Kegagalan Pasar Asuransi Kesehatan1

advertisement
Kegagalan Pasar Asuransi Kesehatan1
Hasbullah Thabrany
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Pendahuluan
Tahun 2002 mendatang negara-negara Asia Tenggara akan memulai
perdagangan bebas yang memungkinkan mudahnya aliran barang dan jasa
dari satu negara ke negara lain. Dengan perdagangan bebas, mekanisme pasar
akan bekerja lebih optimal, tanpa banyak proteksi dan campur tangan
pemerintah suatu negara. Reaksi masyarakat terhadap perdagangan bebas ini
bervariasi dari yang sangat mendukung dan yang menolak. Para penolak
gagasan ini pada umumnya khawatir akan ketidak-mampuannya sendiri
bersaing dengan pesaing baru dari negara yang lebih maju yang lebih
menguasai pasar. Para penolak tentu saja tidak berpikir dari sisi kepentingan
konsumen, akan tetapi dari kepentingan dirinya sendiri. Para pendukung
perdagangan bebas berharap bahwa perdagangan bebas akan memaksa para
pelaku pasar di dalam dan di luar negeri untuk bersaing sehingga konsumen
akan mendapat keuntungan yang besar.
Suatu mekanisme pasar dapat dikatakan suatu mekanisme alamiah
dimana pelaku ekonomi, pembeli dan penjual, dapat bebas bergerak sesuai
dengan kapasitasnya masing-masing. Peningkatan kapasitas pembeli (demand)
tanpa adanya peningkatan kapasitas penjual (supply) menyebabkan harga naik
untuk mutu yang sama. Sebaliknya peningkatan suplai barang tanpa adanya
peningkatan demand akan menyebabkan barang turun. Mekanisme tersebut
adalah mekanisme yang sangat lazim terjadi pada pasar. Hasil (outcome) dari
mekanisme ini adalah tercapainya efisiensi. Semakin tinggi tingkat persaingan,
1
Disampaikan pada Seminar Nasional Asuransi Sosial Kesehatan yang
diselenggarakan oleh PAMJAKI, Hotel Kartika Chandar, Jakarta, 21 Maret 2000
peningkatan suplai, semakin rendah harga suatu barang dan jasa, dan
sebaliknya. Jadi konsumen akan diuntungkan. Akan tetapi di dalam pelayanan
kesehatan2, keluaran persaingan yang menghasilkan efisiensi tinggi ini selalu
dipertanyakan. Apakah benar dengan mekanisme pasar, pelayanan kesehatan
akan lebih murah dan lebih berkualitas? Suatu barang atau jasa pelayanan
kesehatan dapat saja tidak lebih murah akan tetapi kualitasnya lebih baik, dus
terjadi efisiensi juga. Selain efisiensi yang merupakan keluaran umum yang
diharapkan dari suatu mekanisme pasar, di dalam pelayanan kesehatan
seringkali dipertanyakan aspek equity (pemerataan) dari mekanisme pasar.
Aspek equity sangat terkait dengan golongan ekonomi atau distribusi
pendapatan. Dalam sektor jasa, salon kecantikan misalnya, para ahli ekonomi
dan kebijakan publik tidak perlu mengkhawatirkan aspek pemerataan. Orang
miskin tidak sanggup ke salon, tidak perduli apakah pasar jasa salon
kecantikan itu efisien atau tidak, tidak menjadi soal. Pemerintah tidak pernah
ikut campur untuk menurunkan atau mengatur tarif salon kecantikan. Biarlah
mekanisme pasar yang bekerja. Akan tetapi dalam pasar bahan makanan
pokok misalnya beras, para ahli tentu sangat peduli jika harga beras terlalu
tinggi sehingga golongan tidak mampu mungkin dapat menjadi kelaparan. Oleh
karenanya seringkali pemerintah melakukan intervensi dengan menjual barang
di bawah harga pasar atau memberikan subsidi khusus kepada orang miskin.
Kali ini kita akan membahas bagaimana mekanisme pasar mampu
mencapai efisiensi dan pemerataan di dalam pelayanan kesehatan. Seperti dua
contoh diatas, salon kecantikan dan dan beras, perlakuan pemerintah sangat
berbeda. Perbedaan perlakuan tersebut, dimana untuk pasar jasa kecantikan
pemerintah tidak melakukan intervensi apapun dan untuk pasar beras
pemerintah turun tangan, intervensi pemerintah sangat bergantung kepada
jenis produk atau jasa yang dijual. Oleh karenanya, kita akan memulai
pembahasan kita pada pengenalan produk (barang atau jasa) dalam pelayanan
kesehatan.
2
Pelayanan kesehatan disini adalah berbagai lingkup pelayanan kesehatan mulai dari
promotif sampai rehabilitatif, termasuk obat dan alat medis.
Kegagalan Askes
2
H. Thabrany
Karakteristik Pelayanan Kesehatan dan Responnya
Dibandingkan dengan kebutuhan hidup manusia yang lain kebutuhan
pelayanan kesehatan mempunyai tiga ciri utama yang unik uncertainty,
asymetri of information, dan externality (Evans, 1984)1. Menurut Evans, ketiga
ciri utama tersebut menurunkan berbagai ciri lain yang menyebabkan
pelayanan kesehatan sangat unik dibandingkan dengan produk atau jasa
lainnya. Keunikan yang tidak diperoleh pada komoditas lain inilah yang
mengharuskan kita membedakan perlakuan atau intervensi pemerintah.
Uncertainty
Uncertainty atau ketidakpastian menunjukkan bahwa kebutuhan akan
pelayanan kesehatan tidak bisa dipastikan, baik waktunya, tempatnya,
maupun besarnya biaya yang dibutuhkan. Sifat inilah yang menyebabkan
timbulnya respons penyelenggaran mekanisme asuransi di dalam pelayanan
kesehatan. Mekanisme asuransi yang mentrasfer dan menghimpun (pool)
risiko perorangan/ kelompok kecil menjadi risiko kelompok besar merupakan
solusi yang paling tepat terhadap ciri ini. Dengan membagi risiko itu kepada
kelompok
(dengan
membayar
premi)
maka
risiko
tiap
orang
menjadi
kecil/ringan, karena dipikul bersama. Phelps (1992)2 juga mengemukakan sifat
ini yang mendasari mekanisme asuransi kesehatan. Ciri ini pula yang
mengundang mekanisme derma di dalam masyarakat tradisional dan modern.
Karena pada akhirnya ciri ini menurunkan keunikan lain yang menyangkut
aspek peri kemanusiaan (humanitarian) dan etika. Rapoport (1982)3 juga
menambahkan
bahwa
semua
pelayanan
kedokteran
untuk
memenuhi
kebutuhan yang tidak pasti tersebut mengandung uncertainty atau risiko.
Dengan ketidak-pastian ini, sulit bagi seseorang untuk menganggarkan
biaya untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatannya. Penduduk
yang
penghasilannya
rendah
tidak
mampu
menyisihkan
sebagian
penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan yang tidak diketahui datangnya.
Bahkan penduduk yang relatif berpendapatan memadai sekalipun, seringkali
tidak sanggup memenuhi kecukupan biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi
Kegagalan Askes
3
H. Thabrany
kebutuhan medisnya. Maka dalam hal ini, seseorang yang tidak miskin di
Indonesia dapat menjadi miskin atau bangkrut manakala ia menderita suatu
penyakit atau mengalami kecelakaan yang berat (medically poor). Karena
penyakit atau kecelakaan dapat menjadi berat sementara teknologi kedokteran
telah mampu menjawab tetapi dana tidak memadai, maka ciri ini dapat
menimbulkan masalah etika yang berat. Nilai-nilai kemanusiaan masyarakat
madani tidak bisa menerima jika seseorang yang mengalami sakit atau
kecelakaan yang bersifat acak/random atau tidak pasti ini dibiarkan begitu
saja tanpa usa derma atau jaminan dari pihak ketiga. Bagi kita masyarakat
Indonesia, perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab terhadap
ciri uncertainty ini sangat belum memadai.
Asymetry of information
Sifat kedua, asymetry of information menunjukkan bahwa konsumen
pelayanan kesehatan berada pada posisi yang lebih lemah sedangkan provider
(dokter, dll) mengetahui jauh lebih banyak tentang manfaat dan kualitas
pelayanan yang "dijualnya". Ciri ini juga dikemukan oleh para ahli ekonomi
kesehatan lain seperti Feldstein, Jacos, Rapoport, dan Phelps.
Dalam dua
contoh diatas, jasa kecantikan dan beras, sifat asimetri hampir tidak tampak.
Konsumen tahu (mudah tahu) berapa harga pasar, apa manfaat yang
dinikmatinya, bagaimana kualitas berbagai layanan dan beras, dan seberapa
besar kebutuhnya. Dalam pelayanan kesehatan, misalnya kasus ekstrim
pembedahan, pasien hampir tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui
apakah ia membutuhkan pelayanan tersebut atau tidak. Kondisi ini sering
dikenal dengan consumer ignorance atau konsumen yang bodoh. Jangankan ia
mengetahui berapa harga dan berapa banyak yang diperlukan, mengetahui
apakah ia memerlukan tindakan bedah saja tidak sanggup dikuasainya,
meskipun si pasien mungkin seorang profesor.
Dapat dibayangkan bahwa jika si provider atau penjual memaksimalkan
laba dan tidak mempunyai integritas yang kuat terhadap norma-norma agama
dan sosial, sangat dengan mudah terjadi abuse atau moral hazard yang dapat
dilakukan provider. Suatu ketika saya mengunjungi rekan yang melahirkan
Kegagalan Askes
4
H. Thabrany
anaknya dengan bedah sesar di satu rumah bersalin di Jakarta. Iseng-iseng
saya berbincang-bincang dengan pasien yang lain. Ternyata semua pasien di
suatu lantai yang mendapat operasi menjawab bahwa telah terjadi lilitan tali
pusat sehingga mereka harus menjalani operasi sesar. Baru-baru ini, istri
seorang staf melahirkan anaknya di rumah bersalin yang sama juga harus
menjalani operasi sesar karena lilitan tali pusat. Ketika saya tanyakan
mengapa ia tidak minta pendapat dokter yang lain; dijawabnya bahwa dokter
meminta keputusan waktu itu juga, tidak bisa ditunda. Biaya operasi sesar
yang Rp 6 juta tentu menjadi sangat berat bagi pegawai yang hanya
berpenghasilan Rp 1,5 juta. Rupanya musim lilitan tali pusat belum reda disini.
Beberapa minggu yang lalu seorang dosen sosiologi menyampaikan keluhan
kepada saya tentang biaya rawat inap ibunya yang terkena demam berdarah
dan mendapat tagihan Rp 8,3 juta. Dalam tagihan itu terdapat empat
kunjungan
spesialis
per
hari,
ada
pemeriksaan
MRI,
dan
beberapa
pemeriksaan lab yang mencapai Rp 400 ribu per kali. Sifat asimetri ini
memudahkan timbulnya supply induce demand atau demand creation yang
menyebabkan keseimbangan pasar tidak bisa tercapai di dalam pelayanan
kesehatan. Maka jangan heran jika di dalam pelayanan kesehatan supply
meningkat tidak menurunkan harga dan kualitas. Yang terjadi justeru
sebaliknya,
yaitu
peningkatan
harga
dan
penurunan
kualitas
(pemeriksaan/tindakan yang tidak perlu).
Perbedaan yang sangat unik ini menyebabkan demand pelayanan
kesehatan ditentukan oleh penjual bukan oleh pembeli atau konsumen.
Sementara dalam pasar yang normal, konsumenlah yang menentukan jenis
barang atau jasa dan jumlah yang dibelinya. Jadi kekuatan (power) terletak
pada konsumen atau pembeli dan oleh karenanya konsumen menjadi raja. Di
dalam pelayanan kesehatan, sebaliknya, provider-lah yang memunyai power
dan menjadi raja sementara pasien menjadi budaknya. Oleh karena itu, apa
yang akan terjadi sangat tergantung dari sifat provider. Provider yang memiliki
hati nurani (raja yang adil dan berbudi luhur) yang tinggi akan menjadi dewa
penolong bagi pasien. Akan tetapi provider yang lalim dapat menjadi perampok
kerah putih bagi pasiennya. Akan tetapi pasien sering salah menangkap sinyal
Kegagalan Askes
5
H. Thabrany
sehingga provider yang lalim bisa diberi penghargaan sebagai raja yang adil.
Konsumen individu mudah menjadi "mangsa" provider.
Sebagai respons
institutional dari ciri ini adalah pengaturan, pengendalian dan pemantauan
dari pemerintah atau organisasi profesi. Itulah sebabnya, kode etik kedokteran
diatur dengan ketat di berbagai negara. Bahkan banyak negara yang
menjadikan pelanggaran etika sebagai pelanggaran hukum, untuk bisa
menindak tegas para “raja” yang lalim.
Menydari
adanya
ketidak
seimbangan
informasi,
maka
praktek
kedokteran dan kesehatan di negara manapun memerlukan lisensi khusus.
Tujuannya adalah untuk melindungi pasien dari pelayanan yang tidak
berkualitas atau yang dapat membodohi pasiennya. Akibat dari keharusan
lisensi ini maka terjadi entry barier yang membatasi masuknya supply. Hal ini
menyebabkan kesimbangan pasar semakin tidak bisa terjadi. Di Indonesia
misalnya, banyak orang yang sudah menuduh bahwa perhimpunan dokter
spesialis sengaja menghambat jumlah dokter spesialis untuk mengurangi
persaingan. Prilaku monopolistik ini juga dilontarkan banyak kritikus pelaynan
kesehatan di berbagai negara lain. Di Indonesia, pembiayaan obat mencapai
sekitar 40% dari total pembiayaan kesehatan. Karena yang menentukan obat
yang perlu dibeli pasien adalah dokter dan pasien tidak memiliki kemampuan
memilih, maka kolusi antara perusahaan obat dengan dokter sangat mudah
terjadi dan sudah banyak terjadi. Hal ini tambah memberatkan beban pasien.
Menyebarnya rumah sakit, baik yang jelas-jelas mencari laba maupun yang
bertameng yayasan tetapi mencari laba, bahkan rumah sakit pemerintah
swadana (dan yang akan menjadi Perusahaan Jawatan) akan menambah lagi
pelakuk kolusi yaitu rumah sakit. Maka posisi pasien semakin terpojok dan
terkroyok.
Externality
Externality menunjukkan bahwa konsumsi pelayanan kesehatan tidak
saja mempengaruhi "pembeli" tetapi juga bukan pembeli. Demikian juga risiko
kebutuhan pelayanan kesehatan tidak saja mengenai diri pembeli. Contohnya
adalah konsumsi rokok yang mempunyai risiko lebih besar pada yang bukan
Kegagalan Askes
6
H. Thabrany
perokok.
Akibat dari ciri ini, pelayanan kesehatan membutuhkan subsidi
dalam berbagai bentuknya. Oleh karenanya, pembiayaan pelayanan kesehatan
tidak saja menjadi tanggung jawab diri sendiri, akan tetapi perlunya digalang
tanggung jawab bersama (publik). Ciri unik tersebut juga dikemukan oleh
beberapa ahli ekonomi kesehatan seperti Feldstein (1993)4 dan Rappaport
(1982)5.
Selain itu, pelayanan kesehatan mempunyai aspek sosial yang rumit
dipecahkan sendiri oleh bidang kedokteran atau ekonomi. Bidang kedokteran
tidak bisa membiarkan keadaan seseorang yang memerlukan bantuan medis
tetapi teknologinya atau biayanya belum tersedia. Kita, dokter, tidak bisa memperlakukan pasien sebagai komputer yang jika salah satu komponennya tidak
berfungsi dapat dimusnahkan saja, jika teknologi untuk memfungsikannya
sulit atau mahal. Dokter berusaha mencari teknologi baru untuk memecahkan
masalah klinik yang tidak pernah tuntas. Teknologi baru tersebut menuntut
penelitian longitudinal dan biaya besar.
Akibatnya, teknologi baru menjadi
mahal. Hal ini berdampak pada aspek ekonomi, dimana teknologi kedokteran
dapat mengatasi keadaan pasien, akan tetapi biaya untuk itu sering tidak
tejangkau oleh kebanyakan orang.
Karena manusia memberikan nilai yang
sangat tinggi akan kehidupan dan kesehatan, maka seringkali timbul dilema
besar yang menyangkut kelangsungan hidup seseorang hanya karena faktor
biaya. Karena secara sosial kita tidak bisa melakukan pertimbangan biaya dan
efisiensi maka harus ada suatu mekanisme yang mampu memecahkan
pembiayaan pelayanan bedah, diagnostik canggih, pelayanan gawat dararat,
dan pelayanan intensif lain yang mahal.
Kegagalan Asuransi Kesehatan Komersial/swasta
Karena sifat unvertainty mengundang usaha asuransi, maka kini banyak
pemain baru. Kolusi antara dokter-rumah sakit dan perusahaan farmasi
menyebabkan harga pelayanan kesehatan terus semakin mahal. Risiko sakit
perorangan semakin mahal, maka demand baru terbentuk; membeli asuransi
Kegagalan Askes
7
H. Thabrany
kesehatan. Bagaimana pentaripan asuransi? Tidak bisa dilepaskan dari harga
harga dokter, rumah sakit, obat, laboratorium, dan alat-alat medis lainnya.
Bisakan asuransi mendapatkan harga yang pantas (fair)? Sulit! Meskipun
perusahaan asuransi/bapel JPKM dapat memperoleh harga yang lebih murah,
mereka juga punya interes untuk mendaptkan untung. Sementara provider
masih tetap memiliki market power yang kuat. Tidak banyak pilihan bagi
perusahaan
asuransi,
kecuali
mengeruk
keuntungannya
dari
pihak
pasien/konsumen. Tentu saja sebagai perantara perusahaan asuransi/bapel
JPKM akan mencari untung dari kedua pihak, pihak peserta/pemegang polis
dan
pihak
provider.
Maka
kini,
seorang
pasien/konsumen/peserta
mendapatkan pelaku baru yang juga melirik kantong mereka.
Akankah konsumen mampu untuk memilih produk asuransi dan harga
sesuai kebutuhanya? Hampir tidak mungkin! Karena disini juga terjadi
informasi asimetri. Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko dirinya dan
hampir tidak mungkin mengetahui apakah harga premi yang dibelinya pantas,
terlalu
murah,
atau
terlalu
mahal.
Sementara
penjual
(perusahaan
asuransi/bapel JPKM) dapat menciptakan produk dan cara pamasaran yang
menakutkan sehingga konsumen, jika ia mempunyai kemampuan keuangan,
memilih untuk membeli. Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu?
Sejauh pasar belum jenuh, asuradur akan memusatkan pada perhatian
kepada pasar yang mampu membeli dan profitable. Karena dalam pasar
asuransi (swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi atas dasar risiko
yang akan ditanggung (paket jaminan), risk based premium, maka besarnya
premi tidak dapat disesuaikan dengan kemampuan membeli seseorang. Maka
sudah dapat dipastikan bahwa penduduk yang miskin tidak akan mampu
membeli
premi.
Oleh
karenanya,
asuransi
kesehatan
swasta/sukarela/komersial tidak akan mampu mencakup seluruh penduduk.
Keinginan
mencakup
seluruh
penduduk
dengna
mekanisme
asuransi
kesehatan swasta hanyalah sebuah impian belaka. Hal ini dapat dibuktikan di
Amerika, yang menghabiskan lebih dari US$ 4.000 per kapita per tahun (tahun
2000 ini diperkirakan Amerika menghabiskan US$ 1,8 triliun), akan tetapi
lebih dari 40 juta penduduknya (16%) tidak memiliki asuransi (HIAA, 1999)6.
Kegagalan Askes
8
H. Thabrany
Dengan terbatasnya pasar dan persaingan yang tinggi, volume penjualan
tidak bisa mencapai jumlah yang besar. Persaingan antara asuradur akan
memaksa asuradur membuat produk spesifik yang juga menyebabkan pool
tidak optimal untuk mencakup berbagai pelayanan. Persaingan menjual
produk spesifik dan volume penjualan untuk masing-masing produk yang
relatif kecil menyebabkan contigency dan profit margin yang relatif besar.
Perusahaan asuransi Amerika menghabiskan rata-rata 12% faktor loading
(biaya operasional, laba, dan berbagai biaya non medis lainnya) (Shalala dan
Reinhart, 1999). Departemen Kesehatan membolehkan bapel menarik biaya
loading sampai 30%.7 Asuradur swasta di Indonesia memiliki rasio klaim yang
bervariasi antara 40-70%, tergantung jenis produknya, sehingga menyebabkan
biaya tambahan bagi konsumen sebesar 30-60%. Jadi berbagai skenario dan
fakta yang terjadi, sudah dapat dipastikan bahwa asuransi kesehatan swasta
tidak bisa menurunkan biaya pelayanan kesehatan dan tidak mampu
mencakup seluruh penduduk.
Jelaslah
ketergantungan
pada
sistem
asuransi
kesehatan
swasta/komersial (termasuk disini sistem JPKM yang sekarang berlaku) gagal
menciptakan cakupan universal dan mencapai efisiensi makro. Trade off antara
risk pooling dan biaya yang ditanggung konsumen tidak seimbang. Sementara
itu, hampir semua negara menginginkan cakupan universal. Oleh karenanya,
jika kedua komponen tujuan, universal dan efisensi makro, ingin dicapai;
maka membuat asuransi kesehatan swasta/komersial akan gagal mencapai
tujuan tersebut.
Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak
asasi manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak
dasar penduduk (fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan
hak dasar ini pemerintah mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu
mencakup seluruh penduduk (universal) secara adil dan merata (equity).
Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta masyarakat
dalam pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu
undang-undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh
negara atau oleh sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh
Kegagalan Askes
9
H. Thabrany
undang-undang.
Penyelenggara
pembiayaan
publik
dapat
suatu
badan
pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba. Penyediaan kesehatan
publik
adalah
penyediaan
rumah
sakit,
klinik,
pusat
kesehatan,
dan
sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara
otonom (terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom.
Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan
atau penyediaan oleh publik (public not for profit enterprise) memungkinkan
terselenggaranya cakupan universal dan pemerataan yang adil. Penempatan
kesehatan sebagai hak asasi tidak selalu berarti bahwa pemerintah harus
menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-cuma. Di Indonesia, banyak
orang mengkhawatirkan penempatan kesehatan sebagai hak asasi akan
menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat.
Pada hakikatnya,
pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh pemerintah
bersama swasta yang secara umum dapat dilihat dari gambar-1 .
Gambar-1.
Matriks Pembiaayan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan
Pembiayaan
Penyediaan
Publik
Publik
Swasta
Inggris
Indonesia dan negara
berkembang lainnya
Swasta
Kanada, Jerman, Jepang Amerika
dan Taiwan
* Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan
kepada sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah,
sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).
Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat
sosial atau nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiyaan dari
penerimaan pajak (general tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan
pembiayaan melalui asuransi sosial seperti yang dilakukan Kanada, Taiwan,
Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan memberlakukan sistem monopoli
Kegagalan Askes
10
H. Thabrany
Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu badan penyelenggara,
yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara Jerman dan
Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan
banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba.
Di Indonesia, pengertian asuransi sosial sangat sering disalah artikan
dengan
pengertian
derma
atau
pelayanan
cuma-cuma.
Sementara
penyelenggaraan asuransi sosial kesehatan yang sudah ada, program JPK
PNS/Askes dan program JPK Jamsostek, diselenggarakan oleh perusahaan
publik yang berbentuk badan hukum berorientasi laba (Persero). Hal ini
menyebabkan
semakin
kecaunya
pemahaman
asuransi
sosial.
Distorsi
pemahaman ini menyebabkan sulitnya usaha-usaha mengusahakan suatu
sistem asuransi sosial yang konsisten.
Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh
pemerintah yang melindungi golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan
yang merata (equity). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu asuransi
sosial haruslah didasari pada suatu undang-undang dengan pembayaran
premi dan paket jaminan yang memungkinkan terjadinya pemerataan. Dalam
penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri (a) kepesertaan wajib
bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi ditetapkan oleh
undang-undang, umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c)
paketnya ditetapkan sama untuk semua golongan pendapatan, yang biasanya
sesuai dengan kebutuhan medis (Thabrany, 1999)8. Dengan mekanisme ini,
maka dimungkinkan tercapainya keadilan sosial yang egaliter.
Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan dalam
mencapai efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan
produk, pemasaran, dan pencapaian skala ekonomi yang optimal. Taiwan
misalnya hanya menghabiskan kurang dari 3% premi untuk biaya administrasi
(Depkes Taiwan, 1997)9. Program Medicare di Amerika hanya menghabiskan
biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi komersial swasta di
Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt, 1999)10
Kegagalan Askes
11
H. Thabrany
Asuransi Sosial Kesehatan di Berbagai Negara dan
Berbagai Indikator Makro Kesehatan
Seperti telah disampaikan diatas, negara-negara yang lebih konsisten
mencari cakupan universal dan efisiensi makro (biaya kesehatan nasional yang
rendah) tidak menggantungkan sistemnya pada asuransi kesehatan swasta,
baik dalam bentuk tradisional-indemnitas maupun dalam bentuk managed
care (HMO, PPO, maupun POS). Tentu saja argumen teoritis yang dikemukan
diatas tidak cukup meyakinkan tanpa adanya data empirik. Data empirik yang
menyajikan cakupan universal dan efisiensi makro saja, juga tidak cukup
meyakinkan manfaat asuransi sosial kesehatan (ASK). Oleh karena itu kita
harus juga melihat indikator outcome (keluaran) secara makro. Tujuan
cakupan universal dan efisiensi saja tidak memadai jika pelayanan yang
diberikan tidak cukup berkualitas. Untuk menentukan pelayanan yang
berkualitas, antara lain, kita bisa melihatnya dari keluaran yaitu status
kesehatan. pengukuran status kesehatan yang lazim digunakan adalah angka
kematian bayi dan umur harapan hidup. Memang kedua indikator ini tidak
hanya dipengaruhi oleh sistem kesehatan, akan tetapi berbagai analisis
menunjukkan bahwa sistem tersebut mempunyai korelasi yang kuat terhadap
keluaran status kesehatan. Dalam Tabel-1 disajikan perbandingan data
empirik yang di olah dari karya Anderson dan Paullier, 199911.
Tabel 1
Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di
berbagai negara maju.
Negara
Askes
dominan
Amerika
Australia
Austria
Belanda
Komers
Sosial
Sosial
Sosial
Kegagalan Askes
%
penddk
dijamin
ASK
33,3
100
99
72
Biaya RI
per hari
(US$),
1996
1.128
242
109
225
12
Biaya Kes
per kapita
(US$),
1997
3.925
1.805
1.793
1.838
IMR,
1996
7,8
5,8
5,1
5,2
LE,
wnt/pria,
1996
79,4/72,7
81,1/75,2
80,2/73,9
80,4/74,7
H. Thabrany
Belgia
Ceko
Denmark
Finlandia
Inggris
Islandia
Itali
Jepang
Jerman
Kanada
Korea
Luksemberg
Norwegia
Perancis
Portugal
Selandia
Baru
Spanyol
Turki
Yunani
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Negara,
NHS
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Nasional
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Sosial
Nasional
Sosial
Sosial
Sosial
99
100
100
100
100
263
75
632
168
320
1.747
904
1.848
1.447
1.347
6,0
6,0
5,2
4,0
6,1
81,0/74,3
77,2/70,5
78,0/72,8
80,5/73,0
79,3/74,4
100
100
100
92,2
100
192
339
83
228
489
2.005
1.589
1.741
2.339
2.095
5,5
5,8
3,8
5,0
6,0
80,6/76,2
81,3/74,9
83,6/77,0
79,9/73,6
81,5/75,4
100
100
100
99,5
100
100
110
180
123
284
249
254
587
2.340
1.814
2.051
1.125
1.352
9,0
4,9
4,0
4,9
6,9
7,4
77,4/69,5
80,0/73,0
81,1/75,4
82,0/74,1
78,5/71,2
79,8/74,3
99,8
66
100
343
73
144
1.168
260
974
5,0
42,2
7,3
81,6/74,4
70,5/65,9
80,4/75,1
Catatan: RI= rawat inap, IMR=infant mortality rate, LE=life expectancy.
Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa Amerika yang merupakan
satu-satunya negara maju yang menggantungkan sistem asuransinya pada
asuransi komersial mempunyai kinerja keuangan yang sangat mahal, hampir
dua kali biaya termahal di negara lain, dan lebih dari dua kali dari biaya
kesehatan di Jepang dan Jerman yang sama-sama memiliki banyak badan
penyelenggara asuransi kesehatan. Bahkan biaya rawat inap perhari di
Amerika mencapai 5-10 kali lebih mahal dibandingkan negara-negara maju
lainnya yang memiliki pendapatan per kapita yang tidak jauh berbeda. Jika
dilihat cakupan asuransinya, Amerika masih memiliki 17% penduduk (43 juta
jiwa) yang tidak mempunyai jaminan (uninsured). Sementara indikator makro
kesehatan, IMR dan LE, tidak menjunjukan status yang lebih baik dari banyak
negara atau dari tetangganya Kanada.
Data diatas menunjukkan angka-angka cross sectional yang dapat
menunjukkan bias waktu. Apakah tingginya biaya kesehatan di Amerika
Kegagalan Askes
13
H. Thabrany
konsisten dari waktu ke waktu? Berbagai literatur ekonomi kesehatan
menunjukkan konsistensi tersebut. Tentu saja, kita tidak bisa membandingkan
angka-angka nilai nominal dolar tersebut dengan keadaan di Indonesia. Negara
yang kaya memang akan mengeluarkan biaya besar karena memang biaya
hidup tinggi. Suatu ukuran yang dapat memantau beban finansial adalah
besarnya biaya kesehatan dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB).
Perkembangan persentase biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara
OECD, 1970-1997 telah dilakukan oleh Ikegami dan Campbell (1999)12. Hasil
penelitian tersebut disajikan pada Gambar-2.
Penelitian kedua orang tersebut menunjukkan bahwa Amerika secara
konsisten menghabiskan biaya kesehatan sebagai prosentasi terhadap PDB
yang terus meningkat tak terkendali. Dibandingkan dengan Jepang dan Inggris
yang memiliki sistem pembiyaan dan penyediaan kesehatan yang terkendali
(bukan managed care) ternyata Amerika menghabiskan jauh lebih besar, baik
dalam nilai nominal dolar maupun dalam prosentase terhadap PDB. Dari enam
negara
yang
dibandingkan,
hanya
Amerikalah
yang
menggantungkan
pembiayaan kesehatan yang dominan kepada mekanisme pasar asuransi
kesehatan komersial/swasta, termasuk berbagai bentuk managed care seperti
HMO, PPO, dan POS.
Kegagalan Askes
14
H. Thabrany
Gambar-2
Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam Negara Maju, 1970-1997
16
Amerika
Kanada
Jepang
14
Jerman
Perancis
Inggris
12
10
8
6
4
2
0
1970
1975
1980
1985
1990
1997
Kesimpulan
Asuransi kesehatan memang merupakan respons institusional yang
paling rasional terhadap sifat uncertainty kebutuhan pelayanan kesehatan yang
semakin mahal. Akan tetapi karena lebarnya informasi asimetri pada
pelayanan kesehatan dan pada produk asuransi kesehatan, mekanisme
asuransi kesehatan yang dilepas kepada mekanisme pasar akan gagal
mencapai tujuan pasar yaitu efisiensi dan equity. Kegagalan pasar asuransi
kesehatan komersial ini akan semakin berat apabila sistem penyediaan
pelayanan kesehatan juga dilepaskan kepada mekanisme pasar. Karena
kuatnya posisi penyedia pelayanan dan asuradur, maka berbagai bentuk kolusi
akan sangat mudah terjadi sementara konsumen tetap tidak memiliki
kekuatan yang memadai untuk menilai kebutuhan dirinya dan harga yang
pantas yang harus dibayar. Pengalaman berbagai negara yang telah mencapai
Kegagalan Askes
15
H. Thabrany
cakupan
universal
melalui
penyelenggaraan
asuransi
sosial
kesehatan
menunjukkan bahwa biaya yang dapat dihemat negara-negara tersebut sangat
besar dibandingkan dengan Amerika, yang menggantungkan pada mekanisme
asuransi kesehatan komersial. Kebijakan JPKM di Indonesia yang mengarah
kepada penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial sangat perlu ditinjau
kembali sebelum kegawatan dalam pembiayaan kesehatan mencapai keadaan
darurat.
DAFTAR BACAAN
1
Evans, R. G. The Strained Mercy. The Economics of Canadian Health Care, Butterworths,
Toronto, Canada, 1984.
2
Phelps, C. E. Health Economics. Harper Collns, New York, NY, 1992. Hal 282.
3
Rapoport, J. Understanding Health Economics. Aspen Publication, rockville, MD.
1982. Hal 102
4
Feldstein, P. J. Health Care Economics. Delmar Publisher, Inc., Albany, New York,
1993. Hal 456-63
5
Rapoport, J. Understanding Health Economics. Aspen Publication, rockville, MD.
1982. Hal 27-33
6
Health Insurance Association of America (HIAA). Source Book of Health Insurance
Data. HIAA, Wahington D.C., 1999.
7
Depkes RI. Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta, 1995.
8
Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia, Jakarta, 1999.
9
Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997
10
Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care System from
Within: Candid Talk from HHS. Health Affairs 18(3): 47-55, 1999
11
Anderson, GF. And Paullier, JP. Health Spending, Access, and Outcomes: Trends in
Industrialized Countries. Health Affairs, 18(3):178-192
12
Ikegami, N dan Campbell, JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling
Trhough. Health Affairs 18(3):56-75.
Kegagalan Askes
16
H. Thabrany
Download