BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Kerangka Tektonik Menurut Darman dan Sidi (2000) Pulau Sumatra memiliki orientasi baratlaut-tenggara yang terbentang pada ekstensi dari Lempeng Benua Eurasia. Pulau Sumatra memiliki luas area sekitar 435.000 km2, dihitung dari 1650 km dari Banda Aceh pada bagian utara menuju Tanjungkarang pada bagian selatan. Lebarnya mencapai 100-200 km pada bagian utara dan sekitar 350 km pada bagian selatan. Terdapat Pegunungan Barisan yang berada sepanjang bagian barat. Daerah ini membagi pantai barat dan timur. Lereng yang menuju Samudera Hindia biasanya curam yang menyebabkan sabuk bagian barat biasanya berupa pegunungan dengan pengecualian 2 embayment pada Sumatra Utara yang memiliki lebar 20 km. Sabuk bagian timur pada pulau ini ditutupi oleh perbukitan besar dari Formasi Tersier dan dataran rendah aluvial. Pada diamond point di daerah Aceh, sabuk rendah bagian timur memiliki lebar sekitar 30 km, lebarnya bertambah hingga 150-200 km pada Sumatra Tengah dan Selatan. Pulau Sumatra terletak di sebelah baratdaya Kontinen Sundaland dan merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng Sundaland/Lempeng Eurasia. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra. Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah EW menjadi NW-SE dimulai pada Eosen atau Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan belakang busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan 7 Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah, dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 2.1). Cekungan Sumatra Selatan Gambar 2.1. Pembentukan cekungan belakang busur di Pulau Sumatra (Pertamina BPPKA, 1997). Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; Barber, 1985). Sekarang Lempeng Samudera Hindia mengalami subduksi di bawah Lempeng Benua Eurasia pada arah N20oE dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7 cm/tahun. Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano8 plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000): 1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan yang memisahkan dari lereng trench. 2. Cekungan Sunda fore-arc, terbentang antara akresi non-vulkanik punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc Sumatra 3. Cekungan back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian bawah dari Bukit Barisan 4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik. 5. Sumatra intra-arc, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada forearc dan back-arc basin. 2.2 Cekungan Sumatra Selatan Menurut AMI Study Group (1994) Cekungan Sumatra Selatan dilihat dari posisi geologinya saat ini merupakan cekungan busur belakang karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya. Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung. Struktur yang terdapat dalam Cekungan Sumatra Selatan merupakan akibat dari 3 aktivitas tektonik utama yaitu: Orogenesa Mesozoikum Tengah, tektonisme Kapur Akhir-Eosen, dan Orogenesa Plio-Pleistosen (de Coster, 1974). Dua 9 aktivitas pertama menghasilkan konfigurasi dasar termasuk formasi half graben, horst, dan sesar blok (de Coster, 1974; Pulunggono dkk., 1992). Aktivitas terakhir, orogenesa Plio-Pleistosen menghasilkan adanya struktur baratlauttenggara dan depresi ke arah timurlaut (de Coster,1974). Menurut Suta & Xiaoguang (2005) perkembangan struktur maupun evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya (Pola Jambi), berarah baratlaut-tenggara (Pola Sumatra), dan berarah utara-selatan (Pola Sunda). Hal inilah yang membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lain di Pulau Sumatra. Struktur Geologi berarah timurlaut-baratdaya (Pola Jambi) sangat jelas teramati di Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlautbaratdaya di daerah ini berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan. Struktur lipatan yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan kembali sesar-sesar normal (graben) tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu kuat. Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang (Pulunggono dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini berupa perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan (Pola Sunda) juga terlihat di Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya dimanifestasikan dengan sesar normal (graben), pada periode tektonik PlioPleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali memperlihatkan pola perlipatan di permukaan. 10 Terdapat tiga peristiwa tektonik (Gambar 2.2, Gambar 2.3, dan Gambar 2.4) yang berperan pada perkembangan Cekungan Sumatra Selatan dan proses sedimentasinya (de Coster, 1974), yaitu : 1. Tektonik pertama Tektonik pertama ini berupa gerak tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar-sesar bongkah berarah timurlaut-baratdaya dan utara-selatan. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Gambar 2.2. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman Kapur (Daly dkk., 1991). 2. Tektonik kedua Tektonik ini berlangsung pada Miosen Tengah-Akhir (Intra Miosen) menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. 11 3. Tektonik ketiga Tektonik ini berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan perlipatan utama di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. (b) Gambar 2.3. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman Plio-Pleistosen (Daly dkk., 1991). 12 Gambar 2.4. Elemen struktur utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi timurlautbaratdaya atau utara-selatan menunjukkan umur Eo-Oligosen dan struktur inversi menunjukkan umur Plio-Pleistosen (Ginger & Fielding., 2005). 2.2.1 Sub-Cekungan Jambi Sub-Cekungan Jambi merupakan bagian dari Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 2.5). Sub-Cekungan ini terletak di bagian utara dari Cekungan Sumatra Selatan, dibatasi pada bagian utara oleh Pegunungan Dua Belas dan Tinggian Bangko, di bagian selatan dan timur dibatasi oleh Tinggian Ketaling, dan di bagian barat dibatasi oleh Bukit Barisan (Yulihanto dan Sosrowidjoyo, 1996 dalam Satyana, 2008). Sub-Cekungan Jambi merupakan cekungan dengan tipe foreland basin yang perubahan batimetrinya tidak selalu dipengaruhi oleh perubahan muka air laut global. Perkembangan Sub-Cekungan Jambi sangat 13 dipengaruhi oleh kondisi lokal. Tektonik sangat besar pengaruhnya terhadap sejarah sedimentasi Sub-Cekungan Jambi. Gambar 2.5. Pola struktur umum Cekungan Sumatra Selatan (Yulihanto dan Sosrowidjoyo, 1996 dalam Satyana, 2008). Berdasarkan Pertamina BPPKA (1997) terdapat dua pola sesar yang mencirikan Sub-Cekungan Jambi yaitu pola sesar berarah timurlaut-baratdaya yang diperkirakan terbentuk pada periode Kapur Akhir – Tersier Awal dan pola sesar yang terbentuk pada periode tektonik terakhir (Plio-Pleistosen). Kedua pola sesar tersebut berperan sebagai control konfigurasi batuan dasar sekarang ini. Pola sesar pertama diperkirakan berumur Kapur Akhir – Tersier Awal, berupa sesar normal tumbuh (growth fault) yang aktif dan mengontrol hingga pengendapan Formasi Gumai. Pada periode tektonik Plio-Pleistosen, sesar-sesar ini mengalami peremajaan menjadi sesar geser (strike slip fault) yang sinistral. Pola sesar geser sinistral di Pulau Sumatra merupakan antitetik dari pergerakan sesar geser dextral dari Sesar Semangko. Pola sesar yang kedua, berarah baratlaut-tenggara, diperkirakan terbentuk pada periode tektonik Plio-Pleistosen. Pola sesar ini membentuk jalur-jalur 14 antiklin berarah baratlaut – tenggara, yang mengontrol lapangan-lapangan minyak di Sub-Cekungan Jambi sekarang. Selanjutnya periode tektonik Plio-Pleistosen, yang ditandai dengan pembentukan perangkap-perangkap struktur, telah terperangkap pada Formasi Air Benakat, ke dalam perangkap-perangkap struktur baru tersebut. 2.3 Stratigrafi Tatanan stratigrafi yang terdapat di Sub-Cekungan Jambi terdiri dari beberapa formasi yang diendapkan (Gambar 2.6). Secara berurutan dari tua ke muda adalah Formasi Lahat, Formasi Talang Akar Bawah, Formasi Talang Akar Atas, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai. Gambar 2.6. Kolom stratigrafi Blok Jabung, Cekungan Sumatra Selatan (Saifuddin dkk., 2001). 15 2.3.1 Kapur Lipatan Pra-Tersier yang kompleks pada Pegunungan Gumai terdiri dari 2 unit yang berbeda dengan hubungan yang tidak terlalu jelas (Darman dan Sidi, 2000): Formasi Saling Terdiri dari poorly-bedded breksi vulkanik, tuf, dan aliran lava basaltikandesitik, hidrotermal alterasi hingga greenstone. Tiga interkalasi dari batugamping berwarna abu-abu tua dengan fosil Mesozoik seperti koral Lovcenipora dan Gastropoda Nerinea. Batuan formasi ini kemungkinan adalah Jura Akhir-Kapur Awal volcanic island-arc yang berasosisasi dengan fringing reefs. Formasi Lingsing Terdiri dari serpih atau lanau dengan warna coklat hingga hitam dengan perlapisan tipis dengan pelapisan minor batuan hijau andesitik-basaltik. Formasi ini kemungkinan berupa fasies laut dalam berumur Kapur Awal. 2.3.2 Formasi Lahat Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa bagian dasar dari sedimen Tersier ini diendapkan dalam lingkungan darat, dan terletak tidak selaras diatas batuan Pra-Tersier (Gambar 2.6). Pada Cekungan Sumatra Selatan, diendapkan endapan siklus transgresif dan termasuk endapan darat (alluvial plain, piedmont deposit dan braided stream) dan endapan deltaik sampai laut dangkal. Sedimen Eosen-Oligosen awal ini terdiri dari pengendapan sedimen yang tebal dengan ukuran butir halus hingga kasar kadang-kadang berukuran konglomerat, berselingan dengan batulempung, tuff dan lapisan tipis batubara. Endapan Formasi Lahat ini sangat potensial menjadi sumber hidrokarbon, dengan munculnya endapan serpih bewarna hitam kecokelatan dan kaya akan bahan organik dan lapisan barubara yang mengisi dasar cekungan. Serpih ini diendapkan pada lingkungan danau. Menurut AMI Study Group (1994) batupasir yang diendapkan pada formasi ini secara umum mengandung batupasir kuarsa dengan pemilahan yang buruk serta mengandung argillaceous. Minyak dan gas bumi telah ditemukan pada 16 batupasir formasi ini, contohnya pada Lapangan Benakat (kisaran porositas batupasir 24,5% dan permeabilitas 500mD dan netpay 27 kaki). Formasi Lahat ini kadang tidak muncul pada daerah dengan morfologi yang tinggi. Pada umumnya terakumulasi pada tengah cekungan. Ketebalannya mencapai 6000 kaki pada tengah cekungan (bagian terdalamnya). Formasi ini diperkirakan berumur Eosen-Oligosen Awal (beradasarkan dari posisi stratigrafinya). 2.3.3 Formasi Talang Akar Menurut Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) setelah diendapkan Formasi Lahat, terjadi proses erosi secara regional. Bukti erosi ini diperlihatkan oleh Formasi Talang Akar yang terendapkan tidak selaras diatas Formasi Lahat (Gambar 2.6). Setelah masa hiatus umur Oligosen Tengah, kemudian diendapkan sedimen pada topografi yang rendah pada Oligosen Akhir. Variasi lingkungan pengendapannya berkisar dari lingkungan sungai teranyam dan sungai bermeander yang berangsur berubah menjadi lingkungan delta front dan lingkungan prodelta. AMI study Group (1994) mengatakan bahwa sumber sedimen Formasi Talang Akar bagian bawah pada umur Oligosen akhir ini berasal dari dua daerah yaitu sebelah timur (Sundaland Mass) dan sebelah barat (deretan Pegunungan Barisan dan areal tinggian dekat Bukit Barisan). Daerah tinggian-tinggian sekitar cekungan seperti Tinggian Setiti dan Tinggian Palembang Utara juga mempunyai kontribusi terhadap daerah ini. Sedimen Formasi Talang akar ini umumnya berubah dari lingkungan fluvial pada bagian bawah, berangsur ke arah atas menjadi lingkungan deltaik dan laut dangkal. Sedimen ini terdiri dari butiran yang berukuran halus sampai kasar, kadang-kadang dijumpai konglomerat, pemilahan bagus relatif bersih, berlapis tebal dan memiliki porositas baik. Formasi Talang Akar bagian bawah merupakan reservoar dengan kualitas paling baik di Cekungan Sumatra Selatan. Dengan pengisian yang terus berlanjut pada topografi yang umumnya mengalami penurunan, lingkungan pengendapan secara perlahan berangsur menjadi lingkungan laut. Kemudian diendapkan Formasi Talang Akar bagian atas. 17 Formasi ini diendapkan pada lingkungan deltaik sampai lingkungan laut dalam yang dicirikan oleh litologi batupasir dan serpih serta berselingan dengan batubara. Batupasir umumnya berukuran sangat halus sampai kasar, argillaceous hingga calcareous dengan porositas dan permeabilitas yang buruk hingga baik. Pengendapan Formasi Talang Akar sangat dipengaruhi oleh relief topografi, memiliki ketebalan hingga 300 kaki. Formasi Talang Akar berakhir pada masa transgresi maksimum dengan munculnya endapan laut pada cekungan selama Miosen Awal. 2.3.4 Klastik Pra-Baturaja Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa pada Cekungan Sumatra Selatan, sedimen klastik yang kompleks ditemukan diantara Volkanik Lahat dan Formasi Baturaja berumur Miosen atau Formasi Telisa. Seri yang tebal ditemukan di graben dengan trend utara-selatan (Benakat gully, Lematang trough), yang terbentuk pada Oligosen. Bagian dasarnya dengan sedimen volkanoklastik dan lumpur lakustrin disebut Formasi Lemat atau Lahat. Bagian atas dari pengisian graben, adalah fluvial dan deltaik Formasi Talang Akar yang berumur Oligosen Akhir Menurut Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) pada bagian permukaan sekitar Pegunungan Gumai, sedimen klastik antara Volkanik Lahat dan Formasi Baturaja sangatlah tipis dan kemungkinan tidak ada. Interval klastik tipis dibawah Formasi Baturaja biasa disebut sebagai wood horizon karena adanya batang pohon yang tersilifikasi adalah sangat biasa pada bagian bawahnya. Ketebalannya mencapai 20-30 m. Pada bagian Cawang Saling, berupa seri transgresif dengan beberapa meter konglomerat dengan pemilahan buruk dengan kerikil kuarsa, batuan volkanik, dan kayu yang tersilifikasi, dan batupasir dengan lapisan bersilang. 2.3.5 Formasi Baturaja Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa Batugamping ditemukan di tempat yang berbeda-beda di dekat dasar Formasi Telisa yang biasanya 18 berkedudukan pada Formasi Baturaja (Gambar 2.6). Biasanya berkembang pada fasies laut dangkal pada bagian yang lebih bawah dari serpih Telisa dan seharusnya ditetapkan sebagai anggota dari formasi ini. Permukaan singkapan dari batugamping Batuaraja ditemukan di berbagai tempat sekitar Pegunungan Gumai. Ketebalan maksimumnya adalah 200 m. Batugamping Formasi Baturaja ditemukan pada tinggian purba dan sepanjang batas cekungan. Hal ini tidak hadir sepanjang daerah rendah dengan pengisian graben yang tebal, dimana fasies serpih laut dengan kaya foraminifera terbentuk ditemukan. Umur dari formasi ini adalah Miosen Awal. 2.3.6 Formasi Gumai Tobler (1910) dan Tobler (1906) dalam Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa rangkaian tebal dari serpih laut dalam Miosen Awal dan marl pada Sumatra Tengah dan Selatan dideskripsikan dengan 2 nama berbeda. Formasi Gumai (Gambar 2.6) didasarkan sepanjang bagian Pegunungan Gumai, ketika Formasi Telisa dinamakan setelah Sungai Telisa dekat Sarolangun, Jambi. Formasi ini dikarakteristikan sebagai rangkaian lumpur coklat gelap yang tebal, yang biasanya mengandung foraminifera planktonik yang membentuk perlapisan tipis berwarna putih. Tuf yang berwarna keputihan dan lapisan coklat turbidit yang membentuk andesit tufaan. Lapisan dengan nodul karbonatan berbentuk lentikular dan berwarna coklat memiliki diameter mencapai 2 m dan berada pada bagian atas dari formasi ini. Ketebalan formasi ini dari beberapa ratus meter hingga 3000 m atau mungkin lebih. Hal ini disebabkan oleh subsiden, namun juga merupakan refleksi dari ketebalannya itu sendiri, daerah cekungan pada Telisa ini termasuk di dalamnya adalah lateral ekivalensi dari Talang Akar bagian atas, Baturaja, dan Formasi Palembang bagian bawah. Umur dari formasi ini bervariasi. Ketika tidak ada batugamping Baturaja dikembangkan pada bagian dasarnya lapisan Formasi Telisa memiliki zona N4 foraminifera planktonik (Miosen Awal). Ketika Baturaja memiliki ketebalan, lapisan tertua Formasi Telisa memiliki zona fauna N6 atau N7. Bagian atasnya juga bervariasi dari zona N8 (Miosen Awal) hingga N10 19 (Miosen Tengah), tergantung pada posisi dari cekungan dan batas formasi itu dibatasi. 2.2.7 Formasi Air Benakat Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa Formasi Air Benakat (Gambar 2.6) diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengandung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1000 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir. Menurut AMI Study Group (1994) Formasi Air Benakat tersingkap di bagian baratdaya daerah penyelidikan dan sebarannya berarah baratlaut-tenggara dengan kemiringan rata-rata 8o ke arah timurlaut. Formasi ini terdiri atas perselingan batulempung dengan batupasir dan sisipan batulanau. Batulempung berwarna abu-abu sampai coklat dan abu-abu kebiruan, berlapis baik dengan tebal lapisan berkisar antara 15 dan 40 cm, umumnya gampingan dan karbonan. Batupasir berwarna abu-abu kehijauan sampai hijau tua, kompak, berlapis baik dengan tebal lapisan 10-30 cm, berbutir halus sampai sedang, mengandung glaukonit dan sisa tumbuhan terutama pada bidang perlapisan. Konglomerat terdapat pada puncak formasi secara lokal, berwarna abu-abu tua, disusun oleh komponen berukuran 2 – 25 mm. Komponennya terdiri dari batupasir, batuan beku dan cangkang moluska. Tebal lapisan konglomerat sampai 1,5 m. Formasi diendapkan di lingkungan laut dangkal dan diendapkan selaras di atas Formasi Gumai. 2.2.8 Formasi Muara Enim Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa bagian top dan bottom satuan ini ditentukan oleh atas dan bawah terjadinya lapisan batubara kontinu secara lateral. Ketebalan di area sekitar Muara Enim dan Lahat kira-kira 500-700 m, sekitar 15% mengandung batubara. Lapisan batubara sangat tipis atau bahkan 20 tidak ada, tergantung rata-rata peranan aliran dalam endapan batubara dan preservasi. AMI Study Group mengatakan bahwa Formasi Muara Enim (Gambar 2.6) tersingkap hampir merata di bagian tengah dan utara lembar peta serta menempati struktur monoklin dan antiklin. Formasi ini dikenal sebagai pembawa endapan batubara Cekungan Sumatra Selatan. Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi Tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marine. Ketebalan formasi ini 500 – 1000 m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau, dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal (Musper, 1933 dalam Darman dan Sidi, 2000). 2.2.9 Formasi Kasai Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa kebanyakan sedimen permukaan di Cekungan Sumatra Selatan merupakan satuan ini (Gambar 2.6). Lapisan 250-350 m di bawah permukaan dicirikan oleh adanya tefra riolit berbutir halus (vulkanik asam yang tertransport udara), pumice tuff kuning-putih (sering kali dengan kristal kuarsa bening dan biotit hitam heksagonal dan batupasir tuffaceous, dan tidak terdapat batubara. Batupasir konglomerat dan material tumbuhan jarang ditemukan. Bagian atas formasi ini (tebalnya 300-500 m) umumnya memang berupa pumice tuff yang kaya kuarsa tetapi ada juga yang mengandung batupasir kasar berstruktur cross-bedded dan lapisan konglomerat yang kaya pumice. Untuk pertama kali, produk erosi dari formasi lebih tua ini (Telisa, Lahat, dan Saling) ditemukan menunjukkan pengangkatan dan erosi yang signifikan Pegunungan Gumai dalam periode ini. Banyak yang mengaggap formasi ini sebagai endapan sinorogenik. Fasies endapannya merupakan fluvial dan alluvial fan dengan ash-falls (non-andesitik). Fosil jarang ditemukan, hanya ada beberapa 21 moluska air tawar dan fragmen tumbuhan (Musper, 1933 dalam Darman dan Sidi, 2000). Menurut AMI Study Group (1994) Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari pumice tuff kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal. 2.2.10 Endapan Kuarter Menurut Darman dan Sidi (2000) lapisan paling muda yang berada pada daerah ini tidak dipengaruhi oleh lipatan berumur Plio-Pleistosen, yang dikelompokkan sebagai Kuarter yang tidak selaras diatas Formasi Palembang atau formasi yang lebih tua lainnya, dan biasanya dibedakan dari lapisan Formasi Palembang oleh kehadiran andesitik berwarna gelap dan batuan basaltik volkanik. Volkanik andesitik kuarter biasanya berlimpah pada Bukit Barisan yang juga diantara Sungai Lematang dan Enim dengan banyaknya produk intrusi dan ekstrusi yang sekarang membentuk kelompok Bukit Asam, Serelo, dan Djelapang. Batuan lain yang termasuk ke dalam Kuarter adalah Liparite (ignimbrite) yang mengisi lembah pada daerah Pasumah bagian selatan dari Pegunungan Gumai, tuf andesit dan lahar pada daerah Pasumah berasal dari gunungapi Barisan seperti Dempo, dan terendapkan sepanjang sungai utama. 22