Sambutan dan Ceramah Ekonomi Dr. Darmin Nasution Halal Bihalal Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 5 November 2010 Yang saya hormati Para Senior dan Sesepuh ISEI, Pengurus Pusat ISEI, Pengurus ISEI Cabang Seluruh Indonesia, Para Anggota ISEI, Bapak-Ibu undangan lainnya, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua, Pada kesempatan ini mari bersama-sama kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmatNya sajalah kita dapat berkumpul di sini, berbagi cerita dan pengalaman, dalam acara Halal Bihalal Keluarga Besar Ikatan Sarjana Ekoomi Indonesia (ISEI) tahun 1431 H. Walaupun sudah berjarak beberapa waktu dari hari raya Iedul Fitri 1431 H, namun semangat bersyukur kepada Tuhan memang sudah seharusnya tidak mengenal waktu. Bapak dan Ibu yang saya hormati, Rasa syukur juga patut kita ungkapkan apabila kita menelaah kinerja perekonomian Indonesia akhir-akhir ini. Kita telah sama-sama mengikuti bagaimana gejolak krisis global yang saat ini masih berlangsung telah 1 membuat banyak negara mengalami kontraksi yang cukup dalam. Di tengah kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, perekonomian Indonesia pada tahun 2009 lalu masih dapat tumbuh 4.5%. Basis ekonomi kita yang lebih banyak ditopang permintaan domestik, terutama konsumsi, ternyata lebih berdaya tahan terhadap rambatan krisis global tersebut. Indonesia pun disejajarkan dengan China dan India sebagai tiga negara yang masih membukukan pertumbuhan positif sepanjang 2009. Pada tahun 2010 ini Bank Indonesia memperkirakan perekonomian kita akan tumbuh 6.1%, masih merupakan pencapaian yang cukup tinggi dalam skala kawasan. Pada tahun 2011 dan selanjutnya, apabila didukung oleh peningkatan investasi yang memadai, Bank Indonesia memprediksi bahwa ekonomi domestik dapat terus tumbuh di atas 6.0%. Sejalan dengan semakin menguatnya kegiatan ekonomi, laju inflasi menunjukkan kecenderungan meningkat. Namun peningkatan inflasi dalam beberapa bulan terakhir lebih diakibatkan dorongan kelompok bahan makanan. Pemantauan terakhir menunjukkan kita masih memiliki harapan bahwa inflasi akan berada dalam kisaran sasaran 5+1%. Kekuatan ekonomi kita juga didukung oleh kinerja perdagangan yang tetap solid. Neraca pembayaran pada tahun ini diperkirakan akan mencatat surplus sebesar USD 27.4 miliar, sehingga akumulasi cadangan devisa akan terus meningkat. Cadangan devisa kita per 28 Oktober telah mencapai USD 91.1 miliar. Tumbuhnya harapan semakin membaiknya ekonomi juga dapat kita lihat di pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus meningkat dan telah mencapai 3.640 pada akhir Oktober lalu. Ini merupakan level tertinggi dalam sejarah parsar saham di Indonesia. 2 Bapak dan Ibu yang saya hormati, Di tengah berbagai capaian positif perekonomian kita saat ini, tantangan ke depan tidaklah ringan. Struktur industri menunjukkan dinamika yang harus dicermati. Di satu sisi, pangsa industri berbasis manufaktur tampak semakin mengecil, akibat industri berbasis sumber daya alam yang semakin menonjol. Apabila dibiarkan, persoalan ini dapat mengarah pada deindustrialisasi yang dapat berdampak pada menurunnya nilai tambah industri nasional dan tergerusnya produktivitas perekonomian. Disamping itu, ditengah-tengah persoalan pengangguran dan kemiskinan yang masih dihadapi Indonesia, kehadiran industri padat karya yang luas masih dibutuhkan. Di sisi lain, industri manufaktur domestik kita masih kental dengan muatan impor. Ini membuat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dibarengi dengan naiknya impor secara cukup signifikan, yang berdampak pada menurunnya surplus pada neraca transaksi berjalan (current account). Apabila struktur industri kita yang bermuatan impor tinggi tersebut tidak berubah, maka terdapat risiko kita akan mengalami defisit. Dalam kondisi defisit, apabila sumber pembiayaan tetap mengandalkan arus modal masuk jangka pendek yang memiliki volatilitas tinggi, seperti yang terjadi sekarang, maka akan menimbulkan kerentanan. Kaitan struktur industri dengan kerentanan neraca pembayaran masih merupakan persoalan yang harus sama-sama kita kaji dan cari solusinya. Dari sisi komposisi, neraca modal dan keuangan (capital and financial account) kita memang masih kurang berimbang. Pada 2009, arus masuk modal ke investasi portofolio kita sebesar USD 10,3 milyar, jauh lebih besar dari investasi langsung jangka panjang (FDI) yang hanya sebesar USD 1.9 milyar. Bank Indonesia memproyeksikan bahwa di tahun 2010, kondisi akan sedikit membaik, dengan investasi portofolio akan mencapai USD 15.5 milyar sementara FDI meningkat menjadi USD 9.4 milyar. Bila dilihat lebih dalam, latar belakang masuknya FDI ke Indonesia ternyata cenderung berorientasi pasar domestik ketimbang untuk ekspor. FDI yang masuk 3 tersebut juga membutuhkan impor tambahan sebagai komplemen modal. Kondisi ini membuat FDI yang meningkat dapat membuat impor meningkat, yang kembali dapat mengarah pada defisit transaksi berjalan dan terganggunya keseimbangan eksternal. Perekonomian kita yang cepat memanas di sisi neraca pembayaran juga ternyata juga diikuti pada sisi internal. Kondisi infrastruktur yang masih belum memadai, dikombinasikan dengan tantangan geografis yang kita miliki, menjadikan kendala yang tampak semakin serius dalam produksi dan distribusi. Kendala di sisi penawaran (supply side constraint) ini telah secara konsisten membuat inflasi kita tetap lebih tinggi dari negara-negara kawasan. Proyeksi terakhir Bank Indonesia menunjukkan inflasi inti sudah kembali merangkak naik, ke arah 4.5% di 2010 dan 5.0% di 2011. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang diiiringi dengan potensi peningkatan inflasi yang tinggi, utamanya dipacu dari sisi penawaran, menunjukkan adanya persoalan pada keseimbangan internal. Adanya potensi ketidakseimbangan internal dan ekternal, di balik kisah sukses perekonomian Indonesia selama menghadapi krisis, merupakan tantangan nyata bagi kita semua yang harus segera dijawab. Bapak dan Ibu yang saya hormati, Lingkungan global yang sangat dinamis memang membuat pengelolaan kebijakan ekonomi makro semakin kompleks. Ini karena perekonomian kita tidak dapat menghindar dari dampak perubahan konstelasi kebijakan ekonomi global paska krisis, khususnya kebijakan yang ditempuh negara-negara maju. Bagi beberapa negara maju, krisis global lalu memang cukup berdampak destruktif, dimana sempat terjadi interaksi antar sektor keuangan dan sektor riil tidak berjalan lagi sebagaimana mestinya. Kondisi tersebut terkait dengan lingkaran permasalahan krisis yang berjalan demikian cepat karena bekerjanya suatu mekanisme yang dikenal 4 sebagai financial accelerator, yaitu kondisi dimana sektor keuangan mengamplifikasi apa yang terjadi di sektor riil sehingga berdampak lebih ekstrem. Mekanisme ini tampak telah bekerja pada periode boom yang lalu (awal 2000-an), maupun pada krisis saat ini. Sektor keuangan menjadi pro- cyclical atau menyebabkan amplifikasi terhadap siklus ekonomi. Financial accelerator ini berkerja sebagai berikut. Pada periode boom atau positive shock, kenaikkan harga aset biasanya dibarengi dengan bertambahnya modal bank dan berkurangnya leverage, yang mendorong bank melakukan ekspansi. Kenaikkan harga aset juga memudahkan sektor rumah tangga dan bisnis memperoleh pinjaman dari bank, yang pada gilirannya memacu konsumsi dan investasi. Sebaliknya, pada periode krisis atau negative shock, jatuhnya harga aset menyebabkan modal bank merosot dan leverage bank naik. Karena dalam masa krisis sangat sulit bagi bank meraih modal baru, bank cenderung melikuidasi asset, sehingga membuat harga aset lebih merosot. Dampak terhadap sektor riil dan ekonomi akan terasa lebih berat saat negative shock tersebut menimpa bank-bank besar secara serentak, atau terjadi efek sistemis dari neraca bank yang memburuk. Dengan bekerjanya mekanisme financial accelerator tadi, dalam kondisi krisis, kebijakan moneter yang konvensional menjadi sulit diandalkan efektivitasnya. Di Amerika dan Jepang misalnya, suku bunga yang mendekati nol persen pun belum mampu menstimulasi kegiatan ekonomi. Tidak berjalannya transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga pada gilirannya mengharuskan bank sentral melalui berbagai program non-konvensional, diantaranya quantitave easing (QE), yaitu membeli instrumen keuangan secara langsung, dengan menggelontorkan likuiditas ke pasar keuangan. Sebagai contoh pada 3 November kemarin Amerika meluncurkan QE jilid II dimana diputuskan untuk membeli aset sebesar USD 600 milyar. 5 Bapak dan Ibu yang saya hormati, Dalam skala global, kita juga melihat bagaimana pemulihan ekonomi di berbagai negara berjalan dalam multispeed recovery, terutama ditandai dengan semakin melebarnya disparitas pertumbuhan ekonomi antara negara maju dan emerging market. Disparitas juga tampak dari sisi kebijakan, misalnya Amerika yang terus melanjutkan ekspansi sementara India dan Australia pada 2 November lalu menaikkan suku bunga kebijakan. Momentum pemulihan ekonomi di banyak negara maju memang terlihat melemah. Kondisi tersebut tergambar jelas dari masih tingginya tingkat pengangguran, melemahnya kembali konsumsi rumah tangga yang disertai dengan menguatnya ancaman deflasi di Amerika, Eropa, dan Jepang. Di pihak lain, pemulihan ekonomi negara-negara emerging market khususnya di Asia dan Amerika Latin melaju pesat, disertai dengan mulai munculnya tekanan inflasi. Dari uraian tadi, terlihat bahwa dari sisi arus modal memang terdapat push factor, yaitu berlimpahnya likuiditas dan rendahnya suku bunga di negara maju, yang pada saat bersamaan disertai pull factor, yaitu membaiknya fundamental ekonomi, tingginya suku bunga, dan membaiknya persepsi risiko ke emerging market. Kedua faktor tersebut secara bersamaan telah, sedang menyebabkan derasnya aliran modal ke emerging market, termasuk ke Indonesia. Pada saat ini Indonesia memang menjadi magnet tujuan investasi bagi kalangan pengelola modal portofolio internasional. Intensitas arus masuk modal portfolio ke Indonesia dalam tiga bulan terakhir bahkan semakin kuat karena para investor global tersebut mengantisipasi langkahlangkah lanjutan kebijakan moneter di Amerika. Terkait QE jilid II yang baru saja diumumkan, the Fed diperkirakan akan mengaktifkan kembali program pembelian aset dalam skala besar (large-scale asset purchases/LSAP). Program ini dipastikan akan semakin 6 menekan lagi suku bunga jangka panjang di AS, yang pada gilirannya semakin memperderas arus modal ke negara emerging market. Bapak dan Ibu yang saya hormati, Kita sama-sama menyaksikan bagaimana gelombang intervensi di pasar valuta asing, untuk meredam tekanan apresiasi, telah menjadi menu harian kebijakan taktis di sejumlah negara-negara emerging market belakangan ini. Akibat fenomena yang sementara orang menyebut currency-war ini, akumulasi cadangan devisa oleh negara emerging market pun meningkat pesat. Depresiasi dollar juga semakin terakselerasi, disamping oleh langkah QE jilid II, juga oleh langkah sejumlah bank sentral emerging market yang mereposisi akumulasi cadangan devisa mereka ke instrumen keuangan nondollar, termasuk instrumen negara emerging market lain. Intervensi memang dapat membantu menahan tekanan apresiasi, namun tidak dapat terus menerus dilakukan karena beban ongkos sterilisasi yang cukup besar. Oleh karenanya, banyak negara emerging market mulai memikirkan dengan serius berbagai kebijakan yang termasuk kelas macroprudential. Bahkan sejumlah negara merespon derasnya arus modal masuk dengan capital control, misalnya pemerintah Brazil yang mengenakan pajak terhadap transaksi pihak asing di pasar obligasi. Solusi atas lingkaran permasalahan arus modal global dan pengelolaan kebijakan nilai tukar ini tentunya memerlukan koordinasi multilateral, dan oleh karenanya saat ini terus menjadi tema sentral di berbagai fora internasional, seperti di G-20, ASEAN, IMF, dan BIS. 7 Bapak dan Ibu yang saya hormati, Derasnya arus masuk modal global ke perekonomian kita membawa manfaat, tetapi juga menimbulkan permasalahan yang kompleks. Masuknya modal asing meningkatkan pasokan devisa di pasar keuangan domestik, mendorong penguatan rupiah, dan menurunkan imbal hasil (yield) surat utang negara (SUN). Rupiah yang menguat membantu menekan inflasi melalui turunnya harga barang impor. Sementara itu, dengan turunnya yield SUN juga menurunkan ongkos pembiayaan anggaran pemerintah. Di sisi lain, arus modal masuk saat ini menimbulkan permasalahan karena sebagian besar berjangka pendek, mudah berbalik arah, memicu penggelembungan aset (asset bubble), dan berpotensi menekan nilai rupiah menjauh dari nilai fundamentalnya (overshoothing). Selain itu, derasnya arus modal saat ini dirasa sudah lebih besar dari kemampuan sektor riil dan pasar keuangan kita untuk dapat menyerapnya. Dari segi kedalaman maupun ketersediaan instrumen, pasar keuangan kita tampak belum siap untuk menerima begitu derasnya arus masuk modal jangka pendek. Kurang dalamnya pasar keuangan kita relatif terhadap besarnya modal asing menjadikan sistem keuangan domestik rentan terhadap perubahan mendadak sentimen investor global. Pada Mei lalu kita menyaksikan bagaimana munculnya sentimen negatif berupa memuncaknya kekhawatiran terhadap krisis ekonomi di Yunani telah memicu penarikan dana asing dalam skala besar dan mendadak (large and sudden reversal) dari perekonomian Indonesia yang menimbulkan tekanan kuat terhadap Rupiah. Bapak dan Ibu yang saya hormati, Dalam menyikapi derasnya arus masuk modal sekaligus memitigasi potensi risiko yang dapat ditimbulkan apabila modal tersebut berbalik arah, Bank Indonesia telah menempuh beberapa langkah kebijakan. Dikeluarkannya kebijakan tersebut tidak lain adalah untuk menjaga 8 stabilitas makro dan mempertahankan kesinambungan pertumbuhan perekonomian kita. Sebagai first line of defence, Bank Indonesia tetap mengedepankan pengelolan kebijakan moneter dan perbankan yang pruden yang dijalankan secara konsisten. Ini diharapkan dapat semakin memperkuat kredibilitas kebijakan sehingga turut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi untuk segala jenis investasi apapun. Sementara itu dalam tataran operasional, Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah dalam bentuk bauran kebijakan (policy mix), yaitu dengan: 1) Mengakomodasi nilai tukar yang fleksibel yaitu membiarkan Rupiah mengalami apresiasi, namun juga tetap menjaga agar tidak overshooting dan tidak terlalu fluktuatif, yaitu melalui intervensi guna memelihara stabilitas ekonomi makro, stabilitas keuangan, dan kesinambungan neraca transaksi berjalan. 2) Memupuk cadangan devisa, yang sangat diperlukan sebagai upaya untuk memperkuat perisai (sebagai insurance) ketika menghadapi pembalikan modal. 3) Mengambil sejumlah kebijakan macroprudential secara selektif, guna mengelola arus modal yang cenderung fluktuatif. Perlu saya tekankan di sini bahwa walaupun instrumen kebijakan konvensional seperti intervensi di pasar valuta asing sejauh ini cukup efektif, kita tetap menghadapi kompleksitas dalam pengelolaan kebijakan moneter. Ekspansi likuiditas sebagai dampak langsung intervensi di pasar valuta asing perlu diserap kembali melalui operasi moneter agar tidak memicu inflasi; ini menyebabkan outstanding SBI terus meningkat. Oleh karena itu, menyadari semakin kompleknya permasalahan yang akan dihadapi ke depan, Bank Indonesia juga menempuh langkah nonkonvensional dalam bentuk kebijakan macroprudential. Pada 16 Juni lalu, 9 telah dikeluarkan ketentuan kewajiban bagi pembeli SBI untuk menahan kepemilikannya selama satu bulan baik di pasar primer maupun sekunder, yang berlaku baik bagi pelaku domestik maupun asing. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam mencegah terjadinya pembalikan modal dalam skala besar dan mendadak, karena investor tidak dapat lagi mencairkan SBI setiap saat. Kita menyaksikan akhir-akhir ini nilai tukar rupiah dapat terjaga dengan stabil. Bank Indonesia juga melengkapi instrumen pengelolaan likuiditas dengan memperkenalkan Term Deposit (TD) Rupiah yang tidak dapat diperdagangkan (non-transfarable). Ini akan semakin mempersempit peluang pihak asing dalam mengakumulasi SBI. Bapak dan Ibu yang saya hormati, Banyak kita mendengar pandangan perlunya bagi kita mengambil kebijakan capital control. Namun, saya melihat sejauh ini beberapa langkah kebijakan yang telah kita ambil telah cukup efektif. Meski demikian, tentu saja ruang untuk opsi-opsi kebijakan tambahan lainnya tetap terbuka. Dalam tataran diskusi internasional, kebijakan capital control tidak lagi diharamkan apabila seluruh opsi kebijakan makro konvensional yang tersedia dirasa tidak lagi memadai untuk memitigasi dampak buruk dari lalu lintas modal yang ekstrem. Capital control memiliki alasan kuat untuk menjadi bagian dari perangkat kebijakan dalam mengelola arus masuk modal apabila tekanan inflasi meningkat, apabila kecukupan cadangan devisa sudah lebih dari optimal, apabila nilai mata uang domestik overvalued, dan apabila arus modal yang masuk mayoritas bersifat sementara (transitory). Melihat kondisi sekarang, memang semakin banyak otoritas di sejumlah negara emerging market yang mulai mempertimbangkan untuk menrancang dan menerapkan kebijakan capital control namun secara specifik dan tepat sasaran (targeted). Agar kebijakan capital control 10 tersebut efektif maka sangat penting untuk dapat menbedakan antara sumber dan jenis aliran modal, mempertimbangkan secara hati-hati pilihan instrumen yang akan digunakan, memperkuat komunikasi dan kapasitas institusional, serta merancang mekanisme entry/exit dan penyesuaian terhadap instrumen yang telah ditetapkan. Secara umum, instrumen capital control yang memerlukan perubahan minimal dari sistem yang sudah tersedia akan lebih mudah disesuaikan, dikomunikasikan, dan diimplementasikan. Namun, instrumen capital control yang memerlukan perubahan mendasar dari sistem yang sudah ada dapat menimbulkan dampak psikologis yang lebih besar dan mungkin risiko gagal. Singkatnya, capital control dapat saya ibaratkan sebagai pedang bermata dua yang sebaiknya disimpan sampai kondisi darurat sekali terjadi. Bapak dan Ibu yang saya hormati, Sebelum saya akhiri sambutan saya, ada satu isu kebijakan lain yang baiknya kita kaji secara serius dan segera, dalam menyikapi derasnya arus modal masuk ini, yaitu bagaimana kita bisa meraup manfaat sebesarsebesarnya dari arus modal masuk tersebut guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan kata lain, persoalan fundamental yang perlu kita jawab bersama adalah bagaimana kita mampu memanfaatkan aliran modal ini ke jangka waktu yang lebih panjang. Terdapat sejumlah langkah yang dapat kita tempuh. Pertama, kita seyogyanya mampu mendorong pemanfaatan aliran modal tersebut untuk pembiayaan bagi perusahaan dan pendalaman pasar keuangan domestik. Kemudahan-kemudahan dan stimulus di pasar modal dapat diberikan baik untuk mendorong penerbitan saham (initial/secondary public offering) maupun obligasi (bond issuance) bagi korporasi. Bahkan besarnya minat investasi dari luar negeri tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya-upaya untuk penerbitan saham dan obligasi perusahaanperusahaan BUMN kita. 11 Kedua, yang juga sangat penting dan mendesak, kita sebaiknya mampu mendorong perbaikan iklim investasi dan pembangunan infrastruktur dengan memanfaatkan peluang dari besarnya minat investasi asing tersebut. Diskusi tentang hal ini sudah sama-sama kita ikuti dan berbagai rekomendasi kebijakan juga sudah disampaikan dan dirumuskan. Kini tinggal bagaimana kita secara kokoh dan konsisten mengimplementasikannya. Mendorong investasi sangatlah penting untuk meningkatkan kapasitas perekonomian. Memacu pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi hanya akan menghasilkan tekanan inflasi yang utamanya muncul akibat keterbatasan sisi penawaran. Ke depan, Insya Allah, dengan fundamental ekonomi kita yang semakin baik, minat asing untuk berinvestasi di Indonesia akan sangat besar. Apalagi, Indonesia memiliki peluang untuk memasuki peringkat investment grade tahun depan. Bapak dan Ibu yang saya hormati, Demikian pokok-pokok pemikiran dalam menyikapi besarnya arus modal masuk dari luar negeri dewasa ini. Kita harus mampu memanfaatkan aliran modal tersebut untuk kepentingan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Intinya kita memang harus mampu menjaga stabilitas ekonomi makro ditengah keterbukaan ekonomi kita. Ketiadaan kesalahan kebijakan makro tidak menjamin kita tetap aman dari dampak gejolak luar. Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang me- ridhoi kegiatan kita hari ini dan senantiasa melimpahkan bimbingan, petunjuk, dan rahmat-Nya kepada kita sekalian. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dr. Darmin Nasution 12