Full Book - WordPress.com

advertisement
Sketsa Ekonomi Indonesia
PRAKATA
Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hidayahNya
berupa kemampuan berpikir dan analisis yang
diaplikasikan dalam Sketsa Ekonomi Indonesia ini. Buku
narasi ini merupakan penyempurnaan buah dari ide
pemikiran bersama. Alasan-alasan penting yang menjadi
pendorong untuk penyempurnaan karya ini, sehingga
terangkai sebuah narasi sebagai bahan bacaan bagi
mahasiswa di lingkungan Universitas Jember; sebagai
kenang-kenangan mahasiswa Ekonomi Moneter 2011;
serta sebagai pemicu gairah penulisan karya-karya tulis
lainnya di lingkungan Universitas Jember khususnya.
Buku narasi ini disusun berdasarkan keinginan para
penulis yang berdasarkan fenomena ekonomi yang terjadi
baik di Indonesia maupun Internasional. Buku ini
menceritakan tentang fenomena ekonomi moneter, makro
moneter, perbankan, moneter internasional, perdagangan
bahkan kelembagaan. Buku narasi ini disusun melalui
berbagai tahap, baik melalui forum diskusi antar
mahasiswa maupun pembahasan intensif dengan Dosen
Pengampu mata kuliah Seminar Ekonomi Moneter. Buku
narasi ini tidak akan terwujud tanpa adanya harmonisasi
sebuah komitmen dan kerja sama pihak yang terlibat.
Bersamaan dengan itu, dalam kesempatan ini atas nama
mahasiswa Universitas Jember khususnya mahasiswa
konsentrasi ekonomi moneter 2011 menyampaikan
i
Sketsa Ekonomi Indonesia
penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima
kasih yang setulus-tulusnya, terutama kepada pihak-pihak
berikut:
1. Adhitya Wardhono, SE., M.Sc., Ph.D selaku dosen
pengampu mata kuliah Seminar Ekonomi Moneter
2. tim penyunting Buku Sketsa Ekonomi Indonesia 2011
3. seluruh mahasiswa konsentrasi ekonomi moneter 2011
Akhirnya, tiada suatu usaha yang besar akan berhasil
tanpa dimulai dari usaha yang kecil. Semoga buku Sketsa
Ekonomi Indonesia ini bermanfaat, terutama bagi seluruh
mahasiswa di lingkungan fakultas ekonomi Universitas
Jember dan bagi pengguna lain di luar lingkungan fakultas
ekonomi Universitas Jember. Semoga buku ini dapat
menambah khazanah ilmu dan bacaan bagi siapa saja yang
membacanya.
Jember, Januari 2015
Universitas Jember
ii
Sketsa Ekonomi Indonesia
KATA PENGANTAR
Menyimak perekonomian Indonesia dalam dimensi
moneter dan internasional serasa terbang mengarungi
luasnya bentang langit yang kadang cerah atau
mengandung awan serta tarikan gravitasi yang begitu
berat, bahkan sering terjadi turbulensi yang hebat.
Kepiawaian dalam pengamatan, detail dalam membaca
arah angin manjadi mutlak dilakukan. Oleh karenanya pada
titik tertentu variasi pengamatan ekonom terhadap
fenomana ekonomi kandang anomalis dengan teori yang
ada atau bahkan melenceng dari garis demarkasi akademis
tradisional yang ada. Namun belajar dan belajar membaca
fenomena ekonomi adalah mutlak dilakukan. Perdebatan
ilmiah akan terjadi jika calon ekonom muda berani
berkarya melalui tulisan, mengungkap tabularasa
ilmiahnya dalam lisan maupun tulisan.
Sungguh sesuatu yang perlu dihargai, tatkala melihat
inovasi mahasiswa bergelora bersama ruang dan waktu
mereka. Ide untuk membukukan atau tepatnya
mengkompilasi tulisan yang sejatinya adalah makalah
dalam kuliah Seminar Ekonomi Moneter Semester Gasal
2014-2015 yang kebetulan dilakukan oleh mahasiswa
angkatan 2011 Konsentrasi Moneter, Angkatan 2011
Jurusan IESP menjadi tradisi baru yang perlu ditumbuh
kembangkan di kemudian hari. Warna telaah yang beragam
dan sudut analisis yang diambil dari kaca mata yang bedaiii
Sketsa Ekonomi Indonesia
beda, namun mampu didudukan pada telaah teoritis dan
kebijakan yang jelas meski kadang masih belum memiliki
ukuran kedalaman yang tepat. Lepas dari kekurangan di
sana sini, sebuah keberanian untuk berekspresi melalui
tulisan kritis terhadap perekonomian Indonesia dari aspek
moneter, perbankan, internasional bahkan perdagangan
serta kelembagaan, membuncahkan asa positif bersama
niat baik untuk membangun kelembagaan Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) yang baik,
percaya diri dan bermartabat kedepan.
Semangat tetap disemai, semoga karya tetap membahana...
Adhitya Wardhono, PhD
Pengampu Mata Kuliah Seminar
Ekonomi Moneter
Jurusan IESP Fakultas Ekonomi
Universitas Jember
iv
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Prakata ............................................................................................... i
Kata Pengantar ............................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................. v
Daftar Gambar ................................................................................ viii
Daftar Tabel ..................................................................................... x
Dinamika Eligibilitas Keuangan Terhadap Strategi Nasional
Keuangan Inklusif di Indonesia
Cintya Meidia Tama dan Retno Ayu Wulansari ................... 1
Financial Deepening di Indonesia: Sektor Perbankan
Christin Ningrum dan Lutfiatun Hasanah ............................. 16
Relevansi Inflation Targeting Framework dalam Menjaga
Stabilitas Harga di Indonesia
Dani Setiawan dan Moh. Ilyas Zainunnury ............................ 30
Kajian Praktis Peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah
dalam Menjaga Stabilitas Harga
Ahmad Faisol dan Edi Prastiawan ........................................... 42
v
Sketsa Ekonomi Indonesia
Persistensi Inflasi: Pendekatan Sisi Penawaran
pada Pasar Barang
Virdila Reindhartis dan Farida Elgani E ................................ 56
Early Warning System Indikator Makroekonomi
pada Krisis Perbankan
Ave Nindy Prastica Devi dan Reny Octaviantri .................... 71
Pengaruh Bank Asing terhadap Perbankan Domestik di
Indonesia: Studi Kasus dalam Menghadapi MEA 2015
Nurul Hazizah dan Rista Fitriany ............................................. 83
Biaya Market Power Perbankan Asing di Indonesia:
Cost Inefficiency and Welfare Loss
Mela Yunita dan Hudi Darmawan ............................................ 96
Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial
di Indonesia
Achmad Fawaid Hasan dan Pamungkas Candrono ........... 110
Dampak Kebijakan Pelonggaran Kuantitatif Amerika
Serikat terhadap Stabilitas Perekonomian Indonesia
Dina Dwi Septiani dan Ika Nurjannah .................................... 124
Dampak Pelaksanaan ACFTA terhadap Perdagangan
Internasional Indonesia: Sisi Ekspor
Nur Umahatul Qomariah dan Yayang Oktafiani Putri ...... 138
vi
Sketsa Ekonomi Indonesia
Dinamika Neraca Perdagangan Indonesia
dan Sensitivitasnya terhadap Nilai Tukar Riil
Indah Hotmian A.P dan Sucik Ayu W ....................................... 151
Pengaruh Nilai Tukar terhadap Ekspor Makanan
di Indonesia
Airin Septia Lygina dan Elani Umiyatul Halim .................... 161
vii
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Triangle Analysis ................................................... 8
Gambar 2 : Perkembangan Indikator Financial Deepening
Pada Sektor Perbankan....................................... 20
Gambar 3 : Sinergi Kebijakan Untuk
Mempengaruhi Inflasi ......................................... 48
Gambar 4 : Struktur Persistensi Inflasi ................................ 60
Gambar 5 : Struktur Inflasi di Indonesia ............................. 62
Gambar 6 : Tingkat Inflasi Aktual .......................................... 66
Gambar 7 : Prediksi Tingkat Inflasi ....................................... 77
Gambar 8 : Prediksi Nilai Tukar Rupiah-Dolar ................. 78
Gambar 9 : Prediksi PDB ........................................................... 79
Gambar 10 : Pilar ASEAN Economic Community ....................85
Gambar 11 : Penguasaan Aset dan Pengucuran Kredit
Sektor Perbankan Tahun 2011 ........................ 88
Gambar 12 : Indeks Lerner Bank
Perbankan Indonesia ........................................... 102
Gambar 13 : Aset Perbankan dan Pengucuran Kredit
di Indonesia ............................................................. 104
Gambar 14 : Kebijakan Moneter dan Makroprudensial
dalam Meredam Prosiklikalitas ....................... 117
Gambar 15 : Kerangka Integrasi Kebijakan Moneter
dan Makroprudensial .......................................... 120
Gambar 16 : Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan
GDP Amerika Serikat ........................................... 127
Gambar 17 : Tingkat Inflasi danPertumbuhan
GDP Indonesia ........................................................ 132
viii
Sketsa Ekonomi Indonesia
Gambar 18 : China sebagai Negara Tujuan
Ekspor Utama ......................................................... 145
Gambar 19 : Sumber Impor China
dari Negara-Negara ASEAN ............................... 145
Gambar 20 : Intra-Regional Trade share
negara-negara ASEAN ......................................... 152
Gambar 21 : Ekspor dan Impor Bulanan Indonesia
Tahun 2011 ............................................................. 158
ix
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Distribusi Produk Jasa Keuangan ......................... 11
Tabel 2: Perkembangan Jumlah Bank Umum dan
Kantor Bank Umum ................................................... 18
Tabel 3 : Perbandingan Perdagangan
Indonesia-China .......................................................... 140
Tabel 4 : Neraca Perdagangan Indonesia 2003-2013 ..... 156
x
Sketsa Ekonomi Indonesia
DINAMIKA ELIGIBILITAS KEUANGAN TERHADAP
STRATEGI NASIONAL KEUANGAN INKLUSIF
DI INDONESIA
Cintya Meidia Tama dan Retno Ayu Wulansari
Prolog
Sektor keuangan merupakan dasar berjalannya
aktivitas perekonomian suatu negara, Hal tersebut cukup
penting karena adanya perputaran modal bagi pembiayaan
usaha pemerintah maupun swasta (Beck, Kunt, Levine,
2000). Dunia industri perbankan dominan perannya bagi
keberlangsungan suatu negara yang menjadi wadah bagi
masyarakat untuk menyimpan uang maupun bertransaksi.
CGAP dan World Bank (2010) menyatakan 2,7 Milyar
penduduk dunia tidak memiliki akses kredit, asuransi, dan
tabungan. Fenomena tersebut menunjukkan terdapat
masyarakat yang belum memiliki akses terhadap lembaga
jasa keuangan sehingga keadaan perekonomian masih
tergolong miskin, tetapi tidak teraksesnya masyarakat oleh
perbankan disebabkan oleh cukup sulitnya ijin pendirian
suatu lembaga jasa keuangan di suatu wilayah
(Andrianaivo dan Kpodar, 2011).
Masyarakat Indonesia hanya 49% memiliki akses ke
lembaga sektor keuangan formal dan 3% pada lembaga
keuangan formal lainnya. Sehingga 48% penduduk lainnya
[1]
Sketsa Ekonomi Indonesia
atau 120 juta penduduk tidak memiliki akses ke lembaga
keuangan formal, hal tersebut mencerminkan bahwa
terdapat masyarakat yang perlu teredukasi keuangan
dengan baik. Semakin banyaknya masyarakat yang
menggunakan jasa keuangan maka taraf hidup akan lebih
baik. Berdasarkan Strategy for Financial Inclusion Final
Report (Steering Group), menyebutkan bahwa kunci dari
inklusi keuangan adalah promosi dan prinsip
pembangunan dan kunci utama dari sistem pembayaran
dasar yang digunakan dalam penerapannya secara
langsung.
Strategi Nasional Keuangan Inklusif (2013)
mencantumkan permasalahan terhadap akses sistem
keuangan dapat dilihat dengan pendekatan demand and
supply. Dari sisi demand masyarakat menyangkut kendalakendala yang berkaitan dengan kapasitas dan kapabilitas
individu untuk mengakses produk dan jasa keuangan. Dari
sisi supply (infrastruktur dan produk keuangan) yaitu
keterbatasan layanan jasa keuangan yang terjangkau, biaya
transaksi dan lemahnya regulatory frameworks. Hal ini
menyebabkan terbatasnya kualitas dan kuantitas produk
dan jasa keuangan yang bisa ditawarkan dan diakses oleh
masyarakat. Tujuan utama dari strategi tersebut adalah
untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui
pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan
stabilitas sistem keuangan di Indonesia dengan
menciptakan sistem keuangan yang dapat diakses oleh
seluruh lapisan masyarakat. SNKI dirancang mengentaskan
kemiskinan, dengan maksud tersebut diharapkan akan
[2]
Sketsa Ekonomi Indonesia
menciptakan kesejahteraan ekonomi. Pada penelitian ini
penulis
menitikberatkan pada pembahasan Financial
Inclusion yang bertujuan untuk membahas bagaimana
pengaruh dari suatu eligibilitas keuangan terhadap apaya
keuangan inklusif di Indonesia serta mewujudkan
masyarakat Bankable untuk meningkatkan distribusi jasa
keuangan di Indonesia.
Keuangan inklusif merupakan suatu kegiatan
menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala
bentuk hambatan terhadap akses masyarakat dalam
memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan didukung
oleh berbagai insfrastruktur yang mendukung (Bank
Indonesia, 2012). Keuangan inklusif merupakan suatu
kondisi dimana seluruh lapisan masyarakat memiliki akses
terhadap sistem keuangan.
Dengan kata lain financial inclusion dapat
diringkaskan menjadi suatu kegiatan menyeluruh yang
bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik
yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses
masyarakat dalam menggunakan dan/atau memanfaatkan
layanan jasa keuangan (Word Bank dan European
Commision, 2008).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang
menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak”. Bank Indonesia (2012) yang dimaksud
bankable adalah yang telah memenuhi persyaratan
[3]
Sketsa Ekonomi Indonesia
administrasi perbankan dan terakses oleh layanan jasa
keuangan. (Syafrizal, 2011) dalam sistem distribusi
keuangan terdapat lima aspek yang perlu diperhatikan,
yaitu: aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek politik,
aspek lingkungan hidup, aspek hukum
Eligibilitas
keuangan
merupakan
upaya
meningkatkan kelayakan kaum miskin produktif dari tidak
layak memiliki kemampuan membeli dan bependapatan
sehingga kesejahteraan kaum miskin terwujud serta
mengurangi adanya pengangguran dan angka kemiskinan
di Indonesia. Menurut SNKI terdapat pilar yang meliputi
beberapa aspek, diantaranya adalah meningkatkan
kapasitas masyarakat, memperkenalkan sistem jaminan
alternatif, layanan kredit yang lebih sederhana, dan
mengidentifikasi nasabah potensial.
Diturunkan dari SNKI (Strategi Nasional Keuangan
Inklusif) Pilar ke tiga tentang eligibilitas keuangan dengan
pemetaan informasi keuangan meliputi Financial Identity
Number, Credit Rating Agency untuk UMKM, Biro Informasi
Kredit, Database UMKM. Transformasi informasi keuangan
yang tepat disesuaikan dengan keadaan budaya masyarakat
setempat merupakan alternatif cara yang digunakan
sebagai inklusif keuangan bagi perekonomian Indonesia
(Strategi Nasional Keuangan Inklusif, 2013).
Penawaran dan Permintaan Jasa Keuangan Warnai
Perekonomian
Permasalahan yang menyebabkan sulitnya akses
masyarakat terhadap layanan jasa keuangan ini umumnya
[4]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dapat dibagi atas dua bagian besar, yakni dari sisi
penawaran dan sisi permintaan:
Sisi Penawaran.
1. Kondisi geografis.
Selain masalah yang telah terjadi secara alamiah
misalnya masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil,
penelitian Leyshon & Thrift (2010) mengatakan bahwa
krisis dan deregulasi keuangan turut menyebabkan
sulitnya akses masyarakat terhadap layanan keuangan.
Krisis ekonomi telah memaksa investor untuk menarik
dananya dari negara berkembang sehingga terjadi
penutupan kantor bank secara besar-besaran.
2. Desain dan Pola Pelayanan.
Sebagai contoh, pada produk tabungan yang biaya
administrasinya dirasa berat bagi masyarakat kecil atau
tidak tersedianya layanan kredit harian bagi pedagang
mikro, menyebabkan mereka tetap menggunakan layanan
kredit dari lintah darat yang cicilannya dipungut langsung
dari pedagang tersebut. Selain itu, bank umumnya lebih
mengutamakan kredit dalam jumlah besar daripada kredit
skala kecil yang dibutuhkan oleh UMKM (Rojas, 2012).
3. Information gap.
Kesenjangan informasi antara apa yang menjadi
persyaratan dan prosedur Bank maupun produk Bank
dengan apa yang umum diketahui oleh UMKM. Kesenjangan
inilah yang memerlukan jembatan penghubung antara
masyarakat luas, khususnya UMKM, dengan lembaga
keuangan, terutama perbankan, sehingga permasalahan
[5]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dapat diidentifikasi dan pemecahan masalah disesuaikan
dengan permasalahan riilnya (Shinozaki, 2012).
Sisi Permintaan.
1. Pendidikan.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah
sering menyebabkan masyarakat tidak dapat memperoleh
layanan jasa keuangan. Misalnya ketidakmampuan
membuat laporan keuangan dan atau uraian prospek usaha
menjadi kendala masyarakat dalam memperoleh kredit
Bank. Selain itu, rendahnya pengetahuan atas manfaat
asuransi juga menyebabkan rendahnya penetrasi produk
asuransi bagi masyarakat kecil.
2. Masalah Legal atau Formalization Gap.
Perikatan Bank dengan nasabah umumnya diatur
secara formal dengan persyaratan legal yang ketat. Namun
usaha mikro umumnya sulit untuk memenuhi persyaratan
formal bank seperti izin usaha, jaminan dalam bentuk
sertifikat sehingga akhirnya masyarakat miskin tidak
mampu memperoleh akses kredit yang memadai.
3. Self Exclusion.
Keengganan untuk memperoleh layanan jasa
keuangan juga dapat disebabkan oleh terdapatnya
keyakinan sebagian masyarakat bahwa bunga Bank adalah
riba yang diharamkan, sehingga layanan jasa keuangan
yang berdasarkan syariah dan terbebas dari riba dapat
menjadi solusi (Carbo, et al, 2010).
[6]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Potret Financial Inclusion di Beberapa Negara
Financial Inclusion juga telah diterapkan di beberapa
negara di dunia. Tercatat kepemilikan rekening di negaranegara maju (yaitu Eropa, Amerika Serikat, dan negaranegara OECD) yang saat ini berada rata-rata di atas 50%
terhadap jumlah penduduknya berbanding terbalik dengan
di negara-negara sedang berkembang (yaitu Afrika,
Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia Timur) yang
berkisar rata-rata 30%.. Hal ini menjadikan tugas dan
peran pemerintah maupun Bank Sentral lebih ringan
sehingga tidak mengeluarkan biaya tambahan dalam
proses stabilitas sistem keuangan (World Bank, 2011).
Lebih jauh, besarnya persentase kepemilikan rekening di
negara-negara maju (Eropa, Amerika Serikat, dan negaranegara OECD) tersebut berbanding lurus dengan tingkat
pendapatan per kapita (GDP per kapita) yang rata-rata di
atas US$ 20 ribu. Semakin tinggi GDP per kapita, semakin
tinggi pula persentase kepemilikan rekening di lembaga
keuangan formal. Sebaliknya, semakin rendah GDP per
kapita di negara-negara sedang berkembang (Afrika,
Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia Timur), maka
tingkat persentase kepemilikan rekening semakin rendah
atau sedikit (Sharma dan Kukerja, 2013).
Kondisi seperti itu menunjukkan tingkat literasi
keuangan di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan
di negara-negara sedang berkembang. Untuk itu kondisi
tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja, melainkan harus
segera diseimbangkan secara proporsional dengan cara
[7]
Sketsa Ekonomi Indonesia
mendorong peningkatan literasi keuangan masyarakat di
emerging countries melalui program financial inclusion.
Uraian Segitiga
Uraian Segitiga adalah sebuah teknik untuk
melakukan analisa dan mencari jawaban sebuah masalah,
yang distruktur seputar struktur, isi dan budaya dalam
sistem kebijakan.
Structure
Content
Legal –Political
System
Culture
Gambar 1. Triangle Analysis
- Isi merupakan berkenaan dengan hukum tertulis,
kebijakan pemetaan informasi keuangan yang relevan
dengan isu spesifik. Misalnya, bila tak ada undangundang untuk informasi keuangan, salah satu bagian
dari solusi adalah dengan cara mengesahkan undangundang. Juga, bahkan jika undang-undang atau
kebijakannya ada, kecuali jika terdapat mekanisme
[8]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pemetaan dan informasi keuangan kelembagaan untuk
penguatannya.
- Struktur berkenaan dengan mekanisme negara atau
mekanisme non-negara untuk melaksanakan sebuah
undang-undang atau kebijakan. Ini termasuk, misalnya,
polisi, pengadilan, rumah sakit, serikat buruh,
kementrian, dan program-programkeuangan. Struktur
dapat berkenaaan dengan kelembagaan dan program
yang dikerjakan oleh pemerintah, LSM atau bisnis di
tingkat lokal, nasional dan internasional.
- Budaya merujuk pada nilai-nilai dan perilaku yang
membentuk bagaimana manusia menghadapi dan
memahami suatu isu. Nilai-nilai dan perilaku
dipengaruhi, antara lain, oleh agama, adat, kelas, gender,
kesukuan dan usia. Kurangnya informasi mengenai
undang-undang keuangan dan kebijakan adalah bagian
dari dimensi budaya. Demikian pula, jika orang telah
menginternalisasi
rasa
ketidakgunaannya,
atau
sebaliknya, rasa mempunyai hak, hal ini akan
membentuk sikap orang tersebut terhadap dan derajat
manfaat dari undang-undang dan kebijakan keuangan.
Sekilas Tentang Masyarakat Bankable
Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang
sangat miskin yang belum tersentuh oleh akses lembaga
jasa keuangan. Mengenal Masyarakat Bankable Bank Fungsi
Utama Perantara antara pihak kelebihan dana dan
kekurangan dana. Mendorong kemajuan pembangunan
melalui fasilitas kredit dan kemudahan pembangunan
[9]
Sketsa Ekonomi Indonesia
sumber dana bank kepada masyarakat luas dan lembaga
lain. Industri perbankan Indonesia masih tumbuh sehingga
belum semua masyrakat dapat menjangkau atau memiliki
akses kepada perbankan. Menurut (International Monetary
Funds, 2000) manfaat masyarakat bankable adalah:
Semakin mudahnya masyarakat mengakses lembaga jasa
keuangan, Kemudahan proses administrasi jasa keuangan,
Resiko kehilangan uang menurun, Terjadi ekspansi
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk kendala dalam
mewujudkan masyarakat yang Bankable adalah Keadaan
geografis suatu wilayah berjauh-jauhan atau menyebar,
Usia penduduk yang telah lanjut usia menyebabkan
sulitnya sosialisasi, Pendidikan masyarakat di wilayah
tersebut rendah (International Monetary Funds, 2000).
Uraian SWOT
(Daniel Start dan Ingie Hovland, 2011) menyatakan
instrument
perencanaaan
strategis
yang
klasik
menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan
kesempatan ekternal dan ancaman, instrument ini
memberikan cara sederhana untuk memperkirakan cara
terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen ini
menolong para perencana apa yang dapat dicapai, dan halhal apa saja yang perlu diperhatikan.
[ 10 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Tabel 1. Distribusi Produk Jasa Keuangan
EKSTERNAL
INTERNAL
S (Kekuatan,Potensi)
1.Infrastruktur baik
2.Teknologi semakin
canggih
3.SDM yang handal
W (Kelemahan)
1. Tidak
menyebar
seluruh wilayah
2. Produk tidak tepat
sasaran
3. Masyarakat
buta
teknologi
4. Pendidikan
masyarakat Rendah
O (Peluang)
1. Pemekaran
beberapa
wilayah
2. Pemerintah
menganjurkan
masyarakat
dapat mengakses
lebih
terhadap
produk keuangan
SO
1.Promosi
bekelanjutan
2.Mengadakan gerai
Produk Keuangan
WO
1.Informasi
keuangan secara
khusus bagi
masyarakat miskin
T (Ancaman,
Tantangan)
1. Jenis produk
keuangan yang
berkembang
cepat
ST
1.Mematenkan
Produk
keuangan
WT
1.Menciptakan
Inovasi produk
Keuangan
sejenis
Perumusan kebijakan
Berdasarkan uraian SWOT yang dilakukan diatas
maka berbagai kebijakan dapat diambil dalam
mendistribusikan produk jasa keuangan kepada
masyarakat agar teredukasi oleh industri keuangan
mengenai kebutuhan yang dapat digunakan bagi
kepentingan masyarakat. Cara tersebut dapat dijadikan
model alternatif bagi pelaku industri keuangan untuk
meluaskan pasar dengan melakukan segmentasi khusus
[ 11 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
masyarakat dengan kategori sangat miskin dengan
indikator yang terdapat pada kelemahan dalam uraian di
atas. Memanfaatkan potensi untuk meraih peluang,
memanfaatkan potensi untuk menghadapi tantangan,
mengatasi kelemahan untuk meraih peluan, meminimalkan
kelemahan untuk bertahan dari ancaman. Realisasi dari
perumusan kebijakan yang telah dihasilkan dari uraian
SWOT tersebut berguna bagi pelaku industri keuangan
dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka
menerapkan Financial Inclusion dengan pendekatan
kebudayaan masyarakat setempat.
Epilog
Keadaan masyarakat Indonesia yang secara
keseluruhan masih tergolong miskin menjadikan hal
tersebut pekerjaan rumah bagi seluruh kalangan untuk
mengentaskan kemiskinan. Salah satunya yaitu dengan
diberlakukan SNKI (Strategi Nasional Keuangan Inklusuf)
oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Republik Indonesia yaitu melalui pilar ketiga tentang
eligibilitas keuangan. Eligibilitas keuangan bertujuan untuk
memetakan informasi keuangan kepada target sasaran
secara merata. Permasalahan yang ada dimana masyarakat
menengah ke bawah belum mengetahui tentang produk
keuangan, untuk mengetahui bagaimana pengaruh
eligibilitas keuangan untuk upaya keuangan inklusif di
Indonesia menggunakan uraian permintaan dan
penawaran masyarakat atas produk jasa keuangan. Jika
dilihat dari segi penawaran dan permintaan dapat
[ 12 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dikatakan bahwa eligibilitas sangat berpengaruh untuk
mewujudkan keuangan inklusif masyarakat di Indonesia.
Selain menggunakan uraian penawaran dan permintaan
dalam makalah ini juga menggunakan uraian segitiga.
Hasil yang didapat dari uraian SWOT menjelaskan
bahwa perlu adanya promosi yang berlanjut dari produk
jasa keuangan, mengadakan gerai produk keuangan,
mematenkan produk jasa keuangan, perlu adanya
sosialisasi tentang informasi keuangan secara khusus bagi
masyarakat miskin, serta menciptakan produk keuangan
sejenis yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan inklusi keuangan yang komprehensif
memudahkan pemerintah dalam menjalankan programprogram unggulan sehingga tidak mengeluarkan biaya
administrasi dan akomodasi lebih besar serta diharapkan
setelah masyarakat bankable maka economic growth akan
terjadi dengan kemudahan akses keuangan oleh
masyarakat. Intensifikasi distribusi produk keuangan
dengan melakukan pendekatan kebudayaan terhadap
masyarakat disuatu wilayah akan menciptakan program
baru yang unique bagi kalangan industri keuangan.
REFERENSI
Andrianaivo, M., Kpodar, K. 2011. ICT, Financial Inclusion,
and Growth: Evidence from African Countries. IMF
Working Paper.
Bank Indonesia. 2012.
Beck T., Demirgüç-Kunt A., Levine R. 2000. “A New
Database on the Structure and Development of the
[ 13 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Financial Sector”, World Bank Economic Review 14
(3), 597-605.
Carbo et al. 2010. financial exclusion
CGAP dan Bank Dunia. 2010.
Gertler, Mark. 2011. A model of unconventional monetary
policy, Journal Of Monetary Economics, 58 (2011):
17-34.
Gertler, Mark, Nobuhiro Kiyotaki, dkk. 2012. Financial
crises, bank risk exposure And government financial
policy, Journal of Monetary Economics, 59 (2012)
S17-S34.
Heirshleifer, David. 2010. Systemic risk, coordination
failures,
and
preparedness
externalities:
Applications to tax and accounting policy, Journal Of
Financial Economics Policy.
International Monetary Funds. 2000.Leyshon dan Thrift.
2010. Financial Exclusion.
Lubis, A.F. 2011. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan.
Bank Indonesia, 14 (3):2012.
Mankiw, Gregory, N. 1986. Money Demand And The Effect
Fiscal Policies, Journal of Money, Credit and Banking,
18 (4): 415-429.
Rojas, s. 2012. financial inclusion: financial services for the
unbanked. Institute
For Global Law & Policy Harvard Law School,
Cambridge.
Sharma, A, Kukerja, S. 2013. An Analytical Study:Relevance
of Financial
Inclusion For Developing Nations. International
Journal Of Engineering And Science Issn: 2278-4721,
Vol.2, Issue 6 (March 2013), Pp 15-20.
Shinozaki, S. 2012. A New Regime of SME Finance in
Emerging Asia:
[ 14 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Empowering Growth-Oriented SMEs to Build
Resilient National Economies. Asia Development
Bank.
Silalahi, Tumpak, Wahyu Ari Wibowo, dkk. 2012. Impact of
Global Financial Shock To International Bank
Lending In Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter,
Oktober.
Start. D dan Hovland. I. 2011. Tools for Policy Impact: A
Handbook for Researchers. Research and Policy in
Development Programme. London.
Strategi Nasional Keuangan Inklusif, 2013
Syafrizal. 2011. “Saluran distribusi”, November.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 World Bank.
World Bank dan European Commision. 2008.
World Bank. 2011.
[ 15 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
FINANCIAL DEEPENING DI INDONESIA:
SEKTOR PERBANKAN
Christin Ningrum dan Lutfiatun Hasanah
Prolog
Sektor
keuangan
berperan
penting
dalam
perekonomian suatu negara Pembangunan ekonomi suatu
negara tidak lepas dari sektor keuangan. Sektor keuangan
berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Suatu negara dengan sektor keuangan yang baik maka akan
mendorong kegiatan perekonomian yang kemudian
memacu pertumbuhan ekonomi. Diumpamanakan sektor
perbankkan pada tingkat makro bank digunakan sebagai
alat penggerak kebijakan moneter sedangkan tingkat mikro
bank merupakan sumber utama pendanaan masyarakat
(Bank Indonesia, 2012). Miskhin (2008) menjelaskan suatu
perekonomian yang sehat dan dinamis membutuhkan
sistem keuangan yang mampu menyalurkan dan secara
efisien dari masyarakat yang memiliki dana lebih ke
masyarakat yang memiliki peluang-peluang investasi
produktif. Oleh sebab itu sistem keuangan sangat penting
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara dan
kurangnya perkembangan dalam sistem keuangan maka
akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu
harus ada kebijakan untuk memperluas sistem keuangan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Beberapa cara yang digunakan perbankan dalam
melaksanakan fungsinya sebagai financial intermediaries:
[ 16 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
(1) lebih fokus untuk mengalokasikan dana yang telah
dihimpun (DPK) dengan pemberian kredit, baik untuk
kredit konsumsi, kredit modal, dan kredit investasi. (2)
Dapat juga dengan meningkatkan akses masyarakat
terhadap sektor perbankan itu sendiri, yakni dengan
melakukan ekspansi layanan kepada masyarakat luas
(misal : penambahan unit bank) sehingga fungsi dari sektor
perbankan itu sendiri dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat.
Kebijakan deregulasi pada sektor keuangan 1980- an
adalah Paket Juni (PAKJUN) 1983 dan Paket Oktober
(PAKTO) 1988. Pada paket Juni (PAKJUN) 1983 dimana
pemberian
kebebasan
pada
bank-bank
untuk
menetapkannya suku bunga kredit dan suku bunga
deposito, kemudian pada paket Oktober (PAKTO) 1988
dimana usaha untuk meningkatkan kompetisi pada sektor
keuangan dengan mengurangi hambatan dalam pendirian
bank baru, pada PAKTO 1988 juga melatarbelakangi
perkembangan pada sektor keuangan. Perkembangan
sektor keuangan yang dimaksud dapat dilihat melalui
jumlah bank dan kantor bank di Indonesia. Perbankan
Indonesia cukup mampu mempertahankan kinerja positif,
meskipun menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Tingginya volatilias perekonomian global, perbankan
berhasil memperkuat peranannya dalam sistem keuangan
Indonesia diantaranya melalui peningkatan aspek
kelembagaan. Bank Indonesia (2013), tercatat mulai tahun
2007 sampai tahun 2013 bahwa terjadi peningkatan jumlah
kantor bank di Indonesia meliputi Kantor Cabang, Kantor
Cabang Pembantu, Kantor Kas. Secara total pada tahun
2013 jumlah kantor sebesar 18.558 kantor bank di
Indonesia, dimana mengalami peningkatan dari tahun 2008
hingga tahun 2013, dapat dilihat pada Tabel 2.
[ 17 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Bank Umum dan Kantor Bank
kelompok
Bank
2007
Bank
Persero
jumlah
bank
5
jumlah
kantor
2.765
BUSN
Devisa
jumlah
bank
35
jumlah
kantor
4.694
BUSN Non
Devisa
jumlah
bank
36
jumlah
kantor
778
BPD
jumlah
bank
26
jumlah
kantor
1.205
Bank
Campuran
jumlah
bank
17
jumlah
kantor
96
2008
2009
Tahun
2010
5
4
4
4
4
4
3.134
3.854
4.189
4.362
5.363
6.415
32
34
36
36
36
36
5.196
6.181
6.608
7.209
7.647
8.052
36
31
31
30
30
30
875
976
1.131
1.288
1.447
1.578
26
26
26
26
26
26
1.310
1.358
1.413
1.472
1.712
2.044
15
16
15
14
14
14
168
238
263
260
263
272
[ 18 ]
2011
2012
2013
Sketsa Ekonomi Indonesia
kelompok
Bank
Bank
Asing
jumlah
bank
jumlah
kantor
Total
jumlah
bank
jumlah
kantor
2007
2008
2009
Tahun
2010
11
10
10
10
10
10
10
142
185
230
233
206
193
197
130
124
121
122
120
120
120
2011
2012
2013
9.680 10.868 12.837 13.837 14.797 16.625 18.558
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia 2007-2013
Menurut Norman (2010) pendalaman sektor
keuangan (financial deepening) merupakan sebuah termin
yang
digunakan
untuk
menunjukkan
terjadinya
peningkatan peranan, kegiatan dan jasa-jasa keuangan
terhadap ekonomi. King dan Levine merancang 4 ukuran
dalam perhitungan perkembangan sektor keuangan.
Pertama, ukuran dari pendalaman sektor keuangan adalah
rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem
keuangan terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini
adalah M3, namun apabila M3 tidak bisa didapatkan maka
digunakan M2. Hal ini sejalan dengan IMF dalam database
International Financial Statistic dan juga Slangor (1991:11).
Kedua, adalah rasio dari deposit money bank domestic asset
dibagi dengan deposit money bank domestic asset ditambah
dengan central bank domestic asset yang menggambarkan
institusi keuangan yang lebih spesifik. Ketiga, rasio kredit
[ 19 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dari sektor swasta non keuangan dibagi dengan total kredit
domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor swasta nonkeuangan dibagi dengan GDP. Berikut indikator financial
deepening di sektor perbankan Gambar 2.
70
60
50
M2/GDP
40
30
kredit
swasta/GDP
20
10
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
0
Gambar 2. Perkembangan Indikator financial deepening pada
sektor perbankan
Sumber : world bank, 1988-2013
Berdasarkan gambar 2. indikiator financial deepening
yaitu rasio jumlah uang beredar dalam arti luas terhadap
PDB (M2/PDB) berfluaktif mulai tahun 1980 sampai 2013.
Sejak adanya reformasi keuangan di tahun 1980-an mulai
dari Pakjun 1983 kemudian pakto 1988 perkembangan
M2/PDB terus mengalami peningkatan. Mulai tahun 1980
M2/PDB mengalami peningkatan secara rata-rata, namun
setelah terjadinya krisis 1997/1988 M2/PDB mengalami
penurunan, terlihat pula pada krisis global 2008
menyebabkan indikator financial deepening M2/PDB
semakin mengalami penurunan hingga tahun 2012 lalu
kembali meningkat pada titik 40,2 % di tahun 2012 dan
[ 20 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 0.8% yaitu 41,0% di tahun
2013. Indikator financial deepening lainnya yaitu rasio
kredit swasta terhadap PDB (kredit sektor swasta/PDB)
mengalami peningkatan secara rata-rata mulai tahun 19801998, dan menurun drastis pada tahun 1999 pada titik
20,49% hal ini terjadi karena imbas dari krisis ekonomi
yang terjadi pada tahun 1997/1998. (Fabya,2011)
menyatakan Semakin tinggi pendalaman keuangan semakin
besar penggunaan uang dalam perekonomian dan semakin
besar serta semakin meluas kegiatan lembaga keuangan
maupun pasar uang.
Safdar (2014), pendalaman keuangan merupakan
sistem
keuangan
untuk
memperbaiki
kondisi
perekonomian melalui peningkatan efisiensi kompetitif
dalam pasar keuangan sehingga secara tidak langsung
menguntungkan sektor non-keuangan ekonomi. Selain itu,
pendalaman
keuangan
juga
membantu
dalam
meningkatkan penyediaan dan pilihan jasa keuangan yang
akan datang melalui infrastruktur keuangan. Berdasarkan
laporan Badan Pusat Statistik (2010), memperdalam pasar
keuangan juga dapat dilakukan sebagai upaya untuk
menarik ekses likuiditas di perekonomian dan
memperkecil risiko gangguan terhadap stabilitas sistem
keuangan yang berasal dari gejolak nilai tukar maupun
fluktuasi di pasar saham atau obligasi. Pasar keuangan yang
dalam mempunyai beberapa efek positif, yaitu: (1) dari sisi
dunia usaha, pasar keuangan yang dalam diharapkan dapat
memfasilitasi peningkatan aktivitas ekonomi dengan
tersedianya berbagai alternatif pembiayaan. (2) Dari sisi
[ 21 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
investor, pasar keuangan yang dalam memberikan beragam
pilihan instrumen investasi sehingga mereka dapat
mengoptimalkan imbal hasil dari investasinya. (3) Dapat
mendorong lebih banyak investor untuk menanamkan
dananya di pasar keuangan sehingga dapat berdampak
positif terhadap pembiayaan ekonomi.
Dalam menghadapi MEA 2015 terdapat hal yang
penting harus diperhatikan pada sektor jasa keuangan
salah satunya industri perbankan yang harus terus
dikembangkan salah satu alasan industri perbankan harus
dikembangkan adalah financial deepening atau kedalaman
keuangan pada sektor perbankan. Financial deepening
untuk meningkatkan peran jasa keuangan melayani
masyarakat dengan memperkenalkan lebih banyak pilihan
dan instrumen keuangan yang unik. Sistem keuangan
merupakan suatu sistem yang terdiri atas unit-unit
lembaga keuangan bank maupun non bank yang bertujuan
memobilasi dana untuk investasi dan menyediakan fasilitas
sistem pembayaran untuk aktivitas yang produktif. Miskhin
(2008) menyatakan pasar keuangan (pasar obligasi dan
saham) dan perantaraan keuangan (bank, perusahaan
asuransi, dana pensiun) mempunyai fungsi dasar untuk
memindahkan orang-orang yang mempunyai kelebihan
dana dengan orang-orang yang kekurangan dana. Sistem
keuangan yang dapat menjalankan fungsinya dengan baik
dan secara mendalam (depth)-Financial deepening
dianggap sebagai prasyarat penting dalam upaya
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Berbagai
literatur menunjukkan bahwa perekembangan sistem
[ 22 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
keuangan mempengaruhi tingkat tabungan investasi,
inovasi teknologi, dan pertumbuhan ekonomi jangka
panjang suatu negara (Norman, 2010).
Perantara keuangan bank merupakan sumber penting
pendanaan perusahaan dibandingkan pasar keuangan
lainnya. Ada dua faktor penting mengapa lembaga
keuangan dan pendanaan tidak langsung menjadi penting
pada pasar keuangan yaitu biaya transaksi yang
merupakan masalah utama bagi individu atau badan yang
mempunyai akses terhadap pemerolehan dana. Perantara
keuangan dapat menurunkan biaya transaksi secara
substansial, sehingga perantara keuangan mungkin dapat
menyediakan dana tidak langsung kepada individu atau
badan dengan kesempatan investasi yang lebih produktif.
Faktor yang kedua yaitu informasi asimetris, kelangkaan
informasi menciptakan masalah pada sistem keuangan
dalam dua bentuk yaitu sebelum transaksi dilakukan
(adverse selection) dan sesudah transaksi dilakukan (moral
hazard).
Landasan Pemikiran Ekonomi
Menurut Smith, proses pertumbuhan bersifat
kumulatif apabila timbul kemakmuran sebagai akibat
kemajuan di bidang pertanian, industri manufaktur, dan
perniagaan, kemakmuran itu akan menarik ke pemupukan
modal, kemajuan teknik, meningkatnya penduduk,
perluasan pasar, pembagian kerja, dan kenaikan
keuntungan secara terus-menerus. Model pertumbuhan
Harrod-Domar dimana setiap perekonomian pada dasarnya
[ 23 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
harus mencadangkan atau menabung sebagian tertentu
dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau
menggantikan barang-barang modal (gedung, alat-alat, dan
bahan baku) yang telah susut atau rusak. Dalam model
Harrod-Domar terdapat persamaan sebagai berikut:
=
…………………………..
(1.1)
Pada persamaan diatas, secara jelas menyatakan
bahwa tingkat perumbuhan GDP (
) ditentukan secara
bersama-sama oleh rasio tabungan nasional, s, serta rasio
modal-output nasional, k. Logika ekonomi yang terkandung
dalam persamaan (1) Diatas sangatlah sederhana. Agar bisa
tumbuh dengan pesat, setiap perekonomian harus
menabung dang menginvestasikan sebanyak mungkin
bagian dari GDP-nya. Semakin banyak yang dapat ditabung
dan kemudian diinvestaskan, maka laju pertumbuhan
perekonomian akan semakin cepat.
“Menurut
schumpeter,
pembangunan
adalah
perubahan yang yang spontan dan terputus-terputus pada
saluran-saluran arus sirkuler tersebut, gangguan terhadap
keseimbangan yang mengubah dan mengganti keadaan
keseimbangan yang ada sebelumnya”. Unsur-unsur utama
pembangunan terletak pada usaha melakukan kombinasi
baru yang di dalamnya terkandung berbagai kemungkinan
yang ada dalam keadaan mantap. Pertumbuhan ekonomi
tidak lepas dari dari sektor keuangan, berdasarkan
literatur-literatur dan penelitian di beberapa negara bahwa
financial deepening berpengaruh terhadap perekonomian.
Salah satunya adalah bahwa kedalaman sistem keuangan
[ 24 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara
karena dapat mengalokasikan dana secara efektif ke sektorsektor yang potensial, meminimalkan risiko dengan
berbagai jenis produk keuangan, misalnya meningkatnya
jumlah faktor produksi atau meningkatnya efisiensi dari
penggunaan faktor produksi tersebut, dan meningkat
tingkat investasi atau marginal produktifitas akumulasi
modal dengan penggunaan yang semakin efisien.
Miskhin (2008) menyatakan pasar keuangan (pasar
obligasi dan saham) dan perantaraan keuangan (bank,
perusahaan asuransi, dana pensiun) mempunyai fungsi
dasar untuk memindahkan orang-orang yang mempunyai
kelebihan dana dengan orang-orang yang kekurangan dana.
Fungsi keuangan menurut Merton (1995) : (1)
Memudahkan terjadinya perdagangan atau perpindahan
barang dan jasa, (2) Diversifikasi produk, (3) Mekanisme
untuk mengatasi akibat informasi yang tidak berimbang
(asymmetric information) yang muncul pada transaksi
keuangan dimana tidak semua pihak mempunyai informasi
yang sama, (4) Mengelola potensi risiko yang mungkin
terjadi dengan menyediakan informasi untuk keputusan
alokasi sumber daya, (5) Mengelola ketidakpastian dan
melakukan kontrol terhadap risiko, (6) Mobilisasi
tabungan, dan (7) Sistem pembayaran.
Refleksi Sektor Perbankan di Indonesia
Sektor keuangan yang merupakan salah satu
topangan dalam kegiatan ekonomi di suatu negara.
Perkembangan jumlah uang beredar menunjukkan
[ 25 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
sejumlah uang beredar di masyarakat yang kaitannya
dengan kegiatan ekonomi yang dijalankan. Besar kecilnya
jumlah uang beredar maka mencerminkan seberapa dalam
(shallow) dan seberapa dangkal (hallow) sektor keuangan
suatu negara. Berdasarkan pada penelitian-penelitian
sebelumnya di beberapa negara. Indikator financial
deepening diantaranya rasio jumlah uang beredar terhadap
GDP dan rasio kredit swasta terhadap GDP diharapkan
dapat memberikan potensi pertumbuhan ekonomi di
Indonesia
Upaya yang perlu dilakukan untuk menciptakan pasar
keuangan yang dalam adalah dengan memperkaya
instrumen investasi, seperti instrumen berjangka panjang
maupun instrumen structured product dan derivative
product yang dapat digunakan sebagai instrumen hedging
atau sebagai asuransi transaksi keuangan. Hal ini perlu
diupayakan karena keterbatasan instrumen investasi akan
mengakibatkan investor menjadi kurang aktif dalam
melakukan transaksi sehingga pasar keuangan menjadi
tidak likuid.
Nilai kredit swasta mempunyai hubungan positif
namun tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi (Fabya, 2011). Hal ini dikarenakan jumlah kredit
yang disalurkan bank bertambah namun jumlah investasi
tidak dapat mengimbangi peningkatan kredit. Sehingga
mengurangi pertumbuhan ekonomi atau tidak berubahnya
tingkat pertumbuhan. Hal ini dikarenakan penyaluran
kredit lebih besar untuk kegiatan konsumsi dari pada
kredit investasi. Grupron, (2014) kredit konsumsi yang
[ 26 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
berlebihan dari pada kredit investasi menciptakan resiko
kredit yang mengganggu perbankkan seperti credit event.
Sesuai dengan teori pertumbuhan Harrod-Domar
yang mengatakan bahwa tabungan mempengaruhi tingkat
pertumbuhan ekonomi. dimana semakin banyak tabungan
maka laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat. Hal
ini sesuai dengan temuan Fabya (2011), bahawa tabungan
mempunyai hubungan positif dan signifikan dalam
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi.
sejak
dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO
88), isi kebijakannya antara lain perbankkan dianjurkan
untuk mengerahkan dan dari masyarakat dengan cara
membuka kantor cabang baru, pendirian bank baru,
perluasan kator cabang dan kemudahan pembuatan
tabungan. Setelah adanya kebijakan tersebut semakin
beragmnya bentuk-bentuk tabungan yang ditawarkan oleh
bank-bank dan membuat tingkat tabungan meningkat dari
tahun ketahun.
Rasio total jumlah uang beredar (M2) terhadap GDP
juga disebut tingkat monetisasi. Tingkat monetisasi yang
tinggi didukung oleh sistem perbankan yang baik yang
akan memicu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Tingkat monetisasi juga menggambarkan masyarakat
menggunakan uang tunai dibandingkan uang non-tunai
sehingga dana masyarakat yang ada diperbankan masih
relatif kecil. Kondisi tersebut dikarenakan pengetahuan
masyarakat yang masih minim (Fabya, 2011). Dana
masyarakat di perbankkan masih relatif kecil yang
menunjukan tabungan, deposito dan giro masih kecil
[ 27 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
jumlahnya. Terlihat masih tingginya penggunaan uang
tunai sebagai alat pembayaran. Indikator yang lazim
digunakan untuk melihat kedalaman sektor keuangan
adalah rasio kewajiban likuid dari sistem keuangan
terhadap Produk Domestik Bruto, dalam hal ini M2/PDB
(King dan Levine, 1993). Keadaan perekonomian Indonesia
dalama kaitannya dengan jumlah uang beredar adalah
financial deepening. Kondisi kedalaman sektor keuangan
dapat dilihat pada grafik di atas dengan periode 20042009. Untuk Indonesia pendalaman keuangan sedang
dilakukan karena sektor keuangan Indonesia masih di
anggap dangkal (shallow) di banding dengan negara utama
di kawasn Asia (BPS, 2010). Kedalaman sektor keuangan
terus menunjukkan penurunan sejak krisis 1997/1998.
Krisis keuangan global pada tahun 2008 yang berpengaruh
pada sektor Keuangan domestik terlihat semakin
menurunkan rasio tersebut, namun mulai tahun 2010 rasio
tersebut mengalami peningkatan kembali hingga tahun
2013 mencapai pada titik 41,03%.
Epilog
Indonesia sebagai negara berkembang, apabila ingin
meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus melakukan
pendalaman keuangan atau financial deepening. Dimana
pembuat kebijakan seperti otoritas moneter dan otoritas
jasa keuangan harus memantau setiap indikator yang
digunakan intuk mengukur kedalaman keuangan.
Khususnya indikator nilai kredit yang diberikan perbankan
kepada masyarakat. Apabila kredit konsumsi yang
[ 28 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
diberikan berlebihan akan mengganggu kesehatan
perbankkan seperti credit event yang selanjutnya akan
membahayakan makro ekonomi negara.
REFERENSI
Fabya. 2011. Uraian Pengaruh Perkembangan Sektor
Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di
Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Miskhin, Frederic S. 2008. Ekonomi Uang, Perbankan, dan
Pasar Keuangan.
Edisi 8.
Nnenna, Margaret Okoli. Evaluating The Nexus Between
Financial Deepening And Stock Market In Nigeria.
European Scientific Journal July edition vol. 8,
No.15 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 18577431 18.
Norman, Azhari. 2010. Uraian Pengaruh Finacial Deepening
Pada Sektor Perbankan dan Pasar Modal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Universitas
Indonesia: Jakarta.
Safdar, Luqman.2012.Financial Deepening and Economic
Growth in Pakistan: An Application of Cointegration
and
VECM
Approach.
Air
University.
Interdisciplinary Journal Of Contemporary
Research In Business vol. 5 No.12
[ 29 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
RELEVANSI INFLATION TARGETING
FRAMEWORK DALAM MENJAGA STABILITAS
HARGA DI INDONESIA
Dani Setiawan dan Moh. Ilyas Zainunnury
Prolog
Krisis ekonomi di Indonesia di tahun 1997-1998
banyak perubahan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi
yang diterapkan oleh pemerintah, baik kebijakan fiskal
maupun kebijakan moneter. Di kebijakan moneter,
pemerintah mulai menerapkan kebijakan yang hanya
mempunyai sasaran tunggal dalam jangka panjang yaitu
inflasi yang biasa disebut Inflation Targetting Framework
(ITF). Model ini hanya menargetkan inflasi dalam jangka
panjang, sedangkan sasaran lain dalam jangka pendek
diusahakan tidak menggangu besaran inflasi yang ingin
dicapai oleh Bank Indonesia. Inflation Targeting Framework
mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2000 yang di
tahun sebelumnya telah di terbitkan undang-undang atau
UU No. 23 tahun 1999. Undang-undang tersebut
memberikan independensi ke Bank Indonesia dalam
menerapkan
kebijakannya,
independensi
tersebut
diberikan ke Bank Indonesia setelah kredibilitas Bank
Indonesia merosot pada saat terjadi krisis ekonomi 19971998.
[ 30 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Selain itu, di Indonesia pernah terjadi hyper inflation
pada tahun 1960-an dimana laju inflasi mencapai 650
persen. Selain pada tahun 1960-an inflasi juga tejadi pada
tahun 1997-1998. Pada tahun tersebut nilai tukar rupiah
terhadap dollar tidak stabil. Krisis ini berdampak terhadap
cadangan devisa negara bahkan berdampak juga pada
pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi pada saat
itu negatif. Sedangkan laju inflasi meningkat tinggi dari
11,10 persen menjadi 77,60 persen, serta nilai tukar rupiah
pada saat itu mencapai Rp 14.900 per dollar AS. Krisis
moneter yang terjadi tersebut memberikan banyak
pelajaran bagi pemerintah Indonesia, sehingga pemerintah
Indonesia merubah kebijakan moneter yang diterapkan
sebelumnya. Sebelum terjadinya krisis kebijakan moneter
di
Indonesia
diarahkan
untuk
mencapai
atau
merealisasikan target ganda (multiple objectives) antara
lain : stabilitas moneter, mengurangi pengangguran dengan
memperluas kesempatan kerja serta meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Namun setelah terjadinya kirisi
moneter tersebut kebijakan moneter di Indonesia
ditujukan untuk sasaran tunggal yaitu mencapai inflasi agar
selalu stabil. Pemerintah terus berusaha memulihkan
perekonomian, dalam upaya pemulihan perekonomian
paska krisis moneter di jaman orde baru yaitu 1997-1998
pemerintah melakukan pembaharuan struktur dalam
sistem ekonomi moneter yang di terapkan. Pembaharuan
struktur di lakasakan sejak tahun 1998, bentuk dari
pembaharuan
struktur
ini
dengan
memberikan
independensi kepada bank sentral yaitu Bank Indonesia.
[ 31 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Sehingga dengan adanya indenpedensi bagi Bank Indonesia
selaku Bank Sentral dalam menentukan kebijakan, maka
untuk mencapai target akan lebih mudah.
Infaltion Targeting framework sangat cocok bagi Bank
Indonesia untuk menjalankan tugasnya berdasarkan
Undang-undang No.23 tahun 1999. Inflation Targeting
Framework dalam penerapannya dengan menetapkan satu
sasaran tunggal yaitu inflasi. Undang-undang No.23 tahun
1999 juga memberikan independensi atau kebebasan bagi
Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai
dengan syarat dalam penerapan Inflation Targeting
framework (ITF), dalam menerapkan Inflation Targeting
Framework ada beberapa syarat seperti independensi atau
kebebasan bagi Bank Sentral. Sejak menerapkan Inflation
Targeting Framework pada tahun 2000 Bank Indonesia
diberikan kebebasan berupa goal independensi, namun
goal independensi ini banyak menuai protes, karena dalam
goal independensi Bank Indonesia yang menentukan target
inflasi yang ingin dicapai oleh Bank Indonesia sendiri. Hal
ini menurut beberapa ahli ekonomi kurang effisien
sehingga penerapan Inflation Targeting Framework kurang
maksimal. Sehingga pada tahun 2004 setelah 4 tahun Bank
Indonesia menerapkan Inflation Targeting framework
Undang-undang No.23 tahun 1999 yang memberikan goal
independensi bagi Bank Indonesia diamandemen oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-undang
No. 23 tahun 2004.
Undang-undang No. 23 tahun 2004 tetap memberikan
Independensi atau kebebasan bagi Bank Indonesia namun
[ 32 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
buka lagi Goal independensi melainkan Instrumen
Independensi. Berbeda dengan goal independensi yang
banyak menuai kriktikan karena Bank Indoensia
menetapkan target yang ingin dicapai oleh Bank Indonesia
sendiri, dalam instrumene independensi Bank Indonesia
hanya bebas dalam menerapakan instrumen-instrumen
atau kebijakan-kebijakan yang dijalankannya untuk
mencapai target yang ditetapkan, sedangkan target yang
ingin
dicapai
ditetapkan
bersama-sama
dengan
pemerintah.
Independensi bagi Bank Sentral (Bank Indonesia)
yang menerapkan Inflation Targeting Framework sangat
penting, karena ada 2 syarat yang harus dimiliki oleh Bank
Sentral (Bank Indonesia) yaitu; Pertama, independensi atau
kebebasan bagi Bank Indonesia dalam menjalankan
kebijakan-kebijakan moneternya. Kedua, menghindari
target-target nominal lain selain inflasi, karena apabila ada
target lain selain inflasi konsentrasi dari Bank Indonesia
akan terpecah sehingga akan mengakibatkan kurang
maksimal dalam menerapkan Inflation Targetting
Framework.
Inflation Targeting Framework sudah diterapkan
dibeberapa negara seperti Selandia Baru, Inggris dan
Spanyol. Inflation Targeting Framework di negara-negara
sudah diterapkan sejak lama dan penerpannya cukup
memuaskan. Selandia Baru merupakan negara pertama
yang menerapkan Infation Targeting Framework. Sekitar 20
negara di Dunia yang sudah menerapkan Inflation
Targeting Framework, hal tersebut membuktikan bahwa
[ 33 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
masih sedikit negara yang percaya terhadap model ini
(Inflation Targeting Framework). Tingkat kepercayaan bagi
negara-negara terhadap model Inflation Targetting
Framework masih rendah karena Inflation Targetting
Framework tergolong model terbaru. Di kawasan Asia,
negara yang pertama kali menerapkan Inflation Targetting
Framework adalah Korea Selatan pada tahun 1998 dan
Inflation Targetting Framework tergolong sukses di negara
tersebut. Selain di Korea Selatan Inflation Targetting
Framework juga tergolong sukses di negara-negara lain
yang sudah lebih dulu menerapkan Inflation Targetting
framework seperti Australia, Inggris, Selandia Baru dan
Spanyol.
Bank Indonesia menerepakan Inflation Targetting
Framework karena melihat kesuksesan model ini
diterapkan di negara-negara seperti Inggris dan Spanyol
tersebut. Meskipun masih banyak negara yang belum
percaya terhadap Inflation Targetting Framework, tetapi
Bank Indonesia sangat yakin kalau kebijakan ini sangat
cocok bila diterapkan di Indonesia.
Bank Indonesia menerapkan Inflation Targetting
Framework selain karena melihat kesuksesan negaranegara yang sudah menerapkan Inflation Targetting
Framework sebelumnya, juga karena banyaknya teori-teori
yang mendukung dan menjelaskan bahwa model Inflation
Targetting Framework ini merupakan hasil dari evolusi
teori moneter dan akumulasi pengalaman empiris. Teori
moneter yang memberikan kontribusi bagi pematangan
konsep inflation targeting framewok adalah teori klasik
[ 34 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
higga teori modern, antara lain; pertama, Teori Klasik –
Teori Keynes, Kedua, Teori Klasik Modern – Teori Keynes.
Salah satu ekonom yang menganut teori klasik modern
adalah Milton Friedman, Ketiga, Teori Kuantitas – Teori
Keynes. Keempat, Teori Rational Expectations, Kelima,
Teori Moneter Modern.
Sejak awal penerapan Inflation Targeting framework
Bank indonesia sudah optimis bahwa model sesuai dengan
perekonomian di Indonesia. Bank Indonesia sangat optimis
karena memiliki kebebasan dalam menjalankan kebijakan
moneternya, selain Bank indonesia sangat opitimis karena
secara historis di Indonesia sudah sejak lama tidak
ditemukan dominasi fiskal dalam kebijakan moneter.
Inflation Targeting Framework di Indonesia
Inflasi adalah kecenderungan harga-harga meningkat
secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu
ada dua barang saja tidak di sebut inflasi, kecuali kenaikan
itu meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan)
sebagian besar dari harga barang-barang lain.
Inflasi di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal,
pertama
didasarkan
pada
jenis
barang
yang
diperdagangkan antara produsen dengan pedagang besar
atau antar pedagang-pedegang besar atau sering disebut
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Kedua,
berdasarkan jenis barang yang di perdagangkan oleh
produsen pedagang besar kepada masyarakat atau
konsumen atau sering disebut Indeks Harga Konsumen
(IHK). Bank Indonesia dalam menerapkan Inflation
[ 35 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Targeting Framework di Indonesia menggunakan indikator
Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Customer Price Index
(CPI).
Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia masih
sering terjadi perubahan yang ekstrim. Ini menyebabkan
Bank Indonesia kesulitan dalam menetukan besaran inflasi,
sehingga Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia dibagi
menjadi 2 kategori yaitu inflasi inti atau core inflation dan
Noise.
Inflasi inti atau core inflation akhirnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebagai pedoman dalam menetapkan
besaran inflasi yang terjadi di Indonesia karena inflasi inti
atau core inflation merupakan inflasi yang mudah di
prediksi dan mudah dikendalikan. Inflasi inti atau core
inflation merupakan inflasi yang perubahannya tidak
terlalu ekstrim atau tidak terlalu tinggi, inflasi inti atau core
inflation perkembangannya tidak terpengaruh secara
berarti atau bersifat netral terhadap terjadinya gejolak
(shock) yang bersifat temporer.
Pegendalian inflasi oleh Bank Indonesia salah satunya
dengan menggunakan BI Rate atau tingkat suku bunga
acuan. Tingkat suku bunga acuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia hanya merupakan rujukan atau acuan
bukan merupaka aturan bagi bank-bank umum atau
lembaga keungan lainnya. Apabila BI rate naik, bank-bank
umum ataupun lembaga keuangan lainnya boleh
menaikkan tingkat suku bunganya dan boleh juga tidak
menaikkan tingkat suku bunganya, karena BI rate hanyalah
tingkat suku bunga acuan.
[ 36 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
BI rate yang meningkat misalnya dari 7.5 persen
menjadi 7.8 persen akan berdampak terhadap inflasi,
biasanya Bank Indonesia menaikkan BI rate untuk
mengendalikan inflasi. Karena BI rate merupakan tingkat
suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Disaat BI
rate meningkat dari BI rate sebelumnya atau BI rate tinggi
akan menyebabkan jumlah uang yang beredar di
masyarakat akan menurun. Hal ini disebabkan ketika BI
rate tinggi, bank-bank umum akan lebih tertarik
menggunakan dana atau uangnya untuk membeli Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) daripada digunakan untuk pemberian
kredit kepada masyrakat meskipun tingkat bunga kredit
lebih besar dari BI rate, karena apabila dana bank-bank
tersebut digunakan untuk memberikan kredit bagi
masyarakat, resiko kreditnya macetnya tergolong tinggi
dibandingkan dengan pembelian Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) karena yang bertanggung jawab dalam hal tersebut
adalah pemerintah sehingga resiko kredit macetnya sangat
kecil bahkan hampir nol persen.
BI rate juga memperngaruhi nilai tukar rupiah, karena
disaat BI rate tinggi akan menarik investor-investor asing
untuk membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pembelian
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) oleh investor-investor
asing, akan mengakibatkan nilai tukar rupiah menguat
karena investor-investor asing tersebut untuk membeli
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) harus menggunakan rupiah,
shigga secara tidak langsung “memaksa” investor-investor
asing tersebut untuk menukarkan mata uang dollarnya
menjadi rupiah. Nilai tukar atau kurs Rupiah menguat
[ 37 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
karena Rupiah lebiih dibutuhkan atau lebih banyak
digunakan daripada mata uang Dollar. Bank Indonesia,
menggukan instrumen BI rate bukan hanya untuk
mengendalikan inflasi tetapi juga menjaga stabilitas nilai
tukar atau kurs rupiah, karena dengan stabilnya nilai tukar
rupiah, akan stbil pula harga-harga barang terutama hargaharga barang impor dan juga harga barang-barang lokal
yang sebagian dari barang tersebut menggunakan
komponen impor.
BI rate akan digunakan Bank Indoesia apabila inflasi
sudah susah dikendalikan, seperti yang tejadi di bulan
Nomvember 2014. Pengalihan subsidi dari Bahan Bakar
Minyak (BBM) yang ditetapkan oleh pemerintah alias
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 2000,
di prediksi akan menyebabkan inflasi meningkat sebesar 2
persen dan diprediksi inflasi tersebut akan berlangsung
sampai awal tahun 2015. Menigkatnya inflasi sebesar 2
persen yang disebabkan oleh naiknya harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) akan mengakibatklan melesetnya target
besaran inflasi yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia
untuk tahun 2014. Bank Indonesia sudah menetapkan
besaran Inflasi untuk tahun 2014 adalah sebesar 4.5+1%
dan sebelum terjadi kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM)
kisaran inflasi sekitar 5 %. Kenaikan Bahan Bakar Minyak
(BBM) sebesar 2000 rupiah yang diprediksi meningkatkan
inflasi sebesar 2 persen sudah pasti akan mengakibatkan
target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
persetujuan pemerintah (instrumen independensi) akan
meleset. Sehingga Bank Indonesia, untuk mengendalikan
[ 38 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Inflasi yang terjadi akibat kebaikan Bahan Bakar Minyak
(BBM) tersebut menaikkan BI rate sebesar 7.75 % dari
sebelumnya 7.50 %. Padahal Bank Indonesia sudah
menetapkan BI rate sebesar 7.50 % satu minggu sebelum
pemrintah mengumumkan kenaikan Bahan Bakar Minyak
(BBM). Satu sesudah pengumuman kenaikan Bahan Bakar
Minyak tersebut Bank Indonesia kembali meaikkan BI rate
menjadi 7.75 %.
Inflation Targetting Framework di Indonesia masih
belum maksimal, dari data Bank Indonesia, sejak Bank
Indonesia menerapkan Inflation Targetting Framework
dari tahun 2000. Besaran inflasi yang mencapai dan hampir
mencapai target yang ditetapkan secara bersama oleh Bank
Indonesia dan Pemerintah hanya pada tahun 2002 yaitu
target inflasi sebesar 9% - 10% sedangkan inflasi aktualnya
sebesar 10,03% dan juga di tahun di tahu 2004 yaitu target
inflasi sebesar 5,5 +1% sedangkan inflasi aktualnya sebesar
6,40% serta juga di tahun 2007 dan 2014 yaitu target
inflasi yang ditetapkan sebesar
6 +1% dan
4.5+1%sedangkan inflasi aktulanya sebesar 6,59% dan
4,30%. Selama 13 tahun Indonesia menerapkan Inflation
Targetting Framework yaitu sejak 2000 sampai 2013,
hanya 4 tahun yang berhasil mencapai target yaitu tahun
2002, 2004, 2007 serta 2012. Sedangkan di tahun-tahun
yang lain. Inflation targetting Framework di Indonesia tidak
sesuai dengan target.
Penerapan Inflation Targetting Framework di
Indonesia masih belum maksimal, hal ini disebabkan masih
adanya hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Bank
[ 39 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Indonesia dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga
kestabilan harga. Hambatan-hambatan yang dihadapi Bank
Indonesia salah satunya adalah dari kebijakan fiskal yang
diterapkan oleh pemerintah, seperti yang terjadi di bulan
november. Pemerintah menetapkan untuk mengurangi
subsidi di sektor Bahn Bakar Minyak (BBM) alias
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 2000
rupiah. Hal ini (kenaikan BBM) tentu akan berdampak
terhadap barang-barang lain seperti bahan-bahan
kebutuhan pokok juga pasti mengalami kenaikan. Kenaikan
harga ini akan terjadi secara terus menerus dan tidak
hanya terjadi beberapa hari saja. Kenaikan harga ini aka
terus berlangsung berbulan-bulan dan ini disebut inflasi.
Bank Indonesia memprediksi kenaikan harga Bahan Bakar
Minya sebesar 2000 rupiah di bulan november 2014 akan
berdampak sampai awal tahun 2015 dengan besaran
sekitar 2 %.
Kelemahan indonesia dalam menerapkan Inflation
Targetting Framework sehingga masih kurang maksimal
adalah pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat
indonesia tentang inflasi, masih banayk masyarakat
Indonesia yang belum mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya inflasi. Kedua, Indonesia sebagai
negara berkembang masih sangat dipengaruhi oleh negaranegara maju. Misalkan terjadi krisis di negara maju seperti
di USA yang terjadi pada tahun 2008 sangat berpengaruh
terhadap kestabilan ekonomi di Indonesia.
[ 40 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Epilog
Inflation Targetting Framework di Indonesia masih
belum maksimal, karena dalam kurun wkatu 13 tahun,
hanya 4 tahun saja inflasi aktual yang sesuai dengan target
inflasi yang sudah ditetapkan. Tapi penerapan Inflation
Targetting Frameworkpatut untuk diteruskan karena
melihat kesuksesan negara-negara lain yang berhasil dalam
menerpakan Inflation Targetting Framework. Selain itu,
Inflation Targetting Framework juga memberikan
independensi atau kebebasan bagi Bank Indonesia karean
Indpendensi atau kebebasan merupakan salah satu syarat
dalam menerapkan Inflation Targetting Framework.
REFERENSI
Ismail, M. 2006. Inflation Targeting dan Tantangan
Implementasinya di Indonesia. Jurnal Ekonomi & Bisnis
Indonesia (Journal of Indonesian Economy &Business).
Volume 21, No. 2, April 2006. Hal. 105 – 121.
Boediono. 2000. Inflation Targeting. Makalah Seminar
Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI. MM UGM. 2009.
http://www.bi.go.id/id/moneter/kerangkakebijakan/Cont
ents/Default.aspxterakhir diakses senin 22 oktober
pukul 09.00 WIB
Dewanto, wawan dan Maulina Rindawati. Evaluasi Satu
Tahun Penerapan Kebijakan Moneter Berdasarkan
Inflation targeting di indonesia, Jurnal Manajemen
Teknologi. Volume 7, No. 2, 2008. Hal.78-92
[ 41 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
KAJIAN PRAKTIS PERAN TIM PENGENDALIAN
INFLASI DAERAH
DALAM MENJAGA STABILITAS HARGA
Ahmad Faisol dan Edi Prastiawan
Prolog
Daerah memiliki peran yang sangat penting dalam
menjaga stabilitas harga, mengingat karakteristik inflasi
Indonesia yang masih dipengaruhi oleh adanya gejolak di
sisi pasokan (supply side shocks). Inflasi yang rendah dan
stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Terjaganya inflasi daerah pada
tingkat yang rendah dan stabil akan mendukung upaya
pencapaian sasaran inflasi nasional. Dilihat dari lokasi 82
kota yang menjadi basis perhitungan inflasi nasional, inflasi
di Indonesia sebagian besar merupakan kontribusi inflasi
daerah dengan bobot yang mencapai 80,77 % (POKJANAS
TPID, 2014). Hal ini didasari kenyataan bahwa inflasi
nasional merupakan agregasi dinamika pembentukan
harga yang terjadi di daerah. Dengan terciptanya inflasi
yang rendah dan stabil akan berdampak positif kepada
kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan terjaganya
daya beli, meningkatkan daya saing dan dapat lebih
menjamin
kesinambungan
pertumbuhan
ekonomi.
[ 42 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Sebagaimana best practice di negara-negara di dunia,
Bank Sentral umumnya diberi mandat untuk menjaga
kestabilan harga. Demikian juga halnya di Indonesia,
dimana melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009, Bank
Indonesia diberikan mandat atau tugas pokok untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang
dalam penjelasannya bermakna stabilitas inflasi dan nilai
tukar Rupiah.
Namun, berbagai permasalahan struktural yang
masih terjadi seperti konektivitas yang rendah, struktur
pasar yang terdistorsi, kesenjangan informasi harga dan
produksi pangan menyebabkan pergerakan inflasi yang
sering mengalami naik turun yang kurang terkendali.
Efisiensi perekonomian daerah yang berbeda antara
kawasan barat dan kawasan timur juga menyebabkan
terjadinya perbedaan harga yang cukup besar. Dalam
rentang 10 tahun terakhir dapat terlihat bahwa pergerakan
inflasi yang signfikan lebih disebabkan oleh faktor adanya
penyesuaian kebijakan pemerintah terkait harga
(administered prices) dan lonjakan harga komoditas pangan
(volatile foods). Karakteristik inflasi yang banyak
dipengaruhi oleh faktor kejutan di sisi pasokan (supply
side) tersebut menyebabkan upaya untuk mencapai inflasi
yang rendah dan stabil tidak cukup hanya melalui
kebijakan moneter, melainkan diperlukan adanya suatu
paduan kebijakan yang harmonis antara kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, kebijakan sektoral dan daerah.
[ 43 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Upaya untuk mengendalikan inflasi regional di Indonesia
telah di dukung oleh koordinasi institusional antara Bank
Indonesia dan pemerintah pusat maupun daerah. Regional
Inflation Task Force (RITF) atau biasa disebut TPID
dibentuk sebagai team antar instansi dengan tugas utama
untuk memantau inflasi regional secara melekat dan
merumuskan
kebijakan
yang
diperlukan
untuk
mengendalikan inflasi regional. Hal inilah yang menjadi
perhatian dalam penulisan karya ilmiah ini untuk diketahui
bagaimana koordinasi kebijakan dan bentuk pengendalian
yang diterapkan Tim Pengendalian Inflasi Daerah dalam
menjaga stabilitas harga, serta Road Map penguatan peran
TPID.
Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga
barang secara umum (Mankiw, 2000). Laju inflasi yang
tinggi tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi
juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi makro lainnya,
seperti mengganggu keseimbangan neraca pembayaran
dan memperlemah nilai tukar rupiah terhadap mata uang
negara lain (Sholeh). Inflasi tidak terbentuk dengan
sendirinya, terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan inflasi. Hutabarat (2005) mendefinisikan
terdapat tiga teori pembentukan inflasi yaitu: ekspektasi
inflasi merupakan determinan inflasi yang berperan
penting secara subyektif dalam pembentukan harga dan
upah, inflasi permintaan atau demand-pull inflation
merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya interaksi
permintaan dan penawaran domestik pada jangka panjang,
inflasi penawaran atau cost-push inflation merupakan jenis
[ 44 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
inflasi yang disebabkan oleh tingkat penawaran yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan.
Brodjonegoro
(2008)
menyatakan bahwa
permasalahan pertama yang paling kritis dalam kebijakan
moneter adalah kesulitan pengambil kebijakan dalam
mengendalikan laju inflasi. Dengan demilkian, maka di
perlukannya kebijakan dalam menstabilkan harga yaitu
diperlukannya koordinasi antar kebijakan, diantaranya
kebijakan fiskal dan moneter. Dalam Simorangkir (2012)
perdebatan pentingnya koordinasi antara kebijakan
moneter dan fiskal pada dasarnya tidak terlepas dari
terdapat perbedaan penekanan dalam pencapaian tujuan
masing-masing kebijakan. Tujuan utama kebijakan moneter
lebih ditekankan pada stabilitas harga, sedangkan tujuan
kebijakan fiskal lebih mengutamakan pertumbuhan
ekonomi dan pengurangan pengangguran. Aplikasi
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam
perkembangannya melahirkan suatu bauran kebijakan
(policy mix) yang kemudian menyebabkan berkembangnya
kajian-kajian tentang koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter.
Beberapa kajian tentang koordinasi kebijakan
tersebut menemukan bahwa, dalam jangka panjang
kebijakan fiskal dan moneter tidak bertentangan satu sama
lain dalam mencapai pertumbuhan ekonomi pada kondisi
ini tidak diperlukan adanya koordinasi kebijakan (Hagen
dan Mundshenk, 2003). Dalam jangka pendek, tidak adanya
koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
akan menyebabkan efektivitas kebijakan menjadi
[ 45 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
berkurang
(Giavazzi,
2003).
Turnovsky
(2000),
memfokuskan kajian tentang hubungan antara kebijakan
fiskal dan output di Amerika Serikat. Penelitian tersebut
menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki dampak
terhadap keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam
jangka panjang. Tingkat pertumbuhan yang lambat
memberikan kenyataan bahwa kebijakan fiskal hanya
berpengaruh pada jangka pendek pada masa transisi. Lebih
jauh, kajian The Ricardian equivalent melihat bahwa
kebijakan fiskal dengan menambah defisit anggaran dengan
utang atau obligasi tidak akan berpengaruh terhadap
perokonomian (Manurung, 2002).
Koordinasi
Kebijakan
yang
Diterapkan
Tim
Pengendalian Inflasi Daerah dalam Menjaga Stabilitas
Harga
Di Indonesia inflasi cenderung dipengaruhi oleh faktor
cost-push inflation. Untuk menggambarkan penyebab
terjadinya cost push inflation di Indonesia yaitu akibat
adanya kenaikan harga bahan bakar minyak. Jika harga
BBM naik berarti ongkos produksi meningkat. Maka
produsen yang tidak ingin kehilangan profit akan
membebankan kenaikan biaya tersebut pada harga
jualnya. Akibatnya, harga barang-barang secara bersamasama akan naik sehingga terjadi inflasi. Hal ini terjadi pada
1 Oktober 2012, kenaikan harga BBM yang mencapai
rata-rata 100 persen tersebut memberikan dampak
terhadap kehidupan masyarakat. Akibat dari kenaikan
harga BBM tersebut menimbulkan inflasi yang tercermin
[ 46 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dari naiknya harga sejumlah komponen kebutuhan pokok
masyarakat berupa barang dan jasa. Komponen yang turut
menyumbang inflasi di Indonesia juga disebabkan oleh
volatile food, seperti: bahan makanan, sandang, komunikasi
dan transportasi.
Satu hal lagi yang menjadi faktor pencetus tingginya
inflasi di Indonesia adalah kondisi geografis Indonesia
sebagai negara kepulauan. Dibandingkan negara lain di
kawasan Asia misalnya, inflasi Indonesia cenderung tinggi.
Hal ini dikarenakan diperlukan tambahan ongkos
transportasi antar pulau yang biasanya akan menaikkan
harga jual barang-barang. Maka dapat disimpulkan bahwa
inflasi di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor-faktor
dari sisi penawaran atau cost-push inflation.
Berbagai kondisi tersebut di atas mengakibatkan
dampak kebijakan moneter, seperti misalnya melalui
penyesuaian tingkat suku bunga bank sentral (BI-Rate)
tidak akan efektif untuk mengatasi permasalahan inflasi
yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural.
Kebijakan yang lebih tepat untuk ditempuh adalah melalui
kebijakan di sektor riil yang berada dalam kewenangan
pemerintahan daerah, sehingga diperlukan koordinasi dan
kerjasama yang erat antara satuan kerja perangkat daerah
atau lembaga terkait lainnya, termasuk Bank Indonesia di
daerah setempat (POKJANAS TPID, 2014).
[ 47 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Imported Inflation
Nilai Tukar Rupiah
BI dan Pemerintah
Bank Indonesia
Pemerintah,
PEMDA
Bank Indonesia,
Pemerintah, PEMDA
Pemerintah,
PEMDA,
Instasi Terkait
BI dan Pemerintah
Keb. Moneter
Keb. Sektor
Riil & Fiskal
Permintaan
Penawaran
Keb. Moneter, Fiskal, Riil
Keb. Fiskal
Keb. Sektor Riil
Kesenjangan
Output
Inflasi Inti
Ekspektasi Inflasi
Inflasi
Administered Price
Inflasi
Volatile Food
Terutama untuk mendorong
dan menjalin kelancaran
pasokan dan distribusi
Gambar 3. Sinergi Kebijakan untuk
48 ]
Mempengaruhi[ Inflasi
Inflasi IHK
Sketsa Ekonomi Indonesia
Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) merupakan
forum koordinasi yang dibentuk oleh Bank Indonesia untuk
membantu pencapaian tingkat inflasi dan menjaga tingkat
inflasi agar tetap rendah dan stabil. Melalui TPID Bank
Indonesia melakukan koordinasi dengan seluruh instansi di
daerah, yaitu Pemerintah Kota, BUMN, BUMD dan dinasdinas terkait untuk bersama-sama membantu pencapaian
inflasi di daerah tersebut (Hidayati, 2013). TPID dibentuk
pada akhir tahun 2008 lalu guna mendukung
pemberlakuan Inflation Targetting Framework (ITF) di
Indonesia. Dalam tataran teknis, koordinasi antara
Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk
Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan
Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat pada tahun
2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan
beberapa kementerian terkait di Pemerintah Pusat,
diantaranya; Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bulog,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan, dan BPS.
TPID mempunyai tujuan untuk mengendalikan dan
mencapai inflasi sesuai target. Dalam mengendalikan inflasi,
TPID bertugas untuk mengendalikan harga komoditaskomoditas yang turut menyumbang pada bobot inflasi.
Bentuk pengendalian harga yang dilakukan oleh TPID yaitu:
Operasi Pasar, yaitu turun langsungnya instansi dan dinasdinas yang bersangkutan apabila terjadi kenaikan hargaharga barang di pasar, perbaikan Distribusi, dilakukan
[ 49 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
untuk menjamin ketersediaan pasokan barang agar tidak
terjadi kelangkaan yang bisa menyebabkan terjadinya
kenaikan harga. Perbaikan distribusi dilakukan oleh Dinas
Perhubungan dengan cara memperbaiki sarana dan
prasarana guna mendukung kelancaran distribusi,
himbauan atau Moral Suasion. Dimaksudkan untuk
menjelaskan kepada masyarakat kondisi yang ada sehingga
masyarakat tidak perlu khawatir akan ketersediaan barang.
Himbauan bisa berupa pemantauan harga di pasar-pasar
oleh Pemerintah Daerah. Pembentukan Ekspektasi
Masyarakat, ini dilakukan dengan cara memberitahu dan
mengkomunikasikan target inflasi tahun ini kepada
masyarakat. Pemberitahuan ini bisa melalui media massa
maupun elektronik. Sistem Resi Gudang (SRG), memiliki
posisi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
pelaku usaha di sektor pertanian dengan argumentasi
sebagai berikut: (a) RG merupakan salah satu bentuk
sistem tunda jual yang menjadi alternatif dalam
meningkatkan nilai tukar petani, (b) Di era perdagangan
bebas, RG sangat diperlukan untuk membentuk petani
menjadi petani pengusaha dan petani mandiri, dan (c) SRG
bisa memangkas pola perdagangan komoditas pertanian
sehingga petani bisa mendapatkan peningkatan harga jual
komoditi. Keberadaan SRG tidak hanya bermanfaat bagi
kalangan petani tetapi juga pelaku ekonomi lainnya seperti
dunia perbankan, pelaku usaha dan serta bagi pemerintah.
Di antara manfaat SRG tersebut, adalah: (1) Ikut menjaga
kestabilan dan keterkendalian harga komoditas, (2)
Memberikan jaminan modal produksi karena adanya
[ 50 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pembiayaan dari lembaga keuangan, (3) Keleluasaan
penyaluran kredit bagi perbankan yang minim risiko, (4)
Ada jaminan ketersediaan barang, (6) Ikut menjaga stok
nasional dalam rangka menjaga ketahanan dan
ketersediaan pangan nasional, (7) Lalu lintas perdagangan
komoditas menjadi lebih terpantau, (8) Bisa menjamin
ketersediaan bahan baku industri, khususnya agroindustri,
(9) Mampu melakukan efisiensi baik logistik maupun
distribusi, (10) Dapat memberikan kontribusi fiskal kepada
pemerintah, dan (11) Mendorong tumbuhnya industri
pergudangan dan bidang usaha yang terkait dengan SRG
lainnya (Bappebti, 2014).
Road Map Penguatan Peran TPID
Tim Pengendalian Inflasi Daerah sebagai wadah
koordinasi ke depan akan memiliki peran yang semakin
strategis dalam mendukung pencapaian sasaran inflasi
nasional. Oleh karena itu, peran TPID perlu semakin
ditingkatkan. Road Map penguatan peran TPID disusun
melalui tiga tahapan (fase) untuk rentang waktu 2008 s.d.
2018 (POKJANAS TPID, 2013). Fase pertama (2008-2013)
adalah fase “building awareness” terhadap pentingnya
inflasi yang rendah dan stabil di daerah. Pada fase ini,
Pemerintah Daerah mulai dikenalkan pada terminologi
“inflasi yang rendah dan stabil”, serta pentingnya menjaga
kestabilan harga guna mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pada fase ini mulai dibentuk TPID sebagai wadah untuk
upaya stabilitas harga. Untuk mendukung pencapaian
target tersebut, telah dilakukan berbagai program/kegiatan
[ 51 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
baik yang diarahkan untuk meningkatkan pemahaman
aparatur daerah dan stakeholders daerah, yakni capacity
building (workshop), rapat koordinasi daerah (Rakorda
TPID) dan wilayah (Rakorwil TPID), dan fokus grup diskusi
baik yang difasilitasi oleh Kantor Perwakilan Bank
Indonesia, maupun oleh Pemerintah Daerah sendiri.
Fase berikutnya dinamakan fase
“fostering
commitment”dari seluruh pemangku kepentingan daerah
dalam mendukung pencapaian sasaran inflasi nasional.
Pada tahap ini mulai disusun beberapa program kerja TPID
guna mencapai sasaran inflasi nasional secara lebih
konkrit. Beberapa program kerja yang akan terus diperkuat
adalah Pengembangan Pusat Informasi Harga Pangan
Strategis, Peningkatan Kerja Sama Antar Daerah dan
Penyelarasan Asumsi Makro. Seluruh tahapan pelaksanaan
dari program-program tersebut sangat membutuhkan
komitmen dan kerja sama dari seluruh elemen yang terlibat
dalam TPID, khususnya Pemerintah Daerah. Tahun 2013
merupakan transisi dari fase I “building awareness” menuju
ke fase II “fostering commitment” yang diagendakan hingga
tahun 2018.
Fase yang terakhir (2018 dan seterusnya) adalah fase
“mature”, di mana sudah terdapat komitmen kuat di
kalangan pemerintah daerah terhadap pencapaian inflasi
yang rendah dan stabil. Bentuk komitmen yang kuat
tersebut tertuang pada penguatan koordinasi dan program
kebijakan di daerah yang mendukung pencapaian sasaran
inflasi nasional. Program kerja dan kebijakan di daerah juga
[ 52 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
diperkuat dengan dukungan sumber daya yang memadai,
target indikator yang jelas, dan terukur.
Epilog
Inflasi merupakan kumpulan fenomena yang
berdampak pada meningkatnya harga barang dan jasa
secara keseluruhan, sehingga terjadi instabilitas harga pada
suatu negara dengan jangka waktu tertentu. Upaya bersama
menjadi penting untuk mencapai stabilitas harga, bukan
hanya dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter, otoritas
kebijakan fiskal dan sektor riil pun mempunyai peran
penting dalam pencapaian tersebut. Sehingga sinergi antara
kebijakan moneter, fiskal, dan sektor riil akan menciptakan
efektivitas terhadap perekonomian yang kondusif. Dalam hal
ini pemerintah, Bank Indonesia, dan instasi terkait telah
membentuk Tim Pengendalian Inflasi Daerah, mengingat
sumbangan inflasi daerah terhadap inflasi nasional sangat
besar. Peran TPID diwujudkan dalam bentuk pengendalian
harga dengan (Operasi Pasar, Perbaikan Distribusi,
Himbauan atau Moral Suasion, Pembentukan Ekspektasi
Masyarakat, dan Sistem Resi Gudang (SRG).
Road map penguatan peran TPID disusun melalui tiga
fase untuk rentang waktu 2008-2018. Pertama (20082013) adalah fase “building awareness” terhadap
pentingnya inflasi yang rendah dan stabil di daerah. Kedua
adalah fase “fostering commitment”dari seluruh pemangku
kepentingan daerah dalam mendukung pencapaian sasaran
inflasi nasional. Tahun 2013 merupakan transisi dari fase I
“building awareness” menuju ke fase II “fostering
[ 53 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
commitment” yang diagendakan hingga tahun 2018. Fase
yang terakhir (2018 dan seterusnya) adalah fase “mature”,
di mana sudah terdapat komitmen kuat di kalangan
pemerintah daerah terhadap pencapaian inflasi yang
rendah dan stabil. Dalam menjaga stabilitas harga, maka
diperlukan koordinasi antara tim pengendalian inflasi
daerah dan tim pengendalian inflasi (pusat) harus tetap
terjaga, serta dapat dijalankan secara efektif, karena
implikasi kebijakan atau bentuk pengendalian yang
ditimbulkan sangat berpengaruh pada pergerakan
perekonomian dan daya beli masyarakat.
REFERENSI
Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No.
10/02/Th. XVII, 3 Februari 2014.
Bappebti, diakses tanggal 5 September 2014.
Brodjonegoro, Bambang PS. 2008. Inflasi dan APBN. Warta,
September www.pertamina.com
Giavazzi, Francesco. 2003. Inflation Targeting and The
Fiscal Policy Regime: The Experience in Brazil. Bank Of
England Quarterly bulletin.
Hagen, Von Jurgen and Mundschenk Susanne. 2003. Fiscal
and Monetary Policy Coordination in EMU.
International journal of finance and economics.
Hidayati, Fatimah. 2013. Analisis persistensi inflasi jawa
timur: suatu pendekatan sisi penawaran. Jurnal ilmiah.
FEB-UB.
Hutabarat, A. 2005. Determinan inflasi di Indonesia.
Working Paper Bank Indonesia.
Kemendagri, diakses tanggal 5 September 2014.
[ 54 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi
Keempat. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Manurung, Bonar Rikardo. 2002. Twin Defisit di Indonesia.
Tesis. Magister Ekonomi Pembangunan USU, Medan.
POKJANAS TPID. 2014. (Kelompok Kerja Nasional Tim
Pengendalian Inflasi Daerah). BUKU PETUNJUK TPID.
POKJANAS TPID. 2013. Laporan pelaksanaan tugas tahun
2013, Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian
Inflasi Daerah.
Sholeh, Maimun. Kebijakan Moneter dan Inflation Targeting:
Suatu Tinjauan Teori. UNY.
Simorangkir, Iskandar. 2012. Peranan Koordinasi Kebijakan
Moneter dan Fiskal Terhadap Perekonomian Indonesia.
Penerbit: Kanisius.
Turnovsky, J Stephen. 2000. The Transitional Dynamics of
Fiscal Policy: Long-Run Capital Accumulation, and
Growth. University of Washington, Seattle.
[ 55 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
PERSISTENSI INFLASI: PENDEKATAN SISI
PENAWARAN PADA PASAR BARANG
Virdila Reindhartis dan Farida Firdausi E
Prolog
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk
meningkat secara umum dan terus-menerus. Kenaikan
beberapa komoditi saja tidak disebut inflasi, kecuali bila
kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan
kenaikan sebagian besar dari harga-harga barang lain.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak
disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau
menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barangbarang lain (Boediono, 2000). Keadaan harga yang terusmenerus berarti bahwa kenaikan harga-harga karena
bersifat musiman atau sesekali saja atau tidak mempunyai
pengaruh lanjut tidak disebut inflasi (Hidayat, 2007). Inflasi
merupakan suatu keadaan dimana terjadi kenaikan tingkat
harga umum, baik barang-barang, jasa-jasa, maupun
faktor-faktor produksi, (Samuelson, 2001). Kenaikan harga
barang secara umum dan terus menerus pada akhirnya
menyebabkan melemahnya daya beli yang diikuti dengan
semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu
negara.
[ 56 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Pada dasarnya inflasi selalu terjadi pada setiap negara
baik di negara terbelakang, negara berkembang, ataupun di
negara yang telah maju sekalipun seperti Amerika Serikat,
Inggris, dan Jepang. Inflasi yang terjadi disetiap negara
dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya saja
disebabkan karena adanya gangguan (shock) pada sisi
permintaan/demand pull inflation dan supply side inflation.
Keynes dalam salah satu teorinya menyatakan bahwa
inflasi terjadi lebih diakibatkan oleh adanya gangguan dari
sektor riil yang bersumber dari adanya perilaku
masyarakat yang menginginkan barang dan jasa lebih besar
daripada yang mampu disediakan oleh masyarakat itu
sendiri. Hal ini menimbulkan inflationary gap karena
permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia.
Secara
sederhana
dapat
dirumuskan
menjadi
inflasi=f(jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah,
suku bunga, investasi). Terkait dengan teori yang
dikemukakan oleh Keynes, golongan monetaris memiliki
teori inflasi tersendiri. Aliran Monetaris berpendapat
bahwa inflasi disebabkan oleh kebijaksanaan moneter dan
fiskal yang ekspansif, sehingga jumlah uang beredar di
masyarakat sangat berlebihan. Secara sederhana dapat
dirumuskan menjadi inflasi = f(kebijakan moneter ekspansif,
kebijakan fiskal ekspansif).
Inflasi yang terjadi disetiap negara pada dasarnya
memiliki sifat yang berbeda-beda sesuai dengan penyebab
terjadinya. Sifat dan perilaku inflasi tersebut dapat
dipelajari melalui persistensi inflasi. Persistensi inflasi
merupakan tingkat cepat lambatnya inflasi untuk kembali
[ 57 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ke nilai alamiahnya (normal) ketika terjadi guncangan
(shock) yang menyebabkan inflasi menjauh dari nilai
alamiahnya tersebut. Derajat persistensi yang tinggi
menunjukkan
lambatnya tingkat inflasi ke tingkat
alamiahnya. Sebaliknya derajat persistensi yang rendah
menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk kembali ke
tingkat alamiahnya.
Tugas Bank Indonesia sesuai dengan UU No. 3 tahun
2004 pasal 7 adalah mencapai dan menjaga kestabilan nilai
Rupiah, yang salah satunya adalah dalam bentuk kestabilan
nilai Rupiah terhadap barang dan jasa atau kestabilan
inflasi. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah
kestabilan nilai rupiah didalam maupun diluar negeri.
Kestabilan nilai Rupiah di dalam negeri digambarkan
melalui kestabilan harga barang dan jasa yang tercermin
dari tingkat inflasi sedangkan di luar negeri digambarkan
melalui nilai Rupiah terhadap mata uang negara lain yang
tercermin dari nilai tukar. Oleh karena itu kebijakan
moneter diarahkan untuk mencapai dan menjaga inflasi
pada tingkat yang rendah dan stabil. Selain kebijakan
moneter yang dalam hal pelaksanaannya berasal dari Bank
Indonesia, pemerintah juga dapat mengatasi inflasi melalui
kebijakan fiskal yang pada umumnya menggunakan pajak
sebagai alat pengendali laju inflasi.
Kondisi perekonomian yang stabil dimana kondisi
tenaga kerja berada pada titik full-employment dan inflasi
berada pada titik yang rendah merupakan impian seluruh
negara. Permasalahannya adalah tidak semua negara selalu
berada dalam kondisi perekonomian yang stabil. Banyak
[ 58 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dari negara-negara maju ataupun berkembang berada
dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil terutama
memiliki tingkat laju inflasi yang tinggi. Case and Fair
(2007:57) mengemukakan bahwa inflasi merupakan
peningkatan tingkat harga keseluruhan yang terjadi ketika
banyak harga naik secara serentak. Samuelson (2001)
menyatakan bahwa inflasi merupakan suatu keadaan
dimana terjadi kenaikan tingkat harga umum, baik barangbarang, jasa-jasa, maupun faktor-faktor produksi. Secara
sederana inflasi merupakan suatu kondisi perekonomian
dimana tingkat daya beli masyarakat mengalami
penurunan karena terjadinya kenaikan harga. Kondisi ini
menunjukkan bahwa ketika terjadi inflasi minat
masyarakat untuk melakukan aktivitas konsumsi menurun
karena menurunnya nilai mata uang, artinya dahulu dengan
sejumlah uang tertentu masyarakat dapat membeli 2 jenis
barang maka ketika terjadi inflasi dengan sejumlah uang
tertentu yang sama masyarakat hanya bisa membeli 1 jenis
barang saja.
Inflasi dari sisi riil selalu terkait dengan kenaikan
harga barang dan menurunnya kemampuan masyarakat
dalam berkonsumsi, sedangkan dari sisi moneter inflasi
selalu terkait dengan meningkatnya jumlah uang yang
beredar di masyarakat. Sama halnya seperti manusia,
inflasi juga memiliki karakteristik, sifat, dan perilaku
tertentu yang harus dipahami oleh para penentu kebijakan
agar inflasi dapat dikontrol atau dikendalikan dengan cara
yang tepat. Perilaku dari inflasi itu sendiri adalah
persistensi inflasi.
[ 59 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Gambar 4. Struktur Persistensi Inflasi
Marques (2005) mendefinisikan persistensi inflasi
sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ketingkat
ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Sesuai
dengan diagram diatas, apabila suatu kondisi
perekonomian yang telah mengalami inflasi kembali
mengalami guncangan sisi penwaran ataupun sisi
permintaan akan menyebabkan kondisi inflasi berubah
menjadi persistensi inflasi, artinya tingkat inflasi akan
menjauh dari titik keseimbangan awal. Derajat persistensi
yang tinggi menunjukkan lambatnya tingkat inflasi ke
tingkat alamiahnya. Sebaliknya derajat persistensi yang
rendah menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk
kembali ke tingkat alamiahnya.
Kondisi persistensi inflasi yang terjadi umumnya
disebabkan oleh adanya guncangan dalam perekonomian.
Guncangan yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor luar
negeri yang berupa pengaruh nilai tukar, harga komoditi
[ 60 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
internasional, dan inflasi mitra dagang. Selain faktor luar
negeri, guncangan ekonomi dapat berasal dari dalam
negeri, yakni ekspektasi para konsumen dan produsen
serta proses interaksi permintaa dan penawaran. Faktor
dari dalam ataupun dari luar negeri ini pada akhirnya akan
menjadi bentuk guncangan dari sisi permintaan dan
guncangan sisi penawaran. Perhitungan tingkat inflasi dan
persistensi inflasi di Indonesia sendiri menggunakan
tingkat indeks harga konsumen (IHK) dan pengendaliannya
dapat dilakukan oleh Bank Indonesia serta pemerintah
bersama instansi terkait.
[ 61 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
konsumsi
permintaan
Output
gap
ekspor
Inflasi
Dunia
investasi
eksternal
Inflasi Inti
Nilai
tukar
produksi
penawaran
inersia
impor
Supply
Shocks
Kebijakan
Pemerintah
Impor
makanan
penawaran
[ 62 ]
ekpektasi
i
Adminster
ed Prcie
Inflasi IHK
Inflasi
Non-Inti
Sketsa Ekonomi Indonesia
Sesuai dengan diagram diatas dapat dikatakan bahwa
komponen inflasi indeks harga konsumen (IHK) di
Indonesia terdiri dari inflasi inti dan inflasi non-inti baik
yang bersumber dari sisi permintaan dan sisi penawaran.
Inflasi dan persistensi inflasi yang terjadi di Indonesia
rentan disebabkan oleh guncangan yang terjadi pada sisi
penawaran. Komponen guncangan sisi penawaran terdiri
dari impor makanan dari luar negeri dan tingkat produksi
makanan dari dalam negeri yang pada akhirnya menjadi
komponen pembentuk inflasi non-inti melalui volatile food.
Selain itu komponen guncangan dari sisi penawaran juga
terdiri dari kondisi investasi, tingkat produksi keseluruhan
(tidak hanya tingkat produksi makanan), dan tingkat impor
umum yang membentuk inflasi inti. Secara lebih spesifik
guncangan dari sisi penawaran ini dapat berupa perubahan
kebijakan pemerintah, gangguan distribusi, bencana alam,
perubahan cuaca, guncangan pada volatile food, penetapan
harga oleh pemerintah, nilai tukar, harga komoditi
internasional, dan inflasi mitra dagang. Komponen
guncangan sisi penawaran dari volatile food dan
administered price ini menyumbang 40% tingkat inflasi
indeks harga konsumen (IHK).
Kasus di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa
tingginya tingkat inflasi dan persistensi inflasi nasional
sebagian besar disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi
dan persistensi inflasi di daerah. Tingginya tingkat inflasi di
daerah disebabkan karena tingginya tingkat guncangan
yang terjadi pada sisi penawaran. Hal ini sejalan dengan
apa yang telah disebutkan sebelumnya bahwa 40% tingkat
[ 63 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
inflasi IHK bersumber dari volatile food dan administered
food yang merupakan instrumen sisi penawaran.
Penyumbang tertinggi inflasi daerah dari sisi penawaran
ialah bersumber dari permasalahan perubahan musim yang
tidak menentu, perubahan iklim, dan bencana alam.
Beberapa permasalahan tersebut akan menyebabkan
menurunnya jumlah produksi/penawaran barang dan
mengganggu proses distribusi sedangkan apabila jumlah
permintaan yang terjadi tetap maka kondisi inilah yang
akan menyebabkan terjadinya inflasi atau kenaikan harga
karena terjadinya supply shock.
Tingginya tingkat inflasi nasional atas sumbangan
dari inflasi di daerah ini terbukti dengan data-data yang
berasal dari beberapa penelitian yang telah dilakukan.
Penelitian menunjukkan bahwa tingkat persistensi di
Indonesia masih tergolong dalam kategori tinggi dengan
hasil mendekati 1. Arimurti (2011) menyebutkan bahwa
tingkat persistensi inflasi di Jakarta masih tinggi dengan
kelompok komoditi penyumbang persistensi yaitu
kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau
juga kelompok kesehatan. Penelitian-penelitian lain juga
dilakukan di wilayah Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Jawa Timur menunjukkan hasil yang sama.
Penelitian oleh Bank Indonesia Kendari (2010)
menunjukkan bahwa tingkat persistensi inflasi di wilayah
Sulawesi Tenggara sebesar 0,82 dengan penyumbang
tertinggi berasal dari rokok kretek. Tingkat persistensi
inflasi rata-rata Kalimantan Tengah sebesar 0,82. Pada
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kalimantan Tengah
[ 64 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Triwulan IV (2010) di Kalimantan Tengah, persistensi
inflasi diwakili oleh Palangkaraya dan Sampit dengan
jumlah yang relatif rendah-tinggi antara 0,4 - 0,9, wilayah
Jakarta menyumbang tingkat persistensi inflasi sebesar
0,94, serta untuk wilayah Jawa Timur tingkat persistensi
inflasi yang terjadi adalah sebesar 0,90. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa lambatnya tingkat
persistensi
inflasi
untuk
kembali
pada
titik
keseimbangan/normalnya. Hal ini dibuktikan dengan
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk kembali pada titik
keseimbangan awalnya dengan rata-rata waktu yang
dibutuhkan adalah 5/7 hingga 16 bulan. Artinya bahwa
semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk
kembali pada titik keseimbangan awal maka kondisi pasar
barang akan terganggu dengan semakin meningkatnya
harga barang lain yang berkaitan (sebagai barang
pengganti dan pelengkap) yang pada akhirnya kembali
akan menyebabkan guncangan kenaikan harga barang dari
sisi penawaran. Apabila kondisi demikian terus terjadi
berulang-ulang pada
akhirnya
akan semakin
membutuhkan
waktu yang lama
bagi
kondisi
perekonomian untuk mencapai kondisi yang stabil.
Pemerintah pada dasarnya memiliki beberapa alat
yang dapat digunakan untuk menurunkan persistensi
inflasi hingga ke titik keseimbangan awal. Pemerintah
dapat menggunakan kebijakan fiskal dan moneter sebagai
alat peredam persistensi inflasi. Alat dari kebijakan fiskal
yang dapat digunakan misalnya saja dengan menggunakan
pajak, sedangkan untuk kebijakan moneter diputuskan oleh
[ 65 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Bank Indonesia. Tugas Bank Indonesia sesuai dengan UU
No. 3 tahun 2004 pasal 7 adalah mencapai dan menjaga
kestabilan nilai Rupiah, yang salah satunya adalah dalam
bentuk kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa
atau kestabilan inflasi. Sejak tahun 2005 Bank Indonesia
telah menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan
inflasi sebagai sasaran utama yang biasa disebut dengan
Inflation Targeting Framework (ITF). Fungsinya adalah
dengan adanya ITF ini diharapkan agar tingkat inflasi
aktual yang terjadi sesuai dengan target tingkat inflasi yang
telah ditetapkan sebelumnya. ITF diberlakukan atas
pertimbangan bahwa inflasi memiliki dampak yang sangat
besar bagi kesejahteraan masyarakat. Seperti telah
diketahui tingkat inflasi yang tinggi akan menyebabkan
daya beli masyarakat menurun sehingga mempengaruhi
kesejahteraannya.
Gambar 6. Tingkat Inflasi Aktual
[ 66 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Hasil menunjukkan bahwa pada tahun 2004 Bank
Indonesia menetapkan ITF sebesar 5,5% ± 1% sedangkan
inflasi aktual yang terjadi adalah sebesar 6,40%. Pada
tahun 2005 Bank Indonesia menetapkan ITF sebesar 6% ±
1% dengan inflasi aktual yang terjadi sebesar 17,11%. Pada
tahun 2006 Bank Indonesia menetapkan ITF sebesar 8% ±
1% dengan inflasi aktual yang terjadi sebesar 6,60%. Dari
ketiga contoh penerapan ITF tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa penerapan ITF tidak semuanya berhasil,
dibuktikan dengan melesetnya target inflasi pada tahun
2005 sebesar 6% ± 1% sedangkan inflasi aktual yang
terjadi sebesar 17,11%. Inflasi aktual yang terjadi ini sangat
jauh dari ITF yang telah ditentukan, hal ini dapat
disebabkan oleh berbagai faktor misalnya saja terjadinya
krisis keuangan global yang berdampak pada kondisi
perkonomian di Indonesia. Karena ketidak berhasilan
penerapan ITF inilah maka diperlukan adanya solusi lain
untuk mengatasi masalah persistensi inflasi di Indonesia.
Selanjutnya untuk dapat mengendalikan persistensi
inflasi yang terjadi pemerintah harus dapat mengontrol laju
inflasi tidak hanya pada tingkat nasional melainkan juga
inflasi pada tingkat regional. Oleh karena itu maka sejak
tahun 2005 Bank Indonesia membentuk tim pengendali
inflasi (TPI) tingkat pusat dan dilanjutkan dengan
pembentukan tim pengendali inflasi daerah (TPID) pada
tahun 2008. Keberadaan TPI dan TPID ini berfungsi agar
TPI dan TPID dapat berkoordinasi untuk meredam tingkat
inflasi secara nasional maupun regional sehingga tingkat
[ 67 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
persistensi inflasi juga dapat kembali pada kondisi
keseimbangan awal.
Pada wilayah fiskal, pemerintah dapat mengendalikan
inflasi salah satunya dengan memberikan insentif bagi
masyarakat agar tingkat daya masyarakat meningkat
kembali pada titik normal dan memberikan subsidi bagi
para produsen agar harga barang maupun jasa yang
diproduksi tidak mengalami kenaikan harga. Umumnya
persistensi inflasi karena volatile food ini disebabkan
karena adanya gangguan bencana alam seperti banjir dan
kekeringan. Guncangan ini pada akhirnya akan mengurangi
tingkat produktivitas dan untuk menaikkan produktivitas
pada titik keseimbangan awal membutuhkan biaya yang
tinggi. Oleh karena itu maka dibutuhkan peran pemerintah
dengan cara memberi subsidi dan tidak menaikkan pajak
produksi.
Epilog
Tingkat persistensi inflasi di Indonesia sesuai
penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih berada
pada tingkat mendekati 1. Artinya tingkat persistensi yang
terjadi sulit untuk kembali pada titik keseimbangan awal.
Hal ini terbukti dengan tingkat persistensi yang terjadi di
daerah-daerah seperti Jakarta 0,94, Jawa Timur 0,90,
Kalimantan Tengah 0,4-0,9, dan Sulawesi Tenggara 0,82.
Dengan tingkat persistensi inflasi yang tinggi ini
dibutuhkan waktu rata-rata sekitar 5/7 – 16 bulan bagi
kenaikan harga barang/jasa untuk kembali pada harga
awal/harga normal. Kondisi ini lebih diperparah lagi
[ 68 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dengan adanya perubahan kebijakan untuk mengurangi
atau membatasi kuota bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi pada tahun 2014 telah menyebabkan harga
komoditas BBM mengalami kenaikan yang pada akhirnya
juga turut mempengaruhi kenaikan harga komoditas lain.
Kenaikan harga BBM ini terbukti telah menyebabkan
terjadinya kenaikan harga komoditas utamanya komoditas
pangan yang dalam hal ini menyebabkan kenaikan tingkat
inflasi dari komoditas volatile food.
Berbagai kebijakan pada dasarnya dapat dilakukan
oleh pemerintah untuk mengontrol atau mengendalikan
laju persistensi inflasi ini, diantaranya yaitu penerapan
inflation targeting frame work (ITF), pembentukan tim
pengendali inflasi daerah dan pusat (TPI – TPID), dimana
kedua kebijakan ini diterapkan oleh Bank Indonesia
melalui sisi moneter. Kebijakan lain yang dapat dilakukan
ialah dari sisi fiskal dengan cara memberikan subsidi bagi
para produsen ketika terjadi bencana alam, ketidak pastian
musim, dan kenaikan harga BBM agar biaya produksi tidak
tinggi. Terlepas dari beberapa kebijakan yang diambil, pada
dasarnya untuk menurunkan tingkat persistensi inflasi
yang harus diperhatikan adalah sumber penyebab
terjadinya inflasi. Pada umumnya setiap daerah di
Indonesia memiliki karakteristik dan sifat yang dapat
menjadi faktor tingginya tingkat inflasi di daerah. Oleh
karena itu, salah satu hal yang diperlukan adalah perlunya
koordinasi yang baik anatara pemerintah pusat, Bank
Indonesia, dan pemerintah daerah agar dapat
mengendalikan harga barang-barang secara umum pada
[ 69 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tingkat daerah khususnya dan ditingkat nasional pada
umumnya.
REFERENSI
Arimurti, Trinil. Budi Trisnanto. 2011 “Persistensi Inflasi Di
Jakarta Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan
Pengendalian Inflasi Daerah.” Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan.
Boediono. 2000. “Ekonomi Moneter.” Edisi 3. BPFE:
Yogyakarta.
Case, and Fair. 2006. Prinsip-prinsip Ekonomi Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
Hidayati, Fatimah. 2013. “Uraian Persistensi Inflasi Jawa
Timur: Suatu Pendekatan Sisi Penawaran.”
Universitas Brawijaya: Malang.
Marques, C. R. (2005). Inflation Peristence: Facts or
Artefacts? Economic Bulletin
Samuelson. 2001. Ilmu Mikro Ekonomi. Media Global
Edukasi: Jakarta.
www.bi.go.id
[ 70 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
EARLY WARNING SYSTEM INDIKATOR
MAKROEKONOMI PADA KRISIS PERBANKAN
Ave Nindy Prastica Devi dan Reny Octaviantri
Prolog
Terjadinya bank run pada sektor perbankan
disebabkan oleh masalah liquiditas. Kegagalan industri
perbankan mendistorsi alokasi modal dan dalam
kebanyakan situasi akan menambah tekanan terhadap
ekonomi riil. Bank run merupakan fitur umum dari krisis
yang memiliki peran penting dalam sejarah moneter.
Selama terjadinya bank run
para nasabah menarik
depositonya karena mereka menganggap bank telah
bangkrut. Bahkan, penarikan bank secara besar-besaran
tersebut dapat memaksa bank untuk melikuidasi asetnya
pada kerugian dan kebangkrutan. Pada kepanikan ini
banyak bank yang gagal, goncangan moneter serta
penurunan tingkat produksi (Douglas, 1983).
Hubungan masyarakat dengan lembaga perbankan
karena adanya unsur kepercayaan, demikian juga lembaga
perbankan terhadap masyarakat. Sebagian besar
masyarakat percaya bahawa dengan adanya lembaga bank
dapat memberikan keuntungan terhadap nasabahnya baik
dalam bentuk materi maupun non-materi misalnya
keamanan atas barang berharga (dana) yang dititipkan
[ 71 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pada bank tersebut. Disisi lain, perbankan juga merasa
yakin dan percaya bahwa nasabahnya dari kalangan yang
memiiki reputasi dan kredibilitas baik. Maka dari itu timbul
kepercayaan yang saling berkaitan yaitu saling
mempercayai.
Beberapa ahli ekonomi menyatakan bahwa industri
perbankan merupakan industri yang memerlukan
perhatian khusus karena dianggap mudah dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal perbankan dan merupakan bagian
integra; dari sitem pembayaran (Kaufman dan George,
1997). Teori krisis perbankan lebih banyak ditujukan ada
karakterstik khusus perbankan seperti transformasi mata
uang dan jatuh tempo serta informasi yang asimetris
sehingga membuat industri perbankan rentan untuk krisis
terhadap adanya goncangan. Oleh karena itu sejumlah
proyek telah dimulai untuk membangun sistem peringatan
dini atau Early Warning System (EWS) yang menerapakan
metode statistik untuk memprediksi kemingkinan
terjadinya krisis perbankan dengan didukung oleh model
yang terdiri dari indikator ekonomi yaitu indikator makro.
Sasaran EWS adalah pasar ekonomi yang berkembang
(Cheang, 2008)
Berdasarkan latar belakang diatas diperlukan adanya
sistem peringatan dini untuk mengantisispasi krisis
perbankan dalam sesuatu perekonomian. Makalah ini
mengkaji tentang indikator makroekonomi yang
berpengaruh pada krisis perbankan yang selanjutnya dapat
menyebabkan krisis keuangan. Tujuan dari mengisi
kesenjangan tentang indicator makroekonomi yang
[ 72 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
memiliki pengaruh paling dominan terhadap krisis
perbankan. Selebihnya makalah ini diorganisasikan
menjadi 2 bagian yang berisi diskusi lebih lanjut mengenai
pengaruh indicator makro ekonomi dan prediksi dari
beberapa indikator makroekonomi pada periode
selanjutnya. Bagianterakhir akan diisi dengan kesimpulan
dari makalah.
Early Warning System
Dermirguc-Kunt
dan
Detragiache
(1997)
menggunakan 65 negara pada periode 1980-1995 dalam
menjelaskan fitur krisis perbankan sebagai sebuah
fenomena dari distress perbankan di mana rasio NPL
perbankan melebihi 10 % dan biaya operasi penyelamatan
melebihi 2 % dari PDB. Kaminsky dan Reinhart (1999)
dengan menggunakan 20 negara pada periode 1970-1995
mereka menandai awal dari krisis perbankan oleh suatu
peristiwa yaitu (i) bank runs menjadi penghujung usaha
perbankan, merger atau pengambilalihan oleh sektor
publik dari satu atau lebih lembaga keuangan, atau (ii)
pemerintah memblokade besar-besaran satu atau lebih
lembaga keuangan. Sebuah Krisis perbankan akan usai
ketika asistensi pemerintah dihentikan. Sampai saat ini
interpretasi dari krisis perbankan masih menimbukan
perdebatan. Definisi dari Kaminsky dan Reinhart (1999)
mengenai krisis perbakan adalah ditandai dengan adanya
masalah dalam neraca. Mereka menyatakan bahwa indikasi
awal krisis ditandai dengan penarikan dana besar-besaran
dari nasabah dan blokade pada bank.
[ 73 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Davis (2001) juga menafsirkan beberapa kerangka
teori yang mendiskripsikan ketidak stabilan keuangan,
yang meliputi: 1) Konsep debt and financial fragility, 2)
Pendekatan disaster myopia, and 3) bank runs. Konsep debt
and financial fragility berpendapat bahwa perekonomian
mengikuti peredaran yang terdiri dari periode
pertumbuhan positif dan negative (Fisher, 1933). Dengan
kemajuan ekonomi, utang dan kegiatan pengambilan risiko
akan melambung. Ini menciptakan gelembung aset yang
akan mengarah pada pertumbuhan negatif. Sementara itu,
pendekatan disaster myopia disinyalir dapat menunjukkan
stabilitas keuangan dapat disebabkan oleh perilaku
kompetitif lembaga keuangan yang mengarah pada suatu
kondisi dimana kredibilitas peminjam diabaikan dan risiko
dikurangi. Di sisilain, bank runs menjelaskan kondisi di
mana para penyalur dana yang panik menjual khazanah
yang mereka punya atau menarik dana mereka karena
takut bahwa kondisi ekonomi akan memburuk (Diamond
dan Dybvig, 1983; Davis, 1994). Sebagai resultan yang
dihasilkan, hal ini akan memicu kemerosotan yang tiba-tiba
pada harga khasanah dan krisis likuiditas.
Dari sekian model Early Warning System yang sudah
dilaksanakan di Indonesia terdapat 2 metode yang
digunakan untuk mendeteksi terjadinya krisis diantaranya
metode non-parametrik dan metode parametrik. Metode
non-parametrik terdiri dari pendekatan signal, melalui
jaringan saraf buatan, model hibrida, metode fuzzy logic.
Sedangkan untuk metode parametrik dapat dideteksi
dengan menggunakan metode Logit Probit, VAR , ARCH[ 74 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
GARCH, Forecasting, Markov Switching. Kaminsky, G.L., S.
Lizondo and C.M. Reinhart pada tahun 2008 menguraian
tentang krisis perbankan dengan menggunakan metode
pendekatan signal. Namun , metode non-parametrik ini
memiliki
beberapa
kelemahan,
dimana
ketika
menggunakan metode pendekatan signal belum adanya
keberhasilan dalam mendeteksi krisis perbankan di
Indonesia. Ketika menggunakan metode parametrik,
dimana metode parametrik merupakan metode yang
digunakan dalam menentukan krisis berdasarkan metode
ekonometrika. Apabila menggunakan model parametrik
terdapat tujuan bahwa model ini digunakan untuk melihat
kemampuan dari model dalam memprediksi setahun
sebelumnya atau menjelang krisis.
Dari beberapa metode yang terdapat dalam
mendeteksi adanya krisis muncul kelemahan dan
keuanggulan dari masing-masing pendekatan. Penggunaan
regresi logit layak digunakan dalam global early warning
system, sedangkan signal extraction hanya dapat digunakan
bagi country specific Early Warning System (Davis dan
Karim, 2007). Namun penggunaan regresi logit dan
pendekatan signal memiliki kelemahan. Pertama,
penentuan tanggal dimulainya krisis menjadi terlambat.
Kedua, pendekatan indikator-indikator dini perbankan
dengan menggunakan nisbah penyimpanan (noise)
terhadap signal yang benar minimal juga mempunyai
keterbatasan.
Akibat dari keterbatasan
tersebut
menyebabkan penetapan batas nilai indeks krisis
perbankan (threshold) dilakukan secara arbitrary. Ketiga,
[ 75 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
transformasi indeks krisis ke dalam bilangan binary dapat
mengakibatkan hilangnya informasi yang relevan.
Seiring dengan munculnya berbagai kelemahan yang
terdapat dalam model regresi logit atau probit maupun
pendekatan signal, maka berkembang metode Markov
Switching. Pendekatan ini merupakan pendekatan
parametrik. Terdapat berbagai keuanggulan dalam metode
ini antara lain: Pertama, nilai batas indeks krisis
merupakan variabel endogenous atau dengan kata lain
periode krisis dan lamanya krisis merupakan bagian dari
hasil yang diestimasi. Kedua, penggunaan model Markov
Switching merupakan model yang memperbolehkan
penggunaan dependent variable yang kontinyu. Ketiga,
penggunaan model ini adalah model ini dapat digunakan
untuk menangkap informasi yang dinamis dari krisis.
Keempat, model ini dapat digunakan untuk perilaku non
linier (Iskandar, 2011).
Akibat, suku bunga yang tinggi kondisi saham juga
akan semakin suram. Pasar keuangan masih belum begitu
berkembang dan sumber pembiayaan kegiatan ekonomi
mayoritas bergantung pada bank, volatilitas harga saham
menentukan perilaku trader di pasar saham. Jika melihat
dari komposisi pemainnya, pasar keuangan di indonesia
didominasi oleh pemain-pemain asing sehingga hal ini
menciptakan kerentanan dalam sistem keuangan. Adanya
shock baik di negara indonesia maupun di negara asal
trader akan membuat indonesia rentan terhadap terjadinya
arus modal keluar besar-besaran. Penurunan tajam pada
harga saham di pasar keuangan indonesia juga akan
[ 76 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
memicu terjadinya penarikan oleh pemain asing (capital
outflow). Arus modal keluar besar-besaran karena
penurunan pada harga saham mungkin terjadi sebagai
reaksi terhadap kerugian yang dialami trader. Buruknya
kondisi saham maka akan mengakibatkan kontraksi pada
perekonomian yang selanjutnya akan meningkat
kanpengangguran kemudian muncul berbagaimasalah
sosial. Masalah sosial yang muncul di masyarakat justru
akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat.
Penurunan tingkat kepercayaan masyarakat akan
mengakaibatkan melemahnya nilai tukar mata uang.
Penjelasan yang lebih rinci mengenai uraian diatas akan di
tunjukkan dngan grafik tingka tinflasi, nilai tukar, dan PDB
padatahun 2014 serta tingkat inflasi, nilai tukar dan PDB
2015.
Inflasi
10,00
5,00
0,00
Gambar 7. Prediksi Tingkati Inflasi
(Sumber:SPIME, 2014)
Tekanan inflasi diperkirakan sebesar 7,85 % (yoy)
pada triwulan ke III tahun 2014. Angka ini lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan tingkat inflasi triwulan ke II
yang hanya sebesar 6.70% (yoy). Pada triwulan ke IV pada
[ 77 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tahun 2014 diprediksi akan menurun sebesar 5,43 % dan
terjadi diprediksi akan terjadi peningkatan kembali pada
tahun 2015 triwulan I. Pada triwulan I tahun 2015
diprediksi inflasi akan meningkat 0,25 % dari 5,43%
menuju 5,68%. Selanjutnya, kenaikan inflasi diperkirakan
akan terus terjadi pada triwulan ke II tahun 2015.
Diprediksi perubahan kenaikan sebesar 1,76% dari 5,68 %
pada triwulan I tahun 2015, dan mengalami kenaikan 2,01
% dari 5,43 % triwulan ke IV tahun 2014.Kenaikan inflasi
tersebut disebabkan oleh faktormusiman antara lain akibat
performa nilai tukar, ketersediaan barang dan kenaikan
harga bahan bakar minyak ( BBM).
Nilai Tukar
15.000
10.000
5.000
0
Gambar 8. Prediksi Nilai Tukar Rupiah-Dollar
(Sumber:SPIME,2014)
Nilai tukar diprediksi akan mengalami depresiasi pada
triwulan III tahun 2014. Nilai tukar pada triwulan tersebut
lebih lemah daripada triwulan sebelumnya yakni triwulan
ke II. Nilai tukar melemah Rp 136 dari triwulan ke II
menuju triwulan ke II sehingga pada triwulan ke II nilai
tukar berada pada posisi Rp 11.840. Sedangkan pada
[ 78 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
triwulan ke IV tahun 2014 dan Triwulan I tahun 2015, nilai
tukar diprediksi kembali menguat. Nilai tukar diprediksi
menguat sebesar Rp 28 dari triwulan ke III sehingga nilai
tukar berada pada posisi Rp11.812. Sedangkan pada tahun
2105 diprediksi nilai tukar akan terus menguat samapai
pada triwulan ke II tahun 2015. Triwulan I menguat
sebesar Rp 9 dari triwulan ke IV menuju triwulan I yang
berada pada posisi Rp 11.803. Nilai tukar terus mengalami
penguatan sampai pada triwulan ke II sebesar Rp 106
sehingga diperkirakan berada pada posisi Rp 11.697.
Namun pada triwulan ke III nilai tukar kembali mengalami
depresiasi sebesar Rp 101 sehingga pada triwulan ke III
tahun 2015 diperkirakan nilai tukar akan berada pada
posisi Rp 11.798.
7
6
5
4
PDB
2013.1 2013.2 2013.3 2013.4 2014.1 2014.2 2014.3 2014.4 2015.1 2015.2
Gambar 9. Prediksi PDB
(Sumber : SPIME,2104)
Pada triwulan ke II PDB diprediksi berada pada posisi
5.79% lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Namun pada
triwulan III tahun 2014 PDB diperkirakan mengalami
penurunan sebesar 0,39% sehingga berada pada posisi
5.40 %. Namun pada tahun 2015 PDB diperkirakan akan
[ 79 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
meningkat 0,36%. Dari peningkatan tersebut maka pada
tahun 2015 triwulan I PDB diprediksi berada pada kisaran
5.81 %. Peningkatan PDB tersebut dipengaruhi oleh
terjadinya peningkatan konsumsi oleh masyarakat. Selain
itu, yang mempengaruhi peningkatan pertumbuhan
ekonomi
adalah
kondisis
perekonomian
global,
pertumbuhan investas dan kinerja neraca perdagangan.
Krisis ekonomi dan keuangan global memberikan pelajaran
bahwa stabilitas makroekonomi tidak bisa hanya dilakukan
dengan menjaga tingkat tekanan inflasi yang rendah.
Mengingat instabilitas makroekonomi semakin banyak
bersumber dari ketidakseimbangan yang terjadi di sektor
jasa keuangan. Ketidakseimbangan yang terjadi di industri
perbankan diakibatkan oleh ketidakmampuan menilai,
meminimalisir dan memitigasi risiko kegiatan usahanya
sehingga menciptakan perilaku penyaluran kredit
perbankan yang berlebihan.
Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi pada
tahun 2008 menjadi contoh keterkaitan antara kebijakan
moneter dan makroprudensial. Di Amerika Serikat, sebuah
krisis terjadi berawal dari adanya ketidakseimbangan pada
sektor jasa keuangan terutama dalam hal penyaluran kredit
yang terlalu berlebihan. Selain tingginya penyaluran kredit,
terjadinya penurunnan harga aset yang berdampak pada
mengeringnya likuiditas pasar dan berujung pada
pelemahan perekonomian global. Indonesia adalah salah
satu negara yang terkena dampak dari krisis yang terjadi
Amerika Serikat. Dengan menurunkan tingkat suku bunga
acuan seiring dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi
[ 80 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
merupakan imbas dari krisis keuangan global tahun 2008.
Langkah yang dilakukan untuk mengembalikan kembali
kondisi perekonomian menjadi lebih baik adalah dengan
menempuh kebijakan moneter yang longgar dan mulai
mengalirnya dana asing ke Indonesia sebagai dampak
melemahnya perekonomian negara-negara maju.
Epilog
Leading
indicators
yang
diperlukan
dalam
membangun EWS bagi kasus krisis perbankan di Indonesia
adalah nilai tukar riil dan PDB. Variabel tambahan yang
juga bisa digunakan sebagai leading indicators dalam EWS
untuk krisis perbankan karena bersifat informatif adalah
suku bunga riil domestik, pertumbuhan PDB, perubahan
harga saham, tingkat inflasi, dan pertumbuhan produksi
industrial. Maka menjadi rekomendasi bagi pemerintah
untuk
mengawasi
pergerakan
variabel-variabel
dibandingkan
dengan
threshold-nya
karena
menggambarkan potensi terjadinya krisis nilai tukar dan
krisis perbankan di Indonesia. Pemerintah perlu
membangun kewaspadaan terhadap volatilitas variabelvariabel yang melalui penelitian ini diklaim sebagai leading
indicators dalam mensinyalir terjadinya krisis nilai tukar
dan krisis perbankan. Untuk peneliti selanjutnya, penelitian
terhadap EWS akan memberikan hasil yang lebih
cemerlang jika dapat menggunakan data yang sifatnya
bulanan. Selain itu, penelitian terhadap EWS dapat
berfokus kepada salah satu pendekatan, apakah parametrik
ataupun non-parametrik. Jika peneliti berikutnya memilih
[ 81 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
menggunakan pendekatan non-parametrik, disarankan
untuk meneliti variabel indikator dalam lingkup yang lebih
spesifik lagi karena tidak ada keterbatasan dalam jumlah
indikator yang diobservasi jika menggunakan pendekatan
ini.
REFERENSI
Cheang,Nicholas.Early Warning System for Financial Crises.
Research and Statistics Department, Monetary
Authority of Macao
Davis, E. P. 2001. A Typology of Financial Instability.
Oesterreichsche National
Davis, E. P. and D. Karim, 2008. Comparing early warning
systems for banking crises. Journal of Financial
Stability, 4: 89-120.
Demirguc-Kunt,
A.
And
E.
Detrgiache.1997.The
Determinants of Banking Crises in Developing
andDeveloped Countries. IMF Working Paper : 106.
Diamond, Douglas W danRaghuram G Rajan. 2003.Liquidity
Shortages and BankingCrises. NBER WorkingPaper
Series, WP No. 10071,
Diamond, Douglas W.,and Philip H.Dybvig,1983,”Bank
Runs,Deposit Insurance, and Liquidity,”Journal of
Political economy,Vol.91 (June),pp.401-19
Kaminsky,G and C.M. Reinhart. 1999.The Twin Crisis: The
Causes of Banking Crises and Balance Of Payment
Problems.The American Economic Review: June.
pp.473-500
Kaufman, George G., 1988, Bank Runs: Causes, Benefits and
Costs. Cato Journal 2, no. 3 (Winter): 559-88.
[ 82 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
PENGARUH BANK ASING TERHADAP PERBANKAN
DOMESTIK DI INDONESIA: STUDI KASUS DALAM
MENGHADAPI MEA 2015
Nurul Hazizah dan Rista Fitriany
Prolog
Interaksi ekonomi merupakan bagian terpenting
dalam kegiatan ekonomi antar negara. Interaksi ekonomi
dapat dilakukan dalam hal perdagangan dan kerja sama
lainnya yang bersifat saling menguntungkan. Semakin
banyak suatu negara berinteraksi dengan negara lain akan
mengarah pada semakin terbukanya perekonomian negara
tersebut. Semakin terbukanya suatu perekonomian negara
ditunjukkan dengan interaksi ekonomi antar negara
melalui perdagangan internasional baik secara bilateral
maupun multilateral. Hal ini terjadi ketika suatu negara
berada dalam kondisi ketika perminataan terhadap barang
dan jasa yang diproduksi dalam negeri semakin tinggi dan
tidak dapat terpenuhi di pasar domestik. Hubungan
bilateral dan multilateral terjadi ketika suatu negera
memiliki visi dan misi yang sama untuk menjaga stabilitas
perkeonomian yang menjadi syarat bagi pertumbuhan
ekonomi. Visi misi yang sama dalam kedua hubungan
tersebut ditunjukkan dengan negara-negara yang
tergabung dalam anggota ASEAN yang meliputi: Indonesia,
[ 83 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Singapura, Malaysia, Brunei Darusallam, Laos, Thailand,
Vietnam, Philipina, Myanmas, dan Kamboja. MEA bertujuan
untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang
ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi,
tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal
secara lebih bebas. Tujuan daripada keberadaan ASEAN
lebih jelasnya dapat ditunjukkan dalam empat pilar ASEAN.
Selain itu keberadaan MEA juga diinspirasikan akan
berwujud suatu area perekonomian yang sangat kompetitif,
suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang
mampu berintegrasi secara penuh dengan perekonomian
global (Roadmap for ASEAN Economic Community, 2009).
MEA merupakan tujuan akhir dari intergrasi ekonomi yang
dicapai msyarakat ASEAN yang tercantum dalam visi
ASEAN 2020, yang memperjelas bahwa kepentingan dari
negara-negara anggota ASEAN adalah untuk memperdalam
dan memperluas integrasi ekonomi.
[ 84 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
4 Pilar ASEAN Economic Community
Terbentukknya
Pasar dan Basis
Produksi Tunggal
- Bebas arus barang
jasa
- Bebas investasi
- Bebas tenaga kerja
dan
arus
permodalan
- Priority
integration sector
(PIS)
- Pengembangan
sektor
food
agriculture forestry
Kawasan
Berdaya Saing
Tinggi
- Kebijakan
persaingan
- Perlindungan
konsumen HKI
- Pembangunan
infrastruktur
- Kerjasama
energi
- Perpajakan
- E-comerce
Kawasan
dengan
Pemabangun
an Ekonomi
yang Merata
- Pembanguna
n UMKM
- Mempersem
pit
kesenjangan
pembanguna
n
antar
negara
ASEAN
Gambar 10: Pilar ASEAN Economic Community (AEC)
[ 85 ]
Integrasi
dengan
Perekonomian
Dunia
- Pendekatan
koheren
terhadap
hubungan
ekonomi
eksternal
- Partisipasi
yang semakin
meningkat
dalam jaringan
suplai global
Sketsa Ekonomi Indonesia
Keterbukaan suatu perekonomian akan berorientasi
keluar, inklusif, dan bertumpu pada kekuaatan pasar. Hal
ini merupakan prinsip dasar dalam upaya pembentukan
komunitas
masyarakat
ekonomi
ASEAN
yang
ditransformasikan menjadi sebuah pasar tunggal dan basis
produksi. Sehingga kawasan ini menjadi kawasan yang
sangat kompetitif, kawasan dengan pembangunan ekonomi
yang merata, dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh
dengan perekonomian global. Terbentukanya pasar tunggal
dan basis produksi, terdapat lima elemen inti yang
mendasari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu a)
pergerakan bebas barang; b) pergerakan bebas jasa; c)
pergerakan bebas investasi; d) pergerakan bebas modal,
dan e) pergerakan bebas pekerja terampil. Selain itu
terdapat komponen penting lainnya yaitu sektor integrasi
prioritas yang terdiri dari dua belas sektor (produk
berbasis pertanian, transportasi udara, otomotif,
elektronik, perikanan, pelayanan kesehatan, logistik,
produk berbasis logam, tekstil, pariwisata, dan produk
berbasis kayu) dan sektor pangan, pertanian dan
kehutanan.
Lima elemen diatas merupakan salah satu indikator
perdagangan internasional baik dalam bentuk barang
ataupun jasa. Fokus pembahsan dalam penulisan makalah
ini berangkat dari perdagangan internasional di industri
jasa di sektor perbankan yang saat ini banyak menjadi
perbincangan
diberbagai
ekonomi.
Tergabungnya
Indonesia dalam wilayah negara ASEAN menjadi pemicu
negara-negara anggota untuk melakukan kerja sama dalam
[ 86 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
lingkup masyarakat ekonomi ASEAN khususnya dalam
sektor perbankan yang memberikan modal atau investasi
di Indonesia. Dimana bank merupakan lembaga keuangan
perantara (intermediary) yang dapat menghimpun dan
mengalokasikan dana dari atau kepada masyarakat. Kinerja
individual bank maupun sistem perbankan secara
keseluruhan sangat ditentukan oleh perilaku bank dalam
mengelola asset (penempatan dana) dan liabilitas
(penghimpunan dana). Menurut UU Perbankan Nomor 10
Tahun 1998 yang dijelaskan oleh Kasmir (2008:27), bank
memiliki beberapa jenis dilihat dari segi kepemilikannya
diantarnya: a) Bank miliki pemerintah,yaitu bank yang
dimiki pemerintah baik akta pendirian, modal, dan seluruh
keuntungannya, b) Bank milik swasta nasional, merupakan
bank yang dimiliki oleh swasta nasional, baik seluruh atau
sebagian besar modal, akta pendirian, dan keuntungannya,
c) Bank milik asing, merupakan cabang dari bank yang ada
di luar negeri. Cabang tersebut dapat merupakan milik
swasta asing maupun pemerintah asing suatu negara, dan
d) Bank milik campuran, ialah bank yang kepemilikan
sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta
nasional. Berbagai jenis bank dari segi kepemilikannya
yang ada di Indonesia telah memicu terjadinya persaingan
antar bank yang secara tidak langsung telah memberikan
dampak baik positif maupun negatif. Keberadaan Bank
Asing yang masuk di Indonesia telah memberikan bayingbayang bagi perekonomian Indonesia. Munculnya bank
asing telah memberikan respon pro-kontra, dimana ketika
kondisi perekonomian mengalami perlambatan, peran
[ 87 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
modal asing sangat diperlukan untuk memberikan aksi
ekspansi. Karena investasi telah dibuka lebar-lebar oleh
pemerintah sehingga mempermudah masuknya modal
asing di Indonesia. Namun disisi lain masukknya modal
asing juga membawa ketakutan bagi sektor domestik yang
dianggap akan mengancam keberadaan industri lokal.
Keberadaan modal asing dalam industri perbankan
telah menjadi sorotan baru bagi masyarakat luas. Sebab hal
ini bukan dalam permasalahan seberapa besar investor
asing yang berinvestasi pada bank nasional melainkan
seberapa besar modal asing dalam menguasai struktur
permodalan. Sebagian besar bank yang ada di Indonesia
telah dikuasai oleh bank asing, namun peran bank asing
dalam perekonomian nasional masih belum optimal dan
tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka dapatkan
atas investasinya di Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan
pada gambar di bawah ini, bahwa penguasaan aset dan
pengucuran kredit di perbankan Indonesia hampir dikuasai
ooleh modal asing.
Dominasi asing yang
Gambar 11: Penguasaan Aset dan Pengucuran Kredit Sektor
Perbankan Tahun 2011
[ 88 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Kuatnya kepemilikan asing pada suatu bank
berpotensi menghambat berlangsungnya praktik good
governance dan proses pengawasan pada bank yang
bersangkutan.
Dominasi
asing
juga
berpotensi
menghambat proses transmisi kebijakan moneter yang
pada akhirnya bersifat kontraproduktif bagi pertumbuhan
ekonomi nasional. Dengan demikian diperlukannya
kebijakan bank central untuk mendorong perutumbuhan
bank domestik nasional agar tidak kalah saing dengan
bank-bank asing yang masuk di Indonesia. Maka dari itu,
berangkat dari latar belakang dan permasalahan inilah
penulis berinisiatif untuk mengkaji kembali bagaimanakan
pengaruh bank-bank asing yang masuk di Indonesia seiring
dengan menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN
kedepannya, dan kebijakan atau srategi apa yang dapat
dilakukan pemerintah untuk menanggapi permaslahan
atau pengaruh yang ada untuk siap dalam mengahadapi
masyarakat ekonomi ASEAN yang akan datang. Dengan
demikian, tujuan daripada penulisan makalah ini yaitu
mengetahui pengaruh masuknya bank asing terhadap
sektor perbankan di Indonesia serta memberikan strategi
bagi pemerintah dan para pembuat kebijakan lainya
terkait bank asing di Indonesia.
Perkembangan bank asing yang masuk di Indonesia
telah memberikan pemahaman positif maupun negatif.
Beberapa ekonom mengatakan bahwa keberadaan
masuknya lembaga keuangan asing cenderung membawa
keuntunga pada host country namun hal itu perlu dukungan
dari pembuat kebijakan untuk menerima lembaga-lembaga
[ 89 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dalam bentuk anak perusahaan dan bank campuran, dan
berpaling dari model offshore institusional dan kantor
cabang (Claessens, Demirguc-Kunt, and Huizinga, 1999)
and Demigurc-Kunt, Levin and Min, 1998). Namun,
masuknya bank asing juga membawa ketakutan sektor
domestik. Kehadiran asing dianggap bisa mengancam
keberadaan industri lokal. Banyaknya modal asing yang ada
diindonesia menjadikan ketatnya arus sektor perbankan di
Indonesia. Regulasi yang telah ditetapkan Bank Indonesia
mengenai kepemilikan saham asing di Industri perbankan
sebesar 99% dijadikan sebagai peluang bank asing dan
memanfaatkanya dalam menanamkan modal asing yang
mengakibatkan semakin kuatnya dan semakin leleuasanya
bank asing dalam mengembangkan produk dan kebebasan
membuka bank asing baru.a Selain itu, dampak lain dari
masuknya bank asing ke Indonesia adalah kian gencarnya
bank asing mengucurkan kredit ke segmen konsumer,
seperti kredit kendaraan bermotor, kredit perumahan,
kredit multiguna, kredit tanpa agunan dan kartu kredit.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kredit konsumtif adalah
salah satu segmen yang paling menggiurkan bagi
perbankan, karena perbankan dapat mematok bunga kredit
yang sangat tinggi dengan potensi loss yang kecil. Hal ini
menjadi kekhawatiran karena saat ini pemerintah justru
membutuhkan sumber pembiayaan untuk infrastruktur
dan investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi,
bukannya sumber pembiayaan untuk mendorong
masyarakat agar lebih konsumtif.
[ 90 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Strategi sangat diperlukan untuk mengatasi
permasalahan bank asing yang masuk di Indonesia, yang
diharpkan keberadaan bank asing tidak menguasai
perbankan domestik dan juga bank asing dianggap telah
memberikan kerugian bagi bank-bank lainnya yang ada di
Indonesia. Menjelang MEA 2015 dianggap sebagai peluang
dan ancaman sehingga diperlukan penanganan serius yang
dilakukan diberbagai pihak. Salah satu pemberi kebijakan
adalah Bank Indonesia yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas harga (inflasi) dan nilai tukar untuk menjaga daya
saing produk ekspor Indonesia yang akan mendukung iklim
ekonomi yang kondusif bagi bisnis. Salah satu langkah yang
dapat dilakukan pemerintah dan pemberi otoritas adalah
mengoptimalkan asaz resiprokal. Dengan diterapkannya
azas resiprokal bagi sesama perbankan dan sesama negara,
akan memberikan peluang dalam mengembangkan bankbank nasional dan lebih melindungi kepentingan di industri
perbankan nasional khusunya di Indonesia. Sehingga
peluang investor asing untuk masuk di industri perbankan
masih terbuka. Namun, pihak luar negeri telah
membentengi bank nasionalnya dengan memberikan
berbagai policy yang mempersulit masuknya bank asing ke
negaranya. Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
diharapkan menangani masalah atas penguasaan asing di
Indonesia. Pemerintah dan DPR memperbaiki aturan
kepemilikan asing pada sektor perbankan di Indonesia,
terutama OJK. Kondisi saat ini kewajiban yang harus
dilakukan oleh bank nasional tidak diwajibkan untuk bank
asing. Hal tersebut perlu menjadi acuan DPR dan
[ 91 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pemerintah dalam merumuskan RUU Perbankan serta bagi
OJK dalam mengeluarkan policy. Kabijakan pengurangan
kepemilikan saham bank asing dapat dilakukan jika
diberlakukan aturan yang jelas pada RUU perbankan
mengenai kewajiban dan aturan ditetapkan di bank
domestik diberlakukan di bank asing yang ada sebelum
RUU perbankan di sahkan.
Diberlakukannya
aturan
pemerintah
yang
mendorong kelonggaran negara asing yang masuk di
Indonesia telah memberikan keuntungan bagi negara asing
untuk memanfaatkan keuntungnya yaitu dengan
memasukkan bank asing yang mengacu pada sektor
perbankan yang mengarah pada market Indonesia. Ruang
lingkup atas keberadaaan bank asing yang masuk di
Indonesia seharusnya diperlukan aturan akan layanan
bisnis bank asing. Tidak adanya perbedaan tentang
spesifikasi garapan antara bank nasional dan bang asing
akan membuat bisnis perbankan kurang menguntungkan
bagi perbankan domestik khususnya Indonesia. Perbedaan
produk yang harus digarap bank asing yaitu layanan bank
yang belum bisa digarap oleh perbankan nasional. Misalnya
tidak hanya berfokus pada costumer good melainkan
menggarap layanan lain seperti menggarap infrastruktur
dan investasi. Dalam perkembangan yang ada di Indonesia
salah satu yang sudah dilakukan adalah bank campuran
yang hanya menjalankan usaha bank pembangunan namun
hanya bergerak di Jakarta. Hal ini dapat memicu
pemerintah untuk lebih mengembangkan peraturan
[ 92 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
perbedaan produk layanan antara bank nasional dan bank
asing.
Epilog
Perdaganagan Internasional mengarah pada semakin
luasnya kerjasama antar negara baik secara bilateral dan
multirateral. Salah satu Kerjasama bilateral adalah
kerjasama kawasan ASEAN. Setiap anggota ASEAN
melalukan perdagangan Internasional untuk memenuhi
kebutuhan barang dan jasa yang belum terpenuhi oleh
produk dalam Negeri. Integrasi ASEAN terbaru adalah
perjanjian perdaagangan bebas yang dapat disebut ASEAN
Economic Community. Perdagangan bebas ini dilakukan di
berbagai sektor baik jasa maupun barang. Salah satu sektor
jasa adalah sektor jasa keuangan di Industri Perbankan.
Keberadaan MEA akan mengakibatkan tidak terbatasnya
perbankan asing yang masuk ke dalam negeri khususnya di
Indonesia. Semakin banyaknya perbankan asing
disebabkan juga oleh peraturan pemerintah yang
memberikan kelonggaran pada Bank asing untuk bebas
dalam memberikan modal di bank domestik. Regulasi baru
mengenai pengaturan kepemilikan saham asing di
Indonesia sebesar 99% menjadikan bank asing lebih
bersemangat untuk memperbanyak modal di Indonesia.
Masuknya Bank Asing di Indonesia hingga saat ini masih
menuangkan pro kontra yang semakin banyak. Masuknya
bank asing dianggap memberika keuntungan pada host
country namun harus ada dukungan pemerintah untuk
menerima lembaga tersebut. Keluar masuknya perbankan
[ 93 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
di
suatu
negara
menjadikan
peluang
untuk
mengoptimalkan azas resiprokal yaitu memberikan
peluang bank-bank nasional untuk tumbuh menjadi lebih
besar. Disisi lain, peluang investor asing untuk masuk ke
industri perbankan nasional pun tetap terbuka. Namun
kondisi dari pihak luar negeri sudah jelas membentengi
bank nasionalnya dengan berbagai policy yang mempersulit
masuknya bank asing ke negaranya. Pengalihan dan
Munculnya OJK yang bersinergi dengan Bank Indonesia dan
LPS beserta Pemerintah dan DPR dapat memperbaiki
aturan kepemilikan asing pada sektor perbankan di
Indonesia. Kabijakan pengurangan kepemilikan saham
bank asing dapat dilakukan jika diberlakukan aturan yang
jelas pada RUU perbankan mengenai kewajiban dan aturan
yang ditetapkan pada bank domestik juga diberlakukan di
bank asing yang ada sebelum RUU perbankan disahkan.
Strategi lain yang dapat dilakukan oleh pembuat
kebijakan adalah mengenai layanan bisnis bank asing.
Kenyataaan yang ada bank asing juga memberikan dan
mengeluarkan proyeksi/produk yang hamper sama dengan
bank domestik hal itu akan mengurangi keuntungan bagi
bank domestik. Pemisahan layanan bisnis antara bank
asing dan bank doomestik perlu dilakukan, jika bank asing
juga melakukan pelayanan dalam bentuk customer good
maka dapat dikatakan sama layanan sehingga daya saing
kedua bank semakin ketat. Bank Asing dapat memberikan
pelayanan selain yang dilakukan oleh bank domestik
seperti berfokus pada infrastruktur dan investasi saja.
Dengan demikian masyarakat harus dapat membedakan
[ 94 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
produk mana yang dapat mendukung perekonomian
domestik dan tetap dapat menegembangkan potensi diri
untuk bersaing di pasar internasional. Bagi pemerintah
perlunya peraturan dan pengetatan atas instrument yang
telah ditetapkan agar tidak merugikan negara baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Pemerintah harus
dapat mengestimasi resiko yang akan diperoleh atas
strategi yang akan dilakukan dan dapat memperhatikan
strategi yang telah peneliti rekomendasikan.
REFERENSI
Demirgüç-Kunt, Aslι and Harry Huizinga, 1999. Determinants
of commercial bank interest margins and
profitability: some international evidence.World
Bank Economic Review, Vol. 13. No 2, 379-408
Fathony Moch. 2012. Estimasi dan Faktor-faktor yang
mempengaruhi efisiensibank Domestik dan Asing
Di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Perbankan
Vol.16, No 2 Mei 2012 hlm 223-237
Fikri Muhammad. 2012. Realita Sektor PErbankan Nasional
Ditengah Ekspansi
Kasmir, 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,
Jakarta : Raja Grafindo Outlook Ekonomi Indonesia
.2008 - 2012, Edisi Januari 2008.
Roadmap for an ASEAN Community. 2009 -2015
Sarwedi.1767. Investasi Langsung di Indonesia Dan Faktor
Yang
Mempengaruhinya.
Fakultas
Ekonomi:
Universitas Jember
Susilo, Y.Sri, Sigit Triandaru, dan A. Totok Budi Santoso,
2000. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,
Cetakan Pertama, Penerbit-Salemba Empat, Jakarta.
www.bi.go.id
[ 95 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
BIAYA MARKET POWER PERBANKAN ASING
DI INDONESIA:
COST INEFFICIENCY AND WELFARE LOSS
Mela Yunita dan Hudi Darmawan
Prolog
Globalisasi yang terjadi pada saat ini membuka
kesempatan seluas mungkin pada mobilitas modal, barang,
jasa, ataupun perusahaan-perusahaan untuk bergerak
antar negara. Kerjasama regional yang dijadwalkan akan
semakin massive dilakukan pada tahun 2015 di kawasan
ASEAN sebagai akibat dari diberlakukanya ASEAN
Economic Comunity (AEC) 2015. Kerjasama regional ini juga
diikuti dengan berdirinya perusahan Asing di Indonesia.
Konsekuensinya Indonesia kini mendapat serangan
dari perbankan asing yang berbondong-bondong datang ke
Indonesia. Laporan Data Finance Database (2012)
menunjukan bahwa Singapura dan Indonesia adalah dua
negara dengan proporsi jumlah bank asing tertinggi
dibandingkan negara-negara ASEAN lainya. Indonesia
mencapai 55% dan singapura 52%, sedangkan Filipina dan
Thailand hanya dikuasai oleh sekitar 13 persen dan 19%
bank asing.
Besarnya porsi bank asing di Indonesia lebih dari
setengah dari total perbankan nasional, bukan tanpa resiko,
[ 96 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
peningkatkan peluang penularan krisis (contagion effect)
dari negara asal bank asing akan semakin tinggi. Masalah
lain adalah suku bunga kredit yang sulit turun akibat dari
penguasaan asing di sektor keuangan yang membuat
kebijakan dan industri keuangan sulit mendorong suku
bunga kredit turun (HIMPI, 2013). Regulasi yang berlaku di
Indonesia memang memberikankelonggaran dalam
mengatur kepemilikan asing di indonesia. PBI No.
14/08/2012 membatasi kepemilikan asing pada bank di
Indonesia 40 persen, sebelumnya diijinkan sampai pada 99
persen. Akibatnya sebelum regulasi tersebut diterapkan
bank asing bebas menguasai market share di Indonesia,
termasuk izin pembukaan cabang sampai ke desa.
Pada tahun 2015, AEC akan mendorong terciptanya
perekonomian yang semakin terintegrasi bahkan sampai
pada sektor perbankan dimana mendorong financial
integration semakin massive terjadi. Bila integrasi
perekonomian membawa kebebasan bagi bank-bank asing
untuk masuk Indonesia, maka jumlah perbankan asing di
Indonesia akan meningkat. Sejalan dengan hal tersebut,
maka setidaknya hipotesis yang dapat diajukan bahwa
market power pada bank-bank asing tersebut akan
meningkat.
Ketika bank asing menguasai market share perbankan
di Indonesia, akan memberikan dampak bagi pasar
keuangan dan kesejahteraan nasabah. Hal ini dibuktikan
dari tingginya suku bunga yang sulit turun sebagai akibat
dari penguasaan bank-bank asing tersebut. Beberapa teori
dan penelitian banyak mengkaji mengenai dampak dari
[ 97 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
kekuatan pasar. Kerugian atau social cost diukur dengan
menggunakan welfare triangle yaitu mengukur selisih
antara hilangnya surplus konsumen terhadap keuntungan
dari surplus produsen (Jarrah dan Hisham, 2009). Sejalan
dengan hal tersebut, Berger dan Hannan (1998)
menemukan bahwa adanya pengurangan kompetisi pada
pasar perbankan di United States akan menghasilkan
pengurangan pada efisiensi biaya operasi yang ada.
Adanya penurunan kompetisi mengakibatkan
terjadinya inefisiensi biaya dinyatakan oleh Hiks,
menyebutkan bahwa market power yang tinggi pada
perusahaan akan mengakibatkan berkurangnya usaha
manajer untuk memaksimalkan efisiensi operasionalnya.
Quiet life hypotesis adalah bentuk kekuasaan monopoli
dimana manajer bebas untuk menetapkan harga diatas
biaya
marginal
dan
mengurangi
usaha
untuk
memaksimalkan efisiensi biaya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, banyak
rekomendasi untuk melakukan uraian terhadap market
power khususya di sektor perbankan, salah satunya oleh
Maudos dan Guevara (2007), yang menyatakan bahwa
market power diterjemahkan sebagai peningkatan biaya
intermediasi keuangan, serta volume yang lebih rendah
dari tabungan dan investasi, sehingga akhirnya
menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Carlsson (1972) serta Caves dan Barton (1990)
menemukan bahwa inefisiensi biaya di masing-masing
bank berbeda, tergantung pada produk differensi,
teknologi, geografis, dan lain-lain. Kemudian penelitian
[ 98 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
yang dilakukan oleh Williamson (1963) dan Leibsein
(1966) menemukan bahwa adanya perbedaan biaya yang
sangat besar sebagai akibat dari adanya inefisiensi.
Sedangkan pada Scherer (1970) berspekulasi bahwa biaya
inefisiensi sebagai akibat dari adanya market power sekitar
10% lebih tinggi dibandingkan dengan kerugian yang
diakibatkan oleh mispricing yang diukur melalui welfare
triangle.
Di Indonesia, perbankan memiliki peran penting
dalam perekonomian terutama dalam sistem pembayaran
moneter. Adanya perbankan menyebabkan aktivitas
ekonomi dapat diselenggarakan dengan biaya yang rendah
(Guitan dan George, 1997). Pada perkembanganya, sektor
perbankan
memainkan
peranan
penting
dalam
pembangunan ekonomian di Indonesia. Perbankan
berfungsi untuk memobilisasi dana dari masyarakat
melalui lembaga keuangan yang kemudian disalurkan
dalam bentuk kredit untuk menggerakan perekonomian.
Sejak dilaksanakanya deregulasi perbankan di
Indonesia tahun 1983 mengakibatkan peningkatan
persaingan. Deregulasi perbankan Indonesia telah
menciptakan adanya liberalisasi bank di Indonesia,
ditandai dengan peningkatan jumlah perbankan dari 111
menjadi 240 bank pada tahun berikutnya. Peningkatan
jumlah perbankan tersebut mengakibatkan tingkat
persaingan menjadi lebih tinggi dan mengurangi
konsentrasi pasar pada beberapa bank besar yang
sebelumnya menguasai pasar (Nayla, 2010).
Classen dan Leaven (2004), mengestimasikan tingkat
[ 99 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
kompetisi pada 50 negara di dunia termasuk Indonesia
dengan menggunakan Panzar-Rosse selama periode 19942001, hasilnya diketahui bahwa struktur industri
perbankan di Indonesia termasuk dalam kategori
monopolistic competition. Hasil penelitian tersebut juga
didukung oleh Styowati (2004) menyatakan bahwa situasi
perbankan Indonesia secara keseluruhan adalah
monopolistic competition. Namun Lubis (2012) menyatakan
bahwa perbankan di Indonesia relatif masih belum
kompetitif.
Dinamika Perkembangan Market Power pada Teori QLH
Kondisi perbankan di Indonesia mulai menunjukan
adanya persaingan sejak awal tahun 1983 setelah
deregulasi perbankan resmi diberlakukan. Liberalisasi
sektor perbankan tersebut bertujuan untuk menciptakan
terjadinya banking soundness. Paket deregulasi 1983
menghapuskan adanya kontrol langsung disektor moneter
sehingga mendorong peningkatan mobilitas dana dan
efisiensi alokasi sumber daya perbankan. Paket deregulasi
tersebut semakin dikokohkan eksistensinya dengan
dikeluarkanya paket deregulasi 1988 dengan memberikan
kemudahan pembukaan kantor cabang, pendirian bank
baru, dan penurunan reserve requirement. Dengan adanya
kemudahan dalam hal izin mendirikan bank, banyak orang
yang berbondong-bondong mendirikan bank di Indonesia.
Hal ini tentunya telah merubah struktur pasar industri
perbankan di Indonesia (Sunarsip, 2003).
Setelah diberlakukanya pakto 1988 jumlah bank
[ 100 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tumbuh dengan pesat namun mengalami penurunan
setalah periode krisi ekonomi tahun 1997-1998. Jumlah
perbankan indonesia pada tahun 1998 mencapai 208
dengan kantor cabang berjumlah ribuan, sedangkan pada
tahun 2006 mengalami penurunan jumlah bank menjadi
130 bank namun sebaliknya terjadi peningkatan kantor
cabang sebanyak 9110. Adanya penurunan jumlah bank
diakibatkan oleh adanya pencabutan ijin usaha dan merger
bank (Kusumastuti, 2008). Sedangkan komposisi bank
tersebut terdiri dari 5 bank persero, 26 bank pembangunan
daerah, 35 bank umum swasta nasional devisa, 36 bank
umum swasta non-devisa, 17 bank campuran, dan 11 bank
asing (Bank Indonesia, 2006).
Kemudian dalam rangka meningkatkan kinerja
industri perbankan di Indonesia yang lebih baik, sehat dan
stabil maka diterapkan adanya Arsitektur Perbankan
Indonesia (API). Penerapan API notabene menyebabkan
terjadinya gelombang merger pada beberapa industri
perbankan di Indonesia. Merger yang terjadi antar bank
akan menimbulkan terjadinya industri yang semakin
terkonsentrasi yang ditandai dengan semakin sedikitnya
jumlah bank yang ada di dalam pasar. Rendahnya
persaingan antar bank yang disebabkan oleh pasar yang
terkonsentrasi semakin meningkatkan resiko kerugian
sebagai akibat dari kemungkinan kolusi yang semakin
besar akibat pasar dengan konsentrasi yang tinggi
(Kusumastuti, 2008).
Sutardjo dkk (2011) melakukan investigasi terhadap
struktur pasar dan menguraian beberapa variabel yang
[ 101 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dapat mempengaruhi pendapatan perbankan Indonesia
dengan menggunakan Herfindal Indeks dan Consentration
Ratio 4 yang dilakukan sejak tahun 1999-2009 menunjukan
bahwa terjadi penurunan konsentrasi pasar perbankan
yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa
struktur pasar perbankan Indonesia memiliki ciri-ciri
persaingan pasar yang mengarah pada pasar monopolistik
dan persaingan yang terjadi adalah persaingan bebasis
suku bunga. Kemudian dalam penelitian ini juga
menemukan bahwa struktur pasar perbankan di Indonesia
tidak menunjukan perubahan sejak periode pengamatan.
World Bank menyatakan hasil yang berbeda, bahwa
market power yang ada di Indonesia menggunakan
pendekatan perhitungan indeks lerner meunjukan adanya
peningkatan market power pada perbankan Indonesia
setiap tahunnya.
Gambar 12. Indeks Lerner Perbankan Indonesia (Sumber,
Economic Research, 2013)
[ 102 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Lihat gambar 12. menunjukan bahwa indeks lerner
yang mengukur tingkat market power di perbankan
Indonesia secara umum menunjukan nilai yang relatif
semakin meningkat setiap tahunya. Kenyataan ini
menunjukan bahwa angka penguasaan pasar pada sebagian
bank-bank di Indonesia menunjukan adanya peningkatan
dari tahun ketahun, akibatnya terjadi pengurangan tingkat
persaingan di dalam persaingan yang juga berarti bahwa
pasar ada industri perbankan Indoneia semakin
terkonsentrasi.
Al-Jarrah (2009) menemukan bukti bahwa adanya
pengurangan kompetisi pasar di industri perbankan US
menghasilkan pengurangan pada efisiensi biaya operasi
yang disediakan. Adanya penurunan kompetisi yang
dinyatakan oleh Hiks mengakibatkan berkurangnya usaha
manajer
untuk
memaksimalkan
efisiensi
biaya
operasionalnya. Quiet life hypothesis adalah bentuk
kekuasaan monopoli memungkinkan manajer untuk
menetapkan harga diatas biaya marginal dan mengurangi
usaha untuk memaksimalkan efisiensi operasional.
Empat alasan market power berpengaruh terhadap
efisiensi biaya antara lain (Berger 1998): 1) Jika
konsentrasi pasar tinggi, maka perusahaan akan
menetapkan harga diatas harga kompetitif. 2) Market
power yang dimiki suatu perusahaan akan meningkatkan
untuk manajer mengejar tujuan lain selain keuntungan.
Seperti perluasan karyawan dan tindakan lain diluar
tingkah laku yang dapat memaksimalkan keuntungan. 3)
Manajer menggunakan sumber daya untuk memperoleh
[ 103 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dan mepertahankan market power. 4) Adanya bantalan
dari harga antara selisih harga yang ditentukan dengan
harga kompetitif tadi akan membuat manajer lalai untuk
memaksimalkan efisiensi biaya yang dilakukan.
Kenyataanya penguasaan bank asing terhadap bank
swasta di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
menunjukan peningkatan tajam dan semakin mendominasi
pasar. Pangsa aset bank nasional yang dimiliki pemodal
swasta lokal menurun dari 42% pada tahun 1998 tinggal
19% ditahun 2011. Sebaliknya pangsa aset bank swasta
milik asing melonjak tajam dari 0 % menjadi 21-34% pada
2011.
Pengucuran Kredit Indonesia
Aset Perbankan Indonesia
39% 34%
8%
19%
38%
37%
17% 8%
Asing
Pemda
Swasta
Pemerintah
Asing
Pemda
Swasta
Pemerintah
Gambar 13. Aset Perbankan dan Pengucuran Kredit di Indonesia
(Sumber: Bank Indonesia, 2011)
Data Bank Indonesia (2011) menunjukan bahwa rasio
Biaya operasional Pendapatan Operasional (BOPO)
perbankan di Indonesia tercatat sekitar 80% tertinggi di
ASEAN dibandingkan dengannegara ASEAN yang lain
[ 104 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
seperti Filipina 74%, Thailand 54%, Singapura 42%, dan
Malaysia 40%. Dari data tersebut diketahui bahwa
perbankan di Indonesia mengalami inefisiensi terparah di
antara negara-negara ASEAN yang lain. Selain itu
perbankan asing di Indonesia juga mepunyai efisiensi yang
lebih rendah dibandingkan dengan bank asing. Hal ini
ditunjukan oleh rasio BOPO bank domestik yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bank asing. Perbandinganya
adalah 85,4% dengan 83% artinya bank domestik
mengalami inefisiensi yang lebih besar.
Persaingan dari satu sisi memberikan keuntungan
bagi konsumen, namun bagaimana bila persaingan tersebut
kemudian dimenangkan oleh bank asing dibandingkan
dengan bank domestik? Bank asing yang memenangkan
persaingan berarti memiliki market power yang besar.
Akibatnya pasar akan terkonsentrasi pada bank-bank asing,
marginya-pun akan dikuasai oleh bank asing tersebut.
Disisi lain market power mempunyai beberapa biaya yang
ditimbulkanya, dari segi internal market powerakan
menimbulkan adanya inefisiensi biaya yang harus
ditanggung oleh bank tersebut, hal ini akan mempengaruhi
keberlangsungan dan efisiensi dari bank itu sendiri. Disisi
lain adanya market power menimbulkan adanya welfare
loss yang di tanggung oleh konsumen sebagai akibat dari
harga (tingkat bunga) yang ditetapkan diatas harga di pasar
persaingan.
[ 105 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Epilog
Pembahasan mengenai hubungan diantara market
power dan inefisiensi biaya yang dihadapi oleh perbankan
Indonesia melalui kajian teoritis maupun studi kasus
(perbandingan) memberikan hasil bahwa:
Adanya kepemilikan market power yang semakin
besar mengakibatkan terjadinya inefisiensi biaya yang
dihasilkan oleh perbankan tersebut. Kesimpulan tersebut
mendukung adanya Quiet Life Hypotesis. Namun beberapa
kasus menunjukan hasil yang berbeda. Kasus perbankan di
Eropa (Maaudos dan Guevera, 2007) menunjukan
penolakan terhadap hipotesis tersebut. Kondisi ini senada
dengan penelitian Al-Jarrah (2009) yang menolak adanya
hipotesis tersebut pada perbankan di Jordhan tahun 20012005.
Keadaan perbankan asing di Indonesia, seperti pada
pembahasan sebelumnya memaparkan bahwa bank asing
mempunyai porsi yang tinggi dalam perbankan Indonesia,
mencapai 55 persen. Selain itu fakta yang menunjukan
bahwa total kepemilikan aset pada bank-bank asing
tersebut besar, sehingga hal ini memberikan warning
adanya kepemilikan market power yang besar pula pada
bank-bank asing tersebut. Namun kesimpulan tersebut
tidak langsung memberikan bukti bahwa telah terjadi
inefisiensi biaya akibat market power. Hal tersebut masih
sangat tergantung pada pemilihan periode pengamatan dan
alat uraian yang digunakan.
Market power menghasilkan dua macam biaya yaitu
biaya inefisiensi dan welfare loss. Beberapa penelitian
[ 106 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
meunjukanbahwa besarnya biaya inefisiensi lebih besar
dibandingkan dengan biaya welfare loss. oleh karena itu,
kemungkinan hal ini juga akan terjadi padaa kasus
pengamatan pada perbankan asing di Indonesia. Alasanya
inefisiensi biaya berlaku pada setiap unit output yang
dihasilkan, sedangkan welfare loss hanya berlaku pada
setiap unit yang terkena kenaika harga yang diterima oleh
konsumen akibat dari kewenangan bank dalam
menentukan harga diatas harga kompetitif akibat dari
market power yang dimilikinya.
REFERENSI
AL-Jarrah Idries dan Gharalbah. (2009). The efficiency cost
of market power in banking: a test of the “quiet life”
and related hypotheses in the Jordan’s banking
industry. Investment Management and Financial
Innovations, Volume 6, Issue 2, 2009.
Al-Muharrami, S. & Matthews, K. (2009). Market power
versus efficient structure in Arab GCC banking Applied
Financial Economics, Vol. 19, No. 18, pp. 1487 – 1496.
Athoillah, Moh. 2010. Struktur Pasar Industri Perbankan
Indonesia: Rosse-Panzar Test. Journal of Indonesia
Applied Economics Volume. 4, No. 1 Mei 2010, 1-10.
Beccalli, E. Casu, B. And Girardone, C. 2006. Efficiency and
Stock Performance in European Banking. Journal of
Business, Finance, and Accounting Vol. 33, No. 1-2, pp.
245-262.
Berger, A., T. Hannan (1998). The Efficiency Cost of Market
Power in the Banking Industry: A Test of the “Quiet
Life” and Related Hypotheses”. Review of Economics
and Statistics 27(2), 404-43.
[ 107 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Bhatti Ghulam ali. (2010). Evidance on Structure Conduct
Performance Hypotesis in Pakistan Commercial Banks.
International Journal of Business and Management,
Vol. 5 No. 9; September 2010.
Chortareas, G.E., Garza-Garcia, J.G. & C. Girardone, C. (2009).
Banking Sector Performance in Latin America: Market
Power versus Efficiency, Centre for Global Finance,
Working Paper Series No. 01/09.
Ferreira Candida. (2012). Bank Market Concentration and
Effiency in The European Union; A Panel Granger
Causality Approach. Working Papers ASSN No. 08744548.
Ferrier, G dan Lovell, C.A.K. 1990. Measuring Cost Efficiency
in Banking: Econometric and Linear Programing.
Evidence. Journal of Econometrics, No.46, pp.229-245.
G.E. Chortareas; J.G. Garza-Garcia; C. Girardone. Banking
Sector Performance in Latin America: Market Power
Centre for Global Finance Working Paper Series (ISSN
2041/1596).
Kusumastuti, Sri Yani. 2008. Derajat Persaingan Industri
Perbankan indonesia: Setelah Krisis Ekonomi. Jurnal
Ekonomi dan bisnis Volume 23, No.1, Januari 2008.
Manthos D Delis and Efthymios Tsionas. 2009. The joint
estimation of bank-level market power and efficiency.
MPRA Paper No. 14040, posted 13. March 2009 06:16
UTC,
Online
at
http://mpra.ub.unimuenchen.de/14040/
Martin Stephen. 1993. Industrial Economics (Economic
Analysis and Public Policy, Second Edition). New York:
Macmillan PublishingCompany
Maudos, J. and J. Guevara (2007). The Cost of Market Power
in Banking: Social Welfare loss vs. Cost Efficiency.
Journal of Banking & Finance, 31
[ 108 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Mensi Sami. (2010). Efficiency Structure Versus Market
Power: Theory and Empirical Evidance. International
Journal of Economics And Financial, Vol. No.4;
November 2010
Naylah Maal. (2010). Pengaruh Struktur Pasar Terhadap
kinerja Industri Perbankan Indonesia. Tesis,
Universitas Diponegoro Semarang
Sutardjo dkk. 2011. Struktur Pasar Perbankan Indonesia
dalam Periode konsolidasi. Jurnal manajemen dan
Agribisnis, Volume 8, No. 2 oktober 2011
[ 109 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
BAURAN KEBIJAKAN MONETER DAN
MAKROPRUDENSIAL DI INDONESIA
Achmad Fawaid Hasan dan Pamungkas Candrono
Prolog
Bank Indonesia sebagai salah satu otoritas moneter,
saat terjadinya krisis ekonomi dan keuangan tahun 2008
merupakan kejadian penting yang dapat digunakan
refleksi, pengalaman dalam pengambilan kebijakan dan
melakukan penyesuaian-penyesuaian atas apa yang
dilakukan selama ini (Agung, 2010). Sedangkan menurut
Taylor (2014) terjadinya krisis 2008 dapat digunakan
sebagai pembelajaran antara sistem keuangan dan siklus
bisnis riil. Hal itu sejalan atas apa yang ditanyakan oleh
Maddaloni (2013), bahwa adanya krisis tahun 2008
memunculkan pertanyaan bagaimanakah kebijakan
moneter tersebut mempengaruhi stabilitas perbankan.
Pelajaran yang dapat dipetik mempunyai implikasi
yang penting bagi perbaikan-perbaikan atas kerangka
kebijakan moneter yang selama ini kita pahami dan kita
gunakan. Pelajaran yang paling berharga dari krisis
ekonomi global bagi otoritas moneter adalah bahwa upaya
menjaga stabilitas perekonomian makro tidak cukup
dengan menjaga stabilitas harga. Pelajaran ini muncul
karena fakta menunjukkan bahwa ketidakstabilan
[ 110 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
makroekonomi yang terjadi dalam beberapa dekade
terakhir semakin banyak bersumber dari sektor keuangan.
Menurut Quint (2011) mengatakan terjadinya krisis tahun
2008 bersumber dari tidak tepatnya kombinasi kebijakan
moneter yang menyebabkan pertumbuhan kredit yang
tinggi pada sektor perumahan yang selanjutnya
menyebabkan prosiklikalitas sektor keuangan.
Krisis global yang baru kita lewati, krisis yang
bermula di sektor keuangan terjadi ketika dunia berhasil
mencapai prestasi terbaiknya dalam menjaga stabilitas
harga dan pertumbuhan ekonomi. Banyak yang mengklaim
bahwa bahwa era great moderation ini sebagai buah dari
semakin kuatnya kerangka kebijakan moneter di negara
maju dan berkembang, ditandai dengan tren digunakannya
Inflation Targeting Framework dan didukung bank sentral
yang independen. Inflation Targeting Framework (ITF)
merupakan merupakan kerangka kerja kebijakan moneter
yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang
secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan (Bank
Indonesia, 2005).
Namun, stabilitas harga ternyata tidak menjamin
stabilitas keuangan dan makro-ekonomi (Lima, 2012).
Faktanya, justru seringkali mendorong risiko terjadinya
pertumbuhan kredit yang berlebihan dan terciptanya
gelembung harga aset yang didorong oleh perilaku
search for yield yang berlebihan (Agung, 2010). Sebuah
kondisi yang sering disebut sebagai suku bunga rendah
yang berlangsung lama telah menciptakan moral hazard
[ 111 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
dari pelaku pasar terhadap risiko makroekonomi dan
merasa risiko dari sisi makroekonomi ini sudah dijamin
oleh bank sentral yang kredibel, sehingga cenderung
mengejar aset-aset yang lebih berisiko dengan imbal hasil
yang lebih tinggi.
Di Indonesia, dalam satu dekade terakhir ini,
tekanan terhadap stabilitas makroekonomi juga semakin
sering bersumber dari sektor keuangan. Krisis Asia
yang menghantam Indonesia juga bermula di sektor
perbankan dan sektor korporasi yang over-leverage
dipicu oleh optimisme yang berlebihan dan moral hazard
yang timbul dari akhir tahun 2008 juga lebih banyak
disebabkan oleh faktor-faktor di sektor keuangan,
daripada karena ketidakseimbangan internal dan eksternal
di perekonomian makro kita. Inflasi ketika itu berada
dalam tren menurun, neraca berjalan juga berada dalam
kondisi surplus. Namun, arus modal masuk yang
sebelumnya cukup tinggi mengering secara tiba-tiba. Risiko
antar bank meningkat, likuiditas mengetat, pertumbuhan
kredit turun secara drastis dari 38% di akhir triwulan
III-2008 menjadi 10% di akhir tahun 2009
(Bank
Indonesia, 2007).
Fenomena krisis tahun 2008 yang disebabkan oleh
sektor keuangan memberikan implikasi bahwa perlunya
mengintegrasikan aspek makroprudensial ke dalam
kebijakan
moneter. Bauran kebijakan tersebut akan
membawa implikasi
pada
perlunya
melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap kerangka kebijakan
moneter dan secara otomatis hal ini akan berdampak pada
[ 112 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
bentuk kebijakan moneter dalam menstabilkan harga.
Sebagaimana yang yang telah dipaparkan oleh Lima (2012)
bahwa interaksi kebijakan macroprudential dan moneter di
perlukan dalam menjaga kestabilan makro ekonomi.
Menurut Claessens (2013) mencatat bahwa kebijakan
moneter tidak dapat berdiri untuk kestabilan keuangan
karena ketidakstbilan keuangan selalu tidak dapat
dihubungkan dengan tingkat suku bunga dan tingkat
liquiditas, selanjutnya dalam tulisan Jansson (2014)
menjelaskan
instrumen
yang
digunakan
dalam
macroprudential dalam prespektif Inflation Targeting
Framework yaitu salah satunya melalui capital buffer.
Isu yang menarik dari paper ini yaitu bagaimana
memasukan kebijakan makroprudential kedalam kerangka
kebijakan moneter yang fleksibel dengan tujuan akhir
kestabilan makroekonomi. Berdasarkan isu tersebut, maka
dapat didekomposisikan menjadi beberapa uraian
pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana dampak kebijakan
makroprudential terhadap kerangka kebijakan moneter
dan Bagaimana integrasi kebijakan makroprudential dan
moneter dalam mempengaruhi stabilitas sistem keuangan
dan harga.
Prosiklikalitas Sistem Keuangan di Indonesia
Prosiklikalitas sistem keuangan yang berlebihan
menciptakan
ketidakstabilan
makroekonomi.
Berulangnya episode krisis dan peran sektor keuangan
dalam memperburuk krisis yang terjadi mengharuskan
Bank Indonesia untuk secara serius memikirkan
[ 113 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
kebijakan untuk memitigasi prosiklikalitas dari sistem
keuangan di Indonesia. Di banyak negara emerging,
seperti Indonesia, mengelola prosiklikalitas dari sistem
keuangan
pada
dasarnya
adalah
mengelola
prosiklikalitas sektor perbankan karena perekonomian
masih sangat tergantung pada perbankan sebagai
sumber pembiayaan investasi.
Sebagai contoh, selama periode ekspansi, PDB
tumbuh di atas 6%, pertumbuhan kredit tumbuh ratarata 25,8%. Namun, begitu pertumbuhan ekonomi
dalam fase kontraksi, ketika PDB tumbuh 3-4%, kredit
hanya tumbuh secara rata-rata 14,3%. Pada kondisi
ekstrim ketika pertumbuhan PDB di bawah 3%, kredit
secara rata rata tumbuh -12,3%.
Perilaku perbankan yang tercermin dari sikap kehatihatian bank dan kekhawatiran terjadinya peningkatan
kredit bermasalah mendorong bank untuk menempatkan
dananya pada aset dengan resiko rendah seperti, SBI, SUN
dan FASBI. Hal itu terlihat dari meningkatnya porsi
surat-surat
berharga
terhadap
aktiva
produktif,
sebaliknya
porsi
kredit
mengalami
penurunan.
Menurunnya keyakinan bank dan sikap risk averse juga
mendorong bank meningkatkan spread suku bunga
kredit. Masih tingginya yield dari aset tanpa risiko (riskfree assets), seperti SUN juga menyebabkan dalam
periode downswing ketika risiko meningkat, riskadjusted return kredit menjadi kurang menarik jika
dibandingkan dengan SUN. Hal ini menyebabkan bank
cenderung menggeser portfolio kreditnya ke aset berisiko
[ 114 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
rendah. Insentif untuk melakukan pergeseran portfolio ke
aset yang berisiko rendah ini semakin didorong oleh risk
dan return antara pilihan portfolio kredit dan surat-surat
berharga.
Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial
Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga
stabilitas harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank
sentral menggunakan suku bunga kebijakan sebagai
instrumen utama. Namun, menjaga stabilitas harga
tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas
makroekonomi, karena sistem keuangan yang berperilaku
prosiklikal menyebabkan fluktuasi perekonomian yang
berlebihan. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah
bagaimana kebijakan moneter dapat secara efektif
menjaga stabilitas makroekonomi. Menurut Rubio (2013)
dan Claessens (2013) memaparkan bahwa kebijakan
makroprudensial dalam kerangka ITF digunakan sebagai
alat untuk mengitimidasi dampak dari boom dan bust
perekonomian ketika terjadinya kenaikan dan penurunan
kredit
Kebijakan Moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan
Ozkan dan D. Filiz unsal (2013) menyatakan bahwa
krisis di tahun 2008 dan 2009 disebabkan oleh terjadinya
kenanikan kredit di sektor properti. Isu yang telah lama
menjadi perdebatan ini muncul kembali setelah krisis
global karena adanya argumen bahwa krisis global yang
terjadi sebagaian disebabkan oleh kebijakan moneter
[ 115 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
yang
melakukan
pembiaran terjadinya akumulasi
imbalances dan kenaikan harga aset yang berlebihan
menyebabkan moral hazard dan speculative booms yang
menyebabkan kenaikan harga aset jauh melebihi
fundamentalnya (Kannan, 2009).
Dalam perdebatan ini, ada dua pendangan
mengatakan bahwa bank sentral seharusnya fokus pada
inflasi. Harga-harga aset perlu dimonitor
sepanjang
mengandung informasi mengenai kondisi perekonomian,
namun bank sentral tidak perlu merespon kenaikan harga
aset tersebut itu sendiri. Pandangan ini didasarkan pada
dua argumen. Pertama, tidak mudah membedakan antara
kenaikan harga aset yang disebabkan oleh spekulasi
dengan yang disebabkan oleh optimisme yang masih
rasional. Kedua, kebijakan moneter terlalu tumpul untuk
menghentikan kenaikan harga aset dan intervensi
kebijakan
lebih
banyak
mudaratnya
dari pada
manfaatnya.
Bagi bank sentral, boom dan bust dari harga aset
tidak hanya dapat dilihat sebagai bubble dari harga aset
itu sendiri, namun harus dilihat dalam konteks yang
lebih fundamental sebagai gejala-gejala meningkatnya
leverage dan pertumbuhan akumulasi kapital yang tinggi.
Dalam periode ekspansi, optimisme terhadap imbal hasil
kedepan mendorong kenaikan harga aset, memicu para
pelaku untuk meminjam lebih banyak dalam rangka
membiayai akumulasi kapital. Kenaikan harga aset
tersebut mendorong kenaikan kolateral sehingga semakin
mendorong akumulasi kapital.
[ 116 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Upswing
Bauran kebijakan
makroprudential dan moneter
Siklus yang
diharapkan
Donwswing
Gambar 14. Kebijakan Moneter dan Makroprudensial dalam
Meredam Prosiklikalitas
Bauran kebijakan makroprudential dan moneter pada
gambar 1 memberikan pemahaman tentang bagaimana
kedua kebijakan tersebut dapat meredam proxycycle dari
pertumbuhan kredit. Ketika perekonomian tumbuh maka
kebijakan makroprudential dan kebijkan moneter akan
mengerem pertumbuhan kredit yang terlalu berlebihan
dengan tujuan agar tidak terjadi prosiclycal yang
berlebiahan terhadap pertumbuhan kredit, sehingga pada
saat terjadi krisis, perbankan masih mempunyai cadangan
untuk memberikan kredit.
Integrasi Kebijakan Makroprudential dan Moneter
untuk Stabilitas Sistem Keuangan dan Harga
Kerangka kebijakan moneter sebelum krisis global
ditandai
oleh tren penerapan Inflation Targeting
[ 117 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Framework (ITF) sebagai best practice kebijakan moneter
yang banyak diterapkan, baik oleh negara maju maupun
negara emerging. 19 Praktek ini dilakukan sejalan dengan
independensi bank sentral dengan mandat yang berfokus
pada menjaga stabiltas harga. Di Indonesia, kerangka ITF
telah diterapkan sejak tahun 2005. Secara operasional,
Flexible ITF menggunakan Taylor-type rule sebagai
benchmark rule, dimana suku bunga kebijakan merespon
inflation gap selisih antara proyeksi inflasi dan target
inflasi, dan output gap selisih antara proyeksi output dan
output potensial. Inflasi dan output gap adalah variabel
target, yaitu variabel yang masuk di dalam fungsi loss
function bank sentral.
Kerangka Flexible ITF dalam Kebijakan Moneter
Implikasi penting dari paradigma baru terhadap
kerangka kerja operasional ITF adalah perlu disain ITF
yang fleksibel. Kenaikan suku bunga BI rate di bulan
Oktober 2008 sebagai respon kenaikan ekspektasi
inflasi terkait dengan kenaikan harga komoditas di tengah
krisis keuangan global yang berpotensi berdampak pada
sistem keuangan Indonesia adalah kasus yang menarik
perlunya horizon yang lebih panjang terutama ketika
sistem keuangan dalam risiko. Permasalahan horison yang
berbeda antara tujuan stabilitas harga dan finansial
dapat
diatasi
dengan
dua
cara.
Pertama,
memperpanjang horison pencapaian target inflasi untuk
memberikan fleksibilitas pada kebijakan moneter untuk
melakukan respon. Kedua, harga aset, khususnya harga
[ 118 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
rumah, dimasukkan kedalam keranjang Indeks Harga
Konsumen (IHK) sehingga menginternalisir kenaikan harga
aset. Flexible ITF adalah salah satu strategi dalam
menjembatani perbedaaan horison waktu untuk
pencapaian stabilitas harga dan sistem keuangan.
Penerapan Flexible ITF pada intinya dilakukan dengan
menggunakan dua pilar, yaitu pilar kebijakan moneter dan
pilar kebijakan makroprudensial. Kebijakan moneter
merupakan instrumen utama dalam mempengaruhi suku
bunga
dan
nilai
tukar,
sedangkan
kebijakan
makroprudensial digunakan untuk mendukung kebijakan
moneter
melalui
perannya secara
langsung
mempengaruhi neraca bank dan perusahaan dengan
menggunakan instrumen makroprudensial, seperti
surcharge CAR dan dynamic provision. Tujuan akhir
kebijakan moneter adalah menjaga inflasi yang rendah
dan stabil serta mengurangi
fluktuasi output.
Sementara, tujuan akhir kebijakan makroprudensial
adalah memitigasi prosiklikalitas yang berlebihan sehingga
juga akan menekan fluktuasi output yang berlebihan.
Dengan kerangka ini diharapkan stabilitas makroekonomi
secara keseluruhan dapat dicapai (Gambar. 15).
[ 119 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Nilai
tukar
Intervensi
FX
Permintaan
agregat
Kebijakan
moneter
BI rate
Suku
Bunga
Inflasi
Stabilitas
makroekonomi
Kredit
Mitigasi
prosiklikalitas
Perilaku
resiko
Kebijakan
makroprudential
Harga
Aset
Regulasi
makroprudential :
 Countercyclical
CAR
 Dynamic
Provision
[ 120 ]
Neraca bank,
perusahaan,
dan rumah
tangga
Gambar 5. Kerangka Integrasi
Kebijakan Moneter
dan Makroprudensial
Sketsa Ekonomi Indonesia
Epilog
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa kebijakan moneter tidak dapat berdiri sendiri, perlu
adanya dukungan dari kebijakan makroprudensial.
Mengingat bahwa krisis yang terjadi di tahun 1997 dan
2008 menjadi pembelajaran bagi para pembuat kebijakan.
Krisis yang menghantam kestabilan keuangan membuat
kebijakan moneter tidak bisa berbuat banyak. Sehingga
perlu adanya suatu redaman dari sektor keungan untuk
mendukung keseimbangan ekonomi makro secara
keseluruhan. Memasukkan kebijakan makroprudensial
kedalam kerangka kebijakan moneter memberikan
gambaran baru terhadap kerangka framework bekerjanya
kebijakan moneter. Terkait dengan hal tersebut horizon
pencapaian inflasi dalam flexible ITF perlu lebih
diperpanjang memberikan ruang bagi kebijakan moneter
untuk merespon berkembangnya ketidakseimbangan di
sektor keuangan, terutama apabila ketidakseimbangan
tersebut dapat menyebabkan risiko sistemik yang
menggangu perekonomian dan outlook inflasi. Namun,
instrumen kebijakan moneter tidak perlu secara
eksplisit diarahkan untuk merespon kenaikan asset
bubble, terutama yang bukan bersumber dari kredit
perbankan. Hal ini mengingat bahwa aset bubble
biasanya ditandai oleh kenaikan imbal hasil yang
berlebihan sehingga sulit dikendalikan hanya dengan
kenaikan suku bunga kebijakan secara marjinal. Kenaikan
suku bunga yang berlebihan yang bekerja across the board
akan berdampak pada aset yang tidak mengalami bubble.
[ 121 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Oleh sebab itu, kenaikan asset bubble dapat diserahkan
pada instrumen makroprudensial.
REFERENSI
Agung, Juda. 2010. “Mengintegrasikan kebijakan moneter
dan makroprudensial: menuju paradigma baru
kebijakan moneter di indonesia pasca krisis global.”
Working paper.WP/07/2010. Bank Indonesia
Ayomi, S dkk. 2013. “Mengukur risiko sistemik dan
keterkaitan finansial perbankan di indonesia.” Buletin
Ekonomi Moneter Dan Perbankan, Oktober 2013.
Bank Indonesia . 2014. “Kajian stabilitas sistem keuangan” .
Bank Indonesia
Bank Indonesia.2014.“Kebijakan makroprudensial dan
stabilitas sistem keuangan “. Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2014. “Kebijakan makroprudensial dan
stabilitas sistem keuangan.”. Departemen Kebijakan
Makroprudensial Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2005. “Kebijakan Moneter Dalam Kerangka
Inflation Targeting”. Dkm Biro Hubungan Masyarakat
Bank Indonesia
Bank Indonesia. 2007. “Laporan perekonomian indonesai”.
Bank Indonesia
Bank Indonesia. 2013. “Kebijakan makroprudential”. Bank
Indonesia
Bank Indonesia. 2014. “Kajian stabilitas sistem keuangan”.
Bank Indonesia.
Borio C. 2007. “Monetary and prudential policies at a
crossroads? New Challenges in the new century.”
Moneda y Credito, 224, pp 63-101. Also available
as BIS Working Papers, no 216, September 2006.
[ 122 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Claessens, Stijn. 2013. “Interaction Between Monetary and
Macroprudential Policies In An Interconnected Word”.
International Monetary Fund.
Ellis, Luci: 2012. “Macroprudential policy: what have we
learned ?”. Reserve Bank of Australia.
Frait, Jan and Zlatuse Komarkova. 2011. “Financial Stability,
Systemic Risk and Macroprudential Policy”. Czeech
National Bank.
Jansson, Magnus and Kevin Moran. 2014. “The Linkage
Between Monetary and Macroprudential Policies”.
University Laval.
Lima, Diana dkk. 2012. “Optimal Macroprudential and
Monetary Policy”. University of Surrey.
Maddaloni, Banangela and Jose Luis Pedro. 2013. “Monetray
Policy, Macroprudential Policy and Banking Stability :
Evidence From The Euro Area”. Barcelona: european
central bank.
Ozkan and D. Filiz Unsal. 2013. “On the use of monetary and
macroprudential policies for financial stability in
emerging market”. York: University Of York.
Quint, Dominic and Pau Rabanal.2011. “Monetary and
Macroprudential Policy In An Estimated Dsge Model Of
The Euro Area”. Wangsington DC: IMF.
Rubio, Margarita and Jose A Carrasco. 2013.
“Macroprudential and Monetary Policies : Implications
for Financial Stability and Welfare”. University of
Nottingham.
Taylor, William and Roy Zilberman. 2014. “Macroprudential
Regulation and The Rule Of Monetary Policy”. Paper
MPRA no 54885: Lancester University.
Walsh Carl E. 2010. “Monetary Theory and Policy.” United
States of America.
[ 123 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAMPAK KEBIJAKAN PELONGGARAN
KUANTITATIF AMERIKA SERIKAT TERHADAP
STABILITAS PEREKONOMIAN INDONESIA
Dina Dwi Septiani dan Ika Nurjannah
Prolog
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang
dilakukan oleh bank sentral selaku otoritas moneter dalam
bentuk pengendalian tingkat suku bunga dan besaran
moneter untuk menjaga stabilitas harga dan mencapai
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa menjaga stabilitas harga merupakan
tujuan utama setiap bank sentral di dunia. Akan tetapi
setelah terjadi resesi global terburuk tahun 1930-an dan
berbagai krisis keuangan global beberapa dekade terakhir
memunculkan sejumlah tantangan baru bagi kebijakan
moneter dan bank sentral, dimana salah satunya adalah
kemampuan kebijakan moneter konvensional dalam
merangsang ekonomi selama proses pemulihan pasca krisis
mulai dipertanyakan. Terlebih dewasa ini selain
menargetkan inflasi, bank-bank sentral dunia memiliki
fokus yang lebih besar terhadap stabilitas keuangan.
Dalam kondisi normal, bank sentral dapat melakukan
kebijakan moneter konvensional dengan mempengaruhi
tingkat suku bunga atau jumlah uang beredar dalam
[ 124 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
perekonomian. Namun pada kondisi tidak normal,
kebijakan moneter konvensional dianggap tidak mampu
mencapai tujuan bank sentral, dikarenakan guncangan
ekonomi yang begitu kuat sehingga menyebabkan bank
sentral harus menurunkan suku bunga acuan hingga nol
persen. Pada tingkat itu, kebijakan penurunan suku bunga
tidak mungkin mampu lebih rendah lagi, karena menurut
Miyagawa dan Morita (2013) hal tersebut diakibatkan
munculnya perangkap likuiditas dimana uang dan obligasi
menjadi pengganti sempuna, sehingga setiap tindakan
stimulus moneter tambahan hanya dapat dilakukan dengan
beralih
menggunakan
kebijakan
moneter
nonkonvensional.
Secara umum, Internasional Monetary Fund (2013)
mendefinisikan langkah-langkah non-konvensional sebagai
kebijakan-kebijakan yang secara langsung menargetkan
biaya dan ketersediaan pembiayaan eksternal untuk bank,
rumah tangga, dan perusahaan non-keuangan. Sumbersumber keuangan bisa dalam bentuk likuiditas, kredit,
sekuritas, pendapatan tetap bank sentral atau ekuitas.
Selain itu, langkah-langkah non-konvensional dapat dilihat
sebagai upaya untuk mengurangi spread antara berbagai
bentuk pembiayaan eksternal, sehingga mempengaruhi
harga aset dan aliran dana dalam perekonomian.
Salah satu langkah non-konvensional yang dapat
dijadikan
kebijakan
alternatif
ketika
kebijakan
konvensional tidak mampu lagi mendorong perekonomian
adalah pelonggaran kuantitatif (quantitative easing)
sebagaimana yang diterapkan oleh beberapa bank sentral
[ 125 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
besar dunia, termasuk Federal Reserve Amerika Serikat.
Blinder berpendapat bahwa (2010) pelonggaran kuantitatif
mengacu pada perubahan dalam komposisi dan/atau
ukuran neraca bank sentral yang dirancang untuk
memudahkan likuiditas dan/atau kondisi kredit. Kebijakan
ini adalah cara tidak lazim yang dilakukan untuk memompa
uang ke dalam perekonomian dan bertujuan untuk
menurunkan suku bunga jangka panjang dalam memerangi
resesi.
Krisis
global tahun 2008 yang ditandai oleh
runtuhnya salah satu bank investasi terbesar di Amerika
Serikat Lehman Brother, dilatarbelakangi oleh pecahnya
gelembung kredit (credit bubble) akibat macetnya
pinjaman hipotek yang sudah diubah menjadi
Collateralized Debt Obligation (CDO), yaitu salah satu
produk investasi derivatif rumit di pasar saham. Krisis
tersebut cukup memberikan hantaman keras yang
menyebabkan perekonomian Amerika Serikat menjadi
tidak stabil yang tercermin melalui peningkatan angka
pengangguran, inflasi, dan pertumbuhan GDP tahunan.
Data Labor Force Statistic of United State (2014)
menunjukkan bahwa terjadi peninggkatan jumlah
pengangguran di Amerika serikat sebagai akibat terjadinya
krisis tahun 2008. Pada Januari 2008, angka pengangguran
di Amerika Serikat sebesar 5 persen, meningkat menjadi
7,8 persen pada Januari 2009, dan terus meningkat hingga
mencapai level tertinggi 10 persen pada Oktober 2009.
Peningkatan angka pengangguran di Amerika Serikat
tersebut merupakan dampak dari kerugian yang
[ 126 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ditimbulkan oleh CDO dan turunnya harga saham-saham di
pasar modal. Dengan adanya kerugian tersebut, sebagian
besar perusahaan di Amerika Serikat melakukan
pengetatan keuangan dengan mengurangi pengeluaran,
salah satunya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tingkat inflasi dan pertumbuhan GDP Amerika Serikat juga
cukup berfluktuatif sebagai akibat krisis tahun 2008. Pada
tahun 2007, inflasi di Amerika sebesar 2,85 persen dan
pertumbuhan GDP pada tahun yang sama sebesar 1,79
persen. Pada akhir tahun 2008 inflasi di Amerika Serikat
meningkat menjadi 3,84 persen, sebaliknya pertumbuhan
GDP Amerika Serikat turun mencapai -0,29 persen. Resesi
ekonomi terus berlanjut pada tahun 2009 dimana inflasi
turun secara drastis hingga menyentuh -0,36 persen yang
diiringi dengan semakin memburuknya pertumbuhan GDP
Amerika Serikat yang mencapai -2,80 persen.
Persentase
(%)
5,00(5,00)
20 20 20 20 20 20 20 20 20
04 05 06 07 08 09 10 11 12
Inflation
2, 3,33,22,83,8 -0, 1,63,12,0
rate
GDP
growth
3, 3,32,61,7 -0, -2, 2,51,82,7
Gambar 16. Tingkat inflasi dan pertumbuhan GDP Amerika
Serikat (Sumber: World Bank, 2014)
[ 127 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Diperlukan upaya-upaya khusus untuk mencegah
perekonomian Amerika Serikat menjadi semakin terpuruk,
namun di sisi lain kebijakan moneter ekspansif melalui
penurunan suku bunga tidak mungkin lagi dilakukan
karena tingkat suku bunga acuan (federal fund rate) pada
akhir tahun 2008 telah mencapai 0,25 persen. Pada kondisi
tersebut Federal Reserve akhirnya mengambil langkah
kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing)
untuk memperbaiki fundamental perekonomian Amerika
Serikat agar tidak terjebak pada resesi yang
berkepanjangan.
Penerapan quantitative easing sebagai kebijakan
moneter non-konvensional di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat akan berdampak pada pasar negara
berkembang. Ketika bank sentral negara maju
mengerahkan pelonggaran moneter untuk memperbaiki
dampak resesi, besarnya kolektif pelonggaran moneter
tidak dapat dipungkiri akan mendatangkan konsekuensi
yang tidak diharapkan negara lain, terutama negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Pelaksanaan QE di Amerika
Serikat dapat menyebabkan kelebihan aliran liduiditas
masuk ke negara-negara berkembang dan secara tidak
langsung akan mengganggu mata uang, ekspor, tingkat
inflasi dan stabilitas perekonomian secara menyeluruh.
Mengingat pentingnya menjaga stabilitas perekonomian
bagi suatu negara, maka tulisan ini akan sedikit mengulas
bagaimana dampak yang ditimbukan oleh kebijakan
pelonggaran moneter Federal Reserve Amerika Serikat
terhadap stabilitas perekonomian Indonesia.
[ 128 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Pelonggaran Kuantitatif Amerika Serikat dan
Perekonomian Indonesia
Implementasi quantitatif easing (QE) di Amerika
Serikat dilakukan secara bertahap. Kebijakan QE1 dan QE2
masing-masing berlangsung selama 6 bulan dimana QE1
diluncurkan di bulan Maret 2009 senilai $1,25 triliun,
sementara QE2 diluncurkan tahun 2010 senilai $600 miliar.
QE1 dan QE2 diluncurkan pada kondisi ekonomi domestik
dan global yang berbeda. QE1 diluncurkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat setelah
melewati krisis ekonomi global sedangkan QE2
diluncurkan setelah Eropa dan China menunjukkan sinyal
perlemahan ekonomi. Dibandingkan QE1 dan QE2, QE3
jumlahnya relatif lebih kecil yaitu sebesar $40 miliar setiap
bulannya.
Selain melakukan QE, Federal Reserve juga telah
menerapkan Operation Twist dimana dalam hal ini ukuran
neraca bank sentral tidak terpengaruh, tetapi bank sentral
mencoba untuk mempengaruhi suku bunga non-standar.
Dalam Operation Twist, Fed menjual obligasi pemerintah
jangka pendek dan menggunakan hasilnya untuk membeli
obligasi jangka panjang. Karena penjualan dan pembelian
obligasi dilakukan dengan jumlah yang sama maka hanya
akan menurunkan suku bunga jangka panjang tetapi tidak
mempengaruhi neraca bank sentral (Joyce et al, 2012)
Meinusch dan Tillmann (2014) berpendapat bahwa
penggunaan QE sebagai kebijakan moneter nonkonvensional lebih efektif mempengaruhi kegiatan
[ 129 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ekonomi riil di Amerika Serikat dibandingkan dengan
menggunakan kebijakan moneter konvensional. Pendapat
tersebut diperkuat oleh Mthuli Ncube dan Kjell Hausken
(2014) melalui hasil penelitiannya yang menunjukkan
bahwa meskipun gagal dalam merangsang kegiatan
ekonomi secara keseluruhan, QE sampai batas tertentu
memiliki pengaruh positif pada produksi industri di
Amerika Serikat, berkontribusi untuk pengurangan
pengangguran dan peningkatan ekspektasi inflasi di
Amerika Serikat. Namun, bukti bahwa QE berdampak pada
harga rumah, harga saham, kepercayaan konsumen, dan
nilai tukar kurang meyakinkan. Hal ini dikarenakan
kebijakan moneter saja tidak cukup tanpa diiringi dengan
reformasi struktural dan langkah-langkah kebijakan
lainnya.
Bagi perekonomian Amerika Serikat, penerapan QE
menyebabkan naiknya tingkat inflasi yaitu dari 0,99 persen
tahun 2008 menjadi 2,96 persen tahun 2011 dan kembali
turun menjadi 1,5 persen tahun 2013. Selain inflasi,
implementasi QE yang dilakukan secara bertahap perlahanlahan menurunkan angka pengangguran di Amerika Serikat
sehingga berada pada kisaran 7 persen pada tahun 2013
dan mencapai angka terendah 5,9 persen pada September
2014. Angka ini sesuai dengan hasil penelitian Ncube dan
Hausken (2014) yang menyatakan bahwa QE berpengaruh
terhadap peningkatan ekspektasi inflasi dan pengurangan
pengangguran di Amerika Serikat. Menurunnya angka
pengangguran dan semakin membaiknya kondisi
fundamental perekonomian Amerika Serikat inilah yang
[ 130 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
melatarbelakangi Bank Sentral Amerika Serikat Federal
Reserve untuk mengurangi stimulus moneter terhadap
perekonomian Amerika Serikat.
Implementasi QE tidak hanya akan mempengaruhi
perekonomian dalam negeri Amerika Serikat, melainkan
juga akan berpengaruh terhadap perekonomian negara lain
secara global. Tillmann (2014) melalui penelitiannya
menunjukkan bahwa stimulus moneter yang dilakukan
Federal Reserve melalui QE terbukti dapat meningkatkan
aliran dana masuk (capital inflows), harga obligasi, harga
saham dan nilai tukar negara-negara emerging market,
tidak terkecuali Indonesia.
Dampak kebijakan pelonggaran moneter Amerika
Serikat terhadap stabilitas perekonomian Indonesia
terlihat ketika QE dilaksanakan sejak tahun 2008 hingga
munculnya isu pengurangan atau penghentian stimulus
moneter (tapering off) yang akan dilakukan oleh Federal
Reserve dalam waktu dekat. Stimulus moneter melalui
program QE menyebabkan likuiditas yang melimpah dan
mendorong para investor untuk berburu saham-saham di
bursa negara berkembang yang diharapkan akan
memberikan imbal hasil yang menarik, salah satunya
adalah bursa saham di Indonesia. Pada program QE1 di
tahun 2009, sebagian besar aset investasi baik berupa
saham maupun obligasi domestik memberikan respon yang
cepat berupa kenaikan signifikan dalam periode waktu 3-9
bulan setelah program QE diluncurkan. Pada QE2,
meskipun memerlukan periode 9 bulan setelah program
QE2 diumumkan, Jakarta Composite Index (IHSG) kembali
[ 131 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan indeks
saham negara-negara Asia (MSCI Asia Pacific)
(Commonwealth Bank, 2012:1).
Aliran modal asing yang berasal dari stimulus QE
Amerika Serikat yang sebagian besar berupa investasi
portofolio berpotensi mempengaruhi kurs di Indonesia.
Nilai tukar rupiah selama awal periode QE cenderung
menguat dimana pada awal tahun 2009 sebesar Rp 11.005
per dolar menjadi Rp 9.718 per dolar pada akhir tahun
2012 dengan posisi terkuatnya sebesar Rp 8.523 per
dollar Amerika Serikat pada tanggal 1 Agustus 2011.
Persentase (%)
12,0
10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
0,0
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Inflasi
7,4
11,1
2,8
7,0
3,8
4,3
GDP growth
6,3
6
4,6
6,1
6,5
6,1
Gambar 17. Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan GDP Indonesia
(Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 2013)
Apresiasi nilai tukar rupiah akan berdampak pula
terhadap laju inflasi dan pertumbuhan GDP Indonesia.
Tahun 2008 inflasi Indonesia mencapai titik tertinggi yaitu
sebesar 11,1 persen, sedangkan pertumbuhan GDP
Indonesia pada tahun yang sama sebesar 6 persen, atau
[ 132 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
turun 0,3 persen dari periode sebelumnya. Tahun 2009
baik inflasi maupun pertumbuhan GDP menurun, kemudian
kembali meningkat pada 2010 yaitu inflasi sebesar 7
persen dan pertumbuhan GDP sebesar 6,1 persen.
Perbaikan
kinerja
yang
ditunjukkan
oleh
perekonomian Amerika Serikat beberapa bulan terakhir
memunculkan isu penghentian stimulus moneter dalam
perekonomian yang rencananya akan dilakukan awal tahun
2015. Adanya rencana penghentian QE, telah menciptakan
guncangan pada pasar uang di banyak negara. Efek
limpahan (spillover effect) dari rencana percepatan
penghentian QE3 terlihat semakin menekan ekonomi
negara-negara Asia termasuk Indonesia. Sejak awal Juni
2013 indeks pasar saham Indonesia telah turun 10 persen,
dan terjadi penjualan saham dan surat utang secara besarbesaran di Asia yang menyebabkan penguatan dolar
terhadap sejumlah mata uang Asia tidak terkecuali rupiah.
Setelah mengalami apresiasi selama penerapan QE, rencana
tapering off telah menyebabkan nilai tukar rupiah terus
terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat. Data Bank
Indonesia (2014) menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah
yang pada akhir Desember 2012 sebesar Rp 9.718 per
dolar terus menurun hingga akhir Oktober 2014 yaitu
sebesar Rp 12.142 per dolar dengan nilai terendah sebesar
Rp 12.328 per dolar pada 28 Januari 2014. Tingkat inflasi
juga menunjukkan peningkatan yang tajam dari 4,30
persen pada Desember 2012 menjadi 8,38 persen pada
Desember 2013, kemudian secara perlahan kembali turun
hingga mencapai 4,83 persen pada Oktober 2014.
[ 133 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Penghentian
stimulus
moneter
juga
dapat
menyebabkan risiko pelarian modal (capital outflow)
secara besar-besaran mengingat peranan asing yang cukup
tinggi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan data
Kustodian Sentral Efek Indonesia, kepemilikan saham asing
per kuartal II 2013 adalah 57-58 persen dari total saham
yang diperdagangkan di BEI. Angka ini memang jauh lebih
kecil daripada akhir 2008 yang lebih dari 70 persen.
Namun, pengurangan stimulus akan membuat yield imbal
hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat naik, sehingga
selisih yield obligasi perusahaan–perusahaan di negara
berkembang termassuk Indonesia akan semakin lebar.
Dana-danapun diproyeksiakan kembali mengalir ke
Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan di Indonesia
yang ingin menerbitkan obligasi akan kesulitan untuk
mendapatkan investor, jikapun ada yang mau membeli
pasti akan meminta bunga yang lebih tinggi.
Efek lanjutan yang terjadi dari tapering off QE ialah
kenaikan harga komoditas impor baik yang di konsumsi
langsung maupun yang digunakan sebagai bahan baku atau
barang modal untuk produksi. Kenaikan tersebut akan
membebani konsumen produk impor. Produsen yang
paling terpukul adalah yang menggunakan sebagian besar
bahan bakunya impor namun sebagian besar produknya
dijual di pasar domestik. Selain itu pelemahan nilai tukar
rupiah akan menyebabkan utang dalam mata uang rupiah
semakin membengkak. Kondisi ini menjadi beban pihak
swasta maupun pihak pemerintah yang mempunyai utang
[ 134 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
luar negeri yang pada umumnya dalam mata uang dolar
Amerika Serikat.
Epilog
Berdasarkan hasil pemaparan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa pelonggaran moneter Amerika Serikat
melalui QE sangat berpengaruh terhadap stabilitas
perekonomian Indonesia. Implementasi QE menyebabkan
membanjirnya aliran dana masuk ke Indonesia yang pada
gilirannya menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah,
fluktuasi tingkat inflasi dan peningkatan pertumbuhan GDP
Indonesia. Sebaliknya, ketika muncul rencana penghentian
stimulus moneter yang akan dilakukan Federal Reserve,
perekonomian Indonesia mengalami guncangan yang
diantaranya terlihat dari depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap dolar secara terus-menerus, dan meningkatnya
risiko pelarian modal (capital outflow) secara besarbesaran dari Indonesia.
Untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh
tapering off Federal Reserve terhadap perekonomian
Indonesia, Bank Indonesia dan pemerintah Indonesia telah
menyiapkan
beberapa
usaha
antisipatif.
Selain
menggunakan instrumen suku bunga BI rate, Bank
Indonesia juga akan melakukan bauran kebijakan moneter
meliputi pengetatan loan to deposit rasio, menoleransi
depresiasi nilai tukar untuk mendorong ekspor dan
menekan impor, memperbaiki transaksi berjalan untuk
memperkuat fundamental ekonomi Indonesia, dan
melakukan pendalaman pasar keuangan.
[ 135 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Dalam melakukan pendalaman pasar keuangan, Bank
Indonesia telah mengeluarkan instrumen baru diantaranya
adalah hedging valas, mini Master Repo Aggreement (MRA),
dan revisi transaksi swap lindung nilai jangka. Di sisi lain,
langkah antisipatif yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia meliputi stabilisasi dana (bound stabilization
fund) dan mempersiapkan protokol manajemen krisis
apabila terjadi guncangan yang disebut sebagai diverse
capacity flow dalam pasar keuangan. Serangkaian upaya
akan dilakukan oleh pemerintah dan Bank Indonesia untuk
meminimalisasi risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas
perekonomian nasional ketika tapering off resmi
diberlakukan.
REFERENSI
Bernanke, B. S. Reinhart, V. R. dan Sack, B. P. 2004.
Monetary Policy Alternatives at The Zero Bound: An
Empirical Assesment. Finance and Economics
Discussion Paper Federal Reserve
Blinder, S.A. 2010. Quantitative Easing: Entrance and Exit
Strategies. Federal Reserve Bank of St. Louis Review
92(6): 465-479
Commonwealth Bank. 2012. Market Perspective. Wealth
Management Newsletter - Oktober 2012: 1-5
Fawley, B.W. dan Neely, C.J. 2013. Four Stories of
Quantitative Easing. Federal Reserve Bank of St Louis
Review 95(1): 51-88
Fic, T. 2013. The Spillover Effect of Unconventional
Monetary Policies in Major Developed Countries on
[ 136 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Developing Countries. Department of Economic dan
Sosial Affairs Working Paper No. 131
Joyce, Miles, Scott dan Vayanos. 2012. Quantitative Easing
and Unconventional Monetary Policy – an
Introduction. The Economic Journal 122: 271-288
Meinusch, A. dan Tillman, P. 2014.The Macroeconomic
Impact of Unconventional Monetary Policy Shocks.
MAGKS Joint Discusstion Paper Series in Economics
No.26-2014
Miyagawa, S. dan Morita, Y. 2013. Effectiveness of
Quantitative Easing Monetary Policy in Japan: An
Empirical Analysis. Helsinki Center of Economic
Researc Discussion Papers No.371 September 2013
Mortimer-Lee, P. 2012. The Effects and Risks of
Quantitative Easing. Journal of Risks Management in
Financial Institution 5(4): 372-389
Ncube, M dan Hausken, K. (2014) The Impact of
Quantitative Easing in the US, Japan, the UK and
Europe. African Development Bank Group [serial
online].
http://www.afdb.org/en/blogs/afdbchampioning-inclusive-growth-acrossafrica/post/the-impact-of-quantitative-easing-in-theus-japan-the-uk-and-europe-12812/ [8 September
2014]
The World Bank. 2013. Perkembangan Triwulanan
Perekonomian Indonesia Menanggapi Berbagai
Tekanan. Indonesia Economic Quarterly July 2013
Tillmann, P. 2014. Unconventional Monetary Policy Shocks
and The Spillovers to Emerging Market. Hong Kong
Institute and Monetary Research (HKIMR) Working
Paper No.18/2014
Official website Bank Indonesia http://www.bi.go.id/
[ 137 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
DAMPAK PELAKSANAAN ACFTA TERHADAP
PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA :
SISI EKSPOR
Nur Umahatul Qomariah dan Yayang Oktafiani Putri
Prolog
Keterbukaan ekonomi yang dilakukan oleh beberapa
negara termasuk Indonesia mengakibatkan adanya peluang
terjadinya perdagangan bebas, salah satu perjanjian
perdagangan bebas yang pernah dilakukan Indonesia
adalah AFCTA. Perjanjian perdagangan bebas ACFTA
berisikan beberapa hal diantaranya adalah negara-negara
yang menjadi anggota perjanjian saling memberikan
perlakuan yang khusus (preferential treatment) di tiga
sektor yakni : sektor barang, sektor jasa dan sektor
investasi. Pelaksanaan AFCTA memiliki tujuan memacu
percepatan aliran barang, jasa dan investasi diantara
negara-negara anggota sehingga dapat terbentuk suatu
kawasan perdagangan bebas. Preferential treatment adalah
perlakuan
khusus
yang
lebih
menguntungkan
dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada
negara mitra dagang lain yang bukan anggota pada
umumnya. Kesepakatan di sektor barang komponen
utamanya adalah preferential tariff.
[ 138 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Semua negara anggota ACFTA ada beberapa
ketentuan yang harus diberlakukan harus memberlakukan
kebijakan mengurangi tarif menjadi 0-5% untuk 40%
komoditas yang ada pada normal track sebelum 1 Juli 2006.
Seluruh negara sudah harus mengurangi tarif menjadi 05% untuk 60% komoditas yang ada pada normal track
sebelum 1 Januari 2007. Seluruh negara sudah harus
mengurangi tarif menjadi 0-5% untuk 100% komoditas
yang ada pada normal track sebelum 1 Januari 2010.
Maksimum sebanyak 150 tarif dapat diajukan penundaan
hingga 1 Januari 2012 (Daniel Pambudi dan Alexander C,
2006). Melalui diberlakukannya pengurangan tarif tersebut
maka perdagangan bebas antara Cina dengan Negaranegara di kawasan Asia tenggara telah di laksanakan,
sehingga negara anggota termasuk Indonesia harus mampu
memanfaatkan peluang yang ada agar dapat memperoleh
keuntungan
sebanyak-banyaknya
terutama
dalam
peningkatan ekspor.
Selain memberikan peluang, keuntungan perjanjian
ACFTA juga akan mengakibatkan tantangan bagi Indonesia
kedepan karena jumlah penduduk yang sangat besar
mengakibatkan konsumsi dalam negeri yang cukup tinggi.
Dapat dilihat bahwa pada era ini banyak sekali produkproduk dari China yang dapat menguasai pasar Indonesia.
Hal ini dikarenakan harga yang terlalu murah dengan
kualitas barang yang baik. Dengan mempertahankan
jumlah ekspor pada posisi yang stabil dengan tetap
mempertahankan jumlah impor dan tidak menambahnya,
maka ekonomi China pun melonjak. Menurut Ragimun
[ 139 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
(2011) peluang yang dapat dimaksimalkan untuk Indonesia
yaitu China banyak mengimpor dan membutuhkan bahan
baku (raw material) serta bahan penolong untuk menopang
pembangunan negara yang sangat pesat. Pertumbuhan
ekonomi China rata-rata diatas 8%. Meskipun terjadi krisis
global belakangan ini hanya turun menjadi sekitar 6%.
Melihat peluang yang cukup besar bagi Indonesia maka
Indonesia harus memaksimalkan pemasaran berbagai
sumber dayanya untuk diolah kembali dan kemudian baru
di ekspor untuk memenuhi kebutuhan China.
Tabel 3. Perbandingan Perdagangan Indonesia-China
Terhadap Indonesia-Total Negara (persen)
Sebelum
Pasca
Indikator
Pergeseran
ACFTA
ACFTA
(2002-2004)
(2005-2008)
Ekspor
5.91
8.2
2.29
Impor
8.55
11.37
2.82
Neraca
Perdagangan
2.27
3.15
0.88
Total Perdagangan
6.87
9.4
2.53
Sumber: BPS, 2009 (diolah)
Adanya perjanjian ACFTA juga dapat mempengaruhi
perdagangan Indonesia- China terhadap Indonesia. Ratarata share total perdagangan Indonesia- China terhadap
total perdagangan semua negara dengan Indonesia
sebelum ACFTA 6,87%, meningkat menjadi 9,40% pasca
adanya ACFTA. Perdagangan Indonesia-China juga
dikatakan telah terjadi pergeseran share sebesar 2,53 %
[ 140 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
total perdagangan Indonesia-negara lain beralih ke
Indonesia-China pasca ACFTA. Tingkat ekspor terjadi
pergeseran share sebesar 2,29 % dan impor sebesar 2,81 %
beralih ke China pada era pelaksanaan ACFTA.
Data statistik perdagangan (IMF, 2012) menunjukkan
bahwa Indonesia selaku negara anggota ASEAN dengan
populasi dan pasar terbesar memiliki hubungan
perdagangan yang erat dengan China, terlebih setelah
berlakunya kesepakatan perdagangan ASEAN-China FTA.
Ekspor Indonesia ke China pada tahun 2010 mencapai US$
15,6 miliar (fob) dan impor Indonesia dari China mencapai
US$ 20,6 miliar (cif), sehingga surplus perdagangan dimiliki
China sebesar kurang lebih US$ 5 miliar. Angka defisit
tersebut meningkat sebesar US$ 2,9 miliar dibandingkan
defisit tahun 2009 yang tercatat sebesar US$ 2,2 miliar,
sehingga menimbulkan kepanikan banyak pihak di
Indonesia yang kemudian menyampaikan desakan kepada
pemerintah untuk melakukan renegosiasi dengan China.
Perlu dilakukan evaluasi dampak ACFTA untuk
mengetahui apakah tujuan dari FTA dapat terpenuhi.
Indikator terpenting yang digunakan untuk menilai
dampak FTA adalah pendapatan nasional. Pendapatan
nasional merupakan salah satu dari tiga indikator untuk
menghitung dampak dari suatu FTA terhadap suatu negara
dari aktivitasnya dalam perdagangan internasional (Liyoid
dan Mclaren,2004). Sementara itu, salah satu komponen
pendapatan nasional dalam model Keynesian empat sektor
adalah kontribusi ekspor. Perubahan kontribusi ekspor
terhadap pendapatan nasional Indonesia dan China dalam
[ 141 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
konteks berlaku efektifnya perjanjian perdagangan barang
ACFTA dapat mengindikasikan dampak dari ACFTA
terhadap kedua negara.
Urata dan Kiyota (2003) mengemukakan bahwa FTA
di Asia Timur memberi pengaruh yang positif pada
pertumbuhan ekonomi. Ekspor dengan daya saing tinggi
akan meningkat. Penurunan subsidi ekspor dinegara maju
berdampak pada peningkatan produksi pertanian
Indonesia Saktyanu et al (2007). Haryadi et al (2008)
menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dengan cara
menghapus semua hambatan-hambatan perdagangan yang
berdampak pada penurunan PDB Indonesia dan China.
Efek positif yaitu trade creation terjadinya
perdagangan akibat beralihnya konsumsi dari produk
domestik yang bersifat high-cost ke produk impor yang
bersifat low-cost, yaitu dengan kata lain terjadinya
perdagangan yang mengikat intra negara partner. Namu
perbedaan tarif yang diberlakukan untuk partner dan nonpartner yang dapat merubah arah kecenderungan
perdagangan sehingga menimbulkan efek negatif yaitu
trade diversiona perpindahan dari produk impor yang
bersifat low-cost dari negara non anggota dengan produk
impor yang bersifat high-cost dari negara partner (Viner
and Jacob, 1950).
[ 142 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Dinamika ACFTA dalam Perdagangan Internasional
Indonesia
Perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai
transaksi dagang antara subyek ekonomi negara satu
dengan negara lain, baik mengenai barang ataupun jasa.
Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk
yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor,
perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan
negara ataupun departemen pemerintah yang dapat
dilihat dari neraca perdagangan. Dalam suatu perdagangan
internasional terdapat beberapa teori diantaranya :
Teori perdagangan internasional oleh David Ricardo
yang bermulai dengan anggapan bahwa lalu lintas
pertukaran internasional hanya berlaku antara dua
negara, yang di antara mereka tidak ada wilayah
perbatasan, serta kedua negara tersebut hanya beredar
uang emas. Ricardo memanfaatkan hukum pemasaran
bersama-sama dengan teori kuantitas uang untuk
mengembangkan
teori
perdagangan
internasional.
Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, akan
tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap akan
menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan
perdagangan.
Teori Heckscher Ohlin (HO) menjelaskan beberapa
pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung
untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan
faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif.
Menurut Heckscher Ohlin, suatu negara akan melakukan
perdagangan dengan negara lain disebabkan negara
[ 143 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan
dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi.
Keunggulan- keunggulan tersebut dimiliki oleh China bila
dibandingkan dengan Indonesia seperti ketersediaan
kapas dan sutra yang melimpah, teknologi yang lebih
baik, serta tenaga kerja yang banyak dan murah. Basis dari
keunggulan komparatif adalah:
a. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktorfaktor produksi di dalam suatu negara.
b. Faktor
intensity,
yaitu
teknologi
yang
digunakan di dalam proses produksi, apakah
labor intensity atau capital intensity.
Perdagangan antara negara-negara ASEAN dengan
China terus menunjukkan peningkatan dari tahun
ketahun. Dari sisi ASEAN, China termasuk mitra dagang
penting sebagai negara tujuan ekspor. Rata-rata pangsa
ekspor ke China oleh negara ASEAN dari 2001-2008
bervariasi namun secara umum cukup tinggi. Vietnam
sebagai negara yang menempatkan China sebagai mitra
dagang utama dengan pangsa tertinggi mencapai 9%,
sementara bagi Indonesia pangsa ekspor ke China
mencatat 7% (Grafik 2.1). Dari sisi China, negara ASEAN
menjadi mitra dagang penting terutama untuk pasokan
bahan baku. Pangsa impor China dari Singapura
mencatat 35% dari total impor dari ASEAN atau
merupakan pangsa tertinggi di antara negara ASEAN
lainnya (Grafik 18).
[ 144 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Gambar 18. China sebagai Negara Tujuan Ekspor Utama
Sumber : Data Statistik ASEAN 2008, diolah
Gambar 19. Sumber Impor China dari Negara-Negara
ASEAN
Sumber : Data Statistic ASEAN 2008, diolah
[ 145 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Sementara pangsa impor barang dari Indonesia
sebesar 13% dari total impor dari ASEAN. Perdagangan
antara ASEAN dan China mempunyai kecenderungan
untuk terus meningkat yang semakin menunjukkan
relatif pentingnya perdagangan ASEAN-China bagi
keduanya. Dengan demikian, potensi keuntungan dari
penghapusan hambatan perdagangan kawasan
ASEAN-Cina akan menjadi relatif besar.
Indonesia selaku negara anggota ASEAN yang
mempunyai populasi dan pasar terbesar dan memiliki
hubungan internasional yang erat dengan China. Setelah
berlakunya kesepakatan perdagangan ASEAN-China Free
Trade Area. Total perdagangan Indonesia dan China
mencapai US$ 36,2 miliar (2010) dan Indonesia. Sedangkan
untuk ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 15,6 miliar
(fob) dan impor Indonesia ke China mencapai US$ 20,6
miliar (cif), sehingga surplus perdagangan dimiliki China
sebesar kurang lebih US$ 5 miliar. Data yang digunakan
adalah data Ekspor Indonesia ke China dan Ekspor Cina ke
Indonesia yang bersumber dari data IMF dan diunduh
melalui CEIC Setiawan (2012). Keberhasilan China
meningkatkan ekspornya secara signifikan ke pasar
Indonesia terutama melalui strategi harga murah, walaupun
dalam kenyataannya di pasar banyak produknya yang
diekspor memiliki standar kualitas yang rendah dan cepat
rusak.
Untuk meningkatkan penetrasinya di pasar Indonesia
dan mengantisipasi keharusan mengikuti SNI di masa
depan, China telah bergerak secara proaktif dan agresif
[ 146 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
mempelajari standar produk Indonesia. Potensi pasar
Indonesia di masa depan sejalan dengan pemenuhan
standar domestik SNI sangat besar dan hal tersebut
sudah diantisipasi oleh China melalui pembelian SNI
tersebut. Sekitar 30% SNI telah digunakan oleh perusahaan
Indonesia dan akan semakin besar lagi didorong oleh
penerbitan Peraturan Presiden No 54 Tahun 2011 tentang
pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah yang
mewajibkan pembelian barang yang sesuai dengan
SNI. Berdasarkan database CEIC (IMF, 2012), ekspor
Indonesia ke China periode Januari-Oktober 2011 adalah
sebesar US$ 18,2 miliar atau naik 57% dibandingkan
periode yang sama pada tahun 2010 sebesar US$ 11,6
miliar. Dalam hal ini China sangat memaksimalkan adanya
perjanjian ACFTA sehingga ekspor China terus mengalami
peningkatan secara terus menerus dari tahun ketahun, dan
China berhasil menguasai pangsa pasar Indonesia dengan
produknya yang sangat murah. Terbukti dengan banyaknya
produk Cina yang sekarang ini membanjiri pangsa pasar
Indonesia.
Total perdagangan antara kedua negara selama 5
(lima) tahun terakhir (2006-2010) tumbuh positif rata-rata
sebesar 30% dengan surplus perdagangan berada pada sisi
China. Pada tahun 2010 Indonesia mencatat surplus
perdagangan sebesar US$ 4,8 miliar, atau naik 43,1%
dibandingkan surplus tahun 2009 sebesar US$ 3,4 miliar.
Namun khusus terhadap China, Indonesia mencatat defisit
perdagangan sebesar US$ 5,1 miliar. Angka defisit
tersebut meningkat sebesar US$ 2,5 miliar dibandingkan
[ 147 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
defisit tahun 2009 yang tercatat sebesar US$ 2,2 miliar.
Terjadinya defisit di Indonesia ini karena Indonesia masih
belum mampu untuk menyaingi produk China yang murah
dan juga masih belum bisa memanfaatkan peluang pasar
yang ada. Seperti adanya peluang Cina banyak mengimpor
dan membutuhkan bahan baku (raw material) dan bahan
penolong untuk menopang pembangunannya yang sangat
pesat.
Sementara itu, impor Indonesia dari China periode
Januari-Oktober 2011 tercatat sebesar US$ 21,4 miliar,
suatu peningkatan sebesar 29% dibandingkan periode yang
sama tahun 2010 yang tercatat sebesar US$ 16,6 miliar. Bila
diproyeksikan hingga akhir tahun 2011 maka ekspor
Indonesia ke China akan tercatat sebesar US$ 21,9 miliar
dan impor Indonesia dari China akan sebesar US$ 25,7
miliar sehingga proyeksi defisit perdagangan Indonesia
dari China untuk tahun 2011 adalah sebesar US$ 3,8 miliar.
Proyeksi angka defisit ini merupakan penurunan sebesar
24% dari angka defisit tahun 2010 yang sebesar US$ 5
miliar. Maka dalam impor dari tahun 2010 ke 2011
mengalami kenaikan begitu pula sisi ekspor juga mengalami
kenaikan namun dalam sisi neraca perdagangan mengalami
penurunan defisit. Hal ini dikarenakan murahnya harga
yang diberikan produsen China daripada produsen
Indonesia dan Indonesia juga masih belum bisa menyaingi
biaya produksi yangrkan dikeluarkan oleh produsen China.
[ 148 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
REFERENSI
Adolf, Huala. 2012. Pesan Perdagangan Bebas ASEAN-Cina.
Andrian dan Sri . Analisis of ACFTA and cocoa trade policy in
Chinese and Domestic Market.
Badan Pusat Statistik. “Statistik Indonesia edisi 2009”. BPS
Jakarta.
Daniel dan Asniar. Pengaruh ASEAN- CHINA FREE TRADE
AREA ( ACFTA ) terhadap Bisnis Indonesia dan
Internasonal.
Daniel Pambudi dan Alexander C, Chandra, 2006. Garuda
Terbelit Naga-Dampak Kesepakatan Perdagangan
Bebas Bilateral ASEAN-Cina Terhadap Perekonomian
Indonesia. jakarata : Institute For Global Justice. hal.3
IMF, 2012. World Economic Financial Surveys: Regional
Economic Outlook Asia and Pacific.
Joseph F. Francois, Luis Rivera dan Hugo Rojas-Romagosa.
2008. Economic perspectives for Central America after
CAFTA. A GTAP-based analysia.
Lincolin, Arsyad. 2004.
Ekonomi Pembangunan.
Yogyakarta: AMP YKPN.
Llyoid, P., D. Maclaren. 2004. Gains and Losses from Regional
Trading Agreements: A Survey. The Economic Record.
80 (251). pp. 445-467
Mankiw, N. Gregory, 2003. Teori Makroekonomi, edisi
kelima, Harvard University,Penerbit Erlangga
Mutakin, Firman dan Rahmaniar Salam, Aziza. 2009.
“Dampak Penerapan ASEAN-China Free Trade
Agreement (ACFTA) Bagi Perdagangan Indonesia”,
Economic Review, No. 218. Jakarta : Departemen
Perdagangan RI.
Ndaru, Herjuno dan Anaga, Andis. 2010. “Dampak FTA
ASEAN-China dan FTA ASEAN-India bagi Indonesia”,
[ 149 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Free Trade Watch Supremasi Organisasi Multilateral.
Jakarta : Institute of Global Justice. Edisi II
Okamoto, Yumiko 2005. ASEAN, China, and India: Are they
more competitive or complementary to each other?
Ragimun, 2011. Analisis Investasi China ke Indonesia
Sebelum dan Sesudah ACFTA. Peneliti pada Pusat
Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal :
Email : [email protected]
Saktyanu K. Dermoredjo, Wahida, dan Budiman Hutabarat;
Analisis Dampak Penurunan Subsidi Ekspor Negara
Maju terhadap Produksi Pertanian Indonesia.
Desember 2007.
Sigit Setiawan. 2012. ASEAN-China FTA: The Impacts on The
Exports of Indonesia and Chin. Pusat Kebijakan
Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan-RI.
Tarmidi, Lepi T. 2010. Menghadapi tantangan Cina dalam
ACFTA. Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume
39 No. 1. Hal 63-75. Jakarta.
Urata, Shujiro and Kozo Kiyota. 2003. The Impacts of an
East Asia Free Trade Agreement on Foreign Trade in
East Asia. NBER Working Paper Series 10173,
National Bureau of Economic Research, Cambridg
Viner, Jacob. 1950. The Customs Union Issue, Carnegie
Endowment for International Peace, New York
Yue, Chia Siow. ASEAN-China Free Trade Area. Singapore
Institute of International Affairs, Paper for presentation
at the AEP Conference
[ 150 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
DINAMIKA NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
DAN SENSITIVITASNYA TERHADAP
NILAI TUKAR RIIL
Indah Hotmian A. P dan Sucik Ayu W.
Prolog
Keberhasilan suatu negara dalam membangun
perekonomian yang mantap sangat ditentukan oleh
berbagai potensi yang dimiliki oleh negara tersebut. Sistem
ekonomi, ketersediaan sumber daya alam, potensi sumber
daya manusia, serta penerapan kebijakan yang dilakukan
dalam suatu negara dapat menentukan apakah negara
tersebut dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang
pesat atau justru mengantarkan negara tersebut pada krisis
berkepanjangan. Kebijakan suatu negara dalam mengelola
sumber daya yang ada merupakan salah satu penopang
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Namun perlu
disadari bahwa kemampuan suatu negara dalam memenuhi
kebutuhan dalam negeri tidak dapat berhasil secara
mutlak. Kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat
tidak dapat selalu terpenuhi oleh produksi dan komoditi
dalam negeri. Di sisi lain, ada beberapa komoditi dalam
negeri yang butuh melebarkan pangsa pasarnya hingga ke
luar negeri. Dengan kata lain, suatu negara butuh
bertransaksi dengan negara lain untuk saling memenuhi
[ 151 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
kebutuhannya. Globalisasi ekonomi yang terjadi saat ini
membuat seluruh negara memahami pentingnya transaksi
dan pertukaran barang dan jasa antar negara.
Perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat
tentu saling terkait dengan arus perputaran modal antar
negara. Hal ini pula yang terjadi dengan Indonesia
(Nopeline, 2009).
Indonesia menyadari betapa pentingnya transaksi
dengan negara-negara lain dalam usaha pemenuhan
kebutuhan dalam negeri. Salah satu contoh, peningkatan
kegiatan ekspor Indonesia dengan mitra dagang utamanya
terutama ASEAN membuat nilai indeks perdagangan
ASEAN tetap stabil dan cenderung mengalami peningkatan
pada kisaran tahun 2003 hingga 2013.
Gambar 20. Intra-Regional Trade Share negara-negara ASEAN
(Sumber : Asian Development Bank, diolah)
Peningkatan intensitas dan konsentrasi ekspor
Indonesia ke beberapa negara mitra dagang tentu
[ 152 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
membawa banyak dampak bagi Indonesia. Apabila terjadi
perubahan bidang ekonomi pada negara mitra dagang,
sedikit banyak Indonesia akan terkena dampaknya. Salah
satu hal yang sangat sensitif dan dapat memberikan
dampak yang begitu besar bagi perdagangan internasional
Indonesia adalah nilai tukar. Perbandingan nilai tukar mata
uang negara terjadi ketika suatu negara menerapkan
sistem perekonomian terbuka sehingga dapat terjadi
interaksi internasional. Elekdag dan Han (2012),
mengemukakan bahwa fleksibilitas nilai tukar yang lebih
besar juga dapat berpengaruh pada stabilitas keuangan di
suatu negara. Avdjiev (2012) juga mengemukakan bahwa
apresiasi nilai tukar dapat mempengaruhi tingkat inflasi
suatu negara. Apabila dikaitkan dengan perdagangan
bilateral, perubahan nilai tukar dapat mengubah harga
relatif suatu produk menjadi lebih mahal ataupun lebih
murah sehingga nilai tukar sering digunakan sebagai alat
untuk meningkatkan daya saing dengan mendorong ekspor
yang diharapkan dapat menyeimbangkan neraca
perdagangan internasional.
Hal ini dikarenakan
perdagangan internasional merupakan hal yang penting
bagi suatu negara dan terbukti menjadi alat untuk
mendapatkan bahan baku dari negara-negara lain guna
menyokong usaha pembangunan dan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri. Krugman dan Obstfels (1999)
dalam Hapsari (2013) menyatakan ada beberapa hal yang
dapat menyebabkan penurunan ekspor pada suatu negara.
Pertama, adanya kontrak ekspor dan impor berjangka yaitu
kegiatan ekspor dan impor yang baru akan dilaksanakan
[ 153 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
beberapa
bulan
kemudian.
Kedua,
kesepakatan
penggunaan nilai tukar pada saat terjadinya depresiasi.
Alasan yang ketiga adalah walaupun kontrak ekspor dan
impor mengikuti kebijakan nilai tukar yang baru, butuh
waktu beberapa saat untuk penyesuaian.
Secara teori, terjadinya peningkatan aktivitas
perdagangan antar negara dilandasi oleh beberapa kajian
konsep. Adam Smith mengatakan bahwa setiap negara akan
memperoleh manfaat perdagangan internasional apabila
melakukan spesialisasi pada produk yang mempunyai
efisiensi produksi lebih baik dari negara lain dan
melakukan perdagangan internasional dengan negara lain
yang mempunyai kemampuan spesialisasi pada produk
yang tidak dapat diproduksi di negara tersebut secara
efisien. David Ricardo menyempurnakan pemikiran
keunggulan absolut Adam Smith dengan mengemukakan
pemikiran keunggulan komparatif. Hukum pada pemikiran
komparatif ini mengatakan bahwa meskipun salah satu
negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi, masih
terdapat
dasar
dilakukannya
perdagangan
yang
menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang kurang
efisien harus berspesialisasi dalam produksi dan
mengekspor komoditi yang kerugian absolutnya lebih
sedikit (Salvatore, 2004).
Neraca perdagangan terbentuk dari adanya
keunggulan komparatif yang menggambarkan pola ekspor
dan impor dari masing-masing negara di mana neraca
perdagangan adalah bagian dari neraca transaksi berjalan
yang mennghitung net trade dari barang (merchandise
[ 154 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
goods) yang merupakan selisih dari ekspor dengan impor
perdagangan barang (Batiz, 1994). Neraca perdagangan
menyediakan informasi tentang ulasan dari performa
perekonomian suatu negara dan juga pola perdagangan
sebagaimana tergambar dalam perdagangan barangnya.
Nilai tukar atau kurs (exchange rate) yang juga sebagi
stimulan penyimbang neraca perdagangan merupakan
pertukaran dua mata uang yang berbeda atau
perbandingan nilai dari kedua mata uang tersebut. Para
ekonom membedakan nilai tukar mata uang domesrik
terhadap mata uang asing menjadi dua, yaitu nilai tukar
nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal merupakan
harga relatif mata uang dua negara. Sedangkan nilai tukar
riil adalah harga relatif barang-barang di kedua negara
(term of trade). Nilai tukar dapat berubah-ubah berupa
depresiasi dan apresiasi. Terjadinya depresiasi mata uang
rupiah terhadap dollar AS merupakan suatu penurunan
harga dollar AS terhadap rupiah di mana harga barangbarang domestik menjadi lebih rendah atau lebih murah
bagi pihak luar negeri sedangkan apresiasi rupiah terhadap
dollar AS merupakan kenaikan rupiah terhadap dollar AS di
mana harga barang-barang domestik menjadi lebih mahal
pagi pihak luar negeri (Sukirno, 1981:297). Pengertian nilai
tukar memberikan pemahaman bahwa apabila kondisi
ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka
biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara
substansial. Selain itu masalah mata uang timbul saat suatu
negara mengadakan transaksi dengan negara lain di mana
masing-masing negara menggunakan mata uang yang
[ 155 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
berbeda sehingga dapat diartikan bahwa nilai tukar
merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu
negara untuk memperoleh mata uang negara lain.
Tren Performa Neraca Perdagangan Indonesia
Neraca perdagangan (balance of trade) adalah selisih
antara nilai ekspor dan impor. Neraca perdagangan suatu
negara sedikit banyak dipengaruhi oleh krisis
makroekonomi dan perubahan pola perdagangan
internasional, terutama di era globalisasi. Keuntungan yang
didapat oleh suatu negara bisa menjadi penyebab defisit
neraca perdagangan negara mitra dagangnya (Zakir dan
Ismail, 2010).
Tabel 4. Neraca Perdagangan Indonesia 2003-2013
Tahun
Ekspor
Impor
Defisit/Surplus
2003
61.058.246.995
32.550.684.286
28.507.562.709
2004
71.584.608.796
46.524.531.358
25.060.077.438
85.659.952.615
57.700.882.616
27.959.069.999
2005
100.798.624.280
61.065.465.536
39.733.158.744
2006
2007
114.100.890.751
74.473.430.118
39.627.460.633
2008
137.020.424.402
129.197.306.224
7.823.118.178
2009
116.510.026.081
96.829.244.981
19.680.781.100
2010
157.779.103.470
135.663.284.048
22.115.819.422
2011
203.496.620.060
177.435.555.736
26.061.064.324
2012
190.031.845.244
191.691.001.109
-1.659.155.865
2013*
91.068.762.794
94.410.645.297
-3.341.882.503
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Defisit neraca perdagangan saling mempengaruhi terhadap
neraca transaksi berjalan seperti yang terjadi pada
[ 156 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
perekonomian Indonesia belakangan ini. Indonesia sempat
mengalami defisit neraca perdagangan pada kuartal IV
tahun 2013. Berikut adalah data defisit dan surplus neraca
perdagangan Indonesia selama sebelas tahun terakhir.
Pada Februari 2014 kembali mengalami surplus yang
dikarenakan meningkatnya ekspor nonmigas dan turunnya
angka defisit neraca perdagangan migas. Pengaruh
penguatan rupiah terhadap dolar pada periode ini terbukti
juga cukup signifikan terhadap neraca perdagangan.
Namun surplus ini hanya berlaku pada jangka pendek
karena pada periode berikutnya Indonesia kembali
mengalami defisit neraca perdagangan. Sektor migas
menjadi salah satu penyumbang angka defisit terbanyak
selama beberapa tahun terakhir yang berdampak negatif
pada neraca transaksi berjalan dan neraca pembayaran
Indonesia. Impor migas terbesar adalah impor BBM (Bahan
Bakar Minyak). Defisit neraca perdagangan migas selama
2012 dipicu oleh tingginya permintaan impor BBM yang
mencapai 28,7 miliar USD atau naik 1,9 persen. Hal
tersebut menyebabkan neraca perdagangan Indonesia pada
tahun 2012 mengalami defisit sebesar 1,6 Miliar USD.
Konsumsi bahan bakar minyak yang terus meningkat tanpa
diimbangi dengan produktivitas masyarakat membuat
Indonesia semakin banyak mengimpor bahan bakar
minyak.
[ 157 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
2E+10
1,8E+10
1,6E+10
1,4E+10
1,2E+10
1E+10
8E+09
6E+09
4E+09
2E+09
0
Ekspor
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Saeptember
Oktober
Nopember
Desember
Impor
Gambar 21 : Ekspor dan Impor Bulanan Indonesia tahun 2012
(Milyar USD)
Berdasarkan penelitian pada negara-negara OECD
selama 20 tahun terakhir, apabila hubungan neraca
perdagangan dikaitkan dengan kurs riil maka keduanya
saling mempengaruhi. Pengembangan perdagangan
internasional, sebagai contoh dalam industri, telah
menyebabkan negara-negara memperdagangkan jenis
barang yang sama sehingga meningkatkan substitusi jenis
barang impor dan ekspor yang pada akhirnya
meningkatkan sensitivitas neraca perdagangan terhadap
nilai tukar riil (Kharroubi, 2011). Berbagai kajian empiris
dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Hapsari (2013)
melakukan peneliian mengenai pengaruh nilai tukar riil
terhadap keseimbangan neraca perdagangan bilateral
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena
kurva J, yaitu fenomena di mana depresiasi nilai tukar
dalam jangka pendek tidak serta merta meningkatkan
[ 158 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ekspor, terjadi di Indonesia. Zuhroh et al (2007) meneliti
dampak perubahan nilai tukar terhadap neraca
perdagangan Indonesia dan mendapati pertumbuhan nilai
tukar riil memiliki kontribusi yang sangat rendah dalam
menjelaskan pertumbuhan neraca perdagangan meskipun
fenomena kurva J juga terjadi. Marpaung (2013)
menyatakan bahwa depresiasi akan menurunkan ekspor
demikian juga apresiasi nilai tukar akan menurunkan
impor.
Berbagai penelitian ini menunjukkan bahwa
perubahan yang terjadi pada nilai tukar riil belum tentu
diikuti dengan respon langsung pada neraca perdagangan.
Secara teori, depresiasi nilai tukar dapat meningkatkan
daya saing barang domestik dan ekspor sedangkan
apresiasi nilai tukar justru akan meningkatkan impor.
Namun ada saat di mana hal tersebut berlaku sebaliknya
yaitu depresiasi justru menurunkan ekspor dan
meningkatkan impor pada jangka pendek. Fenomena ini
disebut fenomena kurva J yang berdasarkan penelitian
terdahulu hal ini terjadi pada perdagangan bilateral
Indonesia dan mitra dagang utama seperti Jepang, China,
Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Epilog
Perdagangan internasional yang terjadi antar negara
dipengaruhi oleh nilai tukar riil dan rasio harga kedua
negara. Jika nilai tukar riil meningkat, dengan asumsi rasio
harga konstan, maka akan ada hubungan positif dengan
neraca perdagangan. Nilai tukar riil yang lebih tinggi akan
[ 159 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
memberikan indikasi rendahnya harga produk domestik
Indonesia terhadap produk lain. Namun saat kurs fluktuatif,
maka daya saing akan sangat ditentukan oleh kemampuan
tiap-tiap negara atau otoritas moneter dalam
mengendalikan laju harga dengan berbagai instrumennya.
Ekspor Indonesia dari berbagai sektor sempat
menunjukkan tren positif walaupun terjadi penurunan dan
defisit neraca perdagangan pada beberapa tahun terakhir.
Secara teori, apabila nilai tukar mata uang domestik
mengalami depresiasi terhadap mata uang lainnya maka
diharapkan dapat meningkatkan keuntungan perdagangan
internasional dan dapat menyeimbangkan neraca
perdagangan internasiona melalui ekspor negara tersebut.
Apresiasi mata uang domestik akan menyebabkan
peningkatan harga relatif terhadap ekspor negara tersebut
dan penurunan harga relatif impor. Depresiasi mata uang
domestik sebaliknya akan menyebabkan penurunan harga
relatif dari ekspor negara tersebut dan meningkatkan harga
relatif dari impor. Namun pada studi kasus neraca
perdagangan Indonesia, hal sebaliknya dapat terjadi yaitu
fenomen kurva J di mana depresiasi nilai tukar justru
menurunkan daya saing dan mengurangi ekspor sedangkan
apresiasi nilai tukar yang seharusnya dapat memicu
kenaikan impor berbanding terbalik dengan terjadinya
penurunan impor pada jangka pendek.
[ 160 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
REFERENSI
Adiningsih, Hapsari, et al. 2013. Does the J-Curve
Phenomenon Exist in Teh Indonesia’s Bilateral Trade
Balances With Major Trading Countries? ASEAN
Journal of Economics, Management and Accounting 1
(1): 13-22 (June 2013) ISSN 2338-9710.
Avdjiev, Stefan., McCauley, Robert dan McGuire, Patrick.
2012. Rapid Credit Growth and International Credit:
Challenges For Asia. BIS Working Paper No. 377.
Batiz, Fransisco Rivera and Luis Rivera-Batiz. 1994.
International
Finance
and
Open
Economy
Macroecomics. MacMillan Publishing Company, 1994.
Elekdag, Selim dan Han, Fei. 2012. What Drives Credit
Growth in Emerging Asia?. IMF Working Paper No. 43.
Hubbard, R.G., O’Brein, A. P. dan Rafetrty, Matthew. 2012.
Macroeconomics. United State of America: Pearson
Education, Inc.
Khan, M.Z.S. dan M.I. Hossain. 2010. A Model of Bilateral
Trade Balance : Extensions and Empirical Tests.
Economic Analysis and Policy, Vol. 40 No. 3, December
2010.
Kharroubi, Enisse. 2011. The Trade Balances and The Real
Exchange Rate. BIS Quarterly Review.
Krugman dan Obstfelt. 1991. Ekonomi Internasional: Teori
dan Kebijakan. Penerbit: Erlangga. Jakarta.
Krugman, Paul. R. 2003. International Economics. Sixth
Edition.
Marpaung, Erlina. 2013. Pengaruh Nilai Tukar Riil terhadap
Trade Balance di Negara ASEAN (Pendekatan Kondisi
Marshall-Lerner dan Fenomena J-Curve). Economics
Development Analysis Journal.
[ 161 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Niken, Paramita Purwanto. 2013. Subsidi BBM sebagai
Penyebab Defisit Neraca Perdagangan. Info Singkat
Kebijakan Publik Vol. V, No. 07/I/P3DI/April/2013.
Nopeline, Nancy. 2009. Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap
Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia (MarshallLerner Condition dan Fenomena J-Curve). Tesis.
Universitas Sumatera Utara Medan.
Salvatore, Dominick. 2004. International Economics. USA :
Jhon Wiley & Sons.
Sukirno, Sadono. 2000. Makro Ekonomi Modern
Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga
Keynesian Baru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zuroh, Idah et al. 2007. Dampak Pertumbuhan Nilai Tukar
Riil terhadap Pertumbuhan Neraca Perdagangan
Indonesia (Suatu Aplikasi Model Vector Autoregressive,
VAR). Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 1
No.1 Oktober 2007, 59-73.
[ 162 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
PENGARUH NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR
MAKANAN
DI INDONESIA
Airin Septia Lygina dan Elani Umiyatul Halim
Prolog
Perdagangan internasional atau perdagangan luar
negeri dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara
subjek ekonomi negara yang satu dengan subjek ekonomi
negara yang lain, baik mengenai barang ataupun jasa.
Subjek ekonomi tersebut seperti penduduk di suatu negara,
perusahaan ekspor dan impor, perusahaan industri, dan
lain-lain (Sobri: 2000). Perdagangan atau pertukaran dapat
diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan
atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak.
Ketika membahas perdagangan internasional maka
akan dihubungkan dengan nilai tukar (kurs) adalah harga
sebuah mata uang dari suatu negara yang di ukur atau
dinyatakan dalam mata uang lainnya. Kurs memiliki
peranan yang penting dalam keputusan pembelanjaan,
karena dengan adanya kurs kita dapat menerjemahkan
harga-harga dari negara lain dalam bahasa yang sama.
Teori perdagangan yang mengalami perubahan
mengikuti jaman (modern) dimulai ketika ekonom Swedia
[ 163 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
yaitu Eli Hecskher (1919) dan Bertil Ohlin (1933)
mengemukakan penjelasan mengenai perdagangan
internasional yang masih belum bisa dijelaskan dalam
keunggulan komparatif. Pada teori Klasik Comparatif
advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional
akan terjadi apabila adanya perbedaaan dalam productivity
of labor (faktor produksi yang secara eksplisit dinyatakan)
antar negara (Salvatore: 2004).
Teori H-O mencoba memberikan penjelasan
mengenai penyebab terjadinya perbedaan produktivitas
tersebut. Teori H-O menyatakan bahwa penyebab
perbedaab produktivitas karena adanya jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing
negara, sehingga hal itu menyebabkan terjadinya
perbedaan harga barang yang sudah dihasilkan. Negaranegara yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak
atau murah dalam memproduksi akan melakukan
spesialisasi produksi yang akan diekspor barangnya.
Sedangkan negara yang faktor produksinya relatif mahal
akan mengimpor barangnya.
Penjelasan mengenai teori H-O ini menggunakan dua
kurva. Pertama, kurva isocost yaitu kurva yang
menggambarkan total biaya produksi yang sama serta
kurva isoquant yang menyatakan bahwa jika terjadi
persinggungan antara kurva isoquant dan kurva isocost
maka akan ditemukan titik optimal sehingga dengan
menetapkan biaya tertentu negara akan memperoleh
produk maksimal atau sebaliknya dengan biaya yang
minimal suatu negara dapat memproduksi sejumlah
[ 164 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
produk tertentu. Ada beberapa penggunaan asumsi pada
teori H-O, antara lain perdagangan internasional terjadi
antara dua negara, setiap negara memproduksi dua
komoditi yang sama, setiap negara menggunakan dua jenis
faktor produksi yaitu labor dan kapital, dengan jumlah atau
proporsi yang berbeda. Beberapa kondisi yang pada
kenyataannya tidak sesuai dengan asumsi teori H-O
sehingga perlu adanya perbaikan, antara lain kondisi
permintaan dan penawaran komoditas perdagangan
senantiasa mengalami perubahan, teori perdagangan
terbaru menyatakan bahwa pengetahuan adalah variabel
penentu keputusan perdagangan dan investasi, jumlah dan
kualitas faktor produksi dan teknologi akan mengalami
perubahan dari waktu ke waktu, variabel ongkos
transportasi diperhitungkan.
Adapun teori Adam Smith yang berpendapat bahwa
sumber tunggal pendapatan adalah berasal dari produksi
hasil tenaga kerja serta sumber daya ekonomi. Adam Smith
sepakat dengan doktrin merkantilisme yang menyatakan
bahwa kekayaan suatu negara dapat dicapai dari surplus
ekspor. Menurut Smith suatu negara akan mengekspor
hasil produksinya karena dapat menghasilkan barang
dengan biaya yang secara mutlak lebih murah daripada
negara lain yaitu karena memiliki keunggulan mutlak
dalam produksi barang tersebut.
Teori absolute advantage mendasarkan pada besaran
atau variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal
dengan nama teori murni perdagangan internasional.
Murni disini dalam artian teori ini memusatkan
[ 165 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
perhatiannya pada variabel riil seperti nilai suatu barang
diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang digunakan
selama berproduksi. Makin banyak tenaga kerja yang
dugunakan maka makin tinggi nilai barang yang
diproduksi.
Teori ini menggunakan teori nilai kerja. Teori nilai
kerja ini bersifat sederhana karena menggunakan asumsi
bahwa tenaga kerja bersifat homogen serta merupakan
satu-satunya faktor produksi. Pada kenyataannya, tenaga
kerja tidak bersifat homogen, faktor produksi tidak hanya
satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas.
Teori David Ricardo (Comparative Advantage)
menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan
mengekspor suatu barang yang memiliki comparative
advantage terbesar dan mengimpor barang yang memiliki
comparative disadvantage (suatu barang yang dapat
dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang
yang bila diproduksi sendiri akan memakan ongkos yang
besar). Nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya
tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang
tersebut.
Dalam hal ini David Ricardo (1772-1823) menyatakan
bahwa nilai penukaran ada jikalau barang tersebut
memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian suatu barang
dapat ditukarkan bila barang tersebut memiliki nilai guna
yang dibutuhkan.
Perdagangan bebas akan dikaitkan dengan globalisasi
dalam suatu negara. Sifat perekonomian Indonesia yang
terbuka mengharuskan untuk diperkuatnya home front
[ 166 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
agar dapat memperoleh manfaat yang sebesar - besarnya
dari peluang yang tercipta di tengah persaingan terutama
perdagangan yang semakin ketat. Seluruh potensi yang
dimiliki harus dapat dieksploitasi secara optimal dan tepat
(Basri,1995).
Cyrillus Harinowo menyatakan bahwa perekonomian
Amerika Serikat dalam sejarah perkembangannya hampir
selalu mengalami defisit dalam neraca pembayarannya.
Defisit pada APBN pemerintahan presiden Bush
Jr
mencapai rekor tertinggi dalam tahun fiskal 2004 yang
berakhir pada tanggal 30 september 2004, yaitu dengan
jumlah sebesar 413 miliar dollar 6. Defisit yang dialami
oleh Amerika Serikat pada masa tersebut merupakan
defisit Anggaran dan defisit neraca perdagangan sehingga
disebut defisit kembar. Munculnya defisit kembar tersebut
karena meningkatnya anggaran belanja negara dan
pemotongan nilai pajak senilai 1,85 triliun dollar yang
dimaksudkan untuk mendorong perekonomian Amerika
serikat sehingga terjadi peningkatan penerimaan pajak,
namun yang terjadi malah sebaliknya.
Defisit
kembar
yang
terjadi
menyebabkan
melemahnya nilai mata uang Amerika serikat. Defisit
neraca perdagangan Amerika Serikat terjadi ketika ada
ketimpangan neraca perdagangan amerika serikat dengan
Jepang pada tahun 2004, dimana nilai ekspor Jepang ke
Amerika Serikat meningkat drastis. Begitu juga dengan
yang terjadi pada tahun 2007 dimana neraca perdagangan
Amerika Serikat mengalami ketimpangan yang salah
satunya disebabkan oleh meningkatnya ekspor Cina ke
[ 167 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Amerika Serikat. Selain itu pemerintah Amerika Serikat
juga melakukan peningkatan anggaran pertahanannya
setelah serangan teroris dan menjadi lebih besar lagi
dengan adanya serangan ke Afganistan dan Irak oleh
Amerika Serikat.
Nilai tukar yang semakin tinggi secara drastis tak
terkendali akan menyebabkan hambatan pada dunia usaha
dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang
mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual
barangnya ke pasar ekspor. Oleh karena itu, pengelolaan
nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor
moneter yang mendukung perekonomian secara makro
(Aulia Pohan, 2008:55).
Gejala penurunan kinerja perdagangan tersebut
tentunya tidak hanya berdampak kepada AS namun juga
seluruh negara di dunia, hal ini melatarbelakangi dan
meningkatkan sikap kecenderungan beberapa negara
untuk menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih
proteksionis untuk melindungi pasar dalam negeri (inward
looking policy).Namun demikian, Presiden Obama, dalam
pidatonya di State Union pada 27 Januari 2010,
menyampaikan pandangannya untuk menetapkan tujuan
yang ambisius terkait kebijakan perdagangan yaitu
pertumbuhan nilai ekspor AS yang ditargetkan dapat
meningkat sebesar 2 (dua) kali lipat dalam jangka waktu
lima tahun (2010-2015), sehingga dapat menciptakan 2
juta tenaga kerja baru bagi masyarakat AS (New York
Times, 2010).
[ 168 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Tantangan utama untuk Indonesia saat ini adalah
bagaimana cara meningkatkan nilai ekspor serta
meningkatkan penerimaan negara (persediaan devisa) dari
sektor ekspor. Secara teoritis ekspor disini tidak sekedar
membentuk surplus neraca perdagangan. Apabila terjadi
keberhasilan peningkatan ekspor maka hal tersebut
merupakan salah satu sumber penting pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan nasional. Pernyataan Aliman dan
Ade (2000), masih terdapat perdebatan soal apakah ekspor
menyebabkan pertumbuhan ekonomi (export-led growth)
yang dibicarakan oleh Bank Dunia atau sebaliknya
pertumbuhan ekonomi yang mendorong ekspor (growthled export). Namun juga terbuka kemungkinan ekspor
mengurangi pertumbuhan ekonomi (export reducing
growth) atau pertumbuhan ekonomi berpotensi
mengurangi ekspor (growth reducing export) yang
dinyatakan oleh Jung dan Marshall (1985).
Pengaruh Nilai Tukar (Kurs) Terhadap Ekspor
Indonesia
Pengaruh perdagangan internasional terasa pada
harga, pendapatan nasional, dan tingkat kesempatan kerja
negara-negara yang terlibat dalam perdagangan
internasional tersebut. Ekspor akan meningkatkan
permintaan masyarakat, yaitu jumlah barang dan jasa yang
diinginkan masyarakat di dalam negeri. Sebaliknya, impor
akan menurunkan permintaan masyarakat di dalam negeri.
Permintaan masyarakat akan memengaruhi kesempatan
kerja dan pendapatan nasional, dan di antara lain akan
[ 169 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
tergantung pada besarnya ekspor neto, yaitu selisih antara
ekspor dan impor. Bila ekspor neto positif, berarti ekspor
lebih besar daripada impor, kesempatan kerja dan
pendapatan nasional cenderung akan naik. Besarnya
ekspor neto sangat ditentukan oleh nilai kurs mata uang
negara yang bersangkutan.
Misalnya, nilai rupiah turun dibandingkan dengan
dolar AS, harga barang ekspor dari Indonesia relatif akan
lebih murah di AS, sehingga ekspor akan cenderung
meningkat. Sebaliknya, harga barang-barang dari AS relatif
menjadi mahal sehingga impor akan akan cenderung
menurun. Dengan demikian, penurunan nilai kurs mata
uang sendiri akan cenderung meningkatkan ekspor neto,
demikian pula sebaliknya. Jadi, kegiatan serta kejadian
internasional akan memengaruhi ekonomi dalam negeri,
melalui pengaruh nilai kurs mata uang pada impor, ekspor,
dan akhirnya permintaan masyarakat.
Perubahan nilai tukar dapat mengubah harga relatif
suatu produk menjadi lebih mahal atau lebih murah,
sehingga nilai tukar terkadang digunakan sebagai alat
untuk meningkatkan daya saing (mendorong ekspor).
Neraca Perdagangan (balance of trade) merupakan
bagian penting dari neraca pembayaran (balance of
payment) yang merupakan ringkasan laporan rugi laba dari
arus keluar-masuk barang, jasa dan asset-aset dalam suatu
perekonomian selama kurun waktu tertentu, maka untuk
dapat mengetahui bagaimana hubungan perdagangan luar
negeri Indonesia-Amerika akan dianalisis hubungan
[ 170 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
ekonomi kedua negara tersebut dengan menggunakan data
neraca perdagangannya.
AFTA (ASEAN Free Trade Area) dalam perdagangan di
Indonesia pada kasus ekspor yang menurun diharapkan
dapat terselesaiakan namun dibutuhkan pembenahan dari
apa yang akan diekspor misalnya dari segi kualitas dan
kuantitas barang yang dijual.
Neraca perdagangan Amerika Serikat dengan
Indonesia periode Januari-April 2013, Indonesia berhasil
surplus sebesar US$ 3.621,27 juta, atau meningkat sebesar
3,97% dibanding surplus pada periode yang sama tahun
2012, yang tercatat sebesar US$ 3.482,99 juta. Berbagai
upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan ekspor
makanan dan minuman. Salah satunya adalah membidik
pasar di Amerika Serikat dan Kanada melalui misi
penjualan pada 29 Maret-4 April 2014. Cara dari Indonesia
dalam meningkatkan dan mengenalkan produk dalam
negeri agar diterima di pasar Amerika Serikat dan Kanada
adalah dengan diadakannya pameran makanan dan
minuman Salon International de L'amentation (SIAL)
Canada 2014. Selain itu, program ini untuk
mempromosikan produk-produk Indonesia pada calon
mitra bisnis di sana. Serta memperkaya wawasan
perusahaan, sehingga dapat mempertajam strategi mereka
memasuki pasar Amerika Serikat dan Kanada melalui
berbagai kegiatan, seperti seminar dan kunjungan ke pasarpasar retail.
SlAL Canada merupakan salah satu pameran makanan
dan minuman terbesar di Amerika Utara dengan jumlah
[ 171 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
pembeli rata-rata 14.000 yang berasal dari 61 negara.
Tahun 2013, pameran tersebut dilaksanakan di Toronto
dan diikuti 758 peserta dari 45 negara, di antaranya
Indonesia, Malaysia, Aljazair, ltalia, Korea Selatan, Maroko,
AS, dan Meksiko. Partisipasi Indonesia pada SIAL 2013
memperoleh hasil yang cukup positif, yaitu dengan estimasi
transaksi pembelian US$ 4,5 juta dan 300 inquiries.
Berdasarkan data BPS pada 2013, produk makanan dan
minuman Indonesia merupakan salah satu produk
unggulan yang berkontribusi terhadap ekspor produk nonmigas Indonesia. Pada 2013, nilai ekspor produk ini ke
seluruh dunia tercatat US$ 4,83 miliar dengan tren yang
positif selama lima tahun terakhir (2009-2013) sebesar
14,93 persen. Adapun pada 2014, produk makanan dan
minuman olahan ditargetkan mengalami pertumbuhan
10,5-11,5 persen dengan nilai ekspor US$ 4,9-5 miliar.
Produk makanan dan minuman yang diimpor Indonesia
dari AS antara lain suplemen, buah anggur, sirop,
tembakau, kentang, dan daging. Sedangkan Kanada
menempati peringkat 32 dengan nilai US$ 22,71 juta.
Produk ekspor Indonesia ke Kanada terdiri atas sarang
burung walet, kerang-kerangan, kepiting, udang, tuna, teh
hitam, kacang mete, pasta udang, dan biskuit. Sedangkan
impor dari Kanada tercatat US$ 17,66 juta. Produk
makanan dan minuman yang diimpor Indonesia dari
Kanada antara lain kentang, kacang-kacangan, es krim,
ekstrak sayuran, suplemen, agar-agar, dan sayuran.
[ 172 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Kekuatan dan Kelemahan Hubungan Perdagangan
antara Indonesia dan AS
Indonesia memiliki beberapa kekuatan yang menarik
AS untuk menjalin hubungan ekonomi yang lebih maju.
Kekuatan Indonesia antara lain meliputi:
a) Stabilitas makro ekonomi, yang dibuktikan dengan
angka pertumbuhan ekonomi yang cenderung
meningkat stabil dan rasio hutang pemerintah yang
rendah. Bahkan pengelolaan fiskal Indonesia dianggap
terbaik se Asia- Pasifik.
b) Potensi pasar yang besar, yang menurut World
Economic Forum menempati ukuran terbesar ke-15
dunia. Besarnya pasar Indonesia ini juga diikuti daya
beli yang makin besar dari kelas menengah yang makin
berkembang.
Namun demikian, Indonesia juga memiliki beberapa
kelemahan yang menghambat hubungan ekonomi dengan
negara lain, termasuk Amerika Serikat, yaitu:
a) Infrastruktur yang buruk dan menunjang kegiatan
ekonomi merupakan kekurangan Indonesia yang paling
sering dikeluhkan oleh mitra kerjasama ekonomi
termasuk AS. Infrastruktur yang dikeluhkan mencakup
sarana jalan, fasilitas pelabuhan dan transportasi
udara, suplai energy dan jaringan telekomunikasi.
b) Penerapan peraturan Hak atas Kekayaan Intelektual
(HKI) yang masih lemah di Indonesia. Meskipun
Indonesia sudah mempunyai berbagai peraturan
hukum HKI namun dalam implementasinya masih
[ 173 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
sering terjadi pelanggaran HKI dan penegakan
hukumnya kurang efektif.
c) Kualitas barang hasil produksi yang sering di bawah
standar keamanan, keselamatan dan kesehatan, atau
kalaupun berhasil mencapai standar maka sering tidak
konsisten.
d) Kurangnya kepastian hukum yaitu payung hukum yang
dapat memberikan keamanan bagi mereka untuk
menjalankan usaha pertambangan.
Sebagai mitra dalam hubungan ekonomi, AS juga
memiliki kekuatan dan kelemahan yang harus diperhatikan
Indonesia. Kekuatan AS antara lain:
a) Kemudahan dalam melakukan usaha sehingga
International Finance Corporation (IFC) menempatkan
Amerika Serikat sebagai salah satu negara terbaik
untuk melakukan usaha.
b) Posisi yang kuat dalam organisasi internasional,
mengingat AS adalah pelopor sistem perdagangan
internasional modern dan pendiri berbagai institusi
perdagangan dan keuangan internaional. Dengan
demikian pengaruh dan leverage Amerika Serikat
sangat besar dalam menentukan aturan main yang
terkait hubungan ekonomi internasional.
c) Inovasi dan teknologi maju yang menjadi menggerak
perdagangan dan investasi dan infrastruktur yang
mendukung berbagai aktifitas ekonomi sehingga
tercapai efisiensi yang sangat dibutuhkan dalam
kegiatan ekonomi.
[ 174 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
Amerika Serikat juga memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, terancamnya perkembangan daya saing Amerika
Serikat di masa yang akan datang misalnya karena
menurunnya perkembangan inovasi. Atlantic Report
melaporkan bahwa dari tahun 1999 hingga 2008,
perbaikan dalam bidang inovasi di Amerika Serikat sangat
minim.
Epilog
a. Hubungan perdagangan luar negeri antara IndonesiaAmerika Serikat dapat dilihat menggunakan neraca
perdagangan. Dimana neraca perdagangan merupakan
bagian penting dari neraca pembayaran. Dalam neraca
pembayaran berisikan laporan laba-rugi dalam
transaksi perdagangan. Di Indonesia, terjadi
penurunan nilai ekspor migas dan non-migas akan
tetapi akan ada perubahan pada tahun tertentu.
b. Pada perdagangan luar negeri antara IndonesiaAmerika Serikat pastinya memiliki kekuatan dan
kelemahan pada masing-masing negara. Di Indonesia
sendiri mengalami peningkatan pada stabilitas
ekonomi makro dan potensi pasar yang besar, akan
tetapi ada kelemahan yang muncul seperti kualitas
produk yang rendah serta infrastruktur yang buruk.
Sedangkan di Amerika Serikat, posisi yang kuat dalam
organisasi internasional menjadi suatu komponen
unggul serta inovasi dan teknologi yang sudah maju,
namun dibalik kekuatannya terdapat penurunan dalam
perkembangan daya saing.
[ 175 ]
Sketsa Ekonomi Indonesia
REFERENSI
Aimon, Hasdi. 2013. Prospek Perdagangan Luar Negeri
Indonesia-Amerika dan Kurs. Jurnal Kajian Ekonomi,
Vol. I, No.02.
Darwanto, S.E.,M.Si. Model Perdagangan Hecksher Ohlin
(Teori, Kritik, Perbaikan). Fakultas Ekonomi UNDIP.
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian
Keuangan RI. 2012. Kajian Kerjasama Bilateral
Indonesia-Amerika Serikat.
Sadono, Endiarjati Dewandaru. Teori Perdagangan
Internasional
dan
Strategi
Pembangunan.
Universitas Gadjah Mada.
Siregar. 2009. Perdagangan Luar Negeri Indonesia-Amerika.
Kajian Vol.14 No.03.
Wardhani, Francisca Wijauanti Kusuma. 2010. Kerjasama
Cina-Amerika Serikat. FISIP. Universitas Indonesia.
www.badanpusatstatistik.com
www.lms.unhas.ac.id
www.usu.ac.id
[ 176 ]
Download