I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) telah menjadi perbincangan dan kajian yang serius para ahli lingkungan sebagai suatu solusi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang semakin parah akibat kesalahan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Masalah pengelolaan sumberdaya dan lingkungan adalah pencerminan dari akibat adanya kerniskinan, keterbelakangan pembangunan dan sekaligus masalah yang menyertai pelaksanaan pembangunan. Masalah ini telah menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan secara kualitas dan kuantitas. Sebagai contoh, di Indonesia laju kerusakan hutan tiap tahun mencapai 1,5 - 2,5 juta hektar, penyusutan danau akibat sedimentasi dari 774 ribu menjadi 308 ribu hektar, dan terumbu karang yang masih bagus tinggal6,2 % (Alikodra, 2002). Persoalan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sistem pertanian adalah penggunaan input tinggi seperti penggunaan pestisida, pemupukan berlebihan, benih berherbisida, mekanisasi dengan memanfaatkan bahan bakar minyak, pembukaan lahan secara tidak terkendali serta pengelolaan lahan yang melebihi daya dukungnya. Akibatnya terjadi pencemaran tanah dan air, erosi dan terjadinya degradasi lahan dan penggundulan tanah sehingga produktivitas pertanian menurun dan kerusakan lingkungan semakin parah (Reijntjes, et. al., 1999; Supriatna, 1998). Pertumbuhan populasi yang semakin besar dimana kebutuhan lahan pertanian, pemukiman memaksa manusia menggunaan lahan tidak terkontrol dan daya dukungnya semakin berkurang (Rahim, 1999; Manik, 2000). 2 Kemunduran kualitas dan kuantitas sumberdaya pertanian akan membawa implikasi serius bagi kehidupan manusia saat ini maupun yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya langkah tertentu yang secara alami tersedia dalam bentuk kearifan atau nilai-nilai pengetahuan masyarakat untuk mendukung sistem pertanian berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan. Pemilihan pengetahuan lokal masyarakat didasarkan pada kenyataan bahwa saat ini upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan menggunakan berbagai instrumen teknologi, tidak saja diperhadapkan pada sulitnya proses adaptasi bagi petani, akan tetapi terdapat kendala pada aplikasi yang tidak sesuai dengan budaya maupun kemampuan masyarakat. Dilain pihak, petani juga dihadapkan dengan berbagai kasus bahwa teknologi seringkali membawa persoalan baru yang berakibat lebih buruk bagi kelangsungan sumberdaya dan lingkungan hidup (Edmunds dan Letey, 1973). Sehingga pada kondisi masyarakat petani yang relatif miskin dan terkebelakang, penggalian nilainilai pengetahuan lokal sebagai bentuk kearifan masyarakat merupakan pendekatan alternatif dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam sistem pertanian secara berkelanjutan. Beberapa contoh pengetahuan lokal seperti Sasi (sistem penangkapan ikan di Maluku); Tondoa, Ompo, Kolo, Kaindea dan Motika (sistem penangkapan ikan dan pertanian) pulau-pulau kecil di Sulawesi Tenggara, merupakan sistem pengetahuan lokal disamping menjamin kelestarian sumberdaya alam, juga menjamin kehidupan dan masyarakat setempat, karena dengan sistem tersebut, masa depan mereka merasa tetap terjamin (Mardiyanto, 1999; Manan dan Arafah, 1.2. Perurnusan Masalah Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi disamping berdampak positif juga berdampak negatif yaitu terkurasnya sumberdaya alam dan terancamnya kualitas lingkungan. Lebih menyedihkan adalah tergusurnya masyarakat lokal dengan nilai-nilai pengetahuan yang selama ini sebagai instrumen pendukung lestarinya sumberdaya alam (Gunawan et al., 1998). Inovasi pada prinsipnya merupakan suatu keharusan bagi perkembangan dan produktifitas pertanian, namun dalam prakteknya terdapat kendala seperti sulitnya proses adaptasi dan aplikasinya yang terbatas bagi pengetahuan masyarakat. Suku Moronene saat ini mempunyai persoalan dalam akses sumberdaya alam terutama yang bermukim di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Pengetahuan lokal sebagai bagian dari sistem budaya yang mereka anut tidak cukup meyakinkan pemerintah setempat untuk melestarikan sumberdaya di sekitarnya, sehingga seringkali timbul konflik (Tekad, 2000; Anonim, 2002). Pemerintah setempat tidak cukup informasi dan metode komunikasi mengenai pengetahuan lokal masyarakat setempat yang dipandang "arif" sehingga perlu dipelihara sebagai aset dalam pembangunan nasional dan daerah. Permasalahannya adalah : 1. Pengetahuan lokal apa yang dianut Suku Moronene dalam sistem pertaniannya. 2. Bagaimana peranan pengetahuan lokal tersebut dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam sistem pertanian berkelanjutan. 1.3. Kerangka Pemikiran 1.3.1. Kerangka Dasar Penelitian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan perhatian yang cukup besar pada peran serta dan tanggung jawab masyarakat dalam pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena persoalan lingkungan sangat terkait dengan interaksi manusia sebagai mahluk sosial. Sumaatmadja, (1989) mengatakan interaksi yang bersifat positif dalam mengembangkan daya dukung lingkungan seperti simbiosis mutualisme antara manusia dan lingkungannya. Tetapi interaksi yang negatif dapat menimbulkan masalah sosial yaitu terjadinya eksploitasi dalam pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Pertumbuhan dan pertambahan populasi manusia telah menimbulkan perilaku yang tidak serasi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik, sosial budaya maupun politik. Kebutuhan akan bahan pangan sebagai kebutuhan fisik yang mendesak, rasa ingin berkuasa dan dihargai sebagai kebutuhan batiniah dapat mendesak lingkungan melalui berbagai tekanan baik itu hutan yang dikonversi sebagai lahan pertanian, merebut pengaruh melalui budaya dan partai politik, padahal secara ekologi tidak serasi karena terjadinya dominasi oleh unsur lingkungan terhadap lingkungan lainnya. Persoalan lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan biofisik semata, akan tetapi dipengaruhi pula oleh faktor manusia sebagai subyek di dalamnya.' Ini berarti bahwa penanganan persoalan lingkungan harus dimulai dan ditujukan pada kesadaran manusia melalui kearifannya yang telah terbentuk melalui pola-pola kebudayaannya secara turun temurun maupun dari berbagai pengalaman dalam hidup bermasyarakat. Selama ini masyarakat lokal dipandang sebagai mahluk yang bodoh dan tertinggal serta bahkan mengancam kelestarian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan sehingga harus diarahkan sesuai dengan program yang telah direncanakan. Pandangan seperti ini jelas harus segera ditinggalkan mengingat akan berdampak buruk bagi partisipasi dan eksistensi masyarakat setempat. Padahal pada masyarakat terasing secara nyata telah membuktikan keberadaan mereka selama ini justru telah memelihara dan melestarikan sumberdaya alam disekitarnya melalui pola kebiasaan atau kearifannya. Kerusakan lingkungan pada kawasan adat terjadi setelah masuknya pendatang dari luar yang mengeksploitasi sumberdaya setempat (Poenvanto, 2000). 1.3.2. Kerangka Operasional Penelitian Teknologi masyarakat (indigenous technology) sebagai bagian dari pengetahuan lokal hasil karya masyarakat yang secara turun temurun dilaksanakan, sebenarnya merupakan aset intelektual bangsa Indonesia yang banyak tersebar di seluruh penjuru tanah air. Namun perhatian terhadap pengetahuan lokal seperti ini masih sangat kurang atau bahkan cenderung tidak ada. Justru yang terjadi adalah memberi perhatian yang lebih besar kepada teknologi impor yang acap kali tidak terintegrasi dengan penguasaan dan pengembangan teknologi impor itu sendiri. Sehingga bukan saja kita cenderung inemiliki ketergantungan yang tinggi atas impor teknologi seperti bahan baku (tangible) tapi juga atas impor asset intelektual (intangible) dan ironisnya teknologi yang kita tiru dari luar pada kenyataannya tidak men~perkuat berkembang dan menguatnya kemampuan teknologi sendiri (Taufik, 2002). Perkembangan pengetahuan masyarakat diakui relatif sangat lambat dibandingkan dengan pesatnya teknologi asing yang dikembangkan oleh negara maju. Walaupun teknologi tersebut makin lama makin tertinggal sehingga perlu ada penyesuaian yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ironisnya, pengetahuan lokal melalui teknologi masyarakat yang dinilai "kuno" oleh masyarakat kita sendiri, kini ditenggarai mulai banyak yang dicuri oleh bangsa asing untuk dikembangkan dan dimiliki. Untuk itu, pemahaman masyarakat dan kepedulian pemerintah atas konteks legal hak kepemilikan intelektual memang perlu ditingkatkan menjadi kekayaan budaya bangsa yang tidak temilai harganya sehingga dapat dimanfaatkan terus menerus menjadi sumber devisa bagi negara dan pendapatan daerah sejalan dengan semangat otonomi. Semangat otonomi daerah sangat relevan, dan bahkan kunci untuk mendorong pengembangan aset pengetahuan lokal dan upaya perlindungan hukumnya. Kerjasama sinergis antara stakeholders perlu ditumbuhkan bagi proses kreatif dan inovatif setempat untuk mendorong pengembangan dan pengelolaan yang lebih efektif atas potensi indigenous knowledge di setiap daerah, sebab kekhasan potensi dan karakteristik lokal menjadi salah satu faktor penting pembangunan daya saing ekonomi (Arifin, 2001). Kini makin disadari bahwa pemecahan terhadap persoalan akses sumberdaya produktif (termasuk teknologi) dan pemberdayaan biasanya akan efektif dilakukan pada tataran terdekat dengan kehidupan masyarakat baik politik, sosial ekonomi dan budaya (Taufik, 2002; Soedannanto 1999). Terkait dengan ha1 . 8 itu, potensi modal sosial pada tingkat lokal merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan. Pengalaman empirik negara maju menunjukan bahwa investasi dalam pengetahuan dan teknologi acap kali paling efektif dan efisien pada tataran komunitas lokal atau daerah, sehingga perlu didorong terciptanya lingkungan yang mendukung pengembangan pengetahuan lokal di setiap daerah. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan kerangka pemikiran, maka tujuan peneiitian ini adalah : 1. Menggali pengetahuan lokal Suku Moronene dalam sistem pertanian di Sulawesi Tenggara. 2. Mengkaji peranan pengetahuan lokal Suku Moronene dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam sistem pertanian berkelanjutan. 1.4.2. Manfaat Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Dapat mengiventarisir jenis-jenis pengetahuan lokal Suku Moronene dalam sistem pertanian di Sulawesi Tenggara. 2. Diketahui peranan pengetahuan lokal Suku Moronene dalam sistem pertanian berkelanjutan. 3. Masukan bagi pemerintah dalam mendayagunakan potensi masyarakat lokal dan strategi operasional dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya dalam sistem pertanian berkelanjutan di Sulawesi Tenggara. 4. Bahan informasi bagi penelitian selanjutnya