PROSPEK LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TANAMAN PADI Muhammad Alwi Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Jl. Kebun Karet Loktabat Utara Banjarbaru, Kalimantan Selatan e-mail : [email protected] ABSTRAK Lahan rawa pasang surut di Indonesia memiliki peranan makin penting dan strategis bagi pengembangan pertanian terutama mendukung ketahanan pangan Nasional. Hal ini disebabkan oleh potensi serta produktivitas lahan dan teknologi pengelolaannya sudah tersedia. Luas lahan rawa pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian khususnya tanaman padi masih tersedia cukup luas. Berbagai kendala yang dihadapi dalam usahatani padi di lahan rawa pasang surut antara lain: (1) tingkat kesuburan lahan rendah, (2) infrastruktur yang masih belum berfungsi secara optimal, (3) tingkat pendidikan petani masih rendah, (4) indeks panen masih sekali tanam setahun, dan (5) tingginya serangan organisme pengganggu tanaman. Ke depan kontribusi lahan rawa pasang surut terhadap produksi padi akan semakin besar mengingat: (1) lahan yang dapat dijadikan sawah masih luas, (2) peningkatan produktivitas lahan, indeks panen, dan penurunan kehilangan hasil dapat dilakukan melalui penerapan komponen teknologi usahatani padi mencakup: penataan lahan dan sistem tata air, jenis komoditas dan varietas toleran, pengelolaan lahan, ameliorasi dan pemupukan, pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman), penanganan panen dan pasca panen. Agar tujuan dan sasaran pengembangan usahatani padi dapat tercapai dengan baik, maka semua upaya hendaknya dilakukan terencana, cermat, dan hati-hati mengacu pada optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya yang ada. Menuju tahun 2025 mendatang, Indonesia dituntut untuk mampu mencukupi minimal 95% dari kebutuhan beras Nasional. Upaya pemenuhan kebutuhan beras Nasional akan ditempuh melalui dua cara: (1) peningkatan produktivitas padi dengan laju pertumbuhan 1,0-1,5% per tahun dan (2) peningkatan areal panen padi melalui peningkatan intensitas tanam (IP), pengembangan di areal baru, termasuk sebagai tanaman sela di lahan perkebunan dan lahan bukaan baru. Kata Kunci: Lahan rawa pasang surut, padi, prospek Pendahuluan Penduduk Indonesia dalam kurun waktu empat puluh tahun ke depan masih akan terus bertambah dengan laju pertumbuhan sekitar 1,5% tahun-1, sehingga kebutuhan akan pangan juga terus meningkat. Agus dan Irawan (2007) memperkirakan pada tahun 2025 Indonesia akan mengimpor beras sekitar 11,4 juta ton jika konversi lahan sawah tetap terjadi dengan laju 190.000 ha th-1 dan pencetakan sawah baru hanya 100.000 ha th-1. Di luar Jawa Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 45 selama periode 1995-1999 luas lahan sawah meningkat, di Sumatera sekitar 213 ribu ha, sebaliknya di Sulawesi berkurang sekitar 102 ribu ha dan di Kalimantan 170 ribu ha. Dalam waktu tiga tahun (periode 1999-2002) peningkatan konversi lahan sawah rata-rata mencapai 187.720 ha th-1 (Sutomo dan Suhariyanto, 2005). Keadaan ini merupakan motivator untuk mencari pemecahan masalah dalam menangani produksi padi. Salah satunya melalui perluasan areal pertanian ke lahan sub optimal (lahan rawa pasang surut). Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia sekitar 20,12 juta ha, terdiri dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,72 juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin. Lahan rawa pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian sekitar 8.535.708 ha. Dari luasan tersebut, yang sudah direklamasi sekitar 2.833.814 ha dan yang belum direklamasi sekitar 5.701.894 ha. Luas lahan rawa pasang surut yang sudah dijadikan lahan sawah hingga tahun 2011 baru sekitar 407.594 ha (Ritung, 2011). Berdasarkan data tersebut peluang untuk melaksanakan ekstensifikasi pertanian khususnya untuk tanaman padi ke lahan rawa pasang surut masih terbuka luas. Produktivitas lahan sawah di Indonesia menurut data BPS tahun 2011 rata-rata nasional 5,2 ton GKG ha-1, tertinggi di Jawa 5,5 ton GKG ha-1, Sumatera serta Sulawesi 4,5 ton GKG ha-1, dan Kalimantan 3,5 ton GKG ha-1. Perbedaan produktivitas tersebut disebabkan berbagai faktor diantaranya: (1) jenis lahan sawah, (2) jenis atau sifat-sifat tanah, (3) tingkat pengelolaan, dan (4) varietas padi yang ditanam. Demikian pula dengan jenis atau tipe lahan sawah yang terdiri dari sawah irigasi, sawah tadah hujan , sawah pasang surut, dan sawah lebak. Potensi hasil gabah yang diperoleh di lahan sawah rawa pasang surut dengan menerapkan teknologi pengelolaan yang tepat dapat mencapai 4,5-5,5 ton GKG ha-1. Kendala yang dihadapi dalam usahatani padi di lahan rawa pasang surut antara lain: (1) tingkat kesuburan lahan rendah, (2) infrastruktur yang masih belum berfungsi secara optimal, (3) tingkat pendidikan petani masih rendah, (4) indeks panen masih sekali tanam setahun, dan (5) tingginya serangan organisme pengganggu tanaman. Secara umum upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi di lahan rawa pasang surut antara lain melalui: (1) penerapan teknologi yang sudah ada secara optimal, dan (2) peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru. Makalah ini menyajikan informasi tentang prosfek lahan rawa pasang surut untuk usahatani padi. Pemahaman yang baik tentang lahan rawa pasang surut sebagai lahan pertanian dan teknologi pengelolaannya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan, produksi padi, dan ketahanan pangan nasional. Sumber Daya Lahan Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia sekitar 20,12 juta ha, terdiri dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,72 juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin. Lahan rawa pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian sekitar 9,53 juta ha (Alihamsyah, 2002). Menurut Direktorat Rawa dan Pantai (2006) lahan rawa pasang surut yang potensial untuk lahan pertanian di Indonesia tersebar di pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, dan Jawa dengan luas sekitar 8.535.708 ha. Luas lahan yang telah direklamasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar 2.833.814 ha, sedang yang belum direklamasi seluas 5.701.894 ha, sebagian besar berada di Papua (Tabel 1). Luas lahan rawa pasang surut yang telah dimanfaatkan untuk sawah Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 46 sekitar 830.439 ha yang tersebar di Kalimantan 333.601 ha, Sumatera 485.679 ha, Sulawesi 2.504 ha dan Papua 8.655 ha. Tabel 1. Luas lahan rawa pasang surut potensial yang sudah dan belum direklamasi, 2006 Luas Lahan Sudah Direklamasi (ha) Pulau Kalimantan Sumatera Sulawesi Papua Jawa Total Pemerintah 500.228 814.582 81.922 36.369 1.433.101 Masyarakat 551.980 623.765 101.705 8.655 114.608 1.400.713 Jumlah 1.052.208 1.438.347 183.627 8.655 150.977 2.833.814 Belum Direklamasi (ha) 445.630 573.340 459.116 4.208.295 15.513 5.701.894 Total (ha) 1.497.838 2.011.687 642.743 4.216.950 166.490 8.535.708 Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan yang pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh karena itu, sawah selalu mempunyai permukaan datar atau didatarkan (dibuat teras), dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan. Berdasarkan sumber air yang digunakan dan keadaan genangannya, sawah dapat dibedakan menjadi sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Sawah pasang surut adalah sawah yang irigasinya tergantung pada gerakan air pasang dan surut serta letaknya di wilayah datar tidak jauh dari laut. Sumber air sawah pasang surut adalah air tawar dari sungai yang karena adanya pengaruh pasang dan surut air laut dimanfaatkan untuk mengairi sawah melalui saluran irigasi dan drainase. Sawah pasang surut umumnya terdapat di sekitar jalur aliran sungai besar yang dapat di pengaruhi oleh pasang dan surut air laut (Puslitbangtanak, 2003). Luas baku lahan sawah pasang surut di Indonesia berdasarkan hasil sensus pertanian (BPS 2008) adalah sekitar 657.000 hektar. Luas dan sebaran lahan sawah pasang surut di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) masing-masing 324.231, 331.072 dan 1.584 ha. Berdasarkan hasil kesepakatan berbagai instansi/lembaga terkait dengan luas dan sebaran lahan sawah diantaranya BPN, Kementan, PU, Bakosurtanal, dan Lapan yang selanjutnya dikoordinasikan oleh BPN, maka disepakati luas baku lahan sawah sawah pasang surut 407.594 hektar atau 5,03% dari luas lahan sawah di Indonesia (Tabel 2). Tabel 2. Luas lahan sawah pasang surut di masing-masing provinsi pada tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) tahun 2011 Sumatera Provinsi Luas (ha) NAD 1.250 Sumatera Barat 1.358 Jambi 92.302 Sumatera 108.500 Selatan Bengkulu 309 Lampung 946 Total 204.666 Kalimantan Provinsi Luas (ha) Kalteng 56.724 Kalsel 125.644 Kalbar 20.532 - 202.900 Sulawesi Provinsi Luas (ha) Sulbar 29 - 29 Sumber: Ritung, 2011 Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 47 Luas lahan sawah pasang surut di Indonesia pada tahun 2011 lebih rendah dibandingkan dengan data pada tahun 2008. Perbedaan tersebut terjadi karena data luas lahan sawah pasang surut tahun 2011 dihitung berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan secara spasial, sedangkan data tahun 2008 merupakan hasil sensus yang diperoleh berdasarkan wawancara atau data tabular. Selain itu, selama slang waktu tiga tahun telah terjadi pencetakan sawah baru dan alih fungsi lahan sawah untuk non pertanian. Akhir-akhir ini lahan rawa pasang surut dijadikan sebagai wilayah pengembangan perkebunan karet dan kelapa sawit. Dalam waktu yang bersamaan banyak juga lahan rawa pasang surut yang ditinggalkan petani karena mengalami penurunan produktivitas akibat degradasi lahan. Berdasarkan data diatas, maka luas lahan rawa pasang surut yang masih tersedia adalah (sudah direklamasi sekitar 2.833.814 ha dan sudah dikembangkan sebagai lahan sawah 407.594 ha) berarti masih tersisa 2.426.220 ha. untuk pengembangan sawah baru. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program transmigrasi yang dimulai tahun 1969 melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis untuk mengimbangi penciutan lahan produktif akibat alih fungsi ke sektor nonpertanian. Ananto et al. (1998) menyatakan bahwa pengembangan lahan rawa pasang surut memerlukan perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan yang tepat serta penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air. Melalui upaya seperti itu, diharapkan lahan rawa pasang surut dapat menjadi lahan pertanian yang produktif, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pengembangan lahan rawa pasang surut dimulai dari P4S tahun 1970-an dan dilanjutkan dengan proyek Swamp I, Swamp II, kerja sama dengan Belanda (LAWOO) tahun 1980-an, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun 1990-an, telah menghasilkan berbagai teknologi pengelolaan lahan (Ananto et al. 2000). Teknologi itu antara lain adalah pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, pengendalian hama dan penyakit, dan model usaha tani. Namun, umumnya teknologi tersebut tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan karena adanya berbagai kendala, seperti modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang kurang berkembang, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air. Kegiatan pertama yang dilakukan dalam pembukaan lahan rawa pasang surut di Indonesia adalah membangun saluran-saluran drainase berdimensi besar. Sebagai contoh, sistem drainase garpu yang diterapkan di Kalimantan Selatan memiliki panjang saluran primer 1 sampai 2 km yang bercabang menjadi dua saluran sekunder dengan panjang 8 sampai 12 km. Di ujung saluran sekunder dilengkapi kolam berukuran 300 m x 300 m. Jarak antara dua saluran sekunder mencapai 3 sampai 4 km. Setiap saluran sekunder dilengkapi dengan saluran tersier yang berjarak 200 m. Hal ini mengakibatkan terjadinya drainase yang berlebih (over drain) yang sangat potensial untuk teroksidasinya pirit hingga menyebabkan tanah menjadi masam. Perubahan sifat kimia tanah di lahan rawa pasang surut berhubungan erat dengan dinamika senyawa pirit di dalam tanah (Prasetyo, 2007). Purnomo et al., (1999) menyatakan bahwa komposisi kimia dari air irigasi pada sistem garpu berubah-ubah baik secara spasial ataupun temporal. Kemudian Aribawa et al. (1997) memperlihatkan perubahan sifat kimia yang mencolok dari kualitas air di petakan sawah pada musim kemarau dan hujan. Perubahan sifat kimia tanah juga dapat dilihat dari jarak antara lahan dengan sungai atau laut. Perubahan sifat kimia tanah menjadi lebih buruk jika semakin jauh jaraknya dari sungai atau laut (Priatmadi dan Purnomo, 2000). Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 48 Pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut khususnya tanaman padi sering menghadapi kendala seperti: (1) genangan air dan kondisi fisik lahan, (2) kemasaman tanah tinggi karena kelarutan aluminium (Al3+), besi ferri (Fe3+), dan sulfat (SO42-) yang tinggi, (3) ketersediaan unsur hara menurun dan pada kondisi terreduksi sering muncul masalah keracunan besi ferro (Fe2+), dihidrogen sulfida (H2S), karbon dioksida (CO2), dan asamasam organik. Keracunan besi pada tanaman padi disebabkan karena tingginya konsentrasi besi terlarut dalam tanah (200-500 ppm). Kebanyakan tanah mineral kaya akan besi, gejala keracunan besi dapat dilihat dari jaringan daun yang mengakibatkan penurunan hasil. Kejadian ini hanya terjadi pada kondisi lahan tergenang, sebagai akibat dari proses reduksi oleh mikroba yang merubah besi tidak larut (Fe3+) menjadi besi larut (Fe2+) (Beckers dan Ash, 2005). Dobermann dan Fairhurst (2000); Audebert (2006); Mehbaran et al. (2008) menyatakan tentang kondisi terjadinya keracunan besi pada tanaman seperti: (1) konsentrasi Fe2+ yang tinggi dalam larutan tanah karena kondisi reduksi yang kuat pada tanah, (2) status hara dalam tanah yang rendah dan tidak seimbang, (3) kurangnya oksidasi akar dan rendahnya daya oksidasi akar (ekslusi Fe2+) oleh akar yang disebabkan karena defisiensi hara P (fosfor), Ca (kalsium), Mg (magnesium), dan K (kalium), (4) Kurangnya daya oksidasi akar akibat terjadinya akumulasi bahan-bahan yang menghambat respirasi (H2S, FeS, dan asam-asam organik), (5) aplikasi bahan organik dalam jumlah besar yang belum terdekomposisi, dan (6) suplai Fe secara terus-menerus dari air bawah tanah atau rembesan secara lateral dari tempat yang lebih tingggi. Berbagai kegagalan dan keberhasilan telah mewarnai kegiatan pengembangan lahan rawa pasang surut. Terjadinya lahan bongkor misalnya, yaitu lahan yang ditinggalkan petani karena telah mengalami oksidasi pirit sehingga produksinya sangat rendah, merupakan akibat dari reklamasi yang kurang tepat. Kegagalan ini dapat menjadi pelajaran dalam pengembangan lahan sulfat masam di masa yang akan datang. Potensi lahan rawa pasang surut yang demikian besar dapat dimanfaatkan untuk menunjang pogram peningkatan ketahanan pangan dan agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pertanian bahwa lahan rawa pasang surut dapat menjadi basis pengembangan ketahanan pangan untuk kepentingan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Oleh karena itu, investasi pemerintah dan swasta dalam pemanfaatan lahan rawa seyogianya dapat lebih ditingkatkan. Produktivitas Lahan Produktivitas lahan rawa pasang surut sangat beragam dan tergantung pada kondisi tanah, tata air serta penerapan teknologi terutama teknologi pengeloloaan lahan dan varietas yang ditanam. Berdasarkan tipologi lahan, produktivitas padi sawah eksisting di lahan sulfat masam potensial berkisar antara 3,2-4,0 t GKG ha-1, di lahan sulfat masam aktual berkisar 2,6-3,5 t GKG ha-1, di lahan gambut berkisar antara 2,7-3,0 t GKG ha-1, dan lahan salin berkisar antara 2,6-3,9 t GKG ha-1. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produksi padi pada masing-masing tipologi lahan berkisar 6,3-7,0 t GKG ha-1, pada lahan sulfat masam potensial 4,5-6.0 t GKG ha-1, lahan sulfat masam aktual 4,0-5,0 t GKG ha-1 dan lahan gambut serta salin 4,0-4,5 t GKG ha-1. Bahkan dengan pengelolaan lahan yang baik, ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi yang memadai, disertai oleh kebijakan insentif yang tepat, ternyata lahan rawa pasang surut mampu menghasilkan padi 7- 8 ton Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 49 GKG ha-1 di Telang, Sumatera Selatan dan 5-6 ton GKG ha-1 di Bintang Mas, Kalimantan Barat (Sutanto, 2009). Alihamsyah et al. (2002) menyatakan bahwa lahan rawa pasang surut jika dikembangkan sebagai lahan pertanian hendaknya menggunakan tiga pendekatan, yaitu : (1) menerapkan teknologi pengelolaan lahan berupa pengelolaan air, tanah, hara dan bahan amelioran; (2) menggunakan tanaman dan varietas toleran terhadap kondisi lahan dan preferensi petaninya; dan (3) memadukan keduanya secara serasi. Pendekatan yang pertama agak mahal dan lebih sulit karena memerlukan tambahan tenaga, sarana dan biaya tapi hasilnya baik. Sedangkan pendekatan yang kedua lebih mudah dan murah tapi hasilnya suboptimal. Pendekatan yang ketiga adalah alternatif terbaik karena selain dapat memperbaiki kualitas dan produktivitas lahan juga memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang relatif lebih murah. Penerapan teknologi pengelolaan sumberdaya di lahan rawa pasang surut secara parsial, selain memerlukan input dan biaya lebih tinggi, juga dampaknya terhadap peningkatan produktivitas lahan memakan waktu lama sehingga hasilnya tidak optimal dan keberlanjutan penerapannya oleh petani sangat rendah. Oleh karena itu, konsepsi dasar teknologi percepatan peningkatan produktivitas lahan rawa pasang surut yang tepat untuk dilaksanakan adalah mengacu pada pendekatan pengelolaan sumberdaya terpadu. Konsep tersebut didasarkan kepada pemaduan secara komplementer antara upaya peningkatan kualitas lahan sampai tingkat tertentu dengan input serendah mungkin dan penggunaan tanaman yang toleran pada tingkat kualitas tersebut (Gambar 1). Upaya ini secara tidak disadari sebenarnya sudah dilakukan oleh petani lokal dengan indigineous knowledge. Teknologi pengelolaan sumberdaya terpadu adalah memadukan teknologi pengelolaan sumberdaya yang berupa tanah, air, bahan amelioran, pupuk dan tanaman secara serasi dan sinergi. Penerapan teknologi tersebut selain dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan secara lebih cepat, juga dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan biaya yang relatif lebih murah. Peningkatan kualitas lahan meningkatkan pH tanah dan air mengurangi elemen toksik meningkatkan kesuburan tanah mengurangi fluktuasi rejim air Masalah fisiko-kimia tanah pH tanah dan air rendah elemen toksik tinggi kesuburan tanah rendah fluktuasi air (banjir/kering) Pengelolaan sumberdaya terpadu Produktivitas lahan meningkat secara cepat Penggunaan tanaman toleran jenis tanaman varietas tanaman Gambar 1. Konsep dasar pendekatan terpadu untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 50 Pembukaan lahan rawa pasang surut beberapa dekade yang lalu akan menstimulasi perkembangan tanah. Proses tanah utama yang terjadi dan masih berlangsung hingga sekarang adalah perkembangan fisik, homogenitas, desalinisasi, gleisasi, perkembangan lapisan coklat dan oksidasi pirit yang berkaitan dengan tanah sulfat masam (Prasetyo, et al., 1990). Tanah sulfat masam berkembang sebagai akibat drainase bahan induk yang kaya dengan pirit (FeS2) (Shamsuddin dan Sarwani, 2002). Pirit terakumulasi pada tanah tergenang yang banyak mengandung bahan organik dan sulfat terlarut yang biasanya berasal dari air laut. Ketika drainase membawa oksigen melalui tanah tergenang tersebut, maka pirit akan teroksidasi menjadi asam sulfat. Tanah sulfat masam berkembang jika produksi asam melebihi kemampuan netralisasi dari bahan induk, sehingga pH tanah turun menjadi kurang dari 4. Sekali pirit teroksidasi, oksigen akan masuk ke dalam tanah dan pirit bereaksi dengan oksigan. Inilah awal rusaknya lahan rawa pasang surut akibat kemasaman tanah dan air yang meningkat dan munculnya unsur-unsur yang bersifat racun ke lingkungan perairan. Kandungan besi (Fe2+), aluminium (Al3+), ion hidrogen (H+), dan sulfat (SO42-) pada lahan yang didrainase lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak didrainase. Hal ini memberikan implikasi bahwa setelah lahan direklamasi dengan membangun sistem dan jaringan drainase akan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan tanah dan air. Konsten et al. (1990) menunjukkan total SO42- yang tercuci (leached) dari lahan yang didrainase adalah 3,34 mol m-2 tahun-1, sebanding dengan 1,17 mol pirit m-2 tahun-1 atau 140 g pirit m-2 tahun-1. Pada lahan yang tidak didrainase, total SO42- yang tercuci 1,18 mol pirit m-2 tahun-1 yang sebanding dengan 0,59 mol pirit m-2 tahun-1 atau 71 g pirit m-2 tahun1 . Penggenangan dan pengeringan tanah menyebabkan perubahan beberapa sifat kimia tanah antara lain peningkatan pH tanah, ketersediaan P meningkat, dan kadar Fe 2+ makin berkurang. Perubahan sifat kimia tersebut berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman padi (Luki et al., 1990). Takahashi (1999) menyatakan bahwa pengeringan menyebabkan oksida besi ferri secara bertahap terkeristalisasi menjadi bentuk besi yang kurang reaktif. Penggenangan berkala merupakan cara yang paling efektif untuk menghilangkan pengaruh buruk yang timbul akibat penggenagan seperti: akumulasi CO2, H2S, asam-asam organik, Fe, dan Mn tereduksi. Kondisi oksidasi dan reduksi secara bergantian dalam tanah dapat menyebabkan penambahan senyawa-senyawa besi ferro. Sekarang ini telah ditemukan teknologi percepatan perbaikan lahan rawa pasang surut sulfat masam yang telah mengalami degradasi akibat kesalahan dalam pengelolaan lahan. Malaui oksidasi tanah secara intensif dan investasi bakteri Thiobacillus feroxidans, kemudian diikuti dengan pelindian menggunakan air insitu dengan sistem pompanisasi dapat mempercepat peningkatan produktivitas lahan. Lahan rawa pasang surut sulfat masam yang tidak dapat ditanami tanaman jika dibiarkan secara alami akan pengalami perbaikan produktivitas lahan sehingga dapat ditanami tanaman memerlukan waktu 25-30 tahun. Jika menggunakan teknologi tersebut, maka perbaikan produktivitas lahan dapat berlangsung lebih cepat yaitu 3-5 tahun. Indeks Pertanaman Dari sekitar 407.594 hektar lahan sawah pasang surut yang ditanami padi, hanya 10% areal ditanami dua kali setahun (IP 200) dan sisanya hanya ditanam sekali setahun (IP 100). Rendahnya indeks pertanaman (IP) ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (a) Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 51 kondisi lahan yang cukup berat, (b) keterbatasan tenaga kerja, (c) aspek sosial, seperti sikap atau kebiasaan petani yang cenderung masih subsistem. Secara teknis, hal tersebut berhubungan erat dengan sulitnya pengelolaan air karena masih sangat terbatasnya infrastruktur, tingginya tingkat serangan hama-penyakit tanaman, serta penggunaan varietas padi lokal berumur dalam (panjang). Inovasi teknologi yang dianggap sesuai dengan dinamika perubahan lingkungan strategis yang terus dikembangkan sebagai trobosan adalah peningkatan indeks pertanaman. Di lahan rawa pasang surut umumnya dilakukan IP 100 (padi lokal), hanya sebagian kecil petani yang telah menerapkan IP 180 (unggul-lokal) atau 200 (unggul-unggul). Beberapa kendala yang dihadapi dalam meningkatkan IP antara lain (1) tingkat pengetahuan, ketersediaan tenaga kerja, dan modal yang terbatas, dan (2) kondisi lahan rawa pasang surut yang bervariasi, sehingga tidak semua lahan memungkinkan untuk detingkatkan IP padinya. Pola curah hujan diwilayah rawa pasang surut khususnya Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa awal musim hujan dimulai pada Oktober, puncak hujan terjadi pada Desember hingga Januari, kemudian mulai berkurang dan kemarau umumnya terjadi pada Agustus hingga September (Gambar 2). 300 18 HH 16 250 14 200 12 150 10 Hari hujan Jlh. Curah Hujan (mm) CH 8 100 6 Des Nov Okt Sept Agu Juli Juni Mei April Mart Feb 4 Jan 50 Bulan Gambar 2. Pola curah hujan dan hari hujan di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah Berdasarkan pengkajian dan pengalaman di Teluk Belanti I dan II, Kec. Pandih Batu, Kab. Pulang Pisau, Kalteng penanaman padi dengan IP 300 telah dilakukan. Lahan usahatani di lokasi ini termasuk lahan rawa pasang surut dengan jenis tanah potensial dan tipe luapan air B. Air pasang hanya menggenangi lahan sawah pada saat pasang besar, sedang pada pasang kecil air hanya masuk ke saluran tersier. Persiapan lahan dilakukan dengan hand tractor dan pengaturan air dengan sistem pipanisasi. Tanam padi pertama dimulai pada awal musim hujan (Oktober) secara sebar benih langsung. Hal ini dilakukan mengingat waktu dan tenaga kerja terbatas. Setelah tanam, dilakukan pemeliharaan meliputi pemupukan, penyiangan gulma, pengendalian hama dan penyakit. Panen padi pertama sekitar Januari. Tanam padi kedua dilakukan minggu kedua Pebruari dan panen sekiar pertengahan Mei. Kemudian tanam padi ketiga dilakukan awal Juni dan panen sekitar awal September. Hasil panen padi yang dicapai dangan IP 300 tersebut sekitar 3-4 t GKG ha-1 setiap musim tanam. Berdasarkan pengalaman yang dilakukan petani dalam budidaya padi Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 52 di lokasi tersebut, terbuka peluang bagi daerah lain di lahan rawa pasang surut dengan tipe luapan yang sama untuk meningkatkan IP tanaman padi menjadi IP 300. Hasil proyeksi melalui peningkatan indeks tanam padi dari IP 100 menjadi IP 200 di lahan rawa pasang surut yang telah dikembangkan sebagai lahan sawah seluas 407.594 ha dengan target hasi 4,0 t/ha maka diperoleh produksi sebesar 1.630.196 ton gabah. Jika lima puluh persen saja dari seluruh lahan rawa pasang surut yang telah direklamasi seluas 2.833.814 ha ditanami padi IP 200 dengan target hasil rata-rata 3 t/ha, maka kontribusi lahan rawa pasang surut terhadap produksi padi nasional adalah 8.501.442 ton gabah. Melalui perbaikan jaringan infrastruktur sistem pengelolaan air secara makro dan mikro pada wilayah-wilayah lahan rawa pasang surut yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian, maka peluang pengembangan lahan sawah baru akan semakin terbuka. Teknologi Tersedia Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Tata air mikro berfungsi untuk: 1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, 2) mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi sawah, 3) mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, 4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran. Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan air pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman selain dapat memperlancar pencucian bahan beracun. Sedangkan pengelolaan air pada saluran tersier bertujuan untuk: 1) memasukkan air irigasi, 2) mengatur tinggi muka air pada saluran dan petakan, dan 3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro bergantung pada tipe luapan air pasang dan tingkat keracunan. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran satu arah, sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D, saluran air perlu ditabat (disekat) dengan stoplog untuk menjaga permukaan air sesuai dengan kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Penataan lahan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi lahan agar sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Penataan lahan perlu memperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil (tidak mengalami oksidasi) dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Pada tipe luapan B, pola pemanfaatan lahan dilakukan dengan sistem surjan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial, pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Tanah untuk guludan diambil dari lapisan atas untuk menghindari oksidasi pirit. Sistem surjan merupakan salah satu contoh penataan lahan rawa melalui diversifikasi tanaman. Lebar guludan dibuat 3−5 m dan tinggi 0,50−0,60 m, sedangkan lebar tabukan 15 m. Setiap hektar lahan dapat dibuat 6−10 guludan dan 5−9 tabukan. Tabukan ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami palawija, sayuran, dan tanaman perkebunan seperti kopi dan kelapa. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 53 Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah karena pH tanah rendah, kelarutan Fe, Al, dan Mn tinggi serta ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa rendah. Oleh karena itu, diperlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanah sehingga produktivitas lahan meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan untuk meningkatkan pH dan rock phosphate (RP) untuk memenuhi kebutuhan hara P. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur adalah derajat pelapukan bahan induk, kandungan liat, kandungan bahan organik, bentuk kemasaman, pH tanah awal, metode kebutuhan kapur, dan waktu (Al-Jabri 2002). Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan berdasarkan metode inkubasi dan titrasi. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur, tanah, dan air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya satu minggu sampai beberapa minggu, lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH tertentu. Metode inkubasi memiliki kelemahan yaitu terjadi akumulasi garam (Ca, Mg, dan K) sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapur lebih dari yang seharusnya. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu memerlukan kapur lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi, serta relatif lambat sehingga tidak sesuai untuk analisis rutin. Walaupun metode titrasi memerlukan kapur lebih rendah, sebagian besar kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa, karena reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat lambat. Hasil penelitian di rumah kaca dan di lapangan menunjukkan penentuan takaran kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah sulfat masam potensial bergambut di Lamunti, Kalimantan Tengah (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001). Biochar merupakan limbah bahan organik yang diproses melalui pembakaran tidak sempurna (pyrolisis) dan dapat bertahan lama hingga ratusan tahun. Biochar di dalam tanah dapat menjadi habitat bagi mikroba tanah, dalam jangka panjang biochar tidak mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen, tetapi mampu menahan dan menjadikan air serta nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Aplikasi biochar ke dalam tanah merupakan pendekatan baru untuk menjadi suatu penampung (sink) bagi CO2 atmosfir jangka panjang, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), memperbaiki kesuburan tanah dan produksi tanaman pertanian (Gani, 2010). Hasil penelitian Balittra terbaru menunjukkan bahwa biochar yang dibuat dari sampah kota dengan kotoran sapi mampu meningkatkan kualitas biochar sebagai bahan amelioran. Tanah sulfat masam umumnya memiliki ketersediaan hara P dan K rendah, namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya tinggi pula. Pada tanah sulfat masam aktual, kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Takaran pupuk P adalah 100 kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Supardi et al. 2000). RP yang bermutu baik untuk tanah sulfat masam aktual adalah RP Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan P2O5 total 28,80% (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001). Untuk pupuk K cukup diberikan 100 kg KCl/ha untuk tanaman padi sawah. Padi sawah mempunyai daya adaptasi yang lebih baik di lahan pasang surut khususnya tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut dalam. Menurut Suwarno et al. (2000), sampai saat ini telah dilepas 11 varietas padi yang cocok dengan lahan pasang surut. Varietas yang sesuai untuk lahan sulfat masam adalah Mahakam, Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batanghari, Dendang, Margasari, Martapura, Inpara 1 sampai dengan Inpara 7. Namun hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa varietas Inpara yang sesuai untuk lahan rawa pasang surut adalah Inpara 2, Inpara 3, dan Inpara 4. Untuk tanah sulfat masam aktual di mana kadar Al dan Fe sangat tinggi, lebih sesuai ditanam varietas Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 54 lokal yang telah adaptif seperti Ceko, Jalawara, Talang, Gelombang, Bayur serta berbagai varietas Siam. Dua faktor penyebab utama tingginya intensitas serangan hama dan penyakit tanaman adalah (1) kedekatan lokasi lahan rawa pasang surut dengan hutan dan (2) sempitnya areal pertanaman varietas unggul sehingga serangan hama dan penyakit terkonsentrasi. Pada dasarnya pengendalian hama dan penyakit diarahkan pada strategi pengelolaan hama terpadu (PHT) melalui penggunaan varietas tahan dan musuh alami, teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkungan. Penggunaan pestisida kimia dilakukan sebagai tindakan terakhir. Sebagai contoh, pengendalian hama tikus terpadu yang strateginya didasarkan pada kombinasi taktik-taktik pengendalian berdasarkan stadia tanaman padi di lapangan. Untuk keberhasilan pengendalian hama dan penyakit ini diperlukan partisipasi aktif petani dan dukungan aparat pemerintah serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Gulma di lahan rawa pasang surut memiliki tingkat perkembangan yang cepat dan dapat menurunkan hasil padi hingga 74,2%. Gulma yang banyak tumbuh di lahan rawa pasang surut tipe luapan C dan D adalah gulma darat seperti: alang-alang, gerintingan dan babadotan. Sedangkan pada tipe luapan A adalah gulma air seperti: eceng gondok, semanggi, jajagoan dan jujuluk. Kemudian pada lahan tipe luapan B adalah gulma darat dan gulma air (Noor dan Ismail, 1995). Gulma dapat dikendalikan secara manual atau menggunakan herbisida. Gulma pada pertanaman padi dapat dikendalikan dengan Diuron 80 WP, Metachlor 500 EC, Oxyfluorfen 2EC, Oxadiazon 25 EC. Pemberian herbisida tersebut masing-masing dengan takaran 0,5; 2,0; dan 2,0 l ha-1 satu hari setelah tanam (HST) diikuti dengan penyiangan secara manual pada umur tanaman 35 HST dapat memberantas gulma secara efektif. Hasil penelitian Yusuf et al. (1993) pada padi sawah di lahan gambut memperlihatkan hasil serupa, yaitu penyiangan dengan herbisida DMA 6 takaran 1,5 l ha-1 diikuti dengan cara manual pada umur tanaman 30 HST memberikan hasil sama dengan penyiangan secara manual dua kali. Unsur penunjang bagi keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan teknologi hasil penelitian oleh petani di lahan rawa pasang surut menurut Alihamsyah (2002) mencakup : (1) peta dan informasi karakteristik wilayah, (2) kemampuan dan partisipasi masyarakat, (3) ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, (4) kebijaksanaan pemerintah. Peta dan infromasi karakteristik wilayah diperlukan untuk menentukan pola pemanfaatan lahan dan perakitan komponen teknologi pengelolaan lahan dan sistem usahataninya. Peta tersebut minimal memuat informasi penyebaran tipologi lahan dan tipe luapan serta sifat fisiko-kimia penting tanah dan air termasuk masalah biofisiknya. Apabila informasi ini tidak tersedia, maka tahap awal perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi wilayah di calon lokasi atau wilayah pengembangan. Untuk bisa diadopsi dan diterapkan, teknologi hasil penelitian dan pengkajian tersebut perlu dimasyarakatkan kepada petani dan penyuluh melalui berbagai cara, antara lain pelatihan dan pembinaan secara intensif serta percontohan dan kunjungan lapang. Untuk efisiensi, pelatihan bisa dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilakukan kepada para penyuluh pertanian dan selanjutnya kepada para petani dan kelompoknya yang dilakukan oleh para penyuluh yang sudah dilatih disertai dengan berbagai percontohan. Materi pelatihan tidak hanya aspek teknologi tersebut saja, tetapi termasuk pula berorganisasi, kedisiplinan dan kekompakan serta kerjasama antar anggota kelompok dalam berusahatani. Kemampuan masyarakat khususnya petani, bukan hanya pengetahuan tapi juga permodalan untuk usahataninya. Oleh karena itu, perlu dukungan lembaga perkreditan atau keuangan yang dapat menyediakan modal usaha bagi petani secara cepat dengan Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 55 prosedur yang sederhana dan mudah. Partisipasi masyarakat diperlukan dalam penerapan teknologi tidak hanya terbatas pada masyarakat petani dengan kelompoknya, tetapi juga pihak swasta atau pengusaha dan aparat pemerintah. Teknologi hasil penelitian baru bisa diterapkan dengan baik oleh petani apabila tersedia sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Penerapan teknologi pengelolaan air perlu didukung oleh prasarana tata air makro yang sesuai, sedangkan untuk teknologi varietas, ameliorasi dan pemupukan perlu didukung oleh penyediaan benih bermutu, bahan ameliorasi dan pupuk yang memadai secara tepat jumlah, jenis dan waktu. Penerapan teknologi pengolahan tanah dan penanganan panen serta pasca panen memerlukan dukungan pengembangan alsintan berupa traktor, mesin panen dan perontok serta pengering, sedangkan penerapan teknologi pengendalian OPT memerlukan selain bahan pengendali OPT juga peralatan untuk aplikasinya. Tanpa penyediaan sarana dan prasarana yang memadai secara tepat dan terjangkau, penerapan teknologi hasil penelitian di lahan rawa tidak akan berjalan dengan baik. Dalam kaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diperlukan pengembangan kelembagaan agribisnis yang sesuai terutama dengan melibatkan kelompok atau koperasi petani dan pengusaha swasta lokal. Dari berbagai pengalaman pengembangan pertanian di daerah rawa menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah untuk mendukung pengembangan teknologi pertanian di lahan rawa secara berkelanjutan mencakup beberapa hal, terutama : (1) identifikasi dan karakterisasi daerah pengembangan potensial, (2) rehabilitasi dan peningkatan prasarana jaringan tata air, (3) peningkatan kemampuan petugas dan petani termasuk fasilitas dan sarana penyuluhan, (4) insentif harga yang layak serta fasilitas kredit dan permodalan, (5) penyediaan dan deregulasi tata niaga sarana produksi dan pemasaran hasil, (6) peningkatan atau pengembangan kelembagaan, terutama yang berakar dari masyarakat termasuk lembaga keuangan pedesaan dan jasa penyewaan alsintan, (7) pengembangan jaringan perhubungan antar wilayah, dan (8) peningkatan koordinasi dan keterpaduan kerja antar instansi terkait melalui pendekatan mekanisme fungsional maupun struktural. Penutup 1. Masih terbuka peluang untuk mengembangkan lahan sawah baru di lahan rawa pasang surut karena luas lahan yang tersedia masih luas (2.426.220 ha). Pengembangan sawah dapat dilakukan terutama pada lahan rawa pasang surut dengan tipe luapan B dan C. 2. Melalui perbaikan produktivitas lahan, produksi padi pada masing-masing tipologi lahan rawa pasang surut masih bisa ditingkatkan menjadi 6,3-7,0 t GKG ha-1, pada lahan sulfat masam potensial 4,5-6.0 t GKG ha-1, lahan sulfat masam aktual 4,0-5,0 t GKG ha-1 dan lahan gambut serta salin 4,0-4,5 t GKG ha-1. 3. Melalui peningkatan peran aparatur pemerintah (penyuluh), pedagang (pengusaha), dan motivasi petani, serta perbaikan infrastruktur masih terbuka peluang untuk meningkatkan IP dari 100 menjadi IP 200 bahkan IP 300. 4. Telah banyak teknologi peningkatan produksi padi di lahan rawa pasang surut dihasilkan melalui penelitian, tinggal bagaimana teknologi tersebut di adopsi dan diterapkan oleh petani. Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 56 Daftar Pustaka Agus, F. dan Irawan. 2007. Agricultural land conversion as a threat to food security and environmental quality. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(3):90-98. Alihamsyah, T. 2002. Optimalisasi Pendayagunaan Lahan Rawa Pasang Surut. 29 hal. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di Cisarua tanggal 6-7 Agustus 2002. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Al-Jabri, M. 2002. Penetapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual Belawang, Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran, Bandung. Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentoro, Hermanto, Y. Soelaeman, IW. Suastika dan B. Nuryanto. 2000. Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan : Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. 18 hal. P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian. Ananto, E.E., H. Subagyo, I.G. Ismail, U. Kusnadi, T. Alihamsyah, R. Thahir, Hermanto dan D.K.S. Swastika. 1998. Prospek pengembangan sistem usaha pertanian modern di lahan pasang surut Sumatera Selatan. 16 hal. P2SLPS2, Badan Litbang Pertanian. Aribawa, I. B., M. Noor, dan S. Ali. 1997. Pengaruh pemberian kapur, fosfat, dan residunya terhadap perubahan kualitas tanah, air, dan hasil padi di tanah sulfat masam. Kalimantan Sciantiae 18:47-57. Audebert, A. 2006. Iron partitioning as a mechanism for iron toxicity tolerance in low land rice. In. Audebert, A., L. T. Narteh, D. Killar, and B. Beks. (Ed.). Iron Toxicity in Rice-Based System in West Africa. Africa Rice Center (WARDA). Becker, M. and F. Ash. 2005. Iron toxicity in rice condition and management concept. Journal of Plant Nutrition and Soil Science 168: 558-573. Biro Pusat Statistik. 2008. Survei Susut Panen MT 2007/2008. Kerjasama BPS, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendalian Bimas, dan Bolog. Direktorat Rawa dan Pantai. 2006. Pengembangan Daerah Rawa. 172 hal. Direktorat Rawa dan Pantai, Dirjen Sumberdaya Air. Kementrian Pekerjaan Umum. Jakarta. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2007. Kebijakan pengembangan lahan rawa dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Dalam. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. 3-4 Agustus 2007. Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice, Nutrient Disorders and Nutrient Management. Handbook series. Potash and Phosphate Institute (PPI). Potash and Phosphate Institute of Canada (PPIC) and International Rice Institute. Gani, A. 2010. Multiguna arang-hayati biochar. Sinar Tani. Edisi 13-19 Oktober 2010. Konstens, C. J. M., S. Suping, I B. Aribawa, and IPG. Widjaja Adhi. 1990. Chemical processes in acid sulphate soil in Pulau Petak, South and Central Kalimantan. p. 109135. In. AARD/LAWOO. Paper Workshop on Acid Sulphate Soils In The Humik Tropics. Bogor. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 57 Luki, U., R. Syahni, dan R. Rasyidin. 1990. Pengaruh lamanya waktu penggenangan dan pencucian terhadap beberapa ciri kimia tanah dan pertumbuhan tanaman padi sawah. p. 439-452. Dalam. Prosiding Pengelolaan Sawah Bukaan Baru Menunjang Swasembada Pangan dan Program Transmigrasi. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami. Padang. Mehbaran, P., A. Abdol Zadeh and H. Reza Sadeghipour. 2008. Iron toxicity in rice (Oryza sativa L.) under different potassium nutrition. Asian J. of Plant Sci. 7:1-9. Noor, E.S. dan I.G. Ismail. 1995. Gulma dan pengendaliaannya dalam sistem usahatani di lahan pasang surut. Sistem usaha tani berbasis tanaman pangan: Keunggulan komparatif dan kompetitif. Risalah Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani dan Sosial ekonomi. Bogor, 4-5 Oktober 1994. Prasetyo, B.H. 2007. Genesis tanah sawah bukaan baru. Hlm 25-52. Dalam Tanah Sawah Bukaan Baru. ISBN: 978-602-8039-04-8. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Prasetyo, H., J. A. M. Janssen, dan Alkusuma. 1990. Landscape and soil genesis in Pulau Petak Kaslimantan. Pp. 18-29. In. Papers workshop on acid sulphate soils in the humid tropics, 20-22 November 1990. AARD/LAWOO. Bogor. Priatmadi, B. J. dan E. Purnomo. 2000. Karakterisasi tanah sulfat masam dan zonase produktivitas padi. J. Tanah Tropika 11:59-68 Purnomo, E., Gelling, S. M., W. T. G. Van Someren. 1999. Spatial and temporal variability of some chemical composition of tidal swamp irrigation water in acid sulphate soil of South Kalimantan. J. Tanah Tropika 9:7-14. Puslitbangtanak. 2003. Arahan Lahan Sawah Utama dan Sekunder Nasional di P. Jawa, P. Bali, dan P. Lombok. Laporan Akhir Kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian dengan Proyek Koordinasi Perencanaan Peningkatan Ketahanan Pangan, Biro Perencanaan dan Keuangan, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Ritung, S. 2011. Karakteristik dan sebaran lahan sawah di Indonesia. Hlm 83-98. Dalam. Prossiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan lahan Terdegradasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Shamsuddin, J. dan M. Sarwani. 2002. Pyrite in acid sulphate soils: transformation and inhibition of its oxidation by application of natural materials. 97:1-5. Symposiom 17th WCSS 14-21 August 2002. Thailand. Supardi, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P alam sebagai pengganti SP-36 di lahan sulfat masam. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa, Cipayung 25–29 Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat hlm. 433−440. Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi peningkatan produktivitas tanah sulfat masam. Laporan akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah dan Iklim, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm. 6−12. Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 58 Sutanto, R. H. 2009. Review Hasil Pembahasan Workshop Pengembangan dan Pengelolaan Rawa dalam Mendukung Upaya Ketahanan Pangan Nasional. 16 Desember 2009, Hotel Nikko Jakarta. 27 hal. Sutomo, S. dan K. Suhariyanto. 2005. Data Konversi Lahan Pertanian, Hasil Sensus Pertanian 2003. BPS-Statistics Indonesia. Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000. Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut dengan penerapan sistem usaha tani terpadu. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25–27 Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 176−186. Takahashi, T., C. Y. Park, H. Nakajima, H. Sekiya, and K. Toriyana. 1999. Ferric ion transformation in soils with rotation of irrigated rice and effect on soil tillage properties. Soil Sci. Plant Nutr. 45:163-173. Yusuf, A., Nusyirwan dan E. Rusdi. 1993. Penyiangan gulma padi sawah secara manual dan kimiawi di lahan gambut. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Proyek ISDP. Badan Litbang Pertanian. Widjaja-Adhi, IP.G. 1995b. Potensi peluang dan kendala perluasan areal pertanian lahan rawa di Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Sopeng, 7−8 November 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm. 1−12. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 59