BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Portofolio Teori investasi lebih menganjurkan investor untuk membentuk portofolio dalam berinvestasi saham. Menurut Samsul (2006), portofolio keuangan dapat diartikan sebagai investasi dalam berbagai instrument keuangan yang dapat diperdagangkan di Bursa Efek dan Pasar Uang, dengan tujuan menyebarkan sumber perolehan return dan kemungkinan risiko. Instrumen keuangan tersebut bisa meliputi saham, obligasi, valuta asing, deposito, indeks harga saham dan produk derivative lainnya. Menurut Husnan (2012) pada umumnya pengurangan risiko investasi dilakukan dengan cara menyebarkan dana ke berbagai aset yang berbeda, sehingga jika satu aset menderita kerugian, maka nilai investasi tidak akan hilang semua. Banyak pakar keuangan menyarankan investasi jangan hanya pada satu saham, tetapi beberapa saham dan berbagai industri, seperti peribahasa yang dikembangkan oleh Harry Markowitz, yaitu: “don’t put all your eggs in one basket”. Pernyataan Markowitz tersebut memiliki makna agar lebih baik investor melakukan diversifikasi. Diversifikasi bermakna membentuk portofolio melalui pemilihan kombinasi sejumlah aset sedemikian rupa hingga risiko dapat diminimalkan tanpa mengurangi return harapan. Berdasarkan konteks portofolio, semakin banyak jumlah saham yang dimasukkan dalam portofolio, semakin besar manfaat pengurangan risiko (Tandelilin, 2010:112). 13 2.1.2 Strategi Portofolio Saham Menurut Tandelilin (2010), ada dua strategi yang bisa dilakukan investor dalam pembentukan portofolio saham, yaitu: strategi pasif dan strategi aktif. 1) Strategi Portofolio Pasif Strategi portofolio pasif biasanya meliputi tindakan investor yang cenderung pasif dalam melakukan investasi pada saham dan hanya melihat pergerakan sahamnya pada indeks pasar. Tujuan strategi pasif adalah untuk mengikuti kinerja indeks pasar sedekat mungkin. Investor dalam hal ini tidak secara aktif mencari informasi maupun melakukan jual beli saham yang bisa menghasilkan abnormal return. Investor yang menggunakan strategi pasif biasanya percaya bahwa harga pasar yang terjadi adalah harga yang mencerminkan nilai intrinsik saham tersebut. Adapun strategi yang terdapat dalam strategi portofolio pasif, yakni strategi beli dan tahan (buy and hold strategy) dan strategi mengikuti indeks (indexing strategy). Strategi beli dan simpan membuat investor untuk membeli sejumlah saham dan kemudian tetap memegangnya untuk beberapa waktu tertentu. Tujuan strategi ini adalah untuk menghindari biaya transaksi dan biaya tambahan lainnya yang terlalu tinggi. Investor dalam hal ini percaya bahwa return yang akan diperoleh dari penerapan strategi ini tidak jauh berbeda dengan return yang diperoleh jika investor secara aktif membeli dan menjual saham. Strategi mengikuti indeks bisa digambarkan dengan pembelian reksa dana atau dana pensiun oleh investor. Investor berharap dengan pembelian reksa dana tersebut, kinerja investasi pada sekumpulan sekuritas sudah merupakan duplikasi 14 dari kinerja indeks pasar. Investor juga berharap akan memperoleh return yang sebanding dengan return pasar. 2) Strategi Portofolio Aktif Strategi portofolio aktif pada dasarnya meliputi tindakan investor yang secara aktif melakukan pemilihan dan jual beli saham, mencari informasi, mengikuti waktu dan pergerakan harga saham serta berbagai tindakan aktif lainnya untuk menghasilkan abnormal return. Tujuan strategi aktif adalah mencapai return portofolio saham yang melebihi return portofolio saham yang diperoleh melalui strategi pasif. Strategi aktif dalam pembentukan portofolio saham bisa menggunakan dua pendekatan dalam analisis saham, yaitu pendekatan analisis fundamental dan pendekatan analisis teknikal. Pendekatan fundamental adalah pendekatan untuk menganalisis suatu saham dengan berdasarkan pada data-data perusahaan, seperti earning, dividen, penjualan, dan lain sebagainya. Analisis teknikal merupakan pendekatan untuk mencari pola pergerakan harga saham yang bisa dipakai untuk meramalkan pergerakan harga saham di kemudian hari. Ada tiga strategi yang biasanya dipakai investor dalam menjalankan strategi portofolio aktif, yaitu pemilihan saham, rotasi sektor, dan strategi momentum harga. Investor dalam strategi pemilihan saham secara aktif melakukan analisis dan pemilihan saham-saham terbaik, yaitu saham-saham yang memberikan hubungan tingkat return-risiko yang terbaik dibandingkan alternatif lainnya. Strategi rotasi sektor biasanya dilakukan oleh investor yang berinvestasi pada saham-saham di dalam negeri saja. Investor biasanya membeli saham-saham 15 pada suatu sektor atau industri tertentu yang diperkirakan akan mengalami peningkatan nilai melebihi return pasar. Strategi yang ketiga ialah strategi momentum harga atau strategi investasi momentum. Penjelasan mengenai strategi investasi momentum ini akan dijelaskan pada subbab 2.1.3 2.1.3 Strategi Investasi Momentum Strategi investasi momentum merupakan strategi investasi yang dilakukan dengan cara membeli saham yang sebelumnya memiliki kinerja baik dan menjual saham yang sebelumnya memiliki kinerja buruk (Sharpe, et al., 1995). Strategi ini membuat investor akan mencari momentum yang tepat, yaitu pada saat perubahan harga yang terjadi bisa memberikan keuntungan bagi investor melalui tindakan penjualan atau pembelian saham. Berbagai teknik untuk menemukan momentum yang tepat dalam portofolio saham dapat dilakukan. Data yang telah terjadi (expost data) dipakai guna mencari pola pergerakan saham dan mencari hubungan sebab akibat antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Menurut Sharpe et al. (1995) mengenai pembentukan portofolio saham berdasarkan strategi investasi momentum, mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Identifikasi saham-saham yang terdaftar di pasar modal. 2) Menentukan peringkat berdasarkan besarnya return untuk periode yang baru saja berakhir, yang disebut sebagai periode formasi portofolio. 16 3) Masukkan saham-saham yang memiliki return rata-rata tertinggi ke dalam kelompok portofolio winner dan saham-saham yang memiliki return rata-rata terendah ke dalam kelompok portofolio loser. 4) Menentukan return portofolio saham winner dan loser untuk periode yang akan dimulai, yang disebut periode pengujian portofolio atau periode kepemilikan selanjutnya. 5) Ulangi analisis dari permulaan, mulai dari langkah pertama tetapi bergerak maju satu demi satu. Hentikan setelah dilakukan pengulangan beberapa kali. 6) Tentukan rata-rata abnormal return untuk portofolio winner dan portofolio loser. Strategi investasi momentum bekerja dengan baik, apabila portofolio saham pemenang (winner) yang dibentuk pada periode formasi memiliki kinerja lebih baik atau tetap terus mengungguli kinerja portofolio saham pecundang (loser) pada periode kepemilikan selanjutnya. Portofolio saham winner akan menghasilkan rata-rata abnormal return yang positif, sedangkan portofolio saham pecundang (loser) akan menghasilkan rata-rata abnormal return yang negatif. 2.1.4 Kinerja Portofolio Saham Sama halnya dengan kinerja perusahaan, kinerja portofolio juga perlu untuk dievaluasi. Menurut Tandelilin (2010:488), evaluasi kinerja portofolio akan terkait dengan dua isu utama, yaitu : (1) mengevaluasi apakah return portofolio yang telah dibentuk pada periode formasi mampu memberikan return yang lebih 17 besar dibandingkan return portofolio lainnya yang dijadikan sebagai patok duga (benchmark), (2) mengevaluasi apakah return yang diperoleh sudah sesuai dengan tingkat resiko yang harus ditanggung. 1) Variabel Penilaian Kinerja Portofolio Saham Penilaian kinerja portofolio saham memerlukan variabel-variabel yang relevan. Menurut Husnan (2012) variabel tersebut tidak lain adalah tingkat keuntungan dan risiko portofolio saham. (1) Mengukur Tingkat Keuntungan (Return) Portofolio Tingkat keuntungan yang diperoleh dari pemilik suatu portofolio dipengaruhi oleh dua sumber, yaitu kemungkinan adanya perubahan harga sekuritas-sekuritas yang membentuk portofolio tersebut dan pembayaran dividen (atau juga bunga jika dalam portofolio tersebut terdapat obligasi). Salah satu cara untuk menghitung tingkat return portofolio adalah dengan cara menjumlahkan semua aliran kas yang diterima (penjumlahan dividen atau pendapatan bunga selama periode investasi dengan selisih perubahan nilai pasar portofolio (capital gain/loss), kemudian dibagi dengan nilai pasar portofolio pada awal periode (Tandelilin, 2010:490). Metode perhitungan tersebut cukup sederhana dan mudah untuk menghitungnya, hanya saja metode tersebut mengandung kelemahan. Kelemahannya adalah metode perhitungan tersebut hanya sesuai digunakan untuk menghitung tingkat return portofolio yang bersifat statis, yaitu portofolio yang tidak mempunyai aliran kas keluar maupun aliran kas masuk dari investor. Asumsi ini terkadang tidak sama dengan kenyataan yang 18 biasanya terjadi. Kenyataannya selama periode investasi, investor bisa saja melakukan penambahan atau penarikan dana dari portofolio yang telah dibentuk, maka dalam hal ini diperlukan metode-metode pengukuran return portofolio yang lebih tepat dan bisa mengakomodasi situasi tersebut. Menurut Jones (2004:592), metode perhitungan return portofolio adalah time-weighted rate of return (TWR) dan dollar-weighted rate of return (DWR). Besarnya TWR tidak dipengaruhi oleh penambahan atau penarikan dana yang dilakukan oleh investor selama periode perhitungan return portofolio. Return yang benar-benar diterima oleh investor adalah dollar-weighted rate of return (DWR). Besarnya DWR ini ditentukan oleh besarnya arus kas masuk dan arus kas keluar dalam investasi portofolio akibat penambahan atau penarikan dana yang dilakukan investor selama periode perhitungan return portofolio tersebut. Setiap terjadi aliran kas masuk dan aliran kas keluar selama periode pengukuran akan dihitung tingkat return portofolionya dan kemudian perhitungan tersebut digunakan untuk menentukan compound rate of return untuk keseluruhan periode pengukuran. Metode DWR lebih sesuai digunakan oleh para investor yang selalu ingin mengetahui besarnya return yang akan diterimanya, sedangkan metode TWR, lebih cocok digunakan oleh manajer investasi yang ingin mengetahui besarnya return yang ditawarkan portofolio. Penelitian-penelitian investasi saham sering menggunakan metode simple interest returns, compound interest returns, dan abnormal return. Metode simple interest returns dan compound interest returns merupakan pengukuran return portofolio saham yang dilakukan berdasarkan kinerja historis. Metode 19 simple interest returns dihitung berdasarkan rata-rata aritmatika (arithmetic mean), sedangkan untuk metode compound interest returns dihitung berdasarkan rata-rata geometrik (geometric mean). Abnormal return merupakan pengembangan lebih lanjut dari kedua metode tersebut. Abnormal return atau excess return adalah selisih antara return sesungguhnya dengan return ekspektasi. Return yang sesungguhnya dapat dihitung dengan menggunakan simple interest returns atau compound interest returns, sedangkan return normal merupakan return ekspektasi (return yang diharapkan oleh investor). Menurut Brown dan Warner, (dalam Hartono, 2013:610) mengestimasi return ekspektasi adalah dengan menggunakan model estimasi mean-adjusted model, market model, dan market-adjusted model. Mean-adjusted model atau model sesuaian-rata-rata ini menganggap bahwa return ekspektasi bernilai konstan yang sama dengan rata-rata return realisasi sebelumnya selama periode estimasi. Perhitungan return ekspektasi dengan model pasar (market model) ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu membentuk model ekspektasi dengan menggunakan data realisasi selama periode estimasi dan menggunakan model ekspektasi ini untuk mengestimasi return ekspektasi di periode jendela. Market-adjusted model atau model sesuaian-pasar menganggap bahwa penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat itu juga. Market-adjusted model tidak perlu menggunakan periode estimasi untuk membentuk model estimasi, karena return sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar. 20 (2) Risiko Portofolio Saham Menurut Husnan (2012), pengukur risiko portofolio saham yang relevan bagi pemodal dinyatakan dalam bentuk deviasi standar tingkat keuntungan portofolio (disebut sebagai risiko total), atau beta portofolio (disebut risiko sistematik). Masalah yang dihadapi adalah kapan akan menggunakan ukuran yang pertama dan kapan akan menggunakan ukuran yang kedua. Deviasi standar tingkat keuntungan portofolio relevan untuk investor yang menanamkan dananya hanya atau sebagian besar pada portofolio tersebut. Lain halnya dengan pemodal yang memiliki berbagai portofolio atau menanamkan dananya pada berbagai mutual funds, dengan kata lain melakukan diversifikasi pada berbagai portofolio, beta lebih tepat digunakan sebagai ukuran risiko. 2) Teknik Penilaian Kinerja Portofolio Saham Ada dua cara yang bisa dilakukan dalam penilaian kinerja portofolio saham, yaitu (1) melakukan perbandingan langsung, dan (2) menggunakan ukuran kinerja tertentu. Ukuran kinerja tertentu (one-parameter performance measures) perlu dikaitkan dengan risiko (Husnan, 2012). (1) Perbandingan Langsung Salah satu cara membandingkan kinerja suatu portofolio saham (biasanya diwakili oleh mutual funds) adalah membandingkannya dengan portofolio lain yang mempunyai risiko kurang lebih sama atau kinerja pasar saham secara keseluruhan. Teknik perbandingan langsung ini akan memberikan jawaban 21 apakah return portofolio yang sudah dibentuk mampu memberikan return yang mampu melebihi return portofolio lainnya yang dijadikan sebagai patok duga (benchmark). (2) Menggunakan Ukuran Kinerja Tertentu Menurut Haugen (2001 : 269) telah terjadi kemajuan yang besar dalam penilaian kinerja portofolio saham. Ukuran kinerja investasi dengan dua parameter risiko dan return yang diawali oleh Markowitz telah direduksi menjadi sebuah parameter tunggal (one-parametre performance measures). Metode ini mengukur kinerja portofolio dengan menggunakan satu parameter. Parameter atau ukuran tersebut dikaitkan dengan risiko, baik risiko total maupun risiko sistematis. Konsep ini didasarkan pada gabungan antara return dan risiko (risk-adjusted return). Beberapa ukuran kinerja portofolio yang menggabungkan antara return dan risiko adalah indeks Sharpe, indeks Treynor, dan indeks Jensen (Tandelilin, 2010:493). Indeks Sharpe mengukur kinerja portofolio dengan total risiko sebagai indikator, sedangkan Indeks Treynor dan Jensen mengukur kinerja portofolio dengan risiko sistematis (beta) sebagai indikator. Secara teoritis, ukuran riskadjusted return tersebut memungkinkan dilakukannya pembandingan secara langsung portofolio dengan tingkat risiko dan return yang berbeda-beda. Indeks Sharpe dikembangkan oleh William Sharpe dan sering disebut juga dengan reward-to-variability ratio, yang mendasarkan perhitungannya pada konsep garis pasar modal (capital market line) sebagai patok duga (benchmark), yaitu dengan cara membagi premi risiko portofolio dengan standar deviasinya. Premi risiko adalah perbedaan (selisih) antara rata-rata kinerja yang dihasilkan 22 oleh portofolio dengan rata-rata kinerja investasi yang bebas risiko (risk free asset). Standar deviasi merupakan risiko fluktuasi portofolio yang dihasilkan karena berubah-ubahnya return yang dihasilkan dari sub-periode ke sub-periode lainnya selama seluruh periode. Indeks Sharpe dapat digunakan untuk mengukur premi risiko untuk setiap unit risiko pada portofolio tersebut, dan mengukur seberapa besar penambahan hasil investasi yang diperoleh (risk premium) untuk tiap unit risiko yang diambil. Semakin tinggi Indeks Sharpe suatu portofolio dibanding portofolio lainnya, maka semakin baik kinerja portofolio tersebut. Indeks Treynor merupakan ukuran kinerja portofolio yang dikembangkan oleh Jack Treynor, dan sering disebut juga reward to volatility ratio. Sama halnya dengan Indeks Sharpe, Indeks Treynor, melihat kinerja portofolio dengan cara menghubungkan tingkat return portofolio dengan besarnya risiko dari portofolio tersebut. Indeks Treynor menggunakan garis pasar sekuritas (security market line) sebagai patok duga (benchmark). Asumsi yang digunakan oleh Treynor adalah bahwa portofolio sudah terdiversifikasi dengan baik sehingga risiko yang dianggap relevan adalah risiko sistematis (diukur dengan beta). Semakin tinggi Indeks Treynor yang dimiliki sebuah portofolio, berarti kinerja portofolio tersebut akan menjadi relatif lebih baik dibandingkan portofolio yang mempunyai Indeks Treynor yang lebih rendah. Indeks Jensen merupakan indeks yang menunjukkan perbedaan antara tingkat return aktual yang diperoleh portofolio dengan tingkat return yang diharapkan jika portofolio tersebut berada pada garis pasar modal. Indeks Jensen 23 yang positif dan akan memperlihatkan kinerja superior, sebaliknya Indeks Jensen yang negatif akan memperlihatkan kinerja lebih rendah dari return pasar. 2.2 Hipotesis Penelitian Adapun deskripsi teori yang dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: Strategi investasi momentum membuat investor berasumsi bahwa apa yang terjadi di masa lalu cenderung akan terulang lagi di masa mendatang. Investor mengasumsikan kemungkinan hasil yang terjadi pada saat ini akan sama atau muncul lagi pada masa depan di bursa saham (Sharpe et al., 1995) Investor momentum berusaha membeli saham yang harganya baru saja naik atau memiliki kinerja yang baik, atas dasar kepercayaan bahwa harga saham tersebut akan terus naik atau kinerja saham akan terus mengalami peningkatan. Saham-saham yang akhir-akhir ini harganya turun atau memiliki kinerja yang buruk, sebaliknya akan dijual dengan kepercayaan bahwa saham-saham tersebut akan terus berada pada kinerja yang buruk. Investor berdasarkan strategi investasi momentum akan membentuk portofolio saham dengan melakukan pembelian saham yang sebelumnya memiliki kinerja baik (portofolio winner) dan melakukan penjualan saham yang sebelumnya memiliki kinerja buruk (portofolio loser), sehingga portofolio saham winner akan tetap menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan portofolio saham loser pada periode mendatang dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja portofolio saham winner pada periode formasi dengan 24 periode kepemilikan selanjutnya, serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan pula antara kinerja portofolio saham loser pada periode formasi dengan periode kepemilikan selanjutnya. Beberapa penelitian terdahulu yang mendukung deskripsi teori strategi investasi momentum juga dijadikan sebagai acuan untuk merumuskan hipotesis dalam penelitian ini, seperti: Rouwenhorst (1998) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel 12 negara Eropa selama periode 1980-1995. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa strategi investasi momentum menguntungkan apabila diterapkan di pasar modal Eropa. Moskowitz dan Grinblatt (1999), meneliti strategi investasi momentum dalam portofolio berbasis industri. Strategi investasi momentum yang dibentuk berdasarkan return saham industri ternyata jauh lebih menguntungkan dari momentum return saham individual. Grundy dan Martin (2001), mengkaji strategi investasi momentum dengan jangka waktu pengujian yang lebih panjang. Hasil penelitiannya menemukan bahwa strategi investasi momentum telah menguntungkan di Amerika Serikat sejak tahun 1920-an. Forner dan Joaquin Marhuenda (2003) melakukan penelitian di Spanish Stock Market menemukan abnormal return yang positif dengan menggunakan strategi momentum pada saat short term period. Penelitian serupa juga ditemukan oleh Isabelle Demir, et al. (2004) di pasar modal Australia. Najmudin (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat anomali winner-loser di BEI dalam jangka pendek yang berupa terjadinya investor underreaction. Baik saham winner maupun saham loser masing-masing 25 bergerak dengan tidak berganti posisi sejak periode pembentukan sampai dengan periode pengujian. Terjadi pula pergerakan excess return yang simetris, saham loser bergerak semakin menurun, dan sebaliknya saham winner bergerak semakin naik, sehingga strategi investasi momentum bisa diterapkan di pasar modal Indonesia. Shan Hu dan Yue Chin Chen (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa strategi investasi momentum menghasilkan abnormal return saham yang positif signifikan selama medium-horizon dan return saham yang tinggi selama dua tahun holding period ketika ranking period melebihi sembilan bulan. Douagi dan Chaouachi (2011) yang melakukan penelitian di pasar modal Tunisia menemukan bahwa strategi investasi momentum memberikan keuntungan yang signifikan. Penelitian lebih lanjut kemudian dilakukan oleh Pasaribu (2011) untuk mengetahui adanya reaksi berlebih di Indonesia melalui harga saham perusahaan LQ-45 dengan judul “Anomali Overreaction di Bursa Efek Indonesia: Penelitian Saham LQ-45”. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa tidak ada reaksi berlebih di Indonesia, maka secara teoritis strategi investasi momentum bisa diterapkan oleh investor untuk melakukan investasi. Kowanda dan Pasaribu (2012) melakukan penelitian dengan judul “Strategi Investasi Momentum: Profit Momentum Saham Pemenang-Pecundang di Indonesia” membahas mengenai besarnya keuntungan dari portofolio yang terbentuk berdasarkan strategi investasi momentum, menemukan bahwa masa efektif portofolio saham winner adalah periode pembentukan tiga bulanan dengan masa kepemilikan selama sembilan 26 bulan, sedangkan untuk portofolio loser, masa efektifnya adalah pada periode pembentukan sembilan bulan dengan masa kepemilikan dua belas bulan. Penelitian mengenai overreaction di Indonesia juga diteliti oleh Yunita (2012), namun penelitiannya hanya dilakukan pada perusahaan keuangan dan properti. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anomali overreaction tidak terjadi pada perusahaan keuangan dan properti di Bursa Efek Indonesia, karena pola portofolio loser memiliki abnormal return negatif dan portofolio winner memiliki abnormal return positif, sehingga penelitian tersebut sejalan dengan interpretasi dari strategi investasi momentum. Penelitian Siti Masitah Elias, et al. (2014) di Bursa Efek Malaysia mengenai profitabilitas strategi momentum saham industri, menemukan bahwa strategi momentum saham industri menguntungkan di Bursa Efek Malaysia. Berdasarkan deskripsi teori dan hasil penelitian terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: H1: Portofolio saham winner menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan portofolio saham loser pada periode kepemilikan selanjutnya. H2: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja portofolio saham winner-loser pada periode formasi dengan kinerja portofolio saham winner-loser pada periode kepemilikan selanjutnya. 27