BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HAMA Plutella xylostella Hama

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
HAMA Plutella xylostella
Hama dalam arti luas adalah semua jenis gangguan baik pada manusia,
ternak dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan
dengan kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak
tanaman yang mana aktivitas hidupnya dapat menimbulkan kerugian secara
ekonomis. Adanya suatu hewan dalam satu tanaman sebelum menimbulkan
kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian ini belum termasuk hama.
Namun demikian potensi mereka sebagai hama nantinya perlu dimonitor
dalam suatu kegiatan yang disebut pemantauan (monitoring). Secara garis
besar hewan yang dapat menjadi hama dapat dari jenis serangga, moluska,
tungau, tikus, burung atau mamalia besar. Mungkin di suatu daerah hewan
tersebut menjadi hama, namun di daerah lain belum tentu menjadi hama
(Dadang, 2006: 1)
1.
Konsep Munculnya Hama
Konsep munculnya hama dapat digolongkan menjadi tiga kelompok
yaitu:
a.
Adanya proses pembukaan lahan baru dimana terjadi perubahan
ekosistem menjadi tidak seimbang lagi, misalnya terjadi
penurunan bahkan musnahnya musuh alami sehingga populasi
hama meningkat drastis dan menimbulkan kerusakan. Ekosistem
pertanian akibat pembukaan lahan baru biasanya akan membuat
9
kondisi tidak stabil. Kemudian, penanaman secara monokultur
akan berpotensi terjadinya dominasi suatu organisme pada
ekosistem tersebut. Penanaman monokultur akan menyediakan
sumber makanan yang sangat melimpah untuk satu organisme
sehingga populasi organisme tersebutakan berkembang dengan
cepat sementara faktor pembatas seperti musuh alami mungkin
kurang.
b.
Introduksi tanaman baru ke suatu lokasi. Kejadian ini dipahami
dari dua arah yaitu tanaman tersebut memang tidak membawa
hama namun perkembangan tanaman tersebut dapat merubah
status tanaman tersebut menjadi gulma dan keberadaanya sangat
membahayakan tanaman budidaya.
c.
Selain itu perubahan persepsi manusia juga dapat menentukan
status hama, salah satunya di ukur dari ambang ekonomi. Hewan
dapat berubah statusnya menjadi hama jika populasinya sudah
melebihi atau di atas ambang ekonomi. Dengan semakin
meningkatnya pemahaman konsumen terhadap kualitas produk
maka pihak produsen akan berusaha memenuhi keinginan
konsumen tersebut. Dengan demikian keberadaan hama di
lapangan lebih diperhatikan dalam arti tindakan pengendalian
lebih digiatkan agar produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan
konsumen (Dadang, 2006: 2)
10
Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) adalah salah satu hama
utama pada tanaman. Larva merusak tanaman dengan cara menggigit,
mengunyah kemudian memakan permukaan bawah daun. Bagian daun akan
berwarna putih transparan, pada kerusakan berat hanya tertinggal tulang
daun. (Siahaya dan Rumthe, 2014:112)
2.
Klasifikasi Hama Plutella xylostella
Klasifikasi ulat kubis (Plutella xylostella ) menurut Kalshoven (1981)
adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Plutellidae
Genus
: Plutella
Spesies
: Plutella xylostella
Plutella xylostella adalah serangga kosmopolitan pada daerah
tropis dan daerah subtropis. Di Indonesia saat ini penyebaranya bukan
hanya di daerah pegunungan tetapi saat ini sudah menyebar sampai di
dataran rendah. P. xylostella memiliki kisaran inang yang luas. Banyak
jenis kubis, sawi dan beberapa tanaman silangan lainnya, termasuk
Raphanaus sativius (lobak). Ulat kubis banyak memakan daun muda
11
dibanding daun tua. Jenis kerusakan oleh ulat ini sangat khas: daun
menampilkan jendela putih tidak teratur (Kalshoven, 1981).
3.
Biologi hama Plutella xylostella
Ulat Plutella xylostella disebut juga hama bodas, hama krancang
atau hama wayang. Tanaman inangnya antara lain kubis, lobak, sawi
dan tanaman lain yang termasuk dalam keluarga Cruciferae., ulat 12
hari, pupa 6-7 hari dan kupu-kupu 20 hari. (Rukmana, Rahmad, 1997:
76)
Gambar 1. Siklus hidup Plutella xylostella
Foto: Tonny K. Moekasan
a.
Telur
Bentuk telur bulat panjang dengan lebar kurang lebih
0,26mm dan panjang 0,49mm. Di daerah panas sampai ketinggian
250 meter dari permukaan air laut stadium telur hanya dua hari. Di
12
dataran tinggi berketinggian 1.100m – 1.200m dari permukaan air
laut umurnya lebih panjang, yaitu stadium telur 3-4 hari.
Umumnya telur diletakan pada permukaan bawah daun.
Untuk oviposisi Plutella xylostella peran faktor fisik tumbuhan
sangat besar. Permukaan daun yang berlekuk-lekuk lebih disukai
sebagai tempat oviposisi. Permukaan bawah daun lebih dipilih
untuk oviposisi dibandingkan dengan permukaan atas karena
lekuk-lekuk lebih memudahkan imago untuk meletakkan telurnya.
(Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 85).
b.
Larva
Ulat yang baru menetas berwarna hijau pucat, sedangkan
yang lebih tua warnanya lebih hijau dengan kepala pucat serta
terdapat bintik-bintik cokelat. Panjang ulat 5mm-10mm. Larva
mempunyai lima pasang proleg, sepasang proleg menonjol keluar
dari ujung posterior membentuk huruf V yang jelas (CABI.2015)
Gambar 2. Larva Plutella xylostella
Foto: Dokumentasi pribadi
13
Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak
berbulu dan mempunyai lima pasang proleg. Larva Plutella
xylostella terdiri atas empat instar. Larva lincah dan jika tersentuh
akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri pada benang
halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena
memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning. Pada
ketinggian 1100-2000 mdpl stadium larva lebih panjang yaitu 12
hari dan dibawah ketinggian 250 mdpl lebih pendek yaitu 9 hari
(Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 96). Rata-rata lamanya
stadium larva instar ke satu adalah 3,7 hari, larva instar ke dua
adalah 2,1 hari, larva instar ke 3 adalah 2,7 hari dan larva instar ke
empat adalah 3,7 hari (Sastrosiswodjo, et. al.2005:8).
c.
Pupa
Setelah cukup umur, ulat mulai membentuk kepompong dari
bahan seperti benang sutera abu-abu putih dibalik permukaan daun
untuk menghindari panasnya sinar matahari. Pembentukan
kepompong mulai dari dasarnya, sisinya kemudian tutupnya.
Kepompong masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan
pernafasan. Pembuatan kepompong ini diselesaikan dalam waktu
24 jam. Setelah selesai, ulat berubah menjadi pupa. Kulit ulat
biasanya diletakkan di dalam kepompong namun kadang juga di
luar kepompong (Pracaya, 2007: 114)
14
Gambar 3. Pupa Plutella xylostella
Sumber: Dokumentasi pribadi
Pupa mulanya berwarna hijau, selanjutnya berwarna kuning
pucat, dengan warna kecoklatan pada bagian punggungnya.
Panjang pupa 5-6 mm dengan diameter 1,2-1,5 mm. pupa tertutup
oleh kokon, dengan masa pupa 3-6 hari (Sudarmo.1994)
d.
Ngengat
Gambar 4. Ngengat Plutella xylostella
Sumber:
http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth03.jpg
15
Warna sayap ngengat abu-abu kecoklatan. Warna sayap
betina agak pucat. Pada saat istirahat kedua sayapnya menutupi
tubuh dan seakan akan ada gambar seperti jajaran genjang yang
berwarna putih seperti berlian, oleh karena itu, ngengat ini disebut
dengan ngengat punggung berlian (Pracaya, 2007: 113). Ngengat
betina mampu bertelur sebanyak 180-320 butir telur dan diletakan
pada bagian bawah daun tanaman. Ngengat menghisap madu
keluarga Cruciferae. Musuh alami yang dapat menghambat
perkembangan ulat ini antara lain burung gereja, prenjak dan
capung. (Rukmana, Rahmad, 1997: 76-77)
4.
Aktifitas Makan Hama Plutella xylostella
Serangga akan menghadapi dua ha1 untuk memulai aktivitas
makannya yaitu yang pertama adanya rangsangan-rangsangan untuk
inisiasi aktivitas makan (feeding stimulant) dalam tanaman yang
memberikan masukan isyarat untuk pengenalan jenis makanan dan
menjaga aktivitas makan, dan yang kedua adalah pendeteksian
kehadiran senyawa-senyawa asing (foreign compound) yang dapat
bersifat sebagai penghambat makan sehingga dapat memperpendek
aktivitas makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama
sekali (Dadang dan Kanju, 2000: 30). Hama ini aktif makan pada
malam hari (nocturnal).
16
5.
Kerusakan yang diakibatkan hama
Ulat Plutella xlostella dapat menyerang tanaman mulai dari
proses pembibitan sampai dengan saat panen. Hingga saat ini
pengendalian hama Plutella xylostella di Indonesia masih ditujukan
pada pengendalian secara kimia saja (Sembel, 2010: 214). Serangan
hama ini sangat cepat sehingga dalam waktu beberapa hari saja
tanaman yang diserang sudah menjadi rusak (Surachman dan Widada,
2007: 55-56)
Gambar 5. Kerusakan Akibat Serangan Hama Plutella xylostella
Sumber: Dokumentasi pribadi
Ulat bersembunyi di bagian bawah daun sambil makan. Biasanya
yang dimakan ulat hanya daging daun. Kulit ari pada bagian permukaan
daun sebelah atas tidak dimakan sehingga disebut juga hama putih
(hama bodas). Jika kulit ari yang diserang menjadi kering, daunnya akan
sobek dan kelihatan berlubang-lubang. Apabila serangan menghebat,
yang tertinggal hanyalah tulang daun sehingga bentuk daun seperti
17
wayang kulit. Oleh karena itu ada yang menyebut hama ini sebagai hama
wayang (Pracaya, 2007: 112)
B.
TANAMAN SAWI (Brassica juncea (L.))
Keadaan alam Indonesia memungkinkan dilakukan pembudidayaan
berbagai jenis tanaan sayuran, baik yang lokal maupun yang berasal dari
luar negeri. Hal tersebut menyebabkan Indonesia ditinjau dari aspek
klimatologis sangat potensial dalam usaha bisnis sayuran. Diantara
bermacam-macam jenis sayuran yang dibudidayakan di Indonesia adalah
sawi yang memiliki nilai komersial dan prospek yang baik. Selain ditinjau
dari aspek klimatologis, aspek teknis, dan aspek ekonomi, aspek sosial juga
sangat mendukung, sehingga sawi memiliki kelayakan untuk diusahakan di
Indonesia (Haryanto, 2003).
Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang
dimanfaatkan daun atau bunganya sebagai bahan pangan (sayuran), baik
segar maupun diolah. Sawi mencakup beberapa spesies Brassica yang
kadang-kadang mirip satu sama lain. Di Indonesia penyebutan sawi
biasanya mengacu pada sawi hijau (disebut juga sawi bakso, caisim, atau
caisim). Selain itu, terdapat pula sawi putih (disebut juga petsai) yang biasa
dibuat sup atau diolah menjadi asinan. Jenis lain yang kadang-kadang
disebut sebagai sawi hijau adalah sawi sayur (untuk membedakannya
dengan
caisim)
(Haryanto,
2003).
Pengembangan
budidaya
sawi
mempunyai prospek baik untuk mendukung upaya peningkatan pendapatan
petani, gizi masyarakat, perluasan kesempatan kerja, pengembangan
18
agribisnis, peningkatan pendapatan negara melalui pengurangan impor dan
memacu laju pertumbuhan ekspor. Kelayakan pengembangan budidaya sawi
antara lain ditunjukkan oleh adanya keunggulan komparatif kondisi wilayah
tropis Indonesia yang sangat cocok untuk komoditas tersebut. Di samping
itu, umur panen sawi relatif pendek dan hasilnya memberikan keuntungan
yang memadai (Arinong dkk., 2008: 76).
Tabel 1. Produktivitas tanaman sawi DIY
Daerah Istimewa Yogyakarta
Indikator
Satuan
Luas panen
Ha
613
635
604
525
518
588
Ton
6756
7157
6603
6447
5605
64524
Ton/Ha
11,020
11,270
10,932
12,280
10,821
109,73
Produksi
Produktivitas
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasilKom.asp
Tabel 1 di atas merupakan data produktivitas tanaman sawi DIY dari
tahun 2010 hingga 2015. Produktivitas tanaman sawi tertinggi adalah pada
tahun 2013 dengan produktivitas sebanyak 12.280 ton/Ha dan produktivitas
terendah pada tahun 2011 yaitu sebanyak 10,270 ton/Ha.
1.
Jenis-jenis Sawi (Brassica juncea (L.))
Petani Indonesia di masa lalu hanya mengenal tiga macam jenis
sawi yang biasanya dibudidayakan yaitu sawi putih, sawi hijau, dan
sawi huma. Saat ini, konsumen lebih mengenal sawi caisim alias sawi
19
bakso. Selain jenis-jenis sawi tersebut dikenal pula jenis sawi keriting
dan sawi monumen (Haryanto dkk, 2003: 9).
a.
Sawi putih atau sawi jabung
Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena memiliki rasa yang
paling enak di antara sawi jenis lainnya. Tanaman ini dapat
dibudidayakan di tempat yang kering. Bila sudah dewasa jenis
sawi ini memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua.
Tangkainya panjang, tetapi lemas dan halus. Batangnya pendek,
tetapi tegap dan bersayap (Haryanto dkk, 2003: 10).
b.
Sawi hijau atau sawi asin
Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi
sebagai bahan sayur segar karena rasanya agak pahit. Rasa pahit
pada daun sawi hijau dapat dihilangkan dengan cara pengasinan
(Haryanto dkk, 2003: 10).
Sawi hijau berukuran lebih kecil dibandingkan sawi jabung
atau sawi putih. Daun sawi jenis ini lebar seperti daun sawi
putih, tetapi warnanya lebih hijau tua. Batangnya sangat pendek,
tetapi tegap. Tangkai daunnya agak pipih, sedikit berliku, tetapi
kuat. Varietas sawi hijau banyak dibudidayakan di lahan yang
kering , tetapi cukup pengairannya (Haryanto dkk, 2003: 10).
20
c.
Sawi huma
Jenis sawi ini baik jika ditanam di tempat-tempat yang
kering, seperti tegalan dan huma. Tanaman ini biasanya ditanam
setelah usai musim penghujan karena sifatnya yang tidak tahan
terhadap genangan air (Haryanto dkk, 2003: 10).
Sawi huma daunnya sempit, panjang, dan berwarna
hijaukeputih-putihan. Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau,
sawi huma berbatang kecil, tetapi panjang. Tangkainya
berukuran sedang seperti bersayap (Haryanto dkk, 2003: 11).
d.
Caisim alias sawi bakso
Caisim alias sawi bakso (ada juga yang menamakannya
sawi cina) merupakan jenis sawi yang paling banyak dipasarkan
di kalangan konsumen (Haryanto dkk, 2003: 11). Tangkai
daunnya panjang, langsing, dan berwarna putih kehijauan.
Daunnya lebar memanjang, tipis, dan berwarna hijau. Rasanya
yang renyah dan segar dengan sedikit sekali rasa pahit, membuat
sawi ini banyak diminati. Selain enak ditumis atau dioseng,
caisim banyak dibutuhkan oleh pedagang mi bakso, mi ayam,
atau
restoran
masakan
cina.
Tak
mengherankan
jika
permintaannya setiap hari amat tinggi (Haryanto dkk, 2003: 1112).
21
e.
Sawi keriting
Ciri khas sawi ini adalah daunnya yang keriting. Bagian
daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai daun.
Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang keriting,
jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa (Haryanto dkk,
2003: 12).
f.
Sawi monumen
Sawi monumen tumbuhnya amat tegak dan berdaun
kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai.
Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan
tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya berwarna hijau
segar. Jenis sawi ini tergolong terbesar dan terberat diantara jenis
sawi lainnya (Haryanto dkk, 2003: 12).
2.
Klasifikasi Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.))
Di Indonesia dikenal tiga jenis sawi yaitu: sawi putih atau sawi
jabur, sawi hijau dan sawi huma. Sawi putih (B. juncea L. Var. Rugosa
Roxb. Prain) memiliki batang yang pendek, tegap dan daun lebar
berwarna hijau tua, tangkai daun panjang dan bersayap melengkung
kebawah. Sawi hijau, memiliki ciri-ciri batang pendek, daun berwarna
hijau keputih-putihan, serta rasanya agak pahit, sedangkan sawi huma
memiliki ciri-ciri batang kecil panjang dan langsing, daun panjang
sempit berwarna hijau keputih-putihan serta tangkai daun panjang dan
bersayap (Rukmana, 1994: 18)
22
Sawi (Brassica juncea L.) masih satu famili dengan kubis-krop,
kubis bunga, broccoli dan lobak atau rades, yakni famili Cruciferae
(Brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir
sama, terutama pada sistem perakaran, struktur batang, bunga, buah
maupun bijinya.
Klasifikasi sawi dalam (Rukmana, 2002: 4) sebagai berikut :
3.
Kingdom
: Plantae
Phylum
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Ordo
: Papavorales
Suku
: Brassicaceae
Genus
: Brassica
Spesies
: Brassica juncea (L.)
Morfologi Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.))
Gambar 6. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)
Sumber: Dokumentasi Pribadi
23
Tanaman sawi umumnya mudah berbunga secara alami, baik di
dataran rendah maupun dataran tinggi. Sistem perakaran sawi memiliki
akar tunggang (radix primaria) dan cabang-cabang akar yang
bentuknya bulat panjang (silindris) menyebar kesemua arah dengan
kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi antara lain
mengisap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan
berdirinya batang tanaman (Heru dan Yovita, 2003). Batang sawi
pendek sekali dan beruas-ruas sehingga hampir tidak kelihatan. Batang
ini berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun (Rukmana,
2002: 4). Sawi berdaun lonjong, halus, tidak berbulu dan tidak
berkrop. Pada umumnya pola pertumbuhan daunnya berserak (roset)
hingga sukar membentuk krop (Sunarjono, 2004).
Tanaman sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat ditanam
sepanjang tahun. Pada musim kemarau yang perlu diperhatikan adalah
penyiraman secara teratur, tanaman ini cocok bila di tanam pada akhir
musim penghujan (Margiyanto, 2007). Tanah yang cocok untuk
ditanami sawi adalah tanah yang subur, gembur dan banyak
mengandung bahan organik (humus), tidak menggenang (becek), tata
aerasi dalam tanah berjalan dengan baik. Derajat kemasaman (pH)
tanah yang optimum untuk pertumbuhannya adalah antara pH 6
sampai pH 7 (Haryanto dkk, 2003: 25). Biasanya tanaman ini
dibudidayakan di daerah yang berketinggian 100-500 mdpl. Sebagian
24
besar daerah-daerah di Indonesia memenuhi syarat ketinggian tersebut
(Haryanto,dkk, 2003: 24)
Tanaman ini dapat melakukan fotosintesis dengan energi yang
cukup, cahaya matahari merupakan sumber yang diperlukan tanaman
untuk proses fotosintesis. Energi kinetik matahari yang optimal
diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi berkisar antara
350-400 cal/cm2 setiap hari, sawi hijau memerlukan cahaya matahari
tinggi. Kondisi iklim yang dikehendaki untuk pertumbuhan tanaman
sawi adalah daerah yang mempunyai suhu malam hari 15,6 oC dan
siang 21,1oC serta penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari.
Meskipun demikian, beberapa varietas sawi tahan terhadap suhu panas,
dapat tumbuh dan produksi dengan baik di daerah dengan suhu antara
27o-32oC (Rukmana, 2004: 34)
Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat
gizi yang cukup lengkap sehingga apabila dikonsumsi sangat baik
untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Kandungan gizi setiap 100 g
bahan yang dapat dimakan pada sawi hijau adalah :
25
Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100gr sawi
No
Komposisi
Jumlah
1
Kalori
22,00 k
2
Protein
2,30 g
3
Lemak
0,30 g
4
Karbohidrat
4,00 g
5
Serat
1,20 g
6
Kalsium
220,50 mg
7
Fosfor
38,40 mg
8
Besi
2,90 mg
9
Vitamin A
969,00 SI
10
Vitamin B1
0,09 mg
11
Vitamin B2
0,10 mg
12
Vitamin B3
0,70 mg
13
Vitamin C
102,00 mg
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI 1979
Manfaat sawi sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal di
tenggorokan pada penderita batuk. Penyembuh penyakit kepala, bahan
pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal serta memperbaiki dan
memperlancar pencernaan. Sedangkan kandungan yang terdapat pada
sawi adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, vitamin A, Vitamin
B dan Vitamin C (sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI,
1981)
4.
Hama penyerang tanaman sawi (Brassica juncea (L.))
Beberapa hama penyerang tanaman Curcurifeae (kubis, sawi,
petsai) antara lain ulat Agrotis, ulat Crocidolomia, ulat Plutella, ulat
Spodoptera dan kutu daun Aphis.penyakit yang ditimbulkan antara lain
busuk lunak, busuk hitam, akar ganda dan bercak daun. Masing-msing
hama juga menyerang tanaman pada umur yang berbeda, ulat Agrotis
menyerang tanaman yang sedang disemai hingga beberapa minggu
26
setelah tanaman di lapang. Pembasmiannya menggunakan pestisida
berbentuk granula (Tjahjadi, 1989: 106).
Dalam pembasmian ulat Plutella xylostella dengan obat-obatan
yang mengandung zat phospor, gejala-gejala kekebalan tampak jelas,
bilamana petani mempergunakan sejenis obat terus menerus. Untuk
menghindari timbulnya kekebalan terhadap sesuatu insektisida maka
perlu
diadakan
pergantian
obat
selama
masa
pengobatan
(Rismunandar, 1986: 90)
C.
TEMBAKAU (Nicotiana tabacum)
Tembakau adalah bahan baku dari pembuatan rokok yang sangat
digemari orang Indonesia. Tembakau Indonesia di ekspor ke berbagai
Negara di dunia, karena tembakau Indonesia merupakan tembakau dengan
kualitas terbaik. Distribusi geografis tanaman tembakau di Indonesia adalah
di daerah Deli (Sumatera Utara), Temanggung (Jawa Tengah), Madura,
Boyolali, Klaten, Jember dan Lombok Timur.
1.
Klasifikasi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)
Tembakau adalah tanaman musiman yang tergolong dalam
tanaman perkebunan. Tanaman tembakau diklasifikasikan sebagai
berikut :
27
Gambar 7. Tanaman Tembakau
Sumber:https://litbangjember.files.wordpress.com/2012/10/varietas-h382.jpg. Diakses pada 17 Januari 2017
Klasifikasi Tanaman Tembakau
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Personatae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Nicotiana
Spesies
: Nicotiana tabaccum. L. (Matnawi, 1997)
2.
Morfologi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)
Tanaman tembakau mempunyai bagian–bagian sebagai berikut:
a.
Akar Tanaman tembakau berakar tunggang menembus ke dalam
tanah sampai kedalaman 50–75 cm, sedangkan akar kecilnya
menyebar ke samping. Tanaman tembakau juga memiliki bulu
akar.
Perakaran
tanaman
28
tembakau
dapat
tumbuh
dan
berkembang baik dalam tanah yang gembur, mudah menyerap
air dan subur.
b.
Batang tanaman tembakau agak bulat, lunak tetapi kuat, makin
ke ujung makin kecil. Ruas batang mengalami penebalan yang
ditumbuhi daun, dan batang tanaman tidak bercabang atau
sedikit bercabang. Pada setiap ruas batang selain ditumbuhi daun
juga tumbuh tunas ketiak daun, dengan diameter batang 5 cm.
Fungsi dari batang adalah tempat tumbuh daun dan organ
lainnya, tempat jalan pengangkutan zat hara dari akar ke daun,
dan sebagai jalan menyalurkan zat hasil asimilasi ke seluruh
bagian tanaman.
c.
Bentuk daun tembakau adalah bulat lonjong, ujungnya
meruncing, tulang daun yang menyirip, bagian tepi daun agak
bergelombang dan licin. Daun bertangkai melekat pada batang,
kedudukan daun mendatar atau tegak. Ukuran dan ketebalan
daun tergantung varietasnya dan lingkungan tumbuhnya. Daun
tembakau tersusun atas lapisan palisade parenchyma pada bagian
atasnya dan spongy parenchyma pada bagian bawah. Jumlah
daun dalam satu tanaman berkisar 28–32 helai, tumbuh
berselang–seling mengelilingi batang tanaman. Daun tembakau
cerutu diklasifikasikan menurut letaknya pada batang, yang
dimulai dari bawah ke atas dibagi menjadi 4 klas yakni : daun
pasir (zand blad), kaki (voet blad), tengah, (midden blad), atas
29
(top blad). Sedangkan daun tembakau Virginia pada dasarnya
dibagi menjadi 4 kelas, yakni: daun pasir (lugs), bawah dan
tengah (cutters), atas (leaf), dan pucuk (tips). Bagian dari daun
tembakau Virginia yang mempunyai nilai tertinggi adalah daun
bawah dan tengah menyusul daun atas, sedang daun pasir dan
pucuk hampir tidak bernilai kecuali untuk tembakau rajangan
(Abdullah, 1982)
d.
Bunga majemuk yang terdiri dalam beberapa tandan yang
masing-masing berisi sekitar 15 bunga. Bentuknya seperti
terompet dan panjang. Bunga pada tanaman tembakau dibedakan
menjadi beberapa bagian yaitu kelopak bunga, mahkota bunga,
bakal buah dan kepala putik. Mahkota bunga berbentuk
terompet, warna merah jambu dan merah muda, terdapat lima
benang sari satu lebih pendek dari yang lain. Kepala putik
terletak pada tabung bunga yang berdekatan dengan benang sari.
Bakal buah di atas dasar bunga terdiri dari dua ruang yang dapat
membesar. Terdapat banyak bakal biji pada ruang-ruang
tersebut. Penyerbukan pada bakal buah akan membentuk buah.
Buah tembakau nantinya akan masak dalam waktu tiga minggu.
Buah tembakau berbentuk bulat lonjong dan berukuran kecil
serta terdapat biji di dalamnya (Hanum, 2008; Denda Astra,
2016: 8)
30
3.
Kandungan Zat Kimia Tembakau
Tembakau memiliki kandungan zat-zat seperti gula, fenol, nitrat
dan nikotin denga rincian presentase di bawah ini:
Tabel 3. Susunan senyawa kimia dari daun tembakau
Uraian
Jumlah %
Gula
0,4-2,5
Fenol
0,0-0,5
Nitrat
1,0-2,0
Nikotin:
1. Pada daun bawah
0,16-2,89
2. Pada daun tengah
0,3-3,75
3. Pada daun atas
0,5-4,0
Kandungan N total
2,18-3,58
Sumber: (Cahyono, 1998; Denda Astra, 2016: 9)
Berikut ini merupakan senyawa kimia pada tembakau yang larut
dalam air (polar):
Tabel 4. Senyawa kimia batang tembakau dalam ekstrak air
No
Senyawa
Akuades
1.
Saponin
+
2.
Tanin
3.
Flavonoid
+
4.
Terpeniod
+
5.
Napthoquinone
6.
Alkaloid
+
7.
Inulin
+
8.
Karbohidrat
9.
Fenol
Sumber: (sharma et al.2016; Denda Astra, 2016: 10)
Keterangan: (+) ada, (-) tidak ada
31
Pada tanaman tembakau beberapa macam alkaloid yang dapat
dimanfaatkan sebagai insektisida diantaranya adalah nikotin. Senyawa
kimia pada tanaman tembakau yang dapat di ekstraksi menggunakan
air yaitu alkaloid, saponin, flavonoid, terpenoid.
1.
Alkaloid
Nikotin merupakan kelompok alkaloid yang diekstraksi
dari tanaman tembakau. Nikotin tidak berwarna, tetapi jika
dibiarkan dan mengalami kontak langsung dengan udara nikotin
akan berwarna coklat. Nikotin merupakan kelompok alkaloid
toksik yang bersifat basa lemah dengan pH 8,0. Karena nikotin
mempunyai racun yang tinggi maka dapat digunakan sebagai
bioinsektisida.
2.
Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan glikosida
triterpenoid ataupun glikosida steroida yang bersifat seperti
sabun. Saponin ini di deteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Saponin
merupakan senyawa yang memiliki rasa pahit dan bersifat racun
(Harborne, 1987; Denda Astra, 2016: 12)
3.
Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu senyawa fenolik yang terdapat
pada jaringan tumbuhan dan berperan sebagai antioksidan.
Senyawa ini berperan sebagai antioksidan dengan cara
32
mendonasikan atom hidrogennya (Abdi, 2010; Denda Astra,
2016: 12). Menurut Harborne (1987) senyawa isoflavon
merupakan
salah
satu
kelompok
dari
flavonoid
yang
dimanfaatkan sebagai Bioinsektisida.
4.
Terpenoid
Terpenoid merupakan komponen tumbuhan yang diisolasi
dari bahan nabati yang disebut minyak astiri. Senyawa ini
terdapat dalam lapisan daun dan dalam buah, berfungsi sebagai
pelindung dan menolak serangga dan mikroba (Harborne, 1987;
Denda Astra, 2016: 13)
Kemampuan tembakau dalam membunuh hama disebabkan
karena kandungan senyawa aktif yang terkandung di dalamnya yaitu
nikotin (Afifah, fika, 2015: 28).
Daya kerja fisiologi:
1.
Beracun untuk semua bentuk kehidupan hewan, jika zat racun
tersebut terdapat pada tempat alat indera (lewat mulut atau
kulit).
2.
Beberapa serangga atau hewan tidak peka terhadap nikotin,
mungkin karena perbedaan sifat permeabilitas membran pada
masing-masing jenis hewan atau serangga.
3.
Menyebabkan kejang dan hewan akan mati tetanus.
33
Dikarenakan daya kerja di atas maka pada hewan atau serangga
dapat terjadi beberapa hal seperti dibawah:
1.
Terjadi aktivitas mendadak pada pusat syaraf.
2.
Kerja nikotin berlawanan (antagonis) dengan antropin.
3.
Kombinasi nikotin dengan reseptor tak reversibel
Insektisida merupakan racun bagi serangga, dapat memasuki
tubuh serangga melalui berbagai bagian tubuh:
1.
Dinding Tubuh
Dinding tubuh merupakan bagian tubuh serangga yang
dapat menyerap insektisida dalam jumlah yang besar. Bagian ini
tersusun
atas
Epikutikula
yang terdiri
dari
lipoprotein
terkonjugasi atau terdiri dari protein dan lemak yang terpisah.
Dapat pula berisi amina. Paraffin, asam lemak, alkohol,
aldehida, keton dan ester hampir selalu ada.
Didalam
eksokutikula dan endokutikula terdapat protein-bersamak
disamping kitin. Kitin merupakan bagian terbesar dari
eksokutikula
2.
Jalan Pernafasan
Berbeda dengan hewan menyusui atau burung, reptil dan
ampibi, serangga tidak bernafas dengan paru-paru, tetapi dengan
sistem tabung yang disebut dengan trakhea. Trakhea ini
memiliki muara pada dinding tubuh dan disebut stigma atau
spirakel.
34
Trakhea selalu terbuka dan di dalamnya terdapat cincin
spirakel yang terbuat dari kitin. Trakhea bercabang kecil-kecil,
disebut trakheola dan dapat mencapai jaringan tubuh serangga.
Udara dan oksigen memasuki trakhea secara difusi dibantu
dengan gerakan abdomen. Oksigen akan langsung berhubungan
dengan jaringan. Insektisida dapat masuk kedalam sistem
pernafasan dalam bentuk gas ataupun butir-butir halus yang
dibawa ke jaringan-jaringan hidup.
3.
Alat Pencernaan Makanan
Alat pencernaan serangga terdiri dari tiga bagian, yaitu
bagian depan, tengah dan belakang. Bagian depan dan belakang
memiliki susunan yang mirip dinding tubuh. Dengan demikian
penyerapan pada bagian depan dan belakang sama seperti
bagian dinding tubuh. Dalam hal ini bagian tengah alat
pencernaan
makanan
tidak
memiliki
peran
khusus.
(Sastrodihardjo, 1979: 57-58).
D.
PESTISIDA SINTETIK
Pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh)
dan secara umum pengertian pestisida ini sangatlah luas yang mencakup
produk-produk yang digunakan dibidang pengelolaan tanaman (pertanian,
perkebunan,
kehutanan),
peternakan,
kesehatan
hewan,
perikanan,
penyimpanan hasil pertanian, pengawetan hasil hutan, kesehatan masyarakat
(termaksud,
pengendalian
vektor
35
penyakit
manusia),
bangunan
(pengendalian rayap), pestisida rumah tangga, fumigasi serta pestisida
industri (Nikada, 2012).
Proses penyebaran pestisida ke lingkungan (udara dan air) yaitu
melalui penyemprotan pestisida yang terbawa angin (driff). Sebab utama
terjadinya pencemaran lingkungan oleh pestisida adalah pengendapan
(deposit) dan residu pestisida. Deposit ialah bahan kimia pestisida yang
terdapat pada suatu permukaan pada saat segera setelah penyemprotan atau
aplikasi pestisida, sedangkan residu ialah bahan kimia pestisida yang
terdapat di atas atau di dalam suatu benda dengan implikasi penuaan
(aging), perubahan(alteration) atau kedua-duanya. Residu permukaan atau
residu efektif adalah banyaknya materi yang tertinggal, misalnya pada
tanaman setelah aplikasi (Pohan, 2004).
Pestisida sintetik Dursban adalah salah satu pestisida yang spesifik
untuk memberantas hama pada tanaman sawi. Kandungan dalam pestisida
sistetik ini adalah klorpirifos, merupakan zat kimia yang mempunyai
dampak sebagai racun kontak, racun lambung dan racun pernafasan.
E.
PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)
Pada umumnya budidaya tanaman sayuran masih banyak kendala
yang dihadapi. Salah satu diantaranya adalah serangan hama yang dapat
menurunkan hasil panen. Ratarata serangan oleh hama penusuk pengisap
dapat menurunkan hasil panen sebanyak 40%-80%, serangan oleh lalat buah
dapat menimbulkan kerugian 12%-27%. Menurut Kardinan (1997),
36
kehilangan hasil panen keseluruhan yang yang diakibatkan oleh organisme
pengganggu tanaman dapat mencapai 40%- 55%. (Pasetriyani,2010: 34)
PHT adalah cara pendekatan dalam pengendalian hama yang
didasarkan pada pertimbangan ekologi. Selain pertimbangan ekologi juga
termaktub efisiensi ekonomi dalam kerangka pengelolaan agro ekosistem
secara menyeluruh. PHT merupakan instrumen penting bagi mendorong
peningkatan produktivitas hasil pertanian dan sekaligus berperan dalam
pelestarian lingkungan. Karena konsep PHT teruji dalam sikap dan
perbuatan yang ramah lingkungan. PHT berawal dari kesadaran manusia
terhadap bahaya penggunaan pestisida yang terus meningkat baik bagi
lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat. PHT mengendalikan hama
secara alami. Pengendalian hama secara alami adalah pengendalian hama
yang terjadi di alam tanpa campur tangan manusia. Kita tahu, alam terdiri
atas faktor fisik atau non hayati dan hayati . Faktor tersebut dapat menjadi
pembatas atau penyekat perkembangbiakan hama.
Penggunaan teknik pengendalian hama dalam konsep PHT adalah
sebagai berikut:
a.
Secara kultur teknis menggunakan varietas resisten, mengatur pola
bertanam.
b.
Secara biologis menggunakan musuh-musuh alami.
c.
Secara mekanis atau fisis misalnya ditangkap, penggunaan umpan
beracun dan penggunaan perangkap.
37
d.
Secara kimia menggunakan pestisida selektif, seminimal mungkin atau
menggunakan pestisida biorasional, dan pestisida botani. Jadi dalam
pengendalian hama terpadu perlu dikembangkan upaya pengendalian
hama tanaman sayuran yang kompatibel sehingga dapat mengurangi
penggunaan pestisida kimia (Pasetriyani, 2010: 35)
Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) berkembang dan
diterapkan sampai saat ini oleh karena dilandasi oleh beberapa prinsip dasar
sebagai berikut:
a.
Pemahaman Sifat Dinamika Ekosistem Pertanian
Usaha pengendalian hama, adalah salah satu cara dari proses
produksi pertanian guna memperoleh hasil semaksimal mungkin dari
lahan pertanian bagi kepentingan petani dan masyarakat luas.
Sedangkan proses produksi pertanian meliputi berbagai kegiatan
pengelolaan lingkungan pertanian atau agro-ekosistem yang ditujuan
untuk pencapaian sasaran produktivitas tertentu. Jadi PHT merupakan
bagian integral dari pengelolaan agro-ekosistem. Oleh karena itu agar
diperoleh hasil pengendalian hama yang baik diperlukan pemahaman
tentang sifat agro-ekosistem yang sedang dikelola.
Sama dengan sifat dari ekosistem-ekosistem lain di biosfer agroekosistem dikuasai oleh kaidah-kaidah ekologi yang berlaku secara
umum, namun karena terdapat beberapa ciri khas maka dalam
penampakannya agro-ekosistem berbeda dengan ekosistem lainnya
terutama ekosistem alami.
38
b.
Analisis Biaya-Manfaat Pengendalian Hama
Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian hama merupakan
total uang yang dikeluarkan untuk membeli pestisida, varietas tahan
hama, untuk menyewa alat pengendalian dan membayar tenaga
pengendali hama. Manfaat yang diperoleh dari usaha pengendalian
hama berupa nilai rupiah dari hasil yang diperoleh. Selisih antara nilai
manfaat dan biaya pengendalian hama secara kasar dan dianggap
sebagai keuntungan dari usaha pengendalian hama.
c.
Toleransi Tanaman Terhadap Kerusakan
Perlu kita mengerti bahwa semua tanaman tentu memiliki tingkat
toleransi terhadap adanya kerusakan yang dikarenakan serangga atau
oleh penyebab lainnya. Hal itu berarti bahwa adanya tingkat kerusakan
tidak mempengaruhi produksi tanaman. Oleh karena itu adanya
populasi hama tertentu pada tanaman yang kita usahakan mungkin
tidak akan mengakibatkan kerugian apapun pada kita.
d.
Budidaya Tanaman yang Sehat
Tanaman yang sehat tentunya akan lebih bertahan terhadap
serangan hama bila dibandingkan dengan tanaman yang lemah. Juga
tanaman yang sehat akan lebih cepat mengatasi kerusakan yang terjadi
akibat serangan hama dengan mempercepat pembentukan anakan atau
proses penyembuhan fisiologis lainnya.
39
e.
Pemantauan Lahan
Sangat sulit atau bahkan tidak bisa bagi kita untuk meramalkan
kapan terjadinya letusan hama. Sifat dinamika populasi hama sangat
khas pada setiap lahan untuk waktu tertentu. Untuk dapat mengikuti
perkembangan hama dan musuh alami di lahan serta menentukan
tindakan pengendalian yang perlu dilaksanakan, tidak ada jalan lain
selain petani harus mengadakan pemantauan lahannya secara rutin
(Untung, K, 1996: 17-22).
Untuk menunjang konsep PHT tersebut dalam rangka pengurangan
penggunaan bahan insektisida perlu dicari alternatif pengendalian yang
bersifat ramah lingkungan antaralain penggunaan bahan bioaktif (insektisida
nabati, attraktan, repelen), musuh alami (parasitoid dan predator serta
patogen), serta penggunaan perangkap berperekat.
F.
PESTISIDA NABATI
Penggunaan pestisida di lingkungan pertanian menjadi masalah yang
sangat dilematis, terutama pada tanaman sayuran yang sampai sat ini masih
menggunakan insektisida kimia sintetis secara intensif. Di satu pihak dengan
digunakannya pestisida maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme
penggangu tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan seperti berkembangnya ras hama yang resisten
terhadap insektisida,
resurjensi
hama, munculnya hama sekunder,
terbunuhnya musuh alami hama dan hewan bukan sasaran lainnya, serta
terjadinya pencemaran lingkungan, sedangkan di lain pihak tanpa
40
pengunaan pestisida akan sulit menekan kehilangan hasil yang diakibatkan
OPT (Kardinan, 2001; Rahmawati, 2012:171)
Sejarah
menunjukkan
bahwa
pengendalian
hama
dengan
memanfaatkan pestisida nabati banyak dilakukan sebelum tahun 1940’an.
Era setelah itu adalah era pestisida kimiawi, yang kemudian berdampak luas
pada kehidupan organisma di muka bumi (Haryono, 2011: 2)
Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial
insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae
dan Rutaceae, namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk
ditemukannya famili tumbuhan lain. Didasari oleh banyaknya jenis
tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai insektisida maka penggalian
potensi tanaman sebagai sumber insektisida botani sebagai alternatif
pengendalian hama tanaman cukup tepat. (Rahmawati, 2012:172)
Biopestisida adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari bahan
hidup. Yang akan diuraikan di sini adalah biopestisida yang terbuat dari
tanaman sehingga disebut Pestisida Nabati. Kandungan bahan kimia dalam
tanaman tersebut menunjukkan bioaktivitas pada serangga, seperti bahan
penolak
(repellent),
penghambat
makan
(antifeedant),
penghambat
perkembangan serangga (insect growth regulator), dan penghambat
peneluran (oviposition deterrent) (Alif, dkk, 2012: 68)
Sumber utama cemaran pada produk pertanian adalah bahan pestisida
sintetik. Untuk mengurangi cemaran tersebut maka salah satu alternatifnya
41
adalah meningkatkan penyediaan dan penggunaan pestisida yang ramah
ringkungan, baik berupa pestisida nabati maupun hayati. Indonesia memiliki
kekayaan alam yang berlimpah berupa sumber tanaman berkhasiat pestisida
nabati. (Syakir .M, 2015: 9)
Pestisida nabati tidak hanya mengandung satu jenis bahan aktif (single
active ingredient), tetapi beberapa jenis bahan aktif (multiple active
Ingredients). Hasil penelitian menunjukan bahwa beberapa pestisida nabati
cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik hama lapangan, hama
gudang maupun hama rumah tangga (Kardinan.1997).
Pestisida nabati ini bisa berfungsi sebagai penolak, penarik,
antifertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk lainnya. Secara umum,
pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari
tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan
terbatas. Karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis pestisida
ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tak mencemari
lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan, karena
residu (sisa-sisa zat) mudah hilang. Indonesia ada banyak jenis tumbuhan
penghasil pestisida nabati. Bahan dasar pestisida alami ini bisa ditemui di
beberapa jenis tanaman, dimana zat yang terkandung di masing-masing
tanaman memiliki fungsi berbeda ketika berperan sebagai pestisida.
42
Pestisida Nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1.
Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang
menyengat.
2.
Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah
disemprot.
3.
Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
4.
Menghambat reproduksi serangga betina.
5.
Racun syaraf.
6.
Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga.
7.
Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada
perangkap serangga.
8.
Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri (Syakir,2015:10-12).
Pemanfaatan pestisida nabati dalam pengendalian OPT, selain sebagai
pengendali alamiah yang efektif dan berkelanjutan, juga dapat berperan
dalam meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan efisiensi usaha
dan image produk perkebunan ramah lingkungan (Haryono, 2011: 2)
43
1.
Pengelompokan Pestisida Nabati
Dalam fisiologi tanaman, ada beberapa jenis tanaman yang
berpotensi menjadi bahan pestisida:
a.
Kelompok tumbuhan insektisida nabati.
Merupakan kelompok tumbuhan yang menghasilkan
pestisida pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan
srikaya diyakini bisa menanggulangi serangan serangga
b.
Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat.
Di dalam tumbuhan ini ada suatu bahan kimia yang
menyerupai sex pheromon pada serangga betina dan bertugas
menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis
Bactrocera dorsalis. Tumbuhan yang bisa diambil manfaatnya,
daun wangi (kemangi), dan selasih.
c.
Kelompok tumbuhan rodentisida nabati
Kelompok
tumbuhan
yang
menghasilkan
pestisida
pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini terbagi jadi
dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran dan penekan populasi,
yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan
kelahiran umumnya mengandung steroid. Sedangkan yang
tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Jenis
tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida nabati
adalah gadung racun.
44
d.
Kelompok tumbuhan moluskisida
Kelompok
tumbuhan
yang
menghasilkan
pestisida
pengendali hama moluska. Beberapa tanaman menimbulkan
pengaruh moluskisida. Diantaranya daun sembung dan akar tuba.
e.
Kelompok Tanaman Fungisida Nabati.
Merupakan kelompok tumbuhan yang digunakan untuk
mengendalikan jamur patogenik antara lain cengkeh, daun sirih,
sereh, pinang, tembakau.
f.
Kelompok tumbuhan pestisida serba guna.
Kelebihan kelompok ini tak hanya berfungsi untuk satu
jenis. Misalnya insektisida saja, tapi juga berfungsi sebagai
fungisida, bakterisida, moluskisida, dan nematisida. Tumbuhan
yang bisa dimanfaatkan dari kelompok ini, yaitu jambu mete,
sirih, tembakau dan mimba. (Syakir, 2015: 10-11)
Berbagai kelemahan pemanfaatan pestisida nabati, seperti bahan aktif
yang mudah terurai, sebaran tanaman seringkali spesifik lokasi, kandungan
bahan aktif tanaman sangat tergantung pada varietas dan lokasi penanaman,
pemanfaatan berupa formulasi sederhana yang mudah ditiru dan banyak
kelemahan lainnya yang juga sekaligus kelebihan pestisida nabati, maka
seharusnya kelemahan tersebut tidak dijadikan sebagai kendala dalam
pengembangannya (Haryono, 2011: 4).
45
Selain itu terdapat pula kendala pengembangan pestisida nabati di
Indonesia seperti:
a.
Pestisida nabati tidak bereaksi cepat (knockdown) atau relatif lambat
membunuh hama, tidak seperti pestisida kimia sintetik yang relatif
cepat dan hal ini disukai petani, sehingga mereka lebih memilih
pestisida kimia sintetik dalam kegiatan pengendalian OPT
b.
Membanjirnya produk pestisida ke Indonesia, salah satunya dari
China, yang harganya lebih murah serta longgarnya peraturan
pendaftaran dan perizinan pestisida di Indonesia kondisi ini membuat
jumlah pestisida yang beredar di pasaran semakin bervariasi dan
hingga saat ini tercatat sekitar 3.000 jenis pestisida yang beredar di
Indonesia. hal ini membuat para pengguna/petani mempunyai banyak
pilihan dalam penggunaan pestisida kimia sintetik karena bersifat
instan sehingga menghambat pengembangan penggunaan pestisida
nabati.
c.
Bahan baku pestisida nabati relatif masih terbatas karena kurangnya
dukungan pemerintah (Political Will) dan kesadaran petani terhadap
penggunaan pestisida nabati masih rendah, sehingga enggan
menanam atau memperbanyak tanamannya.
d.
Peraturan perizinan pestisida nabati yang tidak disamakan dengan
pestisida kimia sintetik membuat pestisida nabati sulit mendapatkan
izin edar dan diperjualbelikan. Akibatnya, apabila tersedia dana untuk
kegiatan yang memerlukan pestisida dalam jumlah yang banyak maka
46
pilihan jatuh kepada pestisida kimia sintetik karena salah satu
persyaratan dalam pembeliannya adalah sudah terdaftar dan diizinkan
penggunaannya.
2.
Mekanisme Kerja Pestisida Nabati pada Hama Serangga (Insekta)
Penjelasan mengenai cara kerja pestisida nabati tidak selalu mudah
karena “cara kerja” pestisida nabati dapat dilihat dari beberapa sudut
yang berbeda. Namun, beberapa aspek cara kerja pestisida nabati
sangat penting untuk diketahui oleh para pengguna (petani) agar tidak
salah dalam pemilihan dan penggunaannya. Menurut “cara kerja” atau
gerakannya pada tanaman setelah diaplikasikan, pestisida nabati yang
menyerang hama serangga secara kasar dibedakan menjadi tiga macam
sebagai berikut (Djojosumarto, 2000: 41).
a. Pestisida Nabati Sistemik
Pestisida nabati sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik
lewat akar, batang, atau daun. Selanjutnya, pestisida nabati
sistemik
tersebut
mengikuti
gerakan
cairan
tanaman
dan
ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya, baik ke atas
(akropetal) atau ke bawah (basipetal), termasuk ke tunas yang baru
tumbuh (Djojosumarto, 2000: 41).
47
b. Pestisida Nabati Nonsistemik
Pestisida nabati nonsistemik setelah diaplikasikan (misalnya
disemprotkan) pada tanaman sasaran tidak diserap oleh jaringan
tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman. Pestisida
nabati nonsistemik bekerja dengan cara mencegah makan
(antifeedantt, feeding deterrent), penolak (repellent) dan atau
pengganggu alami, baik yang diperoleh dari tumbuhan. Pestisida
nabati nonsistemik sering disebut pestisida nabati kontak. Namun,
istilah itu sebenarnya kurang begitu tepat. Istilah kontak lebih tepat
digunakan bagi cara kerja pestisida nabati yang berhubungan
dengan cara masuknya ke dalam tubuh serangga (Djojosumarto,
2000: 42).
c. Pestisida Nabati Sistemik Lokal
Pestisida nabati sistemik lokal adalah kelompok pestisida nabati
yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi
tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Termasuk
kategori
ini
adalah
pestisida
nabati
yang
berdaya
kerja
translaminar atau pestisida nabati yang mempunyai daya penetrasi
ke dalam jaringan tanaman (Djojosumarto, 2000: 42).
48
3.
Kelebihan Pestisida Nabati
Beberapa kelebihan dan kelemahan pestisida nabati (Suriana, 2012),
Kelebihan pestisida nabati yaitu :
a.
Teknologi pembuatannya lebih mudah dan murah, sehingga
memungkinkan untuk dibuat sendiri dalam skala rumah tangga.
b.
Pestisida nabati tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan
maupun terhadap makhluk hidup, sehingga, relatif aman untuk
digunakan.
c.
Tidak beresiko menimbulkan keracunan pada tanaman, sehingga,
tanaman yang diaplikasikan pestisida nabati jauh lebih sehat dan
aman dari pencemaran zat kimia berbahaya.
d.
Tidak menimbulkan resistensi (kekebalan) pada hama. Dalam
artian pestisida nabati aman bagi keseimbangan ekosistem.
e.
Hasil pertanian yang dihasilkan lebih sehat serta terbebas dari
residu pestisida kimiawi.
4.
Kelemahan Pestisida Nabati
a.
Daya kerja pestisida nabati lebih lambat, tidak bisa terlihat dalam
jangka waktu yang cepat.
b.
Pada umumnya tidak membunuh langsung hama sasaran, akan
tetapi hanya bersifat mengusir dan menyebabkan hama menjadi
tidak berminat mendekati tanaman budidaya.
c.
Mudah rusak dan tidak tahan terhadap sinar matahari.
49
d.
Daya simpan relatif pendek, artinya pestisida nabati harus segera
digunakan setelah proses produksi. Hal ini menjadi hambatan
tersendiri bagi petani untuk mendapatkan pestisida nabati instan
ataupun untuk memproduksi pestisida nabati untuk tujuan
komersil.
e.
Perlu dilakukan penyemprotan yang berulang-ulang. Hal ini dari
sisi ekonomi tentu saja tidak efektif dan efisien.
50
G.
KERANGKA BERFIKIR
Tanaman tembakau merupakan salah satu tanaman yang mudah
dijumpai di Indonesia. Begitu banyak manfaat dari tanaman tembakau, salah
satunya dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan zat kimia
dalam daun tembakau diharapkan dapat mengendalikan hama pada tanaman
sayuran salah satunya adalah pada tanaman sawi (Brassica juncea L.)
Tembakau sebagai bahan utama untuk membuat pestisida nabati
karena di dalam daun tembakau terdapat zat kimia yang paling dominan
yaitu nikotin, merupakan racun bagi hama ulat sawi Plutella xylostella.
Nikotin yang terkandung dalam pestisida nabati daun tembakau ini
menyebabkan gangguan pencernaan karena merupakan racun perut,
menyebabkan gangguan syaraf pada hama Plutella xylostella dan akan
mempercepat proses pembentukan pupa. Selain itu juga terdapat zat aktif
lain seperti tannin, saponin, terpenoid dan flavonoid yang dapat
mengganggu aktivias hidup hama Plutella xylostella. Oleh karena itu
aktivitas makan hama Plutella xylostella ini dapat terhambat. Dengan
demikian perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) berpotensi sebagai
bahan pestisida nabati untuk pengendalian hama Plutella xylostella.
Parameter yang akan diamati dalam penelitian ini antara lain mortalitas
hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup Plutella xylostella,
tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.), berat basah tanaman sawi
(Brassica juncea L.) dan dosis optimal perasan tembakau untuk
pengendalian hama Plutella xylostella.
51
Perasan daun tembakau mengandung beberapa zat kimia
Tanin:
mengganggu
kerja
pencernaan
Terpenoid:
Penolak
serangga dan
mikroba,
memperpendek
siklus hidup
Saponin:
Menimbulkan
rasa pahit
pada daun
Flavonoid:
Racun
pernafasan
Alkaloid
(Nikotin):
Racun perut,
gangguan
syaraf dan
antifeedant
Hama Plutella
xylostella
Daun tanaman sawi
(Brassica juncea L.)
Perasan tembakau (Nicotiana tabacum) dapat
digunakan sebagai pestisida nabati untuk hama
Plutella xylostella pada tanaman sawi
3. Presentase mortalitas hama
Plutella xylostella
4. Pemendekan siklus hidup
hama Plutella xylostella
5. Dosis optimal untuk
pengendalian hama Plutella
xylostellla
1. Tingkat kerusakan daun
sawi (Brassica juncea L)
2. Berat basah tanaman sawi
(Brassica juncea (L.))
Gambar 8. Kerangka Berfikir
52
HIPOTESIS
1. Pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) berpengaruh
terhadap mortalitas hama Plutella xylostella tanaman sawi (Brassica
juncea (L.))
2. Semakin tinggi dosis pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana
tabacum), semakin memperpendek siklus hidup hama Plutella xylostella
pada fase pupa.
3. Semakin tinggi dosis pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana
tabacum) maka berat basah sawi meningkat.
4. Semakin tinggi dosis pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana
tabacum) maka tingkat kerusakan tanaman sawi (Brassica juncea (L.))
menurun.
5. Semakin tinggi dosis pestisda nabati perasan daun tembakau (Nicotiana
tabacum) maka semakin efektif untuk mengendalikan hama Plutella
xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea (L.))
53
Download