TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ikan Senggaringan (Mystus negriceps) Ikan senggaringan dilihat dari morfologisnya termasuk dalam kelompok ikan bersungut dari ordo Siluriformes, subordo Siluroidei, famili Bagridae, genus Mystus, spesies Mystus nigriceps untuk ikan senggaringan (Saanin 1986, Kottelat et al. 1993). Gambar 2 Ikan senggaringan (Mystus nigriceps). Jenis ikan yang termasuk genus Mystus terdapat di perairan umum Indonesia ditaksir tidak kurang dari 11 jenis. Jenis tersebut selain M. nemurus adalah M. baramensisi, M. bimaculatus, M. gulio, M. microcanthus, M. nigriceps, M. olyroides, M. planiceps, M. sabanus, M. wolffi dan M. wyckii (Yustina 2001). Di India, Mijkherjee et al. (2002) melaporkan beberapa genus Mystus terancam keberadaannya sebagai akibat eksploitasi berlebih, polusi pestisida di perairan, penyakit, pemasukan ikan eksotik yang tidak terkontrol, industrialisasi yang mengganggu habitat, dan pemanfaatan air secara berlebihan Penyebaran ikan senggaringan meliputi daerah Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Di berbagai daerah jenis Mystus nigriceps dikenal dengan nama ikan keting, kating atau ingir-ingir dan di Jawa Tengah dikenal dengan nama ikan senggaringan (Saanin 1986). Ikan senggaringan merupakan ikan yang bersifat karnivora dan cenderung menyukai makanan berupa crustacea dan insekta air (Sulistyo & Setijanto 2002). Karakteristik habitat yang disukai meliputi daerah perairan yang dangkal maupun dalam, terlindung, berarus lemah (0,08 – 0,16 m/s). Substrat dasar biasanya berupa campuran pasir, kerikil dan batuan, terkadang ditumbuhi lumut (Sulistyo & Setijanto 2002). Rukayah et al. (2003), melaporkan bahwa strategi reproduktif ikan senggaringan ditinjau dari fekunditas mutlak berkisar antara 10005 – 39621,61 butir, sedangkan proporsi ukuran diameter telur pada musim kemarau masih didominasi oleh ukuran 50-100 µm. Nilai IGS cenderung meningkat dari 9,33±1,67% hingga mencapai 14,72±3,17% saat memasuki perkembangan ovarium. Peningkatan IGS tersebut juga mengakibatkan penurunan IHS sebesar 6,62% dan IVS sebesar 14,52%. Energi Pertumbuhan dan Reproduksi Dalam pemijahan sebagian besar ikan air tawar melakukan pemijahan pada awal dan pertengahan musim penghujan (Bardach et al. 1972). Puncak aktivitas reproduksi sering dihubungkan dengan hujan dan banjir atau siklus bulan (Vlaming, Connell diacu dalam Lam 1983). Hardy et al. diacu dalam Almansa et al. (1999) mengungkapkan keberadaan asam lemak pada otot dan telur yang berkembang pada ikan salmon menunjukkan keberadaan asam lemak pakan setelah dua bulan dikonsumsi ikan. Tubuh ikan tersusun dari beberapa komponen diantaranya air, protein, lemak, karbohidrat dan mineral yang dinyatakan dengan abu tubuh. Air dan protein secara kuantitatif sebagai komponen terbesar (Stickney diacu dalam Subagyo 2004). Bentuk substrat energi yang dapat digunakan untuk menyokong aktifitas hidup adalah dalam bentuk protein, lemak dan karbohidrat (Moreau et al. 1992). Protein merupakan komponen terbesar sesudah air. Ikan mensintesis protein tubuh dari protein pakan yang bermutu. Kebutuhan protein tubuh antara lain bergantung pada ukuran tubuh ikan, mutu protein pakan, energi dan kesuburan perairan. Sedangkan lemak bagi ikan merupakan sumber energi kedua setelah protein, yang digunakan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh dan proses metabolisme (Zonneveld et al. 1991). Perkembangan gonad didukung oleh material energi yang disimpan pada otot dan saluran pencernaan (Pazos et al. 2003), hati dan viseral (Rukayah et al. 2005), hati, viseral dan otot (Gelineau et al. 2001). Pematangan gonad sering dihubungkan dengan penurunan pertumbuhan somatik dan pengambilan makanan, dapat juga berpengaruh pada penurunan kualitas daging ikan (Damsgard et al. 1999). Meningkatnya proses reproduksi akan terjadi usaha meningkatkan produksi anakan dari tiap makanan yang dikonsumsi, proses ini akan menyebabkan penurunan biaya energi yang diperuntukkan untuk perawatan tubuh dan pertumbuhan somatik tubuh (Wootton 1985). Tingkat pertumbuhan dan penyimpanan energi mesti lebih tinggi selama masa kritis untuk perkembangan seksual (gonad), ikan yang matang gonad memiliki kadar lemak yang tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak matang ( Silverstein et al. 1999). Ikan membutuhkan energi yang besar untuk reproduksi baik dalam tingkah laku maupun pematangan gonad. Setiap spesies ikan terdapat variasi jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses reproduksi seperti mencari tempat bertelur, migrasi, tingkah laku menarik lawan jenis, cara penjagaan, produksi telur dan sperma. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah umur, fekunditas, kelulusan hidup dan frekuensi reproduksi (Moile & Cech 2000). Proses reproduksi biasanya membutuhkan lebih banyak energi yang bukan saja diperuntukkan untuk produksi gamet (Miller diacu dalam Wootton 1985). Lebih jauh Wootton (1985) mengungkapkan kebutuhan energi ini kemungkinan dipergunakan untuk perkembangan karakteristik secondary sexsual seperti warna saat pemijahan dan bentuk morfologi, produksi pheromons dan sekresi lainnya yang juga termasuk mucus untuk menempelnya telur pada substrat atau untuk membuat sarang. Semua ini akan membutuhkan energi selain dibutuhkannya energi untuk perkembangan dan pematangan gamet. Frekuensi reproduksi tergantung juga terhadap kebiasaan ikan seperti migrasi ke area pemijahan, pertahanan daerah pemijahan dari gangguan, tingkah laku pemijahan serta proses pengasuhan dan kebiasaaan ini tentu membutuhkan energi. Sehingga dapat disimpulkan ada tiga bagian kebutuhan energi dalam reproduksi yang pertama untuk produksi sexsual primer yang mencakup produksi telur dan sperma, yang kedua untuk perkembangan karakteristik sekunder dan ketiga diperuntukkan untuk kebiasaan reproduksi. Menurut Xie et al. (1998) total energi dalam tubuh yang digunakan untuk reproduksi adalah 20,7% untuk ikan jantan dan 23,8% untuk ikan betina. Investasi energi pada ikan betina akan semakin besar sejalan dengan ukuran tubuhnya. Ikan dengan ukuran kecil akan menginvestasikan lebih banyak energinya untuk pertumbuhan (Moile & Cech 2000). Buwono (2000) menjelaskan bahwa kelebihan energi disimpan dalam bentuk lemak di dalam perut ikan yaitu di dalam organ-organ visceral. Lemak juga dapat disimpan sebagai cadangan energi untuk kebutuhan energi jangka panjang selama periode aktivitas penuh atau selama periode tanpa makan pada pemijahan (Zonneveld et al. 1991). Cadangan energi umumnya disimpan pada sekitar organ pencernaan dan otot (Litaay & Silva 2003). Suatu aspek yang menarik dari reproduksi adalah usaha dan energi yang berbeda yang dikeluarkan oleh spesies dan sering berhubungan dengan pola riwayat hidup suatu spesies (Helfman et al. 2002). Usaha reproduktif meliputi gambaran masukan makanan dan perpindahan material energi menuju gonad, seperti halnya penggunaan energi somatik untuk pertumbuhan gonad. Pada ikan betina, kematangan oosit melibatkan mobilisasi atau pengerahan dari lipid dan protein dari bagian lain dari tubuh ke ovarium. (Helfman et al. 2002). Perpindahan material energi ini akan menentukan keberlangsungan bagi perkembangan telur dan larva nantinya, sebagaimana Kamler (1992) mengungkapkan pada pertumbuhan dan metabolisme larva akan membutuhkan energi yang berasal dari kuning telur, pada saat ini larva ikan berada dalam periode endogenous feeding, dan material energi yang berada di dalam kuning telur sendiri berasal dari deposit yang yang dialokasikan pada saat perkembangan dan pertumbuhan ovari pada induk. Kebutuhan energi reproduksi meliputi pengeluaran atau penggunaan energi selama migrasi reproduktif, mencari pasangan, pemijahan, fertilisasi internal, dan hal lain yang berkenaan dengan perawatan induk (Helfman et al. 2002). Kepadatan energi, faktor kondisi, dan persentase lipid pada ikan sesudah pemijahan lebih rendah dibandingkan sebelum pemijahan (Xie et al. 1998), informasi tersebut menunjukkan bahwa investasi energi yang disimpan digunakan untuk proses pemijahan. Aktifitas reproduksi ikan didukung dengan ketersediaan lipid yang cukup pada makanan terutama dari hewan, dan diperkirakan jika material energi dan nutrien dimobilisasi dari intraperitoneal fat (IPF) dan hati untuk menyokong perkembangan reproduksi dan pemijahan ikan (Craig et al. 2000), didapatnya komposisi yang tinggi pada jaringan dan sel telur, dihubungkan dengan suksesnya pemijahan dan reproduksi, tingginya lipid pada ikan di alam selama musim panas diindikasikan jika terjadi biosintesis lipid pada hati untuk menyediakan persediaan energi yang dapat digunakan untuk perkembangan somatik maupun reproduksi (Cejas et al. 2003). Oleh sebab itu induk ikan mesti memakan pakan yang berkualitas tinggi selama beberapa bulan sebelum musim pemijahan (Almansa et al. 1999). Lee et al. diacu dalam Rachmawati et al. (2003) menyatakan kadar lipid tubuh ikan flounder hanya dipengaruhi oleh kadar energi pakan, dimana kadar lipid tubuh meningkat dengan semakin meningkatnya kadar energi dalam pakan. Lemak merupakan bagian dari kimia yang unik dimana semua organism membutuhkannya untuk hidup. Lemak digunakan sebagai sumber energi yang utama, penyusun stuktur membran dan hormon (Watanabe 1982). Studi tentang kebutuhan energi pada ikan yang telah ditunjukkan pada ikan karnivora, seperti Oncorhynchus, dimana mempunyai keterbatasan dalam memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi. Lemak mempunyai peranan penting dalam menyediakan energi, selain itu protein juga memiliki peranan sebagai sumber energi (Nomura & Davis 2005) Lemak merupakan elemen penting sebagai sumber energi. Nilai energi yang terkandung di dalamnya lebih tinggi dari nilai energi protein dan karbohidrat. Dalam satuan berat yang sama, nilai pengali energi lemak adalah 9,5 kkal/g; protein 5,6 kkal/g dan karbohidrat 4,1 kkal/g dari persen berat keringnya (Azwar diacu dalam Suryanti 2007), 39,5 kJ/g untuk lemak, 23,6 kJ/g untuk protein dan 17,1 kJ/g untuk glikogen (Lambert & Dutil 1996). Faktor lain yang tidak kalah pentingnya, adalah lemak berperan menimbulkan daya apung telur-telur ikan tertentu sehingga terjamin kualitasnya. Kebutuhan lemak dalam reproduksi sangat bervariasi antara spesies ikan. Kekurangan lemak mengakibatkan protein akan digunakan sebagai sumber energi. Sehingga akan mempengaruhi aktivitas reproduksi ikan. Kadar lemak yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi berlebih dalam ovarium sehingga mengganggu perkembangan gonad dan aktivitas ikan (Azwar diacu dalam Suryanti 2007) Pada ikan, protein digunakan sebagai sumber energi dan protein dibutuhkan untuk pertumbuhan yang maksimal (Gelineau et al. 2001). Ikan umumnya menggunakan protein untuk tumbuh bila kebutuhan energi untuk metabolisme basal dan aktifitas otot telah terpenuhi dari pakan. Namun, bila energi pakan rendah, protein pakan digunakan sebagai sumber energi Lee et al. diacu dalam Rachmawati et al. (2003). Protein merupakan salah satu nutrien yang dibutuhkan ikan dan perlu dipenuhi untuk mencapai pertumbuhan optimal. Protein merupakan bahan organik terbesar pada jaringan ikan, kurang lebih 65 – 85% total dalam berat kering. Ikan mengkonsumsi protein untuk mendapatkan asam amino yang akan digunakan untuk sintesis protein baru, pertumbuhan, reproduksi dan mengganti jaringan yang rusak (Halver diacu dalam Awaludin 2003). Protein menurut Sachwan (2001) mempunyai tiga fungsi tubuh yaitu: 1) sebagai zat pembangun yang membentuk berbagai jaringan yang rusak dan bereproduksi, 2) sebagai zat pengatur yang berperan dalam pembentukan enzim dan mengatur berbagai proses metabolisme dalam tubuh ikan dan 3) sebagai zat pembakar karena unsur karbon yang terkandung dapat difungsikan sebagai sumber energi pada saat kebutuhan energi tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Keberadaan karbohidrat relatif kecil pada komposisi tubuh, penggunaan karbohidrat dihubungkan dengan ketersediaannya pada pakan. Tingginya kadar karbohidrat pada pakan umumnya dihubungkan dengan tingginya deposisi lemak pada tubuh, pada kondisi ini karbohidrat tidak digunakan sebagai sumber energi namun diubah menjadi lemak (Moreau et al. 1992). Indeks Morfoanatomi Pertumbuhan merupakan karakteristik dari setiap makhluk hidup termasuk ikan. Dalam pertumbuhan terdapat siklus reproduksi dan juga perubahanperubahan yang terjadi baik dari segi morfologi, seperti panjang dan berat serta anatomi, seperti gonad, hati dan viseral (Helfman et al. 2002). Indeks morfoanatomi merupakan metode yang dapat dilakukan untuk memprediksi kinerja reproduktif ikan. Pertumbuhan dan kinerja reproduktif dikaji melalui pendekatan variabel indeks morfologi berupa gonad somatic index (GSI), hepato somatic index (HSI), viscera somatic index (VSI) dan faktor kondisi (FK). Gonado somatic index (GSI) yang disebut dengan indeks gonad somatik, merupakan suatu perhitungan dalam persen dari berat tubuh ikan yang dialokasikan untuk material gonad (Helfman et al. 2002). Perkembangan gonad akan semakin besar dan matang hingga fase pemijahan. Selama fase tersebut sebagian besar energi yang diperoleh dari hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonadnya. Effendie (1997) menyatakan bahwa tanda utama untuk membedakan kematangan gonad adalah berdasarkan berat gonadnya. Sedangkan berat gonad tergantung pada ukuran ikan dan tingkat pertumbuhan gonadnya (Vlaming et al. 1982). Rasio ini (berat gonad/berat tubuh x 100%) disebut sebagai indeks gonad somatik (IGS) (Sulistyo et al. 2000). Dalam kegiatan perikanan GSI digunakan secara luas sebagai sebuah indeks dari aktifitas gonad dan sebagai sebuah indeks untuk menyatakan persiapan pemijahan dari suatu spesies ikan (Vlaming et al. 1982). Kinerja reproduksi ikan digambarkan dengan jelas pula dengan hepato somatic index (HSI) yaitu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat hati dengan berat tubuh ikan dikalikan 100% (Sulistyo et al. 2000). Energi yang tersimpan dalam bentuk glikogen pada hati sebelum masa reproduksi akan diubah menjadi energi pada saat memasuki fase reproduksi (Lucifora et al. 2002). Menurut Fujaya (2002), sel memiliki batas tertentu dalam menimbun protein, dan bila telah mencapai batas ini setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh akan dipecah dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak dalam otot, hati dan viseral. Adanya perubahan ukuran berat pada hati ini dinyatakan sebagai hepato somatik indek (HSI) Viscera somatic index (VSI) merupakan salah satu parameter pertumbuhan yang dinyatakan dengan persentase perbandingan antara berat viseral dengan berat tubuh ikan (Sulityo et al. 1998). Viscera merupakan organ dalam tubuh yang meliputi sistem gastrointretinal dari oesopagus hingga anus termasuk lemak yang terdapat didalamnya, selain gonad dan hati. Viscera somatic merupakan salah satu parameter pertumbuhan yang dinyatakan dengan viscera somatic index. Buwono (2000) menjelaskan bahwa kelebihan energi disimpan dalam bentuk lemak di dalam perut ikan yaitu di dalam organ-organ visceral. Lemak juga dapat disimpan sebagai cadangan energi untuk kebutuhan energi jangka panjang selama periode aktifitas penuh atau selama periode tanpa makan pada pemijahan (Zonneveld et al. 1991). Nilai faktor kondisi berupa K1 diperoleh dengan memperhitungkan berat tubuh dan berat gonad dalam perbandingkan dengan panjang tubuh, sementara nilai K2 diperoleh tanpa memasukkan berat gonad dalam perhitungannya. Cren (1951) menguraikan bahwa perubahan nilai K2 merupakan petunjuk dikerahkannya timbunan energi yang diperuntukkan bagi perkembangan gonad. viscera somatic index (VSI) dan faktor kondisi (K) selain untuk memprediksi kinerja reproduktif juga digunakan sebagai indikator pertumbuhan (Massou et al. 2002). Kebiasaan Jenis Makanan Makanan sangat penting bagi ikan karena makanan merupakan sumber energi yang akan menentukan semua aktivitas yang akan dilakukan. Disamping itu makanan juga diperlukan untuk tumbuh, berkembang, reproduksi dan aktifitas metabolisme lainnya. Informasi tentang pakan yang dimakan oleh ikan tersebut juga dapat dipakai untuk mengetahui dengan lebih baik tentang kebiasaan makanannya termasuk pertumbuhan, migrasi dan penting pula dalam pengelolaan perikanan secara komersil (Bal & Rao 1984). Kebiasaan makan ikan menurut Effendie (2002) adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan cara makanan tersebut didapat. Selanjutnya kebiasaan makanan ikan perlu dipelajari untuk menentukan nilai gizi alamiah ikan tersebut. Selain itu dapat dilihat hubungan antar ekologi diantara organisme dalam perairan itu. Jumlah makanan yang dibutuhkan oleh suatu jenis ikan tergantung pada macam makanan, kebiasaan makanan, kelimpahan makanan, suhu perairan dan kondisi umum ikan itu sendiri (Beckman diacu dalam Wibisana 2000). Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan dapat digolongkan atas ikan herbivora, kernivora dan omnivora. Affandi (1993) pada ikan gurame didapat rasio panjang usus dan panjang total tubuh mengalami peningkatan dengan adanya pertumbuhan, sehingga selama pertumbuhannya ikan gurame mengalami perubahan karakter ikan karnivora ke karakter ikan omnivora atau herbivora. Penggolongan ini didasarkan pada morfologi alat pencernaannya. Ciri khas ikan karnivora adalah lambung dan usus yang pendek sedangkan pada ikan herbivora, tidak ditemukan lambung tetapi usus yang panjang (Huet 1971). Mujiman dalam Najamuddin (2004) menyatakan berdasarkan macam makanan yang dimakan, secara garis besar ikan dapat digolongkan menjadi herbivora, karnivora, predator, pemakan plankton, pemakan detritus dan lain sebagainya, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan adanya ikan yang memakan semua jenis makanan yang disediakan oleh lingkungan dimana ikan tersebt berada, dengan demikian penilaian kesukaan makanan ikan menjadi sangat relatif. Menurut Lagler (1956) kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti habitat hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran dan umur ikan dan tempat. Selain umur, waktu dan ukuran tubuh, pola kebiasaan makanan ikan juga ternyata dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat yang mempengaruhi ketersediaan makanan alami (Bio Science Club diacu dalam Pratiwi 1991). Kebiasaan makanan ikan terdiri atas makanan utama yaitu makanan yang sering ditemukan dalam jumlah yang banyak, makanan sekunder yaitu makanan yang sering ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit dan makan insidential yaitu makanan yang terdapat pada saluran pencernaan dalam jumlah yang sangat sedikit. Selain itu ada juga makanan pengganti yaitu makanan yang hanya dikonsumsi jika makanan utama tidak tersedia (Nikolsky 1963). Kualitas Air Kualitas fisik kimia air merupakan komponen abiotik penyusun sistem sungai. Komponen ini sangat berpengaruh bagi kehidupan ikan dan jasad renik lainnya (Odum 1971). Bagi kehidupan ikan akan menentukan aktifitas biologi dan reproduksinya. Kualitas fisik dan kimia air yang berperan dalam proses pertumbuhan dan reproduksi antara lain suhu, kecepatan arus, derajat keasaman, kekeruhan, oksigen terlarut, karbondioksida bebas dan amonia. Suhu air dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tempat dari permukaan air laut. Di daerah dataran tinggi umumnya suhu lebih rendah dari pada daerah dataran rendah (Boyd 1988). Suhu air mempengaruhi pertukaran zat asam atau metabolise dari makhluk hidup sehingga berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan organisme muda dan kompetisi (Krebs 1985). Suhu air merupakan salah satu sifat fisika yang dapat mempengaruhi nafsu makan ikan dan pertumbuhan badan ikan. Kenaikan suhu perairan mempengaruhi kemampuan derajat metabolisme ikan dan selanjutnya menaikan kebutuhan oksigen. Kecepatan reaksinya akan naik 2 – 3 kali lipat, setiap kenaikan suhu sebesar 10 oC. Semakin tinggi suhu maka semakin meningkat metabolisme organisme yang hidup di perairan dan semakin meningkat kebutuhan oksigen, tetapi kemampuan haemoglobin untuk mengikat oksigen semakin berkurang. Walk et al. (2000) menyatakan bahwa suhu tinggi akan berpengaruh langsung terhadap proses fisiologi pada beberapa jenis ikan dan menurunkan kelimpahannya di perairan. Sejalan dengan itu Pescod (1973) mengemukakan bahwa perubahan suhu di perairan yang mengalir tidak boleh melebihi 28 oC. Pada ikan yang hidup di perairan tawar, perubahan suhu perairan pada musim penghujan memberikan tanda secara alamiah untuk melakukan pemijahan, beruaya dan mencari makan. Suhu juga mempengaruhi distribusi ikan dan kelimpahan makanan di suatu perairan. Rifai (1983) mengemukakan bahwa distribusi ikan akan berubah jika suhu perarian di sekitarnya berubah. Derajat keasaman (pH) merupakan logaritma negatif dari ion hidrogen yang terlepas dari perairan dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan air (Soeseno 1977). Derajat keasaman air penting untuk menentukan nilai guna suatu perairan karena pada umumnya derajat keasaman mempengaruhi tumbuhan dan hewan air agar dapat hidup secara wajar. Derajat keasaman sering digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan baik buruknya keadaan air sebagai lingkungan hidup ikan (Jangkaru 1974). Sutisno & Sutarmanto (1995) menyatakan bahwa pH yang optimal untuk proses reproduksi ikan berkisar antara 6,7 – 8,2. Sedangkan nilai pH perairan berfluktuasi pada siklus siang hari/diurnal secara primer dipengaruhi oleh konsentrasi CO2, kepadatan fitoplankton, alkalinitas total dan tingkat kesadahan (Schmittou 1991). Oksigen terlarut sangat penting bagi kehidupan organisme perairan, karena diperlukan untuk proses respirasi. Kandungan oksigen terlarut dapat berasal dari usaha melalui proses difusi, adanya aliran air masuk dan proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan air (Jangkaru 1974). Sutisna & Sutarmanto (1995) menyatakan bahwa oksigen merupakan gas yang terpenting untuk proses respirasi dan metabolisme dalam tubuh ikan maupun organisme akuatik lainnya. Konsentrasi oksigen dinyatakan dalam part per million (ppm). Konsentrasi oksigen yang optimal bagi kehidupan ikan adalah 5 ppm, jika konsentrasi oksigen kurang dari 3 ppm akan membahayakan kehidupan larva ikan. Alkalinitas berperan sebagai buffer perairan terhadap perubahan pH yang drastis. Tingkat produktifitas perairan sebenarnya tidak berkaitan secara langsung dengan nilai alkalinitas tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lain yang kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalinitas. Alkalinitas yang baik berkisar antara 30 – 500 mg/l CaCO3, jika > 40 mg/l CaCO3 disebut perairan sadah dan jika < 40 mg/l CaCO3 disebut perairan dengan kesadahan sedang (Effendi 2000) Karbondioksida bebas dalam air dibutuhkan oleh fitoplankton dan tumbuhan air untuk proses fotosintesis kadar karbondioksida yang terlalu tinggi dalam perairan akan merugikan ikan sebab apabila kadar karbondioksida air meningkat melebihi kadar karbondioksida dalam darah ikan maka, ikan tidak dapat mengeluarkan karbondioksida dalam darahnya sehingga banyaknya ion yang diikat HB akan berkurang (Wardoyo 1981). Perairan yang diperuntukan bagi perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas kurang dari 15 mg/l, kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh organisme perairan dengan syarat kadar oksigen terlarutnya cukup (Boyd 1988).