BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Portofolio
Teori investasi lebih menganjurkan investor untuk membentuk portofolio
dalam berinvestasi saham. Menurut Samsul (2006), portofolio keuangan dapat
diartikan sebagai investasi dalam berbagai instrument keuangan yang dapat
diperdagangkan di Bursa Efek dan Pasar Uang, dengan tujuan menyebarkan
sumber perolehan return dan kemungkinan risiko. Instrumen keuangan tersebut
bisa meliputi saham, obligasi, valuta asing, deposito, indeks harga saham dan
produk derivative lainnya. Menurut Husnan (2012) pada umumnya pengurangan
risiko investasi dilakukan dengan cara menyebarkan dana ke berbagai aset yang
berbeda, sehingga jika satu aset menderita kerugian, maka nilai investasi tidak
akan hilang semua. Banyak pakar keuangan menyarankan investasi jangan hanya
pada satu saham, tetapi beberapa saham dan berbagai industri, seperti peribahasa
yang dikembangkan oleh Harry Markowitz, yaitu: “don’t put all your eggs in one
basket”. Pernyataan Markowitz tersebut memiliki makna agar lebih baik investor
melakukan diversifikasi. Diversifikasi bermakna membentuk portofolio melalui
pemilihan kombinasi sejumlah aset sedemikian rupa hingga risiko dapat
diminimalkan tanpa mengurangi return harapan. Berdasarkan konteks portofolio,
semakin banyak jumlah saham yang dimasukkan dalam portofolio, semakin besar
manfaat pengurangan risiko (Tandelilin, 2010:112).
13
2.1.2 Strategi Portofolio Saham
Menurut Tandelilin (2010), ada dua strategi yang bisa dilakukan investor
dalam pembentukan portofolio saham, yaitu: strategi pasif dan strategi aktif.
1) Strategi Portofolio Pasif
Strategi portofolio pasif biasanya meliputi tindakan investor yang
cenderung pasif dalam melakukan investasi pada saham dan hanya melihat
pergerakan sahamnya pada indeks pasar. Tujuan strategi pasif adalah untuk
mengikuti kinerja indeks pasar sedekat mungkin. Investor dalam hal ini tidak
secara aktif mencari informasi maupun melakukan jual beli saham yang bisa
menghasilkan abnormal return. Investor yang menggunakan strategi pasif
biasanya percaya bahwa harga pasar yang terjadi adalah harga yang
mencerminkan nilai intrinsik saham tersebut. Adapun strategi yang terdapat dalam
strategi portofolio pasif, yakni strategi beli dan tahan (buy and hold strategy) dan
strategi mengikuti indeks (indexing strategy).
Strategi beli dan simpan membuat investor untuk membeli sejumlah
saham dan kemudian tetap memegangnya untuk beberapa waktu tertentu. Tujuan
strategi ini adalah untuk menghindari biaya transaksi dan biaya tambahan lainnya
yang terlalu tinggi. Investor dalam hal ini percaya bahwa return yang akan
diperoleh dari penerapan strategi ini tidak jauh berbeda dengan return yang
diperoleh jika investor secara aktif membeli dan menjual saham.
Strategi mengikuti indeks bisa digambarkan dengan pembelian reksa dana
atau dana pensiun oleh investor. Investor berharap dengan pembelian reksa dana
tersebut, kinerja investasi pada sekumpulan sekuritas sudah merupakan duplikasi
14
dari kinerja indeks pasar. Investor juga berharap akan memperoleh return yang
sebanding dengan return pasar.
2) Strategi Portofolio Aktif
Strategi portofolio aktif pada dasarnya meliputi tindakan investor yang
secara aktif melakukan pemilihan dan jual beli saham, mencari informasi,
mengikuti waktu dan pergerakan harga saham serta berbagai tindakan aktif
lainnya untuk menghasilkan abnormal return. Tujuan strategi aktif adalah
mencapai return portofolio saham yang melebihi return portofolio saham yang
diperoleh melalui strategi pasif. Strategi aktif dalam pembentukan portofolio
saham bisa menggunakan dua pendekatan dalam analisis saham, yaitu pendekatan
analisis fundamental dan pendekatan analisis teknikal. Pendekatan fundamental
adalah pendekatan untuk menganalisis suatu saham dengan berdasarkan pada
data-data perusahaan, seperti earning, dividen, penjualan, dan lain sebagainya.
Analisis teknikal merupakan pendekatan untuk mencari pola pergerakan harga
saham yang bisa dipakai untuk meramalkan pergerakan harga saham di kemudian
hari.
Ada tiga strategi yang biasanya dipakai investor dalam menjalankan
strategi portofolio aktif, yaitu pemilihan saham, rotasi sektor, dan strategi
momentum harga. Investor dalam strategi pemilihan saham secara aktif
melakukan analisis dan pemilihan saham-saham terbaik, yaitu saham-saham yang
memberikan hubungan tingkat return-risiko yang terbaik dibandingkan alternatif
lainnya. Strategi rotasi sektor biasanya dilakukan oleh investor yang berinvestasi
pada saham-saham di dalam negeri saja. Investor biasanya membeli saham-saham
15
pada suatu sektor atau industri tertentu yang diperkirakan akan mengalami
peningkatan nilai melebihi return pasar. Strategi yang ketiga ialah strategi
momentum harga atau strategi investasi momentum. Penjelasan mengenai strategi
investasi momentum ini akan dijelaskan pada subbab 2.1.3
2.1.3 Strategi Investasi Momentum
Strategi investasi momentum merupakan strategi investasi yang dilakukan
dengan cara membeli saham yang sebelumnya memiliki kinerja baik dan menjual
saham yang sebelumnya memiliki kinerja buruk (Sharpe, et al., 1995). Strategi ini
membuat investor akan mencari momentum yang tepat, yaitu pada saat perubahan
harga yang terjadi bisa memberikan keuntungan bagi investor melalui tindakan
penjualan atau pembelian saham. Berbagai teknik untuk menemukan momentum
yang tepat dalam portofolio saham dapat dilakukan. Data yang telah terjadi (expost data) dipakai guna mencari pola pergerakan saham dan mencari hubungan
sebab akibat antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.
Menurut Sharpe et al. (1995) mengenai pembentukan portofolio saham
berdasarkan strategi investasi momentum, mengemukakan langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Identifikasi saham-saham yang terdaftar di pasar modal.
2) Menentukan peringkat berdasarkan besarnya return untuk periode
yang baru saja berakhir, yang disebut sebagai periode formasi
portofolio.
16
3) Masukkan saham-saham yang memiliki return rata-rata tertinggi ke
dalam kelompok portofolio winner dan saham-saham yang memiliki
return rata-rata terendah ke dalam kelompok portofolio loser.
4) Menentukan return portofolio saham winner dan loser untuk periode
yang akan dimulai, yang disebut periode pengujian portofolio atau
periode kepemilikan selanjutnya.
5) Ulangi analisis dari permulaan, mulai dari langkah pertama tetapi
bergerak maju satu demi satu. Hentikan setelah dilakukan pengulangan
beberapa kali.
6) Tentukan rata-rata abnormal return untuk portofolio winner dan
portofolio loser.
Strategi investasi momentum bekerja dengan baik, apabila portofolio
saham pemenang (winner) yang dibentuk pada periode formasi memiliki kinerja
lebih baik atau tetap terus mengungguli kinerja portofolio saham pecundang
(loser) pada periode kepemilikan selanjutnya. Portofolio saham winner akan
menghasilkan rata-rata abnormal return yang positif, sedangkan portofolio saham
pecundang (loser) akan menghasilkan rata-rata abnormal return yang negatif.
2.1.4 Kinerja Portofolio Saham
Sama halnya dengan kinerja perusahaan, kinerja portofolio juga perlu
untuk dievaluasi. Menurut Tandelilin (2010:488), evaluasi kinerja portofolio akan
terkait dengan dua isu utama, yaitu : (1) mengevaluasi apakah return portofolio
yang telah dibentuk pada periode formasi mampu memberikan return yang lebih
17
besar dibandingkan return portofolio lainnya yang dijadikan sebagai patok duga
(benchmark), (2) mengevaluasi apakah return yang diperoleh sudah sesuai dengan
tingkat resiko yang harus ditanggung.
1) Variabel Penilaian Kinerja Portofolio Saham
Penilaian kinerja portofolio saham memerlukan variabel-variabel yang
relevan. Menurut Husnan (2012) variabel tersebut tidak lain adalah tingkat
keuntungan dan risiko portofolio saham.
(1) Mengukur Tingkat Keuntungan (Return) Portofolio
Tingkat keuntungan yang diperoleh dari pemilik suatu portofolio
dipengaruhi oleh dua sumber, yaitu kemungkinan adanya perubahan harga
sekuritas-sekuritas yang membentuk portofolio tersebut dan pembayaran
dividen (atau juga bunga jika dalam portofolio tersebut terdapat obligasi).
Salah satu cara untuk menghitung tingkat return portofolio adalah dengan cara
menjumlahkan semua aliran kas yang diterima (penjumlahan dividen atau
pendapatan bunga selama periode investasi dengan selisih perubahan nilai
pasar portofolio (capital gain/loss), kemudian dibagi dengan nilai pasar
portofolio pada awal periode (Tandelilin, 2010:490).
Metode perhitungan tersebut cukup sederhana dan mudah untuk
menghitungnya, hanya saja metode tersebut mengandung kelemahan.
Kelemahannya adalah metode perhitungan tersebut hanya sesuai digunakan
untuk menghitung tingkat return portofolio yang bersifat statis, yaitu
portofolio yang tidak mempunyai aliran kas keluar maupun aliran kas masuk
dari investor. Asumsi ini terkadang tidak sama dengan kenyataan yang
18
biasanya terjadi. Kenyataannya selama periode investasi, investor bisa saja
melakukan penambahan atau penarikan dana dari portofolio yang telah
dibentuk, maka dalam hal ini diperlukan metode-metode pengukuran return
portofolio yang lebih tepat dan bisa mengakomodasi situasi tersebut.
Menurut Jones (2004:592), metode perhitungan return portofolio adalah
time-weighted rate of return (TWR) dan dollar-weighted rate of return (DWR).
Besarnya TWR tidak dipengaruhi oleh penambahan atau penarikan dana yang
dilakukan oleh investor selama periode perhitungan return portofolio. Return
yang benar-benar diterima oleh investor adalah dollar-weighted rate of return
(DWR). Besarnya DWR ini ditentukan oleh besarnya arus kas masuk dan arus
kas keluar dalam investasi portofolio akibat penambahan atau penarikan dana
yang dilakukan investor selama periode perhitungan return portofolio
tersebut. Setiap terjadi aliran kas masuk dan aliran kas keluar selama periode
pengukuran akan dihitung tingkat return portofolionya dan kemudian
perhitungan tersebut digunakan untuk menentukan compound rate of return
untuk keseluruhan periode pengukuran. Metode DWR lebih sesuai digunakan
oleh para investor yang selalu ingin mengetahui besarnya return yang akan
diterimanya, sedangkan metode TWR, lebih cocok digunakan oleh manajer
investasi yang ingin mengetahui besarnya return yang ditawarkan portofolio.
Penelitian-penelitian investasi saham sering menggunakan metode simple
interest returns, compound interest returns, dan abnormal return. Metode
simple interest returns dan compound interest returns merupakan pengukuran
return portofolio saham yang dilakukan berdasarkan kinerja historis. Metode
19
simple interest returns dihitung berdasarkan rata-rata aritmatika (arithmetic
mean), sedangkan untuk metode compound interest returns dihitung
berdasarkan rata-rata geometrik (geometric mean). Abnormal return
merupakan pengembangan lebih lanjut dari kedua metode tersebut. Abnormal
return atau excess return adalah selisih antara return sesungguhnya dengan
return ekspektasi. Return yang sesungguhnya dapat dihitung dengan
menggunakan simple interest returns atau compound interest returns,
sedangkan return normal merupakan return ekspektasi (return yang
diharapkan oleh investor).
Menurut Brown dan Warner, (dalam Hartono, 2013:610) mengestimasi
return ekspektasi adalah dengan menggunakan model estimasi mean-adjusted
model, market model, dan market-adjusted model. Mean-adjusted model atau
model sesuaian-rata-rata ini menganggap bahwa return ekspektasi bernilai
konstan yang sama dengan rata-rata return realisasi sebelumnya selama
periode estimasi. Perhitungan return ekspektasi dengan model pasar (market
model) ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu membentuk model ekspektasi
dengan menggunakan data realisasi selama periode estimasi dan menggunakan
model ekspektasi ini untuk mengestimasi return ekspektasi di periode jendela.
Market-adjusted model atau model sesuaian-pasar menganggap bahwa
penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return
indeks pasar pada saat itu juga. Market-adjusted model tidak perlu
menggunakan periode estimasi untuk membentuk model estimasi, karena
return sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar.
20
(2) Risiko Portofolio Saham
Menurut Husnan (2012), pengukur risiko portofolio saham yang relevan
bagi pemodal dinyatakan dalam bentuk deviasi standar tingkat keuntungan
portofolio (disebut sebagai risiko total), atau beta portofolio (disebut risiko
sistematik). Masalah yang dihadapi adalah kapan akan menggunakan ukuran
yang pertama dan kapan akan menggunakan ukuran yang kedua. Deviasi
standar tingkat keuntungan portofolio relevan untuk investor yang
menanamkan dananya hanya atau sebagian besar pada portofolio tersebut.
Lain halnya dengan pemodal yang memiliki berbagai portofolio atau
menanamkan dananya pada berbagai mutual funds, dengan kata lain
melakukan diversifikasi pada berbagai portofolio, beta lebih tepat digunakan
sebagai ukuran risiko.
2) Teknik Penilaian Kinerja Portofolio Saham
Ada dua cara yang bisa dilakukan dalam penilaian kinerja portofolio
saham, yaitu (1) melakukan perbandingan langsung, dan (2) menggunakan ukuran
kinerja tertentu. Ukuran kinerja tertentu (one-parameter performance measures)
perlu dikaitkan dengan risiko (Husnan, 2012).
(1) Perbandingan Langsung
Salah satu cara membandingkan kinerja suatu portofolio saham (biasanya
diwakili oleh mutual funds) adalah membandingkannya dengan portofolio lain
yang mempunyai risiko kurang lebih sama atau kinerja pasar saham secara
keseluruhan. Teknik perbandingan langsung ini akan memberikan jawaban
21
apakah return portofolio yang sudah dibentuk mampu memberikan return yang
mampu melebihi return portofolio lainnya yang dijadikan sebagai patok duga
(benchmark).
(2) Menggunakan Ukuran Kinerja Tertentu
Menurut Haugen (2001 : 269) telah terjadi kemajuan yang besar dalam
penilaian kinerja portofolio saham. Ukuran kinerja investasi dengan dua
parameter risiko dan return yang diawali oleh Markowitz telah direduksi menjadi
sebuah parameter tunggal (one-parametre performance measures). Metode ini
mengukur kinerja portofolio dengan menggunakan satu parameter. Parameter atau
ukuran tersebut dikaitkan dengan risiko, baik risiko total maupun risiko sistematis.
Konsep ini didasarkan pada gabungan antara return dan risiko (risk-adjusted
return). Beberapa ukuran kinerja portofolio yang menggabungkan antara return
dan risiko adalah indeks Sharpe, indeks Treynor, dan indeks Jensen (Tandelilin,
2010:493). Indeks Sharpe mengukur kinerja portofolio dengan total risiko sebagai
indikator, sedangkan Indeks Treynor dan Jensen mengukur kinerja portofolio
dengan risiko sistematis (beta) sebagai indikator. Secara teoritis, ukuran riskadjusted return tersebut memungkinkan dilakukannya pembandingan secara
langsung portofolio dengan tingkat risiko dan return yang berbeda-beda.
Indeks Sharpe dikembangkan oleh William Sharpe dan sering disebut juga
dengan reward-to-variability ratio, yang mendasarkan perhitungannya pada
konsep garis pasar modal (capital market line) sebagai patok duga (benchmark),
yaitu dengan cara membagi premi risiko portofolio dengan standar deviasinya.
Premi risiko adalah perbedaan (selisih) antara rata-rata kinerja yang dihasilkan
22
oleh portofolio dengan rata-rata kinerja investasi yang bebas risiko (risk free
asset). Standar deviasi merupakan risiko fluktuasi portofolio yang dihasilkan
karena berubah-ubahnya return yang dihasilkan dari sub-periode ke sub-periode
lainnya selama seluruh periode. Indeks Sharpe dapat digunakan untuk mengukur
premi risiko untuk setiap unit risiko pada portofolio tersebut, dan mengukur
seberapa besar penambahan hasil investasi yang diperoleh (risk premium) untuk
tiap unit risiko yang diambil. Semakin tinggi Indeks Sharpe suatu portofolio
dibanding portofolio lainnya, maka semakin baik kinerja portofolio tersebut.
Indeks Treynor merupakan ukuran kinerja portofolio yang dikembangkan
oleh Jack Treynor, dan sering disebut juga reward to volatility ratio. Sama halnya
dengan Indeks Sharpe, Indeks Treynor, melihat kinerja portofolio dengan cara
menghubungkan tingkat return portofolio dengan besarnya risiko dari portofolio
tersebut. Indeks Treynor menggunakan garis pasar sekuritas (security market line)
sebagai patok duga (benchmark). Asumsi yang digunakan oleh Treynor adalah
bahwa portofolio sudah terdiversifikasi dengan baik sehingga risiko yang
dianggap relevan adalah risiko sistematis (diukur dengan beta). Semakin tinggi
Indeks Treynor yang dimiliki sebuah portofolio, berarti kinerja portofolio tersebut
akan menjadi relatif lebih baik dibandingkan portofolio yang mempunyai Indeks
Treynor yang lebih rendah.
Indeks Jensen merupakan indeks yang menunjukkan perbedaan antara
tingkat return aktual yang diperoleh portofolio dengan tingkat return yang
diharapkan jika portofolio tersebut berada pada garis pasar modal. Indeks Jensen
23
yang positif dan akan memperlihatkan kinerja superior, sebaliknya Indeks Jensen
yang negatif akan memperlihatkan kinerja lebih rendah dari return pasar.
2.2 Hipotesis Penelitian
Adapun deskripsi teori yang dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan
hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:
Strategi investasi momentum membuat investor berasumsi bahwa apa
yang terjadi di masa lalu cenderung akan terulang lagi di masa mendatang.
Investor mengasumsikan kemungkinan hasil yang terjadi pada saat ini akan sama
atau muncul lagi pada masa depan di bursa saham (Sharpe et al., 1995)
Investor momentum berusaha membeli saham yang harganya baru saja
naik atau memiliki kinerja yang baik, atas dasar kepercayaan bahwa harga saham
tersebut akan terus naik atau kinerja saham akan terus mengalami peningkatan.
Saham-saham yang akhir-akhir ini harganya turun atau memiliki kinerja yang
buruk, sebaliknya akan dijual dengan kepercayaan bahwa saham-saham tersebut
akan terus berada pada kinerja yang buruk.
Investor berdasarkan strategi investasi momentum akan membentuk
portofolio saham dengan melakukan pembelian saham yang sebelumnya memiliki
kinerja baik (portofolio winner) dan melakukan penjualan saham yang
sebelumnya memiliki kinerja buruk (portofolio loser), sehingga portofolio saham
winner akan tetap menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan
portofolio saham loser pada periode mendatang dan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara kinerja portofolio saham winner pada periode formasi dengan
24
periode kepemilikan selanjutnya, serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pula antara kinerja portofolio saham loser pada periode formasi dengan periode
kepemilikan selanjutnya.
Beberapa penelitian terdahulu yang mendukung deskripsi teori strategi
investasi momentum juga dijadikan sebagai acuan untuk merumuskan hipotesis
dalam penelitian ini, seperti:
Rouwenhorst (1998) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel
12 negara Eropa selama periode 1980-1995. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa strategi investasi momentum menguntungkan apabila diterapkan di pasar
modal Eropa. Moskowitz dan Grinblatt (1999), meneliti strategi investasi
momentum dalam portofolio berbasis industri. Strategi investasi momentum yang
dibentuk berdasarkan return saham industri ternyata jauh lebih menguntungkan
dari momentum return saham individual.
Grundy dan Martin (2001), mengkaji strategi investasi momentum dengan
jangka waktu pengujian yang lebih panjang. Hasil penelitiannya menemukan
bahwa strategi investasi momentum telah menguntungkan di Amerika Serikat
sejak tahun 1920-an. Forner dan Joaquin Marhuenda (2003) melakukan penelitian
di Spanish Stock Market menemukan abnormal return yang positif dengan
menggunakan strategi momentum pada saat short term period. Penelitian serupa
juga ditemukan oleh Isabelle Demir, et al. (2004) di pasar modal Australia.
Najmudin (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat
anomali winner-loser di BEI dalam jangka pendek yang berupa terjadinya
investor underreaction. Baik saham winner maupun saham loser masing-masing
25
bergerak dengan tidak berganti posisi sejak periode pembentukan sampai dengan
periode pengujian. Terjadi pula pergerakan excess return yang simetris, saham
loser bergerak semakin menurun, dan sebaliknya saham winner bergerak semakin
naik, sehingga strategi investasi momentum bisa diterapkan di pasar modal
Indonesia.
Shan Hu dan Yue Chin Chen (2011) dalam penelitiannya menemukan
bahwa strategi investasi momentum menghasilkan abnormal return saham yang
positif signifikan selama medium-horizon dan return saham yang tinggi selama
dua tahun holding period ketika ranking period melebihi sembilan bulan. Douagi
dan Chaouachi (2011) yang melakukan penelitian di pasar modal Tunisia
menemukan bahwa strategi investasi momentum memberikan keuntungan yang
signifikan.
Penelitian lebih lanjut kemudian dilakukan oleh Pasaribu (2011) untuk
mengetahui adanya reaksi berlebih di Indonesia melalui harga saham perusahaan
LQ-45 dengan judul “Anomali Overreaction di Bursa Efek Indonesia: Penelitian
Saham LQ-45”. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa tidak ada reaksi
berlebih di Indonesia, maka secara teoritis strategi investasi momentum bisa
diterapkan oleh investor untuk melakukan investasi. Kowanda dan Pasaribu
(2012) melakukan penelitian dengan judul “Strategi Investasi Momentum: Profit
Momentum Saham Pemenang-Pecundang di Indonesia” membahas mengenai
besarnya keuntungan dari portofolio yang terbentuk berdasarkan strategi investasi
momentum, menemukan bahwa masa efektif portofolio saham winner adalah
periode pembentukan tiga bulanan dengan masa kepemilikan selama sembilan
26
bulan, sedangkan untuk portofolio loser, masa efektifnya adalah pada periode
pembentukan sembilan bulan dengan masa kepemilikan dua belas bulan.
Penelitian mengenai overreaction di Indonesia juga diteliti oleh Yunita
(2012), namun penelitiannya hanya dilakukan pada perusahaan keuangan dan
properti. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anomali overreaction tidak
terjadi pada perusahaan keuangan dan properti di Bursa Efek Indonesia, karena
pola portofolio loser memiliki abnormal return negatif dan portofolio winner
memiliki abnormal return positif, sehingga penelitian tersebut sejalan dengan
interpretasi dari strategi investasi momentum. Penelitian Siti Masitah Elias, et al.
(2014) di Bursa Efek Malaysia mengenai profitabilitas strategi momentum saham
industri, menemukan bahwa strategi momentum saham industri menguntungkan
di Bursa Efek Malaysia.
Berdasarkan deskripsi teori dan hasil penelitian terdahulu yang telah
diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:
H1: Portofolio saham winner menghasilkan kinerja yang lebih tinggi
dibandingkan dengan portofolio saham loser pada periode kepemilikan
selanjutnya.
H2: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja portofolio
saham winner-loser pada periode formasi dengan kinerja portofolio saham
winner-loser pada periode kepemilikan selanjutnya.
27
Download