BAB III DISPERSI PADA SERAT OPTIK SINGLE MODE 3.1. Umum Serat optik memiliki beberapa karakteristik penting dalam menyalurkan sinyal informasi diantaranya adalah dispersi. Sinyal informasi dalam serat optik akan mengalami pelebaran pulsa pada proses transmisinya. Proses terjadinya pelebaran pulsa ini disebut dispersi [11]. 3.2. Teori Dispersi Dispersi adalah pelebaran pulsa yang terjadi ketika sinyal merambat melalui sepanjang serat optik yang disebabkan oleh keterbatasan material dan efek linear seperti polarisasi, material dan lainnya. Faktor dispersi ini akan mempengaruhi kualitas sinyal yang akan ditransmisikan dalam jaringan. Dispersi akan menyebabkan pulsa-pulsa cahaya memuai dan menjadi lebih lebar, sehingga pada akhirnya mengakibatkan pulsa-pulsa tersebut saling tumpang tindih dengan satu sama lain [12]. Dispersi merupakan peristiwa melebarnya pulsa optik yang merambat sepanjang serat optik seperti pada Gambar 3.1. Pulsa output mempunyai lebar pulsa lebih besar dari lebar pulsa input. Dispersi suatu serat optik dinyatakan sebagai pelebaran pulsa per satuan panjang (ps/nm.km). Pada serat optik single mode faktor dispersi lebih kecil dari pada multi mode [13]. 34 Universitas Sumatera Utara Gambar 3.1. 3 Peristiwaa Pelebaran Puulsa Akibat Dispersi D Pengaruh dispersii pada kinerjaa dari sistem transmisi fibber optik dikeenal dengan i intersymbol interference i ( (ISI). Intersyymbol interferrence terjaddi ketika peleeberan pulsa y yang diakibattkan oleh disspersi menyebbabkan pulsaa output padaa sistem menjjadi overlap d membuaatnya tidak teerdeteksi. Jikka sebuah puulsa input yaang diakibatkkan menjadi dan m melebar yaituu perubahan rata-rata r dari iinput melebihhi batas dispersi dari serat, data output a akan menjadii tidak dapat dibedakan. Adanya A pelebbaran pulsa ini berpengaru uh terhadap p performansi s sistem dengaan munculnyaa intersymboll interferencee (ISI) dan beerkurangnya s sejumlah enerrgi pulsa kareena energi terrsebut menyeb bar selama diispersi terjadi. Berikut ini G Gambar 3.2. memperlihatk m kan keadaan IISI [14]. Gambar G 3.2. Intersymbol Interference I Masaalah akibat deegradasi sinyaal adalah mennurunnya SN NR (signal to noise ratio) s sehingga info ormasi yang dikirimkan ooleh transmitter tidak ditterima secaraa maksimal. 35 Universitas Sumatera Utara Untuk mengatasinya diperlukan power penalty yang didefinisikan sebagai kenaikan daya sinyal yang diperlukan sistem untuk mengatasi distorsi sinyal dan memperoleh serta menjamin nilai SNR atau BER ideal. Terdapat dua jenis degradasi sinyal yaitu selama proses propagasi dan akibat komponen elektronik atau optik [15],[16]. Ada dua faktor yang mempengaruhi kinerja serat optik, yang menjadi dasar analisis kinerja keseluruhan sistem dan landasan pembangunan suatu sistem komunikasi serat optik. redaman dan dispersi. bagi Faktor-faktor tersebut yaitu Redaman digunakan dalam analisis power budget, berdasarkan optimalisasi daya dari pengirim (receiver) dengan pertimbangan yaitu (transmitter) sampai ke penerima meminimalkan redaman di sepanjang serat optik. Sedangkan dispersi digunakan dalam analisis rise time budget, agar tidak terjadi kerusakan sinyal akibat bit-bit pulsa digital yang melebar [17]. Dalam prakteknya sumber optik tidak hanya memancarkan cahaya pada satu panjang gelombang (frekuensi), tetapi pada suatu rentang panjang gelombang yang disebut lebar spectral. Yang mana lebar spektrum ini apabila semakin kecil maka sumber semakin koheren [18]. Sedangkan apabila terjadi dispersi pada pengiriman sinyal optik maka akan menyebabkan terjadinya distorsi ( pelebaran ) pada bentuk sinyal. Dispersi pada serat optik akan menyebabkan terjadinya pelebaran pulsa cahaya yang dikirim sepanjang serat dan jika diamati setiap pulsa, pulsa tersebut akan melebar dan menumpuk dengan yang lainnya bahkan menjadikan tidak dapat dibedakan pada perangkat penerima. Pengaruh ini dikenal dengan interferensi intersimbol yang akan menambah jumlah pulsa yang salah. Disamping itu dispersi juga membatasi maksimum lebar pita frekuensi. Sehingga untuk menghindari penumpukan pulsa–pulsa cahaya pada hubungan sistem optik maka 36 Universitas Sumatera Utara dipersyaratkan kecepatan bit rate (BR) harus lebih kecil atau paling tidak sama dengan dua kali pelebaran dispersi pulsa [18]. Secara garis besar dispersi yang terjadi pada serat optik ada dua jenis yaitu [19] : 1. Dispersi Intermodal Dispersi intermodal adalah pelebaran pulsa sebagai akibat dari perbedaan delay propagasi antara satu mode dengan mode penjalaran lainnya. Dimana untuk menempuh panjang serat yang sama, sinar yang bermodus lebih tinggi akan lebih lambat dibandingkan dengan sinar yang bermodus lebih rendah, sehingga terjadi pelebaran pulsa. Gangguan ini dapat ditiadakan dengan menggunakan serat optik single mode. Dispersi intermodal pada multimode terjadi akibat dari perbedaan kelambatan perambatan cahaya diantara mode – mode dalam multimode. Mode – mode yang berbeda yang merupakan pulsa dalam serat multimode merambat sepanjang kanal pada sekumpulan kecepatan yang berbeda, sehingga lebar pulsa output bergantung pada saat pengiriman dari mode – mode yang cepat dan yang lambat. Banyaknya lintasan cahaya yang merambat melalui serat pada bagian – bagian yang berbeda, sehingga setiap bagian mempunyai panjang yang berbeda, karena itu setiap mode mempunyai waktu perambatan yang berbeda. 2. Dispersi Intramodal Dispersi intramodal adalah pelebaran pulsa yang terjadi dalam suatu serat optik single mode. Sinar yang berasal dari LED dan Laser Dioda mengandung berbagai panjang gelombang, dan dikatakan memiliki suatu pita panjang gelombang atau lebar spektral, dimana bila semakin besar lebar spektral sinar 37 Universitas Sumatera Utara yang memasuki serat optik, maka akan semakin banyak macam panjang gelombang dan semakin besar pelebaran pulsa (distorsi sinyal) yang terjadi. 3.3. Jalur Pengukuran Adapun jalur pengukuran dalam analisis dispersi yang dilakukan pada Tugas Akhir ini yaitu dari link STO MDC (Medan Centrum) sampai STO PUBA (Pulo Brayan) dengan jarak 4.96994 Km dan link STO PUBA (Pulau Brayan) sampai STO BDB (Bandar Baru) dengan jarak 60.50397 Km. Cakupan wilayah area yang dilakukan pada penelitian dengan link MDC – PUBA tergambar pada Gambar 3.3. Garis berwarna biru menunjukkan jalur yang dilalui oleh serat optik pada pengukuran dispersi kromatik. Gambar 3.3. Jalur Pengukuran Dispersi MDC-PUBA [19]. 3.4. Spesifikasi Alat Peralatan yang digunakan untuk mengukur dispersi kromatik yaitu sebagai berikut : 3.4.1. Alat Ukur Dispersi 38 Universitas Sumatera Utara JDSU MTS–8000 merupakan modul yaitu alat ukur yang menggunakan bahan kemasan anti statis untuk menghubungkan modul ke unit dasar. Terdapat 3 tipe pengukuran yaitu [20] : 1. Optical Time Domain Reflectometer (OTDR) 2. Chromatic Dispersion (CD) 3. Optical Spectrum Analyzer (OSA) Tabel 3.1 menunjukkan spesifikasi secara teknis CD-OTDR JDSU [20]. Tabel 3.1. Spesifikasi Secara Teknis CD-OTDR JDSU Berdasarkan fungsi yang digunakan pada penelitian ini alat ukur yang digunakan menggunakan JDSU MTS–8000 seperti pada Gambar 3.4. Alat ukur ini terdapat banyak fungsi, salah satu fungsinya adalah untuk mengukur dispersi (chromatic dispersion) akibat event yang terjadi di sepanjang kabel serat optik, 39 Universitas Sumatera Utara alat ukur ini bekerja berdasarkan domain waktu yang merupakan tangkapan dari sinar pantul ketika laser ditembakan kedalam kabel serat optik untuk mengidentifikasi inti karakteristik dari serat optik. Pada pengukuran dispersi serat optik dilakukan secara link point to point yang di ukur dari ujung ke ujng secara original end to end ke bentuk asal [20], item yang dapat diukur pada alat ukur ini adalah delay, dispersion dan slope berdasarkan fungsi panjang gelombang (λ). Gambar 3.4 JDSU MTS-8000 [20] 3.4.2. Jenis Kabel Serat Optik Yang Digunakan Pada pengukuran dispersi ini digunakan jenis kabel single mode yang merujuk pada rekomendasi ITU.T single mode yaitu G.655 dengan spesifikasi kabel Telkom/2011/Voksel-NZDSF-D-LT-SS24/4T-2Q yang berarti digunakan kabel serat optik single mode non zero dispersion shifted fiber untuk pemakaian duct dengan jenis loose tube, struktur penguatnya Solid Stated Core, jumlah serat adalah 24 dengan 4 buah loose tube untuk link MDC – PUBA dan jumlah serat 48 dengan 4 buah loose tube untuk link PUBA - BDB. 40 Universitas Sumatera Utara 3.5. Pengukuran Dispersi JDSU MTS – 8000 yang digunakan untuk mengukur dispersi, didalam perangkat JDSU ini terdapat CD-OTDR yang berfungsi untuk mengidentifikasi event yang terjadi pada kabel serat optik, prinsip kerja dari CD-OTDR ini adalah cahaya ditembakkan menggunakan laser, kemudian sinar dari laser diteruskan menuju kabel serat optik berdasarkan fungsi waktu terhadap simpangan yang terjadi akibat perubahan fase akan terpantul kembali ke cermin, di dalam OTDR tertangkap oleh photodetektor, dari photodetektor diolah kembali oleh osciloscope sehingga sinar yang oleh detector optik bisa terbaca oleh oscilloscope [20]. Proses pengukuran dispersi serat optik dilakukan berdasarkan jumlah core yang kosong di tiap OTB (Optical Terminal Box), dari OTB MDC akan dihubungkan ke OTB PUBA yang mempunyai jarak tertentu, untuk menghubungkan OTB MDC ke OTB PUBA menggunakan konektor serta kabel serat optik 24 core (Patch core) dan untuk menghubungkan OTB PUBA ke OTB BDB menggunakan kabel serat optik 48 core . Langkah – langkah pengukuran dispersi dengan menggunakan MTS 8000 (CD – OTDR) yaitu [21] : 1. Konektor JDSU dibersihkan dengan serat pembersih kit dan port penghubung yang sesuai dengan serat optik dibersihkan. 2. Jumper dan konektor Panel Patch dibersihkan. 3. JDSU ke link dihubungkan. 4. MTS 8000 diaktifkan dengan menekan tombol “ON”. 5. Tombol “System” ditekan. 6. Gambar OTDR & CD dipastikan berwarna kuning, jika tidak ditekan 2x sampai berubah menjadi kuning. 7. Tombol “Result” ditekan. 41 Universitas Sumatera Utara 8. Tab fungsi yang diinginkan (OTDR/CD) dibagian pojok kiri bawah dipilih. 9. Tombol Start/Stop ditekan. 10. Untuk save file menu “File” dipilih. 11. Directori penyimpanan ditentukan dengan tombol “Setup”– “Explorer” ditekan pada bagian kanan bawah. 12. Tombol “Setup”-“Explorer” ditekan. 13. Nama (File Naming) sesuai keperluan diberikan, dilanjutkan dengan tombol “Validate”. 14. Tombol “Store”-“Trace” ditekan. 15. Kembali ke menu “Test” dan tombol “Result” ditekan. 16. Untuk mengetest CD tombol “Tab” “CD” ditekan pada bagian kiri bawah. 17. Tombol “Start”-“Stop” ditekan untuk melakukan pengetesan. 18. Menu “Dispersion” dipilih untuk mendapatkan nilai dispersi. 19. Menu “Slope” dipilih untuk mendapatkan nilai slope 20. Menu “Delay” dipilih untuk mendapatkan nilai delay (waktu tunda). 21. Menu “File” dipilih lalu “Save” untuk menyimpan hasil. 22. Untuk Transfer file digunakan kabel penghubung dan hasil dicetak dengan menggunakan “software fiber tracer viewer”. 3.6. Dispersi Kromatik Dispersi yang terjadi pada serat serat optik single mode hanya dispersi intramodal (dispersi kromatik). Dispersi intramodal adalah pelebaran pulsa yang terjadi dalam suatu serat optik single mode. Sinar yang berasal dari LED dan Laser Dioda mengandung berbagai panjang gelombang, dan dikatakan memiliki suatu pita panjang gelombang atau lebar spektral, dimana bila semakin besar lebar spektral sinar yang memasuki serat optik, maka akan semakin banyak macam panjang gelombang dan semakin besar pelebaran pulsa (distorsi sinyal) yang terjadi [22]. 42 Universitas Sumatera Utara Dispersi intramodal sering juga disebut dispersi kromatik (chromatic). Dispersi ini terjadi karena pengaruh dari panjang gelombang terhadap kecepatan rambat cahaya di dalam fiber optik, dimana bahan penyusun fiber optik ini juga mempengaruhi besarnya dispersi. Dispersi ini biasanya diberikan dalam satuan picoseconds per kilometer nanometer [ps/(km x nm)] [23]. Serat Optik single mode mempunyai keuntungan, dimana dispersi yang terjadi hanya dispersi intramodal karena yang merambat hanya terdapat satu mode [19]. Dua faktor utama penyebab dispersi kromatik yaitu dispersi material dan dispersi pandu gelombang [24]. 1. Dispersi material Dispersi yang terjadi karena diakibatkan adanya variasi indeks bias sebagai fungsi yang tidak linier dari panjang gelombang. 2. Dispersi Pandu Gelombang Dispersi terjadi dalam satu mode terdiri dari beberapa panjang gelombang yang berbeda dari spektral sumber cahaya yang merambat sepanjang serat. Untuk dispersion-item yang dapat diukur pada dispersi kromatik adalah delay, dispersion dan slope berdasarkan fungsi panjang gelombang (λ). Analisis dispersi link MDC-PUBA merupakan kabel single mode jenis non-zero-dispersion-shifted (NZDS) yang menggunakan kabel single mode standar ITU.T G.655 dengan panjang gelombang 1255 – 1650 nm. Menurut CCITT dispersi kromatik D(λ) pada serat optik single mode adalah representasi dari turunan delay (derivative of delay) atau kelengkungan kurva delay (delay curve) pada panjang gelombang, dengan rumus seperti pada Persamaan (3.1) [25]. Dispersion = D(λ) = S λ λ (3.1) λ 43 Universitas Sumatera Utara Dimana : D λ = Dispersi kromatik pada λ (ps/Km.nm) λ = Panjang gelombang (nm) λ Nilai λ pada saat dispersi 0 (nm) S Nilai Slope pada saat dispersi 0 (ps/Km.nm2) Sebagai acuan data teknis yang digunakan dalam menghitung dispersi kromatik dapat di lihat pada Tabel 3.2 [19]. Tabel 3.2. Parameter Pengukuran Dispersi kromatik Pada PT. Telkom Data Parameter Nilai Slope berdasarkan jumlah core Serat Optik dengan 24 Core 0.106 ps/km.nm2 0.106 ps/km.nm2 Serat Optik dengan 48 Core Total chromatic dispersion yakni representasi time spreading atau pulse spreading akibat fenomena chromatic dispersion, dengan rumus seperti Persamaan (3.2) [26]. Dt = D(λ) x xL (3.2) Keterangan : Dt = Total Dispersi Kromatik (ps) D(λ) = Chromatic Dispersion Coefficient pada λ = 1550 nm (ps/nm.km) = Laser Spectral Width (nm) L = Jarak (km) 3.7. Rise Time Budget Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas sistem komunikasi digital, termasuk sistem komunikasi serat optik, diantaranya BER 44 Universitas Sumatera Utara (Bit Error Rate) dan SNR (Signal to Noise Ratio). BER menyatakan berapa jumlah bit error yang terjadi dalam dalam satuan detik, sedangkan SNR menyatakan perbandingan sinyal dengan noise/gangguan. Semakin besar redaman, maka semakin kecil SNR dan daya penerimaan, sehingga BER akan semakin tinggi sehingga kualitas menjadi berkurang. Evaluasi terhadap parameter ini diperlukan karena dalam Sistem Komunikasi Serat Optik (SKSO) terdapat dispersi yang harus diperhatikan agar informasi dalam jaringan serat optik tetap terjamin dan sistem dapat melewatkan bit rate yang ditransmisikan. Dengan perhitungan rise time budget dapat ditentukan batasan dispersi maksimum suatu jaringan transmisi dan dapat diketahui kemungkinan terjadinya degradasi (penurunan) sinyal digital sepanjang jaringan transmisi yang disebabkan oleh komponen yang digunakan [27]. Rise time budget merupakan metoda untuk menentukan batasan dispersi maksimum pada saluran transmisi, sehingga perhitungan ini perlu dilakukan untuk mengetahui nilai laju bit maksimum agar mendukung jarak tempuh dengan Rise Time Budget [28]. Tujuan dari perhitungan Rise Time Budget adalah untuk menganalisis kerja sistem secara keseluruhan dan memenuhi kapasitas kanal yang diinginkan. Secara umum, degradasi total waktu transisi dari link digital tidak melebihi 70 % dari satu periode bit NRZ (Non-Retum-to-Zero) atau 35 % dari satu periode bit data RZ (Return-toZero). Jika nilai tsist (rise time budget) ≤ nilai tr (bit rate sinyal NRZ atau RZ ) maka dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut layak (memenuhi persyaratan anggaran rise time budget). nilai tr (bit rate) untuk sinyal NRZ dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (3.3) dan untuk bit rate sinyal RZ dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (3.4) [28]. tr = . (3.3) 45 Universitas Sumatera Utara tr = . (3.4) Untuk Rise time budget (tsist) sistem secara keseluruhan dihitung dengan Persamaan (3.5) [29]. tsist2 = ttx2 + trx2 + Dt2 tsist = t t D (3.5) Dimana : tsist = Rise Time Budget (ps) ttx = Rise Time Transmitter (ps) trx = Rise Time Receiver (ps) Dt = Total Kromatik Dispersion (ps) Sebagai acuan data teknis yang digunakan dalam menghitung rise time budget dapat di lihat pada Tabel 3.3 [19]. Tabel 3.3. Parameter Pengukuran Rise Time Budget Pada PT. Telkom Data Parameter Link MDC – PUBA dan PUBA BDB Bit Rate (BR) 10 Gbps Panjang Gelombang (λ) 1550 nm Rise time transmitter (ttx) 35 ps Rise time receiver (trx) 35 ps Lebar spektral ( 0,1 nm 3.8. Dispersion Power Penalty Dispersi merupakan gejala pelebaran pulsa pada serat optik. Dispersi dipengaruhi beberapa faktor antara lain lebar pulsa cahaya yang mengalami propagasi pada serat optik, numerical aperture, core diameter, refractive index profile, laser linewidth dan panjang gelombang [14]. Akibatnya, untuk mengatasi gejala tersebut diperlukan 46 Universitas Sumatera Utara dispersion power penalty. Dispersion power penalty didefinisikan sebagai kenaikan daya input yang dibutuhkan receiver untuk mengeliminasi degradasi pada BER (bit error rate) karena efek dispersi serat optik [26]. Dispersion power penalty memiliki nilai standar yaitu tidak boleh melebihi dua decibel (2 dB) [30]. Untuk dapat menghitung besarnya dispersion power penalty, harus diketahui terlebih dahulu besarnya dispersi yang terjadi. Dispersi yang terjadi ditentukan oleh panjang gelombang yang digunakan. Oleh karena itu harus ditentukan panjang gelombang yang digunakan, dan biasanya panjang gelombang yang digunakan adalah =1310 nm dan = 1550 nm, namun dalam penelitian ini yang digunakan hanya = 1550 nm. Setelah ditentukan panjang gelombang, maka dapat dihitung besar dispersi yang terjadi dengan menggunakan Persamaan (3.1). Setelah diketahui besarnya dispersi yang terjadi langkah selanjutnya adalah menghitung pulse width () yang didapat dari perkalian besar dispersi dengan spectral width ( ) dari spesifikasi kabel optik yang digunakan pada sistem tersebut, seperti terlihat pada Persamaan (3.6) [26]. . D λ Dimana : Pulsa Width (ps/Km) spectral width (nm) D λ = Dispersi kromatik (ps/Km.nm) 47 Universitas Sumatera Utara Dengan didapat besar pulse width () pada serat optik tersebut maka dapat dicari besarnya fiber bandwidth ( f ) dalam ps/Km, seperti pada Persamaan (3.7) [26]. f = (3.7) . Langkah selanjutnya yaitu menghitung fiber bandwidth-distance ( FF ) dengan membagi fiber bandwidth ( f ) yang telah didapat dengan panjang serat optik yang digunakan (L), seperti pada Persamaan (3.8) [26]. (3.8) FF = Dimana : FF = fiber bandwidth-distance (ps/Km2) f = fiber bandwidth (ps/Km) L = panjang serat optik (Km) Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi besarnya dispersion power penalty adalah bit rate ( BR ) yang diperoleh dari spesifikasi serat optik yang digunakan pada sistem (dalam Gbps). Hal tersebut terlihat dalam mencari length efficiency atau Ldari fiber, dimana length efficiency merupakan pembagian kuadrat dari fiber bandwidthdistance dengan bit rate dikali koefisien c yang sama dengan 0.5, seperti pada Persamaan (3.9) [26]. L = c x (3.9) Setelah didapat length efficiency baru dapat dihitung besarnya dispersion power penalty dengan Persamaan (3.10) [26]. dBL = 10 log (1+L) 48 (3.10) Universitas Sumatera Utara Dimana : L = length efficiency dBL = dispersion power penalty dengan satuan decibel (dB). Selain itu nilai dispersi jika melewati ambang batas sudah bisa diatasi yaitu dengan penggunaan kabel optik jenis DCF( dispersion compensate fiber). DFC yaitu kabel optik single mode triple cladding yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan nilai dispersi negatif. Kabel ini disisipkan di bagian-bagian dimana dispersinya sudah melewati ambang batas dispersi sistem [31]. 49 Universitas Sumatera Utara BAB IV ANALISIS DISPERSI SERAT OPTIK SINGLE MODE 4.1. Umum Proses terjadinya pelebaran pulsa (dispersi) ini akan mempengaruhi kualitas sinyal yang akan ditransmisikan dalam jaringan sehingga sebelum membangun sebuah jaringan lokal akses kabel serat optik diperlukannya pengukuran dispersi [11]. Pada Tugas Akhir ini dilakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh dispersi terhadap rugi-rugi daya transmisi pada serat optik single mode. Serat optik yang digunakan yaitu serat optik single mode G.655. Rise time budget merupakan metoda untuk menentukan batasan dispersi pada saluran transmisi, tujuannya adalah untuk menganalisis kerja sistem secara keseluruhan dan memenuhi kapasitas kanal yang diinginkan. Dengan perhitungan rise time budget dapat ditentukan batasan dispersi maksimum suatu jaringan transmisi dan dapat diketahui kemungkinan terjadinya degradasi (penurunan) sinyal digital sepanjang jaringan transmisi yang disebabkan oleh komponen yang digunakan [28]. Dalam penelitian ini bit rate yang digunakan adalah 10 Gbps dengan format NRZ (Non-Return-to-Zero) sehingga nilai rise time budget harus di bawah nilai standar KPI (Key Performance Indicator) Telkom yaitu tsist ≤ 70 ps. 50 Universitas Sumatera Utara 4.2. Analisis Dispersi Pada pengukuran dispersi dengan serat optik G.655 panjang gelombang yang digunakan adalah 1255 – 1650 nm. Dispersi yang di ukur dalam penelitian ini yaitu link Medan Centrum – Pulo Brayan dengan jarak 4,96994 km sedangkan untuk link Pulo Brayan – Bandar Baru dengan jarak 60,50397 km. 4.2.1. Analisis Dispersi Link MDC - PUBA Untuk link Medan Centrum (MDC) – Pulo Brayan (PUBA) dari data Lampiran A untuk serat optik dengan penggunaan 24 core, nilai S yaitu nilai slope pada saat dispersi = 0 adalah 0.106 ps/km.nm2 dan λ0 ) yaitu nilai λ pada saat dispersi = 0 adalah 1362,71 nm. Pada link ini digunakan λ = 1550 nm, sehingga dengan menggunakan Persamaan (3.1) untuk link MDC – PUBA diperoleh nilai dispersi sebagai berikut : D λ S D λ 0.106 4 D λ 16,535 ps/km.nm λ 1550 1362,71 4 1550 3 Nilai hasil perhitungan dispersi untuk link MDC – PUBA berdasarkan panjang gelombang dapat dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Perbandingan Nilai Dispersi Berdasarkan Perhitungan Dan Pengukuran Pada Link MDC - PUBA Panjang Gelombang Dispersi Kromatik ( ps/km.nm) (λ) Perhitungan Pengukuran (nm) 1255 -12.973 -13.014 1310 -5.9336 -5.952 1550 16.535 16.589 1650 23.3823 23.457 51 Universitas Sumatera Utara Denggan cara perrhitungan yaang sama unntuk panjanng gelombanng 1255 – 1650 nm diidapatkan nilai n yang dapat d dilihatt pada Lam mpiran C y yaitu nilai d dispersi padaa bagian link k MDC – PU UBA. Dari Lampiran C diperoleh grafik perh hitungan dann pengukurann dispersi k kromatik sep perti pada Gambar G 4.1. Gambar G 4.1. Grafik Dispersi Kromatiik Link MDC – PUBA Dari perhitungan n yang telahh dilakukan diperoleh bbahwa untuk k dispersi k kromatik dengan panjanng gelombanng 1550 nm pada p link Medan M Centruum – Pulo B Brayan mennunjukkan niilai 16.535 pps/km.nm seedangkan pada data yang g terdapat p pada Lampiiran A adalah 16.589 pps/km.nm sehingga dipperoleh selissih 0.054, d dimana selissih ini dapat diabaikan kkarena hasiln nya mendekaati nilai dari data hasil p pengukuran. . Nilai Disppersi kromattik pada link k MDC - PU UBA dengaan metode p pengukuran dan perhitungann berdasaarkan paanjang gelombang ( = 1255 – 1650 nm) tidak jauh bberbeda atau u hampir sam ma. Dispersi kromatik s sangat dipeengaruhi oleeh panjang gelombangg, semakin besar nilaii panjang g gelombang maka m akan semakin besaar nilai dispeersi kromatikk. 52 Universitas Sumatera Utara Untuk mendapatkan nilai dispersi total digunakan rumus pada Persamaan (3.2) yaitu sebagai berikut : Dt = D(λ) x xL Dt = 16.535 ps/ km nm x 0.1 nm x 4.96994 km Dt = 8.2177 ps 4.2.2. Analisis Dispersi Link PUBA – BDB Untuk link Pulo Brayan (PUBA) – Bandar Baru (BDB) dari data Lampiran B untuk serat optik dengan penggunaan 48 core, nilai S yaitu nilai slope pada saat dispersi = 0 adalah 0.027 ps/km.nm2 dan λ0 ) yaitu nilai λ pada saat dispersi = 0 adalah 1421.60 nm. Pada link ini digunakan λ = 1550 maka diperoleh nilai dispersi kromatik berdasarkan Persamaan (3.1). Nilai dispersi untuk link PUBA - BDB adalah : D λ S D λ 0.027 4 λ 1550 1421.60 4 1550 3 D(λ) = 8.158 ps/km.nm Nilai hasil perhitungan dispersi untuk link PUBA - BDB berdasarkan panjang gelombang dapat dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Perbandingan Nilai Dispersi Berdasarkan Perhitungan Dan Pengukuran Pada Link PUBA - BDB Panjang Gelombang Dispersi Kromatik ( ps/km.nm) (λ) Perhitungan Pengukuran (nm) 1255 -14.6021 -14.702 1310 -9.12155 -9.184 1550 8.158 8.214 1650 13.33446 13.426 53 Universitas Sumatera Utara Dengan cara perhitungan yang sama untuk panjang gelombang 1255 – 1650 nm didapatkan nilai yang dapat dilihat pada Lampiran C yaitu nilai dispersi pada bagian link PUBA - BDB. Dari Lampiran C diperoleh grafik perhitungan dan pengukuran dispersi kromatik pada Gambar 4.2. Gambar 4.2. Grafik Dispersi Kromatik Link PUBA – BDB Dari perhitungan yang telah dilakukan diketahui bahwa untuk Dispersi kromatik dengan panjang gelombang 1550 nm pada link Pulo Brayan – Bandar Baru menunjukkan nilai 8.158 ps/km.nm sedangkan pada data yang terdapat pada Lampiran B adalah 8.214 ps/km.nm sehingga diperoleh selisih 0.056, dimana selisih ini dapat diabaikan karena hasilnya mendekati nilai dari data hasil pengukuran. Nilai Dispersi kromatik pada link PUBA - BDB dengan metode pengukuran dan perhitungan berdasarkan panjang gelombang (λ = 1255 – 1650 nm) tidak jauh berbeda atau hampir sama. Dispersi kromatik sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, semakin besar nilai panjang gelombang maka akan semakin besar nilai dispersi kromatik. 54 Universitas Sumatera Utara Untuk mendapatkan nilai dispersi total digunakan rumus pada Persamaan (3.2) yaitu sebagai berikut : Dt = D(λ) x σ x L Dt = 8.158 ps/ km.nm x 0.1 nm x 60.50397 km Dt = 49.360 ps Dari data hasil perhitungan dispersi kromatik pada Lampiran C diperoleh grafik perbandingan antara nilai dispersi kromatik link MDC – PUBA dengan panjang link 4,94994 km dan link PUBA – BDB dengan panjang link 60,50397 km. Gambar 4.3 menunjukkan grafik perbandingan nilai hasil perhitungan dispersi kromatik pada link MDC – PUBA dan Link PUBA – BDB. Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Antara Perhitungan Dispersi Kromatik Pada Link MDC – PUBA dan Link PUBA – BDB 55 Universitas Sumatera Utara Dari data hasil perhitungan pada lampiran C diperoleh bahwa nilai dispersi kromatik pada link MDC – PUBA lebih besar dari pada link PUBA – BDB. Hal ini terjadi karena letak lokasi pengkabelan yang dekat perkotaan sehingga pengaruh bending lebih besar yang mengakibatkan nilai dispersi kromatiknya lebih besar. 4.3. Analisis Rise Time Budget Dengan perhitungan rise time budget dapat ditentukan batasan dispersi maksimum suatu jaringan transmisi dengan media serat optik. Nilai rise time budget dapat dihitung dengan Persamaan (3.5). Rise time budget harus memenuhi persyaratan anggaran yaitu nilai rise time budget harus lebih kecil dari nilai bit rate sinyal NRZ. Untuk mengetahui sistem masih dalam batas normal maka dihitung nilai bit rate sinyal NRZ dengan Persamaan (3.3). Nilai Bit Rate sinyal NRZ (tr) adalah : tr = tr = . . = 0,07 ns = 70 ps 4.3.1. Rise Time Budget Link MDC - PUBA Pada perhitungan ini, sejumlah data diambil dari ketentuan dan data teknis yang ada pada Tabel 3.2. Pada Link Medan Centrum – Pulau Brayan menggunakan λ = 1550 dimana nilai perhitungan dispersi kromatik yang diperoleh adalah 16,535 ps/nm.km, sehingga untuk menghitung nilai Rise Time Budget berdasarkan pada Persamaan (3.5) namun sebelumnya sudah dihitung nilai total dispersi dalam sistem dengan menggunakan Persamaan (3.2). 56 Universitas Sumatera Utara tsist2 = ttx2 + trx2 + Dt2 tsist2 = (35) 2 ps + (35) 2 ps + (8,2177)2 ps tsist2 =2517.53 ps Maka diperoleh nilai Rise Time Budget yaitu : tsist = ttx 2 trx 2 Dt 2 tsist = √2517.53 tsist = 50.174 ps Dari hasil perhitungan ini maka diperoleh nilai batasan dispersi maksimum jaringan transmisi yang digunakan pada link Medan Centrum – Pulo Brayan adalah 50.174 ps. Hasil ini masih memenuhi syarat ≤ 70 ps artinya adalah dispersi yang ada pada sistem tersebut masih dalam batas normal yang berarti tidak menggangu kinerja sistem. 4.3.2. Rise Time Budget Link PUBA - BDB Pada perhitungan ini, sejumlah data diambil dari ketentuan dan data teknis yang ada pada Tabel 3.2. Pada Link Pulo Brayan – Bandar Baru menggunakan λ = 1550 dimana nilai perhitungan dispersi kromatik yang diperoleh adalah 8.158 ps/nm.km, sehingga untuk menghitung nilai Rise Time Budget berdasarkan pada Persamaan (3.5) namun sebelumnya sudah dihitung nilai total dispersi dalam sistem dengan menggunakan Persamaan (3.2). tsist2 = ttx2 + trx2 + Dt2 tsist2 = (35) 2 ps + (35) 2 ps + (49.360)2 ps tsist2 = 4886.40 ps 57 Universitas Sumatera Utara Maka diperoleh nilai Rise Time Budget yaitu : tsist = ttx 2 trx 2 Dt 2 tsist = √4886.40 tsist = 69.90 ps Dari hasil perhitungan ini maka diperoleh nilai batasan dispersi maksimum jaringan transmisi yang digunakan pada link Pulo Brayan – Bandar Baru adalah 69.90 ps. Hasil ini masih memenuhi syarat ≤ 70 ps artinya adalah dispersi yang ada pada sistem tersebut masih dalam batas normal yang berarti tidak menggangu kinerja sistem. 4.4. Dispersion Power Penalty Dispersi merupakan gejala pelebaran pulsa pada serat optik dan untuk mengatasinya diperlukan dispersion power penalty. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas sinyal yang diterima oleh receiver dimana gelombang mengalami pelebaran pulsa yang terlalu besar oleh karena itu perlukan dilakukan penaikan daya input yang dibutuhkan receiver (dispersion power penalty) untuk mengeliminasi degradasi pada BER (bit error rate). 4.4.1. Dispersion Power Penalty Link MDC - PUBA Untuk mengetahui seberapa besar daya input yang dibutuhkan receiver pada link MDC – PUBA maka perlu dilakukan perhitungan dispersion power penalty (dB). Setelah diketahui besarnya dispersi yang terjadi maka dihitung nilai pulse width () dengan menggunakan Persamaan (3.6). 58 Universitas Sumatera Utara . D λ 0.1nm x 16.535 ps/km.nm 1.6535 ps/km Dengan didapat nilai pulse width () sebesar 1.6535 ps/km maka dapat dicari besarnya fiber bandwidth ( f ) dengan menggunakan Persamaan (3.7). f = ln 4 . f = 1.6535 ln 4 / 3.14 1.38629 f = 5.19199 f = 0.267 ps/km Dengan didapat nilai fiber bandwidth sebesar 0.267 ps/km, maka dapat dihitung fiber bandwidth-distance (FF) dengan menggunakan Persamaan (3.8). FF = FF = . / , FF = 0.05372 ps/km2 Length efficiency dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (3.9). Bit rate merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya dispersion power penalty, dimana dalam serat optik G.655 nilai bit rate adalah 10 Gbps. 59 Universitas Sumatera Utara Nilai koefisien c adalah 0.5 dan nilai fiber bandwidth-distance sebesar 0.05372 ps/km2. Maka diperoleh nilai length efficiency yaitu : L = L = 0.5 x . / G L = 0.5 x 2,885 x 10 -5 L = 1,443 x 10 -5 Dengan didapat nilai length efficiency sebesar 1,443 x 10 -5 maka dapat dihitung nilai dispersion power penalty dengan Persamaan (3.10). Pd = 10 log (1+L) Pd = 10 log (1+1,443 x 10 -5) Pd = 10 log (1,000014) Pd= 6,266 x 10 -5 dB Pada link MDC – PUBA jangkauan power penalty (Pd) pada λ=1550 nm mengandung dispersion power penalty yakni 6,266 x 10 -5 dB, akan didapatkan ketika keadaan Dt=8,2177 ps, D(λ)=16,535 ps/nm.km dan line rates 10 Gbps. 60 Universitas Sumatera Utara 4.4.2. Dispersion Power Penalty Link PUBA - BDB Untuk mengetahui seberapa besar daya input yang dibutuhkan receiver pada link PUBA – BDB maka perlu dilakukan perhitungan dispersion power penalty (dB). Setelah diketahui besarnya dispersi yang terjadi maka dihitung nilai pulse width () dengan menggunakan Persamaan (3.6). . D λ 0.1nm x 8.158 ps/km.nm 0.8158 ps/km Dengan didapat nilai pulse width () sebesar 0.8158 ps/km maka dapat dicari besarnya fiber bandwidth ( f ) dengan menggunakan Persamaan (3.7). f = ln 4 . f = 0.8158 ln 4 / 3.14 1.38629 f = 5.19199 f = 0.541 ps/km Dengan didapat nilai fiber bandwidth sebesar 0.541 ps/km, maka dapat dihitung fiber bandwidth-distance (FF) dengan menggunakan Persamaan (3.8). FF = FF = . / . FF = 0.00894 ps/km2 Length efficiency dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (3.9). Bit rate merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya dispersion power penalty, dimana dalam serat optik G.655 nilai bit rate adalah 10 Gbps. 61 Universitas Sumatera Utara Nilai koefisien c adalah 0.5 dan nilai fiber bandwidth-distance sebesar 0.00894 ps/km2. Maka diperoleh nilai length efficiency yaitu : L = L = 0.5 x . / G L = 0.5 x 7.99 x 10 -7 L = 3,99 x 10 -7 Dengan didapat nilai length efficiency sebesar 3,99 x 10 -7 maka dapat dihitung nilai dispersion power penalty dengan Persamaan (3.10). Pd = 10 log (1+L) Pd = 10 log (1+3,99 x 10 -7) Pd = 10 log (1,0000004) Pd= 1,735 x 10 -6 dB Pada link PUBA – BDB jangkauan power penalty (Pd) pada λ=1550 nm mengandung dispersion power penalty yakni 1,735 x 10 -6 dB, akan didapatkan ketika keadaan Dt = 49,360 ps, D(λ) = 8,158 ps/nm.km serta line rates 10 Gbps. Secara keseluruhan penalty terbesar terjadi ketika jarak L = 4,94994 km dan terendah yakni berjarak L = 60,50397 km. Meskipun demikian, kedua link ini dengan λ = 1550 nm masih memenuhi nilai standar dispersion power penalty yaitu bahwa penalty maksimal berada dalam keadaan Pd < 2 dB [30]. 62 Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Selisih nilai hasil pengukuran dan perhitungan dispersi kromatik untuk link MDC – PUBA dan link PUBA – BDB dapat diabaikan karena sangat kecil (hampir sama) dan nilai dispersi kromatik sangat dipengaruhi oleh besarnya panjang gelombang. 2. Hasil perhitungan rise time budget dengan λ=1550 nm untuk link MDC – PUBA yaitu 50,174 ps dan link PUBA – BDB yaitu 69,90 ps. Hasil dari kedua link ini masih memenuhi syarat ≤ 70 ps artinya adalah dispersi yang ada pada kedua sistem tersebut masih dalam batas normal yang berarti tidak menggangu kinerja dari sistem. 3. Secara keseluruhan dispersion power penalty terbesar terjadi pada jarak 4,94994 km dengan dispersi kromatik 16,535 ps/km.nm dan terendah yakni berjarak 60,50397 km dengan dispersi kromatik 8,158 ps/km.nm. Jika nilai dispersi besar maka dispersion power penalty yang dibutuhkan semakin besar. Meskipun demikian pada kedua link ini dengan λ = 1550 nm masih memenuhi nilai standar dispersion power penalty yaitu Pd < 2 dB. 63 Universitas Sumatera Utara 5.2. Saran Untuk pengembangan selanjutkan diharapkan agar melakukan penelitian dispersi dengan membeda-bedakan spesifikasi kabel yang digunakan dan menganalisis pengaruh slope dan delay terhadap dispersi single mode. 64 Universitas Sumatera Utara