2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makroalga Makroalga merupakan ganggang yang tidak mempunyai batang, daun, dan akar sejati. Tubuhnya menyerupai batang yang disebut dengan thallus dan hidupnya menempel pada substrat, seperti karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Anggadiredja et al., 2006). Bentuk thallus pada makroalga bermacam-macam antara lain ada yang berbentuk pipih, tabung, bulat, dan sebagainya. Pigmen yang terdapat pada thallus juga bermacam-macam sehingga dapat digunakan dalam membedakan berbagai kelas makroalga, yaitu Chloropyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae, dan Cyanophceae. Pigmen yang menentukan warna ini adalah klorofil, karoten, phycoerythin, dan phycocyanin merupakan pigmen utama di samping pigmen lainnya (Aslan, 1998). Alga merah atau Rhodophyceae merupakan alga yang memiliki pigmen fikobilin yang terdiri dari phycoerythin (berwarna merah) serta phycocyanin (berwarna biru). Alga merah ini bersifat adaptasi kromatik yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada thallus. Jenis ekonomis dari divisi ini adalah Gracilaria spp., Gelidium spp., Euchema spp., Hypnea spp., Gigartina spp., dan Rhodymena spp. Alga cokelat dengan nama lain Phaeopyceae merupakan alga yang memiliki pigmen klorofil a dan c, beta karoten, violasantin dan fikosantin. Jenis ekonomis pada divisi ini adalah Sargassum spp., Hormophysa spp., dan Turbinaria spp. Alga hijau atau Chlorophyceae merupakan alga yang memiliki pigmen berupa klorofil a dan b, beta, gamma, karoten,dan santhofil. Alga ini pada umumnya berwarna hijau dan jenis yang 3 4 benilai ekonomis pada divisi ini adalah Ulva spp. dan Enteromorpha spp. (Aslan, 1998). 2.2 Klasifikasi dan Karakteristik Gelidium latifolium Makroalga yang digunakan dalam penelitian adalah jenis Gelidium latifolium, tersaji pada Gambar 1. Gambar 1. Makroalga Gelidium latifolium Sumber: Dokumentasi pribadi Dirujuk dari Hatta et al. (2001), taksonomi Gelidium latifolium adalah sebagai berikut: Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gelidiales Family : Gelidiaceae Genus : Gelidium Species : Gelidium latifolium (Bornet ex Hauck, 1883) 5 Menurut Aslan (1998) ciri-ciri Gelidium sp. adalah memiliki ukuran kecil, panjang ± 20 cm, dan lebar 1,5 mm. Batang utama tegak dengan percabangan biasanya menyirip. Thallus berwarna kemerahan, coklat, dan hijau kecoklatan. Organ reproduksinya berukuran mikroskopis. Lebih dari seratus jenis makroalga telah dimasukkan dalam Genus Gelidium yang tersebar di seluruh dunia dan 11 jenis diantaranya terdistribusi di perairan Indonesia. Nama Gelidium berbeda-beda di setiap daerah misalnya kades dan intip kembang karang (Jawa Barat), bulung merak dan bulung ayam (Bali), serta sayur laut (Ambon). Gelidium sp. memiliki kandungan agar berkualitas baik dan potensial dijadikan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, dan makanan. Selain itu, diolah menjadi bioetanol dan bahan baku pulp atau kertas karena kualitas seratnya yang sangat baik. Kandungan agar-agarnya berkisar antara 12-48% tergantung jenisnya (Aslan, 1988). 2.3 Laju Pertumbuhan Makroalga Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan makroalga sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thallus, dan umur. Faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan. Selain itu, faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan makroalga yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia (Syahputra, 2005). Pertumbuhan juga merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan. Ukuran bibit makroalga yang ditanam sangat berpengaruh terhadap 6 laju pertumbuhan dan bibit thallus yang berasal dari bagian ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit thallus dari bagian pangkal. Menurut Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan makroalga yang dianggap cukup menguntungkan adalah di atas 3% pertambahan berat per hari. Makroalga merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat lingkungan tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya dan juga hasil yang diperoleh (Syahputra, 2005). Soegiarto et al. (1978) menyatakan bahwa laju pertumbuhan makroalga berkisar antara 2-3% per hari. Percobaan yang dilakukannya menggunakan rak terapung pada tiga lapisan kedalaman berbeda menunjukkan bahwa posisi yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm) tumbuh lebih baik daripada lapisan kedalaman di bawahnya karena cahaya matahari merupakan faktor penting untuk pertumbuhan makroalga. Pada kedalaman tidak terjangkau cahaya matahari, maka makroalga tidak dapat tumbuh. Demikian pula iklim, letak geografis dan faktor oseanografi menentukan pertumbuhannya. Pertumbuhan makroalga dikategorikan sebagai pertumbuhan somatik dan pertumbuhan fisiologis. Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat dan panjang thallus, sedangkan pertumbuhan fisiologis dilihat berdasarkan aspek reproduksi dan kandungan koloidnya. 7 2.4 Metode Budidaya Menurut Aslan (1998), secara umum di Indonesia budidaya makroalga dilakukan dalam tiga metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan. Ketiga metode tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Metode dasar (bottom method) Penanaman dengan metode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman yang telah dipotong pada karang atau balok semen kemudian disebar pada dasar perairan. Metode dasar merupakan metode pembudidayaan makroalga dengan menggunakan bibit dengan berat tertentu. b. Metode lepas dasar (off-bottom method) Metode ini dapat dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah untuk menancapkan pancang. Metode ini sulit dilakukan pada dasar perairan yang berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian diikatkan pada tali plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak antara dasar perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm. Bibit yang akan ditanam berukuran 100-150 gram, dengan jarak tanam 20-25 cm. Penanaman dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran 2,5x5 m² dengan lebar mata jaring 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian bibit rumput laut diikatkan pada simpul-simpulnya. c. Metode apung (floating method/longline) Metode ini cocok untuk perairan dengan dasar yang berkarang dan pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman menggunakan rakit-rakit dari bambu dengan ukuran tiap rakit bervariasi tergantung dari 8 ketersediaan material, umumnya 2,5x5 m² untuk memudahkan pemeliharaan. Aslan (1998) menyatakan pemanenan makroalga dilakukan bila telah mencapai bobot empat kali dari bobot awalnya yaitu dalam lama pemeliharaan sekitar 1,5-4 bulan. Indriani dan Sumiarsih (1999) menyatakan makroalga bisa dipanen dalam waktu tanam 6-8 minggu. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) pemanenan makroalga dapat dilakukan setelah 1-3 bulan. 2.5 Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Makroalga Beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan dari makroalga diantaranya sebagai berikut: 2.4.1 Temperatur Temperatur merupakan faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena temperatur memengaruhi aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut (Hutabarat dan Evans, 2008). Toleransi temperatur dianggap sebagai faktor penting dalam menjelaskan biogeografi makroalga. Kenaikan temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus menjadi pucat kekuning-kuningan yang menjadikan makroalga tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, temperatur perairan yang baik untuk budidaya makroalga adalah 20-28 °C dengan fluktuasi harian maksimum 4 °C (Puslitbangkan, 1991). Temperatur merupakan faktor sekunder bagi kehidupan makroalga dan fluktuasi yang tinggi akan menghindarkan proses water mixing pertumbuhan dan reproduksi. 9 Menurut Luning (1990) makroalga mempunyai temperatur kisaran spesifik karena adanya enzim pada tubuhnya. Di daerah tropis makroalga masih dapat tumbuh pada kisaran temperatur 20-30 ⁰C dan hidup optimal pada 28 ⁰C. 2.4.2 Salinitas Makroalga tumbuh dengan baik pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan makroalga menjadi tidak normal. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya makroalga adalah salinitas pada kisaran 28-34 ppt (Zatnika dan Angkasa, 1994). Menurut Dawes (1981) kisaran salinitas yang baik untuk budidaya makroalga berkisar 3035 ppt. Soegiarto et al. (1978) pun menuturkan bahwa salinitas yang cocok untuk budidaya makroalga adalah 32-35 ppt. 2.4.3 Nutrien Unsur hara atau nutrien berperan untuk pertumbuhan, terdiri dari mikro nutrien dan makro nutrien. Mikro nutrien merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit sedangkan makro nutrien merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah yang banyak. Unsur Nitrogen dan Fosfor merupakan makro nutrien yang menjadi pembatas pertumbuhan dan perkembangan makroalga. Nitrogen diserap dalam bentuk Nitrat dan unsut Fosfor diserap dalam bentuk Fosfat (Nybakken, 1988). Menurut Indriani dan Sumiarsih (1999) penyerapan unsur hara oleh makroalga dilakukan oleh seluruh bagian thallus. Akan tetepi harus waspada terhadap unsur-unsur berbahaya seperti Pb dan Hg karena dapat diserap oleh makroalga yang dapat membahayakan bila dikonsumsi oleh manusia. 10 2.4.4 Derajat keasaman (pH) Makroalga cenderung membutuhkan pH yang basa untuk pertumbuhannya. Derajat keasaman yang ideal untuk pertumbuhan makroalga yaitu 8-9. Apabila perairan terlalu asam maupun basa maka akan menghambat pertumbuhan makroalga (Puslitbangkan, 1991). Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) derajat derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan makroalga adalah 7-9 dengan kisaran derajat derajat keasaman optimum sebesar 7,3-8,2. 2.4.5 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan karena proses difusi dan fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Oksigen terlarut penting dalam mempengaruhi kesetimbangan kimia air laut dan mempengaruhi kehidupan organisme laut. Baku mutu DO untuk makroalga adalah lebih dari 5 mg/L (Soegiarto et al., 1978). 2.4.6 Kecerahan dan Cahaya Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami kecerahan penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya yang tinggi bagi makroalga untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (Hutabarat dan Evans, 2008). Cahaya yang mencapai permukaan bumi dan perairan terdiri atas cahaya langsung yang berasal dari matahari dan cahaya yang disebarkan oleh awan. Pigmen klorofil menyerap cahaya biru dan merah, karoten menyerap cahaya biru 11 dan hijau, fikoeretin menyerap cahaya hijau, dan fikosianin menyerap cahaya kuning (Cole, 1988). 2.4.7 Hama dan Penyakit Penyakit yang menyerang makroalga dapat menyebabkan penurunan kualitas baik secara anatomi maupun struktur bagian dalam thallus makroalga, gejala ini dapat dilihat dengan adanya perubahan warna dan bentuk sehingga laju pertumbuhan makroalga menurun. Ciri-ciri makroalga yang terkena penyakit aisais ditandai dengan timbulnya bintik-bintik pada bagian thallus yang dapat mengakibatkan thallus menjadi patah apabila dibiarkan dalam waktu relatif lama. Penyebab timbulnya penyakit ini adalah karena adanya mikroba yang menyerang makroalga yang lemah. Penyakit ais-ais biasanya menyerang 11 makroalga jenis Eucheuma spp. Gejala yang dapat dilihat adalah perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa thallus menjadi putih dan akhirnya membusuk (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004). Penyakit white spot merupakan penyakit yang menyerang makroalga jenis Laminaria japonica di Cina. Penyakit ini menimbulkan gejala terjadinya perubahan warna thallus dari coklat kekuningan menjadi putih kemudian menyebar keseluruh thallus dan bagian makroalga membusuk dan rontok (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004). 2.5 Siklus Karbondioksida Pembakaran bahan bakar fosil (batu bara dan minyak bumi) oleh kendaraan bermotor dan kegiatan industri meningkatkan kadar di atmosfer. Karbondioksida merupakan salah satu gas yang memiliki efek rumah kaca (green 12 house effect) yaitu gas yang menyerap panas yang dilepaskan oleh cahaya matahari. Oleh karena itu, peningkatan kadar berkorelasi positif dengan peningkatan temperatur bumi yang biasa disebut dengan pemanasan global (Effendi, 2003). Meskipun persentasi perairan relatif tinggi karena di atmosfer relatif kecil tetapi keberadaannya di memiliki kelarutan yang tinggi (Jeffries dan Mills,1996). Karbondioksida yang terdapat di atmosfer larut ke dalam badan air akan menghasilkan asam karbonat (Cole et al., 1988). Cole et al. (1988) juga mengemukakan bahwa keberadaan terdapat dalam bentuk gas karbondioksida bebas ( ion karbonat ( ), dan asam karbonat ( di perairan ), ion bikarbonat ( ). Proporsi dari keempat bentuk karbon tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Hubungan antara ), dengan pH (Willoughby, 1978) Karbondioksida yang terlarut di dalam air membentuk beberapa kesetimbangan yang secara terperinci ditunjukkan dalam persamaan kesetimbangan karbondioksida (Mackereth et al., 1989): 13 (gas) + (aq) ……………………... (1) ……………………… (2) O ……………………… (3) + H + ……………………… (4) ……………………… (5) + O + Kelarutan ……………………… (6) dalam air dipengaruhi oleh temperatur. Proses fotosintesis di perairan dapat memanfaatkan ataupun ion bikarbonat sebagai sumber karbon (Jeffries dan Mills,1996). Namun tumbuhan akuatik misalnya alga lebih menyukai sebagai sumber karbonnya dibandingkan ion bikarbonat dan karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat digunakan sebagai sumber karbon tetapi di dalam kloroplas bikarbonat harus dikonversi terlebih dahulu menjadi dengan bantuan enzim karbonik anhidrase (Boney, 1989). 2.6 Kegunaan Makroalga Makroalga dimanfaatkan secara luas baik dalam raw material maupun dalam bentuk hasil olahan. Di Indonesia makroalga digunakan sebagai lalapan, obat, manisan, dan sayuran. Sedangkan di Jepang digunakan sebagai sayuran, minuman teh, dan campuran pada nasi. Selain itu, pemanfaatan makroalga adalah sebagai pupuk, makanan ternak, dan sumber energi (Atmadja et al., 1996). Salah satu hasil olahan makroalga yang paling potensial dan bernilai ekonomi adalah polisakarida. Polisakarida yang sangat komersil dari alga yaitu agar, karaginan, dan alginat. Agar merupakan senyawa polisakarida yang 14 memiliki sifat-sifat koloid sehingga banyak dimanfaatkan untuk formulasi berbagai produk. Polisakarida agar dapat diperoleh dari berbagai jenis alga merah diantaranya Gracilaria sp. dan Gelidium sp. (Rachmaniar, 1996b). Menurut John (2010) beberapa spesies alga dengan kandungan pati yang tinggi dapat dijadikan etanol. Perusahaan penerbangan dan minyak telah mulai menginvestasikan modalnya untuk mengembangkan biofuel dari alga misalnya US Air Force dan Federal Aviation Administration. 2.7 Karbohidrat Karbohidrat adalah biomolekul yang sangat melimpah di bumi. Fotosintesis mengonversi lebih dari 100 miliar metrik dan O menjadi selulosa dan produk tanaman lainnya. Karbohidrat (gula dan pati) adalah makanan pokok di sebagian besar dunia. Polimer karbohidrat tidak berfungsi sebagai struktural serta pelindung elemen dalam dinding sel bakteri, tanaman, dan dalam jaringan ikat hewan. Ada tiga kelas ukuran utama karbohidrat, yaitu monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Kata "sakarida" berasal dari bahasa Yunani sakaron, yang berarti "gula" (Nelson dan Cox, 2004). Monosakarida atau gula sederhana, terdiri dari aldehida polihidroksi tunggal atau keton unit. Monosakarida yang paling melimpah di alam adalah gula enam-karbon D-glukosa, kadang-kadang disebut sebagai dekstrosa. Monosakarida dengan rantai lebih dari empat karbon cenderung memiliki struktur siklik. Oligosakarida terdiri dari rantai pendek monosakarida atau residu bergabung dengan karakteristik hubungan yang disebut ikatan glikosidik. Secara umum monosakarida dan disakarida memiliki nama berakhir dengan akhiran "-ose" 15 (Nelson dan Cox, 2004). Polisakarida adalah gula yang mengandung polimer lebih dari 20 unit dan beberapa memiliki ratusan atau ribuan unit. Beberapa polisakarida seperti selulosa adalah rantai linear sedangkan glikogen adalah rantai bercabang. Keduanya terdiri dari unit berulang D-glukosa, tetapi berbeda dalam jenis glikosidik dan akibatnya memiliki sifat yang sangat berbeda dan peran biologis (Nelson dan Cox, 2004). 2.8 Produksi Bioetanol dan Hidrolisis Proses produksi blue-etanol dari makroalga dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu hidrolisis, fermentasi, dan pemurnian. Hidrolisis dilakukan menggunakan asam kuat dengan pemanasan 100 ⁰C selama 3 jam atau menggunakan enzim selulase. Tujuannya adalah untuk memisahkan polisakarida dari biomassa makroalga. Selanjutnya adalah fermentasi hasil hidrolisis makroalga menjadi etanol menggunakan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang biasa digunakan untuk fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae, Streptococcus cremoris, dan Lactobacillus pentoacetius pada kondisi anaerob, karena pada kondisi aerob akan menjadikan mikroorganisme berkembang baik tetapi pembentukan etanolnya sedikit. Tahap terakhir adalah pemurnian etanol agar kandungan hasil fermentasi sesuai dengan yang diharapkan dan bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil (Iryani et al., 2009). Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air ( kation hidrogen ( ) dan anion hidroksida ( O) menjadi ) melalui suatu proses kimia. Proses ini biasanya digunakan untuk memecah polimer tertentu, contohnya polimer organik yang memiliki rantai karbon. Ada tiga metode hidrolisis yang 16 biasa digunakan, yaitu hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis), hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolisis), dan hidrolisis enzim (enzyme hydrolysis). Hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dapat dilakukan menggunakan tiga metode di atas. Beberapa penelitian melaporkan bahwa proses hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan daripada menggunakan asam yaitu mencegah terjadinya korosi, proses dapat berlangsung pada kondisi mild (pH 4,8 dan temperatur 500 °C) dan rendemen lebih tinggi (Duff dan Murray, 1996). Menurut Speight (2002) hidrolisis merupakan reaksi pengikatan gugus hidroksil atau oleh suatu senyawa. Gugus dapat diperoleh dari senyawa air. Hidrolisis dapat digolongkan menjadi hidrolisis murni, hidrolisis asam, hidrolisis basa, dan hidrolisis enzim. Hidrolisis murni adalah hidrolisis yang menggunakan air saja sebagai penghidrolisis. Beberapa macam senyawa yang dapat dihidrolisis secara langsung dengan menggunakan air saja, antara lain halida asam dan asam anhidrid. Hidrolisis dengan asam ini mula-mula diamati oleh Kirchoff dengan mengamati hidrolisis pati dengan adanya asam-asam mineral dan terjadi suatu transformasi bahan pati menjadi glukosa. Jenis asam yang banyak digunakan antara lain asam klorida, asam sulfat, asam oksalat, dan asam benzena sulfonat. Asam berfungsi sebagai katalisator yaitu untuk mempercepat terjadinya proses hidrolisis. Hidrolisis alkali adalah hidrolisis menggunakan larutan alkali encer seperti larutan asam. Larutan alkali encer hanya bersifat sebagai katalisator saja. Larutan alkali pekat yang diberikan dalam jumlah cukup bertujuan untuk mengikat asam yang terbentuk. Hidrolisis enzim adalah hidrolisis dengan menggunakan zat enzim yang dihasilkan oleh 17 mikroorganisme. Contoh hidrolisis enzim yaitu proses hidrolisis reaksi pembuatan alkohol. Pada reaksi hidrolisis ini air akan menyerang komponen karbohidrat atau hemiselulosa sehingga pecah menjadi gula yang lebih sederhana seperti glukosa, galaktosa, dan mannose. Reaksinya : ( )n + n O n Hidrolisis polisakarida menjadi glukosa berlangsung sangat lambat, sehingga dalam reaksinya membutuhkan katalisator untuk mempercepat terjadinya proses hidrolisis. Katalisator yang biasa digunakan adalah asam atau enzim. Asam yang digunakan dalam proses hidrolisis adalah asam-asam organik, tapi yang paling banyak digunakan adalah asam sulfat atau asam klorida (Speight, 2002).