BioSMART Volume 1, Nomor 2 Halaman: 34-41 ISSN: 1411-321X Oktober 1999 Distribusi dan Kemelimpahan Rubus di Gunung Lawu AHMAD DWI SETYAWAN Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta ABSTRAK The aims of this research were to find out the diversity, distribution, and abundance of species in genus Rubus at Mount Lawu, based on the differences in altitude and time sampling. Mountain has very specific microclimate because of the altitude. This factor made differences in water precipitation, thick of cloud, light intensity, humidity, wind, slope, evaporation and temperature. The temperature is the main limited factor to plant distribution. Each plant has different ecological response to temperature changes, so that each plant grows at special zone to fulfill their physiological demands. The stages of this research included field collection, herbarium construction, sampling vegetation, and morphological examination. Field works were done along the tracking line from Cemoro Sewu (2200m alt) to the top of Hargo Dumilah (3265m alt). Time samplings were on October 1993 and February 1998. Sampling vegetation was done using Quadrate method. Four species have been found in genus Rubus: Rubus lineatus Reinw. and Rubus niveus on 2200-3265 and 3200-3265 m alt, and Tumb Rubus fraxinifolius Poir. and Rubus chrysophyllus Reinw. Ex. Mig Ex Bl. on 2200-2600 m alt. The abundance average of these species on October 1993 and on February 1998 were Rubus lineatus 17.1% and 5.7%, Rubus niveus 3.4% and 2.2%, Rubus fraxinifolius, 0.7% and 0.5% and Rubus niveus 8.3% and 3.1%. Bush fire on Mount Lawu before sampling on February 1998 does not change the distribution, but significantly affected on the abundance of the genus. Key Words: distribution, abundance, Rubus, Mount Lawu, altitude. PENDAHULUAN Jawa merupakan salah satu pulau terpadat di dunia. Pulau ini dihuni lebih dari separuh penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 200.000.000 juta, meskipun luasnya tidak lebih dari seperlima luas Indonesia. Eksploitasi alam di Jawa sangat tinggi sehingga dapat merusak kelestarian alam dan plasma nuftah. Menurut Silver dan DeFries (1992), kepunahan spesies merupakan kehilangan materi genetik yang tidak tergantikan. Pertambahan penduduk menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi pemukiman, jalan, pertokoan, industri dan lain-lain. Akibatnya produksi pangan menurun, sehingga perlu dilakukan diversifikasi bahan pangan. Terlebih produksi padi-padian di penghujung abad ini menurun drastis (Brown dkk., 1987). Hingga saat ini sudah diidentifikasi sekitar 1,4 juta spesies, 7000 di antaranya merupakan bahan pangan dan diperkirakan masih jutaan yang belum dikenal, khususnya di hutanhutan tropis (Silver dan DeFries, 1992). Gunung-gunung di Jawa, disamping cagar alam dan taman nasional, merupakan benteng terakhir konservasi flora dan fauna Jawa yang terkenal sangat beragam. Kawasan ini diperkirakan masih menyimpan spesiesspesies dataran tinggi yang potensial untuk tanaman ekonomi (Steenis, 1972). Misalnya Rubus. Di belahan bumi utara yang beriklim subtropis, Rubus sering dibudidayakan untuk bahan pangan, obat dan tanaman hias. Buah, tunas dan daun muda merupakan bahan pangan, sedang akar dan daun tua merupakan bahan obat (Bailey, 1929; Hill, 1972; Kartasapoetra, 1988). Gunung sebagai Penghalang Distribusi Gunung merupakan salah satu faktor utama yang menghalangi distribusi tumbuhan. Ketinggian dan kecuraman lereng mempengaruhi besarnya temperatur, curah hujan, ketebalan awan, kelembaban udara, kecepatan angin, intensitas sinar matahari dan penguapan (Lawrence, 1955; Steenis, 1972). Setiap spesies memi- liki tingkat toleransi yang berbeda terhadap faktor-faktor tersebut, sehingga terbentuk zonasi (Rost dkk., 1989). Distribusi tumbuhan sangat dipengaruhi temperatur (Gibbs, 1950). Di permukaan laut daerah tropis rata-rata temperatur adalah 26,3oC dan setiap naik 100 m dpl turun 0,61oC. Pada ketinggian 2000 m dpl menjadi 14,1oC dan setiap naik 100 m dpl turun 0,52oC. Pada ketinggian 4700 m dpl menjadi nol (Braak, 1923). Gunung-gunung di Jawa hanya menempati sebagian kecil pulau ini. Diperkirakan 92% permukaan Jawa terletak di bawah ketinggian 1000 m dpl., sekitar 7% di ketinggian 1000-2000 m dpl dan hanya 0,7% di atas ketinggian 2000 m dpl. Gunung-gunung ini vulkanik, selalu tumbuh karena keluarnya lava dan runtuh karena gempa atau erosi, sehingga hanya gunung tua, luas dan stabil yang vegetasinya melimpah (Steenis, 1972). Steenis (1972) membagi zonasi iklim di Jawa sebagai berikut: 0 – 1000 m dpl. Zona tropis (500 – 1000 m dpl. Subzona Colline) 1000 – 2400 m dpl. Zona montane (1000 – 5000 m dpl. Subzona submontane) di atas 2400 m dpl. Zona subalpine Ekologi dan Distribusi Rubus tumbuh luas di belahan bumi utara, terutama di Amerika Utara dan Eropa. Beberapa spesies tumbuh di daerah alpine dan kutub utara. Di daerah tropis dan belahan bumi selatan genus ini relatif jarang (Bailey, 1929; Edmond dkk., 1977). Di Asia Tenggara dijumpai di atas 1000 m dpl. Genus ini khas lahan terbuka, namun ada pula yang memerlukan naungan (Westphal dan Jansen, 1989). Tumbuh di tanah lempung dan lempung berpasir. Tanah yang sangat subur dapat menyebabkan batang rimbun, tetapi buahnya sedikit. Sebaliknya tanah yang miskin dapat menyebabkan gagal tumbuh normal (Talbert, 1953). Rubus tidak dapat tumbuh di tanah yang terlalu basah atau kering (Auchter dan Knapp, 1949). © 1999 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta SETYAWAN – Rubus di Gunung Lawu Klasifikasi Rubus Rubus terdiri dari 600–1000 spesies, dimana 200–400 diantaranya merupakan tumbuhan pribumi (Lawrence, 1951). Menurut Hylander (1956) genus ini hanya memiliki sekitar 400 spesies serta menurut Trease dan Evans (1978) hanya memiliki 250 spesies. Di Asia Tenggara terdapat 50 spesies pribumi (Westphal dan Jansen, 1989). Di Jawa terdapat 16 spesies (Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1968), dimana tujuh diantaranya tumbuh di pegunungan (Steenis, 1972). Nama Rubus berasal dari bahasa Latin, ruber yang artinya merah, sesuai dengan warna cairan buahnya (Hylander, 1956; Bailey dan Bailey, 1960). Dalam Bahasa Inggris semua spesies anggota genus Rubus disebut bramble atau brambleberry, sekalipun nama terakhir terkadang khusus untuk Rubus yang dibudidayakan (Andriance dan Brison, 1955; Edmon dkk., 1977). Dalam Bahasa Indonesia Rubus belum memiliki padanan nama yang pasti. Beberapa nama yang diusulkan seperti ‘kecaling, kupi-kupi dan bebetan’ (Westphal dan Jansen, 1989) hingga kini belum banyak dikenal orang. Sedang nama ‘hareneus’ dari Bahasa Sunda dan ‘grunggung’ dari Bahasa Jawa yang menurut Steenis (1972) dapat mencakup semua Rubus juga tidak banyak dikenal. Nama ‘arbei hutan’ yang agak familiar dan biasa digunakan petani Cibodas, sesungguhnya hanya mewakili varitas-varitas Rubus rosaefolius J.E. Smith (Anonim, 1985). Dalam tulisan ini nama Rubus tidak diganti nama lokal tertentu. Dalam dunia pertanian, Rubus sering dikelompokkan menjadi tiga, yaitu raspberry, blackberry, dewberry, serta beberapa spesies hibrida. Raspberry berupa semak tegak dan kuat, berduri atau berbulu tajam, bila masak buah majemuk lepas dari dasar bunga. Blackberry berupa semak tegak atau menjalar, terkadang berduri, buah agak berdaging, ketika masak tetap melekat pada dasar bunga. Dewberry sama dengan blackberry tetapi tumbuh merambat (Garris dan Hoffmann, 1946; Hill, 1972) Secara botani Rubus diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Rosales Familia : Rosaceae Subfamilia : Rosoideae Genus : Rubus Seksi : I. Chamaemorus II. Cylactis III. Dalibardastum IV. Anoplobatus V. Malachobatus VI. Idaeobatus VII. Eubatus Spesies : Rubus spp. Nama lokal: Indonesia: kecaling, kupi-kupi, bebetan; Jawa: grunggung; Sunda: hareneus; Malaysia: lintagu, dilapalian, emperingat; Filipina: pinit, sapinit; Papua Nugini: ikilimbu; Perancis: muron, frambose; Inggris: bramble, brambleberry; blackberry, raspberry, dewberry dan lain-lain (Andriance dan Brison, 1955; Bailey, 1929; Edmon dkk., 1977; Lawrence, 1951; Steenis, 1972; Westphal dan Jansen, 1989). 35 Morfologi Rubus Habitus Rubus umumnya berupa semak-semak, jarang yang herbaseus, kadang-kadang semi herbaseus, kebanyakan memanjat, menjalar atau tegak; ujung batang biasanya mengangguk; permukaan batang dan daun gundul, berbulu, berkelenjar atau berduri; batang berkayu dan kuat, pada spesies tropis umumnya perenial, sedang pada spesies subtropis kebanyakan bienial; daun tersusun spiral, bagian bawah lebih kecil, tunggal atau majemuk, menjari atau menyirip, jumlah anak daun umumnya tiga, pada spesies tropis banyak, bertulang menjari; bunga aksiler atau terminal, soliter atau majemuk, cawan atau malai; jantan, betina, hermaprodit atau poligami; kelopak tanpa braktea sekunder; perhiasan bunga agak datar, lonceng atau melebar; sepala 5, petala 5, jarang absen; stamen kecil, banyak, pada bunga betina tereduksi menjadi staminodia kecil; filamen berbentuk benang; anthera dorsal; ginaesium apokarp; putik 3 sampai banyak, epigin, ovulum 2, pada bunga jantan tereduksi; stilus subterminal, bentuk benang atau menebal apikal; warna bunga putih kehijau-hijauan, putih kemerahmerahan, merah, merah jambu, kuning, kuning jeruk, ungu atau hitam; pada spesies yang dibudidayakan bunga biasanya menggerombol sehingga buahnya banyak; buah majemuk terdiri dari drupelet-drupelet kecil dalam dasar bunga berbentuk konus, cembung atau kolumner dan berdaging, (Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1968; Bailey, 1929; Westphal dan Jansen, 1989).Biji tersimpan dalam jaringan buah sukulen yang tebal, empuk dan cerah, sehingga menarik burung untuk memakannya. Biji mengalami modifikasi untuk mencegah kemungkinan tercerna (Daubenmire, 1974; Polunin,1990). Perkembangbiakan Rubus berkembangbiak secara vegetatif dan generatif. Secara vegetatif dengan batang menjalar atau tunas pada pangkal batang, sedang secara generatif dengan biji (Polunin, 1990). Di alam bebas perbanyakan vegetatif lebih berperan, hanya saja biji menyebabkan Rubus dapat tersebar luas dengan bantuan hewan yang memakannya (Daubermine, 1974). Perkembangbiakan secara vegetatif sangat cepat dan rapat, pada areal sempit, sehingga mendesak ruang lingkup vegetasi lain, termasuk tanaman ekonomi (Benton dan Werner, 1976). Namun secara alamiah dapat pula menjadi alat kontrol biologi terhadap rumput dan semak-semak liar (Charudattan dan Walker, 1982). BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Koleksi di lapangan. Alat yang digunakan adalah: ransel, gunting tanaman, pisau, beliung, etiket gantung pensil, buku lapangan, altimeter, kompas dan teropong. Pembuatan herbarium. Alat yang digunakan adalah: sasak, kertas koran, kertas kardus, tali/kawat, gunting dan silet. Sedang bahan yang digunakan adalah: kertas, label, amplop, etiket herbarium, lem, selotip transparan. Pengamatan vegetasi di lapangan. Alat yang dipakai adalah: meteran, tali plastik/rafia, patok, palu, gunting dan pisau. Pengamatan di laboratorium. Alat yang digunakan adalah: mikroskop bedah, lampu, lensa pembesar, cawan petri, jarum pemisah, pisau, silet dan pinset. 36 BioSMART Vol. 1, No. 2, Oktober 1999, hal. 34-41 Cara Kerja Lokasi. Penelitian dilakukan di lereng selatan Gunung Lawu, sepanjang jalur pendakian dari kaki gunung di Cemoro Sewu (2200 m dpl) sampai puncak Hargo Dumilah (3265 m dpl). Waktu. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama bulan Oktober 1993, akhir musim kemarau, sedang tahap kedua bulan Pebruari 1998. Penelitian kedua tidak dapat dilaksanakan bulan Oktober 1997, tepat lima tahun setelah penelitian pertama karena pada bulan September-Oktober 1997 terjadi kebakaran hebat di Gunung Lawu dan saat itu musim kemarau sangat panjang akibat badai tropis El Nino. Penelitian tahap kedua baru dapat dilaksanakan bulan Pebruari 1998, ketika Rubus mulai bertunas lagi setelah memasuki musim hujan. Koleksi spesies. Koleksi spesies dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan sampling. Untuk mendapatkan spesimen yang baik dan lengkap dilakukan pula koleksi dengan metode penjelajahan. Sebagian hasil koleksi diawetkan dengan teknik herbarium kering (Lawrence, 1951; 1955) dan dipotret. Tumbuhan segar diamati sifatsifat morfologinya, dilanjutkan pengamatan herbarium. Tumbuhan diidentifikasi dengan pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1968), Bailey (1929), Bailey dan Bailey (1960) serta Steenis (1972) dan dibuat kunci determinasinya. Analisis vegetasi. Sampling dilakukan dengan metode transek kuadrat, dengan kuadrat berukuran 5X5 m2 (Oosting, 1959). Transek kuadrat dibuat mengikuti jalur pendakian dari Cemoro Sewu hingga puncak Hargo Dumilah. Sepanjang jalur transek dibagi menjadi enam stasiun penelitian mengikuti gradien ketinggian, masingmasing dengan jarak 200 m dpl., kecuali stasiun VI (65 m dpl.). Kuadrat di buat dengan distribusi sistematik sepanjang kiri-kanan jalur transek secara bergantian, masing-masing berjarak 20 m dpl., di stasiun VI masingmasing berjarak sekitar 10 m dpl sejajar di kiri-kanan jalur. Dihitung prosentase luas penutupan tiap-tiap spesies Rubus yang ditemukan (Barbour dkk., 1988). Pembagian stasiun selengkapnya sebagai berikut: Stasiun I : 2200-2400 m.dpl. • Zona montane : 2400-2600 m.dpl. • Zona subalpine Stasiun II Stasiun III : 2600-2800 m.dpl. Stasiun IV : 2800-3000 m.dpl. : 3000-3200 m.dpl. Stasiun V Stasiun VI : 3200-3265 m.dpl. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam dua tahap penelitian ini ditemukan empat spesies anggota genus Rubus yang jenisnya sama dan distribusinya sangat serupa, tetapi kemelimpahannya jauh berbeda. Spesies-spesies yang ditemukan adalah: Rubus lineatus Reinw. Ex Bl., Rubus niveus Tunb., Rubus fraxinifolius Poir. dan Rubus chrysophyllus Reinw. Ex. Miq. Kunci Identifikasi Berdasar struktur sifat-sifat morfologinya, kunci identifikasi/determinasi keempat spesies tersebut adalah sebagai berikut: 1a. Daun tunggal, berbingkul-bingkul, urat daun kuning-hijau menyolok, pangkal tidak atau agak berbentuk jantung, bulat telur melebar, dengan 3 – beberapa cuping, permukaan atas bertubercula kecil, gundul atau berbulu, permukaan bawah coklat, kebanyakan reticulatus, ukuran 7-22 ½ x 5-19 ½ cm; tangkai daun kuat, 2-8 cm, biasanya lebih panjang dari 2 ½ cm; daun penumpu dan daun pembalut agak bundar, terbagi dua; Karangan bunga bertipe malai melebar, bunga tunggal banyak, kelopak lebih panjang dari petala, petala bulat telur sungsang lebar, kebanyakan bergerigi, panjang 3-6 mm, filamen sedikit lebih panjang dari mahkota, kepala sari kecil, connectivum (agak) gundul, benang sari 4-6 mm; Buah kuning jeruk hingga merah; Semak-semak berkayu, kokohmenjalar, panjang 5-10 m; Cabang pendek kecil, cabang samping yang lebih bawah lebih panjang; Di Gunung Lawu tumbuh pada ketinggian 2200-2600 m.dpl. ………...…… Rubus chrysophyllus Reinw. Ex. Miq. (gambar 1) b. Daun majemuk …………………………………………..…….. 2 2a. Daun majemuk menjari, anak tulang daun rapat sejajar, permukaan bawah berbulu perak sangat khas, permukaan atas agak gundul; anak daun umumnya 5, kadang-kadang 3, 6 atau 7, rapat, lansetmemanjang, pangkal runcing atau runcing-meruncing, anak daun terminal, panjang 6-15 cm, lebar 2-6 cm, anak tulang daun samping pada anak daun tengah 20-50, jarak antara satu dengan lainnya biasanya kurang dari 3 mm, tangkai berbulu halus, sering dengan duri-duri kecil melengkung, anak tangkai lebih pendek 1 cm; Karangan bunga bertipe cawan atau malai, aksiler atau terminal, biasanya dengan 7-banyak bunga tunggal, agak terpisahpisah; sepala panjang meruncing, kelopak berbulu jarang; mahkota putih, petala panjang 4-6 mm, jorong atau bulat telur sunsang; benang sari terluar 2-5 mm, filamen putih kemerah-merahan atau putih polos, tangkai kepala putik 3-6 mm, pangkal berbulu; Buah merah atau kuning jeruk; Semak-semak berkayu, tegak, kadang memanjat, tinggi 1-3 m, berduri-duri kecil; Batang muda sangat berbulu, tipis, tajam, batang tua bercabang atau tidak, berduri-duri kecil melengkung; Di Gunung Lawu tumbuh pada ketinggian 2200-3265 m.dpl. ……………………... Rubus lineatus Reinw. Ex. Bl. (gambar 2) b. Daun majemuk menyirip ………………………………………. 3 3a. Batang diselimuti lilin putih tebal, terutama pada batang muda, batang dan tangkai daun berduri, tajam, kuat dan rumcing; Daun majemuk menyirip kebanyakan dengan 7-11 anak daun, permukaan bawah sangat putih, panjang anak tangkai umumnya 2 mm; anak daun jorong memanjang, bulat telur memanjang atau lanset; anak daun samping 2-8 x ¼-4 cm, daun duduk, anak daun terminal sering bercuping dan lebih panjang dari anak daun samping; daun penumpu menyatu, garis-sudip, meruncing; Karangan bunga aksiler atau terminal, agak rapat, dengan 10-100 bunga tunggal, putih penuh; tangkai bunga ½-1½ cm; sepala 5-8 mm, petala bulat telur sunsang, merah 4-5 x 2½-3½ mm; benang sari 2-4 mm, filamen putih kemerahan, tangkai putih berbulu rapat, warna indumentum biru gelap; Buah merah, kadang-kadang tampak biru, hijau atau kuning; Semak-semak berkayu, tinggi 1-2 m, tegak kadang-kadang memanjat, berduri rapat; Di Gunung Lawu tumbuh terutama pada ketinggian 3200-3265 m.dpl. ………………………………… Rubus niveus Tunb. (gambar 3) b. Batang tidak diselimuti lilin putih, lemas seperti daunnya, duri lurus agak melengkung, tersebar jarang, sebagian inermous; Tangkai dan permukaan bawah daun gundul atau agak berbulu, daun majemuk menyirip, anak daun 5-9 umumnya 7, pada batang muda kadang-kadang 11 dan pada daun teratas sering hanya 1-3, bulat telur memanjang, pangkal berbentuk jantung, membulat, tumpul atau pasak, sering panjang meruncing, 4-16 x 1½-7 cm; Karangan bunga bertipe tandan, cawan, atau malai, dengan 6-50 bunga tunggal; sepala bulat telur lanset, memanjang dan meruncing, bagian dalam berbulu, bagian luar gundul, sepanjang tepian berbulu panjang ½-2 cm; mahkota putih atau putih kehijauan, petala bulat telur melebar, jorong atau bulat telur jorong, panjang 6-8 mm, ovarium gundul; benang sari 2-5 mm; Buah kebanyakan bulat telur, merah, 1½-2 cm. Semak-semak berkayu, tinggi 1½-3 m, tegak atau agak memanjat; Di Gunung Lawu tumbuh pada ketinggian 2200-2600 m.dpl. …...……………………… Rubus fraxinifolius Poir. (gambar 4) SETYAWAN – Rubus di Gunung Lawu Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 1. Morfologi Rubus chrysophyllus Reinw. Ex. Miq. Gambar 2. Morfologi Rubus lineatus Reinw. Ex. Bl. Gambar 3. Morfologi Rubus niveus Tunb. Gambar 4. Morfologi Rubus fraxinifolius Poir. 37 BioSMART Vol. 1, No. 2, Oktober 1999, hal. 34-41 38 Tabel 1. Distribusi dan kemelimpahan Rubus di Gunung Lawu berdasarkan gradien ketinggian Stasiun Ketinggian (m dpl.) I 2200-2400 II 2400-2600 III 2600-2800 IV 2800-3000 V 3000-3200 VI 3200-3265 Rata-rata R.lineatus 1993 1998 2,1 2,0 R.niveus 1993 1998 0 0 Kemelimpahan (%) R.fraxinifolius 1993 1998 0,3 0 R.chrysophyllus 1993 1998 14,3 8,1 1993 16,7 Total 1998 10,1 17,0 13,1 0 0 4,0 3,0 35,5 10,6 56,5 26,7 20,9 7,0 0,3 0 0 0 0 0 21,2 7,0 20,9 9,3 0 0 0 0 0 0 20,9 9,3 21,5 3,8 0 0,6 0 0 0 0 21,5 4,4 20,0 8,8 20,0 12,5 0 0 0 0 40,0 21,3 17,1 5,7 3,4 2,2 0,7 0,5 23,2 3,1 29,7 13,2 Distribusi dan Kemelimpahan Lereng selatan Gunung Lawu merupakan daerah tangkapan “hujan cadangan” (storage rainfall), terutama di altitude rendah. Sehingga hampir setiap hari terjadi hujan, yang berlangsung sepanjang tahun. Menurut Steenis (1972) curah hujan gunung-gunung di Jawa umumnya di atas 2000 mm per tahun, bahkan banyak pula yang di atas 3000 mm per tahun, meskipun hanya terkonsentrasi dalam 3-6 bulan. Pada bulan DesemberJanuari hampir selalu hujan sepanjang hari. Sedang pada bulan Juli-Agustus curah hujan paling rendah, itu pun dalam sebulan masih terdapat 20 hari hujan atau lebih. “Hujan cadangan” terbentuk karena angin tenggara yang (sebenarnya) kering, menabrak lereng selatan Gunung Lawu dan naik. Bersama dengan itu udara lembab dari kaki gunung terangkat dan mengalami kondensasi yang dilanjutkan pendinginan sehingga terbentuk titik-titik air yang turun sebagai hujan. Hujan biasanya turun di sore hari. Akibatnya lereng selatan memiliki curah hujan cukup tinggi. Lereng selatan bagian atas juga memiliki curah hujan cukup tinggi tetapi kadarnya masih di bawah lereng bagian bawah. Menurut Steenis (1972) puncak gunung biasanya kurang berawan dibanding lereng, karena di lereng selalu terjadi kondensasi awan stratus, khususnya di musim kemarau pada ketinggian 2000 m dpl. Namun pada musim hujan di puncak juga dapat tertutup awan selama beberapa hari bahkan berminggu-minggu. Pada altitude tinggi perbedaan musim hujan dan kemarau teramati, juga dampaknya pada aktifitas fisiologis tumbuhan. Di lereng utara pertumbuhan Rubus dan vegetasi lain cenderung kurang subur. Lereng ini merupakan daerah “bayang-bayang hujan”, dimana angin tenggara yang melewatinya telah kembali kering. Lewat pengamatan selintas tampak lereng ini relatif didominasi rumput dan semak-semak. Sebaliknya lereng selatan, khususnya zona montane sangat rimbun oleh berbagai herba, semak dan pohon. Bahkan lantai hutan, ranting dan batang pohon pun penuh tumbuhan epifit, seperti bryophyta, pterydophyta, orchidaceae dan lichenes. Distribusi dan kemelimpahan Rubus di Gunung Lawu sangat dipengaruhi faktor lingkungan. Faktor paling dominan adalah perubahan (turunnya) temperatur akibat bertambahnya ketinggian. Fluktuasi temperatur di puncak gunung sangat tinggi, terutama temperatur harian di musim kemarau. Pada hari yang cerah datangnya awan atau kabut selama satu jam cukup untuk membuat temperatur turun jauh. Perbedaan tanggapan ekologis tiap-tiap spesies Rubus terhadap perbedaan temperatur ini menyebabkan beberapa spesies hanya dapat tumbuh di altitude rendah, sedang spesies lain hanya tumbuh di altitude tinggi. Sekalipun ada pula yang dapat tumbuh dari altitude rendah hingga altitude tinggi dengan kemelimpahan relatif tinggi dan stabil. Perbedaan kemampuan adaptasi dan toleransi terhadap perubahan temperatur ini menyebabkan terbentuknya zona-zona vegetasi yang didominasi oleh tumbuhan tertentu. Rubus dapat berbuah sepanjang tahun, baik musim kemarau atau hujan. Namun titik optimumnya tercapai pada akhir musim kemarau saat mana intensitas matahari cukup tinggi, kelembaban udara meningkat dan cukup dingin. Sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis dan pembentukan buah. Perbedaan ini tampak nyata pada altitude tinggi, dimana perbedaan musim kemarau dan musim hujan lebih jelas. Sedang pada altitude rendah yang sepanjang tahun mendapat cukup curah hujan dan subur, masa optimum ini agak sulit diketahui. Tabel di bawah menunjukkan bahwa tidak semua stasiun (ketinggian) dapat dihuni oleh semua spesiesspesies Rubus. Bahkan beberapa spesies cenderung terlokalisasi pada ketinggian tertentu, sekalipun ada pula yang berhasil tumbuh di semua ketinggian. Perbandingan Stasiun/Ketinggian Dalam dua tahap penelitian, Oktober 1993 dan Pebruari 1998, distribusi Rubus di tiap-tiap stasiun pada dasarnya sama, namun kemelimpahanya berbeda dan ada beberapa spesies yang tumbuh tidak konsisten, biarpun dalam jumlah sangat kecil (kurang dari 1%). Di stasiun I (2200-2400 m dpl.) dan II (2400-2600 m dpl.) Rubus yang ditemukan hampir sama, tetapi kemelimpahan di stasiun II dan kemelimpahan pada bulan Oktober 1993 lebih tinggi. Pada bulan Oktober 1993 di stasiun I ditemukan R.lineatus 2,1%, R.fraxinifolius 0,3% dan R.chrysophyllus 14,1%. Pada bulan Pebruari 1998 di SETYAWAN – Rubus di Gunung Lawu stasiun I hanya ditemukan R.lineatus 2,0% dan R.chrysophyllus 8,1%, sedang R.fraxinifolius yang semula ada kini hilang. Pada bulan Oktober 1993 dan Pebruari 1998 di stasiun II ditemukan tiga spesies yang sama jenisnya, secara berturut-turut kemelimpahannya adalah R.lineatus 17,0% dan 13,1%, R.fraxinifolius 4,0% dan 3,0%, R.chrysophyllus 35,5% dan 10,6%. Di stasiun I dan II R.niveus tidak ada. Data ini menunjukkan R.chrysophyllus merupakan spesies paling sesuai untuk kondisi lingkungan stasiun I dan II, sedang R.niveus tidak. 56,5 50 40,0 Okt 1993 30 26,7 21,3 Peb 1998 20,9 10,1 20 9,3 Okt 1993 8,0 Peb 1998 Di stasiun III (2600-2800 m dpl), IV (2800-3000 m dpl) dan V (3000-3200 m dpl), keberadaan R.lineatus sangat dominan. Pada bulan Oktober 1993 kemelimpahan R.lineatus di stasiun III 20,9%, stasiun IV 20,9% dan stasiun V 21,5%. Di stasiun III juga ditemukan R.niveus namun kemelimpahannya hanya 0,3%. Pada bulan Pebruari 1998 kemelimpahan R.lineatus di stasiun III 7,0%, stasiun IV 9,8% dan stasiun V 3,8%. Di stasiun V juga ditemukan R.niveus dengan kemelimpahan 0,6%. Dua spesies lain, R.fraxinifolius dan R.chrysophyllus tidak ada. Hal ini menunjukkan di tiga stasiun tersebut hanya R.lineatus yang mampu beradaptasi, sedang R.fraxinifolius dan R.chrysophyllus tidak. Keberadaan R.niveus di stasiun III pada bulan Oktober 1993 hanya merupakan bentuk anomali, sedang R.niveus di stasiun V pada Pebruari 1998 merupakan invasi dari stasiun VI. Di stasiun VI (3200-3265 m dpl) hanya ditemukan dua spesies, yaitu R.lineatus dan R.niveus. Pada bulan Oktober 1993 kemelimpahan keduanya 20,0%. Sedang pada bulan Pebruari 1998 kemelimpahannya berturutturut 8,8% dan 12,5%. Hal ini menunjukkan hanya keduanya yang mampu beradaptasi dengan lingkungan stasiun VI. Bahkan stasiun ini sangat cocok, sehingga pertumbuhannya melimpah. Khusus R.niveus puncak gunung merupakan satu-satunya habitat yang sesuai. 15 13,1 10 9,3 7,0 5 2,1 3,8 0 2,0 Stasiun I Stasiun VI Stasiun V Stasiun IV Stasiun III Stasiun II Gambar 5. Distribusi dan kemelimpahan seluruh genus Rubus yang tumbuh di Gunung Lawu, dari kaki gunung di Cemoro Sewu (2200 m dpl) hingga Puncak Hargo Dumilah (3265 m dpl), pada bulan Oktober 1993 dan Pebruari 1998 Kemelimpahan (%) 4,4 0 Stasiun I 20,0 17,0 Stasiun VI 7,0 21,5 20,9 Stasiun V 10 21,5 20,9 Rubus lineatus Reinw. Ex Bl. R.lineatus merupakan spesies yang paling sukses beradaptasi dengan habitat Gunung Lawu. Spesies ini tumbuh mulai dari kaki gunung hingga puncak, dengan kemelimpahan yang relatif tinggi dan stabil. Walaupun agak berbeda antara Oktober 1993 dan Pebruari 1998. Stasiun IV 21,2 16,5 Perbandingan Spesies Rubus Distribusi dan kemelimpahan Rubus di Gunung Lawu tidak linier. Karena tiap-tiap spesies memberi tanggapan yang berbeda-beda terhadap perbedaan temperatur akibat perubahan ketinggian. Stasiun III 20 Perbandingan total kemelimpahan Rubus di enam stasiun pada bulan Oktober 1993 berturut-turut dari kemelimpahan tinggi ke rendah adalah stasiun II 56,5%, stasiun VI 40,0%, stasiun V 21,5%, stasiun III 21,2%, stasiun IV 20,9% dan stasiun I 16,5%. Sedang pada bulan Pebruari 1998 adalah stasiun II 26,7%, stasiun VI 21,3%, stasiun I 10,1%, stasiun IV 9,3%, stasiun III 7,0% dan stasiun V 4,4%. Di bawah stasiun I kemungkinan ditemukannya Rubus jauh berkurang. Stasiun II Kemelimpahan (%) 40 39 Gambar 6. Distribusi dan kemelimpahan R.lineatus di Gunung Lawu dari kaki gunung di Cemoro Sewu (2200 m dpl) hingga Puncak Hargo Dumilah (3265 m dpl), pada bulan Oktober 1993 dan Pebruari 1998 Pada bulan Oktober 1993, R.lineatus ditemukan di stasiun I (2200-2400 m dpl.) dengan kemelimpahan hanya 2,1%. Di stasiun II hingga VI (2400-3265 m dpl.) distribusinya merata dengan kemelimpahan relatif stabil, rata-rata 20,0%. Perubahan kemelimpahan yang sangat menyolok antara stasiun I dan stasiun-stasiun di atasnya menunjukkan bahwa stasiun I merupakan batas antara habitat yang sesuai untuk R.lineatus dan yang tidak. Distribusi R.lineatus pada bulan Pebruari 1998 tidak jauh berbeda dengan lima tahun sebelumnya, namun kemelimpahannya jauh lebih kecil. Di stasiun I hanya 2,0%, stasiun II naik menjadi 13,1%, stasiun III turun menjadi 7,0%, stasiun IV naik menjadi 9,3%, stasiun V turun menjadi 3,8% dan stasiun VI naik menjadi 8,0%. Distribusi yang naik-turun, bahkan zig-zag ini menunjukkan bahwa kebakaran hutan sangat mempengaruhi kemelimpahan R.lineatus dan suksesi belum sempurna. BioSMART Vol. 1, No. 2, Oktober 1999, hal. 34-41 0,3 0 Stasiun VI Stasiun V Stasiun IV Stasiun III Stasiun II 0 Gambar 8. Distribusi dan kemelimpahan R.fraxinifolius di Gunung Lawu dari kaki gunung di Cemoro Sewu (2200 m dpl) hingga Puncak Hargo Dumilah (3265 m dpl), pada bulan Oktober 1993 dan Pebruari 1998 Pada bulan Oktober 1993, kemelimpahan di stasiun I 0,3% dan di stasiun II 4,0%. R.fraxinifolius dapat tumbuh cukup tinggi, sekitar 2-3 m dan memiliki habitus semak-semak semi herbaseus, sehingga hanya dapat tumbuh dengan baik di lokasi yang curah hujan tinggi, seperti stasiun II. Pada bulan Pebruari 1998, R.fraxinifolius hanya ditemukan di stasiun II dengan kemelimpahan turun menjadi 3,0%. Hal ini merupakan akibat kebakaran beberapa bulan sebelumnya, dimana R.fraxinifolius belum mampu tumbuh dengan kemelimpahan yang wajar seperti dalam kondisi normal. Rubus chrysophyllus Reinw. Ex Miq. R.chrysophyllus merupakan spesies khas altitude rendah, seperti halnya R.fraxinifolius. Spesies ini tumbuh di stasiun I dan II. Kemelimpahannya jauh lebih tinggi dari pada R.fraxinifolius. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan cara pemencarannya. R.fraxinifolius yang berhabitus tegak hanya dapat terpencar melalui biji, sedang R.chrysophyllus yang berhabitus merayap/menjalar dapat terpencar melalui stolon dan enten, selain biji. 35 35,5 Okt 1993 30 20 14,1 10 10,6 8,1 Peb 1998 0 0 0 0 0 Stasiun VI Pada bulan Oktober 1993, kemelimpahan R.niveus di stasiun VI 20,0%. Selain itu hanya ditemukan di stasiun III dengan kemelimpahan 0,3%. Hal ini merupakan bentuk anomali, terbukti kemelimpahannya sangat kecil, letak tumbuhnya jauh dari habitat utama di stasiun VI dan lima tahu kemudian telah tereliminasi. Rumpun ini mungkin berasal dari biji yang terdiaspora oleh burung atau manusia yang beraktivitas di sana, seperti pendaki, petugas hutan atau pencari rumput. Biji dapat tumbuh karena tempat jatuhnya secara spesifik mirip dengan puncak. Tetapi ketidakmampuannya untuk menyebar dan tumbuh melimpah menunjukkan kondisi lingkungan di tempat tersebut pada dasarnya tidak sesuai dengan kebutuhan hidup spesies ini. Pada bulan Pebruari 1998, R.niveus hanya ditemukan di kawasan puncak, terutama di stasiun VI dengan kemelimpahan 12,5%. Di samping itu ditemukan pula di stasiun V sebagai bentuk invasi dari stasium VI dengan kemelimpahan hanya 0,6%, lokasi tumbuhnya menempel batas stasiun VI. Kemelimpahan ini jauh di bawah bulan Oktober 1993, hal ini terjadi akibat kebakaran beberapa bulan sebelumnya. Di lapangan terlihat banyak rumpun R.niveus yang sedang tumbuh membentuk tunas-tunas baru dari pokok-pokok batang yang tidak terbakar. R.niveus yang selamat dari api, tumbuh rimbun dengan bunga dan buah lebat. 0 Stasiun V Gambar 7. Distribusi dan kemelimpahan R.niveus di Gunung Lawu dari kaki gunung di Cemoro Sewu (2200 m dpl) hingga Puncak Hargo Dumilah (3265 m dpl), pada bulan Oktober 1993 dan Pebruari 1998 0 Stasiun IV 0 Stasiun VI 0 Stasiun V 0,3 Stasiun III Stasiun II Stasiun I 0 Stasiun IV 0,6 0 0 Stasiun III 5 Peb 1998 2 Stasiun I 12,5 Peb 1998 10 0 3,0 20,0 Okt 1993 15 Okt1993 4,0 0 Kemelimpahan (%) Kemelimpahan (%) 20 4 Stasiun II Rubus niveus Tunb. Distribusi R.niveus sangat khas, spesies ini hanya melimpah di puncak gunung, stasiun VI (3200-3265 m dpl.). Areal penyebarannya sangat sempit, namun kemelimpahannya sangat tinggi. Rubus fraxinifolius Poir. Distribusi R.fraxinifolius sangat terbatas, hanya tumbuh di stasiun II dan sebagian kecil di stasiun I dekat perbatasan stasiun II. Kemelimpahannya sangat rendah. Stasiun I Kemelimpahan R.lineatus di puncak yang kering relatif sama dengan di altitude rendah yang jauh lebih subur. Karena sekalipun kerdil, spesies yang tumbuh di puncak kerapatannya cukup tinggi akibat rendahnya persaingan dengan vegetasi lain. Sedang pada ketinggian rendah sekalipun subur, persaingan dengan vegetasi lain sangat tinggi, sehingga kerapatannya rendah. Kemelimpahan (%) 40 Gambar 9. Distribusi dan kemelimpahan R.chrysophyllus di Gunung Lawu dari kaki gunung di Cemoro Sewu (2200 m dpl) hingga Puncak Hargo Dumilah (3265 m dpl), pada bulan Oktober 1993 dan Pebruari 1998 SETYAWAN – Rubus di Gunung Lawu Pada bulan Oktober 1993 kemelimpahan R.chrysophyllus di stasiun I 14,1% dan stasiun II 35,5%. Fakta ini menunjukkan bahwa R.chrysophyllus hanya cocok dengan kondisi lingkungan di kedua stasiun tersebut. Kemelimpahan yang tinggi di stasiun I mengindikasikan kemungkinan masih ditemukannya spesies ini pada altitude yang lebih rendah. Pada bulan Pebruari 1998, R.chrysophyllus juga hanya ditemukan di stasiun I dan II, masing-masing dengan kemelimpahan 8,1% dan 10,6%, masih cukup tinggi biarpun beberapa bulan sebelumnya terjadi kebakaran. Hal ini menunjukkan tingginya daya adaptasi untuk pulih ke kondisi normal setelah kebakaran. Rubus di Gunung Lawu tidak terdistribusi pada ketinggian yang persis sama dengan umumnya Rubus di Jawa. Menurut Backer dan Bakhuizen v.d. Brink (1968) di Jawa R.lineatus tumbuh pada ketinggian 1600-3300 m dpl., sesuai dengan pustaka tersebut di Gunung Lawu mereka tumbuh pada ketinggian 2200-3265 m dpl. (stasiun I-VI). Di Jawa R.niveus tumbuh pada ketinggian 1300-2700 m dpl., tetapi di Gunung Lawu hanya melimpah pada ketinggian 2300-3265 m dpl. (stasiun VI). Di Jawa R.fraxinifolius tumbuh pada ketinggian 1500-2600 m dpl., tetapi di Gunung Lawu hanya tumbuh pada ketinggian 2400-2600 m dpl. (stasiun II). Di Jawa R.chrysophyllus tumbuh di bawah ketinggian 1500 m dpl., tetapi di Gunung Lawu tumbuh pada ketinggian 2200-2600 m dpl (stasiun I dan II). Hal ini menunjukkan kondisi spesifik Gunung Lawu tidak persis sama dengan kondisi gunung-gunung di Jawa pada umumnya. KESIMPULAN Di Gunung Lawu terdapat empat spesies anggota genus Rubus, yaitu: Rubus lineatus Reinw. Ex Bl., Rubus niveus Tunb., Rubus fraxinifolius Poir. dan Rubus chrysophyllus Reinw. Ex. Miq. Rubus lineatus ditemukan pada ketinggian 2200-3265 m dpl., Rubus fraxinifolius dan Rubus chrysophyllus pada ketinggian 2200-2600 m dpl., sedang Rubus niveus ditemukan terutama pada ketinggian 3200-3265 m dpl. Rata-rata kemelimpahan spesie-spesies tersebut pada bulan Oktober 1993 dan Pebruari 1998 secara berturut-turut adalah: Rubus lineatus 17,1% dan 5,7%, Rubus niveus 3,4% dan 2,2%, Rubus fraxinifolius 0,7% dan 0,5% serta Rubus chrysophyllus 8,3% dan 3,1%. Kebakaran hutan di Gunung Lawu tidak merubah distribusi Rubus, tetapi sangat mempengaruhi kemelimpahannya. DAFTAR PUSTAKA Andriance, G.W. dan F.R. Brison. 1955. Propagation of Horticultural Plants. Second edition. Bombay: Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd. Anonim. 1985. Stroberi dari Lembang Sampai Mandarin. Trubus No. 191. Tahun XVI. Oktober 1985. Jakarta. 41 Auchter, E.C. dan H.B. Knapp. 1949. Orchard and Small Fruit Culture. Third edition. New York: John Wiley and Sons Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of Java. Volome III. Groningen: Wolters-Noordhoff N.V. Bailey, L.H. 1929. The Standard Cyclopedia of Horticulture. Volume III. P-Z. New York: Macmillan Company. Bailey, L.H. dan E.Z. Bailey. 1960. The Standard Cyclopedia of Horticulture. Volume III. P-Z. New York: Macmillan Company. Barbour, M.G., J.H. Burk dan W.D. Pitts. 1988. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo Park Calif.: The Benjamin Cummings Publishing Company. Inc. Braak, C. 1923. Het Klimaat van Nederlandsch-Indie. Verh. Kon. Magn. Met Obs. Batavia 8 : 1-528. Brown, L.R. dkk.. 1987. Dunia Penuh Ancaman 1987. (Penerjemah: Salmon dkk.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Benton, A.H. dan W.E. Werner. 1976. Field Biology and Ecology. Thrird Edition. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Co. Charudattan, R. dan H.L. Walker. 1982. Biological Control of Weeds with Plant Pathogens. New York: John Wiley and Sons. Daubenmire, R.F.. 1974. Plants and Environment. Third edition. New York: John Wiley and Sons. Edmond, J.B., T.L. Senn, F.S. Andrews dan R.G. Halfacre. 1977. Fundamentals of Horticulture. Fourth Edition. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company. Garris, E.W. dan G.P. Hoffmann. 1946. Southern Holticulture Enterprises. New York: J.B. Lippincott Company. Gibbs, R.D.. 1950. Botany. An Evolutionary Approach. Philadelphia: The Baliston Company. Hatton, R.G.. 1960. Hanbook of Plant and Floral Ornament. New York: Dover Publications. Inc. Hill, A.F.. 1972. Economic Botany. Second edition. New Delhi: Tata McGrow-Hill Publishing Company Ltd. Hylander, C.J.. 1965. The World of Plant Life. Second edition. New York: The Macmillan Company. Janick, J. 1972. Horticultural Science. Second edition. San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Kartasapoetra, A.G. 1988. Budidaya Tanaman Berkasiat Obat. Jakarta: Bina Aksara. Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomy of Vascular Plant. New York. John Wiley and Sons. Lawrence, G.H.M. 1955. An Introduction to Plant Taxonomy. New York: The Macmillan Company. Oosting, H.J.. 1956. The Study of Plant Communities. An Introduction to Plant Ecology. Second edition. San Fransisco: W.H. Freeman and Company Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. (Penerjemah: G. Tjitrosoepomo; Penyunting: W. Soerodikoesoemo). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Pool, R.J. 1941. Flower and Flowering Plants. Second edition. New York: McGraw-Hill Book Company Inc. Rost, T.L. M.G. Barbour. R.M. Thornton. W.E. Weier dan C.R. Stocking. 1989. Botany. A Brief Introduction to Plant Biology. Second edition. New York: John Wiley and Sons. Silver, C.S. dan R.S. DeFries. 1992. Satu Bumi Satu Masa depan Kita. Perubahan Lingkungan Global Kita. (Penerjemah: L. Amalia; Penyunting: W. Nadaek). Bandung: PT. Rosdakarya Steenis, C.G.G.J. van. 1972.The Mountain Flora of Java. Leiden: E.J. Brill Talbert, T.J. 1953. Growing Fruit and Vegetable Crops. London: Henry Kimpton. Trease, G.E. dan W.C. Evans. 1978. Pharmacognasy. Eleventh edition. London: Bailliere Tindall. Weier, T.E., C.R. Stocking. M.G. Barbour dan T.L. Rost. 1982. Botany. An Introduction to Plant Biology. Sixth edition. New York: John Wiley and Sons. Westphal, E. dan P.C.M. Jansen. 1989. Prosea Plant Resources of Southeast Asia. A Selection. Wageningen: Pudoc.