pengaruh pemberian salep fraksi heksan rimpang

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN SALEP FRAKSI HEKSAN
RIMPANG KUNYIT TERHADAP PERSEMBUHAN
LUKA MENCIT HIPERGLIKEMIK
NIRNA FITRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh
Pemberian Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit terhadap Persembuhan Luka
Mencit Hiperglikemik adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Nirna Fitri
NIM B04060417
ABSTRACT
NIRNA FITRI. The Effect of Turmeric Rhizome Hexane Fraction Oinment in
Wound Healing Process of Hyperglicemic Mice. Under direction of WIWIN
WINARSIH DAN IETJE WIENTARSIH.
The aim of this research was to determine the potential and efficacy of
hexane fraction of turmeric ointment on skin wound healing process of
hyperglicemic mice based on gross lesion and histopathology observation. Thirty
female mice ± 2 months old with body weight ± 20-25 g were used as
experimental animals. Streptozotosin were induced at mice with dose of 40 mg/kg
body weight intraperitoneally and were waited 1-2 weeks until blood sugar rate
rised up to 200 mg/dl. Mice were wounded by scalpel blade on back area around
1.5 cm. Mice were divided into three groups, which were negative control,
positive control, and a group treated with hexane fraction of turmeric ointment.
The follow-up times was taken every 2nd, 4th, 7th, 14th, and 21st days. Each followup, two mice from each treatment group get euthanased and then were measured
to length change observations cuts and wounds of anatomic pathology (PA) and
skin samples were taken for histopathology preparations. PA observations showed
that wound healing process in the treated with hexane fraction of turmeric
ointment was faster than other treatment groups. Histopathology showed that
hexane fraction of turmeric ointment could reduce inflammation process
(antiinflammatory), reephitelisation and collagen tissue in hyperglycemic mice. It
can be concluded that hexane fraction of turmeric ointment might accelerate
wound healing process in hyperglicemic mice.
Keywords : hexan fraction ointment, turmeric rizhome, skin, wound healing
process, hyperglicemic mice.
ABSTRAK
NIRNA FITRI. Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit
terhadap Persembuhan Luka Mencit Hiperglikemik. Dibimbing oleh WIWIN
WINARSIH DAN IETJE WIENTARSIH.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan khasiat dari
pemberian salep fraksi heksan rimpang kunyit terhadap proses persembuhan luka
kulit mencit hiperglikemik berdasarkan pengamatan secara patologi anatomi dan
histopatologi. Tiga puluh ekor mencit betina berumur ± 2 bulan dengan bobot
badan ± 20-25 gram digunakan sebagai hewan coba. Sebelumnya mencit
diinduksi dengan Streptozotosin dosis 40 mg/kg BB secara intraperitoneal dan
ditunggu selama 1-2 minggu sampai gula darah meningkat 200 mg/dl. Kemudian
mencit dilukai dengan blade skalpel pada bagian punggung sepanjang 1.5 cm.
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok kontrol negatif (tidak diobati),
kelompok kontrol positif (diobati dengan sediaan komersil), dan kelompok yang
diobati dengan salep fraksi heksan rimpang kunyit. Pemanenan sampel dilakukan
pada hari ke-2, ke-4, ke-7, ke-14, dan ke-21. Setiap panen, dua ekor mencit dari
tiap kelompok perlakuan dieuthanasi dengan menggunakan eter selanjutnya
dilakukan pengukuran panjang luka sayatan dan pengamatan patologi anatomi
luka (PA) serta mengambil sampel kulit untuk dibuat sediaan histopatologi.
Pengamatan PA menunjukan bahwa proses persembuhan luka pada kelompok
perlakuan yang diberi salep fraksi heksan rimpang kunyit terlihat lebih cepat
dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Secara histopatologi
menunjukan bahwa salep fraksi heksan rimpang kunyit dapat mengurangi proses
peradangan (antiinflamasi), reepitelisasi, dan jaringan ikat kolagen pada mencit
yang hiperglikemia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salep fraksi heksan
rimpang kunyit dapat mempercepat proses persembuhan luka pada mencit
hiperglikemik.
Kata kunci : salep fraksi heksan, rimpang kunyit, kulit, persembuhan luka,
hiperglikemik
.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGARUH PEMBERIAN SALEP FRAKSI HEKSAN
RIMPANG KUNYIT TERHADAP PERSEMBUHAN
LUKA MENCIT HIPERGLIKEMIK
NIRNA FITRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit
terhadap Persembuhan Luka Mencit Hiperglikemik
Nama
: Nirna Fitri
NIM
: B04060417
Disetujui
Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet
Pembimbing I
Dr. Dra.Hj. IetjeWientarsih,Apt.MSc
Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam
senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Penyelesaian skripsi ini
tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Penulis ucapkan terimakasih kepada
Orangtua dan adik-adik tercinta untuk doa, dukungan, dan kepercayaannya.
Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada ibu Dr. drh. Wiwin
Winarsih, MSi dan ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. MSc selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah dengan penuh kesabaran membimbing penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini; Dr. Drs. Bambang Kiranadi, MSc selaku
dosen pembimbing akademik; Drh. Adi Winarto, Ph.D dan Dr. drh. Yusuf
Ridwan, MSi selaku dosen penilai; Drh. Mawar Subangkit, Pak Endang, Pak
Kasnadi, Pak Sholeh dan mbak Kiki yang telah banyak membantu selama bekerja
di laboratorium patologi; Kak Asih dan Ibu Lina atas kerjasama dan
perjuangannya selama penelitian; Penghuni pondok Irafan (Dana, Yevi, Evi,
Rista, Ivone, Putra, Kukur, Iir) atas hari-hari yang menyenangkan di kostan;
Teman dan sahabat tercinta (Icha, Bowo, Tommy, Edo, Binol, Mas Glen, Vivit,
Siska, Nobo, Reni) atas semangat dan kebersamaannya selama ini; teman-teman
seperjuangan “43sculapiuser” tercinta, terima kasih atas kebersamaan dan semua
kisah indah selama 3 tahun; teman-teman seperjuangan di IMAKAHI dan Himpro
Satwa Liar yang memberikan begitu banyak pengalaman dan pengajaran serta
semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak mungkin dituliskan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapakan. Semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010
Nirna Fitri
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang, Jawa Barat pada tanggal 02
Juni 1987 dari ayah Muslim Abu Bakar, Sp.MP. dan ibu
Asmawiyah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga
bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD
Negeri 3 Yosodadi (1994-2000), SLTP Negeri 2 Metro
(2000-2003), dan SMA Negeri 1 Metro (2003-2006).
Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Mayor yang dipilih penulis
di IPB adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis mendapatkan beasiswa Bantuan
Belajar Mahasiswa dari IPB. Penulis juga aktif menjadi pengurus Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) pada tahun 2007/2008 dan
pengurus Himpunan Profesi Satwa Liar tahun 2008/2009, reporter majalah dan
buletin Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Vet Zone.
Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis
skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit
terhadap Persembuhan Luka Mencit Hiperglikemik” sebagai salah satu syarat
mendapatkan gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan ibu Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi,
APVet dan ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. MSc.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………
xi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..
xii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………….….
Tujuan …………………………………………………………...
Manfaat ……………………………………………………….....
1
2
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit……………………………………………………………
Kurkumin ………………………………………………………..
Mencit ……………………………………………………….......
Streptozotosin (STZ)......................................................................
Struktur dan Fungsi Kulit…………………………….…………..
Histologi Kulit……………………………………….…………...
Vaskularisasi Kulit……………………………………….……….
Persembuhan Luka ……………………………………….………
Salep ……………………………………………………………..
Vaselin ……………………………………………….…………..
Pelarut Heksan ………………………………………….………..
Etanol …………………………………………………….………
Ekstraksi …………………………………………………….……
Hiperglikemia …………………………………………………….
3
5
5
7
8
9
11
12
13
14
14
15
15
17
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat ………………………………………………
Alat dan Bahan
Rimpang Kunyit …………………………………………………
Hewan Percobaan ………………………………………………..
Alat ………………………………………………………………
Bahan …………………………………………………………….
Metodologi
Ekstraksi Rimpang Kunyit ………………………………………
Pembuatan Salep Fraksi Heksan Kunyit ………………………. ..
Perlakuan Pada Mencit …………………………………….….....
Pengamatan Patologi Anatomi …………………………………..
Pengamatan Histopatologi …………………………………….…
Pembuatan Sediaan Haematoksilin Eosin (HE) ……………….…
Pembuatan Sediaan Masson Trichome (MT) …………………….
Analisis Data…………………………………..………………….
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Luka Secara Makroskopis (Patologi Anatomi)….......
Pengamatan Luka Secara Mikroskopis (Histopatologi)
20
20
20
20
21
21
22
22
22
22
23
24
24
26
Sel Polimorfonuklear……….............................................................
Makrofag………...............................................................................
Neovaskularisasi………....................................................................
Reepitelisasi………...........................................................................
Luas Jaringan Kolagen……………………………………………...
30
32
34
35
38
SIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 41
LAMPIRAN……………………………………………………………….. 45
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Patologi anatomi persembuhan luka kulit mencit hiperglikemik….............. 26
2 Rataan jumlah neutrofil pada proses persembuhan luka
mencit hiperglikemik……………………………………………………….. 30
3 Rataan jumlah sel makrofag pada proses persembuhan luka
mencit hiperglikemik …………..…………………………........................... 32
4 Rataan jumlah neovaskularisasi pada proses persembuhan luka
mencit hiperglikemik...................................................................................... 34
5 Rataan persentase reepitelisasi pada proses persembuhan luka
mencit hiperglikemik……………………………..…………………........... 35
6 Rataan persentase luas jaringan kolagen pada proses persembuhan luka
mencit hiperglikemik………………………….………………………......... 38
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman kunyit.......................................................................................... 3
2 Rimpang kunyit ………………………………………………………….
4
3 Struktur kimia kurkumin…………………………………………………
5
4 Mencit laboratorium ……………………………………………….........
6
5 Struktur epidermis kulit………………………………………………….
9
6 Struktur anatomi kulit……………………………………………….…... 11
7 Gambaran patologi anatomi pada ketiga kelompok perlakuan………….. 30
8
Sel radang PMN (neutrofil) kelompok perlakuan kontrol negatif
(tanpa perlakuan pengobatan) pada hari ke-7........................................... 31
9 Sel Makrofag kelompok perlakuan kontrol negatif
(tanpa perlakuan pengobatan) pada hari ke-14………..………………… 33
10 Neovaskularisasi yang terbentuk pada jaringan luka kelompok
perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit pada hari ke-14…………. 35
11 Perbandingan reepitelisasi hari ke-21 pada ketiga
kelompok perlakuan………………………............................................... 37
12 Jaringan ikat kolagen pada kelompok perlakuan salep
fraksi heksan rimpang kunyit pada hari ke-14…………………………… 39
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Grafik rataan jumlah sel neutrofil, makrofag, neovaskularisasi,
reepitelisasi, dan luas jaringan kolagen pada proses persembuhan
luka mencit hiperglikemik………………………………………………. 45
2 Hasil perhitungan statistik polimorfonuklear…………………………… 47
3 Hasil perhitungan statistik makrofag……………………………………. 50
4 Hasil perhitungan statistik neovaskularisasi…………………………….. 53
5 Hasil perhitungan statistik persentase reepitelisasi……………………… 56
6 Hasil perhitungan statistik persentase luas jaringan kolagen…….……... 58
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kunyit (Curcuma longa Linn) merupakan salah satu tanaman suku temutemuan yang termasuk famili Zingiberaceae yang banyak ditanam di pekarangan,
kebun, dan sekitar hutan jati. Kunyit dikenal sebagai penetral bau anyir pada
masakan, pewarna pada nasi kuning. Ramuan obat dengan bahan baku kunyit
sudah lama diolah secara tradisional dengan cara sederhana dan bersifat turun
temurun, namun akhir-akhir ini, kunyit juga sudah diolah secara moderen dalam
skala industri luas oleh industri makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan
industri tekstil. Kunyit juga dikenal sebagai tanaman obat yang dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit karena dapat digunakan sebagai
antioksidan, antiradang, antikanker, dan antitumor (Winarto 2003).
Hiperglikemia merupakan gambaran bagi individu yang mengalami kadar
glukosa darah terlalu tinggi untuk fungsi metabolik (Davidson 1998). Menurut
Polk (1998), hiperglikemia yang berkepanjangan dapat mengarah ke arah stres
dan diabetes melitus. Menurut Soenanto (2005), diabetes melitus (DM) atau
penyakit kencing manis adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan hormon
yang mengakibatkan sel-sel dalam tubuh tidak dapat menyerap glukosa dari
darah.
Hiperglikemik kronik seperti pada kasus DM sering menyebabkan
terjadinya komplikasi sekunder seperti pada pembuluh darah, ginjal, saraf,
gangguan
penglihatan,
dan
infeksi.
Kerusakan
pembuluh
darah
dapat
menyebabkan aliran darah menurun sehingga terjadi kerusakan saraf pada kaki.
Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus pada kaki (kaki
diabetik). Kaki diabetik merupakan komplikasi kronik yang terjadi pada hampir
15% dari semua penderita diabetes. Beberapa penelitian menyatakan bahwa 6-3%
pasien dengan kaki diabetik pada akhirnya akan diamputasi (Scobie 2007).
Penelitian ini dilakukan berdasarkan beberapa alasan ilmiah yang
menyangkut hubungan antara hiperglikemia yang berkepanjangan (kronis)
sehingga dapat menimbulkan penyakit DM dan menimbulkan beberapa
2
komplikasi pada kulit yang lama untuk disembuhkan. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini akan dikaji potensi fraksi rimpang kunyit dalam bentuk sediaan
salep dalam proses persembuhan luka pada hewan coba yaitu mencit. Sehingga
akan didapatkan alternatif pengobatan persembuhan luka pada kulit dengan kunyit
sebagai rempah-rempah asli Indonesia yang mudah ditemukan di berbagai daerah
dengan harga yang ekonomis.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan khasiat dari
pemberian fraksi heksan rimpang kunyit dalam bentuk salep pada proses
persembuhan luka secara patologi anatomi dan histopatologi pada kulit mencit
hiperglikemik.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai alternatif pengobatan
persembuhan luka pada kulit terutama pada penderita hiperglikemik dengan harga
yang ekonomis dan mudah didapat.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit
Kunyit termasuk dalam famili Zingiberaceae. Kunyit merupakan tanaman
herbal dan tingginya dapat mencapai 100 cm. Batang kunyit semu, tegak, bulat,
membentuk rimpang, dan berwarna hijau kekuningan. Kunyit memiliki daun
tunggal yang berbentuk helai dan lanset memanjang, memiliki jumlah 3-8 dengan
ujung dan pangkal daun runcing, tepi daun rata, pertulangan menyirip, dan
berwarna hijau pucat. Bunga kunyit berwarna kuning atau kuning pucat dan
mekar secara bersamaan. Rimpang induk menjorong sedangkan rimpang cabang
lurus atau sedikit melengkung. Keseluruhan rimpang membentuk rumpun yang
rapat, berwarna jingga, dan tunas mudanya berwarna putih. Akar serabut kunyit
berwarna coklat muda. Bagian tanaman yang digunakan adalah rimpang atau
akarnya. Warna kulit rimpang agak kecoklatan, sedangkan bagian dalamnya
berwarna kuning cerah. Batang semu tertutup rapat oleh pelepah daun, bentuk
daun lonjong memanjang, tipis dengan ukuran 30x7-8cm. Bunganya majemuk
yang muncul pada ketiak tunas (Ashari 1995).
Gambar 1 Tanaman Kunyit (Winarto 2003).
Rimpang kunyit (Gambar 1) mengandung minyak atsiri dengan senyawa
antara lain fellandrene, sabinene, sineol, borneol, zingiberene, kurkumin,
turmenon, kamfene, kamfor, sesquiterpene, asam kafrilat, asam metoksisinamat,
dan tolimetil karbinol. Selain itu, rimpang kunyit juga mengandung tepung dan
zat warna yang mengandung alkaloid kurkumin (Mahendra 2005).
4
Menurut Sudarsono et al. 1996, kandungan senyawa kimia yang terdapat
dalam rimpang kunyit adalah sebagai berikut:
a. Zat warna kurkuminoid yang merupakan suatu senyawa diarilheptanoid 3-4%
yang terdiri dari kurkumin, dihidrokurkumin, desmetoksikurkumin, dan
bisdesmetoksikurkumin.
b. Minyak atsiri 2-5% yang terdiri dari seskuiterpen dan turunan fenilpropana
turmeron (aril-turmeron, alpha turmeron dan beta turmeron), kurlon kurkumol,
atlanton, bisabolen, seskuifellandren, zingiberin, aril kurkumen, humulen.
c. Arabinosa, fruktosa, glukosa, pati, tanin, dan damar
d. Mineral yaitu magnesium, besi, mangan, kalsium, natrium, kalium, timbal,
seng, kobalt, alumunium, dan bismuth.
Gambar 2 Rimpang kunyit (Rukmana 1991).
Klasifikasi kunyit menurut Linnaeus dalam Winarto (2003), sebagai
berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophita
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Subkelas
: Zingiberales
Famili
: Zingibereaceaae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma Longa Linn.
5
Kurkumin
Kurkumin
1,7-bis(4’hidroksi-3metoksifenil)-1,6
heptadien,
3,5-dion
merupakan komponen penting dari Curcuma longa Linn. yang memberikan warna
kuning yang khas (Jaruga et al. 1998 dan Pan et al. 1999). Kurkumin adalah
senyawa aktif yang ditemukan pada kunyit. Kurkumin merupakan polifenol yang
memiliki rumus kimia (C21H20O6) mirip asam ferulat yang banyak digunakan
sebagai penguat rasa pada industri makanan (Pan et al. 1999).
Kurkumin bermanfaat sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi,
penghambatan karsinogenesis, penghambatan proliferasi sel, antiestrogen,
antiangiogenesis, dan juga antiinflamasi. Selain itu, kurkumin juga diyakini
mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan memacu apoptosis sel kanker
(Dheni 2007). Menurut Purwanti (2008), kandungan kurkumin dalam kunyit
adalah 2.38% per 100 gram kunyit. Partikel kurkumin memilki bagian dalam yang
bersifat hidrofobik dan bagian luar yang bersifat hidrofilik (Dheni 2007). Serbuk
kering rizoma (turmeric) mengandung 3-5% kurkumin dan dua senyawa
derivatnya
dalam
jumlah
yang kecil
yaitu
dismetoksi
kurkumin
dan
bisdesmetoksikurkumin, yang ketiganya sering disebut sebagai kurkuminoid
(Tonessen dan Karlsen 1995). Kurkumin tidak larut dalam air tetapi larut dalam
etanol atau dimetilsulfoksida (DMSO). Degradasi kurkumin tergantung pada pH
dan berlangsung lebih cepat pada kondisi netral-basa (Aggarwal et al. 2003a).
Secara kimia, kurkumin dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3 Struktur kimia kurkumin (Best 2008).
Mencit
Mencit dipilih sebagai hewan percobaan karena merupakan hewan yang
praktis, mudah dipelihara dalam ruangan yang relatif kecil dan dapat digunakan
untuk penelitian dalam jumlah yang cukup banyak (Malole dan Pramono 1989).
Mencit laboratorium adalah strain mencit yang telah dikembangkan oleh ahli
genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun silam (Penn 1999).
6
Mencit laboratorium setelah diternakan secara selektif memilki berbagai warna
rambut dan timbul banyak galur dengan berat badan berbeda-beda (Smith 1988).
Klasifikasi mencit menurut Linnaeus dalam Arington (1972), adalah
sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Myomorphoa
Familia
: Muridae
Sub familia
: Murinae
Genus
: Mus
Species
: Mus musculus
Gambar 4 (Dokumentasi Pribadi 2009).
Mencit laboratorium dapat dikandangkan dalam kotak sebesar kotak
sepatu. Hal yang paling penting dalam sistem perkandangan mencit adalah
persyaratan fisiologis dan tingkah laku mencit harus diperhatikan. Persyaratan ini
antara lain untuk menjaga lingkungan tetap kering dan bersih, suhu yang
memadai, dan memberi ruang yang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam
berbagai posisi (Smith 1988). Sistem kandang harus dilengkapi makanan dan
minuman yang mudah dicapai oleh mencit dan kandang tidak boleh diisi sampai
berdesak-desakan agar hewan dapat bebas bergerak (Otis dan Foster 1983).
Mencit berkembang biak dalam waktu yang singkat (19-21 hari) sehingga
keturunannya dapat diperoleh dalam jumlah banyak. Mencit baik jantan maupun
7
betina dapat dikawinkan pada umur 8 minggu. Estrus terjadi kira-kira tiap 4-5 hari
dan lamanya estrus 12-14 jam, perkawinan dapat dilakukan pada waktu estrus.
Lama bunting biasanya 19-21 hari dan anak-anak dapat disapih pada umur 18-28
hari tetapi biasanya 21 hari (Smith 1988).
Streptozotosin (STZ)
Menurut Herr et al. (1967) dalam Cooperstein (1981), STZ diproduksi
oleh Streptomyces achromogenes. STZ memiliki nama lain yaitu 2-deoksi-2-(3metil-3-nitrosureido)-D-glukopiranosa (Shalahuddin 2005) yang dapat digunakan
untuk menginduksi kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia) dan apabila terjadi
lama (kronis) akan menjadi kondisi diabetes melitus pada hewan coba karena
secara selektif merusak sel B di pulau langerhans (Cooperstein et al. 1981;
Ganong 2003).
STZ terdiri dari 1-methyl-1-nitrosourea (Cooperstein 1981) yang berikatan
dengan C-2 dari D-glukosa dengan berat molekul 265 g/mol (Shalahuddin 2005).
STZ memiliki struktur separuh glukosa, karena berisi campuran α dan β anomer
(Herr et al 1967 dalam Cooperstein 1981).
Menurut Shalahuddin (2005), STZ masuk ke dalam sel B pankreas melalui
GLUT 2 (Glukosa Transport 2) dan berikatan dengan C-2 dari D-glukosa
kemudian menurut Karunnayake et al. (1976) dalam Cooperstein (1981) setelah
berikatan dengan gugus separuh glukosa menghasilkan degradasi metabolit untuk
melepaskan N-metilnitroso kemudian menembus sel B dan menimbulkan efek
sitotoksik. N-nitrosometilurea menurut Gunnarsson et al. (1974) dalam
Cooperstein (1981) juga dapat menyebabkan nekrosis sel B. nekrosis massive
pada sel B terjadi 7 hari setelah injeksi STZ (Junod et al. 1967 dalam Cooperstein
1981).
Rossini et al. (1977) dalam Cooperstein (1981) menyebutkan bahwa dosis
30-40 mg/kg α anomer STZ menimbulkan keparahan nekrosis sel B daripada β
anomer, walaupun dosis lebih tinggi tidak ada perbedaan. Dosis yang digunakan
untuk menginduksi DMT1 secara intraperitoneal dengan dosis 40 dan 60 mg/kg
berat badan atau lebih tinggi dan kurang efektif dibawah 40 mg/dL.
STZ dapat menyebabkan efek diabetogenik dengan meningkatkan
konsentrasi intraseluler radikal bebas atau menurunkan kemampuan sel B untuk
8
mengatur/mempertahankan antioksidan (Robbins et al 1980 dalam Cooperstain
1981). Selain itu STZ merupakan donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan
sebagai penyebab kerusakan sel pulau langerhans pankreas dan dapat
menghambat siklus krebs sehingga terjadi deplesi nukleotida pada sel B
(Shalahuddin 2005). Sel B berkurang setelah 90 menit setelah injeksi STZ (Orci et
al. 1972 dalam Cooperstein 1981).
Kulit
Struktur dan fungsi kulit
Kulit adalah suatu jaringan/organ yang kompleks, suatu organ yang
dinamis dengan banyak macam sel multiple dengan tipe dan fungsi yang khas.
Kulit merupakan organ pembungkus tubuh paling luar, sehingga kulit sangat
krusial bagi kesehatan karena merupakan pertahanan terdepan (Dharmojono
2002).
Secara mikroskopis, kulit terdiri dari 3 lapisan yaitu epidermis, dermis dan
lemak subkutan. Epidermis merupakan bagian terluar kulit yang dibagi lagi
menjadi 2 lapisan utama yaitu lapisan sel-sel tidak berinti yang bertanduk
(stratum korneum atau lapisan tanduk) dan lapisan dalam yaitu stratum malfigi.
Stratum malfigi merupakan asal sel-sel permukaan bertanduk setelah mengalami
proses diferensiasi. Stratum malfigi dibagi menjadi stratum granulosum, lapisan
sel basal (stratum germinativum), dan stratum spinosum (Anderson et. al 2002).
Dermis terletak tepat di bawah epidermis, dan terdiri dari serabut-serabut
kolagen, elastin, dan retikulin yang tertanam dalam suatu substansi dasar. Matriks
kulit mengandung pembuluh-pembuluh darah dan saraf yang menyokong dan
memberi nutrisi pada epidermis yang sedang tumbuh. Di sekitar pembuluh darah
yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan neutrofil/polimorfonuklear
(PMN) yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing.
Serabut-serabut kolagen khusus menambatkan sel-sel basal epidermis pada
dermis. Di bawah epidermis terdapat lapisan ketiga yaitu lemak subkutan. Lapisan
ini merupakan bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu tubuh
dan tempat penyimpanan energi (Anderson et al. 2002).
Kulit berfungsi untuk melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan
fisika, terutama kerusakan mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme,
9
mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan air
secukupnya tetap terjadi, bertindak sebagai pengatur panas dengan melakukan
konstriksi dan dilatasi pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat, dan
bertindak sebagai alat pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu reseptor
tekan, suhu, dan nyeri (Mutchler 1991).
Kulit juga melindungi tubuh dari trauma dan merupakan benteng
pertahanan terhadap infeksi bakteri, virus dan jamur. Kehilangan panas dan
penyimpanan panas diatur melalui vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah kulit
atau sekresi kelenjar keringat. Kulit juga merupakan tempat sensasi raba, tekan,
suhu, nyeri dan nikmat, berkat jalinan ujung-ujung saraf yang saling bertautan
(Anderson 2002).
Gambar 5 Struktur Epidermis Kulit (Graham 2005).
Histologi kulit
1.
Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Epidermis
merupakan stratified squamous epithelium membangun diri menjadi stratum
korneum yang terdiri dari sel berzat tanduk tanpa inti sel (anucleate cornified
cells) dengan ketebalan 40 µm sampai 1.6 mm (Parker 1991). Tebal epidermis
berbeda-beda pada berbagai tempat ditubuh. Epidermis yang paling tebal yaitu
pada telapak tangan dan kaki. Epidermis mengalami regenerasi setiap 4-6 minggu.
Epidermis mendapat pasokan makanan dari korium yang berhubungan dengannya
10
melalui papila berbentuk bulat dan melalui kelenjar dan folikel rambut (Mutchler
1991).
Secara histologi, lapisan epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang
paling atas sampai yang terdalam) dibedakan atas :
a. Stratum korneum (lapisan tanduk) terdiri dari sel keratinosit yang bisa
mengelupas dan berganti. Terdiri atas sel tidak berinti, pipih dan mengalami
keratinisasi sempurna.
b. Stratum lusidum (lapisan keratohialin) berupa garis translusen, biasanya
terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan
c. Stratum granulosum (lapisan bergranul) yang ditandai oleh 3-5 lapis sel
poligonal gepeng yang intinya yang kecil ditengah dan sitoplasma terisi oleh
granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung
protein kaya akan histidine. Pada stratum granulosum terdapat sel langerhans.
d. Stratum spinosum
e. Stratum germinativum (stratum basal) merupakan satu lapis sel yang
mengandung melanosit. Terdapat aktivitas mitosis yang hebat dan bertanggung
jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis
diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung
letak, usia, dan faktor lain.
Fungsi epidermis yaitu sebagai proteksi barrier, organisasi sel, sintesis
vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan
pengenalan allergen (sel Langerhans) (Perdanakusuma 2008)
2. Dermis
Dermis merupakan bagian yang paling penting dikulit yang sering dianggap
“True Skin”. Terdiri dari jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Lapisan dermis akan memberi
makan pada epidermis selama proses embriogenesis, penyembuhan luka, dan
upaya membangun kembali kulit. Dermis terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan
papiler merupakan lapisan yang tipis mengandung jaringan ikat jarang dan lapisan
retikuler merupakan lapisan yang tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Dermis
mempunyai banyak jaringan pembuluh darah, mengandung beberapa derivat
epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebassea dan kelenjar keringat. Kualitas
11
kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi
dermis antara lain sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi,
dan respon inflamasi (Perdanakusuma 2008).
3. Subkutis
Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri
dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan
kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya
berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Lapisan ini
berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi
subkutis/hipodermis yaitu untuk isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk
tubuh dan mechanical shock absorber (Perdanakusuma 2008).
Vaskularisasi Kulit
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk plexus yang terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan plexus ini dan menginervasi papila
dermis, tiap papila dermis memilki satu arteri asenden dan satu cabang vena. Pada
epidermis tidak terdapat pembuluh darah tetapi disuplai nutrien dari dermis
melalui membran epidermis (Perdanakusuma 2008).
Gambar 6 Struktur Anatomi Kulit (Graham 2005).
12
Persembuhan Luka
Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh untuk memperbaiki bagian
luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya
(Vegad 1995). Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk
memperbaiki
kerusakan
yang
terjadi.
Komponen
utama
dalam
proses
persembuhan luka adalah kolagen dan sel epitel. Fibroblas adalah sel yang
bertanggung jawab untuk sintesis kolagen (Perdanakusuma 2008).
Luka diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu luka akut dan luka kronik.
Luka akut merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan
dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria
luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu
yang diperkirakan. Contohnya luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury.
Luka kronik yaitu luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali dimana
terjadi gangguan pada proses persembuhan yang biasanya disebabkan oleh
masalah multifaktor dari penderita. Pada luka kronik, luka gagal sembuh pada
waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya
kecenderungan untuk timbul kembali. Contohnya yaitu ulkus dekubitus, ulkus
diabetik, ulkus vena, luka bakar, dll (Perdanakusuma 2008).
Fisiologi persembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase:
1. Fase Inflamasi
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Setelah
terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi
disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit bersama benang-benang
fibrin untuk membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan
mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like
Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming
Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil,
makrofag, sel mast, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan ini disebut fase
inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit
Polimorfonuklear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator
inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF-β1) yang juga dikeluarkan
13
oleh makrofag. Adanya TGF-β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis
kolagen (Perdanakusuma 2008).
2.
Fase Proliferasi (Fibroplasi)
Fase ini disebut fibroplasi karena pada fase ini fibroblas sangat menonjol
perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat kolagen
yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada
fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi (Perdanakusuma
2008).
3. Fase Remodeling (maturasi)
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses
persembuhan luka. Pada fase ini terjadi proses yang dinamis berupa remodeling
kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi
kolagen berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu
sampai 2 tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang
yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Perdanakusuma 2008).
Ada 2 faktor yang mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu faktor
lokal dan general. Faktor lokal meliputi suplai pembuluh darah yang kurang,
denervasi, hematoma, infeksi, iradiasi, stres mekanik, teknik bedah, irigasi,
elektrokoagulasi, suture materials, dressing material, antibiotik, tipe jaringan.
Faktor general meliputi usia, anemia, obat-obatan anti peradangan, diabetes
melitus, hormon, infeksi sistemik, jaundice, penyakit menular, malnutrisi,
obesitas, temperatur, trauma, hipovolemia, dan hipoksia, uremia, vitamin C, A,
trace metals (Perdanakusuma 2008).
Salep
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan
sebagai obat luar. Bahan obat dalam pembuatan salep harus larut/terdispersi
homogen dalam dasar salep yang cocok. Pemilihan dasar salep harus memiliki
syarat tertentu, diantaranya stabil secara fisik dan kimia, warna dan bau stabil
selama penyimpanan/pemakaian, dapat dicampur dengan semua obat, teksturnya
halus dan licin sehingga mudah dioles pada kulit (Farmakope Indonesia 1979).
Selain itu dasar salep juga harus baik untuk semua tipe kulit, tidak mudah tengik,
tidak mengiritasi kulit, dan mudah dioleskan (Wientarsih dan Prasetyo 2006).
14
Salep merupakan sediaan dermatologi yang paling sering dipakai.
Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi salep tergantung pada
pemikiran yang cermat atas sejumlah faktor-faktor termasuk laju pelepasan yang
diinginkan bahan obat dari dasar salep, keinginan peningkatan absorbsi per kutan
dari obat, kelayakan melindungi kelembaban kulit, kestabilan dasar salep dalam
jangka waktu yang lama, pengaruh obat terhadap kekentalan atau lainnya dari
dasar salep (Ansel 1989).
Vaselin
Vaselin dibuat pertama kali oleh Chasebrough-Manufacturing-Company
di New York pada tahun 1871. Vaselin menggambarkan suatu sistem dua fase
dengan struktur gel. Secara kimia, vaselin adalah netral, sehingga tersatukan
dengan bahan obat dan bahan pembantu dan praktis dapat bertahan tanpa batas.
Sebagai bahan asing untuk tubuh, vaselin dapat mengarahkan kepada
perangsangan pada pasien-pasien yang kulitnya sangat peka (vaselin, parafin),
karenanya penggunaan pada penyakit kulit akut dihindari.
Vaselin sangat cocok digunakan sebagai bahan dasar salep, baik sebagai
salep pelindung, sebagai sistem pembawa, sebagai bahan obat, dan sebagai dasar
untuk sistem yang mengandung emulgator, berkemampuan mengambil air.
Vaselin bersifat transparan dalam lapisan tipis dan hanya boleh memiliki bau yang
tidak menarik perhatian (Voight 1971).
Pelarut Heksan
Menurut Basri (1996) heksan adalah hidrokarbon alifatik tak jenuh dengan
formula CH3(CH2)4CH3 termasuk dalam alkana, berbentuk cairan yang mudah
menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, tidak larut dalam air tetapi larut dalam
alkohol, eter dan aseton. Heksan didapat dari penyulingan bertingkat petroleum
dan sering digunakan sebagai pelarut dan pengencer cat.
Heksan merupakan senyawa nonpolar, sehingga gaya tarik antar
molekulnya lemah. Heksan tidak larut dalam pelarut polar seperti air, tetapi larut
dalam pelarut nonpolar atau sedikit polar seperti dietil eter atau benzen.
Kelarutannya disebabkan oleh gaya tarik Van Der Walls antara pelarut dan zat
15
terlarut. Heksan memiliki berat lebih ringan dibandingkan air dan titik didihnya
adalah 69˚C (Brieger 1969).
Etanol
Etanol banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri
makanan dan minuman. Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus
molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O (Ane 2008). Kelarutan
zat dalam pelarut tergantung dari ikatannya (polar, semipolar, atau non polar).
Etanol termasuk ke dalam pelarut polar, sehingga sebagai pelarut etanol
diharapkan dapat menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar (Hougton dan
Raman 1998).
Ekstraksi
Ekstraksi yaitu suatu metode pemisahan dan identifikasi kandungan kimia.
Tumbuhan yang akan diekstraksi biasanya dikeringkan terlebih dahulu. Setelah
betul-betul kering, tumbuhan dapat disimpan untuk jangka waktu lama sebelum
digunakan untuk analisis (Harborne 1987). Prosedur untuk memperoleh
kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering dengan ekstraksi
menggunakan pelarut alkohol karena alkohol merupakan pelarut serbaguna untuk
ekstraksi tumbuhan (Harborne 1987). Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik
semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Proses pengekstrasian
komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding
sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut
dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel
dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbanagan antara
konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel.
Ekstraksi adalah proses untuk mengisolasi senyawa dari suatu tumbuhan.
Ragam ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan
yang diekstraksi pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987). Ekstraksi
sangat bergantung pada jenis dan komposisi dari cairan pengekstraksi. Cairan
pelarut yang biasanya digunakan dalam proses ekstraksi adalah air, eter, atau
campuran etanol air. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol air sebaiknya
menggunakan cara maserasi (Farmakope Indonesia 1979).
16
Ekstraksi adalah proses penarikan atau pemisahan zat aktif suatu simplisia
dengan menggunakan cairan penyaring yang cocok (Wientarsih dan Prasetyo
2006). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan
senyawa non polar dalam pelarut non polar (Yuliani dan Rusli 2003).
Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006) pembagian ekstrak berdasarkan
macam simplisia. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang
belum mengalami perubahan, biasanya bahan yang dikeringkan. Ada 3 macam
jenis simplisia, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia mineral.
Simplisia nabati yaitu berasal dari tanaman utuh, bagian tanaman, dan eksudat
tanaman. Simplisia hewani berasal dari hewan utuh atau bagiannya atau zat yang
dihasilkan hewan. Simplisia mineral yaitu simplisia yang berasal dari mineral baik
yang diolah atau belum diolah. Penelitian ini menggunakan jenis ekstrak tingtur
dan simplisia nabati. Jenis ekstrak ini menggunakan metode maserasi
(perendaman).
Menurut Wientarsih dan Prasetyo 2006, metode ekstraksi dibagi ke dalam
5 cara yaitu:
1. Maserasi
Maserasi (macerare = mengairi, melunakan) adalah cara ekstraksi yang
paling sederhana (Harborne 1987). Maserasi dilakukan dengan mencampur 10%
simplisia dengan 75 bagian penyari ke dalam sebuah wadah, kemudian ditutup
dan dibiarkan selama 5 hari. Setelah itu diserkai, diperas, dan diaduk. Ampas
dicuci dengan cara menambahkan penyari 100 bagian kemudian dipindahkan ke
dalam bejana, ditutup selama 2 hari. Setelah itu, disaring dan dituang (Wientarsih
dan Prasetyo 2006).
Bahan jamu yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya
terpotong-potong atau diserbuk-kasarkan) disatukan dengan bahan ekstraksi.
Deposisi tersebut disimpan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi
yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu
maserasi berbeda-beda, menurut farmakope waktu maserasi sekitar 4-10 hari.
Pengocokan harus dilakukan secara berulang (kira-kira 3x sehari) sehingga terjadi
keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat ke dalam cairan.
17
Keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif
(Farmakope Indonesia 1979).
Keuntungan dari metode ini yaitu pengerjaan dan alat yang digunakan
sederhana, tetapi juga memiliki kerugian yaitu membutuhkan waktu yang lama
pada proses pengerjaannya dan proses ekstraksinya kurang sempurna (Yuliani dan
Rusli 2003).
2. Metode Perkolasi
Metode ini dilakukan dengan cara mencampur 10 bagian simplisia ke
dalam 5 bagian larutan pencuci. Setelah itu dipindahkan ke dalam percolator dan
ditutup selama 24 jam setelah itu dibiarkan menetes sedikit demi sedikit. Perkolat
yang telah terbentuk kemudian diuapkan (Wientarsih dan Prasetyo 2006)
3. Digesti
Metode ini merupakan bentuk lain dari maserasi yang menggunakan panas
seperlunya selama proses ekstraksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006).
4. Infusi
Metode ini dilakukan dengan memanaskan campuran air dan simplisia
pada suhu 90o dalam waktu 5 menit. Selama proses ini berlangsung campuran
terus diaduk dan diberi tambahan air hingga diperoleh volume infus yang
dikehendaki (Wientarsih dan Prasetyo 2006).
5. Dekoksi
Metode ini hampir sama dengan metode infusi hanya saja waktu
pemanasanya lebih lama yaitu sekitar 30 menit (Wientarsih dan Prasetyo 2006).
Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
diabetes melitus baik tipe 1 maupun tipe 2. Hiperglikemia yaitu tingginya kadar
glukosa di dalam darah. Hiperglikemia dapat bersifat fisiologis dan patologis.
Kondisi hiperglikemia fisiologis terjadi pada individu ketika setelah makan,
sedangkan hiperglikemia patologis terjadi akibat kadar glukosa di dalam darah
yang tetap tinggi dalam waktu yang lama. Hiperglikemia yang bersifat kronis
dapat mengarah pada kondisi diabetes melitus. Penderita diabetes, khususnya
hiperglikemia cenderung sering minum seiring dengan keinginan tubuh yang
18
berusaha menghilangkan glukosa ekstra. Hal ini menyebabkan tingginya kadar
glukosa di dalam urine (Susianto et al 2008).
Diabetes melitus atau penyakit kencing manis adalah penyakit yang
disebabkan oleh kelainan hormon yang mengakibatkan sel-sel dalam tubuh tidak
dapat menyerap glukosa dari darah (Soenanto 2005). Penyakit ini timbul ketika di
dalam darah tidak terdapat cukup insulin atau ketika sel-sel tubuh tidak dapat
bereaksi secara normal terhadap insulin dalam darah (Irianto 2004).
Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia (kadar gula darah tinggi)
kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal.
Akibat gangguan hormonal tersebut dapat menimbulkan komplikasi pada mata
seperti katarak, ginjal (nefropati), saraf, pembuluh darah dan kulit. Hewan dengan
diabetes melitus akan mempunyai kadar gula yang sangat tinggi dalam darahnya
setelah makan dan akan menurun jika sedang berpuasa. Gula darah normal pada
saat puasa yaitu <110 mg/dl, sedangkan gula darah normal 2 jam setelah makan
yaitu <200 mg/dl. Ada 2 type diabetes melitus, yang pertama yaitu yang
tergantung dengan insulin atau Insulin Dependent Diabetes mellitus (IDDM), type
ini biasanya disebabkan karena destruksi dari sel beta langerhans akibat proses
auto immune, sedangkan tipe yang kedua adalah diabetes melitus yang tidak
tergantung dengan insulin atau Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) akibat dari kegagalan relatif sel beta langerhans (Esfandiari 2008).
Umumnya diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau
sebagian besar dari sel-sel beta pulau langerhans pankreas yang berfungsi
menghasilkan insulin. Insulin adalah hormon yang diproduksi sel beta di
pankreas. Pankreas merupakan kelenjar yang terletak dibelakang lambung, yang
berfungsi mengatur metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah
kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan di dalam hati dan otot.
Diabetes juga terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin dalam memasukan
glukosa kedalam sel. Obesitas merupakan salah satu faktor pencetus dari diabetes
melitus.
Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang dapat melibatkan
multiorgan seperti ginjal, syaraf, mata, kulit dan sebagainya. Pada organ kulit,
penyakit diabetes melitus memberikan manifestasi yang bervariasi, namun
19
mekanisme pasti belum diketahui. Faktor penyebab diabetes melitus antara lain
yaitu faktor keturunan, kegemukan sehingga kerja pankreas menjadi lebih berat,
faktor lain adalah kurang olahraga dan stres. Gejala diabetes melitus yaitu kencing
dalam jumlah banyak, rasa lapar yang berlebihan, berat badan menurun meskipun
cukup banyak makan, badan terasa lemah, lesu, kurang tenaga, sering mengalami
kesemutan di bagian kaki, jika bagian tubuh luar terluka, membutuhkan waktu
penyembuhan yang cukup lama karena efek dari penyakit gulanya (Soenanto
2005).
Semua jenis diabetes melitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi
pada tingkat lanjut. Hiperglikemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan
ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (resiko
ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang
dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan syaraf yang menyebabkan
impotensi dan gangren dengan resiko amputasi.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009 hingga Juni 2010 di Bagian
Patologi dan Laboratorium Farmasi (Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi), Laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi (Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner), Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Rimpang Kunyit
Rimpang kunyit yang digunakan berumur 9 bulan yang diperoleh dari
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO) Cimanggu, Bogor.
Identifikasi tanaman kunyit dilakukan di Herbarium bogoriensi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan selanjutnya rimpang kunyit ini
dikeringkan dan digiling menjadi bentuk serbuk.
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit betina sebanyak 30 ekor
yang berumur ± 2 bulan dan
memiliki bobot badan ± 20-25 gram. Mencit
diinduksi dengan Streptozotosin dengan dosis 40 mg/kg BB secara intaperitoneal
kemudian dikelompokan menjadi 3 kelompok perlakuan yang terdiri dari 10 ekor
mencit kelompok kontrol negatif (tidak diobati), 10 ekor mencit kelompok kontrol
positif menggunakan sediaan komersil (neomisin sulfat 5%) dan 10 ekor mencit
kelompok yang diberi salep fraksi heksan rimpang kunyit.
Alat
Peralatan yang digunakan antara lain kandang mencit, pisau bedah,
gunting bedah, pot plastik, scalpel, blade, cotton bud, glukometer, kawat ukuran
1.5 cm, pinset anatomis, kantong plastik, alat ukur (meteran), label, spoit, dan
talenan. Peralatan untuk ekstraksi kunyit, yaitu maserator, evaporator, tabung
fraksinator, cawan petri, sendok pengaduk, corong, gelas Erlenmeyer 100 ml, dan
oven untuk pengering. Peralatan untuk pembuatan sediaan histopatologi yaitu
21
automatic tissue processor, alat bedah minor, pencetak parafin, blok untuk
parafin, tissue cassette, mikrotom, penangas air, gelas objek, gelas penutup,
mikroskop baik mikroskop cahaya maupun mikroskop videometer untuk
pengamatan histopatologi, dan alat hitung.
Bahan
Rimpang kunyit yang dikeringkan dan digiling menjadi bentuk serbuk,
sediaan komersil (neomisin sulfat 5%), salep fraksi heksan rimpang kunyit, eter
untuk euthanasia, larutan buffered neutral formalin (BNF) 10% untuk fiksasi
kulit, kapas, dan vaselin kuning untuk pembuatan salep.
Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan
Mayer’s haematoksilin, larutan eosin, xilol, alkohol dengan konsentrasi bertingkat
(70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%), larutan litium karbonat, aquades, asam asetat
1%, larutan mordan, larutan Carrazi’s haematoksilin, larutan orange G 0.75%,
larutan ponceau xylidine fuchsin, larutan phospotungstic acid 2.5%, anilin blue,
dan parafin.
Metodologi
Ekstraksi rimpang kunyit
Ekstraksi dilakukan dengan cara metode maserasi (perendaman). Satu
bagian kering rimpang kunyit (1000 g) dimasukan ke dalam maserator, ditambah
10 bagian etanol 96%, direndam selama 6 jam sambil sekali-kali diaduk,
kemudian didiamkan selama 3 hari. Maserat dipisahkan dan diulangi 2 kali
dengan jenis dan jumlah perlakuan yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan
diuapkan (evaporasi) dengan evaporator hingga diperoleh ekstrak kental sebanyak
187.7 g. Rendaman yang diperoleh ditimbang dan dicatat. Ekstrak kental
dilarutkan dengan etanol 96% sampai terbentuk larutan ekstrak. Lalu ditambahkan
larutan heksan (non polar) dengan perbandingan 1:1 dimasukan ke dalam labu
kocok (corong pisah). Setelah itu dikocok selama 15 menit dan didiamkan hingga
terbentuk dua lapisan pelarut. Lapisan yang bawah adalah etanol dan yang atas
adalah heksana. Kedua larutan ini kemudian ditampung secara terpisah lalu
diulangi 2 kali dengan perlakuan yang sama. Hasil yang diperoleh di evaporasi
sehingga diperoleh fraksi kental sebanyak 10.3 g.
22
Pembuatan Salep Fraksi Heksan Rimpang Kunyit
Pembuatan salep fraksi heksan rimpang kunyit dimulai dengan fraksi
heksan rimpang kunyit kental yang telah dihasilkan kemudian ditimbang
sebanyak 10.3 g dan dihomogenisasi dengan vaselin kuning menggunakan mortar.
Homogenisasi dilakukan hingga merata dan tidak terasa lagi butiran serbuk
kunyit. Setelah itu disimpan dalam tabung dan diberi label.
Perlakuan Pada Mencit
Seluruh mencit diinduksi dengan streptozotosin dosis 40 mg/kg BB secara
intaperitoneal dan ditunggu selama 1-2 minggu hingga gula darah mencit
meningkat sampai 200 mg/dl. Pemeriksaan kadar gula darah pada hewan coba
dilakukan setiap hari dengan menggunakan alat glukometer. Setiap mencit dilukai
dengan blade scalpel didaerah punggung sepanjang 1.5 cm. Selama masa
pemeliharaan, mencit diberikan obat secara topikal pada luka sehari sekali sesuai
dengan perlakuannya dengan menggunakan cotton bud, kecuali pada kelompok
perlakuan kontrol negatif. Interval pengamatan dan pemanenan sampel kulit
mencit dilakukan pada hari ke-2, ke-4, ke-7, ke-14 dan ke-21 paska perlukaan
dengan mengambil masing-masing 2 ekor mencit dari tiap perlakuan. Sampel
kulit yang diambil yaitu pada daerah punggung mencit yang diberikan perlukaan
dan sebelumnya mencit telah dieuthanasi terlebih dahulu dengan menggunakan
eter secara per inhalasi selama beberapa menit. Kemudian dilakukan pengukuran
perubahan panjang luka sayatan, pengamatan patologi anatomi luka dan
selanjutnya kulit yang telah diambil difiksasi dengan larutan BNF 10% selama 48
jam yang digunakan untuk pembuatan sediaan histopatologi.
Pengamatan Patologi Anatomi
Pengamatan patologi anatomi dilakukan pada saat pemanenan terhadap
semua mencit pada setiap perlakuan dengan metode deskriptif. Kondisi luka
diamati dengan memperhatikan parameter perbandingan, yaitu warna luka, kering
luka, dan keropeng luka.
Pengamatan Histopatologi
Pada penelitian ini peubah yang diamati pada pemeriksaan mikroskopis
(pengamatan histopatologi) adalah proses inflamasi dengan menghitung jumlah
23
sel radang (neutrofil dan makrofag), menghitung pembentukan pembuluh darah
baru
(neovaskularisasi),
persentase
pembentukan
atau
regenerasi
epitel
(reepitelisasi), dan pembentukan jaringan ikat kolagen. Pewarnaan Haematoksilin
Eosin (HE) digunakan untuk jumlah sel radang (neutrofil dan makrofag) dan
jumlah neovaskularisasi. Penghitungan dilakukan pada lima lapang pandang
dengan perbesaran obyektif 40x10 kemudian dirata-ratakan sedangkan pada
pewarnaan Masson Trichrome (MT) digunakan untuk menghitung persentase
reepitelisasi dan pembentukan jaringan ikat kolagen (fibroblas) yang diamati di
bawah mikroskop dengan perbesaran obyektif 40x10.
Pembuatan Sediaan Haematoksilin Eosin (HE)
Sediaan sampel kulit yang telah difiksasi dengan larutan BNF 10% selama
± 48 jam ditipiskan (trimming) dengan cara dipotong kecil pada daerah tengah
luka. Setelah itu potongan dimasukan ke dalam kaset. Kemudian didehidrasi
dengan alkohol berbagai konsentrasi ( alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%,
alkohol 95% I, alkohol 95% II, alkohol absolut I, dan alkohol absolut II) masingmasing selama 2 jam. Setelah itu dilakukan penjernihan (clearing) sediaan kulit
dengan dimasukan ke dalam xylol dengan 2 kali penggantian masing-masing
selama 2 jam. Setelah dilakukan penjernihan, lalu dilanjutkan dengan proses
pencetakan (embedding). Sediaan kulit dimasukan ke dalam alat pencetak dan
dibiarkan sampai parafin mengeras. Kemudian setelah mengeras parafin
dikeluarkan dari cetakan dan disimpan dalam lemari pendingin sebelum dilakukan
pemotongan.
Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom dengan
tebal irisan ± 5 µm. Kemudian irisan diletakan di atas permukaan air hangat
dengan temperature ± 46˚C untuk memperbaiki jaringan yang keriput. Irisan yang
diletakan di atas permukaan air hangat tersebut diangkat menggunakan gelas
objek dengan posisi irisan di atas gelas objek. Preparat kemudian dikeringkan dan
diberi tanda dengan alat grafir dan disimpan dalam inkubator bertemperatur 60˚C
minimal 2 jam.
Kemudian dilanjutkan dengan proses pewarnaan. Proses pewarnaan ini
dimulai dengan melarutkan sisa parafin dengan dimasukan ke dalam xilol.
Kemudian sediaan direhidrasi dengan cara dimasukan ke dalam alkohol bertingkat
24
dimulai dari alkohol 100% sampai alkohol 80%. Setelah itu, preparat dicuci
dengan air selama 1 menit lalu dimasukan ke dalam larutan haematoksilin selama
8 menit dan dicuci kembali dengan air selama 30 detik. Selanjutnya sediaan
dimasukan ke dalam larutan litium karbonat selama 15-30 detik dan dicuci dengan
air. Setelah sediaan dicuci dengan air, kemudian dimasukan ke dalam larutan
eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air selama 30-60 detik. Kemudiaan
sediaan didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 95% sebanyak
10 celupan, alkohol 100% I sebanyak 10 celupan dan alkohol 100% II selama 2
menit. Setelah itu sediaan dimasukan ke dalam larutan xilol I selama 1 menit dan
xilol II selama 2 menit. Selanjutnya sediaan dikeringkan dan ditutup dengan cover
glass.
Pembuatan Sediaan Masson Trichome (MT)
Pembuatan sediaan MT dimulai dengan deparafinasi dan rehidrasi sediaan
juga pencucian sediaan dengan air dan aquades. Selanjutnya sediaan dimasukan
ke dalam larutan Mordan selama 30-40 menit dan dicuci dengan aquades kembali.
Kemudian sediaan dimasukan ke dalam larutan Carrazi’s haematoksilin selama 40
menit dan dibilas dengan aquades kembali. Setelah itu sediaan dimasukan ke
dalam larutan orange G 0.75% selama 1-2 menit dan dicuci dengan asam asetat 1
% sebanyak 2 kali, dan kemudian sediaan dimasukan ke dalam larutan ponceau
xylidine fuchsin selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak 12
kali celupan. Setelah itu preparat dimasukan ke dalam aniline blue selama 15
menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali celupan. Sediaan
selanjutnya didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 95%
sebanyak 10 celupan, alkohol 100% I sebanyak 10 celupan dan alkohol 100% II
selama 2 menit. Setelah didehidrasi, sediaan dimasukan ke dalam larutan xilol I
selama 1 menit dan xilol II selama 2 menit. Kemudian preparat dikeringkan dan
ditutup dengan cover glass.
Analisis Data
Data pengamatan patologi anatomi dianalisis secara deskriptif. Pada
pengamatan histopatologi dengan pewarnaan HE dan MT diuji secara statistik
25
dengan menggunakan uji sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji
wilayah Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Luka Secara Makroskopis (Patologi Anatomi)
Peubah pada pengamatan makroskopis yaitu ukuran luka, warna luka,
kelembaban, dan tumbuhnya rambut.
Tabel 1 Patologi anatomi persembuhan luka kulit mencit hiperglikemik
Hari
ke-
Kontrol positif (+)
Sediaan Komersil
Kontrol Negatif (-)
1
Luka basah, merah,
terbuka, panjang luka
1.5 cm
Luka merah, basah,
dan terbuka, panjang
luka 1.5 cm
2
Luka basah, merah,
terbuka, panjang luka
1.1 cm
Luka merah, basah
dan terbuka
Luka mengering dan
mulai menutup,
panjang luka 1.0 cm
Luka merah, basah,
dan terbuka, panjang
luka 1.2 cm
Luka merah, basah
dan terbuka
Terbentuk keropeng,
mengering, luka
melebar dan terbuka,
panjang luka 1.2 cm
Luka mengering dan
terbentuk keropeng
3
4
5
Luka mengering dan
semakin menutup
6
Luka semakin
menutup dan terbentuk
keropeng
Luka semakin
mengering, telah
menutup, panjang luka
0.5 cm
Luka semakin
mengering
Luka hampir
menutup
9
Luka sudah menutup
sempurna
Luka kering, semakin
mengecil
10
Luka telah menutup
sempurna dan telah
tumbuh rambut
Luka kering, semakin
mengecil
7
8
Luka kering dan
hampir menutup,
panjang luka 1 cm
Luka kering dan
menutup
Sediaan Salep Fraksi
Heksan Rimpang
Kunyit
Luka merah, basah,
dan terbuka, panjang
luka 1.5 cm
Luka merah, basah,
terbuka, panjang luka
1.2 cm
Luka merah, basah
dan terbuka
Luka mengering dan
mulai menutup,
panjang luka 1.0 cm
Luka mengering dan
mulai menutup, tepi
luka mengeras
Luka mengering dan
mulai menutup, tepi
luka mengeras
Luka mengering dan
hampir menutup,
panjang luka 0.4 cm
Luka semakin
mengering dan
mengecil
Luka semakin
mengering dan
semakin menutup
Luka telah menutup
sempurna
27
11
12
13
14-21
Luka telah menutup
sempurna
Luka telah menutup
sempurna
Luka semakin
mengecil
Luka semakin
mengecil
Luka telah menutup
sempurna
Luka semakin
mengecil
Bekas luka sudah tidak Luka sudah menutup
terlihat, tertutup
sempurna
rambut dan sudah
tertutup sempurna
Luka telah menutup
sempurna
Bekas luka hampir
tidak terlihat dan
mulai di tumbuhi
rambut
Bekas luka hampir
tidak terlihat dan
mulai di tumbuhi
rambut
Bekas luka sudah
tidak terlihat, tertutup
rambut dan sudah
tertutup sempurna.
Berdasarkan pengamatan patologi anatomi memperlihatkan bahwa pada
hari pertama dan kedua setelah dilukai, keadaan luka pada kulit masih merah,
basah, dan terbuka baik pada kontrol positif dengan sediaan komersil, kontrol
negatif tanpa perlakuan pengobatan, dan dengan sediaan salep fraksi heksan
rimpang kunyit. Luka masih dalam keadaan basah (edematous) pada ketiga
kelompok perlakuan pada hari pertama. Hal ini terjadi karena adanya percepatan
pergerakan cairan melalui dinding pembuluh darah ke jaringan peradangan, dan
memungkinkan molekul-molekul kecil lewat. Akan tetapi hal ini akan menahan
protein-protein besar seperti protein plasma tetap berada dalam pembuluh darah.
Sifat pembuluh darah yang permeabel akan menimbulkan tekanan osmotik yang
cenderung menahan cairan di dalam pembuluh darah dengan melawan tekanan
hidrostatik (Spector dan Spector 1993).
Menurut Spector dan Spector (1993), pada kasus inflamasi, tekanan
hidrostatik dalam darah meningkat sehingga menggangu keseimbangan dan
menyebabkan air banyak meninggalkan darah menuju jaringan. Hal ini akhirnya
mengganggu pula sistem limfatik yang kemudian memindahkan cairan yang
mencapai celah jaringan keluar menuju jaringan, untuk mempertahankan
kesetaraan secara normal. Pergeseran cairan pada saat luka terjadi sangat cepat,
sehingga eksudat pada masa peradangan mengandung protein plasma yang
signifikan. Pada kasus peradangan akut terjadi perubahan permeabilitas
pembuluh-pembuluh yang sangat kecil di daerah tersebut yang menyebabkan
kebocoran protein. Proses ini kemudian diikuti oleh pergeseran keseimbangan
28
osmotik, dan air keluar bersama protein sehingga menimbulkan pembengkakan
dan menyebabkan bertambahnya jumlah cairan secara abnormal di kompartemen
ekstrasel (Spector dan Spector 1993). Hal ini terlihat adanya edema pada
pengamatan patologi anatomi yang ditunjukan dengan keadaan basah di sekitar
luka dan terjadi pembengkakan.
Kondisi luka sudah mulai menutup dan mengering pada hari ke-4 pada
perlakuan kontrol positif yang diobati dengan sediaan komersil dan sediaan salep
fraksi heksan rimpang kunyit. Hal ini karena telah terjadinya proliferasi dari sel.
Saat ini peran fibroblas sangat penting dalam proses persembuhan luka. Fibroblas
bertanggung jawab pada persiapan struktur protein yang akan digunakan pada
konstruksi jaringan (Tawi 2008). Perbaikan dari sistem sirkulasi menyebabkan
tekanan hidrostatik seimbang menyebabkan luka mulai mengering dan edema
berkurang. Hal ini karena adanya kandungan bahan aktif kuinon di dalam salep
fraksi rimpang kunyit yang berperan dalam proses pencegahan masuknya bakteri
pada luka sehingga dapat mempercepat proses persembuhan luka (Robinson
2005). Sedangkan pada kelompok kontrol negatif yang tidak diobati masih
menunjukkan luka yang melebar dan terbuka.
Pada hari ke-7 terlihat perbedaan kecepatan persembuhan luka antara
ketiga perlakuan. Persembuhan luka pada kelompok perlakuan salep fraksi heksan
rimpang kunyit (panjang luka 0.4 cm) terlihat lebih cepat dibandingkan dengan
kelompok kontrol negatif (panjang luka 1.0 cm) dan kelompok kontrol positif
(panjang luka 0.5 cm) (Tabel 1). Cepatnya waktu persembuhan pada kelompok
perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit akibat adanya
kandungan bahan aktif saponin dan kuinon di dalam salep fraksi heksan rimpang
kunyit yang berperan dalam proses pencegahan masuknya bakteri pada luka
sehingga dapat mempercepat proses persembuhan luka (Robinson 2005).
Berdasarkan analisis fitokimia fraksi heksan rimpang kunyit yang telah dilakukan
pada penelitian sebelumya, diketahui bahwa dalam fraksi heksan rimpang kunyit
terdapat kandungan senyawa aktif yaitu alkaloid, kuinon, dan saponin (Winarsih
et al. 2009).
Menurut Spector dan Spector (1993), kulit yang tersayat akan kehilangan
retraksinya dan akan membentuk celah terbuka yang dapat merusak pembuluh
29
darah. Kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya trombosit yang
berfungsi homeostasis (Tawi 2008). Cedera akibat perlukaan benda tajam yang
mendadak akan membuat perubahan dalam pembuluh darah kecil yang menyusun
reaksi inflamasi akut. Luka terlihat kemerahan dan terjadi hiperemi pada hari ke-1
dan ke-2 (Gambar 7). Hal ini dikarenakan setelah terjadinya luka, akan terjadi
konstriksi singkat arteriola yang diikuti dengan dilatasi berkepanjangan sehingga
anyaman kapiler darah menjadi merah dan akan membukanya saluran kapiler
yang tidak aktif. Selain itu, terjadi pula dilatasi vena dan pembuluh limfe. Kapiler
yang awalnya kosong atau sedikit meregang kini mulai terisi dengan darah secara
cepat (Price dan Wilson 1992).
Penutupan luka secara sempurna tidak terjadi secara bersamaan diantara
ketiga kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan kontrol positif dengan
sediaan komersil, luka tertutup sempurna terjadi pada hari ke-9, pada kelompok
perlakuan kontrol negatif terjadi pada hari ke-14, dan pada kelompok perlakuan
dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit terjadi pada hari ke-10. Hal ini
terjadi perbedaan dalam kecepatan persembuhan karena kandungan bahan aktif
yang terdapat di dalam sediaan komersil dan di dalam salep fraksi heksan rimpang
kunyit berbeda. Sediaan komersil mengandung bahan aktif neomisin sulfat 5%,
ekstrak plasenta, dan jelly base. Neomisin sulfat berfungsi sebagai senyawa
antimikroba (Giguere et al. 2006), ekstrak plasenta berfungsi untuk mempercepat
pembentukan jaringan, dan bahan dasar jeli yang lebih banyak mengandung air
sehingga lebih mudah berdifusi ke dalam lapisan kulit dibandingkan dengan
sediaan salep. Menurut Winarsih et al. (2009) pada sediaan salep fraksi heksan
rimpang kunyit lebih sedikit mengandung air sehingga lebih lama berdifusi ke
dalam lapisan kulit dibandingkan dengan sediaan jeli.
Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi pada saat luka
telah menutup sempurna, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena
pembuluh darah mulai regresi dan benang-benang fibrin dari kolagen bertambah
banyak memperkuat jaringan parut (Tawi 2008). Pada hari ke-12, kelompok
perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit mengalami
persembuhan yang terjadi lebih baik karena tidak meninggalkan bekas luka dan
mulai ditumbuhinya rambut.
30
(A)
(B)
(C)
Gambar 7 Gambaran patologi anatomi luka hari ke-2 pada mencit kelompok
kontrol positif (A), kelompok kontrol negatif (B), dan kelompok
perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan rimpang kunyit (C).
Pengamatan Luka Secara Mikroskopis (Histopatologi)
Proses persembuhan dan perbaikan jaringan merupakan proses yang
kompleks yang meliputi inflamasi (peradangan), proliferasi, dan remodeling
jaringan (Sidhu et al. 1998). Tubuh akan merespon cedera secara normal dengan
cara proses peradangan (inflamasi), yang dicirikan dengan lima tanda utama yaitu
bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), nyeri (pain), dan
kerusakan fungsi normal (impaired function) (Drakbar 2008).
Sel Polimorfonuklear (PMN)
Hasil pengamatan mikroskopis terhadap sel radang PMN (neutrofil) pada
mencit kelompok kontrol positif dengan sediaan komersil, kelompok kontrol
negatif tanpa perlakuan pengobatan dan kelompok perlakuan dengan sediaan
salep fraksi heksan rimpang kunyit (SH) adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Rataan jumlah neutrofil pada proses persembuhan luka mencit
hiperglikemik
Panen hari ke-
Kontrol positif
Kontrol negatif
2
4
7
14
21
31.20±11.43a
49.70±33.94a
0.80±1.23a
2.90±2.38a
0.90±0.86a
89.50±31.20a
45.30±30.49a
60.60±22.68b
17.20±9.52b
3.40±2.99a
Salep Fraksi Heksan
Rimpang Kunyit
32.00±11.72a
14.10±10.65a
4.20±3.16a
2.20±3.36a
0.90±1.45a
*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada
perbedaan nyata (P>0.05).
31
Hasil pengujian statistik menunjukan bahwa ada perbedaan yang nyata
(P<0.05) dari jumlah rataan PMN antara kelompok kontrol negatif dengan
kelompok perlakuan SH dan kelompok perlakuan dengan menggunakan sediaan
komersil pada hari ke-7 dan hari ke-14 (Tabel 2). Pada hari ke-2 diketahui bahwa
sel radang neutrofil telah hadir pada jaringan luka di setiap perlakuan. Perlakuan
SH (32.00) dan kontrol positif (31.20) memiliki jumlah rataan neutrofil yang lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (89.50) (Tabel 2). Hal ini
disebabkan adanya kandungan bahan aktif kuinon dan saponin. Cepatnya waktu
persembuhan pada kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi heksan
rimpang kunyit akibat adanya kandungan saponin yang melindungi daerah luka
dari bakteri dan berfungsi sebagai anti inflamasi dan kandungan kuinon yang
berfungsi dalam proses mencegah masuknya bakteri pada luka sehingga dapat
mempercepat proses persembuhan (Robinson 2005). Sedangkan pada kelompok
kontrol positif yang diobati dengan sediaan komersil memiliki jumlah rataan yang
terendah, hal ini karena sediaan ini mengandung neomisin sulfat 5% yang bekerja
sebagai senyawa antimikroba (Giguere et al. 2006).
Gambar 8 Sel radang neutrofil (tanda panah) kelompok perlakuan kontrol
negatif (tanpa perlakuan pengobatan) pada hari ke-7.
Pewarnaan HE. Perbesaran obyektif 100x10.
Pada tahap awal proses persembuhan luka terjadi peradangan (inflamasi)
pada daerah luka yang ditandai infiltrasi sel radang terutama neutrofil. Neutrofil
32
(Gambar 8) merupakan sel radang yang berperan penting dalam proses
peradangan. Menurut Singer dan Clark (1999), neutrofil dibentuk di dalam
sumsum tulang dan berfungsi untuk memfagositosis benda-benda asing seperti
bakteri dan sel-sel yang rusak atau mati. Proses neutrofil memfagositosis adalah
kemotaksis, perlekatan, penelanan, dan pencernaan.
Neutrofil masuk ke dalam jaringan yang luka dalam waktu yang sangat
cepat dengan cara diapedesis dan bergerak melewati jaringan dengan gerakan
amuboid dan gerakan neutrofil ke area jaringan yang meradang di bawah
pengaruh rangsangan kimiawi. Rangsangan kimiawi ini tidak hanya datang dari
growth factors released yang berasal dari degranulasi platelet tetapi dari
rangsangan yang dilepaskan oleh protein bakteri, dan rangsangan produk yang
berasal dari proteolisis fibrin dan semua komponen matriks. Pergerakan ini
disebut kemotaksis (Martin 2007; Spector and Spector 2003). Menurut Tawi
(2008) dan Vegad (1995), respon ini bertujuan untuk membersihkan area luka dari
benda asing, sel-sel mati, dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses
penyembuhan.
Makrofag
Hasil pengamatan mikroskopis terhadap makrofag pada mencit kelompok
kontrol positif dengan sediaan komersil, kelompok kontrol negatif tanpa
perlakuan pengobatan dan kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi
heksan rimpang kunyit adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Rataan jumlah sel makrofag pada proses persembuhan luka mencit
hiperglikemik
Panen hari
ke2
4
7
14
21
Kontrol positif
Kontrol negatif
1.70±2.21ab
2.40±2.80a
79.60±85.64b
6.20±2.62a
18.50±9.37b
4.50±1.90b
8.20±7.32a
34.5±20.32a
26.30±6.73b
20.20±4.92b
Salep Fraksi Heksan
Rimpang Kunyit
0.30±0.67a
1.20±1.40a
5.80±2.86a
6.80±2.30a
6.70±4.55a
*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada perbedaan
nyata (P>0.05).
33
Hasil pengujian statistik menunjukan adanya perbedaan yang nyata
(P<0.05) pada hari ke-2, ke-7, ke-14, dan ke-21. Rataan jumlah makrofag
terendah terdapat pada kelompok SH (0.30) pada hari ke-2. Hal ini disebabkan
makrofag belum berperan aktif dalam proses peradangan. Rataan jumlah sel
makrofag tertinggi (Tabel 3) terdapat pada kelompok perlakuan kontrol positif
(79.60) jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya pada hari ke-7.
Rataan jumlah makrofag pada hari ke-14 menunjukan nilai tertinggi terdapat pada
kelompok kontrol negatif (26.30). Hal ini disebabkan neutrofil telah mati setelah
melakukan fagositosis dan neutrofil yang mati akan difagositosis oleh makrofag
sehingga jumlah makrofag akan meningkat (Winarsih 2009).
Jumlah makrofag terendah pada hari ke-21 terdapat pada kelompok
perlakuan SH (6.70) sehingga proses persembuhan luka lebih cepat daripada
kelompok perlakuan lainnya. Kandungan bahan aktif alkaloid dapat mempercepat
proses persembuhan luka dengan meningkatkan Transforming Growth Factor β1
(TGF-13P) dan Epidermal Growth Factor (EGF) (Porras-Reyes et al. 1993; Dong
et al. 2005).
Gambar 9
Sel makrofag (tanda panah) kelompok perlakuan kontrol
negatif (tanpa perlakuan pengobatan) pada hari ke-14.
Pewarnaan HE. Perbesaran obyektif 100x10.
Keberadaan makrofag merupakan prasyarat untuk terjadinya proses
persembuhan luka. Makrofag akan melakukan emigrasi dan menggantikan peran
neutrofil dan berfungsi untuk fagositosis, menghancurkan partikel asing serta
34
jaringan mati. Makrofag dapat dikatakan sebagai sel pertahanan kedua dan
merupakan prasyarat bagi pembentukan neovaskular karena suatu substansi
kimiawi, Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang dikeluarkan
makrofag untuk merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru (Tizard 1988).
Neovaskularisasi
Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) memiliki arti penting
dalam proses persembuhan luka (Singer dan Clark 1999). Proses persembuhan
luka dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jaringan yang terlibat, vaskularisasi,
infeksi sekunder, gizi, umur, suhu, dan ukuran jaringan yang rusak (Chen et al.
2005). Kegagalan vaskularisasi akibat suatu penyakit, dalam hal ini hiperglikemia,
akan mengakibatkan lambatnya proses persembuhan karena adanya ulkus yang
kronis. Vaskularisasi yang cukup merupakan hal yang penting dalam proses
terjadinya radang dan persembuhan, sedangkan daerah yang terhambat suplai
darahnya akan menghambat dalam proses persembuhan luka. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi ke dalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan
nutrisi kepada jaringan sekitar luka.
Hasil pengamatan mikroskopis terhadap neovaskularisasi adalah sebagai
berikut:
Tabel 4 Rataan jumlah neovaskularisasi pada proses persembuhan luka mencit
hiperglikemik
Panen
ke2
4
7
14
21
hari Kontrol positif
Kontrol negatif
4.80±6.89b
1.20±2.53a
4.20±2.78a
11.10±4.04b
26.90±6.82b
0.00±0.00a
0.5±1.08a
10.10±4.56a
21.60±9.18c
29.60±6.42b
Salep Fraksi Heksan
Rimpang Kunyit
0.00±0.00a
0.00±0.00a
4.80±5.33a
8.40±4.30a
9.40±5.46a
*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada perbedaan
nyata (P>0.05).
Hasil pengujian statistik menunjukan bahwa ada perbedaan yang nyata
(P<0.05) antara kelompok perlakuan kontrol positif dengan kelompok perlakuan
kontrol negatif dan kelompok perlakuan SH pada hari ke-2 (Tabel 4). Hal ini
ditunjukan dengan jumlah neovaskularisasi yang telah ada pada kelompok
35
perlakuan kontrol positif (4.80). Hal tersebut menandakan bahwa sediaan
komersil ini mengandung zat yang dapat memicu pembentukan pembuluh darah
baru. Menurut Spector dan Spector (1993), tanda-tanda yang jelas bahwa
pembuluh darah yang baru tumbuh pada daerah yang terluka yaitu pada hari ke-7.
Proses persembuhan luka pada penderita hiperglikemik terhambat akibat banyak
faktor yang mempengaruhi, antara lain hambatan sirkulasi darah dan oksigen
akibat peningkatan kadar gula darah, sehingga terjadi penurunan jumlah
neovaskularisasi dan penurunan sintesis kolagen dan fibronektin (Winarsih et al.
2009). Menurut Martin (1997), keberadaan makrofag yang mengeluarkan FGF2
dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) akhirnya memicu pertumbuhan
neovaskularisasi (Gambar 10).
Gambar 10 Neovaskularisasi (tanda panah) yang terbentuk pada jaringan
luka kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit
pada hari ke-14. Pewarnaan HE. Perbesaran obyektif 100x10.
Reepitelisasi
Tabel 5 Rataan persentase reepitelisasi pada proses persembuhan luka mencit
hiperglikemik
Panen
ke2
4
7
14
21
hari Kontrol positif
Kontrol negatif
12.84±0.05a
53.32±56.59a
100±0.00b
100±0.00a
100±000a
24.39±34.50a
24.45±16.90a
41.67±11.78a
37.50±53.03a
91.67±11.78a
Salep Fraksi Heksan
Rimpang Kunyit
22.50±3.54a
52.22±27.17a
100±0.00b
100±0.00a
100±0.00a
36
*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada
perbedaan nyata (P>0.05).
Hasil pengujian statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang
nyata antara kelompok perlakuan kontrol negatif dengan kelompok perlakuan
kontrol positif dan perlakuan SH pada hari ke-7. Proses reepitelisasi sudah terjadi
mulai hari ke-2 pada setiap kelompok perlakuan. Menurut Singer dan Clark
(1999), proses reepitelisasi telah berlangsung sejak beberapa jam setelah
perlukaan. Beberapa hari setelah perlukaan, epitel permukaan di bagian tepi mulai
melakukan regenerasi, kemudian lapisan epitel yang tipis akan bermigrasi menuju
permukaan atas luka. Setelah itu epitel akan menjadi matang sehingga menyerupai
kulit dibawahnya (Price dan Wilson 1992). Proses reepitelisasi (Gambar 11)
menutup secara sempurna pada hari ke-7 pada kelompok perlakuan kontrol positif
(100%) dan salep fraksi heksan rimpang kunyit (100%). Hal ini dikarenakan
adanya kandungan bahan aktif saponin yang bersifat sebagai imunostimulator
yang dapat menggertak tanggap kebal inang sehingga dapat mempercepat proses
regenerasi dan reepitelisasi (Winarsih et al. 2009).
Proses reepitelisasi merupakan serangkaian peristiwa yang terkoordinasi
dan terstruktur. Peristiwa ini termasuk dalam fase proliferasi yaitu terjadinya
proses kegiatan seluler yang penting yaitu memperbaiki dan menyembuhkan luka
yang ditandai dengan proliferasi sel. Proliferasi sel meliputi aktivitas mitosis dari
sel-sel epidermis, sel-sel endotel, dan sel-sel fibroblas. Pada proses reepitelisasi
terjadi migrasi dan proliferasi dari fibroblas yang akan mengeluarkan Keranocyte
Growth Factor (KGF), sitokin dan reseptor yang akan memproduksi
metalloprotein matriks dan inhibitor (Middelkoop 2005). KGF berperan dalam
stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan
akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka (Tawi 2008).
Aktivitas mitosis epitel terjadi lebih dari empat atau lima sel dari tepi luka
karena empat atau lima sel ini telah rusak atau terpapar oleh lingkungan yang
tidak menyenangkan (Spector dan Spector 1993). Epitel akan meluncur keluar
dari tepi luka dengan gerakan amuboid yang khas. Sel-sel akan menggunakan pita
fibrin dan komponen matriks ekstrasel lainnya seperti fibronektin untuk
mengarahkan jalur mitosis epitel. Migrasi dan mitosis akan terhenti jika lembaran
37
epitel dari berbagai sudut luka bertemu di tengah. Hal ini terjadi karena adanya
hambatan kontak (contact inhibition) yang mengatur pertumbuhan dan pergerakan
sel.
(A)
(B)
(C)
Gambar 11 Reepitelisasi (tanda panah) hari ke-21 pada proses persembuhan luka
mencit hiperglikemik kelompok kontrol positif (A), kelompok
kontrol positif (B), kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang
kunyit dan (C). Pewarnaan HE. Perbesaran obyektif 10x10.
38
Luas Jaringan Kolagen
Hasil pengamatan mikroskopis terhadap luas jaringan kolagen adalah
sebagai berikut:
Tabel 6 Rataan persentase luas jaringan kolagen pada proses persembuhan luka
mencit hiperglikemik
Panen
ke-
hari Kontrol positif
Kontrol negatif
Salep Fraksi Heksan
Rimpang Kunyit
10.00±7.07a
5.00±0.00a
25.00±7.07a
95.00±7.07b
100±0.00b
2
12.50±10.61a
0.00±0.00a
a
4
10.00±0.00
7.50±3.54a
a
7
27.50±3.54
22.50±3.54a
14
65.00±21.21ab
40.00±14.14a
b
21
100±0.00
45.00±7.07a
*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada
perbedaan nyata (P>0.05).
Hasil pengujian statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang
nyata (P<0.05) antara kelompok perlakuan kontrol negatif dengan kelompok
perlakuan kontrol positif dan perlakuan SH pada hari ke-21. Pembentukan
jaringan kolagen terjadi lebih lambat pada kelompok perlakuan kontrol negatif
(45.00)
dibandingkan
dengan
kelompok
perlakuan
lainnya
(Tabel
6).
Pembentukan jaringan kolagen pada kelompok perlakuan kontrol positif dan SH
telah mencapai 100% pada hari ke-21. Jaringan ikat kolagen akan memiliki
pematangan menjadi serabut yang lebih tebal dan besar serta memiliki ikatan
intermolekuler yang lebih banyak. Fase perubahan ini dikenal dengan fase
remodeling (Singer dan Clark 1999). Jaringan ikat kolagen memiliki fungsi yang
lebih spesifik yaitu membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue
matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas memberikan tanda
bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan
unit dapat memasuki kawasan luka (Tawi 2008).
Kolagen adalah serabut yang mendominasi jaringan ikat dan disintesis
oleh fibroblas. Fibroblas adalah sel mesenkim dasar jaringan dewasa yang
memiliki sifat utama untuk mensintesis komponen-komponen jaringan pengikat,
yaitu kolagen dan mukopolisakarid (Spector dan Spector 1993). Menurut Drakbar
(2008) persembuhan luka ditandai dengan menyempitnya luka dan tepi luka
39
bersatu menjadi lebih kuat. Penyempitan ini dipengaruhi oleh jaringan ikat yang
terdapat pada luka (Gambar 12). Ciri khusus jaringan pengikat yang mengalami
rekonstruksi adalah aktivitas fibroblasnya.
Gambar 12 Jaringan ikat kolagen (tanda panah) yang terbentuk pada
kelompok perlakuan salep fraksi heksan rimpang kunyit
pada hari ke-14. Pewarnaan MT. Perbesaran obyektif
10x10.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Salep fraksi heksan rimpang kunyit dapat mempercepat proses persembuhan
luka pada mencit hiperglikemik.
2. Salep fraksi heksan rimpang kunyit dapat mengurangi proses peradangan
(antiinflamasi), reepitelisasi, dan jaringan ikat kolagen pada mencit
hiperglikemik.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keefektifan fraksi
heksan rimpang kunyit dalam bentuk sediaan lain.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keefektifan fraksi
rimpang kunyit dengan menggunakan pelarut lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amelia. 2002. Fitokimia Komponen Ajaib Cegah PJK, DM, Dan Kanker. Bogor:
Puslitbang Gizi.
Anderson SP, Lorraine MCW. 2002. Patofiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed ke-6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ed ke-4. Farida Ibrahim,
penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia. Terjemahan dari: Introduction to
Pharmaceutical Dosage Forms.
Arington LR. 1972. Introduction Laboratory Laboratorium Animal Science. The
Interstate printer and Publisher inb Danville. Illones.
Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budaya. Jakarta : Universitas Indonesia.
Best
B.
2005.
Phythochemicals
http://www.phytochemicals.com [3 Agustus 2009].
as
Nutraceuticals.
Blodinger J. 1994. Formulasi Bentuk Sediaan Veteriner. Sugiharto Hadimoeli,
penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari:
Formulation of Veterinary Dosage Forms.
Chen JM et al. 2005. Tissue factor as a link between wounding and tissue repair.
Diabetes 52:2143-2154.
Cooperstein SJ, Watkins D. 1981. The Islet of Langerhans. New York: Academic
Press. Hlm 411-418.
Davidson. 1998. Dagnosis Keperawatan : Aplikasi pada praktik klinis. Di dalam:
Carpenito LJ. 2009. Ed ke-9. Kusrini SK et al., penerjemah. Jakarta: EGC.
Terjemahan dari: Nursing Diagnosis: application to clinical Practice. Hlm
1204.
Deni R. 2007. Menyembuhkan Kanker dengan Kunyit. Bogor. Jurnal Nasional.
Dong Y. He L, Chen F. 2005. Enhancement of Wound Healing by Taspine and
it’s Effect on Fibroblast [abstrak]. Zhang Yao Cai 28(7): 579-582.
Dharmojono H. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner (hewan kecil). Ed ke1. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
Drakbar. 2008. Rawat Luka. http://drakbar.wordpress.com/xmlrpc.php”. [14 Juli
2009]
42
Esfandiari A. 2008. Eksplorasi dan Interpretasi Data Laboratorium. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta: EGC.
Hlm 320-341.
Giguere S, JE Prescott, JD Baggot, RD Walker dan PM Dowling. 2006.
Antimikrobial Therapy in Veterinary Medicine. Ed ke-4. USA: Blackwell
Publishing.
Harborne JB. 1984. Phytochemical Method. Ed ke-2. New York: The Chaucer
Press.
---------------- 1987. Metode Fitokimia. Ed ke-2. Bandung: Institut Tekonologi
Bandung.
Houghton PJ, Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractination of
Natural Ekstracts. London UK : Chapman & Hall.
Mahendra B. 2005. Tiga Belas Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Malole MBM, Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Coba di Laboratorium.
Bogor: Bogor: Pusat antar Universitas Bioteknologi IPB.
Martin P et al. 1997. Wound healing, aiming for perfect skin regeneration
[artikel]. www.sciencemag.org. Vol 276.
Middelkoop E. 2005. The international jurnal of lower extremity wounds. SAGE
Publication 4:9-10.
Mursyidi A. 1990. Analisis Metabolit Sekunder. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Mutschler E. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Ed ke-5.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Penn
D.
1999.
A
house
mouse
primer
[Artikel].
http://stormu.biology.utah.edu/lab/mouse/_primer.html. [3 Agustus 2009].
Perdanakusuma GS. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan [Artikel].
http://www.surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/.html. [3 Agustus
2009].
Polk DH. 1998. Disorders of Carbohydrate Metabolism. Di dalam: Taeusch HW,
Ballard RA, penerjemah. Ed ke-7. Terjemahan dari: Avery’s diseases of the
newborn. Philadelphia: WB Saunders. Hlm 1235-1241.
43
Porras-Reyee BH, et al. 1993. Enhancement of wound healing by the alkaloid
taspine defining mechanism of action. Proc Soc Exp Biol Med 203 (1):18-25.
Price A, Wilson LM. 1992. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Ed ke-6. Brahm UP, Huriawati H, Pita W, Dewi AM, penerjemah.
Terjemahan dari: Pathophisiology: clinical concept of diasease precesses.
Hlm: 56-79.
Purwanti S. 2008. Kajian efektivitas pemberian kombinasi kunyit, bawang putih,
dan mineral zink terhadap performa, kadar lemak, kolesterol, dan status
kesehatan broiler [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Ed ke-6.
Kosasih P, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan
dari: The Organic Constituents of Higher Plants.
Scobie IN. 2007. Atlas of Diabetes. Ed ke-3. United Kingdom: Informa UK.
Shalahuddin I. 2005. Efek antihiperglikemik ekstrak air buah mahkota dewa pada
tikus diabetes yang di induksi streptozotosin [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Sidhu GS et al. 1998. Enhancement of wound healing by curcumin in animals.
Wound Repair Regen 6(2):167-77.
Singer AJ, Clark RAF. 1999. Cutaneus wound healing. N England J Med
341:738-154.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia. Hlm. 1017.
Soenanto H. 2005. Musnahkan Penyakit dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa
Swara.
Susianto et al. 2008. Diet Enak ala Vegetarian. Jakarta: Penebar Plus.
Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Hlm 130-145. Terjemahan dari: An
Introduction to General Pathology. Hlm 72-144.
Syukur C, Hernani. 2001. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar
Swadaya. Hlm :76-77.
Tawi. 2008. Proses Penyembuhan Luka [artikel]. http://syehaceh.wordpress.com
[14Juli 2009].
Tilaar M. 2002. Budidaya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Jakarta:
Penebar Swadaya.
44
Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Soehardjo, penerjemah.
Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari: An Introduction to
Veterinary Immunology.
Vegad JL. 1995. Textbook of Veterinary General Pathology. New Delhi: Vikas
Publishing House.
Voight R. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Ed ke-5. Soendani H,
penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
-------------. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Ed ke-5. Noerono S,
penerjemah; Samhoedi R, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Terjemahan dari: Lehburch Der Pharmazeutischen Technologie. Hlm:314316.
Wientarsih I, Bayu IP. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Bogor: Bagian
Farmasi PPDH Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Winarsih W, Ietje W, Ekowati H. 2007. Kajian Aktivitas Ekstrak Rimpang Kunyit
(Curcuma Longa) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit Sebagai
Model Penderita Diabetes. Volume ke-15. Bogor: Laporan Penelitian Hibah
Bersaing Perguruan Tinggi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Winarto WP. 2003. Sehat dengan Ramuan Tradisional. Jakarta: Agromedia
Pustaka.
Yuliani S, Rusli. 2003. Ekstraksi Pestisida Nabati. Bogor: Balitro.
45
Lampiran 1
Grafik rataan jumlah sel neutrofil, makrofag, neovaskularisasi,
reepitelisasi, dan luas jaringan kolagen pada proses persembuhan
luka mencit hiperglikemik
46
1,2
Reepitelisasi (%)
1
Kontrol positif
0,8
0,6
Kontrol Negatif
0,4
0,2
Salep Fraksi
Heksan Rimpang
Kunyit
0
2
4
7
14
21
Hari ke-
Luas Jaringan Kolagen (%)
1,2
1
Kontrol Positif
0,8
0,6
Kontrol Negatif
0,4
0,2
Salep Fraksi
Heksan Rimpang
Kunyit
0
2
4
7
14 21
Hari ke-
47
Lampiran 2 Hasil perhitungan statistik polimorfonuklear
HARI KE-2
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: neutrof il
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
174356.333a
918068.167
174356.333
337840.500
1430265.000
512196.833
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
87178.167
918068.167
87178.167
112613.500
F
.774
8.152
.774
Sig.
.536
.065
.536
F
1.855
19.540
1.855
Sig.
.299
.021
.299
F
723.137
919.521
723.137
Sig.
.000
.000
.000
a. R Squared = . 340 (Adjusted R Squared = -.099)
HARI KE-4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Neutrof il
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
37669.333a
198380.167
37669.333
30457.500
266507.000
68126.833
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
18834.667
198380.167
18834.667
10152.500
a. R Squared = . 553 (Adjusted R Squared = .255)
HARI KE-7
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Neutrof il
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
112809.333a
71722.667
112809.333
234.000
184766.000
113043.333
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
56404.667
71722.667
56404.667
78.000
a. R Squared = . 998 (Adjusted R Squared = .997)
48
Neutrofil
a,b
Duncan
Perlakuan
3.00
1.00
2.00
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
2
4.0000
21.0000
303.0000
.150
1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 78.000.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
HARI KE-14
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Neutrof il
Ty pe I II Sum
of Squares
7723.000a
7561.500
7723.000
662.500
15947.000
8385.500
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
3861.500
7561.500
3861.500
220.833
a. R Squared = . 921 (Adjusted R Squared = .868)
Neutrofil
a,b
Duncan
perlakuan
1
3
2
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
6.0000
14.5000
.607
2
86.0000
1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 220.833.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
F
17.486
34.241
17.486
Sig.
.022
.010
.022
49
HARI KE-21
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Neutrof il
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
208.333a
450.667
208.333
243.000
902.000
451.333
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
104.167
450.667
104.167
81.000
a. R Squared = . 462 (Adjusted R Squared = .103)
F
1.286
5.564
1.286
Sig.
.395
.100
.395
50
Lampiran 3 Hasil perhitungan statistik makrofag
HARI KE-2
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: makrof ag
Ty pe I II Sum
of Squares
457.333a
704.167
457.333
69.500
1231.000
526.833
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
228.667
704.167
228.667
23.167
F
9.871
30.396
9.871
Sig.
.048
.012
.048
a. R Squared = . 868 (Adjusted R Squared = .780)
makrofag
a,b
Duncan
perlakuan
1.00
3.00
2.00
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
2
1.5000
8.5000
8.5000
22.5000
.242
.062
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 23.167.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
HARI KE-4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Makrof ag
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
1401.333a
2320.667
1401.333
1114.000
4836.000
2515.333
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
700.667
2320.667
700.667
371.333
a. R Squared = . 557 (Adjusted R Squared = .262)
F
1.887
6.250
1.887
Sig.
.295
.088
.295
51
HARI KE-7
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Makrof ag
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
138402.333a
239600.167
138402.333
8582.500
386585.000
146984.833
df
Mean Square
69201.167
239600.167
69201.167
2860.833
2
1
2
3
6
5
F
24.189
83.752
24.189
Sig.
.014
.003
.014
a. R Squared = . 942 (Adjusted R Squared = .903)
Makrofag
a,b
Duncan
Perlakuan
1.00
2.00
3.00
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
2
29.0000
172.5000
398.0000
.075
1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2860.833.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
HARI KE-14
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Makrof ag
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
13077.000a
25741.500
13077.000
272.500
39091.000
13349.500
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
6538.500
25741.500
6538.500
90.833
a. R Squared = . 980 (Adjusted R Squared = .966)
F
71.983
283.393
71.983
Sig.
.003
.000
.003
52
Makrofag
a,b
Duncan
perlakuan
3
1
2
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
2
31.0000
34.0000
131.5000
.774
1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 90.833.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
HARI KE-21
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Makrof ag
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
5510.333a
34808.167
5510.333
304.500
40623.000
5814.833
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
2755.167
34808.167
2755.167
101.500
a. R Squared = . 948 (Adjusted R Squared = .913)
F
27.144
342.938
27.144
Sig.
.012
.000
.012
53
Lampiran 4 Hasil perhitungan statistik neovaskularisasi
HARI KE-2
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: neov askularisasi
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
768.000a
384.000
768.000
98.000
1250.000
866.000
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
384.000
384.000
384.000
32.667
F
11.755
11.755
11.755
Sig.
.038
.042
.038
F
4.360
11.560
4.360
Sig.
.130
.042
.130
a. R Squared = . 887 (Adjusted R Squared = .811)
neovaskularisasi
a,b
Duncan
perlakuan
1.00
2.00
3.00
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
.0000
.0000
1.000
2
24.0000
1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 32.667.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
HARI KE-4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Neov askularisasi
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
36.333a
48.167
36.333
12.500
97.000
48.833
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
18.167
48.167
18.167
4.167
a. R Squared = . 744 (Adjusted R Squared = .573)
54
HARI KE-7
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Neov askularisasi
Ty pe I II Sum
of Squares
1054.333a
6080.167
1054.333
578.500
7713.000
1632.833
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
527.167
6080.167
527.167
192.833
F
2.734
31.531
2.734
Sig.
.211
.011
.211
F
81.098
1085.878
81.098
Sig.
.002
.000
.002
a. R Squared = . 646 (Adjusted R Squared = .410)
HARI KE-14
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Neov askularisasi
Ty pe I II Sum
of Squares
4433.333a
29680.667
4433.333
82.000
34196.000
4515.333
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
2216.667
29680.667
2216.667
27.333
a. R Squared = . 982 (Adjusted R Squared = .970)
Neovaskularisasi
a,b
Duncan
perlakuan
1
3
2
Sig.
N
2
2
2
1
42.0000
Subset
2
3
62.0000
1.000
1.000
107.0000
1.000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 27. 333.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
55
HARI KE-21
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Neov askularisasi
Source
Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
12026.333a
72380.167
12026.333
904.500
85311.000
12930.833
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
6013.167
72380.167
6013.167
301.500
a. R Squared = . 930 (Adjusted R Squared = .883)
Neovaskularisasi
a,b
Duncan
perlakuan
1
3
2
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
2
47.0000
134.5000
148.0000
1.000
.494
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 301.500.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
F
19.944
240.067
19.944
Sig.
.019
.001
.019
56
Lampiran 5 Hasil perhitungan statistik persentase reepitelisasi
HARI KE-2
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Reepitelisasi
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.015a
.240
.015
.125
.380
.140
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.008
.240
.008
.042
F
.182
5.783
.182
Sig.
.842
.095
.842
F
.375
8.012
.375
Sig.
.716
.066
.716
F
47.367
807.228
47.367
Sig.
.005
.000
.005
a. R Squared = . 108 (Adjusted R Squared = -.486)
HARI KE-4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Reepitelisasi
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.105a
1.118
.105
.419
1.641
.523
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.052
1.118
.052
.140
a. R Squared = . 200 (Adjusted R Squared = -.333)
HARI KE-7
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Reepitelisasi
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.456a
3.888
.456
.014
4.359
.471
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.228
3.888
.228
.005
a. R Squared = . 969 (Adjusted R Squared = .949)
57
Reepiteli sasi
a,b
Duncan
Perlakuan
2.00
1.00
3.00
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
.4150
1.000
2
1.0000
1.0000
1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .005.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
HARI KE-14
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Reepitelisasi
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.521a
3.760
.521
.281
4.563
.802
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.260
3.760
.260
.094
F
2.778
40.111
2.778
Sig.
.208
.008
.208
a. R Squared = . 649 (Adjusted R Squared = .416)
HARI KE-21
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Reepitelisasi
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.010a
5.665
.010
.014
5.689
.024
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.005
5.665
.005
.005
a. R Squared = . 400 (Adjusted R Squared = .000)
F
1.000
1176.087
1.000
Sig.
.465
.000
.465
58
Lampiran 2 Hasil perhitungan statistik persentase luas jaringan kolagen
HARI KE-2
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.018a
.034
.018
.016
.068
.034
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.009
.034
.009
.005
F
1.615
6.231
1.615
Sig.
.334
.088
.334
F
3.000
81.000
3.000
Sig.
.192
.003
.192
F
Sig.
.650
.001
.650
a. R Squared = . 519 (Adjusted R Squared = .198)
HARI KE-4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.003a
.034
.003
.001
.038
.004
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.001
.034
.001
.000
a. R Squared = . 667 (Adjusted R Squared = .444)
HARI KE-7
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.003a
.375
.003
.008
.385
.010
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.001
.375
.001
.003
a. R Squared = . 250 (Adjusted R Squared = -.250)
.500
150.000
.500
59
HARI KE-14
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen
Ty pe I II Sum
of Squares
.303a
2.667
.303
.070
3.040
.373
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.152
2.667
.152
.023
F
6.500
114.286
6.500
Sig.
.081
.002
.081
F
121.000
2401.000
121.000
Sig.
.001
.000
.001
a. R Squared = . 813 (Adjusted R Squared = .688)
Luas_Jaringan_Kolagen
a,b
Duncan
Perlakuan
2.00
3.00
1.00
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
.4000
.6500
.200
2
.6500
.9500
.144
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .023.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
HARI KE-21
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Luas_Jaringan_Kolagen
Source
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error
Total
Corrected Total
Ty pe I II Sum
of Squares
.403a
4.002
.403
.005
4.410
.408
df
2
1
2
3
6
5
Mean Square
.202
4.002
.202
.002
a. R Squared = . 988 (Adjusted R Squared = .980)
60
Luas_Jaringan_Kolagen
a,b
Duncan
Perlakuan
2.00
1.00
3.00
Sig.
N
2
2
2
Subset
1
.4500
1.000
2
1.0000
1.0000
1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .002.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
Download