Kemoradioterapi pada Penderita Sindrom Vena Kava Superior

advertisement
Kemoradioterapi pada Penderita Sindrom Vena Kava Superior
Akibat Kanker Paru Bukan Sel Kecil
Bintang Y. M. Sinaga
Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran USU/
RS H. Adam Malik Medan
76
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
41 y No.
1 y Maret
2008
Universitas
Sumatera
Utara
Bintang Y.M Sinaga
Kemoradioterapi pada Penderita Sindrom Vena Kava ...
kortikosteroid, diuretik, trombolisis, hingga
5
tindakan bedah.
Berikut ini dilaporkan satu laporan kasus
seorang penderita sindrom vena kava superior
akibat kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil yaitu “Large Cell Carcinoma” yang
diberikan radioterapi dilanjutkan dengan
kemoterapi.
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki umur 30 tahun,
pekerjaan petani, dirujuk dari Rantau Prapat,
masuk rumah sakit tanggal 26-11-2001, di
ruang paru RS. H. Adam Malik, Medan,
dengan keluhan nyeri dada kanan sejak 2
bulan sebelum masuk rumah sakit, tidak
menjalar dan tidak berubah dengan adanya
aktivitas. Juga ada keluhan sesak nafas sejak 2
bulan ini terutama jika pasien tidur terlentang,
sesak tidak disertai mengi. Batuk-batuk ada
dalam 4 bulan sebelum masuk rumah sakit,
batuk berdahak putih, tidak disertai darah.
Nafsu makan biasa dan berat badan tidak
menurun. Riwayat merokok ada selama 15
tahun, 1 bungkus setiap hari dan sudah
berhenti dalam 3 bulan terakhir. Dua bulan
sebelum masuk ke RS. H. Adam Malik,
Medan, pasien merasa wajahnya bengkak,
tangan kanan membesar dan adanya gambaran
pembuluh darah di dada.
Dari riwayat penyakit terdahulu tidak
ditemukan adanya penyakit yang berarti.
Sebulan sebelum masuk RS. H. Adam Malik,
Medan, pasien berobat ke dokter di Rantau
Prapat dan dilakukan USG toraks dengan
kesimpulan adanya massa di paru kanan. Juga
dilakukan trans thoracal lung biopsy (TTLB)
dengan hasil sediaan tidak adekuat. Kemudian
pasien dirujuk ke Medan. Riwayat pemberian
obat cefabiotik, katrasik, dan ambroxol. Riwayat
pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) tidak
ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan umum: Kesadaran kompos
mentis, TD: 110/80 mm Hg, Nadi: 68x/mnt,
o
pernafasan: 24 x/mnt, suhu: 36,9 C. Anemis,
ikterus, oedema pretibial, cyanosis tidak
didapatkan. BB:58 kg , TB:165cm.
Pada pemeriksaan kepala dan leher:
ikterus, anemis tidak ditemukan. Oedem
daerah
wajah
dan
leher
ditemukan.
Pembesaran kelenjar getah bening leher tidak
ditemukan.
Pada pemeriksaan dada:
Jantung
: S1, S2 tunggal, tidak
didapatkan
suara
tambahan
Paru
: Inspeksi:
simetris,
terlihat adanya vena
kolateral di dinding
dada.
Palpasi
: SF paru kanan atas dan
tengah
melemah
dibanding paru kiri.
Perkusi
: sonor pada paru kiri,
sonor memendek paru
kanan atas dan tengah.
Auskultasi
: vesikuler pada paru kiri,
melemah pada paru
kanan atas dan tengah.
Abdomen
: tidak tampak adanya
vena kolateral, tidak
membuncit, tidak teraba
massa, nyeri tekan tidak
ada, bising usus normal.
Ekstremitas atas
: lengan kanan membesar,
jari tabuh tidak ada
Ekstremitas bawah : oedem tidak ada
Pemeriksaan penunjang:
Pada tanggal 26-11 2001 dilakukan foto
toraks dengan deskripsi:
Mediastinum superior melebar, trakea
menyempit, sudut kostoprenikus kanan
tumpul sedangkan sudut kiri tidak dapat
dinilai karena film terpotong, kubah
diapragma kanan bentuk tidak baik dan
diapragma kanan kesan letak tinggi. Lapangan
paru kanan dan kiri atas, tengah dan bawah
tidak ditemukan kelainan.
Pasien didiagnosis diferensial dengan:
1. Ca Paru disertai sindrom vena kava
superior
2. Ca mediastinum disertai sindrom vena
kava superior
Selama penjajakan, pasien di ruangan
diberikan terapi: Diet 1700 kal, antitusif
codein,
vitamin,
dan
anti
inflamasi
metilprednisolon 3x4mg.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 1 y Maret 2008
Universitas Sumatera Utara77
Laporan Kasus
Gambar 1. Foto toraks PA dan lateral kanan sewaktu masuk ke RS H. Adam Malik Medan
Di ruangan dilakukan pemeriksaan
penunjang dengan hasil sebagai berikut.
Tanggal 27-11-2001 dilakukan pemeriksaan
darah dengan hasil, darah lengkap: Hb
12,8g%,
LED
50
mm/jam,
leukosit
3
3
trombosit
452.000/mm ,
8.000/mm ,
hematokrit 37%, hitung jenis 3/0/2/70/20/5,
morfologi eritrosit, lekosit, dan trombosit
normal. Faal hati: bilirubin total 0,80 mg/dl,
bilirubin direct 0,23 mg/dl, alkalin phospatase
347 U/L, SGOT 40 U/L, total protein 7,79
g/L, albumin 4,39 g/L, globulin 3,40 g/L.
KGD ad random 118 mg/dl. Faal hemostatis:
’
’’
’’
waktu perdarahan 3 30 , PT 14,4 , APTT
”
’’
35,6 , TT 13,2 .
Tanggal 28-11-2001: EKG sinus takikardi
120x/mnt, lainnya dalam batas normal.
Tanggal 28-11-2001 dilakukan bronkoskopi
didapatkan hasil: Carina tumpul, dengan
mukosa oedem dan hiperemis; lumen bronkus
utama kiri dan kanan menyempit dan
hiperemis; lumen lobus atas kanan dan lobus
bawah kiri menyempit, oedem dan hiperemis;
lumen lobus atas kiri menyempit, oedem, dan
hiperemis.
Tanggal 1-12-2001 dilakukan TTLB
dengan hasil sitologi: tampak populasi sel
banyak, atipik, inti membesar, pleomorfik,
rasio inti sitoplasma bertambah. Pada sebagian
besar sel tampak kromatin kasar berkelompok,
sitoplasma eosinofilik. Kesimpulan: Karsinoma
sel skuamos, tipe Large Cell .
Tanggal 3-12-2001 diperoleh hasil
pemeriksaan sputum BTA DS 3x negatif,
78
Jamur
DS
negatif.
Kultur
sputum:
stapilokokus epidermis.
Keadaan umum penderita baik dengan
nilai skala Karnofsky 70-80 atau skala 1
menurut WHO. Pasien diputuskan untuk
mendapat radioterapi dengan diagnosis
Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
(jenis Large Cell) disertai sindrom vena kava
superior. CT scan toraks tidak dilakukan
karena alasan biaya. Pasien pulang dari rumah
sakit tanggal 3-12- 2002.
Gambar 2. Gambaran
bronkoskopi
sewaktu
masuk RS. H. Adam Malik (sebelum
radioterapi)
Tindak Lanjut
Pada tanggal 8 Desember 2001 dimulai
radioterapi 5 kali seminggu sebanyak 25 kali.
Selama radioterapi didapatkan efek samping
berupa demam dan kelainan di kulit daerah
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
41 y No.
1 y Maret
2008
Universitas
Sumatera
Utara
Bintang Y.M Sinaga
Kemoradioterapi pada Penderita Sindrom Vena Kava ...
radiasi berupa kulit menjadi hitam kemerahan
dan nyeri. Juga ditemukan batuk darah dan
wheezing. Tetapi keluhan sesak, oedem
kepala, leher dan lengan kanan, juga vena
kolateral di dada semakin berkurang. Terapi
yang diberikan adalah metilprednisolon
3x4mg, analgetik, roborantia, bronkodilator
dan antibiotik.
Hasil foto toraks tanggal 31-12-2001
setelah dilakukan radioterapi sebanyak 18 kali
menunjukkan adanya kemajuan terapi dengan
deskripsi sebagai berikut. Pelebaran mediastinum
sangat berkurang di mana mediasinum
superior masih melebar sedikit, trakea masih
menyempit, sudut kostoprenikus kanan sudah
tidak tumpul lagi (lancip), sudut kiri tidak
dapat dinilai karena film terpotong, kubah
diapragma kanan bentuknya sudah baik
dibanding foto sebelumnya dan letak
diapragma kanan sudah tidak setinggi
sebelumnya. Lapangan paru kanan dan kiri
atas, tengah dan bawah tidak ditemukan
kelainan. Sesudah selesai radioterapi sebanyak
25 kali pada tanggal 16-1-2002 dilakukan
foto toraks dengan hasil sama seperti foto
toraks tanggal 31-12-2001.
Pada tanggal 5-2-2002 pasien masuk
kembali ke rumah sakit untuk persiapan
kemoterapi. Keluhan sewaktu masuk: sesak
masih ada sedikit, tapi sudah sangat jauh
berkurang. Batuk dan nyeri dada masih ada.
Sedangkan oedem pada lengan kanan, leher
dan wajah tinggal sedikit. Keadaan umum
baik. Sensorium: kompos mentis, TD:120/70,
0
HR 72x/mnt, RR:20x/mnt, t:36,8 C. Skala
Karnofsky 2 atau sama dengan 1 menurut
skala WHO.TB: 165 cm, BB: 60 kg.
Dilakukan foto toraks pada tanggal 5-22002 dengan hasil sama seperti foto tanggal
16-1-2002. Hasil lab tanggal 6-2-2002:
Hb:13g%,
LED:35
mm/jam,
3
Hitung
jenis:
lekosit:5100/mm ,
3
3/0/2/80/14/1, trombosit:249.000/mm , Ht:
46%, morfologi sel darah merah, lekosit dan
trombosit normal. Ureum: 17 mg/dl,
ceratinin: 0,71 mg/dl, asam urat: 5,30 mg/dl.
Bilirubin total: 0,98 mg/dl, bil direct: 0,23
mg/dl, alkalin pospatase: 347 U/l, SGOT : 40
U/l, SGPT: 23 U/l, total protein: 7,79 g/l,
albumin: 4,39 g/l, globulin: 3,40 g/l, KGD ad
random: 118 mg/dl.Waktu perdarahan: 3’,
PT: 11,7”, APTT: 34,6”, TT: 10,4”. Hasil EKG
normal. Tanggal 7-2-2002: creatinin clearance:
168 ml/mnt.
Pada tanggal 12-2-2002 dilakukan
bronkoskopi ulang dengan hasil: Carina
hiperemis tapi tidak terlalu tumpul lagi.
Lumen bronkus sudah terbuka dibandingkan
dengan bronkoskopi sebelum radioterapi.
Tetapi mukosa bronkus tampak hiperemis
dengan vaskularisasi yang bertambah.
Gambar 3. Foto toraks PA dan lateral kanan sesudah radioterapi
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 1 y Maret 2008
Universitas Sumatera Utara79
Laporan Kasus
Gambar 4. Gambaran
radioterapi.
bronkoskopi
sesudah
Selama di ruangan sebelum dilakukan
kemoterapi, terapi yang diberikan yaitu:
Metilprednisolon, roborantia, dan terapi
simtomatik lainnya.
Pada tanggal 26,27,28 Februari 2002
dilakukan kemoterapi 3 hari berturut-turut
dengan regimen Cisplatin 30 mg/hari dan
Etoposide 100 mg/hari.
Terapi setelah kemoterapi: Inj. Primperan
IV 1 ampul/8 jam. Keluhan setelah
kemoterapi adalah muntah dan mual yang
tidak terlalu berat dan diterapi dengan injeksi
Primperan. Pasien pulang berobat jalan (PBJ)
pada tanggal 4 Maret 2002.
Pada tanggal 25 Maret 2002 pasien masuk
kembali ke rumah sakit untuk persiapan
kemoterapi siklus kedua dengan regimen yang
sama. Keluhan sesak nafas, batuk, nyeri dada,
dan vena kolateral di dada masih dijumpai tetapi
tidak seberat seperti sebelum radioterapi.
Dilakukan pemeriksaan foto toraks, darah, dan
urin ulang. Hasil foto toraks 25-3-2002 kesan
sama seperti foto sebelumnya tanggal 5-2-2002.
Hasil pemeriksaan darah pada tanggal 26
Maret 2003 adalah: Hb: 11,5 g%, LED: 45
3
mm/jam, lekosit: 4500/mm , hitung jenis:
3
2/0/0/88/8/2,
trombosit:
160.000/mm ,
morfologi eritrosit, lekosit dan trombosit normal.
Kesan: Hb, lekosit dan trombosit menurun dari
nilai sebelumnya. Faal hati dan ginjal dalam batas
normal. KGD ad random: 164 mg/dl. Creatinin
clearance pada tanggal 1 April 2002: 63
ml/menit dan diulang pada tanggal 3 April 2002
adalah 76 ml/menit (Normal: 80-120). Hasil
EKG dalam batas normal.
Pada tanggal 4,5,6 April 2002 dilakukan
kemoterapi siklus ke II selama 3 hari berturut80
turut dengan regimen yang sama seperti
sebelumnya yaitu Cisplatin 30 mg/hari dan
Etoposide 100 mg/hari. Keluhan selama
kemoterapi mual dan muntah. Terapi selama
kemoterapi adalah Hemabion, Prednison 3x5
mg, Primperan injeksi, dan Ranitidin.
Pada tanggal 8 April 2002 dilakukan
bronkoskopi ke tiga kali. Hasil bronkoskopi:
hampir sama seperti hasil bronkoskopi yang
kedua. Pasien keluar dari RS. H. Adam Malik
untuk PBJ pada tanggal 9 April 2002.
Pada tanggal 29 April 2002 pasien masuk
kembali ke RS. H. Adam Malik untuk
kemoterapi siklus ketiga dengan keluhan sesak
nafas, batuk dan nyeri dada seperti sesudah
kemoterapi siklus kedua. Dilakukan pemeriksaan
foto toraks dan laboratorium. Hasil foto toraks
sama seperti foto sebelumnya yaitu adanya
perselubungan pada mediastinum superior.
Nilai Hb: 11,9 g%, LED 30 mm/jam, lekosit:
3
6.400/mm , hitung jenis: 1/0/2/79/16/2,
trombosit: 264.000 morfologi: normal. Faal
hati, faal ginjal, SPE, KGD ad random dalam
batas normal. Creatinin clearance: 136
ml/mnt, EKG dalam batas normal. Berat
badan: 66 kg tinggi badan: 165. Pada tanggal
4,5,6 Mei 2002 dilakukan kemoterapi siklus
ketiga. Sesudah itu pasien tidak pernah datang
kontrol lagi.
DISKUSI
Sindrom vena kava superior adalah
obstruksi aliran darah yang melewati vena
kava superior. William Hunter pertama kali
mendeskripsikan sindroma ini pada tahun
1757 pada penderita aneurisma aorta sifilis.
Dokumentasi 274 kasus sindroma kava
superior oleh Schechter pada tahun 1954,
didapatkan 40% kasus disebabkan oleh
aneurisma sifilis atau mediastinitis tuberkulosa.
Pada akhir-akhir ini, infeksi sebagai penyebab
telah berkurang dan kanker paru merupakan
penyebab pada 70-90% penderita sindrom
1,5
Sekitar 20% lagi
vena kava superior.
3
disebabkan oleh keganasan lain, dan sisanya
akibat keadaan benigna dan juga akibat
3,8,9,10,11
komplikasi teknik invasif ke vena.
Pasien biasanya mengeluh sakit kepala,
pembengkakan pada wajah, leher dan
ekstremitas atas, sesak nafas, batuk, nyeri
dada, dan disfagia. Hemoptisis dan hoarsenes
1
Pada
dapat
dikeluhkan
tapi
jarang.
pemeriksaan fisik dapat terlihat distensi vena
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
41 y No.
1 y Maret
2008
Universitas
Sumatera
Utara
Bintang Y.M Sinaga
Kemoradioterapi pada Penderita Sindrom Vena Kava ...
leher, vena dada depan, edema wajah dan
ekstremitas atas, plethora dan takipnu.
Cyanosis, sindrom Horner, paralisis pita suara
1
bisa juga terjadi tapi jarang.
Pada penderita ini sindrom vena kava
superior terjadi akibat kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil dan didapatkan
tanda dan gejala sesak nafas, batuk,
pembengkakan wajah, leher, ekstremitas atas
dan dada, vena kolateral pada dada.
Pemeriksaan initial yang harus dilakukan
adalah foto toraks. Gambaran foto toraks
adalah pelebaran mediastinum atau massa
hillus kanan atau pada dada kanan. Juga untuk
melihat adanya efusi pleura atau kolaps
1,5,8,12
Pemeriksaan CT scan toraks
paru.
memberikan informasi yang lebih akurat dari
lokasi obstruksi dan dapat menuntun
dilakukan biopsi dengan mediastinoskopi,
bronkoskopi atau aspirasi jarum halus
perkutan. Pemeriksaan dengan MRI belum
banyak diteliti tapi kelihatan menjanjikan.
Venografi menggunakan kontras adalah
pemeriksaan diagnostik yang konklusif yang
dapat menunjukkan penyebab obstruksi.
Pemeriksaan ini penting jika penanganan
operasi
atau
pemasangan
stent
dipertimbangkan pada obstruksi vena kava
3,5,13
superior.
Pemeriksaan yang tidak terlalu
invasif dapat menegakkan diagnosis dengan
persentasi yang tinggi. Sitologi sputum dapat
menegakkan 68% dari kasus, biopsi kelenjar
supraklavikula yang teraba positip pada 87%
kasus,
bronkoskopi
mempunyai
angka
kesuksesan 60% dan torakotomi dapat
5
menegakkan pada 100% kasus.
Pada pasien ini dilakukan foto toraks
dengan gambaran pelebaran mediastinum.
Juga dilakukan bronkoskopi dengan hasil
carina yang tumpul dan lumen bronkus yang
menyempit. Diagnosis pasti jenis sel dilakukan
dengan cara biopsi transtorakal dengan hasil
kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
yaitu Large Cell. Sayangnya tidak dilakukan
CT scan toraks karena alasan biaya.
Penatalaksanaan sindrom vena kava
superior dapat secara pengobatan, radiasi,
kemoterapi, trombolisis, pemasangan stent
dan operatif. Tetapi bertentangan dengan
kebijaksanaan dahulu, sekarang sindrom vena
kava superior tidak memerlukan penanganan
emergensi tanpa adanya diagnosis secara
2,4,5
Penyebab kematian yang cepat
patologi.
yang berhubungan dengan obstruksi vena kava
superior adalah obstruksi jalan nafas dan
perdarahan intraserebral. Jika tidak ada tanda
obstruksi saluran nafas yang signifikan dan
tanda peningkatan tekanan intra kranial yang
hebat maka diagnosis pasti dapat dicari
sebelum terapi diberikan. Kebanyakan
penderita sindrom vena kava superior akibat
kanker paru mengalami perbaikan gejala
setelah radioterapi initial atau kemoterapi.
Sebelum pemberian radioterapi, pengobatan
simptomatis seperti pemberian oksigen,
elevasi kepala tempat tidur berguna untuk
2,5
sementara.
Kortikosteroid dan diuretik
kadang-kadang digunakan untuk menghilangkan
edema laring atau serebral walaupun
5
efikasinya masih dipertanyakan.
Pada penderita sindrom vena kava
superior akibat kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil, radioterapi adalah pengobatan
yang utama. Jadwal radiasi biasanya 2-4 fraksi
initial yang besar yaitu 300–400 cGy diikuti
dengan fraksi konvensional yaitu 150–200
cGy perhari sehingga dosis total mencapai
2,5
3000–5000 cGy. Pemberian dosis perfraksi
lebih tinggi dari dosis konvensional yakni 300
atau 400 cGy perfraksi sebanyak 5 atau 4 kali
terlebih dahulu memberikan respon kurang
dari 2 minggu pada 70% penderita sindrom
vena kava superior, dibandingkan dengan 56%
14
yang memperoleh radiasi konvensional. Tapi
pada studi lain pemberian dosis initial yang
1
besar tidak perlu. Pemberian radioterapi
paliatif dapat mengurangi gejala obstruksi
vena kava superior pada 70% penderita
sindrom vena kava superior akibat kanker
5
paru. Komplikasi yang sering terjadi pada
pemberian radiasi adalah pneumonitis radiasi
dan fibrosis. Pneumonitis akibat radiasi
biasanya timbul 1-4 bulan setelah radiasi
walaupun dapat juga terjadi selama dilakukan
radiasi yang intensif dan kadang-kadang ketika
digabung dengan kemoterapi. Sesak nafas
adalah gejala yang paling karakteristik,
walaupun batuk, demam yang tidak tinggi,
15
dan nyeri dada juga bisa dijumpai.
Kemoterapi biasanya bermanfaat jika sindrom
vena kava superior disebabkan oleh kanker
paru jenis karsinoma sel kecil, walaupun
radioterapi digunakan pada kasus–kasus
2
tertentu.
2
16
trombolitik
dan
Antikoagulan,
17
trombektomi dapat berguna pada penderita
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 1 y Maret 2008
Universitas Sumatera Utara81
Laporan Kasus
sindrom vena kava superior akibat trombosis
intra luminal. Penatalaksanaan menggunakan
stent telah banyak dilaporkan dari beberapa
18,19
institusi dan kelihatan efektif.
Operatif
bypass lebih sesuai pada penderita yang
disebabkan kasus benigna dibanding obstruksi
akibat keganasan, walaupun tindakan operasi
bypass juga dapat dan pernah dilakukan pada
1,20,21
penderita akibat keganasan.
Walaupun kebanyakan terapi sindrom
vena kava superior akibat keganasan ditujukan
sebagai terapi paliatif pernah dilaporkan satu
kasus seorang pria 47 tahun dengan sindrom
vena kava superior disebabkan kanker paru
jenis bukan sel kecil. Penderita tersebut
diberikan kemoradioterapi neoadjuvant yang
berhasil menurunkan staging dari stadium IIIB
(dengan keterlibatan kelenjar peritrakeal
ipsilateral) menjadi stadium I. Kemudian
dilakukan reseksi kelenjar getah bening
mediastinum dan lobektomi lobus atas kanan
paru tanpa tindakan bedah pada vena kava
superior. Hasilnya pasien tetap hidup sampai
60 bulan kemudian tanpa adanya tanda
7
rekuren tumor.
Kembali pada pasien yang kami rawat di
RS. H. Adam Malik. Pada pasien ini dilakukan
radioterapi sebanyak 25 kali, 5 hari berturutturut setiap minggu, dengan dosis total 5000
cGy. Sesudah pasien mendapatkan radioterapi
sebanyak 18 kali pasien datang berobat jalan
ke poli paru. Dilakukan pemeriksaan foto
toraks terlihat pelebaran mediastinum sangat
jauh berkurang dan keluhan sesak nafas dan
vena kolateral di dada sangat berkurang.
Setelah selesai 25 kali radioterapi dilakukan
pemeriksaan foto toraks dan bronkoskopi.
Hasil foto toraks sama seperti sesudah
mendapat radioterapi 18 kali dan pada
bronkoskopi terlihat lumen bronkus sudah
terbuka. Efek samping radioterapi pada pasien
ini adalah adanya demam yang diduga
disebabkan oleh obstruktif pneumonitis, kulit
pada daerah radiasi menjadi hitam kemerahan
serta terasa nyeri, juga timbul batuk darah.
Kemudian penderita diberikan kemoterapi
dengan regimen Cisplatin dan Etoposide
sebanyak 3 siklus. Efek samping dari
kemoterapi adalah mual dan muntah tetapi
keluhan ini tidak terlalu berat. Setelah
mendapat kemoterapi siklus ketiga, pasien PBJ
dan tidak datang lagi untuk kontrol.
82
Dari kemoterapi I hingga ke III dilakukan
foto toraks kontrol beberapa kali dengan hasil
hampir sama dengan sesudah radioterapi.
Hasil bronkoskopi ketiga kalinya juga sama
dengan bronkoskopi sesudah radioterapi.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus kanker paru
disertai sindrom vena kava superior pada
seorang pria berumur 30 tahun. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
yaitu sesak nafas, batuk, pembengkakan pada
wajah, leher dan lengan kanan, adanya
pembuluh darah yang timbul di dada dan
telah dirasakan selama 2 bulan sebelum
datang ke rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik
didapat adanya oedem pada wajah, leher dan
lengan kanan, vena kolateral pada dada dan
pada paru kanan atas dan tengah didapat
perkusi sonor memendek dan suara pernafasan
melemah. Pada foto toraks didapat pelebaran
mediastinum dan pada bronkoskopi didapat
lumen bronkus yang menyempit dan
hiperemis. Diagnosis pasti didapat dari biopsi
jarum halus trans torakal dengan hasil
karsinoma paru jenis bukan sel kecil yaitu
Large Cell.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah
radioterapi dengan dosis total 5000 cGy.
Setelah radioterapi didapatkan pelebaran
mediastinum pada foto toraks, gejala sesak
nafas dan vena kolateral pada dinding dada
sangat berkurang walaupun didapatkan
beberapa efek samping. Hasil bronkoskopi
ulang juga menunjukkan lumen sudah terbuka
dibanding sebelum radioterapi. Setelah
radioterapi diberikan kemoterapi dengan
Cisplatin dan Etoposide sebanyak 3 siklus.
DAFTAR RUJUKAN
1. National Cancer Institute. Superior vena
cava
syndrome.
Available
from
http://www.cancer.gov/cancerinformation/d
oc.aspx.
2. Tonato M, Minotti V. Complication of lung
cancer. In: Hansen HH, editors. Textbook of
lung cancer. London: Martin Dunitz LTD;
2000.p.311-35.
3. Ferguson RJ. Lung cancer. In: Seaton A,
Seaton D, Leitch AG, editors. Crofton and
,
th
Douglas s Respiratory Diseases II, 5 Ed,
London:Blackwell Science; 2000.p.1077123.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
41 y No.
1 y Maret
2008
Universitas
Sumatera
Utara
Bintang Y.M Sinaga
Kemoradioterapi pada Penderita Sindrom Vena Kava ...
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Perhimpunan Onkologi Indonesia. Kanker
Paru Jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil.
Pedoman Nasional untuk Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Percetakan Indah Offset Citra Grafika,
2005.h.21-2.
5. Kallab AM. Superior vena cava syndrome.
Available
from
http://www.emedicine.com/emerg/topic56
1.htm.
6. Van
Meerbeeck
JP.
Bronchogenic
carcinoma. In: Grassi C, Brambilla C,
Costabel U, Stockley RA, Naeije R, Roisin
RR, et al, editors. Pulmonary Diseases,
London: Mc Graw-Hill; 1999.p.325-46.
7. Roberts JR, Bueno R, Sugarbaker DJ.
Multimodality treatment of malignant
superior venal caval syndrome. Chest 1999;
116:835-7.
8. Mc Fadden PM, Jamplis RW. Superior vena
cava syndrome. In: Shields TW, editor.
General thorasic surgery, 3rd ed. Philadelpia:
William & Wilkins; 1994.p. 1716-23.
9. Stockton PA, Ledson MJ, Walshaw MJ.
Persistent superior vena caval syndrome due
to totaly implantable venous access system.
J.R Soc Med 2001; 94:584-5.
10. Roy D, Thompson KC, Price JP. Benign
Superior Vena Cava Syndrome Due to
Suppurative Mediastinal Lymphadenitis:
Anterior Mediastinoscopy Management.
Mayo Clin Proc 1998; 73:1185-7.
11. Modal AK, Almon JC, Harding M, Cheng
S, Slakey DP. Dialysis Access-Induced
Superior Vena Cava Syndrome. The
American Surgeon 2002; 68,10; Proquest
Medical Library pg 904.
12. Olson EJ, Jett JR. Clinical Diagnosis and
Evaluation. In: Hansen HH, editor.
Textbook of lung cancer, London: Martin
Dunitz LTD; 2000.p.141-61.
13. Flower CDR. Radiology. In: Grassi C,
Brambilla C, Costabel U, et al, editors.
Pulmonary Diseases. London: Mc GrawHill; 1999.p.17-25.
14. Susworo R. Radioterapi. Dasar-dasar
Radioterapi.
Tatalaksana
Radioterapi
Penyakit
Kanker.
Jakarta:
Penerbit
Universitas Indonesia, 2007.h.118-9.
15. Margolis ML. Non-small Cell Lung Cancer
– Clinical Aspect, Diagnosis, Staging and
Natural History. In: Fishman AP, Elias JA,
Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior
RM, et al, editors. Fishman,s Pulmonary
Diseases and Disorders, 3rd ed New York:
Mc Graw-Hill;1998.p.1759-81.
16. Gray BH, Olin JW, Graor RA, Young JR,
Bartholomew JR, Ruschhaupt WF. Safety
and Efficacy of Thrombolytic Therapy for
Superior Vena Cava Syndrome. Chest
1991; 99:54-9.
17. Ries M, Zenker M, Girisch M, Klinge J,
Singer H. Percutaneus Endovasculer
Catheter Aspiration Thrombectomy of
Severe Superior Vena Cava Syndrome. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002; 87: F64F66.
18. Kee ST, Kinoshita L, Razavi MK, Nyman
UR, Semba CP, Dake MD. Superior Vena
Cava Syndrome: Treatment with Catheter
Directed Thrombolysis and Endovascular
Stent Placement. Radiology 1998; 206:18793.
19. Lau KY, Tan LTH, Wong WWC, Lee ASL.
Brachiocephalic Superior Vena Cava
Metallic Stenting in Malignant Superior
Vena Cava Obstruction. Ann Acad Med
Singapore 2003; 32:461-5.
20. Venuta F, Rendina EA, Coloni GF. Surgery
of the Superior Vena Cava: Resection and
Reconstruction.
Available
from
http://www.ctsnet.org/doc/8320.
21. Lequaglie C, Conti B, Brega-Massone PP,
Giudice G. The Difficult Approach to
Neoplastic Superior Vena Cava Syndrome:
Surgical Option. J. Cardiovasc Surg 2003;
44:667-71.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 1 y Maret 2008
Universitas Sumatera Utara83
Download