HETEROGENITAS ASMA BERAT Zuhrial Zubir, Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Triyono Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit yang heterogen, suatu sindrom klinis yang kompleks dengan berbagai faktor yang terlibat di dalamnya seperti faktor genetik dan faktor lingkungan. The 2007 National Asthma Education and Prevention Program’s Expert Panel Report 3, dalam tatalaksana untuk diagnosis dan manajemen asma, mendefinisikan asma sebagai suatu inflamasi kronik yang menyebabkan hiperesponsif jalan napas sehingga menimbulkan gejala episodik berulang yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Dalam perkembangannya, guna suatu manajemen terapi yang terarah dan berhasil, maka berbagai pendekatan untuk klasifikasi asma terus dikembangkan. Salah satu klasifikasi yang dikembangkan saat ini adalah tentang fenotip asma. Dengan pemahaman tentang fenotip asma yang tentunya berbeda pada setiap individu maka diharapkan akan dapat menghasilkan suatu manajemen terapi yang lebih baik. 1,2,3 DEFINISI DAN KRITERIA ASMA BERAT Asma adalah suatu inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa napas mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam atau dini hari yang bersifat reversibel dengan atau tanpa obat. Asma berat didefinisikan oleh American Thoracic Society dalam kriteria mayor dan minor (Tabel 1). Definisi terpenuhi jika terdapat salah satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor.4,5,6 TABEL 1. Kriteria Asma Berat menurut American thoracic society workshop consensus 4-6 Kriteria Mayor 1. Penggunaan kortikosteroid oral terus menerus atau > 50% dalam setahun. 2. Penggunaan kortikosteriod inhalasi dosis tinggi. 1 TABEL 1. Kriteria Asma Berat menurut American thoracic society workshop consensus 4-6 Kriteria Mayor Kriteria Minor 1. Pemakaian kontroler seperti beta agonis kerja panjang, teofilin, atau leukotriene antagonis setiap hari. 2. Pemakaian beta agonis kerja cepat setiap hari atau hampir setiap hari. 3. Obstruksi saluran napas refrakter yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) kurang dari 80% prediksi atau variasi diurnal APE lebih dari 20%. 4. Kunjungan ke IGD karena serangan asma lebih dari sekali per tahun. 5. Menggunakan kortikosteriod oral ekstra tiga kali atau lebih per tahun. 6. Terjadi perburukan jika dosis kortikosteroid inhalasi dikurangi 25% atau kurang. 7. Riwayat serangan asma mengancam jiwa. EPIDEMIOLOGI Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Prevalensi asma di Indonesia menurut Riskesdas 2007 adalah 3,5% dan terjadi peningkatan menjadi 4,5% menurut Riskesdas 2013.7,8 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO 2 Penyebab terjadinya hambatan aliran udara yang persisten pada asma masih belum diketahui, namun sebagian besar peneliti menganggap bahwa kegagalan fungsi paru ini berhubungan dengan proses inflamasi pada dinding saluran napas. Diduga bahwa inflamasi saluran napas yang persisten pada asma berat terjadi akibat defisiensi hemostatik endogen seperti sintesis yang rendah dari lipoxin, produksi yang rendah dari prostaglandin (PGE2) dan 15hydroxyeicosatetraenoic acid (15-HETE).2 Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu tersebut adalah: 9,10,11 - predisposisi genetik asma - alergi - hipereaktifitas bronkus - jenis kelamin - ras/etnik Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu:9,10,11 1. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma. 2. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap. Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma adalah:9,10,11 - alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga - sensitisasi (bahan) lingkungan kerja - asap rokok - polusi udara di luar maupun di dalam ruangan - infeksi pernapasan (virus) - diet - status sosioekonomi - besarnya keluarga - obesitas 3 Faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala asma menetap adalah:9,10,11 - alergen di dalam maupun di luar ruangan - polusi udara di luar maupun di dalam ruangan - infeksi pernapasan - olah raga dan hiperventilasi - perubahan cuaca - makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan) - obat-obatan, seperti asetil salisilat - ekspresi emosi yang berlebihan - asap rokok - iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang PATOGENESIS ASMA Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4,CD22, IL9R, NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2, GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya. Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN-γ, mast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19. Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai predisposisi terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 4 5q berperan dalam progresivitas inflamasi baik pada asma maupun atopi, yaitu gen yang mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13, dan GM-CSF. Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi. 11,13,14 Gambar 1. Mekanisme Patofisiologi Asma9 HETEROGENITAS ASMA BERAT Perkembangan asma berat sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor termasuk genetik, dan faktor lingkungan dan juga respon terhadap pengobatan. Penyakit ini merupakan suatu sindrom yang sangat bervariasi dan memiliki elemen yang beragam, namun juga memiliki kesamaan pada tingkat patofisiologi, termasuk di dalamnya adalah obstruksi jalan napas dan hiperesponsifitas bronkus. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif. Dengan pemahaman yang baik tentang fenotip asma secara imunologis maupun secara patologis akan meningkatkan kemampuan kita untuk memahami sindrom ini secara genetik sehingga dapat merancangkan suatu target terapi yang lebih baik terhadap penyakit asma ini. Heterogenitas asma ini digambarkan sebagai suatu fenotip dari asma. Fenotip didefinisikan sebagai karakteristik yang dapat diamati secara fisik, morfologi atau secara biokimia dari suatu individu. 5 Fenotip yang mucul merupakan hasil interaksi antara faktor genotip dan lingkungan. Fenotip asma berat dibagi atas fenotip usia saat onset dan fenotip inflamasi.15,16 a. Fenotip berdasarkan usia saat onset Terdapat perbedaan yang nyata antara asma yang didapat saat usia dini (childhood-onset) dibandingkan dengan asma yang didapat saat dewasa (adult-onset). Suatu penelitian membandingkan 50 pasien dengan asma berat dengan onset penyakit dari usia 12 dengan 30 pasien dengan onset pada usia dewasa dengan derajat asma yang sama. Didapatkan hasil bahwa pasien dengan onset usia dini memiliki kecenderungan lebih sensitif terhadap alergen dengan gejala alergi yang lebih menonjol. Pada penderita asma dengan onset pada usia dewasa, terdapat perburukan fungsi paru dibandingkan penderita dengan onset usia muda. Pada asma usia muda, memiliki pencetus alergi yang dapat diidentifikasi, selain penyakit alergi seperti rhinitis atau eczema atau riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Asma usia dewasa biasanya dikaitkan dengan penyakit respirasi eksaserbasi aspirin (aspirinexacerbated respiratory disease-AERD), infeksi kronis saluran napas akibat bakteri patogen, asma akibat kerja dan asma akibat inhalasi zat-zat iritan.15,16 b. Fenotip berdasarkan inflamasi Pada asma berat, sel-sel inflamasi biasanya ada dan aktif pada saluran napas dan tetap bertahan meskipun telah diberi pengobatan. Sel-sel ini termasuk diantaranya adalah eosinofil, neutrofil, limfosit T, sel mast, makrofag. Fenotip inflamasi pada asma berat dapat ditandai dengan infiltrasi eosinofil atau neutrofil yang persisten.15,16 1. Fenotip eosinofil Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa. IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil reaktivasi melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil 6 peroxidase dan mediator lipid. Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang sintesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblas. Adanya eosinofil mempresentasikan suatu asma berat yang ditandai dengan gejala simptomatis yang berat, FEV1 yang rendah, angka eksaserbasi yang tinggi dan mengancam jiwa. Akhir-akhir ini ada atau tidaknya eosinofil diaplikasikan juga pada asma berat berdasarkan usia saat onset. Eosinofil yang persisten terjadi lebih banyak pada asma onset dewasa dibanding asma onset muda, sekalipun kortikosteroid dosis tinggi telah digunakan.2,15,16 2. Fenotip Neutrofil Pada beberapa kasus, dimana tidak terdapat eosinofil, maka terjadilah peningkatan neutrofil. Namun peningkatan neutrofil tidak menandakan tidak adanya eosinofil. Peningkatan neutrofil dapat diamati pada sputum, bilasan lambung dan biopsi pada pasien dengan asma berat yang telah menggunakan kortikosteroid dosis tinggi inhalasi maupun oral. Peningkatan neutrofil, berhubungan dengan peningkatan matriks metaloprotease 9 (MMP-9) pada cairan bilasan maupun jaringan bronkoalveolar. Peningkatan MMP-9 sukar diinhibisi oleh kortikosteroid.2,15,16 PENGOBATAN ASMA BERAT Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabilitas APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/hari atau ekuivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari. Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi 7 yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/mulut. Sehingga tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.17,18 Steroid dependent asthma (asma yang tergantung steroid) Suatu kondisi asma kronik berat dapat terkontrol hanya bila ditambahkan steroid sistemik dalam pengobatan. Steroid sistemik yang dimaksudkan adalah steroid oral jangka panjang. Walau dalam pengamatan menunjukkan bahwa pada umumnya dengan pengobatan asma yang lazim, asma dapat terkontrol meskipun asma berat dan sulit, asalkan dilakukan penatalaksanaan asma yang benar, tepat dan komprehensif serta pemantauan dan pengawasan yang sesuai. 17,18 Seringkali penderita menggunakan steroid oral jangka panjang bukan disebabkan asma yang sulit terkontrol, akan tetapi disebabkan hal lain. Kondisi di bawah ini yang memungkinkan penderita menggunakan steroid oral jangka panjang, seperti:17,18 asma kronik berat terus menerus terpajan alergen merokok paduan penatalaksanaan asma jangka panjang yang tidak optimal, misal inhalasi steroid dosis terlalu rendah tidak sesuai berat asma menggunakan steroid oral untuk mengontrol asma, bukan steroid inhalasi sebagaimana seharusnya Pada kondisi penderita menggunakan steroid oral jangka panjang, sebaiknya diupayakan untuk meminimalkan kebutuhannya dan bila mungkin menghentikannya, dengan cara : 17 meminimalkan pajanan alergen/pencetus stop merokok optimalkan dosis steroid inhalasi sesuai berat penyakit 8 mulai kombinasi steroid & agonis beta-2 kerja lama, teofilin lepas lambat, antileukotrin/leukotrien modifiers, atau antiinflamasi lain (sodium kromoglikat, nedokromil) yakinkan penderita mematuhi pengobatan dengan benar pantau dan evaluasi secara hati-hati dan komprehensif bertahap turunkan dosis steroid oral tersebut Bila setelah melalui tahapan tesebut, upaya menurunkan steroid secara bertahap tidak berhasil, maka berikan pengobatan inhalasi steroid dosis maksimal kombinasi agonis beta -2 kerja lama dengan disertai antiinflamasi lainnya yang optimal, dengan pengawasan ketat terhadap efek samping. Bila tetap membutuhkan steroid oral walau telah dilakukan berbagai upaya tersebut, maka kondisi tersebut disebut asma yang tergantung dengan steroid. 17,18 Pada keadaan tergantung steroid dan telah terjadi efek samping steroid sistemik, maka pertimbangkan pemberian steroid sparing agent dengan maksud untuk mengurangi dosis steroid dengan tetap mengontrol asma. Sebelum memberikan obat tersebut pertimbangkan sungguhsungguh mengenai risiko-manfaat obat tersebut, risiko obat tersebut dibandingkan risiko steroid oral sendiri, biaya dan manfaat pemberian obat tersebut. 17 Obat-obat yang dikenal sebagai steroid sparing agents adalah : Metotreksat (MTX) Siklosporin (CSA) Gold (Auranofin) Troleandomisin (TAO) Imunoglobulin intravena (IVIG) Lain-lain yaitu hidroksiklorokuin, dapson, furosemid inhalasi dan MgSO4 Di Indonesia dengan mayoritas penduduk yang memiliki status sosio-ekonomi yang kurang baik, seringkali upaya mengganti steroid oral dengan inhalasi tidaklah mudah atau bahkan sangat sulit, hal itu disebabkan ketidakmampuan penderita membeli steroid inhalasi. Pada kondisi demikian, maka seringkali penderita mendapatkan steroid oral untuk mengontrol asma dengan tetap mengupayakan dosis steroid oral serendah mungkin dan seefektif mungkin dengan harapan asma terkontrol dengan efek samping seminimal mungkin. Penggunaan steroid oral pada kondisi tersebut adalah tidak termasuk dalam Steroid dependent asthma.17,18 9 Steroid resistance asthma (Asma yang resisten dengan steroid) Asma yang resisten steroid adalah suatu keadaan asma yang menunjukkan gagal respons pengobatan walau telah diberikan steroid oral sekalipun. Penting untuk diyakini sebelum mendiagnosis sebagai asma yang resisten steroid, yaitu apakah penderita benar memiliki asma, bagaimana kepatuhan pengobatan dan adakah masalah dengan absorbsi steroid oral. 17,18 Pengobatan steroid oral yang bagaimana dan respons pengobatan seperti apa yang diharapkan sampai penderita dinyatakan sebagai asma yang resisten steroid, hal itu yang masih kontroversial. Akan tetapi pada prinsipnya adalah pengobatan steroid oral dosis besar ( 20 mg/ hari) selama 10-14 hari, dengan harapan memberikan respons pengobatan yaitu meningkatnya VEP1 (idealnya diukur pagi hari sebelum pemberian bronkodilator) sebanyak > 15%. Bila setelah pemberian steroid oral tersebut, penderita gagal menunjukkan perbaikan VEP 1 > 15% dari nilai awal (baseline), maka dinyatakan sebagai asma yang resisten steroid. Berbagai kondisi dapat menyebabkan terjadi asma yang resisten steroid antara lain ada defek selular pada respons steroid.17,18 Penatalaksanaan asma yang resisten steroid adalah sama dengan asma yang tergantung dengan steroid yaitu mengupayakan penatalaksanaan seoptimal mungkin, dan bila perlu menggunakan obat imunosupresif sebagai antiinflamasi yaitu metotreksat atau siklosporin. 17,18 KESIMPULAN The 2007 National Asthma Education and Prevention Program’s Expert Panel Report 3, dalam tatalaksana untuk diagnosis dan manajemen asma, mendefinisikan asma sebagai suatu inflamasi kronik yang menyebabkan hiperesponsif jalan napas sehingga menimbulkan gejala episodik berulang yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Penyebab terjadinya hambatan aliran udara yang persisten pada asma masih belum diketahui, namun sebagian besar peneliti menganggap bahwa kegagalan fungsi paru ini berhubungan dengan proses inflamasi pada dinding saluran napas. Heterogenitas asma ini digambarkan sebagai suatu fenotip dari asma. Fenotip didefinisikan sebagai karakteristik yang dapat diamati secara fisik, morfologi atau secara 10 biokimia dari suatu individu. Fenotip yang mucul merupakan hasil interaksi antara faktor genotip dan lingkungan. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. DAFTAR PUSTAKA 11 1. Drazen JM, Silverman EK, Lee TH. Heterogeneity of therapeutic responses in asthma. Br Med Bull. 2000;56(4):1054-70. 2. Rovina N, Baraldo S, Saetta M. Severe Asthma : Inflammation. 2011. Available from : http://www.pneumon.org/assets/files/844/file425_184.pdf [Accessed on March 4 th 2016]. 3. Chung KF. International ERS/ATS Guidelines on Definition, Evaluation and Treatment of Severe Asthma. 2013. Available from : https://www.thoracic.org/statements/resources/allergy-asthma/severe-asthma-full.pdf [Accessed on March 4th 2016]. 4. King CS, Moores LK. Clinical Asthma Syndromes and Important Asthma Mimics. Respir Care. 2008;53(5):568-80. 5. Louis R. Severe asthma: how can we differentiate phenotypes? 2009. Available from : http://www.smw.ch/docs/PdfContent/smw-12365.pdf [Accessed on March 4 th 2016]. 6. Sally W. Severe Asthma in Adults. Am J Resp Crit Care Med. 2005; 172(2):149-60. 7. Hudoyo A. Penatalaksanaan Asma & PPOK Pada Orang Dewasa berdasarkan Pedoman GINA (Global Initiative for Asthma) & GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2014. Available from : http://www.rspondokindah.co.id/public/files/events/Dr.Ahu_SIMPOS_RSPI_10_05_201 4.pdf [Accessed on March 4th 2016]. 8. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013. 9. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. 2009. Available from : http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/buku_pedoman_asma.pdf [Accessed on March 4th 2016]. 10. Surjanto E, Purnomo J. Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis. 2008. Available from : http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Juli09/MEKANISME%20SELULER %20DALAM%20PATOGENESIS%20ASMA%20DAN%20RINITIS_OK.pdf [Accessed on March 4th 2016]. 11. Moore WC, Fitzpatrick AM, Li X, Hastie AT, Li H, Meyers DA, et al. Clinical Heterogeneity in the Severe Asthma Research Program. Ann Am Thorac Soc. 2013; Suppl:S118-24. 12 12. Koppelman GH, Meijer GG, Bleecker ER, Postma DS. The Genetics of Asthma. 2000. Available from : http://www.rug.nl/research/portal/files/14524430/c1.pdf [Accessed on March 4th 2016]. 13. Holgate ST, Polosa R. The mechanism, diagnosis and management of severe asthma in adults. Lancet. 2006:368:80-93. 14. Benayoun L, Druijhe A, Dombret MC, Aubier M, Petrolani M. Airway structural alterrations selectively associated with severe asthma. Am J Respir Crit Care Med. 2003:16:1360-8. 15. Campo P, Rodriguez F, Sanchez-Gracia S, et al. Phenotypes and endotypes of uncontrolled severe asthma: New Treatments. J Investig Allergol Clin Immunol 2013; 23(2):76-88. 16. Busse WW. Asthma diagnosis and treatment: Filling in the information gaps. 2011. Available from : https://xa.yimg.com/kq/groups/23515872/1167507371/name/Asthma+ diagnosis+and+treatment.+Filling+in+the+information.+JACI.+2011.pdf [Accessed on March 4th 2016]. 17. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus asma. Jakarta: PDPI; 2003. 18. Depkes RI. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. 2007. Available from : http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PC_ASMA.pdf [Accessed on March 4th 2016]. 13