1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu peristiwa alam biasa, fenomena alam ini akan berubah menjadi bencana alam tanah longsor manakala tanah longsor tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Sulawesi Selatan yang sebagian wilayahnya adalah daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan wilayah ini menjadi daerah yang rawan terhadap kejadian tanah longsor. Intensitas curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami akan dapat memicu terjadinya bencana alam tanah longsor. Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami dan gunung meletus hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat, kapan akan terjadi dan berapa besaran kekuatannya, sedangkan beberapa bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan masih dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya. 2 Sejak tahun 2001 hingga 2008 tercatat lebih dari 36 kejadian tanah longsor di Indonesia dengan memakan korban 1228 jiwa meninggal/hilang dan lebih dari 4044 rumah rusak tertimbun (Karnawati dan Fathani, 2008). Menurut Nugroho, tanah longsor yang terbesar terjadi tahun 2010 di Indonesia adalah tanah longsor Ciwedey Jawa Barat yang menelan korban sebanyak 44 jiwa dan menurut BNPB, korban tanah longsor tahun 2011 sebanyak 104 jiwa dan tahun 2012 sebanyak 56 jiwa. Longsor dan banijr terbesar tahun 2012 terjadi di Ambon yang menelan korban sebanyak 21 orang dan merusak 118 buah rumah. Dikhawatirkan kejadian tanah longsor akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang akibat makin terusiknya lahan-lahan rentan tanah longsor oleh kegiatan pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan (Karnawati & Fathani, 2008). Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 11 Kabupaten di Sulawesi Selatan yang rawan terhadap tanah longsor yaitu Tanah Toraja, Luwu, Pinrang, Sidrap, Wajo, Soppeng, Bone, Sinjai, Bantaeng, Gowa dan Makassar. Hal ini dimungkinkan karena kondisi daerah ini yang bertopografi pegunungan hingga perbukitan, maka untuk menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dibutuhkan cut and fill lahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan banyak ruas jalan di Sulawesi Selatan yang rentan terhadap bahaya tanah longsor (Samang dkk, 2006) 3 Berdasarkan survei geologi yang dilakukan oleh Pachri (2009) dan Busthan (2010 sampai awal 2012) telah terjadi bencana tanah longsor pada poros jalan Malino-Manipi. Tanah longsor tersebut menyebabkan tertutupnya badan jalan poros Malino- Manipi sehingga arus transportasi terputus dan dampak lanjutannya adalah terganggunnya roda perekonomian masyarakat Malino dan Manipi. Selain merusak badan jalan, juga menimbun lahan persawahan dan perkebunan penduduk setempat. Berdasarkan hal di atas penulis berkesimpulan bahwa kedepan tanah longsor akan semakin sering terjadi atau dengan kata lain ruas jalan Malino – Manipi adalah daerah yang rentan terhadap kejadian tanah longsor. Untuk meminimalisasi dampak bencana, maka harus dilakukan mitigasi bencana dan untuk melakukan mitigasi bencana maka karakteristik bencana harus harus dikaji secara saksama. Hal ini yang menyebabkan penulis tertarik untuk melakukan penelitian disertasi di daerah ini dengan judul “ Kajian Geologi Teknik kerentanan Tanah Longsor Pada Ruas Jalan Malino Kabupaten Gowa sampai Manipi Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi- Selatan” sebagai salah satu upaya untuk mendukung mitigasi bencana tanah longsor. B. Identifikasi Masalah Penelitian Ruas jalan Malino Kabupaten Gowa – Manipi Kabupaten Sinjai dan ruas jalan Manipi – Kota Sinjai, 4 tahun terakhir setiap tahun mengalami 4 kejadian tanah longsor. Tanah longsor yang terjadi menyebabkan tertimbunnya badan jalan dan terpotongnya badan jalan sehingga arus transportasi Malino – Manipi dan Manipi – Kota Sinjai menjadi terputus, material longsor juga menimbun lahan perkebunan dan lahan persawahan yang ada disekitar lokasi tanah longsor. Selain itu, akibat tanah longsor ini juga menyebabkan tiang listrik dan tiang kabel telepon posisinya menjadi Penulis menyimpulkan bahwa ruas jalan Malino – Manipi adalah miring. daerah yang rentan terhadap bahaya tanah longsor. C. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang akan dikaji meliputi : 1. Bagaimana karakteristik bidang diskontinuitas batuan 2. Bagaimana profil tingkat pelapukan batuan 3. Bagaimana model karakteristik bidang diskontinuitas batuan dan hubungannya dengan tingkat pelapukan batuan dan pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan tanah longsor pada ruas jalan MalinoManipi D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian yang akan dicapai adalah : 1. Menganalisis karakteristik bidang diskontinuitas batuan 5 2. Mengkaji tingkat pelapukan batuan 3. Pemodelan karakteristik bidang diskontinuitas batuan dan hubungannya dengan tingkat pelapukan batuan dan pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan tanah longsor pada ruas jalan MalinoManipi E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Meningkatkan pemahaman/pengetahuan tentang seluk beluk tanah longsor bagi pemangku kepentingan yaitu Pemerintah (instansi terkait) dan masyarakat pada umumnya. 2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan terhadapi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah Sinjai, Pemda Kabupaten Gowa dan Instansi terkait dalam membuat kebijakan tentang metode minimalisasi dampak bencana tanah longsor. 3. Sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya kerentanan tanah longsor. 4. Dengan mengetahui faktor penyebab kerentanan tanah longsor, maka mitigasi yang akan dilakukan akan lebih efektif dan efisien 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Issu Strategis Kerentanan Tanah longsor Kepulauan Indonesia terletak pada wilayah pertemuan 3 (tiga) lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona penunjaman atau subduction zone yang mengakibatkan pembentukan gunungapi di busur kepulauan dengan kemiringan sedang hingga terjal. Material hasil letusan gunungapi mempunyai porositas tinggi dan kurang kompak dan tersebar di daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu keseimbangan hidrologinya, daerah tersebut akan rawan terhadap tanah longsor. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah yang berada dalam busur kepulauan bersifat rawan terhadap tanah longsor (BNPB, 2010). Peta kerangka tektonik wilayah Indonesia disajikan dalam gambar 1. Menyadari hal di atas tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan perhatian besar terhadap kondisi geologis tersebut. Pemerintah dalam menanggapi kejadian bencana alam yang sering melanda negara kita, maka sejak Pemerintahan Orde Lama sampai Pemerintahan saat ini telah berkali-kali membentuk lembaga atau badan yang secara khusus bekerja dalam usaha-usaha penanggulangan bencana. 7 Gambar 1 : Peta Kerangka Tektonik Indonesia (PVMBG, 2011) Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana kewenangan penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab daerah, maka Pemerintah Pusat mulai meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk dapat secara mandiri mengatasi permasalahan bencana di setiap provinsi dan kota/kabupaten Pada priode 2005 – 2008 yaitu setelah tragedi gempa dan tsunami di aceh dan sekitarnya, keluar Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Badan ini selain memiliki fungsi koordinatif juga didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan melalui paradigma pengurangan resiko merupakan jawaban 8 yang tepat untuk melakukan upaya penanggulangan bencana pada era otonomi daerah. Dalam paradigma ini, setiap individu diperkenalkan dengan berbagai ancaman yang ada di wilayahnya, bagaimana cara memperkecil ancaman dan kerentanan yang dimilki, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman. Dalam priode ini lahir UndangUndang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Karena pentingnya usaha-usaha penanggulangan bencana maka sejak tahun 2009 telah dibentuk secara bertahap Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada tingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Definisi bencana seperti dipaparkan tersebut mengandung tiga aspek dasar, yaitu : (1) Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard). (2) Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat. (3) Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka. 9 Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster) (BNPB, 2006). Berdasarkan kondisi geologi dan kondisi curah hujan di Indonesia serta ikut mendukung pelaksanaan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah berkaitan dengan penanggulangan bencana di Indonesia yang menitip beratkan pada paradigma pengurangan resiko bencana seperti yang telah diuraikan di atas maka penelitian kerentanan tanah longsor sangat relevan atau sangat urgen untuk dikaji secara akademik. B. Mekanisme Tanah Longsor Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang pengertian atau definisi dari tanah longsor seperti Varnes (1978), Cruden (1991) dan Karnawati (2005). Menurut Varnes (1978) longsoranatau tanah longsor adalah bergeraknya massa penyusun lereng yaitu tanah, batuan maupun campuran keduanya ke arah bawah atau keluar lereng di bawah pengaruh gravitasi bumi. Cruden (1991) juga mengemukakan pengertian tanah longsor (landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah atau bahan rombankan material penyusun lereng (yang merupakan pencampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Pengertian yang dikemukakan oleh Karnawati (2005), tanah longsor adalah proses transportasi atau pergerakan sebagian massa penyusun lereng (mass wasting process) yang kemudian diikuti oleh proses pengendapan (sedimentasi) material yang tertransport. Selanjutnya Karnawati mengatakan, apabila material yang bergerak/longsor tersebut 10 terendapkan pada lahan dengan gradien hidrolika masih cukup tinggi, atau membentuk endapan dengan kemiringan lereng yang cukup terjal/curam maka endapan tersebut masih dapat mengalami gangguan kestabilan, sehingga endapan tersebut dapat bergerak lagi menuruni atau keluar lereng sampai akhirnya mencapai posisi stabil. Tanah longsor atau gerakan tanah yang terjadi pada suatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor – faktor geologis, faktor curah hujan, dan. faktor buatan manusia Faktor pengontrol terjadinya longsoran merupakan fenomena yang mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi bergerak, meskipun pada saat ini lereng tersebut masih stabil ( belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang berpotensi untuk bergerak ini baru akan bergerak apabila ada gangguan yang memicu terjadinya gerakan (Karnawati, 2005). Faktor-faktor ini umumnya merupakan fenomena alam (meskipun ada yang bersifat non alamiah). Ada banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang faktor penyebab tanah longsor. Pendapat masing-masing ahli ada yang sama namun ada juga yang beda. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat tentang penyebab tanah longsor. Menurut Popescu, penyebab tanah longsor secara garis besar dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu : kondisi tanah dan batuan, 11 proses-proses geomorfologi, proses-proses fisik dan proses-proses buatan manusia. Karnawati Gerakan Massa (2005) dalam bukunya yang berjudul “Bencana Alam Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulannya, berpendapat bahwa proses terjadinya tanah longsor atau gerakan tanah dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor penyebab pengontrol dan faktor pemicu gerakan. Faktor pengontrol meliputi : aspek geomorfologi, geologi, tanah, geohidrologi dan tata guna lahan. Faktor pemicu gerakan meliputi :infiltrasi air ke dalam lereng, getaran dan aktivitas manusia. Ada banyak klasifikasi mekanisme tanah longsor, seperti klasifikasi yang dikemukakan oleh Varnes (1978), Hoek dan Bray (1981). Klasifikasi tanah longsor yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dikemukakan oleh Varnes untuk lereng alami. Adapun klasifikasi Hoek dan Bray banyak digunakan dalam bidang pertambangan yaitu untuk lereng buatan.Klasifikasi oleh Varnes didasarkan pada mekanisme gerakan dan material yang berpindah atau bergerak. Varnes (1978) mengklasifikasi tanah longsor menjadi 6 tipe yaitu fall (jatuhan), topless (jungkiran), slides (longsoran), lateral spread (hamparan lateral), flow (aliran) dan complex /compound (kompleks atau gabungan). Lebih jelasnya klasifikasi tanah longsor menurut Vernes (1978) disajikan 12 dalam tabel 1 dan gambar mekanisme tanah longsor menurut USGS disajikan dalam gambar 2. Tabel 1 : Mekanisme Tanah Longsor (Varnes, 1978) Type of material Bedrock Type of movement Engineering soils Predominantly Predominantly fine coarse Falls Rockfall Topples Rock topple Earth topple Debris topple Rock slump Earth slump Debris slump Rock block slide Earth block slide Debris block slide Many Rock slide units Earth slide Debris slide Rock spread Earth spread Debris spread Rock flow Earth flow Debris flow Rotational Few units Slides Earth fall Debris fall Translational Lateral spreads Flows Rock avalanche (Deep creep) Debris avalanche (Soil creep) 13 Complex and compound Combination in time and/or space of two or more principal types of movement Gambar 2 : Jenis Mekanisme Tanah Longsor (USGS) C. Karakteristik Bidang Diskontinuitas Batuan Menurut International Society For Rock Mechanics yang dikemukan oleh Brown (1981) dalam bukunya yang berjudul Rock Characterization Testing and Monitoring, dikemukakan bahwa ada 10 karakteristik bidang diskontinuitas pada batuan, kemudian Wyllie dan Mah (2004) dalam bukunya yang diberi judul Rock Slope Engineering mengemukakan bahwa ada 13 14 parameter karakteristik bidang diskontinuitas atau bidang rekahan termasuk yang dikemukakan oleh Brown ditambah 3 parameter lainnya oleh Wyllie dan Mah yang secara kualitatif dapat menyebabkan menurunnya kualitas batuan. Ke – 13 parameter tersebut sebagai berikut (Brown, 1981 dan Wyllie dan Mah, 2004) : 1. Tipe batuan (rock type) 2. Kekuatan dinding rekahan (wall Strength) 3. Tipe rekahan (discontinuity type) 4. Orientasi (orientation) 5. Kekasaran bidang rekahan (roughness) 6. Bukaan (aperture) 7. Tipe isian pada rekahan (infilling) 8. Spasi rekahan (spacing) 9. Panjang rekahan (persistence) 10. Jumlah pasangan rekahan (number of sets) 11. Ukuran blok rekahan (block size) 12. Aliran mata air (seepage) Penjelasan ke-12 parameter karakteristik bidang diskontinuitas pada batuan dijelas sebagai berikut (Brown, 1981 dan Wyllie dan Mah, 2004): 1. Tipe batuan (rock type) 15 Tipe atau jenis batuan terdiri dari 4 tipe dan masing-masing tipe terdiri berbagai nama batuan. Ke-4 tipe batuan adalah : batuan beku, batuan sedimen, batuan metamorf dan batuan piroklastik. 2. Kekuatan dinding rekahan (wall Strength) Kekuatan dinding rekahan adalah adalah kesan yang didapatkan bila batuan dipukul menggunakan palu geologi. Kekuatan dinding rekahan mulai dari ekstrim lemah sampai ekstrim kuat. Berikut tabel klasififikasi kekuatan dinding rekahan Tabel 2 : Klasifikasi dan Diskripsi kekuatan dinding rekahan Kate gori RO R1 Klasifikasi Ekstrim lemah Sangat lemah R2 Lemah R3 Kekuatan sedang R4 Kuat R5 Sangat kuat R6 Ekstrim kuat Diskripsi kondisi batuan Perkiraan UCS (kg/cm2) Dapat digores dengan kuku 2.5 – 10 Remuk dengan pukulan palu 10 – 50 geologi dan dapat teriris dengan pisau saku Dapat teriris dengan pisau 50 – 250 saku, dengan palu geologi, palu akan tertancap dangkal. Tidak dapat teriris dengan 250 – 500 pisau saku, sample dapat terambil dengan kali pukulan Memerlukan pukulan lebih dari 500 – 1000 satu kali untuk meretakkan batuan Memerlukan beberapa kali 1000 – 2500 untuk meretakkan batuan Hanya dengan palu geologi >2500 dapat memecahkan batuan 3. Tipe rekahan (discontinuity type) 16 Tipe rekahan adalah kekar (joint), perlapisan batuan dan foliasi. Kekar (joint) terbentuk akibat deformasi pada batuan, terjadi setelah batuan terbentuk. Perlapisan terjadi pada batuan sedimen, terjadi pada saat pengendapan batuan terjadi. Foliasi terjadi pada batuan metamorf, terjadi pada saat batuan metamorf terjadi. 4. Orientasi (orientation) Orientasi batuan atau kedudukan batuan adalah posisi batuan dipermukaan bumi, meliputi jurus (arah) dan kemiringan batuan. Kedudukan batuan ditentukan berdasarkan kedudukannya dari arah utara geografis. 5. Kekasaran bidang rekahan (roughness) Kekasaran permukaan rekahan adalah keadaan permukaan bidang kekar, keadaan kekasaran mulai dari licin (slickenside) sampai kasar. Klasifikasi kekasaran permukaan rekahan sebagi berikut (tabel 3): 17 Tabel 3 : Diskripsi kekasaran permukaan rekahan Kategori Diskripsi I II III IV V VI VII VIII IX Kasar ( tidak teratur) Halus Licin Kasar (tidak teratur) Halus Licin Kasar (tidak teratur) Halus Licin bertangga bergelombang planar 6. Bukaan (aperture) Bukaan rekahan adalah lebar rekahan pada batuan. Klasifikasi lebar bukaan rekahan sebagai berikut (tabel 4): Tabel 4 : Kasifikasi lebar bukaan rekahan Lebar bukaan < 0.1 mm 0.1 – 0.25 mm 0.25– 0.50 mm 0.50 – 2.5 mm 0.25 – 10 mm > 10 mm 1 – 10 cm 10 – 100 cm >100 cm Diskripsi Sangat rapat Rapat Sebagian terbuka tertutup Terbuka Terbuka sedang Terbuka lebar bercelah Sangat lebar Ekstrim lebar Berongga terbuka 7. Tipe isian pada rekahan (infilling) Rekahan pada batuan kadang-kadang terisi mineral/material tertentu, misalnya kalsit, kuarsa, lempung, gauge ataupun oksida besi. 8. Spasi rekahan (spacing) 18 Spasi rekahan adalah jarak antara rekahan yang satu dengan rekahan yang berdekatan pada suatu kumpulan rekahan yang kedudukannya sejajar atau hampir sejajar. Klasifikasi spasi rekahan sebagai berikut (tabel 5). Tabel 5 : Klasifikasi spasi rekahan Spasi Rekahan < 20 mm 20 – 60 mm 60 – 200 mm 200 – 600 mm 600 – 2000 mm 2000 – 6000 mm >6000 mm Klasifikasi Ekstrim tertutup Sangat tertutup Tertutup Tertutup sedang Lebar Sangat lebar Ekstrim lebar 9. Panjang rekahan (persistence) Persistensi rekahan adalah panjang rekahan yang dapat ditelusuri sesuai keadaan batuan di lapangan. Klasifikasi persintensi rekahan adalah tabel 6. Tabel 6 : Klasifikasi panjang rekahan Persistensi <1m 1–3m 3 – 10 m 10 – 20 m >20 m Klasifikasi Sangat pendek Pendek Sedang Panjang Sangat panjang 10. Jumlah pasangan rekahan (number of sets) 19 Kadang-kadang rekahan yang terjadi pada batuan kedudukannya relatit sejajar antara satu rekahan dengan rekahan lainnya. Rekahan yang demikian disebut rekahan berpasangan. Pasangan-pasangan rekahan tersebut bisa lebih dari satu pasang rekahan tergantung pada deformasi yang terjadi pada batuan. Berikut adalah diskripsi pasangan rekahan (tabel 7). Tabel 7 : Kategori dan diskripsi pasangan rekahan Kategori I II III IV V VI VII VIII IX Diskripsi Masif, kadang-kadang ada rekahan random Satu pasang rekahan Satu pasang rekahan ditambah rekahan random Dua pasang rekahan Dua pasang rekahan ditambah rekahan random Tiga pasang rekahan Tiga pasang rekahan ditambah rekahan random Empat rekahan atau lebih Batuan hancur atau seperti tanah 11. Ukuran blok rekahan (block size) Ukuran blok rekahan tergantung pada spasi dan jumlah pasangan kekar/rekahan. Semakin rapat spasi rekahan dan semakin banyak jumlah pasangan rekahan, blok rekahan semakin kecil. Blok rekahan ditentukan permeter kubik volume batuan yang mengalami rekahan. Berikut adalah klasifikasi banyaknya rekahan permeter kubik (Jv) : 20 Tabel 8 : Klasifikasi besar blok rekahan Diskripsi Blok sangat besar Blok besar Blok sedang Blok kecil Blok sangat kecil Jv. (rekahan/m3) < 1.0 1–3 3 – 10 10 – 30 >30 12. Aliran mata air (seepage) Pada celah rekahan, kadang-kadang dijumpai adanya rembesan air. Rembesan air dapat dibagi menjadi 5 kondisi, yaitu kering, lembab, basah, menetes dan mengalir. Skematik karakteristik bidang diskontinuitas pada batuan pada gambar berikut : Gambar 3 : Skematik parameter diskontinuitas batuan (Wyllie dan Mah, 2004) D. Tingkat Pelapukan Batuan 21 Undul (2012) mengatakan bahwa pelapukan adalah proses perubahan dan penghancuran batuan dan tanah dipermukaan bumi atau dekat permukaan bumi oleh proses fisika, kimia dan biologi menjadi lempung, oksida besi dan produk pelapukan lainnya. Menurut Wyllie dan Mah (2004), pelapukan batuan terbagi atas 6 tingkatan, mulai dari batuan segar (tidak lapuk) sampai residual soil. Tingkatan pelapukan batuan dalam tabel 9 sebagai berikut : Tabel 9 : Tingkat pelapukan batuan (weathering grade) (Wyllie dan Mah, 2004) Tingkat (grade) I Istilah Diskripsi Segar (fresh) II Agak lapuk III Lapuk sedang IV Lapuk tinggi V Lapuk Tidak tanpak gejala adanya pelapukan, permukaan batuan belum tanpak perubahan sebagian telah terjadi perubahan warna pada batuan dan permukaan rekahan, Kurang dari setengan tubuh batuan telah berubah komposisi dan terjadi disintergrasi menjadi tanah Lebih dari setengah tubuh batuan telah berubah warna, berubah komposisi dan telah terjadi disintegrasi menjadi tanah Semua tubuh batuan telah berubah komposisi atau telah terjadi disintergrasi menjadi soil sempurna VI Tanah Residu Semua tubuh batuan telah menjasi soil, tekstur dan struktur sudah tidak tanpak. Belum tanpak gejala material mengalami transportasi 22 E. Faktor Keamanan Lereng Tanah longsor terjadi apabila terdapat ganguan kesetimbangan atau gangguan kestabilan pada lereng. Keseimbangan atau kestabilan pada lereng bergantung pada hubungan momen gaya yang mejadikan lereng longsor (draving forces) yang akan membuat massa tanah atau batuan meluncur atau bergerak ke bawah, dan momen gaya yang menahan (resisting forces) yang akan menjadikan tanah atau batuan tetap seimbang atau stabil (Karnawati, 2005). Gaya yang menjadikan lereng longsor adalah berat massa material tanah atau batuan, beban pada lereng, tekanan air dalam pori-pori tanah dan adanya getaran. Gaya-gaya yang menahan sehingga lereng tidak longsor adalah kuat geser (shear strength) yaitu nilai kohesi (C) dan sudut geser dalam (Ø). Besar nilai kohesi tergantung pada kekuatan aktan antar atomatom atau melekul-melekul penyusun partikel – partikel tanah atau batuan atau tergantung pada kekuatan sementasi antara partikel-partikel batuan. Sudut geser dalam adalah nilai yang mengekspresikan kekautan friksi antara partikel-partikel pentusun batuan atau tanah. Selanjutnya Karnawati mengatakan bahwa berdasarkan interaksi antara momen-momen gaya tersebut di atas, kestabilan suatu lereng dihitung berdasarkan dengan cara membandingkan antara gaya yang menahan dan 23 gaya yang melongsorkan atau meluncurkan. Perbandingan tersebut diformulasikan sebagai berikut : FK = Gaya Penahan Gerakan/ Gaya Penggerak/Peluncur Faktor Keamanan (FK) adalah suatu nilai yang yang ekspresikan tingkat kestabilan suatu lereng. Menurut Sower (1979) Bila : FK > 1 = lereng tidak aman FK 1 – 1,2 = stabilitas lereng meragukan FK > 1,2 = lereng aman F. Konsepsional Kerentanan Tanah Longsor Menurut Karnawati (2005) kerentanan tanah longsor adalah fenomena yang mengkondisikan suatu lereng menjadi berbakat atau berpotensi atau rentan untuk bergerak walaupun pada saat ini lereng tersebut masih stabil (belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang berbakat untuk longsor, baru akan bergerak apabila ada gangguan yang memicu terjadinya gerakan. Dalam buku Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor atau Tanah Longsor, yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum tahun 2007, dijelaskan bahwa tingkat kerentanan tanah tanah longsor pada suatu daerah dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan kerentanan, yaitu; 24 1. Daerah tingkat kerentanan tinggi Mempunyai potensi yang tinggi untuk mengalami tanah longsor dan mempunyai cukup padat permukiman, atau terdapat konstruksi bangunan penting. Pada daerah ini sering mengalami tanah longsor, terutama pada musim hujan atau saat gempa bumi terjadi. Ciri-ciri daerah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi meliputi : Kondisi kemiringan lereng lebih dari 40% Kondisi tanah penutup lereng berupa residual soil bersifat gembur dan mudah meloloskan air yang menumpang di atas batuan padat dengan ketebalan lebih dari 2 m. Pada batuan penyusun lereng terdapat bidang diskontinuitas, bidang rekahan, bidang retakan dan kemiringan perlapisan batuan miring ke arah luar lereng atau perlapisan batuan searah dengan kemiringan lereng. Curah hujan tinggi, mencapai 100mm/hari atau 70 mm/jam, dengan curah hujan tahunan lebih dari 2500 mm. Curah hujan kurang dari 70 mm/jam, tetapi berlangsung terus menerus selama lebih dari dua jam hingga beberapa hari. Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng, terutama pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang permeable. Lereng pada daerah rawan gempa 25 Vegetasi berupa alang-alang, rumput-rumputan, tumbuhan semak, dan tumbuhan perdu Pola tanam pada lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat dan sangat sensitif. Intensitas penggalian/pemotongan lereng tinggi, tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya air kolam ke dalam lereng. Sistem drainase tidak memadai. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang terlalu besar dan melampaui daya dukung tanah. Kepadatan penduduk tinggi (>50 Jiwa/ha). Tidak ada usaha mitigasi bencana oleh pemerintah/masyarakat a. Daerah tingkat kerentanan sedang Daerah tingkat kerentanan sedang merupakan daerah dengan potensi yang tinggi untuk mengalami tanah longsor, namun tidak ada permukiman serta konstruksi bangunan yang terancam relatif tidak mahal dan tidak penting. Ciri-ciri daerah yang tingkat kerentannya sedang meliputi : Kondisi kemiringan lereng berkisar 20 - 40% Kondisi tanah penutup lereng berupa residual soil bersifat gembur dan mudah meloloskan air yang menumpang di atas batuan padat dengan ketebalan 2 m. 26 Pada batuan penyusun lereng terdapat bidang diskontinuitas, bidang rekahan, bidang retakan tapi kemiringan perlapisan batuan tidak miring ke arah luar lereng atau perlapisan batuan tidak searah dengan kemiringan lereng. Curah hujan sedang, berkisar 30 – 70 mm/jam), berlangsung tidak lebih dari 2 jam dan hujan tidak setiap hari (1000 - 2500 mm/tahun). Jarang muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng Frekuensi gempa jarang terjadi. Vegetasi berupa tumbuhan berdaun jarum seperti cemara dan pinus. Pola tanam pada lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat dan sangat sensitif. Intensitas penggalian/pemotongan lereng rendah, tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng. Dilakukan pencetakkan kolam tetapi terdapat perembesan air kolam ke dalam lereng. Sistem drainase agak memadai, ada usaha-usaha untuk memperbaiki. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang tidak terlalu besar dan tidak melampaui daya dukung tanah. Kepadatan penduduk tinggi (20 - 50 Jiwa/ha). Terdapat usaha mitigasi bencana oleh pemerintah/masyarakat tetapi belum terkoordinasi dan melembaga dangan baik. b. Daerah tingkat kerentanan rendah 27 Daerah tingkat kerentanan rendah merupakan daerah dengan potensi tanah longsor yang tinggi, namun tidak ada risiko terjadinya korban jiwa terhadap manusia dan bangunan, daerah yang kurang berpotensi untuk mengalami longsoran, namun di dalamnya terdapat permukiman atau konstruksi penting. Ciri-ciri daerah yang tingkat kerentannya rendah meliputi : Kondisi kemiringan lereng lebih dari 0 - 20% Kondisi tanah penutup lereng berupa bersifat padat dan tidak mudah meloloskan air dengan ketebalan kurang dari 2 m. Pada batuan penyusun lereng tidak terdapat bidang diskontinuitas, bidang rekahan, bidang retakan dan kemiringan perlapisan batuan tidak miring ke arah luar lereng atau perlapisan batuan tidak searah dengan kemiringan lereng. Curah hujan rendah, kurang dari 30 mm/jam, berlangsung tidak lebih dari 1 jam dan hujan tidak setiap hari (kurang dari 1000 mm/tahun). Tidak terdapat rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng Lereng tidak termasuk daerah rawan gempa Vegetasi berupa tumbuhan berakar tunjang yang perakarannya menyebar seperti jati, kemiri, kosambi, laban, dlingsem, mindi, johar, bungur, banyan, mahoni, asam jawa dan pilang. renghas, sonokeling, trengguli, tayuman, 28 Pola tanam pada lereng ditanami dengan pola tanam yang tepat dan teratur. Tidak ada penggalian/pemotongan lereng. Jika ada, dilakukan dengan memperhitungkan kestabilan lereng. Tidak melakukan pencetakkan kolam. Sistem drainase memadai. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban ringan dan tidak melampaui daya dukung atau tidak ada pembangunan konstruksi. Kepadatan penduduk tinggi (<20 Jiwa/ha). Terdapat usaha mitigasi bencana oleh pemerintah/masyarakat yang sudah terorganisasi dan terkoordinasi dengan baik. G.Kondisi Geologi Regional Daerah Penelitian Menurut Sukamto dan Supriatna ,(1982) bentuk morfologi yang menonjol di sekitar daerah penelitian adalah kerucut gunungapi Lompobattang yang menjulang mencapai ketinggian 2876 meter di atas permukaan laut. Kerucut gunung Lompobattang ini dari kejauhan masih memperlihatkan bentuk aslinya dan tersusun oleh batuan gunungapi berumur Pliosen. Dua bentuk kerucut tererosi lebih sempit sebarannya terdapat di sebelah Barat dan di sebelah Utara gunung Lompobattang. Di sebelah Barat terdapat gunung Baturape mencapai ketinggian 1124 meter, dan disebelah Utara 29 terdapat gunung Cindako, mencapai ketinggian 1500 meter. Kedua bentuk kerucut tererosi ini disusun oleh batuan gunungapi berumur Pliosen. Disebelah Barat gunung Cindako dan sebelah Utara gunung Baturape merupakan daerah berbukit halus di bagian barat. Bagian Barat mencapai ketinggian kira-kira 500 meter di atas permukaan laut dan hampir merupakan suatu daratan. Bentuk morfologi ini tersusun oleh batuan klastik gunungapi berumur Miosen. Bukit yang memanjang yang tersebar di daerah ini mengarah ke gunung Cindako dan gunung Baturape berupa retas-retas basal. 1. Stratigrafi Regional Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Lembar Ujung pandang, Benteng dan Sinjai yang dipetakan oleh Sukamto dan Supriatna. (1982) (Gambar 3.). Satuan batuan tertua yang telah diketahui umurnya adalah batuan sedimen flysch Kapur Atas yang dipetakan sebagai Formasi Marada (Km) yang terdiri dari batuan sedimen flysch yaitu peselingan antara batupasir, batulanau dan serpih serta batuan terobosan yang bersifat trakitandesit. Berdasarkan fosil Globotruncana yang terdapat pada batupasir gampingan, menunjukkan umur Kapur Atas dan di endapkan pada lingkungan laut dalam (van Leewen, dalam Sukamto, 1982). Batuan Malihan (S) belum diketahui umurnya, apakah lebih tua atau lebih muda daripada Formasi Marada ; yang jelas diterobos oleh Granodiorit yang diduga berumur Miosen (19-2 juta tahun yang lalu). Hubungan Formasi Marada dengan 30 satuan batuan yang lebih muda, yaitu formasi Salo Kalupang dan batuan Gunungapi terpropilitkan tidak begitu jelas, kemungkinan tak selaras. Formasi Salo Kalupang (Teos) yang diperkirakan berumur Eosen Awal-Oligosen Akhir berfasies sedimen laut, dan diperkirakan setara dengan umur bagian bawah Formasi Tonasa (Temt). Formasi Salo Kalupang terjadi di sebelah Timur Lembah Walanae dan Formasi Tonasa terjadi disebelah Baratnya. Formasi Salo Kalupang, terdiri dari batupasir, serpih dan batulempung berselingan dengan konglomerat gunungapi, breksi dan tufa serta bersisipan dengan lava dan batugamping serta napal. Batuan Gunungapi Kalamiseng (Tmkv) terdiri atas lava dan breksi dengan sisipan tufa, batupasir, batulempung dan napal kebanyakan bersusunan basal dan andesitik; kelabu tua hingga kehijauan, umumnya tansatmata, kebanyakan terubah, amigdaloid dengan mineral sekunder karbonat dan silikat; sebagian lavanya menunjukan struktur bantal. Satuan batuan ini tersingkap di sepanjang pegunungan timur lembah Walanae, terpisahkan oleh jalur sesar dari batuan sedimen dan karbonat yang berumur Eosen di bagian baratnya, satuan ini berumur Miosen Bawah. Satuan batuan yang berumur Miosen Tengah sampai Pliosen menyusun Formasi Camba (Tmc) yang tebalnya 4250 meter dan menindih tidak selaras batuan-batuan yang lebih tua. Formasi ini disusun oleh batuan sedimen laut berselingan dengan klastika gunungapi, yang menyamping 31 beralih menjadi dominan batuan gunungapi (Tmcv). Batuan sedimen laut berasosiasi dengan karbonat mulai diendapkan sejak Miosen Akhir sampai Pliosen di cekungan Walanae, daerah Timur, dan menyusun Formasi Walanae (Tmpw) dan anggota Selayar (Tmps). Anggota Batuan Gunungapi Formasi Camba (Tmcv) berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir dengan ketebalan sekitar 2.500 m. Formasi Camba (Tmcv) ini disusun oleh batuan gunungapi, lava, konglomerat dan tufa berbutir halus hingga lapili, bersisipan dengan batuan sedimen laut berupa batupasir tufaan, batupasir gampingan dan batulempung yang mengandung banyak sisa- sisa tumbuhan. Bagian bawahnya lebih banyak mengandung breksi gunungapi dan lava yang berkomposisi andesit dan basal, konglomerat juga berkomponen andesit dan basal dengan ukuran 3 – 50 cm, tufa kristal dan tufa vitrik. Bagian atasnya mengandung ignimbrit bersifat trakit dan tefrit leusit, ignimbrit berstruktur kekar meniang, berwarna kelabu kecoklatan dan coklat tua, tefrit leusit berstruktur aliran dengan permukaan berkerak roti, berwarna hitam. Satuan Tmcv ini termasuk sebagai Batuan Gunungapi Sopo, Batuan Gunungapi Lemo. Breksi gunungapi yang tersingkap di Pulau Selayar mungkin termasuk formasi ini. Breksinya sangat kompak, sebagian gampingan, berkomponen basal amfibol, basal piroksin dan andesit (0,5 – 30 cm), bermassa dasar tufa yang mengandung biotit dan piroksin. Satuan ini merupakan fasies gunungapi dari Foramsi Camba yang berkembang baik di daerah sebelah utaranya (Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian 32 Barat), lapisannya kebanyakan terlipat lemah dengan kemiringan rata- rata 20o, menindih tak selaras batugamping Formasi Tonasa (Temt) dan batuan yang lebih tua. 2. Struktur Geologi Regional Menurut Sukamto dan Supriatna (1982), secara regional struktur geologi daerah Pegunungan Lompobattang dan sekitarnya berupa struktur lipatan dan struktur sesar, dimana struktur lipatannya mempunyai jurus dan kemiringan tertentu. Adapun perlipatannya dicirikan oleh kemiringan perlipatan batuan, baik batuan Tersier maupun Kuarter (Plistosen). Oleh sebab itu umur perlipatan ini Struktur sesar mempunyai arah kemiringan bidang sesar yang bervariasi, seperti pada daerah gunungapi Lompobattang ditemukan sesar dengan arah Utara – Selatan, Timur – Barat, Baratdaya – Timurlaut, dan Baratlaut – Tenggara, dimana jenis sesar ini sangat sulit ditentukan. 33 Daerah Penelitian Gambar 4.. Peta Geologi Regional daerah Sulawesi Bagian Selatan (modifikasi dari Sukamto dan Suprianta, 1982). Terjadinya perlipatan dan pensesaran berhubungan dengan proses tektonik di daerah setempat, dimana akhir dari kegiatan gunungapi Miosen diikuti oleh aktivitas tektonik yang menyebabkan Terban Walanae. Peristiwa ini mengakibatkan terbentuknya sesar yang kemungkinan berlangsung sejak awal Miosen Tengah sampai kala Pliosen yang disertai dengan proses sedimentasi. Hal ini juga diikuti oleh kegiatan gunungapi pada daerah bagian Barat. Peristiwa ini berlangsung selama Miosen Tengah sampai Pliosen. 34 Pada kala tersebut dimungkinkan juga terjadinya perlipatan gunungapi kontinen yang disertai dengan kegiatan magma yang masih berlangsung hingga kala Plistosen. Berhentinya kegiatan magma pada kala Plistosen Atas oleh kegiatan tektonik menyebabkan terjadinya sesar di daerah ini. G. Kerangka Konseptual Penelitian H. Definisi Operasional Tanah longsor adalah perpindahan batuan penyusun lereng hingga keluar lereng karena adanya bidang diskontinuitas dan gaya gravitasi Kerentanan tanah longsor adalah suatu fenomena pada tubuh batuan untuk mengalami longsor walaupun saat ini masih belum longsor 35 Geologi teknik adalah salah satu cabang ilmu geologi yang digunakan dalam pemecahan masalah-masalah rekayasa teknik sipil. Kategori kerentanan terdiri kerentanan rendah, kerentanan sedang (menengah) dan kerentanan tinggi, Tingkat pelapukan batuan adalah tingkatan perubahan komposisi, warna dan disintegrasi material penyusun batuan. Karakteristik bidang diskontinuitas batuan adalah suatu keadaan, fenomena atau gejala yang terdapat pada batuan, hal ini terjadi pada saat batuan terbentuk atau setelah batuan terbentuk Faktor keamanan adalah nilai atau angka yang mengespresikan tingkat kestabilan lereng I. . Penelitian Terdahulu Tentang Tanah Longsor Berikut adalah daftar penelitian terdahulu tentang tanah longsor (tabel 10) Tabel 10 : Daftar Penelitian Terdahulu tentang Tanah Longsor No . Nama Peneliti 1. Robin Fell et.al 2. Agung Setianto dan Soetaat Judul Guideline For Landslide Susceptibility, Hazard and Risk Zoning For Land use Planning Low Cost Mapping For Innaccesible, Steep Slope and Unstable Area, A Case studi At Mt. Bawakaraeng Caldera South Sulawesi Indonesia Nama Jurnal/Prosedi ng/Publisher lainnya Elsevier, Eng. Geology, Journl Home page Prosceedings Of The First Makaassar International Comprence Civil Tahun Publikasi 2008 2010 36 3. Heru Sri Nuryanto 4. T. Muchlis, T. Faisal F. dan Ign. Sudarmo 5. Rudiyanto 6. Lawalenna Samang dkk 7 F.C. Dai and C.F. Lee 8. Keh Jian Shou and Ying Liang Chen Ronnie Creighton 9. V.K. Sharma 10. 11. Bakhtiar F., Thomas Blaschke and Lubna Rafiq 12. S. Steriacchini at.al Analisis Resiko Bencana Tanah longsor Di Kab. Karanganyar Jawa Tengan Perencanaan Sistem Peringatan Dini Bencana Tanah longsor di Dusun Lucu Palongan Desa Campoan Kec. Mandingan Sitobondo Jatim Analisis Potensi Bahaya Tanah Longsor Menggunakan GIS di Kec. Selo Boyolali Jateng Identifikasi dan Pemetaan Ruas Jalan Rawan Bencana Longsoran dengan Berbasis GIS di Sulsel Landslide Characteristic and Slope Instability Modeling Using GIS, Lantau Island Hong Kong Spasial Risk Analysis of Lishan Landslide In Taiwan Landslide In Ireland Zonasi Of Landslide Hazard For Urban Palnning, Case Study Of Nainital Town, Kumaon Himalaya India GIS – Based Langslide Susceptability Mapping, A Case Study In Bostan Abad Country Iran Landslide Risk Analysis : A Multi Disciplinary Methodological Approach Engineering (Micce 2010) Jurnal Penanggulang an Bencana 2011 2008 2010 BALITBANDA Sulawesi Selatan 2007 2002 2004 Geological Survey Of Ireland and Irish Landslide Group Geological Survey Of India 2006 Natural Hazard and Earth System Sciences 2007 2006 37 13. P. Farina et.al 14 K.T. Chau et.al 15 16. 17. 18. 19. 20. 21 Landslide Risk Analysis by Means Of Remote Sensing techniques : Results from The ESA/SLAM Project Landslide hazard analysis for Hong Kong using landslide inventory and GIS - Computers and Geosciences, Elsevier R. Bell and T. Quatitative Risk Analysis For Natural Hazard Glade Landslide- Example From and Earth Bildudalur, NW - Iceland System Sciences Agung Setianto, Ground Elevation Change Prosceedings Tetsoro Esaki and Detection For Environmental Of The First Ibrahim Hazadr Assessment At Makaassar Jalamaluddin Copper and Gold Mining In International Papua Indonesia Comprence Civil Engineering (Micce 2010) Mavroulli et.al Methodology to evaluate Natural hazard Rock Slope Stability Under and Earth Seismic Condition At Sola de System Santa Coloma, Andoora Sciences Arsalan Two Major Landslides In Iran The 12th Ghahramani and Their Remedial International Measures Conference Of International Association For Computer Methods and Advance In Geomechanics (IACMAG) T. Kert and H.C. Analysis Of The Potential For Wseas Tsai Nearly Circular Slope Failure Transactions Using On Site Survey With On Information Adverse Calculation & Application Muhammad Analisis Kestabilan Lereng Euro Journals Mukhlisin dan pada Sebuah Lereng Granitik Publishingf, Mohd. Raihan pelapukan sebagai pengaruh Inc. Taha Tebal tanah Satoshi Tsuchiya The Large Scale Landslide Springer- Tanpa tahun 2003 2004 2010 2009 2008 2008 2009 2009 38 et.al On Flank Of Caldera In south Sulawesi Indonesia Geology and Clay Mineralogy of The Landslide Area In Guinsaugon, Southern Leyte Island Philippines 22. Hiritomo Ueno et.al 23 Richard dan Lucas Landslide Susceptibility Map Ocf Utah 24 Ashley H Illiott and Kimm M. Harty Respati Wikantiyoso Landslide Of Utah 25. 26. Edi P. Utomo dkk 27. Hans B. H. et.al 28. Ataollah Kelastaghi and Hasan Ahmadi 30. M.H. Vahidnia et.al 31. Ranjan Kumar Dahal et.al 32. Narumon I. and Mitigasi Bencana Di Perkotaan, Adaptasi atau Antisipasi Perencanaan dan Perancangan Kota Studi Kebijakan IPTEK, Zona Resiko Bencana Geologi Jawa Barat Analysis Of landslide Susceptibility In The Suusamyr Region, Tien Shan: Statistical and Geotechnical Approach Landslide Susceptibility Analysis with a Bivariate Approach and GIS In Northern Iran Landslide Hazard Zonation Using Kuantitative Methods In GIS Comparative Analysis Of Contributing Parameters For Rainfal Triggered Landslide In The Lesser Himalaya of Nepal Analytical Hierarchy Prosess Verlag Departmen Of Environmental System Science, Fakulty Risk and Crisis Management Chiba Institute Of Science. Utah Geological Survey Utah Geological Survey Lokal Wisdom 2007 PUSLIT Geoteknologi LIPI Bandung Springer and Verlag 2003 Arab J. Geoscience 2009 International Journal Of Civil Engineering SpringerVerlag 2009 Suranaree J. 2010 2007 2010 2010 2005 2008 39 Songkot D. For Landslide Susceptibility Mapping In Lower Mae Chaem Watershed, Northern Thailand. Geologic Hazards Of Idaho 33. Bill Phillips 34. R.K. Dahal et.al 35. Oh Che Young et.al 36. A. Esmail and H. Ahmadi Using GIS & RS Mass Movement Hazard Zonation – A Case Study in Germichay, Ardebil Iran 37. K. Shou and Y. Chen H. Liu Hazard Analysis Of Li- Shan Landslide In Taiwan 38. Hakan A.N. at.al Landslide Susceptibility Mapping For a Part Of Tectonic Kelkit Valley (Eastern Black Sea Region Of Turkey) Landslide Susceptibility Mapping In Injae Korea, Using a Decision Tree Effect Of Fault On Stability Of Slope In Open Cast Mines 39. Young K. Yeon et.al 40. Masa Soren 41. B.P. Watson DEM – Based Deterministic Landslide Hazard Analysis In The Lesser Himalaya Of Nepal The Comparative Research Of Landslide Susceptibility Mapping Using FR, AHP, LR and ANN A Rock Mass Rating System Sci. Technology Idaho Geological Survey Taylor & Francis (Georisk) 2007 Dept. Of Geoinformatic Engineering Pukyung National University Korea Natural Resources Faculty Tehran University Karaj Iran Elsevier, Science Direct Journal Homepage. Elsevier, Science Direct) Tanpa tahun Elsevier, Science Direct 2010 Dept. Of Mining Engineering National Institute Of Technology Rourkela The South 2010 2008 Tanpa tahun 2008 2008 2004 40 For Evaluating Stope Srtability On The Bushveld Platinum Mines 42. 43. 44. 45 46. 47. 48 49 African Institute Of Mining And Metalurgy Djakamiharja A.S. The Application Of Rock Research And dan Subowo Eko Mass rating And Slope Mass Development Rating On Slope Cutting At A Center For Section Of Liwa – Krui Geotechnology Roadway, West Lampung Indonesia Sumatera Indonesia Institute Of Sciences Vergari et.al Landslide Susceptibility Natural Hazard Assesment In The Upper and Earth Orcia Valley (Southern System Tuscany, Italy) Through Sciences Conditional Analysis : A Constribution to The Unbiased Selection Of Causal Factor Mubekti dan Mitigasi Daerah rawan Tanah Jurnal teknik Alhasanah F. Longsor Menggunakan Lingkungan Teknik Pemodelan GIS Massanat Y.M. Parametric Evaluation Of Jordan Journal The Stability Of Natural Of Civil Slopes Engineering Robert. H. An evaluation Of Slope ISRM Eurock Stability Classification 2002, Pertugal Madeira, Funchal. Abdul Fatal dkk Studi Karakteristik Parameter Jurnal Kuat Geser Tanah Lempung Infrastruktur Pasir Hunje-Tol Cipularang dan Jawa Barat Lingkungan Binaa Tomas R. et.al A Graphical Approach For Elsevier Slope Mass rating Journal Homepage Romana M. et.al SRM Geomechanics ISRM, Classification : Application, Technology Experience and Validation Roadmap For Rock Mechanics South African 2011 2008. 2002 2002 2006 2012 2003 41 50. Chigira M. et.al Weathering Mechanisms And Their Effect on the Landsliding Of Ignimbrit Subject to Vapor-phase Crystalization in The Shirakawa Pyroklastic Flow, Northern Japan BAB III METODE PENELITIAN Institute Of Mining and Metalurgy Elsivier, Engineering Geology 2002 42 A. Disain Penelitian Penelitian dilakukan secara eksploratif yaitu mengadakan penelitian langsung di lapangan meliputi : 1. Analisis karakteristik kondisi geologi meliputi sudut lereng, jenis batuan, nama batuan dan stratigrafi serta struktur geologi 2. Analisis profil tingkat pelapukan batuan 3. Analisis karakteristik bidang diskontinuitas batuan 4. Sampling batuan tidak terganggu (undisturbed sample) dilakukan pada batuan dengan kondisi tingkat pelapukan berbeda. Sampel batuan akan di analisis di laboratorium mineralogi tanah dan analisis kuat geser tanah/batuan untuk mendapatkan nilai kohesi dan sudut geser dalam. B. Lokasi Dan Waktu Lokasi penelitian adalah sepanjang ruas jalan Malino Kabupaten Gowa sampai Manipi Sinjai Barat Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian direncanakan pada Maret 2013 sampai Agustus 2013. C. Populasi Dan Sampel 43 Populasi penelitian adalah daerah sepanjang ruas jalan Malino Kabupaten Gowa sampai Manipi Kabupaten Sinjai dan sampelnya adalah daerahdaerah berlereng batuan (rock slope) dan berlereng tanah (soil slope). D. Instrumen Penelitian Instrumen utama yang akan digunakan dalam penelitian adalah Foto udara/citra landsat, peta geologi regional skala 1 : 250.000, peta topografi skala 1 : 25.000, GPS, kompas geologi dan palu geologi. E. Teknik Dan Analisis Data Pada penelitian ini akan dilakukan beberapa kajian yaitu : a. Kajian sudut lereng pada lokasi terpilih yang kemungkinan terjadi tanah longsor. Sudut lereng ditentukan dengan cara langsung di lapangan menggunakan kompas dan klinometer. b. Kajian komposisi mineral, tekstur dan struktur batuan untuk menentukan tipe dan nama batuan, c. Kajian tingkat pelapukan batuan, meliputi batuan segar (tidak lapuk), agak lapuk, lapuk sedang, lapuk tinggi, lapuk sempurna dan tanah residu. d. Analisis parameter karakteristik bidang diskontinuitas batuan dilakukan langsung di lokasi penelitian. Metode penelitian dengan cara Window 44 mapping dan scan line, pengukuran dari masing-masing parameter karakteristik bidang diskontinuitas batuan diuraikan dibawah ini : 1. Tipe atau jenis batuan : diketahui dengan cara menentukan warna, tekstur, komposisi mineral dan struktur batuan. Ada 4 tipe atau jenis batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen, batuan metamorf dan batuan volkanik. Masing-masing tipe terdiri dari berbagai nama batuan tergantung warna, tekstur, komposisi mineral dan struktur batuan. 2. Tipe atau jenis isian pada rekahan : diketahui dengan cara mengamati mineral pengisi rekahan. Jenis mineral yang biasa pengisi rekahan adalah mineral kalsit, mieral kuarsa, oksida besi atau mineral lempung. 3. Tipe atau jenis bidang diskontinuitas : diketahui dengan cara mengamati tubuh singkapan batuan secara cermat. Tipe bidang diskontinuitas batuan terdiri dari bidang perlapisan, bidang rekahan dan bidang foliasi. 4. Kedudukan bidang diskontinuitas batuan, ditentukan dengan kompas dan klinometer kompas 5. Spasi bidang diskontinuitas : diketahui dengan mengadakan pengukuran terhadap jarak antara bidang diskontinuitas yang berpasangan menggunakan pita meter. 45 6. Persintensi : diketahui dengan cara mengukur panjang bidang diskontuitas menggunakan pita meter, panjang pengukuran tergantung dari kondisi singkapan batuan 7. Kekasaran permukaan : diketahui dengan mengamati permukaan bidang rekahan, apakah permukaan bidang diskontinuitas batuan termasuk sangat, kasar, sedang, halus atau sangat halus. Dapat juga diklasifikasi menjadi bergerigi, bergelombang atau lurus. 8. Kekuatan dinding rekahan : ditentukan secara kualitatif dengan cara dinding rekahan dipukul dengan palu geologi. 9. Bukaan Rekahan : diketahui dengan cara mengamati singkapan batuan secara detail apakah rekahan yang ada kondisinya rapat sekali, rapat-terbuka sebagian, terbuka - terbuka sedang, sangat terbuka-terbuka ekstrim atau berongga. 10. Ukuran Blok rekahan diketahui dengan cara mengukur besar blok kekar menggunakan pita ukur 11. Kondisi air yang keluar dari bidang atau celah rekahan diketahi dengan mengamati keadaan ada tidaknya air yang keluar dari celah rekahan apakah batuan kering, lembab, basah, menetes dan mengalir. 12. Jumlah set rekahan : diketahui dengan mengadakan pengamatan pasangan-pasangan rekahan yang ada menggunakan kompas geologi dan klinometer. Dari hasil pengamatan akan diketahui 46 apakah batuan massif, ada 1 pasang rekahan, 2, 3 atau batuan sudah hancur (crushed rock) atau sudah seperti tanah. e. Kajian mineralogi tanah menggunakan alat XRD dan AAS untuk menentukan jenis mineral lempung dan sifat swelling f. Mengadakan pengambilan sampel tanah (residual soil), batuan lapuk tinggi dan lapuk sempurna pada titik-titik terpilih untuk analisis laboratorium sifat mekanik meliputi, kohesi dan sudut geser dalam (internal friction) untuk menentukan faktor menggunakan software Geostudio. DAFTAR PUSTAKA keamanan lereng 47 Anonim, 2007, Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/2007, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Dep. PU Anonim, Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi, Edisi 4, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Arif M. dan Widodo A., 2008, Analisa Balik Kelongsoran (Studi Kasus Di Jember), Jurusan Teknik Sipil FTSP- ITS Surabaya Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana, 2007., Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya, Edisi Ke-2, ISSN 978979-96016-2-9. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2010, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2010-2014, Peraturan Kepala BNPB No.3 Tahun 2010, Brown E.T., (editor), 1981, Rock Characterization, Testing and Monitoring (ISRM Suggested Methods), Published For The Commission On Testing Methods, International Society For Rock Machanics, Pergamon Press, Oxford Cascini L, et al, 2006. Landslide hazard and risk zoning for urban planning and development http://profile.usgs.gov/myscience/upload_folder/ci2009Apr221621194 273788-Landslide%20risk%20management,%20ICLRM.pdf Cruden, D.M., 1991. A simple definition of a landslide. Bulletin International Association for Engineering Geology, 43: 27-29. www.ukgeohazards.info/.../landslide.../eng_geol_landslides_index.htm Fell, R., Ho K.K.S., Lacasse S., and Leroi E., 2005, A Framework For Landslide Risk and Management, In :Landslide Management Edited by Oldrich Hungr, Robin Fell, Rejean Couture and Erik Eberhardt, A.A. Balkema Publisher Leiden. 48 Fell R., Corominas J., Bonnard Ch., Cascini L., Leroi E., and Savage W.Z., 2008, Guidelaines For Landslide Susceptibility, Hasard and Risk Zoning For Land Use Planning, Engineering Geology,Journal Homepage : www.elsivier.com/locate/enggeo Karnawati, D. 2005., Bencana Alam Gerakan Massa Tanah Di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi, 2006., Edisi-4, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 33 Tahun 2006 Tanggal : 18 Oktober 2006 Pedoman Umum Mitigasi Bencana. Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008, tentang Pedoman Rencana Penanggulangan Bencana Popescu M.E., (tanpa tahun), Landslide Causal Factors and Landslide Remedial Options, Illionis Institute, Chicago, USA. Samang L. 2007, Identifikasi dan Pemetaan Ruas Jalan Rawan Bencana Longsor dengan Basis SIG Di Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar Siagian, Y.O.P., 1991., Faktor Penyabab Gerakan Tanah, Disampaikan pada Kursus Bidang Geologi Program Gerakan Tanah, Sub Direktorat Geologi Teknik, Direktorat GTL, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Dep. Pertambangan dan Energi. Singarimbung dan Soyan (editor), 1989., Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta. Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Penerbit Alfabeta, Bandung. Sukamto R dan Supriatna S, 1982., Peta Geologi Lembar Ujungpandang, Benteng dan Sinjai, Puslitbang Geologi Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung. 49 Varnes, D.J., 1978, Slope Movement Types and Processes, In Schuster, R.L. ang Krizek, R.J., Landslide Analysis and Control, Transportation Research Board, Special Report 176, National Academi of Sciences USA. Undang-Undang No. 24 tahun 2007, Tentang Penanggulangan Bencana Undul O., 2012, Weathering Of Ultra Mafic Rocks, Istambul University, Geological Engineering, ETH, Zurich USGS, 2004, Landslide Types and Processes Wyllie D.C. and Mah Ch. W., 2004., Rock Slope Engineering, 4th Edition, Spon Press, Taylor and Francis Group, London Lampiran 1 : Peta Topografi Lokasi Penelitian (Bakosurtanal) 50 Lampiran 2 : Peta Geologi Lokasi Penelitian (Sukamto dan Supriatna, 1982) 51