Mystus Nigriceps

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ikan Senggaringan (Mystus negriceps)
Ikan senggaringan dilihat dari morfologisnya termasuk dalam kelompok
ikan bersungut dari ordo Siluriformes, subordo Siluroidei, famili Bagridae, genus
Mystus, spesies Mystus nigriceps untuk ikan senggaringan (Saanin 1986, Kottelat
et al. 1993).
Gambar 2 Ikan senggaringan (Mystus nigriceps).
Jenis ikan yang termasuk genus Mystus terdapat di perairan umum
Indonesia ditaksir tidak kurang dari 11 jenis. Jenis tersebut selain M. nemurus
adalah M. baramensisi, M. bimaculatus, M. gulio, M. microcanthus, M. nigriceps,
M. olyroides, M. planiceps, M. sabanus, M. wolffi dan M. wyckii (Yustina 2001).
Di India, Mijkherjee et al. (2002) melaporkan beberapa genus Mystus
terancam keberadaannya sebagai akibat eksploitasi berlebih, polusi pestisida di
perairan, penyakit, pemasukan ikan eksotik yang tidak terkontrol, industrialisasi
yang mengganggu habitat, dan pemanfaatan air secara berlebihan
Penyebaran ikan senggaringan meliputi daerah Sumatra, Jawa dan
Kalimantan. Di berbagai daerah jenis Mystus nigriceps dikenal dengan nama ikan
keting, kating atau ingir-ingir dan di Jawa Tengah dikenal dengan nama ikan
senggaringan (Saanin 1986).
Ikan senggaringan merupakan ikan yang bersifat karnivora dan cenderung
menyukai makanan berupa crustacea dan insekta air (Sulistyo & Setijanto 2002).
Karakteristik habitat yang disukai meliputi daerah perairan yang dangkal maupun
dalam, terlindung, berarus lemah (0,08 – 0,16 m/s). Substrat dasar biasanya
berupa campuran pasir, kerikil dan batuan, terkadang ditumbuhi lumut (Sulistyo
& Setijanto 2002).
Rukayah et al. (2003), melaporkan bahwa strategi
reproduktif ikan
senggaringan ditinjau dari fekunditas mutlak berkisar antara 10005 – 39621,61
butir, sedangkan proporsi ukuran diameter telur pada musim kemarau masih
didominasi oleh ukuran 50-100 µm.
Nilai IGS cenderung meningkat dari
9,33±1,67% hingga mencapai 14,72±3,17% saat memasuki perkembangan
ovarium. Peningkatan IGS tersebut juga mengakibatkan penurunan IHS sebesar
6,62% dan IVS sebesar 14,52%.
Energi Pertumbuhan dan Reproduksi
Dalam pemijahan sebagian besar ikan air tawar melakukan pemijahan
pada awal dan pertengahan musim penghujan (Bardach et al. 1972). Puncak
aktivitas reproduksi sering dihubungkan dengan hujan dan banjir atau siklus bulan
(Vlaming, Connell diacu dalam Lam 1983). Hardy et al. diacu dalam Almansa et
al. (1999) mengungkapkan keberadaan asam lemak pada otot dan telur yang
berkembang pada ikan salmon menunjukkan keberadaan asam lemak pakan
setelah dua bulan dikonsumsi ikan.
Tubuh ikan tersusun dari beberapa komponen diantaranya air, protein,
lemak, karbohidrat dan mineral yang dinyatakan dengan abu tubuh. Air dan
protein secara kuantitatif sebagai komponen terbesar (Stickney diacu dalam
Subagyo 2004). Bentuk substrat energi yang dapat digunakan untuk menyokong
aktifitas hidup adalah dalam bentuk protein, lemak dan karbohidrat (Moreau et al.
1992).
Protein merupakan komponen terbesar sesudah air. Ikan mensintesis
protein tubuh dari protein pakan yang bermutu. Kebutuhan protein tubuh antara
lain bergantung pada ukuran tubuh ikan, mutu protein pakan, energi dan
kesuburan perairan. Sedangkan lemak bagi ikan merupakan sumber energi kedua
setelah protein, yang digunakan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh dan
proses metabolisme (Zonneveld et al. 1991).
Perkembangan gonad didukung oleh material energi yang disimpan pada
otot dan saluran pencernaan (Pazos et al. 2003), hati dan viseral (Rukayah et al.
2005), hati, viseral dan otot (Gelineau et al. 2001). Pematangan gonad sering
dihubungkan dengan penurunan pertumbuhan somatik dan pengambilan makanan,
dapat juga berpengaruh pada penurunan kualitas daging ikan (Damsgard et al.
1999).
Meningkatnya proses reproduksi akan terjadi usaha meningkatkan
produksi anakan dari tiap makanan yang dikonsumsi, proses ini akan
menyebabkan penurunan biaya energi yang diperuntukkan untuk perawatan tubuh
dan pertumbuhan somatik tubuh (Wootton 1985).
Tingkat pertumbuhan dan
penyimpanan energi mesti lebih tinggi selama masa kritis untuk perkembangan
seksual (gonad), ikan yang matang gonad memiliki kadar lemak yang tinggi jika
dibandingkan dengan yang tidak matang ( Silverstein et al. 1999).
Ikan membutuhkan energi yang besar untuk reproduksi baik dalam tingkah
laku maupun pematangan gonad. Setiap spesies ikan terdapat variasi jumlah
energi yang dibutuhkan dalam proses reproduksi seperti mencari tempat bertelur,
migrasi, tingkah laku menarik lawan jenis, cara penjagaan, produksi telur dan
sperma. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah umur, fekunditas, kelulusan
hidup dan frekuensi reproduksi (Moile & Cech 2000). Proses reproduksi biasanya
membutuhkan lebih banyak energi yang bukan saja diperuntukkan untuk produksi
gamet (Miller diacu dalam Wootton 1985).
Lebih jauh Wootton (1985)
mengungkapkan kebutuhan energi ini kemungkinan dipergunakan untuk
perkembangan karakteristik secondary sexsual seperti warna saat pemijahan dan
bentuk morfologi, produksi pheromons dan sekresi lainnya yang juga termasuk
mucus untuk menempelnya telur pada substrat atau untuk membuat sarang.
Semua ini akan membutuhkan energi selain dibutuhkannya energi untuk
perkembangan dan pematangan gamet.
Frekuensi reproduksi tergantung juga
terhadap kebiasaan ikan seperti migrasi ke area pemijahan, pertahanan daerah
pemijahan dari gangguan, tingkah laku pemijahan serta proses pengasuhan dan
kebiasaaan ini tentu membutuhkan energi. Sehingga dapat disimpulkan ada tiga
bagian kebutuhan energi dalam reproduksi yang pertama untuk produksi sexsual
primer yang mencakup produksi telur dan sperma, yang kedua untuk
perkembangan karakteristik sekunder dan ketiga diperuntukkan untuk kebiasaan
reproduksi.
Menurut Xie et al. (1998) total energi dalam tubuh yang digunakan untuk
reproduksi adalah 20,7% untuk ikan jantan dan 23,8% untuk ikan betina. Investasi
energi pada ikan betina akan semakin besar sejalan dengan ukuran tubuhnya. Ikan
dengan ukuran kecil akan menginvestasikan lebih banyak energinya untuk
pertumbuhan (Moile & Cech 2000).
Buwono (2000) menjelaskan bahwa kelebihan energi disimpan dalam
bentuk lemak di dalam perut ikan yaitu di dalam organ-organ visceral. Lemak
juga dapat disimpan sebagai cadangan energi untuk kebutuhan energi jangka
panjang selama periode aktivitas penuh atau selama periode tanpa makan pada
pemijahan (Zonneveld et al. 1991). Cadangan energi umumnya disimpan pada
sekitar organ pencernaan dan otot (Litaay & Silva 2003).
Suatu aspek yang menarik dari reproduksi adalah usaha dan energi yang
berbeda yang dikeluarkan oleh spesies dan sering berhubungan dengan pola
riwayat hidup suatu spesies (Helfman et al. 2002). Usaha reproduktif meliputi
gambaran masukan makanan dan perpindahan material energi menuju gonad,
seperti halnya penggunaan energi somatik untuk pertumbuhan gonad.
Pada ikan betina, kematangan oosit melibatkan mobilisasi atau pengerahan
dari lipid dan protein dari bagian lain dari tubuh ke ovarium. (Helfman et al.
2002). Perpindahan material energi ini akan menentukan keberlangsungan bagi
perkembangan
telur
dan
larva
nantinya,
sebagaimana
Kamler
(1992)
mengungkapkan pada pertumbuhan dan metabolisme larva akan membutuhkan
energi yang berasal dari kuning telur, pada saat ini larva ikan berada dalam
periode endogenous feeding, dan material energi yang berada di dalam kuning
telur sendiri berasal dari deposit yang yang dialokasikan pada saat perkembangan
dan pertumbuhan ovari pada induk.
Kebutuhan energi reproduksi meliputi pengeluaran atau penggunaan
energi selama migrasi reproduktif, mencari pasangan, pemijahan, fertilisasi
internal, dan hal lain yang berkenaan dengan perawatan induk (Helfman et al.
2002). Kepadatan energi, faktor kondisi, dan persentase lipid pada ikan sesudah
pemijahan lebih rendah dibandingkan sebelum pemijahan (Xie et al. 1998),
informasi tersebut menunjukkan bahwa investasi energi yang disimpan digunakan
untuk proses pemijahan.
Aktifitas reproduksi ikan didukung dengan ketersediaan lipid yang cukup
pada makanan terutama dari hewan, dan diperkirakan jika material energi dan
nutrien dimobilisasi dari intraperitoneal fat (IPF) dan hati untuk menyokong
perkembangan reproduksi dan pemijahan ikan (Craig et al. 2000), didapatnya
komposisi yang tinggi pada jaringan dan sel telur, dihubungkan dengan suksesnya
pemijahan dan reproduksi, tingginya lipid pada ikan di alam selama musim panas
diindikasikan jika terjadi biosintesis lipid pada hati untuk menyediakan persediaan
energi yang dapat digunakan untuk perkembangan somatik maupun reproduksi
(Cejas et al. 2003).
Oleh sebab itu induk ikan mesti memakan pakan yang
berkualitas tinggi selama beberapa bulan sebelum musim pemijahan (Almansa et
al. 1999). Lee et al. diacu dalam Rachmawati et al. (2003) menyatakan kadar
lipid tubuh ikan flounder hanya dipengaruhi oleh kadar energi pakan, dimana
kadar lipid tubuh meningkat dengan semakin meningkatnya kadar energi dalam
pakan.
Lemak merupakan bagian dari kimia yang unik dimana semua organism
membutuhkannya untuk hidup. Lemak digunakan sebagai sumber energi yang
utama, penyusun stuktur membran dan hormon (Watanabe 1982). Studi tentang
kebutuhan energi pada ikan yang telah ditunjukkan pada ikan karnivora, seperti
Oncorhynchus,
dimana
mempunyai
keterbatasan
dalam
memanfaatkan
karbohidrat sebagai sumber energi. Lemak mempunyai peranan penting dalam
menyediakan energi, selain itu protein juga memiliki peranan sebagai sumber
energi (Nomura & Davis 2005)
Lemak merupakan elemen penting sebagai sumber energi. Nilai energi
yang terkandung di dalamnya lebih tinggi dari nilai energi protein dan
karbohidrat. Dalam satuan berat yang sama, nilai pengali energi lemak adalah
9,5 kkal/g; protein 5,6 kkal/g dan karbohidrat 4,1 kkal/g dari persen berat
keringnya (Azwar diacu dalam Suryanti 2007), 39,5 kJ/g untuk lemak, 23,6 kJ/g
untuk protein dan 17,1 kJ/g untuk glikogen (Lambert & Dutil 1996). Faktor lain
yang tidak kalah pentingnya, adalah lemak berperan menimbulkan daya apung
telur-telur ikan tertentu sehingga terjamin kualitasnya. Kebutuhan lemak dalam
reproduksi
sangat
bervariasi
antara
spesies
ikan.
Kekurangan
lemak
mengakibatkan protein akan digunakan sebagai sumber energi. Sehingga akan
mempengaruhi aktivitas reproduksi ikan. Kadar lemak yang terlalu tinggi juga
dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi berlebih dalam ovarium sehingga
mengganggu perkembangan gonad dan aktivitas ikan (Azwar diacu dalam
Suryanti 2007)
Pada ikan, protein digunakan sebagai sumber energi dan protein
dibutuhkan untuk pertumbuhan yang maksimal (Gelineau et al. 2001).
Ikan
umumnya menggunakan protein untuk tumbuh bila kebutuhan energi untuk
metabolisme basal dan aktifitas otot telah terpenuhi dari pakan. Namun, bila
energi pakan rendah, protein pakan digunakan sebagai sumber energi Lee et al.
diacu dalam Rachmawati et al. (2003).
Protein merupakan salah satu nutrien yang dibutuhkan ikan dan perlu
dipenuhi untuk mencapai pertumbuhan optimal. Protein merupakan bahan organik
terbesar pada jaringan ikan, kurang lebih 65 – 85% total dalam berat kering. Ikan
mengkonsumsi protein untuk mendapatkan asam amino yang akan digunakan
untuk sintesis protein baru, pertumbuhan, reproduksi dan mengganti jaringan
yang rusak (Halver diacu dalam Awaludin 2003).
Protein menurut Sachwan (2001) mempunyai tiga fungsi tubuh yaitu: 1)
sebagai zat pembangun yang membentuk berbagai jaringan yang rusak dan
bereproduksi, 2) sebagai zat pengatur yang berperan dalam pembentukan enzim
dan mengatur berbagai proses metabolisme dalam tubuh ikan dan 3) sebagai zat
pembakar karena unsur karbon yang terkandung dapat difungsikan sebagai
sumber energi pada saat kebutuhan energi tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan
lemak.
Keberadaan karbohidrat relatif kecil pada komposisi tubuh, penggunaan
karbohidrat dihubungkan dengan ketersediaannya pada pakan. Tingginya kadar
karbohidrat pada pakan umumnya dihubungkan dengan tingginya deposisi lemak
pada tubuh, pada kondisi ini karbohidrat tidak digunakan sebagai sumber energi
namun diubah menjadi lemak (Moreau et al. 1992).
Indeks Morfoanatomi
Pertumbuhan merupakan karakteristik dari setiap makhluk hidup termasuk
ikan. Dalam pertumbuhan terdapat siklus reproduksi dan juga perubahanperubahan yang terjadi baik dari segi morfologi, seperti panjang dan berat serta
anatomi, seperti gonad, hati dan viseral (Helfman et al. 2002).
Indeks morfoanatomi merupakan metode yang dapat dilakukan untuk
memprediksi kinerja reproduktif ikan. Pertumbuhan dan kinerja reproduktif dikaji
melalui pendekatan variabel indeks morfologi berupa gonad somatic index (GSI),
hepato somatic index (HSI), viscera somatic index (VSI) dan faktor kondisi (FK).
Gonado somatic index (GSI) yang disebut dengan indeks gonad somatik,
merupakan suatu perhitungan dalam persen dari berat tubuh ikan yang
dialokasikan untuk material gonad (Helfman et al. 2002). Perkembangan gonad
akan semakin besar dan matang hingga fase pemijahan. Selama fase tersebut
sebagian besar energi yang diperoleh dari hasil metabolisme tertuju pada
perkembangan gonadnya. Effendie (1997) menyatakan bahwa tanda utama untuk
membedakan kematangan gonad adalah berdasarkan berat gonadnya. Sedangkan
berat gonad tergantung pada ukuran ikan dan tingkat pertumbuhan gonadnya
(Vlaming et al. 1982).
Rasio ini (berat gonad/berat tubuh x 100%) disebut sebagai indeks gonad
somatik (IGS) (Sulistyo et al. 2000). Dalam kegiatan perikanan GSI digunakan
secara luas sebagai sebuah indeks dari aktifitas gonad dan sebagai sebuah indeks
untuk menyatakan persiapan pemijahan dari suatu spesies ikan (Vlaming et al.
1982).
Kinerja reproduksi ikan digambarkan dengan jelas pula dengan hepato
somatic index (HSI) yaitu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat
hati dengan berat tubuh ikan dikalikan 100% (Sulistyo et al. 2000). Energi yang
tersimpan dalam bentuk glikogen pada hati sebelum masa reproduksi akan diubah
menjadi energi pada saat memasuki fase reproduksi (Lucifora et al. 2002).
Menurut Fujaya (2002), sel memiliki batas tertentu dalam menimbun protein, dan
bila telah mencapai batas ini setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh
akan dipecah dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak dalam
otot, hati dan viseral. Adanya perubahan ukuran berat pada hati ini dinyatakan
sebagai hepato somatik indek (HSI)
Viscera somatic index (VSI) merupakan salah satu parameter pertumbuhan
yang dinyatakan dengan persentase perbandingan antara berat viseral dengan
berat tubuh ikan (Sulityo et al. 1998). Viscera merupakan organ dalam tubuh
yang meliputi sistem gastrointretinal dari oesopagus hingga anus termasuk lemak
yang terdapat didalamnya, selain gonad dan hati. Viscera somatic merupakan
salah satu parameter pertumbuhan yang dinyatakan dengan viscera somatic index.
Buwono (2000) menjelaskan bahwa kelebihan energi disimpan dalam
bentuk lemak di dalam perut ikan yaitu di dalam organ-organ visceral. Lemak
juga dapat disimpan sebagai cadangan energi untuk kebutuhan energi jangka
panjang selama periode aktifitas penuh atau selama periode tanpa makan pada
pemijahan (Zonneveld et al. 1991).
Nilai faktor kondisi berupa K1 diperoleh dengan memperhitungkan berat
tubuh dan berat gonad dalam perbandingkan dengan panjang tubuh, sementara
nilai K2 diperoleh tanpa memasukkan berat gonad dalam perhitungannya. Cren
(1951)
menguraikan
bahwa
perubahan
nilai
K2
merupakan
petunjuk
dikerahkannya timbunan energi yang diperuntukkan bagi perkembangan gonad.
viscera somatic index (VSI) dan faktor kondisi (K) selain untuk memprediksi
kinerja reproduktif juga digunakan sebagai indikator pertumbuhan (Massou et al.
2002).
Kebiasaan Jenis Makanan
Makanan sangat penting bagi ikan karena makanan merupakan sumber
energi yang akan menentukan semua aktivitas yang akan dilakukan. Disamping
itu makanan juga diperlukan untuk tumbuh, berkembang, reproduksi dan aktifitas
metabolisme lainnya. Informasi tentang pakan yang dimakan oleh ikan tersebut
juga dapat dipakai untuk mengetahui dengan lebih baik tentang kebiasaan
makanannya termasuk pertumbuhan, migrasi dan penting pula dalam pengelolaan
perikanan secara komersil (Bal & Rao 1984).
Kebiasaan makan ikan menurut Effendie (2002) adalah jenis, kuantitas dan
kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sedangkan kebiasaan cara makan
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan cara makanan
tersebut didapat. Selanjutnya kebiasaan makanan ikan perlu dipelajari untuk
menentukan nilai gizi alamiah ikan tersebut. Selain itu dapat dilihat hubungan
antar ekologi diantara organisme dalam perairan itu.
Jumlah makanan yang
dibutuhkan oleh suatu jenis ikan tergantung pada macam makanan, kebiasaan
makanan, kelimpahan makanan, suhu perairan dan kondisi umum ikan itu sendiri
(Beckman diacu dalam Wibisana 2000).
Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan dapat digolongkan atas ikan
herbivora, kernivora dan omnivora. Affandi (1993) pada ikan gurame didapat
rasio panjang usus dan panjang total tubuh mengalami peningkatan dengan
adanya pertumbuhan, sehingga selama pertumbuhannya ikan gurame mengalami
perubahan karakter ikan karnivora ke karakter ikan omnivora atau herbivora.
Penggolongan ini didasarkan pada morfologi alat pencernaannya. Ciri khas ikan
karnivora adalah lambung dan usus yang pendek sedangkan pada ikan herbivora,
tidak ditemukan lambung tetapi usus yang panjang (Huet 1971). Mujiman dalam
Najamuddin (2004) menyatakan berdasarkan macam makanan yang dimakan,
secara garis besar ikan dapat digolongkan menjadi herbivora, karnivora, predator,
pemakan plankton, pemakan detritus dan lain sebagainya, tetapi kenyataan di
lapangan menunjukkan adanya ikan yang memakan semua jenis makanan yang
disediakan oleh lingkungan dimana ikan tersebt berada, dengan demikian
penilaian kesukaan makanan ikan menjadi sangat relatif. Menurut Lagler (1956)
kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti habitat
hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran dan umur
ikan dan tempat. Selain umur, waktu dan ukuran tubuh, pola kebiasaan makanan
ikan juga ternyata dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat yang
mempengaruhi ketersediaan makanan alami (Bio Science Club diacu dalam
Pratiwi 1991).
Kebiasaan makanan ikan terdiri atas makanan utama yaitu makanan yang
sering ditemukan dalam jumlah yang banyak, makanan sekunder yaitu makanan
yang sering ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit dan makan insidential
yaitu makanan yang terdapat pada saluran pencernaan dalam jumlah yang sangat
sedikit.
Selain itu ada juga makanan pengganti yaitu makanan yang hanya
dikonsumsi jika makanan utama tidak tersedia (Nikolsky 1963).
Kualitas Air
Kualitas fisik kimia air merupakan komponen abiotik penyusun sistem
sungai. Komponen ini sangat berpengaruh bagi kehidupan ikan dan jasad renik
lainnya (Odum 1971). Bagi kehidupan ikan akan menentukan aktifitas biologi dan
reproduksinya. Kualitas fisik dan kimia air yang berperan dalam proses
pertumbuhan dan reproduksi antara lain suhu, kecepatan arus, derajat keasaman,
kekeruhan, oksigen terlarut, karbondioksida bebas dan amonia.
Suhu air dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tempat dari permukaan air
laut. Di daerah dataran tinggi umumnya suhu lebih rendah dari pada daerah
dataran rendah (Boyd 1988). Suhu air mempengaruhi pertukaran zat asam atau
metabolise dari makhluk hidup sehingga berpengaruh terhadap reproduksi,
pertumbuhan organisme muda dan kompetisi (Krebs 1985). Suhu air merupakan
salah satu sifat fisika yang dapat mempengaruhi nafsu makan ikan dan
pertumbuhan badan ikan. Kenaikan suhu perairan mempengaruhi kemampuan
derajat metabolisme ikan dan selanjutnya menaikan kebutuhan oksigen.
Kecepatan reaksinya akan naik 2 – 3 kali lipat, setiap kenaikan suhu sebesar
10 oC. Semakin tinggi suhu maka semakin meningkat metabolisme organisme
yang hidup di perairan dan semakin meningkat kebutuhan oksigen, tetapi
kemampuan haemoglobin untuk mengikat oksigen semakin berkurang. Walk et
al. (2000) menyatakan bahwa suhu tinggi akan berpengaruh langsung terhadap
proses fisiologi pada beberapa jenis ikan dan menurunkan kelimpahannya di
perairan. Sejalan dengan itu Pescod (1973) mengemukakan bahwa perubahan
suhu di perairan yang mengalir tidak boleh melebihi 28 oC.
Pada ikan yang hidup di perairan tawar, perubahan suhu perairan pada
musim penghujan memberikan tanda secara alamiah untuk melakukan pemijahan,
beruaya dan mencari makan.
Suhu juga mempengaruhi distribusi ikan dan
kelimpahan makanan di suatu perairan.
Rifai (1983) mengemukakan bahwa
distribusi ikan akan berubah jika suhu perarian di sekitarnya berubah.
Derajat keasaman (pH) merupakan logaritma negatif dari ion hidrogen
yang terlepas dari perairan dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
kehidupan tumbuhan dan hewan air (Soeseno 1977). Derajat keasaman air penting
untuk menentukan nilai guna suatu perairan karena pada umumnya derajat
keasaman mempengaruhi tumbuhan dan hewan air agar dapat hidup secara wajar.
Derajat keasaman sering digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan baik
buruknya keadaan air sebagai lingkungan hidup ikan (Jangkaru 1974). Sutisno &
Sutarmanto (1995) menyatakan bahwa pH yang optimal untuk proses reproduksi
ikan berkisar antara 6,7 – 8,2. Sedangkan nilai pH perairan berfluktuasi pada
siklus siang hari/diurnal secara primer dipengaruhi oleh konsentrasi CO2,
kepadatan fitoplankton, alkalinitas total dan tingkat kesadahan (Schmittou 1991).
Oksigen terlarut sangat penting bagi kehidupan organisme perairan, karena
diperlukan untuk proses respirasi. Kandungan oksigen terlarut dapat berasal dari
usaha melalui proses difusi, adanya aliran air masuk dan proses fotosintesis yang
dilakukan oleh tumbuhan air (Jangkaru 1974). Sutisna & Sutarmanto (1995)
menyatakan bahwa oksigen merupakan gas yang terpenting untuk proses respirasi
dan metabolisme dalam tubuh ikan maupun organisme akuatik lainnya.
Konsentrasi oksigen dinyatakan dalam part per million (ppm). Konsentrasi
oksigen yang optimal bagi kehidupan ikan adalah 5 ppm, jika konsentrasi oksigen
kurang dari 3 ppm akan membahayakan kehidupan larva ikan.
Alkalinitas berperan sebagai buffer perairan terhadap perubahan pH yang
drastis. Tingkat produktifitas perairan sebenarnya tidak berkaitan secara langsung
dengan nilai alkalinitas tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen
esensial lain yang kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalinitas.
Alkalinitas yang baik berkisar antara 30 – 500 mg/l CaCO3, jika > 40 mg/l CaCO3
disebut perairan sadah dan jika < 40 mg/l CaCO3 disebut perairan dengan
kesadahan sedang (Effendi 2000)
Karbondioksida bebas dalam air dibutuhkan oleh fitoplankton dan
tumbuhan air untuk proses fotosintesis kadar karbondioksida yang terlalu tinggi
dalam perairan akan merugikan ikan sebab apabila kadar karbondioksida air
meningkat melebihi kadar karbondioksida dalam darah ikan maka, ikan tidak
dapat mengeluarkan karbondioksida dalam darahnya sehingga banyaknya ion
yang diikat HB akan berkurang (Wardoyo 1981). Perairan yang diperuntukan bagi
perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas kurang dari
15 mg/l, kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh
organisme perairan dengan syarat kadar oksigen terlarutnya cukup (Boyd 1988).
Download