venooklusif)
DE dapat diklasifikasikan sebagai psikogenik, organik (neurogenik, hormonal,
arterial, kavernosal, atau karena obat), atau campuran psikogenik dan organik
Tabel 2.1 Klasifikasi dan Penyebab DE (Papaharitou dkk., 2006)
Kategori DE
Psikogenik
Kelainan yang sering
Kecemasan
Masalah hubungan
Stress psikologis
Depresi
Patofisiologi
Penurunan libido
Overinhibisi
kegagalan
Pelepasan NO
Neurogenik
Stroke
Kegagalan memulai
Penyakit Alzheimer
Impuls saraf atau
Trauma
medulla Kegagalan transmisi
spinalis
Nueropati diabetic
Trauma pelvis
Hormonal
Hipogonadism
Hiperprolaktinemia
Kehilangan
libido
dan Pelepasan NO
yang tidak memadai
Vaskulogenik (arterial Aterosklerosis
atau
Hipertensi
Kavernosal)
DM
Trauma
Aliran arteri yang
tidak adekuat atau
sumbatan vena
Drug-induced
Antihipertensi
Antidepresan
Antipsikotik
Antiandrogens
Antihistamin
Ketergantungan alkohol
Merokok
Penekanan sentral
Penurunan libido
Neuropati alkoholik
Insufisiensi vaskular
Penyebab
akibat Usia tua
penuaan dan penyakit DM
sistemik lain
Gangguan ginjal kronis
Penyakit
jantung
coroner
Biasanya
multifactorial,
disebabkan
oleh
neural dan disfungsi
vaskular
1. DE psikogenik
Penyebab umum dari disfungsi ereksi psikogenik meliputi kecemasan,
hubungan yang tegang, kurang hasrat seksual, dan gangguan jiwa seperti
depresi, cemas, dan skizofrenia. Risiko DE meningkat seiring durasi depresi
yang berulang (Cuzin dkk., 2011). Kecemasan memegang peranan dalam
persepsi dan menetapnya masalah seksual, juga dalam efektivitas dari
pengobatan DE (Cuzin dkk., 2011). Pada laki-laki dengan skizofrenia,
penurunan libido adalah masalah utama yang dilaporkan dan obat neuroleptik
meningkatkan libido tetapi menyebabkan kesulitan ereksi, orgasme, dan
kepuasan seksual (Wespes dkk., 2006).
2. DE neurogenik
Gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, Stroke,
dan trauma serebri sering menyebabkan disfungsi ereksi dengan menurunnya
libido atau mencegah inisiasi ereksi. Pada laki-laki dengan cedera tulang
belakang, tingkat fungsi ereksi tergantung sifat, lokasi, dan tingkat lesi.
Keterlibatan sensorik alat kelamin sangat penting untuk mencapai dan
mempertahankan ereksi refleksogenik, dan ini menjadi lebih penting lagi
mengingat efek rangsangan psikologis menurun seiring usia (Wespes dkk.,
2006).
3. DE hormonal
Defisiensi androgen menurunkan ereksi nocturnal dan libido. Androgen penting
untuk pertumbuhan penis dan berperan pada fisiologi ereksi melalui beberapa
mekanisme. Androgen dapat mempengaruhi neuromodulasi ereksi sistem saraf
pusat dan regulasi perifer tonus otot kavernosus (Wespes dkk., 2006).
Testosteron mengatur struktur dan fungsi saraf, ekspresi dan aktivitas sintesis
NO, phosphodiesterase 5 (PDE5), pertumbuhan dan diferensiasi selular (Traish
dkk.,2007). Kuesioner Androgen Deficiency of the Aging Male (ADAM) dapat
digunakan untuk skirining diagnosis klinis insufiensi androgen (Blumel dkk.,
2009). Hiperprolaktinemia menyebabkan gangguan reproduksi dan seksual
karena
prolaktin
menghambat
menyebabkan sekresi
aktivitas
dopaminergik
sentral,
yang
gonadotropin-relasing hormone, sehingga terjadi
hipogonadisme hipogonadotropik (Wespes dkk., 2006).
4. Penyebab vascular DE
Faktor risiko yang sering berhubungan dengan insufiensi arteri penis adalah
hipertensi, hiperlipidemia, merokok, dan diabetes mellitus (Wespes dkk., 2006;
Rudianto dkk.,2011). Stenosis fokal dari arteri penis paling sering terjadi pada
laki-laki yang mengalami trauma panggul, misalnya kecelakaan bersepeda. Pada
laki-laki dengan hipertensi, fungsi ereksi yang terganggu bukan karena
peningkatan tekanan darah itu sendiri namun karena lesi stenosis arteri.
Kegagalan pembuluh darah untuk menutup selama ereksi (disfungsi veno
oklusi) dapat menyebabkan DE. Disfungsi veno oklusi dapat terjadi pada usia
tus, DM, dan trauma (fraktur penis) (Wespes dkk.,2012).
5. DE karena obat-obatan
Banyak obat telah dilaporkan dapat menyebabkan DE diantaranya obat-obatan
antipsikotik, antidepresan, dan obat antihipertensi (Wespes dkk., 2012). Obat
golongan penghambat beta-adrenergik dapat menyebabkan DE dengan
mempotensiasi aktivitas alfa 1-adrenergik pada penis. Tiazid diuretik juga
dilaporkan dapat menyebabkan DE, namun mekanismenya belum jelas.
Spironolakton dapat menyebabkan DE, ginekomastia, dan penurunan libido
(Wespes dkk., 2006). Disfungsi seksual sering dijumpai pada penggunaan
diuretik yang dikombinasikan dengan obat lain dan masalah yang sama juga
sering dijumpai pada pasien yang mendapat beta bloker, Simetidin, antagonis
receptor histamine H2 dilaporkan dapat menurunkan libido dan menyebabkan
kegagalan
ereksi.
menyebabkan
Simetidin
bekerja
hiperprolaktinemia.
seperti
Obat-obat
antiandrogen
lain
yang
dan
dapat
dikenal
dapat
menyebabkan DE adalah estrogen dan obat dengan cara kerja antiandrogenik,
seperti ketokonazol dan siproteron asetat (Manolis dan Doumas, 2012).
6. Alkohol dalam jumlah sedikit meningkatkan ereksi dan libido karena efek
vasodilatasi dan menekan kecemasan. Namun dalam jumlah banyak dapat
menyebabkan sedasi sentral, penurunan libido, dan DE yang sementara.
Peminum alkohol yang kronis dapat menyebabkan hipogonadism dan
polineuropati yang dapat mempengaruhi fungsi saraf penis (Wespes dkk.,
2012).
7. DE akibat penuan dan penyakit sistemik lain
Fungsi seksual secara progresif akan menurun seiring bertambahnya usia.
Seperti misalnya, periode laten antara stimulasi seksual dan ereksi memanjang,
ereksi akan lebih lembek, ejakulasi kurang kuat dan volumenya menurun, dan
periode refrakter antara ereksi memanjang. Terdapat juga penurunan pada
sensitivitas penis dan stimulasi taktil, penurunan konsenterasi serum testosteron,
dan meningkatnya tonus otot kavernosus (Wespes dkk., 2012).
8. Merokok, nikotin yang dihirup oleh perokok, masuk ke jantung dan bersama
darah masuk ke dalam sistem peredaran darah. Semakin lama timbunan nikotin
semakin banyak dan mengalami pengendapan. Pengendapan ini berlanjut
sehingga menjadi penyumbatan aliran darah ke seluruh tubuh, termasuk ke
dalam jaringan erektil penis menyebabkan disfungsi ereksi yang umum terjadi
laki-laki perokok berat yang tidak bisa menghentikan kebiasaan merokok.
Disfungsi ereksi stadium awal biasanya ditandai dengan hubungan yang terjadi
sangat singkat (3-5 menit), dan stadium akhir laki-laki tidak bisa mengalami
ereksi sama sekali dan akan sangat sulit mendapat rangsangan dari
pasangannya. Laki-laki yang merokok lebih dari 20 batang dalam sehari akan
mengalami disfungsi ereksi 40% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang
tidak merokok. Tidak hanya itu saja, kebiasaan merokok juga akan
mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi sel sperma yang dihasilkan
seorang laki-laki. Sel sperma yang dihasilkan laki-laki perokok memiliki cacat
bentuk dan mempunyai pergerakan lambat sehingga menurunkan tingkat
kesuburan laki-laki. Meskipun sel sperma laki-laki perokok mampu membuahi
sel telur wanita, tapi besar kemungkinan DNA janin akan mengalami perubahan
susunan sehingga bayi yang dilahirkan menjadi cacat. Rokok akan berpotensi
merubah rangkaian DNA dari sel sperma. Hal ini akan menurun pada calon bayi
(Wespes dkk., 2012).
2.1.5 Pengukuran disfungsi ereksi (DE)
Menggunakan kuesioner yang telah tervalidasi seperti International
Index for Erectile Function (IIEF) membantu untuk memeriksa semua domain
fungsi seksual (fungsi ereksi, fungsi orgasme, hasrat seksual, ejakulasi,
intercourse, dan kepuasan secara keseluruhan), dan juga pengaruh dari
modalitas pengobatan (Wespes dkk., 2012). ). IIEF disusun oleh Rosen dkk.,
1997 untuk mengukur fungsi ereksi, fungsi orgasme, hasrat seksual, ejakulasi,
intercourse, dan kepuasan secara keseluruhan serta menilai luaran dari
penatalaksanaan impotensi. IIEF terdiri dari 15 pertanyaan dimana validasi dan
reabilitisnya sudah terbukti. IIEF-5 merupkan bentuk IIEF yang terdiri dari lima
pertanyaan, khusus untuk mengukur fungsi ereksi, dan memiliki sensitivitas
0,98 dan spesifisitas 0,88 (Rosen dkk., 2002). IIEF-5 lebih umum digunakan
dibanding IIEF karena lebih sederhana dan memiliki sensitivitas dan spesifikasi
yang baik (Rosen dkk., 2002).
Di Indonesia, IIEF-5 juga telah umum digunakan dalam berbagai
penelitian untuk mengukur DE (Sihaloho, 2006; Rachmadi, 2008; Saraswati
dkk., 2008; Santosa, 2010). Setiap butir pertanyaan IIEF-5 memiliki skor 1
sampai 5 sehingga total skor untuk IIEF-5 adalah 5 sampai 25. Seseorang
dikatakan tidak DE apabila skor IIEF-5 antara 22-25 dan DE apabila 5-21.
Lebih lanjut lagi penderita DE dikelompokkan berdasarkan skor IIEF-5 menjadi
derajat ringan (17-21), ringan-sedang (12-16), sedang (8-11), dan berat (5-7)
(Rosen dkk., 2002).
2.2 Ketergantungan Merokok
Salah satu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian disfungsi ereksi
adalah ketergantungan merokok. Ada baiknya sebelum lebih jauh mengetahui
hubungan tingkat ketergantungan merokok dengan kejadian disfungsi ereksi,
perlu sekilas untuk diketahui tentang sejarah rokok, nikotin sebagai komponen
psikoaktif, seluk beluk reseptor nikotin dan interaksinya neurutransmiter lain dan
hal-hal yang mendasari ketergantungan nikotin dalam rokok.
2.2.1 Sejarah merokok
Dimulai saat warga asli benua Amerika mengisap tembakau pipa atau
menguyah tembakau sejak 1000 tahun sebelum masehi. Tradisi membakar
tembakau kemudian dimulai untuk menunjukkan persahabatan dan persaudaraan
saat beberapa suku yang berbeda berkumpul selain sebagai ritual pengobatan.
Kru Columbus membawa tembakau beserta tradisi menguyah dan membakar
lewat pipa ini ke peradaban di Inggris. Di tahun 1512, tanaman tembakau dibawa
hingga ke Portugal, dimana pertama kali digunakan untuk mencari khasiatnya
menghilangkan sakit kepala karena migraine (Uneri dkk., 2006). Penggunaannya
di Eropa saat itu masih terbatas hingga tahun 1559. Di tahun 1560, seorang
diplomat dan petualang Perancis bernama Jean Nicot membawa tembakau
sebagai hadiah pernikahan kepada para bangsawan di Paris. Hingga di tahun
1570 tanaman tembakau secara resmi dinamakan Nicotiana tabacum sebagai
bentuk penghormatan pada Jean Nicot darimana istilah Nikotin (dari Nikot)
(Uneri dkk., 2006, Levin dkk., 2006). Setelah permintaan tembakau meningkat
di Eropa, budidaya tembakau mulai dipelajari dengan serius terutama tembakau
Virginia yang ditanam di Amerika, John Rolfe adalah orang pertama yang
berhasil menanam tembakau dalam skala besar, yang kemudian diikuti oleh
perdangangan dan pengiriman tembakau dari AS ke Eropa (Uneri dkk., 2006).
Di Indonesia, Haji Jamahri dari Kudus adalah orang pertamakali meramu
tembakau dengan cengkeh pada tahun 1880. Menurut situs wikipedia tujuan awal
Jamahri mencari obat penyakit asma yang dideritanya, namun akhirnya rokok
racikan Jamahri menjadi terkenal. Istilah Kretek adalah sebutan khas untuk
manamai rokok asal Indonesia, istilah ini berasal dari bunyi rokok saat disedot
yang diakibatkan oleh letupan cengkeh. Dari anggapan sebagai obat penyembuh,
lambang persahabatan dan persaudaraan, rokok kemudian berkembang menjadi
simbol kejantanan laki-laki. Hal ini ditandai sejak dijadikannya rokok sebagai
ransum wajib setiap prajurit saat Perang Dunia Pertama. Industri rokok mulai
redup sejak 1964, persatuan dokter bedah Amerika mengeluarkan pernyataan
bahwa rokok mengakibatkan kanker paru-paru (Uneri dkk., 2006).
1.2.2 Nikotin
Melalui penelitian yang intensif terpusat pada kecanduan rokok, nikotin
(C10H14N2), sebuah alkaloid ditemukan baik sebagai zat psikoaktif primer
maupun sebagai komponen adiktif pada tembakau. Di tahun 1828, nikotin
diisolasi dari asam nikotinik, yang mana sebelumnya dikenal sebagai vitamin B
atau Niacin. Sintesa pertama dilakukan dilaboratorium pada tahun 1904. Nikotin
mempunyai berat molekul sebesar 162,23 kDa dan memiliki nama lengkap 3-(1Metyl-2-pyrolidinyl) pyridine (Uneri dkk., 2006, Levin dkk., 2006). Dalam
jumlah kecil, nikotin bekerja sebagai stimulan ringan terhadap sistem saraf pusat,
walaupun dalam bentuk murni hal ini sangat beracun bahkan dapat sebagai
insektisida. Konsentrasi nikotin yang sangat rendah dalam darah cukup mampu
membuat terjadinya ketergantungan nikotin dan melalui hisapan rokok dapat
menghantarkan nikotin dengan lebih cepat mencapai konsentrasi ini. Pada waktu
menghisap rokok, nikotin dihantarkan ke otak dalam 7 detik dan mencapai
seluruh tubuh dalam waktu 15-20 detik. Merupakan hal yang penting bagi
perokok untuk membentuk toleransi dan efek samping nikotin. Kebiasaan
merokok membentuk adanya toleransi terhadap beberapa efek seperti pusing dan
mual namun toleransi ini tidak pernah terjadi terhadap tekanan darah tinggi atau
tremor pada tangan. Nikotin bekerja pada sistem neurokimia yang sama dengan
amfetamin dan kokain dimana ketergantungan terhadap nikotin terjadi dengan
cepat. Atas alasan inilah ketergantungan nikotin dikatagorikan sebagai
penyalahgunaan zat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-5). Penguatan positif dan negatif penting dalam terjadinya
ketergantungan
nikotin. Penguatan positif menyangkut efhoria ringan,
peningkatan perhatian dan potensi kerja. Pada tingkatan neurokimia, adiksi
nikotin berhubungan dengan stimulasi neuron dopaminergik di area tegmental
ventral oleh nikotin (Levin dkk., 2006).
1.2.3 Reseptor Nikotin
Nikotin bekerja pada sistem saraf pusat melalui nicotinic acetylcholine
receptors (nAChRs). Penelitian dalam bidang elektrofisiologi, farmakologi, dan
genetik menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik dan
struktur nAChRs. Terdapat dua tipe reseptor cholinergic: muskarinik (mAChRs)
dan asetilkolin nikotinik (nAChRs) yang terkait dengan afinitas alkaloid natural,
muskarin dan nikotin. nAChRs termasuk reseptor ion channel, juga termasuk
GABA-A, 5-HT3 dan glisin. Neuronal nACRs mempunyai struktur pentamer
heterologi. Pada otak tikus, subunit nAChRs ditemukan pada beberapa area otak
yang berbeda misalnya hipokampus, substansia nigra, VTA dan nucleus
interpedenkular, nucleus motor dorsal vagus, pineal gland dan nucleus piriformis
lateralis. nAChRs dapat efektif dalam inhibisi secara luas terhadap perilaku.
Mekanismenya serupa dengan neurotransmitter GABA. Di dalam otak, nAChRs
tersedia pada interneuron GABAergic. Baik pada jaringan tikus ataupun
manusia, nikotin menunjukkan kemampuan menstimulasi release GABA (Levin
dkk., 2006). Terdapat 2 jenis neuronal subunit reseptor nikotinik yang
dinamakan α dan β terkait hemologinya dengan subunit reseptor nikotinik α1 dan
β1.Terdapat banyak subtype baik dari subtype α maupun β (α2-α9, β2-β4).
Umumnya reseptor nikotinik terdiri atas dua subunit α dan tiga subunit β
walaupun terdapat juga reseptor nikotinik yang terdiri dari lima subunit α yang
identik. Beberapa penelitian menunjukkan setidaknya terdapat 3 tipe reseptor
nikotinik yang mempunyai komposisi subunit yang berbeda, jenis farmakologi
dan elektrofisiologis yang berbeda dan distribusi neuroanatomical yang berbeda
pula (Levin dkk., 2006).
1.2.4 Efek nikotin terhadap susunan saraf pusat
Berdasarkan pengalaman klinis dan penelitian laboratorium menunjukkan
bahwa nAChRs memainkan peranan yang komplek dalam fungsi otak misalnya
memori, perhatian dan kognisi. Sebagai tambahan pula bahwa nAChRs berperan
penting dalam patogenesis gangguan psikiatri dan neurologi misalnya penyakit
Parkinson, Alzheimer dan autosomal dominant nocturnal frontal lobe epilepsy.
Merokok juga sering digunakan sebagai self medication pada penderita ADHD
dan depresi (Uneri dkk., 2006, Levin dkk., 2006, Stahl SM, 2008).
Kebiasaan merokok bersifat adiktif. Selama ini, ketergantungan rokok
selalu dikaitkan dengan nikotin. Nikotin adalah substansi di dalam asap rokok
yang dianggap paling berperan dalam membuat rokok menjadi ketergantungan.
Oleh karena itu, ketergantungan rokok sering direpresentasikan dengan istilah
adiksi nikotin (USDHHS, 2010).
Nikotin di dalam rokok menciptakan perasaan yang menyenangkan dan
meredam kecemasan. Dalam jangka pendek, rokok juga meningkatkan daya
konsentrasi dan performa dalam bekerja. Kedua hal tersebut dapat menginduksi
ketergantungan rokok. Selain itu, perokok yang mencoba berhenti merokok
biasanya mengalami kegagalan karena tidak sanggup menghadapi efek
withdrawal dari berhenti merokok secara tiba-tiba, yaitu lelah, cemas, terlalu
peka terhadap rangsangan, dan mood yang buruk, sehingga perokok yang terkena
efek withdrawal cenderung melakukan kegiatan merokok untuk meredam efek
tersebut (Benowitz, 2010).
Nikotin di dalam rokok menyebabkan ketergantungan melalui induksi
produksi dopamin. Nikotin berinteraksi dengan reseptor asetilkolin nikotinik di
daerah mesolimbik otak. Interaksi ini akan menyebabkan pelepasan dopamin di
tempat-tempat yang terlibat dalam pengaturan informasi, ingatan, dan emosi.
Kenaikan kadar dopamin di daerah mesolimbik otak menyebabkan perasaan
ketergantungan (D'Souza & Markou, 2011).
Ketergantungan nikotin pada rokok memiliki fase dan kriteria yang
hampir sama dengan ketergantungan obat-obatan. Ketergantungan nikotin terjadi
dalam 3 fase, yaitu penerimaan dan pemeliharaan kebiasaan mengonsumsi
nikotin, kemunculan gejala withdrawal ketika berhenti mengonsumsi, dan
kecenderungan kekambuhan.
Kriteria ketergantungan nikotin meliputi hal-hal berikut ini.
a. Kriteria primer, yaitu penggunaan secara terkendali maupun kompulsif,
kemunculan efek psikoaktif, dan kemunculan perilaku akibat stimulasi obat
(drug-reinforced behavior).
b. Kriteria tambahan, yaitu perilaku seperti pola penggunaan teratur, kelanjutan
penggunaan kendati sudah mengetahui efek berbahayanya, kekambuhan
selama berhenti mengonsumsi, dan kemunculan keinginan yang berlebihan
untuk mengonsumsi (craving) (USDHHS, 2010).
Akhir-akhir ini, penggunaan nikotin sebagai istilah yang merepresentasikan
ketergantungan terhadap rokok mulai ditinjau ulang. Menurut Fagerström (2011),
walaupun nikotin merupakan zat yang paling berperan dalam menyebabkan
ketergantungan pada rokok, masih banyak zat lain di dalam rokok yang berpotensi
menyebabkan hal serupa. Asetaldehid, salah satu kandungan asap rokok, dapat
menyebabkan ketergantungan melalui penghambatan enzim monoamin oksidase
(MAO), sehingga kadar dopamin meningkat. Selain itu, efikasi terapi nikotin
pengganti, untuk membantu upaya berhenti merokok walaupun jumlah nikotin
pengganti sudah bisa menggantikan jumlah nikotin pada rokok sebelumnya (Fiore
dkk., 2008).
1.2.5 Mengukur tingkat ketergantungan nikotin digunakan Fagerstrom Test For
Nicotine Dependence (FTND) (Uneri dkk.,, 2006, Levin dkk., 2006).
Dikembangkan tahun 1978, direvisi tahun 1991 (6 Items), terdiri dari:
1. Kapan waktu pertama merokok setelah bangun tidur di pagi hari?
2. Kesulitan untuk tidak merokok di tempat dilarang merokok?
3. Kapan waktu tersulit menghindari rokok?
4. Berapa batang rokok per hari?
5. Apakah anda merokok lebih sering di pagi hari setelah bangun tidur dibanding
diwaktu lain?
6. Apakah anda tetap merokok di situasi sakit sekalipun?
Banyak digunakan sebagai alat ukur penelitian dan dalam praktek klinis. Makin
tinggi skor, makin tinggi tingkat ketergantungan
Rentang skor antara 0 sd 10: skor>5 mengindikasikan ketergantungan tinggi
Download