PENGARUH PEMBERIAN SALEP FRAKSI HEKSAN RIMPANG KUNYIT TERHADAP PERSEMBUHAN LUKA MENCIT HIPERGLIKEMIK NIRNA FITRI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit terhadap Persembuhan Luka Mencit Hiperglikemik adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2010 Nirna Fitri NIM B04060417 ABSTRACT NIRNA FITRI. The Effect of Turmeric Rhizome Hexane Fraction Oinment in Wound Healing Process of Hyperglicemic Mice. Under direction of WIWIN WINARSIH DAN IETJE WIENTARSIH. The aim of this research was to determine the potential and efficacy of hexane fraction of turmeric ointment on skin wound healing process of hyperglicemic mice based on gross lesion and histopathology observation. Thirty female mice ± 2 months old with body weight ± 20-25 g were used as experimental animals. Streptozotosin were induced at mice with dose of 40 mg/kg body weight intraperitoneally and were waited 1-2 weeks until blood sugar rate rised up to 200 mg/dl. Mice were wounded by scalpel blade on back area around 1.5 cm. Mice were divided into three groups, which were negative control, positive control, and a group treated with hexane fraction of turmeric ointment. The follow-up times was taken every 2nd, 4th, 7th, 14th, and 21st days. Each followup, two mice from each treatment group get euthanased and then were measured to length change observations cuts and wounds of anatomic pathology (PA) and skin samples were taken for histopathology preparations. PA observations showed that wound healing process in the treated with hexane fraction of turmeric ointment was faster than other treatment groups. Histopathology showed that hexane fraction of turmeric ointment could reduce inflammation process (antiinflammatory), reephitelisation and collagen tissue in hyperglycemic mice. It can be concluded that hexane fraction of turmeric ointment might accelerate wound healing process in hyperglicemic mice. Keywords : hexan fraction ointment, turmeric rizhome, skin, wound healing process, hyperglicemic mice. ABSTRAK NIRNA FITRI. Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit terhadap Persembuhan Luka Mencit Hiperglikemik. Dibimbing oleh WIWIN WINARSIH DAN IETJE WIENTARSIH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan khasiat dari pemberian salep fraksi heksan rimpang kunyit terhadap proses persembuhan luka kulit mencit hiperglikemik berdasarkan pengamatan secara patologi anatomi dan histopatologi. Tiga puluh ekor mencit betina berumur ± 2 bulan dengan bobot badan ± 20-25 gram digunakan sebagai hewan coba. Sebelumnya mencit diinduksi dengan Streptozotosin dosis 40 mg/kg BB secara intraperitoneal dan ditunggu selama 1-2 minggu sampai gula darah meningkat 200 mg/dl. Kemudian mencit dilukai dengan blade skalpel pada bagian punggung sepanjang 1.5 cm. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok kontrol negatif (tidak diobati), kelompok kontrol positif (diobati dengan sediaan komersil), dan kelompok yang diobati dengan salep fraksi heksan rimpang kunyit. Pemanenan sampel dilakukan pada hari ke-2, ke-4, ke-7, ke-14, dan ke-21. Setiap panen, dua ekor mencit dari tiap kelompok perlakuan dieuthanasi dengan menggunakan eter selanjutnya dilakukan pengukuran panjang luka sayatan dan pengamatan patologi anatomi luka (PA) serta mengambil sampel kulit untuk dibuat sediaan histopatologi. Pengamatan PA menunjukan bahwa proses persembuhan luka pada kelompok perlakuan yang diberi salep fraksi heksan rimpang kunyit terlihat lebih cepat dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Secara histopatologi menunjukan bahwa salep fraksi heksan rimpang kunyit dapat mengurangi proses peradangan (antiinflamasi), reepitelisasi, dan jaringan ikat kolagen pada mencit yang hiperglikemia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salep fraksi heksan rimpang kunyit dapat mempercepat proses persembuhan luka pada mencit hiperglikemik. Kata kunci : salep fraksi heksan, rimpang kunyit, kulit, persembuhan luka, hiperglikemik . ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. PENGARUH PEMBERIAN SALEP FRAKSI HEKSAN RIMPANG KUNYIT TERHADAP PERSEMBUHAN LUKA MENCIT HIPERGLIKEMIK NIRNA FITRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit terhadap Persembuhan Luka Mencit Hiperglikemik Nama : Nirna Fitri NIM : B04060417 Disetujui Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet Pembimbing I Dr. Dra.Hj. IetjeWientarsih,Apt.MSc Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Penulis ucapkan terimakasih kepada Orangtua dan adik-adik tercinta untuk doa, dukungan, dan kepercayaannya. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada ibu Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi dan ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini; Dr. Drs. Bambang Kiranadi, MSc selaku dosen pembimbing akademik; Drh. Adi Winarto, Ph.D dan Dr. drh. Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen penilai; Drh. Mawar Subangkit, Pak Endang, Pak Kasnadi, Pak Sholeh dan mbak Kiki yang telah banyak membantu selama bekerja di laboratorium patologi; Kak Asih dan Ibu Lina atas kerjasama dan perjuangannya selama penelitian; Penghuni pondok Irafan (Dana, Yevi, Evi, Rista, Ivone, Putra, Kukur, Iir) atas hari-hari yang menyenangkan di kostan; Teman dan sahabat tercinta (Icha, Bowo, Tommy, Edo, Binol, Mas Glen, Vivit, Siska, Nobo, Reni) atas semangat dan kebersamaannya selama ini; teman-teman seperjuangan “43sculapiuser” tercinta, terima kasih atas kebersamaan dan semua kisah indah selama 3 tahun; teman-teman seperjuangan di IMAKAHI dan Himpro Satwa Liar yang memberikan begitu banyak pengalaman dan pengajaran serta semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak mungkin dituliskan satu persatu. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapakan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Agustus 2010 Nirna Fitri RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang, Jawa Barat pada tanggal 02 Juni 1987 dari ayah Muslim Abu Bakar, Sp.MP. dan ibu Asmawiyah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 3 Yosodadi (1994-2000), SLTP Negeri 2 Metro (2000-2003), dan SMA Negeri 1 Metro (2003-2006). Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Mayor yang dipilih penulis di IPB adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa dari IPB. Penulis juga aktif menjadi pengurus Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) pada tahun 2007/2008 dan pengurus Himpunan Profesi Satwa Liar tahun 2008/2009, reporter majalah dan buletin Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Vet Zone. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit terhadap Persembuhan Luka Mencit Hiperglikemik” sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan ibu Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet dan ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. MSc. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………… xi DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. xii DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………… xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………….…. Tujuan …………………………………………………………... Manfaat ………………………………………………………..... 1 2 2 TINJAUAN PUSTAKA Kunyit…………………………………………………………… Kurkumin ……………………………………………………….. Mencit ………………………………………………………....... Streptozotosin (STZ)...................................................................... Struktur dan Fungsi Kulit…………………………….………….. Histologi Kulit……………………………………….…………... Vaskularisasi Kulit……………………………………….………. Persembuhan Luka ……………………………………….……… Salep …………………………………………………………….. Vaselin ……………………………………………….………….. Pelarut Heksan ………………………………………….……….. Etanol …………………………………………………….……… Ekstraksi …………………………………………………….…… Hiperglikemia ……………………………………………………. 3 5 5 7 8 9 11 12 13 14 14 15 15 17 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat ……………………………………………… Alat dan Bahan Rimpang Kunyit ………………………………………………… Hewan Percobaan ……………………………………………….. Alat ……………………………………………………………… Bahan ……………………………………………………………. Metodologi Ekstraksi Rimpang Kunyit ……………………………………… Pembuatan Salep Fraksi Heksan Kunyit ………………………. .. Perlakuan Pada Mencit …………………………………….…..... Pengamatan Patologi Anatomi ………………………………….. Pengamatan Histopatologi …………………………………….… Pembuatan Sediaan Haematoksilin Eosin (HE) ……………….… Pembuatan Sediaan Masson Trichome (MT) ……………………. Analisis Data…………………………………..…………………. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Luka Secara Makroskopis (Patologi Anatomi)…....... Pengamatan Luka Secara Mikroskopis (Histopatologi) 20 20 20 20 21 21 22 22 22 22 23 24 24 26 Sel Polimorfonuklear………............................................................. Makrofag………............................................................................... Neovaskularisasi……….................................................................... Reepitelisasi………........................................................................... Luas Jaringan Kolagen……………………………………………... 30 32 34 35 38 SIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 41 LAMPIRAN……………………………………………………………….. 45 DAFTAR TABEL Halaman 1 Patologi anatomi persembuhan luka kulit mencit hiperglikemik….............. 26 2 Rataan jumlah neutrofil pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik……………………………………………………….. 30 3 Rataan jumlah sel makrofag pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik …………..…………………………........................... 32 4 Rataan jumlah neovaskularisasi pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik...................................................................................... 34 5 Rataan persentase reepitelisasi pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik……………………………..…………………........... 35 6 Rataan persentase luas jaringan kolagen pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik………………………….………………………......... 38 xi DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman kunyit.......................................................................................... 3 2 Rimpang kunyit …………………………………………………………. 4 3 Struktur kimia kurkumin………………………………………………… 5 4 Mencit laboratorium ………………………………………………......... 6 5 Struktur epidermis kulit…………………………………………………. 9 6 Struktur anatomi kulit……………………………………………….…... 11 7 Gambaran patologi anatomi pada ketiga kelompok perlakuan………….. 30 8 Sel radang PMN (neutrofil) kelompok perlakuan kontrol negatif (tanpa perlakuan pengobatan) pada hari ke-7........................................... 31 9 Sel Makrofag kelompok perlakuan kontrol negatif (tanpa perlakuan pengobatan) pada hari ke-14………..………………… 33 10 Neovaskularisasi yang terbentuk pada jaringan luka kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit pada hari ke-14…………. 35 11 Perbandingan reepitelisasi hari ke-21 pada ketiga kelompok perlakuan………………………............................................... 37 12 Jaringan ikat kolagen pada kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit pada hari ke-14…………………………… 39 xii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Grafik rataan jumlah sel neutrofil, makrofag, neovaskularisasi, reepitelisasi, dan luas jaringan kolagen pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik………………………………………………. 45 2 Hasil perhitungan statistik polimorfonuklear…………………………… 47 3 Hasil perhitungan statistik makrofag……………………………………. 50 4 Hasil perhitungan statistik neovaskularisasi…………………………….. 53 5 Hasil perhitungan statistik persentase reepitelisasi……………………… 56 6 Hasil perhitungan statistik persentase luas jaringan kolagen…….……... 58 xiii PENDAHULUAN Latar Belakang Kunyit (Curcuma longa Linn) merupakan salah satu tanaman suku temutemuan yang termasuk famili Zingiberaceae yang banyak ditanam di pekarangan, kebun, dan sekitar hutan jati. Kunyit dikenal sebagai penetral bau anyir pada masakan, pewarna pada nasi kuning. Ramuan obat dengan bahan baku kunyit sudah lama diolah secara tradisional dengan cara sederhana dan bersifat turun temurun, namun akhir-akhir ini, kunyit juga sudah diolah secara moderen dalam skala industri luas oleh industri makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan industri tekstil. Kunyit juga dikenal sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit karena dapat digunakan sebagai antioksidan, antiradang, antikanker, dan antitumor (Winarto 2003). Hiperglikemia merupakan gambaran bagi individu yang mengalami kadar glukosa darah terlalu tinggi untuk fungsi metabolik (Davidson 1998). Menurut Polk (1998), hiperglikemia yang berkepanjangan dapat mengarah ke arah stres dan diabetes melitus. Menurut Soenanto (2005), diabetes melitus (DM) atau penyakit kencing manis adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan hormon yang mengakibatkan sel-sel dalam tubuh tidak dapat menyerap glukosa dari darah. Hiperglikemik kronik seperti pada kasus DM sering menyebabkan terjadinya komplikasi sekunder seperti pada pembuluh darah, ginjal, saraf, gangguan penglihatan, dan infeksi. Kerusakan pembuluh darah dapat menyebabkan aliran darah menurun sehingga terjadi kerusakan saraf pada kaki. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus pada kaki (kaki diabetik). Kaki diabetik merupakan komplikasi kronik yang terjadi pada hampir 15% dari semua penderita diabetes. Beberapa penelitian menyatakan bahwa 6-3% pasien dengan kaki diabetik pada akhirnya akan diamputasi (Scobie 2007). Penelitian ini dilakukan berdasarkan beberapa alasan ilmiah yang menyangkut hubungan antara hiperglikemia yang berkepanjangan (kronis) sehingga dapat menimbulkan penyakit DM dan menimbulkan beberapa 2 komplikasi pada kulit yang lama untuk disembuhkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji potensi fraksi rimpang kunyit dalam bentuk sediaan salep dalam proses persembuhan luka pada hewan coba yaitu mencit. Sehingga akan didapatkan alternatif pengobatan persembuhan luka pada kulit dengan kunyit sebagai rempah-rempah asli Indonesia yang mudah ditemukan di berbagai daerah dengan harga yang ekonomis. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan khasiat dari pemberian fraksi heksan rimpang kunyit dalam bentuk salep pada proses persembuhan luka secara patologi anatomi dan histopatologi pada kulit mencit hiperglikemik. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai alternatif pengobatan persembuhan luka pada kulit terutama pada penderita hiperglikemik dengan harga yang ekonomis dan mudah didapat. 3 TINJAUAN PUSTAKA Kunyit Kunyit termasuk dalam famili Zingiberaceae. Kunyit merupakan tanaman herbal dan tingginya dapat mencapai 100 cm. Batang kunyit semu, tegak, bulat, membentuk rimpang, dan berwarna hijau kekuningan. Kunyit memiliki daun tunggal yang berbentuk helai dan lanset memanjang, memiliki jumlah 3-8 dengan ujung dan pangkal daun runcing, tepi daun rata, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau pucat. Bunga kunyit berwarna kuning atau kuning pucat dan mekar secara bersamaan. Rimpang induk menjorong sedangkan rimpang cabang lurus atau sedikit melengkung. Keseluruhan rimpang membentuk rumpun yang rapat, berwarna jingga, dan tunas mudanya berwarna putih. Akar serabut kunyit berwarna coklat muda. Bagian tanaman yang digunakan adalah rimpang atau akarnya. Warna kulit rimpang agak kecoklatan, sedangkan bagian dalamnya berwarna kuning cerah. Batang semu tertutup rapat oleh pelepah daun, bentuk daun lonjong memanjang, tipis dengan ukuran 30x7-8cm. Bunganya majemuk yang muncul pada ketiak tunas (Ashari 1995). Gambar 1 Tanaman Kunyit (Winarto 2003). Rimpang kunyit (Gambar 1) mengandung minyak atsiri dengan senyawa antara lain fellandrene, sabinene, sineol, borneol, zingiberene, kurkumin, turmenon, kamfene, kamfor, sesquiterpene, asam kafrilat, asam metoksisinamat, dan tolimetil karbinol. Selain itu, rimpang kunyit juga mengandung tepung dan zat warna yang mengandung alkaloid kurkumin (Mahendra 2005). 4 Menurut Sudarsono et al. 1996, kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit adalah sebagai berikut: a. Zat warna kurkuminoid yang merupakan suatu senyawa diarilheptanoid 3-4% yang terdiri dari kurkumin, dihidrokurkumin, desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin. b. Minyak atsiri 2-5% yang terdiri dari seskuiterpen dan turunan fenilpropana turmeron (aril-turmeron, alpha turmeron dan beta turmeron), kurlon kurkumol, atlanton, bisabolen, seskuifellandren, zingiberin, aril kurkumen, humulen. c. Arabinosa, fruktosa, glukosa, pati, tanin, dan damar d. Mineral yaitu magnesium, besi, mangan, kalsium, natrium, kalium, timbal, seng, kobalt, alumunium, dan bismuth. Gambar 2 Rimpang kunyit (Rukmana 1991). Klasifikasi kunyit menurut Linnaeus dalam Winarto (2003), sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophita Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Subkelas : Zingiberales Famili : Zingibereaceaae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma Longa Linn. 5 Kurkumin Kurkumin 1,7-bis(4’hidroksi-3metoksifenil)-1,6 heptadien, 3,5-dion merupakan komponen penting dari Curcuma longa Linn. yang memberikan warna kuning yang khas (Jaruga et al. 1998 dan Pan et al. 1999). Kurkumin adalah senyawa aktif yang ditemukan pada kunyit. Kurkumin merupakan polifenol yang memiliki rumus kimia (C21H20O6) mirip asam ferulat yang banyak digunakan sebagai penguat rasa pada industri makanan (Pan et al. 1999). Kurkumin bermanfaat sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, penghambatan karsinogenesis, penghambatan proliferasi sel, antiestrogen, antiangiogenesis, dan juga antiinflamasi. Selain itu, kurkumin juga diyakini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan memacu apoptosis sel kanker (Dheni 2007). Menurut Purwanti (2008), kandungan kurkumin dalam kunyit adalah 2.38% per 100 gram kunyit. Partikel kurkumin memilki bagian dalam yang bersifat hidrofobik dan bagian luar yang bersifat hidrofilik (Dheni 2007). Serbuk kering rizoma (turmeric) mengandung 3-5% kurkumin dan dua senyawa derivatnya dalam jumlah yang kecil yaitu dismetoksi kurkumin dan bisdesmetoksikurkumin, yang ketiganya sering disebut sebagai kurkuminoid (Tonessen dan Karlsen 1995). Kurkumin tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol atau dimetilsulfoksida (DMSO). Degradasi kurkumin tergantung pada pH dan berlangsung lebih cepat pada kondisi netral-basa (Aggarwal et al. 2003a). Secara kimia, kurkumin dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 3 Struktur kimia kurkumin (Best 2008). Mencit Mencit dipilih sebagai hewan percobaan karena merupakan hewan yang praktis, mudah dipelihara dalam ruangan yang relatif kecil dan dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah yang cukup banyak (Malole dan Pramono 1989). Mencit laboratorium adalah strain mencit yang telah dikembangkan oleh ahli genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun silam (Penn 1999). 6 Mencit laboratorium setelah diternakan secara selektif memilki berbagai warna rambut dan timbul banyak galur dengan berat badan berbeda-beda (Smith 1988). Klasifikasi mencit menurut Linnaeus dalam Arington (1972), adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Myomorphoa Familia : Muridae Sub familia : Murinae Genus : Mus Species : Mus musculus Gambar 4 (Dokumentasi Pribadi 2009). Mencit laboratorium dapat dikandangkan dalam kotak sebesar kotak sepatu. Hal yang paling penting dalam sistem perkandangan mencit adalah persyaratan fisiologis dan tingkah laku mencit harus diperhatikan. Persyaratan ini antara lain untuk menjaga lingkungan tetap kering dan bersih, suhu yang memadai, dan memberi ruang yang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi (Smith 1988). Sistem kandang harus dilengkapi makanan dan minuman yang mudah dicapai oleh mencit dan kandang tidak boleh diisi sampai berdesak-desakan agar hewan dapat bebas bergerak (Otis dan Foster 1983). Mencit berkembang biak dalam waktu yang singkat (19-21 hari) sehingga keturunannya dapat diperoleh dalam jumlah banyak. Mencit baik jantan maupun 7 betina dapat dikawinkan pada umur 8 minggu. Estrus terjadi kira-kira tiap 4-5 hari dan lamanya estrus 12-14 jam, perkawinan dapat dilakukan pada waktu estrus. Lama bunting biasanya 19-21 hari dan anak-anak dapat disapih pada umur 18-28 hari tetapi biasanya 21 hari (Smith 1988). Streptozotosin (STZ) Menurut Herr et al. (1967) dalam Cooperstein (1981), STZ diproduksi oleh Streptomyces achromogenes. STZ memiliki nama lain yaitu 2-deoksi-2-(3metil-3-nitrosureido)-D-glukopiranosa (Shalahuddin 2005) yang dapat digunakan untuk menginduksi kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia) dan apabila terjadi lama (kronis) akan menjadi kondisi diabetes melitus pada hewan coba karena secara selektif merusak sel B di pulau langerhans (Cooperstein et al. 1981; Ganong 2003). STZ terdiri dari 1-methyl-1-nitrosourea (Cooperstein 1981) yang berikatan dengan C-2 dari D-glukosa dengan berat molekul 265 g/mol (Shalahuddin 2005). STZ memiliki struktur separuh glukosa, karena berisi campuran α dan β anomer (Herr et al 1967 dalam Cooperstein 1981). Menurut Shalahuddin (2005), STZ masuk ke dalam sel B pankreas melalui GLUT 2 (Glukosa Transport 2) dan berikatan dengan C-2 dari D-glukosa kemudian menurut Karunnayake et al. (1976) dalam Cooperstein (1981) setelah berikatan dengan gugus separuh glukosa menghasilkan degradasi metabolit untuk melepaskan N-metilnitroso kemudian menembus sel B dan menimbulkan efek sitotoksik. N-nitrosometilurea menurut Gunnarsson et al. (1974) dalam Cooperstein (1981) juga dapat menyebabkan nekrosis sel B. nekrosis massive pada sel B terjadi 7 hari setelah injeksi STZ (Junod et al. 1967 dalam Cooperstein 1981). Rossini et al. (1977) dalam Cooperstein (1981) menyebutkan bahwa dosis 30-40 mg/kg α anomer STZ menimbulkan keparahan nekrosis sel B daripada β anomer, walaupun dosis lebih tinggi tidak ada perbedaan. Dosis yang digunakan untuk menginduksi DMT1 secara intraperitoneal dengan dosis 40 dan 60 mg/kg berat badan atau lebih tinggi dan kurang efektif dibawah 40 mg/dL. STZ dapat menyebabkan efek diabetogenik dengan meningkatkan konsentrasi intraseluler radikal bebas atau menurunkan kemampuan sel B untuk 8 mengatur/mempertahankan antioksidan (Robbins et al 1980 dalam Cooperstain 1981). Selain itu STZ merupakan donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel pulau langerhans pankreas dan dapat menghambat siklus krebs sehingga terjadi deplesi nukleotida pada sel B (Shalahuddin 2005). Sel B berkurang setelah 90 menit setelah injeksi STZ (Orci et al. 1972 dalam Cooperstein 1981). Kulit Struktur dan fungsi kulit Kulit adalah suatu jaringan/organ yang kompleks, suatu organ yang dinamis dengan banyak macam sel multiple dengan tipe dan fungsi yang khas. Kulit merupakan organ pembungkus tubuh paling luar, sehingga kulit sangat krusial bagi kesehatan karena merupakan pertahanan terdepan (Dharmojono 2002). Secara mikroskopis, kulit terdiri dari 3 lapisan yaitu epidermis, dermis dan lemak subkutan. Epidermis merupakan bagian terluar kulit yang dibagi lagi menjadi 2 lapisan utama yaitu lapisan sel-sel tidak berinti yang bertanduk (stratum korneum atau lapisan tanduk) dan lapisan dalam yaitu stratum malfigi. Stratum malfigi merupakan asal sel-sel permukaan bertanduk setelah mengalami proses diferensiasi. Stratum malfigi dibagi menjadi stratum granulosum, lapisan sel basal (stratum germinativum), dan stratum spinosum (Anderson et. al 2002). Dermis terletak tepat di bawah epidermis, dan terdiri dari serabut-serabut kolagen, elastin, dan retikulin yang tertanam dalam suatu substansi dasar. Matriks kulit mengandung pembuluh-pembuluh darah dan saraf yang menyokong dan memberi nutrisi pada epidermis yang sedang tumbuh. Di sekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan neutrofil/polimorfonuklear (PMN) yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing. Serabut-serabut kolagen khusus menambatkan sel-sel basal epidermis pada dermis. Di bawah epidermis terdapat lapisan ketiga yaitu lemak subkutan. Lapisan ini merupakan bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu tubuh dan tempat penyimpanan energi (Anderson et al. 2002). Kulit berfungsi untuk melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme, 9 mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan air secukupnya tetap terjadi, bertindak sebagai pengatur panas dengan melakukan konstriksi dan dilatasi pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat, dan bertindak sebagai alat pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu reseptor tekan, suhu, dan nyeri (Mutchler 1991). Kulit juga melindungi tubuh dari trauma dan merupakan benteng pertahanan terhadap infeksi bakteri, virus dan jamur. Kehilangan panas dan penyimpanan panas diatur melalui vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah kulit atau sekresi kelenjar keringat. Kulit juga merupakan tempat sensasi raba, tekan, suhu, nyeri dan nikmat, berkat jalinan ujung-ujung saraf yang saling bertautan (Anderson 2002). Gambar 5 Struktur Epidermis Kulit (Graham 2005). Histologi kulit 1. Epidermis Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Epidermis merupakan stratified squamous epithelium membangun diri menjadi stratum korneum yang terdiri dari sel berzat tanduk tanpa inti sel (anucleate cornified cells) dengan ketebalan 40 µm sampai 1.6 mm (Parker 1991). Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat ditubuh. Epidermis yang paling tebal yaitu pada telapak tangan dan kaki. Epidermis mengalami regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis mendapat pasokan makanan dari korium yang berhubungan dengannya 10 melalui papila berbentuk bulat dan melalui kelenjar dan folikel rambut (Mutchler 1991). Secara histologi, lapisan epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) dibedakan atas : a. Stratum korneum (lapisan tanduk) terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. Terdiri atas sel tidak berinti, pipih dan mengalami keratinisasi sempurna. b. Stratum lusidum (lapisan keratohialin) berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan c. Stratum granulosum (lapisan bergranul) yang ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang intinya yang kecil ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidine. Pada stratum granulosum terdapat sel langerhans. d. Stratum spinosum e. Stratum germinativum (stratum basal) merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit. Terdapat aktivitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia, dan faktor lain. Fungsi epidermis yaitu sebagai proteksi barrier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan allergen (sel Langerhans) (Perdanakusuma 2008) 2. Dermis Dermis merupakan bagian yang paling penting dikulit yang sering dianggap “True Skin”. Terdiri dari jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Lapisan dermis akan memberi makan pada epidermis selama proses embriogenesis, penyembuhan luka, dan upaya membangun kembali kulit. Dermis terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan papiler merupakan lapisan yang tipis mengandung jaringan ikat jarang dan lapisan retikuler merupakan lapisan yang tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah, mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebassea dan kelenjar keringat. Kualitas 11 kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi dermis antara lain sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, dan respon inflamasi (Perdanakusuma 2008). 3. Subkutis Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Lapisan ini berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi subkutis/hipodermis yaitu untuk isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber (Perdanakusuma 2008). Vaskularisasi Kulit Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk plexus yang terletak antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan plexus ini dan menginervasi papila dermis, tiap papila dermis memilki satu arteri asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tetapi disuplai nutrien dari dermis melalui membran epidermis (Perdanakusuma 2008). Gambar 6 Struktur Anatomi Kulit (Graham 2005). 12 Persembuhan Luka Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh untuk memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya (Vegad 1995). Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses persembuhan luka adalah kolagen dan sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis kolagen (Perdanakusuma 2008). Luka diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu luka akut dan luka kronik. Luka akut merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Contohnya luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury. Luka kronik yaitu luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali dimana terjadi gangguan pada proses persembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada luka kronik, luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya kecenderungan untuk timbul kembali. Contohnya yaitu ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus vena, luka bakar, dll (Perdanakusuma 2008). Fisiologi persembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase: 1. Fase Inflamasi Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit bersama benang-benang fibrin untuk membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, sel mast, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polimorfonuklear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF-β1) yang juga dikeluarkan 13 oleh makrofag. Adanya TGF-β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen (Perdanakusuma 2008). 2. Fase Proliferasi (Fibroplasi) Fase ini disebut fibroplasi karena pada fase ini fibroblas sangat menonjol perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi (Perdanakusuma 2008). 3. Fase Remodeling (maturasi) Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses persembuhan luka. Pada fase ini terjadi proses yang dinamis berupa remodeling kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Perdanakusuma 2008). Ada 2 faktor yang mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu faktor lokal dan general. Faktor lokal meliputi suplai pembuluh darah yang kurang, denervasi, hematoma, infeksi, iradiasi, stres mekanik, teknik bedah, irigasi, elektrokoagulasi, suture materials, dressing material, antibiotik, tipe jaringan. Faktor general meliputi usia, anemia, obat-obatan anti peradangan, diabetes melitus, hormon, infeksi sistemik, jaundice, penyakit menular, malnutrisi, obesitas, temperatur, trauma, hipovolemia, dan hipoksia, uremia, vitamin C, A, trace metals (Perdanakusuma 2008). Salep Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat dalam pembuatan salep harus larut/terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. Pemilihan dasar salep harus memiliki syarat tertentu, diantaranya stabil secara fisik dan kimia, warna dan bau stabil selama penyimpanan/pemakaian, dapat dicampur dengan semua obat, teksturnya halus dan licin sehingga mudah dioles pada kulit (Farmakope Indonesia 1979). Selain itu dasar salep juga harus baik untuk semua tipe kulit, tidak mudah tengik, tidak mengiritasi kulit, dan mudah dioleskan (Wientarsih dan Prasetyo 2006). 14 Salep merupakan sediaan dermatologi yang paling sering dipakai. Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi salep tergantung pada pemikiran yang cermat atas sejumlah faktor-faktor termasuk laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep, keinginan peningkatan absorbsi per kutan dari obat, kelayakan melindungi kelembaban kulit, kestabilan dasar salep dalam jangka waktu yang lama, pengaruh obat terhadap kekentalan atau lainnya dari dasar salep (Ansel 1989). Vaselin Vaselin dibuat pertama kali oleh Chasebrough-Manufacturing-Company di New York pada tahun 1871. Vaselin menggambarkan suatu sistem dua fase dengan struktur gel. Secara kimia, vaselin adalah netral, sehingga tersatukan dengan bahan obat dan bahan pembantu dan praktis dapat bertahan tanpa batas. Sebagai bahan asing untuk tubuh, vaselin dapat mengarahkan kepada perangsangan pada pasien-pasien yang kulitnya sangat peka (vaselin, parafin), karenanya penggunaan pada penyakit kulit akut dihindari. Vaselin sangat cocok digunakan sebagai bahan dasar salep, baik sebagai salep pelindung, sebagai sistem pembawa, sebagai bahan obat, dan sebagai dasar untuk sistem yang mengandung emulgator, berkemampuan mengambil air. Vaselin bersifat transparan dalam lapisan tipis dan hanya boleh memiliki bau yang tidak menarik perhatian (Voight 1971). Pelarut Heksan Menurut Basri (1996) heksan adalah hidrokarbon alifatik tak jenuh dengan formula CH3(CH2)4CH3 termasuk dalam alkana, berbentuk cairan yang mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, tidak larut dalam air tetapi larut dalam alkohol, eter dan aseton. Heksan didapat dari penyulingan bertingkat petroleum dan sering digunakan sebagai pelarut dan pengencer cat. Heksan merupakan senyawa nonpolar, sehingga gaya tarik antar molekulnya lemah. Heksan tidak larut dalam pelarut polar seperti air, tetapi larut dalam pelarut nonpolar atau sedikit polar seperti dietil eter atau benzen. Kelarutannya disebabkan oleh gaya tarik Van Der Walls antara pelarut dan zat 15 terlarut. Heksan memiliki berat lebih ringan dibandingkan air dan titik didihnya adalah 69˚C (Brieger 1969). Etanol Etanol banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman. Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O (Ane 2008). Kelarutan zat dalam pelarut tergantung dari ikatannya (polar, semipolar, atau non polar). Etanol termasuk ke dalam pelarut polar, sehingga sebagai pelarut etanol diharapkan dapat menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar (Hougton dan Raman 1998). Ekstraksi Ekstraksi yaitu suatu metode pemisahan dan identifikasi kandungan kimia. Tumbuhan yang akan diekstraksi biasanya dikeringkan terlebih dahulu. Setelah betul-betul kering, tumbuhan dapat disimpan untuk jangka waktu lama sebelum digunakan untuk analisis (Harborne 1987). Prosedur untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering dengan ekstraksi menggunakan pelarut alkohol karena alkohol merupakan pelarut serbaguna untuk ekstraksi tumbuhan (Harborne 1987). Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Proses pengekstrasian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbanagan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel. Ekstraksi adalah proses untuk mengisolasi senyawa dari suatu tumbuhan. Ragam ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987). Ekstraksi sangat bergantung pada jenis dan komposisi dari cairan pengekstraksi. Cairan pelarut yang biasanya digunakan dalam proses ekstraksi adalah air, eter, atau campuran etanol air. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol air sebaiknya menggunakan cara maserasi (Farmakope Indonesia 1979). 16 Ekstraksi adalah proses penarikan atau pemisahan zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan cairan penyaring yang cocok (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar (Yuliani dan Rusli 2003). Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006) pembagian ekstrak berdasarkan macam simplisia. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya bahan yang dikeringkan. Ada 3 macam jenis simplisia, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia mineral. Simplisia nabati yaitu berasal dari tanaman utuh, bagian tanaman, dan eksudat tanaman. Simplisia hewani berasal dari hewan utuh atau bagiannya atau zat yang dihasilkan hewan. Simplisia mineral yaitu simplisia yang berasal dari mineral baik yang diolah atau belum diolah. Penelitian ini menggunakan jenis ekstrak tingtur dan simplisia nabati. Jenis ekstrak ini menggunakan metode maserasi (perendaman). Menurut Wientarsih dan Prasetyo 2006, metode ekstraksi dibagi ke dalam 5 cara yaitu: 1. Maserasi Maserasi (macerare = mengairi, melunakan) adalah cara ekstraksi yang paling sederhana (Harborne 1987). Maserasi dilakukan dengan mencampur 10% simplisia dengan 75 bagian penyari ke dalam sebuah wadah, kemudian ditutup dan dibiarkan selama 5 hari. Setelah itu diserkai, diperas, dan diaduk. Ampas dicuci dengan cara menambahkan penyari 100 bagian kemudian dipindahkan ke dalam bejana, ditutup selama 2 hari. Setelah itu, disaring dan dituang (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Bahan jamu yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-potong atau diserbuk-kasarkan) disatukan dengan bahan ekstraksi. Deposisi tersebut disimpan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu maserasi berbeda-beda, menurut farmakope waktu maserasi sekitar 4-10 hari. Pengocokan harus dilakukan secara berulang (kira-kira 3x sehari) sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat ke dalam cairan. 17 Keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Farmakope Indonesia 1979). Keuntungan dari metode ini yaitu pengerjaan dan alat yang digunakan sederhana, tetapi juga memiliki kerugian yaitu membutuhkan waktu yang lama pada proses pengerjaannya dan proses ekstraksinya kurang sempurna (Yuliani dan Rusli 2003). 2. Metode Perkolasi Metode ini dilakukan dengan cara mencampur 10 bagian simplisia ke dalam 5 bagian larutan pencuci. Setelah itu dipindahkan ke dalam percolator dan ditutup selama 24 jam setelah itu dibiarkan menetes sedikit demi sedikit. Perkolat yang telah terbentuk kemudian diuapkan (Wientarsih dan Prasetyo 2006) 3. Digesti Metode ini merupakan bentuk lain dari maserasi yang menggunakan panas seperlunya selama proses ekstraksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006). 4. Infusi Metode ini dilakukan dengan memanaskan campuran air dan simplisia pada suhu 90o dalam waktu 5 menit. Selama proses ini berlangsung campuran terus diaduk dan diberi tambahan air hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (Wientarsih dan Prasetyo 2006). 5. Dekoksi Metode ini hampir sama dengan metode infusi hanya saja waktu pemanasanya lebih lama yaitu sekitar 30 menit (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Hiperglikemia Hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada diabetes melitus baik tipe 1 maupun tipe 2. Hiperglikemia yaitu tingginya kadar glukosa di dalam darah. Hiperglikemia dapat bersifat fisiologis dan patologis. Kondisi hiperglikemia fisiologis terjadi pada individu ketika setelah makan, sedangkan hiperglikemia patologis terjadi akibat kadar glukosa di dalam darah yang tetap tinggi dalam waktu yang lama. Hiperglikemia yang bersifat kronis dapat mengarah pada kondisi diabetes melitus. Penderita diabetes, khususnya hiperglikemia cenderung sering minum seiring dengan keinginan tubuh yang 18 berusaha menghilangkan glukosa ekstra. Hal ini menyebabkan tingginya kadar glukosa di dalam urine (Susianto et al 2008). Diabetes melitus atau penyakit kencing manis adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan hormon yang mengakibatkan sel-sel dalam tubuh tidak dapat menyerap glukosa dari darah (Soenanto 2005). Penyakit ini timbul ketika di dalam darah tidak terdapat cukup insulin atau ketika sel-sel tubuh tidak dapat bereaksi secara normal terhadap insulin dalam darah (Irianto 2004). Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal. Akibat gangguan hormonal tersebut dapat menimbulkan komplikasi pada mata seperti katarak, ginjal (nefropati), saraf, pembuluh darah dan kulit. Hewan dengan diabetes melitus akan mempunyai kadar gula yang sangat tinggi dalam darahnya setelah makan dan akan menurun jika sedang berpuasa. Gula darah normal pada saat puasa yaitu <110 mg/dl, sedangkan gula darah normal 2 jam setelah makan yaitu <200 mg/dl. Ada 2 type diabetes melitus, yang pertama yaitu yang tergantung dengan insulin atau Insulin Dependent Diabetes mellitus (IDDM), type ini biasanya disebabkan karena destruksi dari sel beta langerhans akibat proses auto immune, sedangkan tipe yang kedua adalah diabetes melitus yang tidak tergantung dengan insulin atau Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) akibat dari kegagalan relatif sel beta langerhans (Esfandiari 2008). Umumnya diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau sebagian besar dari sel-sel beta pulau langerhans pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin. Insulin adalah hormon yang diproduksi sel beta di pankreas. Pankreas merupakan kelenjar yang terletak dibelakang lambung, yang berfungsi mengatur metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan di dalam hati dan otot. Diabetes juga terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin dalam memasukan glukosa kedalam sel. Obesitas merupakan salah satu faktor pencetus dari diabetes melitus. Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang dapat melibatkan multiorgan seperti ginjal, syaraf, mata, kulit dan sebagainya. Pada organ kulit, penyakit diabetes melitus memberikan manifestasi yang bervariasi, namun 19 mekanisme pasti belum diketahui. Faktor penyebab diabetes melitus antara lain yaitu faktor keturunan, kegemukan sehingga kerja pankreas menjadi lebih berat, faktor lain adalah kurang olahraga dan stres. Gejala diabetes melitus yaitu kencing dalam jumlah banyak, rasa lapar yang berlebihan, berat badan menurun meskipun cukup banyak makan, badan terasa lemah, lesu, kurang tenaga, sering mengalami kesemutan di bagian kaki, jika bagian tubuh luar terluka, membutuhkan waktu penyembuhan yang cukup lama karena efek dari penyakit gulanya (Soenanto 2005). Semua jenis diabetes melitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi pada tingkat lanjut. Hiperglikemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (resiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan syaraf yang menyebabkan impotensi dan gangren dengan resiko amputasi. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009 hingga Juni 2010 di Bagian Patologi dan Laboratorium Farmasi (Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi), Laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi (Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Rimpang Kunyit Rimpang kunyit yang digunakan berumur 9 bulan yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO) Cimanggu, Bogor. Identifikasi tanaman kunyit dilakukan di Herbarium bogoriensi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan selanjutnya rimpang kunyit ini dikeringkan dan digiling menjadi bentuk serbuk. Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit betina sebanyak 30 ekor yang berumur ± 2 bulan dan memiliki bobot badan ± 20-25 gram. Mencit diinduksi dengan Streptozotosin dengan dosis 40 mg/kg BB secara intaperitoneal kemudian dikelompokan menjadi 3 kelompok perlakuan yang terdiri dari 10 ekor mencit kelompok kontrol negatif (tidak diobati), 10 ekor mencit kelompok kontrol positif menggunakan sediaan komersil (neomisin sulfat 5%) dan 10 ekor mencit kelompok yang diberi salep fraksi heksan rimpang kunyit. Alat Peralatan yang digunakan antara lain kandang mencit, pisau bedah, gunting bedah, pot plastik, scalpel, blade, cotton bud, glukometer, kawat ukuran 1.5 cm, pinset anatomis, kantong plastik, alat ukur (meteran), label, spoit, dan talenan. Peralatan untuk ekstraksi kunyit, yaitu maserator, evaporator, tabung fraksinator, cawan petri, sendok pengaduk, corong, gelas Erlenmeyer 100 ml, dan oven untuk pengering. Peralatan untuk pembuatan sediaan histopatologi yaitu 21 automatic tissue processor, alat bedah minor, pencetak parafin, blok untuk parafin, tissue cassette, mikrotom, penangas air, gelas objek, gelas penutup, mikroskop baik mikroskop cahaya maupun mikroskop videometer untuk pengamatan histopatologi, dan alat hitung. Bahan Rimpang kunyit yang dikeringkan dan digiling menjadi bentuk serbuk, sediaan komersil (neomisin sulfat 5%), salep fraksi heksan rimpang kunyit, eter untuk euthanasia, larutan buffered neutral formalin (BNF) 10% untuk fiksasi kulit, kapas, dan vaselin kuning untuk pembuatan salep. Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan Mayer’s haematoksilin, larutan eosin, xilol, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%), larutan litium karbonat, aquades, asam asetat 1%, larutan mordan, larutan Carrazi’s haematoksilin, larutan orange G 0.75%, larutan ponceau xylidine fuchsin, larutan phospotungstic acid 2.5%, anilin blue, dan parafin. Metodologi Ekstraksi rimpang kunyit Ekstraksi dilakukan dengan cara metode maserasi (perendaman). Satu bagian kering rimpang kunyit (1000 g) dimasukan ke dalam maserator, ditambah 10 bagian etanol 96%, direndam selama 6 jam sambil sekali-kali diaduk, kemudian didiamkan selama 3 hari. Maserat dipisahkan dan diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah perlakuan yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan (evaporasi) dengan evaporator hingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 187.7 g. Rendaman yang diperoleh ditimbang dan dicatat. Ekstrak kental dilarutkan dengan etanol 96% sampai terbentuk larutan ekstrak. Lalu ditambahkan larutan heksan (non polar) dengan perbandingan 1:1 dimasukan ke dalam labu kocok (corong pisah). Setelah itu dikocok selama 15 menit dan didiamkan hingga terbentuk dua lapisan pelarut. Lapisan yang bawah adalah etanol dan yang atas adalah heksana. Kedua larutan ini kemudian ditampung secara terpisah lalu diulangi 2 kali dengan perlakuan yang sama. Hasil yang diperoleh di evaporasi sehingga diperoleh fraksi kental sebanyak 10.3 g. 22 Pembuatan Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit Pembuatan salep fraksi heksan rimpang kunyit dimulai dengan fraksi heksan rimpang kunyit kental yang telah dihasilkan kemudian ditimbang sebanyak 10.3 g dan dihomogenisasi dengan vaselin kuning menggunakan mortar. Homogenisasi dilakukan hingga merata dan tidak terasa lagi butiran serbuk kunyit. Setelah itu disimpan dalam tabung dan diberi label. Perlakuan Pada Mencit Seluruh mencit diinduksi dengan streptozotosin dosis 40 mg/kg BB secara intaperitoneal dan ditunggu selama 1-2 minggu hingga gula darah mencit meningkat sampai 200 mg/dl. Pemeriksaan kadar gula darah pada hewan coba dilakukan setiap hari dengan menggunakan alat glukometer. Setiap mencit dilukai dengan blade scalpel didaerah punggung sepanjang 1.5 cm. Selama masa pemeliharaan, mencit diberikan obat secara topikal pada luka sehari sekali sesuai dengan perlakuannya dengan menggunakan cotton bud, kecuali pada kelompok perlakuan kontrol negatif. Interval pengamatan dan pemanenan sampel kulit mencit dilakukan pada hari ke-2, ke-4, ke-7, ke-14 dan ke-21 paska perlukaan dengan mengambil masing-masing 2 ekor mencit dari tiap perlakuan. Sampel kulit yang diambil yaitu pada daerah punggung mencit yang diberikan perlukaan dan sebelumnya mencit telah dieuthanasi terlebih dahulu dengan menggunakan eter secara per inhalasi selama beberapa menit. Kemudian dilakukan pengukuran perubahan panjang luka sayatan, pengamatan patologi anatomi luka dan selanjutnya kulit yang telah diambil difiksasi dengan larutan BNF 10% selama 48 jam yang digunakan untuk pembuatan sediaan histopatologi. Pengamatan Patologi Anatomi Pengamatan patologi anatomi dilakukan pada saat pemanenan terhadap semua mencit pada setiap perlakuan dengan metode deskriptif. Kondisi luka diamati dengan memperhatikan parameter perbandingan, yaitu warna luka, kering luka, dan keropeng luka. Pengamatan Histopatologi Pada penelitian ini peubah yang diamati pada pemeriksaan mikroskopis (pengamatan histopatologi) adalah proses inflamasi dengan menghitung jumlah 23 sel radang (neutrofil dan makrofag), menghitung pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi), persentase pembentukan atau regenerasi epitel (reepitelisasi), dan pembentukan jaringan ikat kolagen. Pewarnaan Haematoksilin Eosin (HE) digunakan untuk jumlah sel radang (neutrofil dan makrofag) dan jumlah neovaskularisasi. Penghitungan dilakukan pada lima lapang pandang dengan perbesaran obyektif 40x10 kemudian dirata-ratakan sedangkan pada pewarnaan Masson Trichrome (MT) digunakan untuk menghitung persentase reepitelisasi dan pembentukan jaringan ikat kolagen (fibroblas) yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran obyektif 40x10. Pembuatan Sediaan Haematoksilin Eosin (HE) Sediaan sampel kulit yang telah difiksasi dengan larutan BNF 10% selama ± 48 jam ditipiskan (trimming) dengan cara dipotong kecil pada daerah tengah luka. Setelah itu potongan dimasukan ke dalam kaset. Kemudian didehidrasi dengan alkohol berbagai konsentrasi ( alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95% I, alkohol 95% II, alkohol absolut I, dan alkohol absolut II) masingmasing selama 2 jam. Setelah itu dilakukan penjernihan (clearing) sediaan kulit dengan dimasukan ke dalam xylol dengan 2 kali penggantian masing-masing selama 2 jam. Setelah dilakukan penjernihan, lalu dilanjutkan dengan proses pencetakan (embedding). Sediaan kulit dimasukan ke dalam alat pencetak dan dibiarkan sampai parafin mengeras. Kemudian setelah mengeras parafin dikeluarkan dari cetakan dan disimpan dalam lemari pendingin sebelum dilakukan pemotongan. Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom dengan tebal irisan ± 5 µm. Kemudian irisan diletakan di atas permukaan air hangat dengan temperature ± 46˚C untuk memperbaiki jaringan yang keriput. Irisan yang diletakan di atas permukaan air hangat tersebut diangkat menggunakan gelas objek dengan posisi irisan di atas gelas objek. Preparat kemudian dikeringkan dan diberi tanda dengan alat grafir dan disimpan dalam inkubator bertemperatur 60˚C minimal 2 jam. Kemudian dilanjutkan dengan proses pewarnaan. Proses pewarnaan ini dimulai dengan melarutkan sisa parafin dengan dimasukan ke dalam xilol. Kemudian sediaan direhidrasi dengan cara dimasukan ke dalam alkohol bertingkat 24 dimulai dari alkohol 100% sampai alkohol 80%. Setelah itu, preparat dicuci dengan air selama 1 menit lalu dimasukan ke dalam larutan haematoksilin selama 8 menit dan dicuci kembali dengan air selama 30 detik. Selanjutnya sediaan dimasukan ke dalam larutan litium karbonat selama 15-30 detik dan dicuci dengan air. Setelah sediaan dicuci dengan air, kemudian dimasukan ke dalam larutan eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air selama 30-60 detik. Kemudiaan sediaan didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 95% sebanyak 10 celupan, alkohol 100% I sebanyak 10 celupan dan alkohol 100% II selama 2 menit. Setelah itu sediaan dimasukan ke dalam larutan xilol I selama 1 menit dan xilol II selama 2 menit. Selanjutnya sediaan dikeringkan dan ditutup dengan cover glass. Pembuatan Sediaan Masson Trichome (MT) Pembuatan sediaan MT dimulai dengan deparafinasi dan rehidrasi sediaan juga pencucian sediaan dengan air dan aquades. Selanjutnya sediaan dimasukan ke dalam larutan Mordan selama 30-40 menit dan dicuci dengan aquades kembali. Kemudian sediaan dimasukan ke dalam larutan Carrazi’s haematoksilin selama 40 menit dan dibilas dengan aquades kembali. Setelah itu sediaan dimasukan ke dalam larutan orange G 0.75% selama 1-2 menit dan dicuci dengan asam asetat 1 % sebanyak 2 kali, dan kemudian sediaan dimasukan ke dalam larutan ponceau xylidine fuchsin selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak 12 kali celupan. Setelah itu preparat dimasukan ke dalam aniline blue selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali celupan. Sediaan selanjutnya didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 95% sebanyak 10 celupan, alkohol 100% I sebanyak 10 celupan dan alkohol 100% II selama 2 menit. Setelah didehidrasi, sediaan dimasukan ke dalam larutan xilol I selama 1 menit dan xilol II selama 2 menit. Kemudian preparat dikeringkan dan ditutup dengan cover glass. Analisis Data Data pengamatan patologi anatomi dianalisis secara deskriptif. Pada pengamatan histopatologi dengan pewarnaan HE dan MT diuji secara statistik 25 dengan menggunakan uji sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji wilayah Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Luka Secara Makroskopis (Patologi Anatomi) Peubah pada pengamatan makroskopis yaitu ukuran luka, warna luka, kelembaban, dan tumbuhnya rambut. Tabel 1 Patologi anatomi persembuhan luka kulit mencit hiperglikemik Hari ke- Kontrol positif (+) Sediaan Komersil Kontrol Negatif (-) 1 Luka basah, merah, terbuka, panjang luka 1.5 cm Luka merah, basah, dan terbuka, panjang luka 1.5 cm 2 Luka basah, merah, terbuka, panjang luka 1.1 cm Luka merah, basah dan terbuka Luka mengering dan mulai menutup, panjang luka 1.0 cm Luka merah, basah, dan terbuka, panjang luka 1.2 cm Luka merah, basah dan terbuka Terbentuk keropeng, mengering, luka melebar dan terbuka, panjang luka 1.2 cm Luka mengering dan terbentuk keropeng 3 4 5 Luka mengering dan semakin menutup 6 Luka semakin menutup dan terbentuk keropeng Luka semakin mengering, telah menutup, panjang luka 0.5 cm Luka semakin mengering Luka hampir menutup 9 Luka sudah menutup sempurna Luka kering, semakin mengecil 10 Luka telah menutup sempurna dan telah tumbuh rambut Luka kering, semakin mengecil 7 8 Luka kering dan hampir menutup, panjang luka 1 cm Luka kering dan menutup Sediaan Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit Luka merah, basah, dan terbuka, panjang luka 1.5 cm Luka merah, basah, terbuka, panjang luka 1.2 cm Luka merah, basah dan terbuka Luka mengering dan mulai menutup, panjang luka 1.0 cm Luka mengering dan mulai menutup, tepi luka mengeras Luka mengering dan mulai menutup, tepi luka mengeras Luka mengering dan hampir menutup, panjang luka 0.4 cm Luka semakin mengering dan mengecil Luka semakin mengering dan semakin menutup Luka telah menutup sempurna 27 11 12 13 14-21 Luka telah menutup sempurna Luka telah menutup sempurna Luka semakin mengecil Luka semakin mengecil Luka telah menutup sempurna Luka semakin mengecil Bekas luka sudah tidak Luka sudah menutup terlihat, tertutup sempurna rambut dan sudah tertutup sempurna Luka telah menutup sempurna Bekas luka hampir tidak terlihat dan mulai di tumbuhi rambut Bekas luka hampir tidak terlihat dan mulai di tumbuhi rambut Bekas luka sudah tidak terlihat, tertutup rambut dan sudah tertutup sempurna. Berdasarkan pengamatan patologi anatomi memperlihatkan bahwa pada hari pertama dan kedua setelah dilukai, keadaan luka pada kulit masih merah, basah, dan terbuka baik pada kontrol positif dengan sediaan komersil, kontrol negatif tanpa perlakuan pengobatan, dan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit. Luka masih dalam keadaan basah (edematous) pada ketiga kelompok perlakuan pada hari pertama. Hal ini terjadi karena adanya percepatan pergerakan cairan melalui dinding pembuluh darah ke jaringan peradangan, dan memungkinkan molekul-molekul kecil lewat. Akan tetapi hal ini akan menahan protein-protein besar seperti protein plasma tetap berada dalam pembuluh darah. Sifat pembuluh darah yang permeabel akan menimbulkan tekanan osmotik yang cenderung menahan cairan di dalam pembuluh darah dengan melawan tekanan hidrostatik (Spector dan Spector 1993). Menurut Spector dan Spector (1993), pada kasus inflamasi, tekanan hidrostatik dalam darah meningkat sehingga menggangu keseimbangan dan menyebabkan air banyak meninggalkan darah menuju jaringan. Hal ini akhirnya mengganggu pula sistem limfatik yang kemudian memindahkan cairan yang mencapai celah jaringan keluar menuju jaringan, untuk mempertahankan kesetaraan secara normal. Pergeseran cairan pada saat luka terjadi sangat cepat, sehingga eksudat pada masa peradangan mengandung protein plasma yang signifikan. Pada kasus peradangan akut terjadi perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil di daerah tersebut yang menyebabkan kebocoran protein. Proses ini kemudian diikuti oleh pergeseran keseimbangan 28 osmotik, dan air keluar bersama protein sehingga menimbulkan pembengkakan dan menyebabkan bertambahnya jumlah cairan secara abnormal di kompartemen ekstrasel (Spector dan Spector 1993). Hal ini terlihat adanya edema pada pengamatan patologi anatomi yang ditunjukan dengan keadaan basah di sekitar luka dan terjadi pembengkakan. Kondisi luka sudah mulai menutup dan mengering pada hari ke-4 pada perlakuan kontrol positif yang diobati dengan sediaan komersil dan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit. Hal ini karena telah terjadinya proliferasi dari sel. Saat ini peran fibroblas sangat penting dalam proses persembuhan luka. Fibroblas bertanggung jawab pada persiapan struktur protein yang akan digunakan pada konstruksi jaringan (Tawi 2008). Perbaikan dari sistem sirkulasi menyebabkan tekanan hidrostatik seimbang menyebabkan luka mulai mengering dan edema berkurang. Hal ini karena adanya kandungan bahan aktif kuinon di dalam salep fraksi rimpang kunyit yang berperan dalam proses pencegahan masuknya bakteri pada luka sehingga dapat mempercepat proses persembuhan luka (Robinson 2005). Sedangkan pada kelompok kontrol negatif yang tidak diobati masih menunjukkan luka yang melebar dan terbuka. Pada hari ke-7 terlihat perbedaan kecepatan persembuhan luka antara ketiga perlakuan. Persembuhan luka pada kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit (panjang luka 0.4 cm) terlihat lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (panjang luka 1.0 cm) dan kelompok kontrol positif (panjang luka 0.5 cm) (Tabel 1). Cepatnya waktu persembuhan pada kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit akibat adanya kandungan bahan aktif saponin dan kuinon di dalam salep fraksi heksan rimpang kunyit yang berperan dalam proses pencegahan masuknya bakteri pada luka sehingga dapat mempercepat proses persembuhan luka (Robinson 2005). Berdasarkan analisis fitokimia fraksi heksan rimpang kunyit yang telah dilakukan pada penelitian sebelumya, diketahui bahwa dalam fraksi heksan rimpang kunyit terdapat kandungan senyawa aktif yaitu alkaloid, kuinon, dan saponin (Winarsih et al. 2009). Menurut Spector dan Spector (1993), kulit yang tersayat akan kehilangan retraksinya dan akan membentuk celah terbuka yang dapat merusak pembuluh 29 darah. Kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya trombosit yang berfungsi homeostasis (Tawi 2008). Cedera akibat perlukaan benda tajam yang mendadak akan membuat perubahan dalam pembuluh darah kecil yang menyusun reaksi inflamasi akut. Luka terlihat kemerahan dan terjadi hiperemi pada hari ke-1 dan ke-2 (Gambar 7). Hal ini dikarenakan setelah terjadinya luka, akan terjadi konstriksi singkat arteriola yang diikuti dengan dilatasi berkepanjangan sehingga anyaman kapiler darah menjadi merah dan akan membukanya saluran kapiler yang tidak aktif. Selain itu, terjadi pula dilatasi vena dan pembuluh limfe. Kapiler yang awalnya kosong atau sedikit meregang kini mulai terisi dengan darah secara cepat (Price dan Wilson 1992). Penutupan luka secara sempurna tidak terjadi secara bersamaan diantara ketiga kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan kontrol positif dengan sediaan komersil, luka tertutup sempurna terjadi pada hari ke-9, pada kelompok perlakuan kontrol negatif terjadi pada hari ke-14, dan pada kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit terjadi pada hari ke-10. Hal ini terjadi perbedaan dalam kecepatan persembuhan karena kandungan bahan aktif yang terdapat di dalam sediaan komersil dan di dalam salep fraksi heksan rimpang kunyit berbeda. Sediaan komersil mengandung bahan aktif neomisin sulfat 5%, ekstrak plasenta, dan jelly base. Neomisin sulfat berfungsi sebagai senyawa antimikroba (Giguere et al. 2006), ekstrak plasenta berfungsi untuk mempercepat pembentukan jaringan, dan bahan dasar jeli yang lebih banyak mengandung air sehingga lebih mudah berdifusi ke dalam lapisan kulit dibandingkan dengan sediaan salep. Menurut Winarsih et al. (2009) pada sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit lebih sedikit mengandung air sehingga lebih lama berdifusi ke dalam lapisan kulit dibandingkan dengan sediaan jeli. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi pada saat luka telah menutup sempurna, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan benang-benang fibrin dari kolagen bertambah banyak memperkuat jaringan parut (Tawi 2008). Pada hari ke-12, kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit mengalami persembuhan yang terjadi lebih baik karena tidak meninggalkan bekas luka dan mulai ditumbuhinya rambut. 30 (A) (B) (C) Gambar 7 Gambaran patologi anatomi luka hari ke-2 pada mencit kelompok kontrol positif (A), kelompok kontrol negatif (B), dan kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit (C). Pengamatan Luka Secara Mikroskopis (Histopatologi) Proses persembuhan dan perbaikan jaringan merupakan proses yang kompleks yang meliputi inflamasi (peradangan), proliferasi, dan remodeling jaringan (Sidhu et al. 1998). Tubuh akan merespon cedera secara normal dengan cara proses peradangan (inflamasi), yang dicirikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), nyeri (pain), dan kerusakan fungsi normal (impaired function) (Drakbar 2008). Sel Polimorfonuklear (PMN) Hasil pengamatan mikroskopis terhadap sel radang PMN (neutrofil) pada mencit kelompok kontrol positif dengan sediaan komersil, kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan pengobatan dan kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit (SH) adalah sebagai berikut: Tabel 2 Rataan jumlah neutrofil pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik Panen hari ke- Kontrol positif Kontrol negatif 2 4 7 14 21 31.20±11.43a 49.70±33.94a 0.80±1.23a 2.90±2.38a 0.90±0.86a 89.50±31.20a 45.30±30.49a 60.60±22.68b 17.20±9.52b 3.40±2.99a Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit 32.00±11.72a 14.10±10.65a 4.20±3.16a 2.20±3.36a 0.90±1.45a *Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada perbedaan nyata (P>0.05). 31 Hasil pengujian statistik menunjukan bahwa ada perbedaan yang nyata (P<0.05) dari jumlah rataan PMN antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan SH dan kelompok perlakuan dengan menggunakan sediaan komersil pada hari ke-7 dan hari ke-14 (Tabel 2). Pada hari ke-2 diketahui bahwa sel radang neutrofil telah hadir pada jaringan luka di setiap perlakuan. Perlakuan SH (32.00) dan kontrol positif (31.20) memiliki jumlah rataan neutrofil yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (89.50) (Tabel 2). Hal ini disebabkan adanya kandungan bahan aktif kuinon dan saponin. Cepatnya waktu persembuhan pada kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit akibat adanya kandungan saponin yang melindungi daerah luka dari bakteri dan berfungsi sebagai anti inflamasi dan kandungan kuinon yang berfungsi dalam proses mencegah masuknya bakteri pada luka sehingga dapat mempercepat proses persembuhan (Robinson 2005). Sedangkan pada kelompok kontrol positif yang diobati dengan sediaan komersil memiliki jumlah rataan yang terendah, hal ini karena sediaan ini mengandung neomisin sulfat 5% yang bekerja sebagai senyawa antimikroba (Giguere et al. 2006). Gambar 8 Sel radang neutrofil (tanda panah) kelompok perlakuan kontrol negatif (tanpa perlakuan pengobatan) pada hari ke-7. Pewarnaan HE. Perbesaran obyektif 100x10. Pada tahap awal proses persembuhan luka terjadi peradangan (inflamasi) pada daerah luka yang ditandai infiltrasi sel radang terutama neutrofil. Neutrofil 32 (Gambar 8) merupakan sel radang yang berperan penting dalam proses peradangan. Menurut Singer dan Clark (1999), neutrofil dibentuk di dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk memfagositosis benda-benda asing seperti bakteri dan sel-sel yang rusak atau mati. Proses neutrofil memfagositosis adalah kemotaksis, perlekatan, penelanan, dan pencernaan. Neutrofil masuk ke dalam jaringan yang luka dalam waktu yang sangat cepat dengan cara diapedesis dan bergerak melewati jaringan dengan gerakan amuboid dan gerakan neutrofil ke area jaringan yang meradang di bawah pengaruh rangsangan kimiawi. Rangsangan kimiawi ini tidak hanya datang dari growth factors released yang berasal dari degranulasi platelet tetapi dari rangsangan yang dilepaskan oleh protein bakteri, dan rangsangan produk yang berasal dari proteolisis fibrin dan semua komponen matriks. Pergerakan ini disebut kemotaksis (Martin 2007; Spector and Spector 2003). Menurut Tawi (2008) dan Vegad (1995), respon ini bertujuan untuk membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati, dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Makrofag Hasil pengamatan mikroskopis terhadap makrofag pada mencit kelompok kontrol positif dengan sediaan komersil, kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan pengobatan dan kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit adalah sebagai berikut: Tabel 3 Rataan jumlah sel makrofag pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik Panen hari ke2 4 7 14 21 Kontrol positif Kontrol negatif 1.70±2.21ab 2.40±2.80a 79.60±85.64b 6.20±2.62a 18.50±9.37b 4.50±1.90b 8.20±7.32a 34.5±20.32a 26.30±6.73b 20.20±4.92b Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit 0.30±0.67a 1.20±1.40a 5.80±2.86a 6.80±2.30a 6.70±4.55a *Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada perbedaan nyata (P>0.05). 33 Hasil pengujian statistik menunjukan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) pada hari ke-2, ke-7, ke-14, dan ke-21. Rataan jumlah makrofag terendah terdapat pada kelompok SH (0.30) pada hari ke-2. Hal ini disebabkan makrofag belum berperan aktif dalam proses peradangan. Rataan jumlah sel makrofag tertinggi (Tabel 3) terdapat pada kelompok perlakuan kontrol positif (79.60) jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya pada hari ke-7. Rataan jumlah makrofag pada hari ke-14 menunjukan nilai tertinggi terdapat pada kelompok kontrol negatif (26.30). Hal ini disebabkan neutrofil telah mati setelah melakukan fagositosis dan neutrofil yang mati akan difagositosis oleh makrofag sehingga jumlah makrofag akan meningkat (Winarsih 2009). Jumlah makrofag terendah pada hari ke-21 terdapat pada kelompok perlakuan SH (6.70) sehingga proses persembuhan luka lebih cepat daripada kelompok perlakuan lainnya. Kandungan bahan aktif alkaloid dapat mempercepat proses persembuhan luka dengan meningkatkan Transforming Growth Factor β1 (TGF-13P) dan Epidermal Growth Factor (EGF) (Porras-Reyes et al. 1993; Dong et al. 2005). Gambar 9 Sel makrofag (tanda panah) kelompok perlakuan kontrol negatif (tanpa perlakuan pengobatan) pada hari ke-14. Pewarnaan HE. Perbesaran obyektif 100x10. Keberadaan makrofag merupakan prasyarat untuk terjadinya proses persembuhan luka. Makrofag akan melakukan emigrasi dan menggantikan peran neutrofil dan berfungsi untuk fagositosis, menghancurkan partikel asing serta 34 jaringan mati. Makrofag dapat dikatakan sebagai sel pertahanan kedua dan merupakan prasyarat bagi pembentukan neovaskular karena suatu substansi kimiawi, Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang dikeluarkan makrofag untuk merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru (Tizard 1988). Neovaskularisasi Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) memiliki arti penting dalam proses persembuhan luka (Singer dan Clark 1999). Proses persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jaringan yang terlibat, vaskularisasi, infeksi sekunder, gizi, umur, suhu, dan ukuran jaringan yang rusak (Chen et al. 2005). Kegagalan vaskularisasi akibat suatu penyakit, dalam hal ini hiperglikemia, akan mengakibatkan lambatnya proses persembuhan karena adanya ulkus yang kronis. Vaskularisasi yang cukup merupakan hal yang penting dalam proses terjadinya radang dan persembuhan, sedangkan daerah yang terhambat suplai darahnya akan menghambat dalam proses persembuhan luka. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan nutrisi kepada jaringan sekitar luka. Hasil pengamatan mikroskopis terhadap neovaskularisasi adalah sebagai berikut: Tabel 4 Rataan jumlah neovaskularisasi pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik Panen ke2 4 7 14 21 hari Kontrol positif Kontrol negatif 4.80±6.89b 1.20±2.53a 4.20±2.78a 11.10±4.04b 26.90±6.82b 0.00±0.00a 0.5±1.08a 10.10±4.56a 21.60±9.18c 29.60±6.42b Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit 0.00±0.00a 0.00±0.00a 4.80±5.33a 8.40±4.30a 9.40±5.46a *Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada perbedaan nyata (P>0.05). Hasil pengujian statistik menunjukan bahwa ada perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok perlakuan kontrol positif dengan kelompok perlakuan kontrol negatif dan kelompok perlakuan SH pada hari ke-2 (Tabel 4). Hal ini ditunjukan dengan jumlah neovaskularisasi yang telah ada pada kelompok 35 perlakuan kontrol positif (4.80). Hal tersebut menandakan bahwa sediaan komersil ini mengandung zat yang dapat memicu pembentukan pembuluh darah baru. Menurut Spector dan Spector (1993), tanda-tanda yang jelas bahwa pembuluh darah yang baru tumbuh pada daerah yang terluka yaitu pada hari ke-7. Proses persembuhan luka pada penderita hiperglikemik terhambat akibat banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain hambatan sirkulasi darah dan oksigen akibat peningkatan kadar gula darah, sehingga terjadi penurunan jumlah neovaskularisasi dan penurunan sintesis kolagen dan fibronektin (Winarsih et al. 2009). Menurut Martin (1997), keberadaan makrofag yang mengeluarkan FGF2 dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) akhirnya memicu pertumbuhan neovaskularisasi (Gambar 10). Gambar 10 Neovaskularisasi (tanda panah) yang terbentuk pada jaringan luka kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit pada hari ke-14. Pewarnaan HE. Perbesaran obyektif 100x10. Reepitelisasi Tabel 5 Rataan persentase reepitelisasi pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik Panen ke2 4 7 14 21 hari Kontrol positif Kontrol negatif 12.84±0.05a 53.32±56.59a 100±0.00b 100±0.00a 100±000a 24.39±34.50a 24.45±16.90a 41.67±11.78a 37.50±53.03a 91.67±11.78a Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit 22.50±3.54a 52.22±27.17a 100±0.00b 100±0.00a 100±0.00a 36 *Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada perbedaan nyata (P>0.05). Hasil pengujian statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan kontrol negatif dengan kelompok perlakuan kontrol positif dan perlakuan SH pada hari ke-7. Proses reepitelisasi sudah terjadi mulai hari ke-2 pada setiap kelompok perlakuan. Menurut Singer dan Clark (1999), proses reepitelisasi telah berlangsung sejak beberapa jam setelah perlukaan. Beberapa hari setelah perlukaan, epitel permukaan di bagian tepi mulai melakukan regenerasi, kemudian lapisan epitel yang tipis akan bermigrasi menuju permukaan atas luka. Setelah itu epitel akan menjadi matang sehingga menyerupai kulit dibawahnya (Price dan Wilson 1992). Proses reepitelisasi (Gambar 11) menutup secara sempurna pada hari ke-7 pada kelompok perlakuan kontrol positif (100%) dan salep fraksi heksan rimpang kunyit (100%). Hal ini dikarenakan adanya kandungan bahan aktif saponin yang bersifat sebagai imunostimulator yang dapat menggertak tanggap kebal inang sehingga dapat mempercepat proses regenerasi dan reepitelisasi (Winarsih et al. 2009). Proses reepitelisasi merupakan serangkaian peristiwa yang terkoordinasi dan terstruktur. Peristiwa ini termasuk dalam fase proliferasi yaitu terjadinya proses kegiatan seluler yang penting yaitu memperbaiki dan menyembuhkan luka yang ditandai dengan proliferasi sel. Proliferasi sel meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel, dan sel-sel fibroblas. Pada proses reepitelisasi terjadi migrasi dan proliferasi dari fibroblas yang akan mengeluarkan Keranocyte Growth Factor (KGF), sitokin dan reseptor yang akan memproduksi metalloprotein matriks dan inhibitor (Middelkoop 2005). KGF berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka (Tawi 2008). Aktivitas mitosis epitel terjadi lebih dari empat atau lima sel dari tepi luka karena empat atau lima sel ini telah rusak atau terpapar oleh lingkungan yang tidak menyenangkan (Spector dan Spector 1993). Epitel akan meluncur keluar dari tepi luka dengan gerakan amuboid yang khas. Sel-sel akan menggunakan pita fibrin dan komponen matriks ekstrasel lainnya seperti fibronektin untuk mengarahkan jalur mitosis epitel. Migrasi dan mitosis akan terhenti jika lembaran 37 epitel dari berbagai sudut luka bertemu di tengah. Hal ini terjadi karena adanya hambatan kontak (contact inhibition) yang mengatur pertumbuhan dan pergerakan sel. (A) (B) (C) Gambar 11 Reepitelisasi (tanda panah) hari ke-21 pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik kelompok kontrol positif (A), kelompok kontrol positif (B), kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit dan (C). Pewarnaan HE. Perbesaran obyektif 10x10. 38 Luas Jaringan Kolagen Hasil pengamatan mikroskopis terhadap luas jaringan kolagen adalah sebagai berikut: Tabel 6 Rataan persentase luas jaringan kolagen pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik Panen ke- hari Kontrol positif Kontrol negatif Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit 10.00±7.07a 5.00±0.00a 25.00±7.07a 95.00±7.07b 100±0.00b 2 12.50±10.61a 0.00±0.00a a 4 10.00±0.00 7.50±3.54a a 7 27.50±3.54 22.50±3.54a 14 65.00±21.21ab 40.00±14.14a b 21 100±0.00 45.00±7.07a *Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada perbedaan nyata (P>0.05). Hasil pengujian statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok perlakuan kontrol negatif dengan kelompok perlakuan kontrol positif dan perlakuan SH pada hari ke-21. Pembentukan jaringan kolagen terjadi lebih lambat pada kelompok perlakuan kontrol negatif (45.00) dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya (Tabel 6). Pembentukan jaringan kolagen pada kelompok perlakuan kontrol positif dan SH telah mencapai 100% pada hari ke-21. Jaringan ikat kolagen akan memiliki pematangan menjadi serabut yang lebih tebal dan besar serta memiliki ikatan intermolekuler yang lebih banyak. Fase perubahan ini dikenal dengan fase remodeling (Singer dan Clark 1999). Jaringan ikat kolagen memiliki fungsi yang lebih spesifik yaitu membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka (Tawi 2008). Kolagen adalah serabut yang mendominasi jaringan ikat dan disintesis oleh fibroblas. Fibroblas adalah sel mesenkim dasar jaringan dewasa yang memiliki sifat utama untuk mensintesis komponen-komponen jaringan pengikat, yaitu kolagen dan mukopolisakarid (Spector dan Spector 1993). Menurut Drakbar (2008) persembuhan luka ditandai dengan menyempitnya luka dan tepi luka 39 bersatu menjadi lebih kuat. Penyempitan ini dipengaruhi oleh jaringan ikat yang terdapat pada luka (Gambar 12). Ciri khusus jaringan pengikat yang mengalami rekonstruksi adalah aktivitas fibroblasnya. Gambar 12 Jaringan ikat kolagen (tanda panah) yang terbentuk pada kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit pada hari ke-14. Pewarnaan MT. Perbesaran obyektif 10x10. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Salep fraksi heksan rimpang kunyit dapat mempercepat proses persembuhan luka pada mencit hiperglikemik. 2. Salep fraksi heksan rimpang kunyit dapat mengurangi proses peradangan (antiinflamasi), reepitelisasi, dan jaringan ikat kolagen pada mencit hiperglikemik. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keefektifan fraksi heksan rimpang kunyit dalam bentuk sediaan lain. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keefektifan fraksi rimpang kunyit dengan menggunakan pelarut lain. DAFTAR PUSTAKA Amelia. 2002. Fitokimia Komponen Ajaib Cegah PJK, DM, Dan Kanker. Bogor: Puslitbang Gizi. Anderson SP, Lorraine MCW. 2002. Patofiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed ke-6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ed ke-4. Farida Ibrahim, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia. Terjemahan dari: Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms. Arington LR. 1972. Introduction Laboratory Laboratorium Animal Science. The Interstate printer and Publisher inb Danville. Illones. Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budaya. Jakarta : Universitas Indonesia. Best B. 2005. Phythochemicals http://www.phytochemicals.com [3 Agustus 2009]. as Nutraceuticals. Blodinger J. 1994. Formulasi Bentuk Sediaan Veteriner. Sugiharto Hadimoeli, penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari: Formulation of Veterinary Dosage Forms. Chen JM et al. 2005. Tissue factor as a link between wounding and tissue repair. Diabetes 52:2143-2154. Cooperstein SJ, Watkins D. 1981. The Islet of Langerhans. New York: Academic Press. Hlm 411-418. Davidson. 1998. Dagnosis Keperawatan : Aplikasi pada praktik klinis. Di dalam: Carpenito LJ. 2009. Ed ke-9. Kusrini SK et al., penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Nursing Diagnosis: application to clinical Practice. Hlm 1204. Deni R. 2007. Menyembuhkan Kanker dengan Kunyit. Bogor. Jurnal Nasional. Dong Y. He L, Chen F. 2005. Enhancement of Wound Healing by Taspine and it’s Effect on Fibroblast [abstrak]. Zhang Yao Cai 28(7): 579-582. Dharmojono H. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner (hewan kecil). Ed ke1. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Drakbar. 2008. Rawat Luka. http://drakbar.wordpress.com/xmlrpc.php”. [14 Juli 2009] 42 Esfandiari A. 2008. Eksplorasi dan Interpretasi Data Laboratorium. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta: EGC. Hlm 320-341. Giguere S, JE Prescott, JD Baggot, RD Walker dan PM Dowling. 2006. Antimikrobial Therapy in Veterinary Medicine. Ed ke-4. USA: Blackwell Publishing. Harborne JB. 1984. Phytochemical Method. Ed ke-2. New York: The Chaucer Press. ---------------- 1987. Metode Fitokimia. Ed ke-2. Bandung: Institut Tekonologi Bandung. Houghton PJ, Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractination of Natural Ekstracts. London UK : Chapman & Hall. Mahendra B. 2005. Tiga Belas Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya. Malole MBM, Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Coba di Laboratorium. Bogor: Bogor: Pusat antar Universitas Bioteknologi IPB. Martin P et al. 1997. Wound healing, aiming for perfect skin regeneration [artikel]. www.sciencemag.org. Vol 276. Middelkoop E. 2005. The international jurnal of lower extremity wounds. SAGE Publication 4:9-10. Mursyidi A. 1990. Analisis Metabolit Sekunder. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Mutschler E. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Ed ke-5. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Penn D. 1999. A house mouse primer [Artikel]. http://stormu.biology.utah.edu/lab/mouse/_primer.html. [3 Agustus 2009]. Perdanakusuma GS. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan [Artikel]. http://www.surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/.html. [3 Agustus 2009]. Polk DH. 1998. Disorders of Carbohydrate Metabolism. Di dalam: Taeusch HW, Ballard RA, penerjemah. Ed ke-7. Terjemahan dari: Avery’s diseases of the newborn. Philadelphia: WB Saunders. Hlm 1235-1241. 43 Porras-Reyee BH, et al. 1993. Enhancement of wound healing by the alkaloid taspine defining mechanism of action. Proc Soc Exp Biol Med 203 (1):18-25. Price A, Wilson LM. 1992. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed ke-6. Brahm UP, Huriawati H, Pita W, Dewi AM, penerjemah. Terjemahan dari: Pathophisiology: clinical concept of diasease precesses. Hlm: 56-79. Purwanti S. 2008. Kajian efektivitas pemberian kombinasi kunyit, bawang putih, dan mineral zink terhadap performa, kadar lemak, kolesterol, dan status kesehatan broiler [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Ed ke-6. Kosasih P, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plants. Scobie IN. 2007. Atlas of Diabetes. Ed ke-3. United Kingdom: Informa UK. Shalahuddin I. 2005. Efek antihiperglikemik ekstrak air buah mahkota dewa pada tikus diabetes yang di induksi streptozotosin [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Sidhu GS et al. 1998. Enhancement of wound healing by curcumin in animals. Wound Repair Regen 6(2):167-77. Singer AJ, Clark RAF. 1999. Cutaneus wound healing. N England J Med 341:738-154. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia. Hlm. 1017. Soenanto H. 2005. Musnahkan Penyakit dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa Swara. Susianto et al. 2008. Diet Enak ala Vegetarian. Jakarta: Penebar Plus. Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm 130-145. Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology. Hlm 72-144. Syukur C, Hernani. 2001. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm :76-77. Tawi. 2008. Proses Penyembuhan Luka [artikel]. http://syehaceh.wordpress.com [14Juli 2009]. Tilaar M. 2002. Budidaya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Jakarta: Penebar Swadaya. 44 Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Soehardjo, penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Veterinary Immunology. Vegad JL. 1995. Textbook of Veterinary General Pathology. New Delhi: Vikas Publishing House. Voight R. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Ed ke-5. Soendani H, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. -------------. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Ed ke-5. Noerono S, penerjemah; Samhoedi R, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Lehburch Der Pharmazeutischen Technologie. Hlm:314316. Wientarsih I, Bayu IP. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Bogor: Bagian Farmasi PPDH Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Winarsih W, Ietje W, Ekowati H. 2007. Kajian Aktivitas Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma Longa) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit Sebagai Model Penderita Diabetes. Volume ke-15. Bogor: Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Winarto WP. 2003. Sehat dengan Ramuan Tradisional. Jakarta: Agromedia Pustaka. Yuliani S, Rusli. 2003. Ekstraksi Pestisida Nabati. Bogor: Balitro. 45 Lampiran 1 Grafik rataan jumlah sel neutrofil, makrofag, neovaskularisasi, reepitelisasi, dan luas jaringan kolagen pada proses persembuhan luka mencit hiperglikemik 46 1,2 Reepitelisasi (%) 1 Kontrol positif 0,8 0,6 Kontrol Negatif 0,4 0,2 Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit 0 2 4 7 14 21 Hari ke- Luas Jaringan Kolagen (%) 1,2 1 Kontrol Positif 0,8 0,6 Kontrol Negatif 0,4 0,2 Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit 0 2 4 7 14 21 Hari ke- 47 Lampiran 2 Hasil perhitungan statistik polimorfonuklear HARI KE-2 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: neutrof il Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 174356.333a 918068.167 174356.333 337840.500 1430265.000 512196.833 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 87178.167 918068.167 87178.167 112613.500 F .774 8.152 .774 Sig. .536 .065 .536 F 1.855 19.540 1.855 Sig. .299 .021 .299 F 723.137 919.521 723.137 Sig. .000 .000 .000 a. R Squared = . 340 (Adjusted R Squared = -.099) HARI KE-4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Neutrof il Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 37669.333a 198380.167 37669.333 30457.500 266507.000 68126.833 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 18834.667 198380.167 18834.667 10152.500 a. R Squared = . 553 (Adjusted R Squared = .255) HARI KE-7 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Neutrof il Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 112809.333a 71722.667 112809.333 234.000 184766.000 113043.333 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 56404.667 71722.667 56404.667 78.000 a. R Squared = . 998 (Adjusted R Squared = .997) 48 Neutrofil a,b Duncan Perlakuan 3.00 1.00 2.00 Sig. N 2 2 2 Subset 1 2 4.0000 21.0000 303.0000 .150 1.000 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 78.000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. HARI KE-14 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Neutrof il Ty pe I II Sum of Squares 7723.000a 7561.500 7723.000 662.500 15947.000 8385.500 Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 3861.500 7561.500 3861.500 220.833 a. R Squared = . 921 (Adjusted R Squared = .868) Neutrofil a,b Duncan perlakuan 1 3 2 Sig. N 2 2 2 Subset 1 6.0000 14.5000 .607 2 86.0000 1.000 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 220.833. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. F 17.486 34.241 17.486 Sig. .022 .010 .022 49 HARI KE-21 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Neutrof il Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 208.333a 450.667 208.333 243.000 902.000 451.333 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 104.167 450.667 104.167 81.000 a. R Squared = . 462 (Adjusted R Squared = .103) F 1.286 5.564 1.286 Sig. .395 .100 .395 50 Lampiran 3 Hasil perhitungan statistik makrofag HARI KE-2 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: makrof ag Ty pe I II Sum of Squares 457.333a 704.167 457.333 69.500 1231.000 526.833 Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 228.667 704.167 228.667 23.167 F 9.871 30.396 9.871 Sig. .048 .012 .048 a. R Squared = . 868 (Adjusted R Squared = .780) makrofag a,b Duncan perlakuan 1.00 3.00 2.00 Sig. N 2 2 2 Subset 1 2 1.5000 8.5000 8.5000 22.5000 .242 .062 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 23.167. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. HARI KE-4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Makrof ag Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 1401.333a 2320.667 1401.333 1114.000 4836.000 2515.333 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 700.667 2320.667 700.667 371.333 a. R Squared = . 557 (Adjusted R Squared = .262) F 1.887 6.250 1.887 Sig. .295 .088 .295 51 HARI KE-7 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Makrof ag Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 138402.333a 239600.167 138402.333 8582.500 386585.000 146984.833 df Mean Square 69201.167 239600.167 69201.167 2860.833 2 1 2 3 6 5 F 24.189 83.752 24.189 Sig. .014 .003 .014 a. R Squared = . 942 (Adjusted R Squared = .903) Makrofag a,b Duncan Perlakuan 1.00 2.00 3.00 Sig. N 2 2 2 Subset 1 2 29.0000 172.5000 398.0000 .075 1.000 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2860.833. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. HARI KE-14 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Makrof ag Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 13077.000a 25741.500 13077.000 272.500 39091.000 13349.500 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 6538.500 25741.500 6538.500 90.833 a. R Squared = . 980 (Adjusted R Squared = .966) F 71.983 283.393 71.983 Sig. .003 .000 .003 52 Makrofag a,b Duncan perlakuan 3 1 2 Sig. N 2 2 2 Subset 1 2 31.0000 34.0000 131.5000 .774 1.000 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 90.833. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. HARI KE-21 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Makrof ag Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 5510.333a 34808.167 5510.333 304.500 40623.000 5814.833 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 2755.167 34808.167 2755.167 101.500 a. R Squared = . 948 (Adjusted R Squared = .913) F 27.144 342.938 27.144 Sig. .012 .000 .012 53 Lampiran 4 Hasil perhitungan statistik neovaskularisasi HARI KE-2 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: neov askularisasi Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 768.000a 384.000 768.000 98.000 1250.000 866.000 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 384.000 384.000 384.000 32.667 F 11.755 11.755 11.755 Sig. .038 .042 .038 F 4.360 11.560 4.360 Sig. .130 .042 .130 a. R Squared = . 887 (Adjusted R Squared = .811) neovaskularisasi a,b Duncan perlakuan 1.00 2.00 3.00 Sig. N 2 2 2 Subset 1 .0000 .0000 1.000 2 24.0000 1.000 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 32.667. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. HARI KE-4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Neov askularisasi Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 36.333a 48.167 36.333 12.500 97.000 48.833 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 18.167 48.167 18.167 4.167 a. R Squared = . 744 (Adjusted R Squared = .573) 54 HARI KE-7 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Neov askularisasi Ty pe I II Sum of Squares 1054.333a 6080.167 1054.333 578.500 7713.000 1632.833 Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 527.167 6080.167 527.167 192.833 F 2.734 31.531 2.734 Sig. .211 .011 .211 F 81.098 1085.878 81.098 Sig. .002 .000 .002 a. R Squared = . 646 (Adjusted R Squared = .410) HARI KE-14 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Neov askularisasi Ty pe I II Sum of Squares 4433.333a 29680.667 4433.333 82.000 34196.000 4515.333 Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 2216.667 29680.667 2216.667 27.333 a. R Squared = . 982 (Adjusted R Squared = .970) Neovaskularisasi a,b Duncan perlakuan 1 3 2 Sig. N 2 2 2 1 42.0000 Subset 2 3 62.0000 1.000 1.000 107.0000 1.000 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 27. 333. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. 55 HARI KE-21 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Neov askularisasi Source Corrected Model Intercept perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares 12026.333a 72380.167 12026.333 904.500 85311.000 12930.833 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square 6013.167 72380.167 6013.167 301.500 a. R Squared = . 930 (Adjusted R Squared = .883) Neovaskularisasi a,b Duncan perlakuan 1 3 2 Sig. N 2 2 2 Subset 1 2 47.0000 134.5000 148.0000 1.000 .494 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 301.500. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. F 19.944 240.067 19.944 Sig. .019 .001 .019 56 Lampiran 5 Hasil perhitungan statistik persentase reepitelisasi HARI KE-2 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Reepitelisasi Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .015a .240 .015 .125 .380 .140 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .008 .240 .008 .042 F .182 5.783 .182 Sig. .842 .095 .842 F .375 8.012 .375 Sig. .716 .066 .716 F 47.367 807.228 47.367 Sig. .005 .000 .005 a. R Squared = . 108 (Adjusted R Squared = -.486) HARI KE-4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Reepitelisasi Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .105a 1.118 .105 .419 1.641 .523 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .052 1.118 .052 .140 a. R Squared = . 200 (Adjusted R Squared = -.333) HARI KE-7 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Reepitelisasi Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .456a 3.888 .456 .014 4.359 .471 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .228 3.888 .228 .005 a. R Squared = . 969 (Adjusted R Squared = .949) 57 Reepiteli sasi a,b Duncan Perlakuan 2.00 1.00 3.00 Sig. N 2 2 2 Subset 1 .4150 1.000 2 1.0000 1.0000 1.000 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. HARI KE-14 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Reepitelisasi Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .521a 3.760 .521 .281 4.563 .802 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .260 3.760 .260 .094 F 2.778 40.111 2.778 Sig. .208 .008 .208 a. R Squared = . 649 (Adjusted R Squared = .416) HARI KE-21 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Reepitelisasi Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .010a 5.665 .010 .014 5.689 .024 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .005 5.665 .005 .005 a. R Squared = . 400 (Adjusted R Squared = .000) F 1.000 1176.087 1.000 Sig. .465 .000 .465 58 Lampiran 2 Hasil perhitungan statistik persentase luas jaringan kolagen HARI KE-2 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .018a .034 .018 .016 .068 .034 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .009 .034 .009 .005 F 1.615 6.231 1.615 Sig. .334 .088 .334 F 3.000 81.000 3.000 Sig. .192 .003 .192 F Sig. .650 .001 .650 a. R Squared = . 519 (Adjusted R Squared = .198) HARI KE-4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .003a .034 .003 .001 .038 .004 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .001 .034 .001 .000 a. R Squared = . 667 (Adjusted R Squared = .444) HARI KE-7 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .003a .375 .003 .008 .385 .010 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .001 .375 .001 .003 a. R Squared = . 250 (Adjusted R Squared = -.250) .500 150.000 .500 59 HARI KE-14 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen Ty pe I II Sum of Squares .303a 2.667 .303 .070 3.040 .373 Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .152 2.667 .152 .023 F 6.500 114.286 6.500 Sig. .081 .002 .081 F 121.000 2401.000 121.000 Sig. .001 .000 .001 a. R Squared = . 813 (Adjusted R Squared = .688) Luas_Jaringan_Kolagen a,b Duncan Perlakuan 2.00 3.00 1.00 Sig. N 2 2 2 Subset 1 .4000 .6500 .200 2 .6500 .9500 .144 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .023. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05. HARI KE-21 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Ty pe I II Sum of Squares .403a 4.002 .403 .005 4.410 .408 df 2 1 2 3 6 5 Mean Square .202 4.002 .202 .002 a. R Squared = . 988 (Adjusted R Squared = .980) 60 Luas_Jaringan_Kolagen a,b Duncan Perlakuan 2.00 1.00 3.00 Sig. N 2 2 2 Subset 1 .4500 1.000 2 1.0000 1.0000 1.000 Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .002. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.