MASA IDDAH WANITA HAMIL YANG DITINGGAL WAFAT SUAMINYA MENURUT FATWA ALI BIN ABI THOLIB DAN ABDULLAH BIN MAS’UD Oleh ROSIDIN, S.Ag. M. Pd.I* A. Latar Belakang Perkawinan dalam agama Islam dipandang sebagai sesuatu yang suci dan mulia. Manusia seharusnya menjalankan perintah perkawinan yang suci dan mulia itu dengan baik dan benar. Suatu perkawinan dalam Islam dipandang sempurna apabila suami istri mampu membentuk kehidupan rumah tangga yang harmonis, bahagia dan sejahtera baik lahir maupun batin atau dengan kata lain dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah sebagaimana tersirat dalam al Quran dalam surat ar Ruum ayat 21, yaitu : ۡ ّ ِ ﻟﻜﻢ ۡ ِ َ ُ َ ﺧﻠﻖ ٗ وﺟﻌﻞ َ ۡﺑﯿﻨ َُﻜﻢ ﱠ َ ﱠ ﻣﻮدة َ َ َ ءاﯾﺘﮫۦ َ ۡأن َ َ َ َ إﻟﯿﮭﺎ ٗ َ ٰ ۡ َ أﻧﻔﺴﻜﻢ ٓ ِ ِ َ ٰ َ وﻣﻦ ۡ ُ ِ ُ َ ﻣﻦ َ ۡ َ ِ ْﻟﺘﺴﻜﻨﻮا ٓ ُ ُ ۡ َ ّ ِ أزوﺟﺎ ۚ ۡ ورﺣﻤﺔً ِ ﱠ ٢١ ﯾﺘﻔﻜﺮون َ ُ ﻟﻘﻮم َ َ َ ﱠ َ ِ َ ٰ إن ِﻓﻲ ٖ َ ٰ ٓ َ ذﻟﻚ ٖ ۡ َ ّ ِ ﻷﯾﺖ َ َ َ Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". Ayat tersebut di atas sangat relevan dengan tujuan perkawinan yang menyebutkan bahwa tujuan sebuah perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Selain itu perkawinan merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu keturunan, karena orang tua memandang anak sebagai penerus generasi dan sebagai perlindungan dirinya pada saat usia mulai tua. Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina, begitu pula tumbuhan-tumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar semua makhluk hidup berpasang-pasangan, rukun dan damai, sehingga akan tercipta suatu kehidupan yang tenteram, teratur dan sejahtera. Agar makhluk hidup dan kehidupan di dunia ini tetap lestari, maka harus ada keturunan yang akan menjadi generasi penerus yang akan melangsungkan dan melanjutkan jalannya roda kehidupan di bumi ini. Untuk itu harus ada pengembangbiakan yaitu dengan mengawinkan pasangan dari makhluk yang berlainan jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Allah tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti naluri dan berhubungan antara laki-laki dan perempuan secara anarkhis dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabatnya, sehingga hubungan * Penghulu Pertama pada KUA Kecamatam Way Halim Kota Bandar Lampung 2 antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridho meridhoi, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya sebuah pernikahan dan dengan dihadiri oleh para saksi kedua belah pihak. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan dan merupakan cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan yaitu suatu keluarga yang penuh dengan ketenangan, ketenteraman dan kedamaian sebagaimana dimaksud dengan kata mawadah warahmat. Dalam perkawinan apabila sangat terpaksa boleh melakukan talak atau cerai dengan berbagai latar belakang alasan, walaupun Allah SWT sangat membenci perbuatan talak tetapi tetap memberikan peluang bagi keluarga yang tidak dapat mempertahankan keutuhannya. Sedangkan bagi wanita yang sudah dijatuhi talak oleh suaminya tersebut memiliki masa iddah. Iddah secara harfiah berasal dari kata "adda" yang berarti menghitung atau sejumlah. Adapun secara syara' adalah masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan kekosongan rahim dari janin, sehingga tidak tercampur nasab keturunan serta untuk memberi kesempatan rujuk kepada suami yang mentalak istrinya dengan talak raj’i (bukan talak bain/tiga) setelah tenang jiwanya dan hilang rasa marahnya demi menjaga keutuhan tali perkawinan. Penetapan masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya bertujuan untuk memberi kesempatan berkabung padanya terhadap suami yang meninggalkannya untuk selama-lamanya, lagi pula tidak pantas bagi seorang istri yang baru ditinggal wafat oleh suaminya untuk menikah dengan pria lain Diantara tokoh yang memiliki pandangan yang berbeda tentang masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah Ali bin Abi Tholib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi Tholib berfatwa bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah menunggu sampai kandungannya melahirkan (at Talak ayat 4) juga menunggu selama empat bulan sepuluh hari (al Baqarah ayat 234). Ali bin Abi Thalib melanjutkan pendapatnya jika seorang istri hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo yaitu empat bulan sepuluh hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan lagi dirinya untuk menikah dengan pria lain sampai habis masa iddahnya, tetapi jika telah melewatinya sebelum melahirkan kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai saat kelahiran. B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana fatwa Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud tentang masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya ? 2. Apa yang melatarbelakangi perbedaan fatwa antara Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud tentang masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya? C. Kajian Teoritis 1. Pengertian Iddah 3 َ ُ ﱡ- ﻋَﺪﱠartinya, ُﺣﺴﺒﮫ Iddah berasal dari bahasa Arab dari kata-kata, ﯾﻌﺪ َ ْ َ: َ ِ َ -ُاﺣﺼﺎه yaitu “menghitung atau menyangka”. Jadi kata iddah artinya hitungan atau perkiraan atau sangkaan. Adapun pengertian iddah menurut istilah syara’, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, antara lain : a. Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi iddah sebagai berikut : ِ ِ ِ ِ اﻟﻌﺪةُ ا َﺟﻞ ِ ِ ﻹﻧﻘﻀﺎء ﻣﺎ ِ ِ ََ ﻣﻦ اﻟﻨﻜﺎح ِ َ ِّ ار َ ُ ٌ ْ َْ ﱠ ْ ﺑﻘﻲ َ َ َ َ ْ ﺿﺮب Artinya : “Iddah ialah masa yang ditetapkan untuk membersihkan diri dari sisasisa perkawinan b. Imam Hanafiyah menyebutkan definisi iddah sebagai berikut : ِ ِْ ِ ﺿﺮب ِ ْ اﻟﻨﻜﺎح َ ِاو ِ ِ ﻹﻧﻘﻀﺎء ﻣﺎ ِ َ َ ﻣﻦ ِ اﻟﻔَﺮ اش ِ َ ِّ ار َ َ ِ ُ اﺟﻞ َ َ ْ ﺑﻘﻲ ٌ َْ َ Artinya : “Waktu yang ditentukan untuk membersihkan sisa-sisa pengaruh dari akibat perkawinan atau hubungan di atas ranjang” . c. Imam Malikiyah menyebutkan definisi iddah sebagai berikut : ِ ﻃﻼق ْاﻟﻤﺮَِأة َاو ِ ﱠ ِ ِ ِ ِ ﳝﺘﻨﻊ ِﻓﻴﻤﺎ اﻟﺰواج اﻟﻨﻜﺎح ِ َ ِّ ﻓﺴﺦ ِ ْ َ اﻟﺰوج َْاو ِ ْ ﻣﻮت ﱠ ُ ْ َ ْ ْ َ َ َ ﺑﺴﺒﺐ َ ُ َُ َ ْ ُ ََْ ٌﻣﺪة Artinya : “Suatu masa dimana masa tersebut dilarang menikah, baik karena tertalaknya seorang wanita, atau kematian suaminya, atau fasakhnya perkawinan Berdasarkan beberapa definisi dan uraian yang telah dikemukakan ulama mengenai iddah, kiranya dapat diambil satu kejelasan bahwa iddah itu merupakan masa tunggu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi seorang wanita untuk tidak mengadakan akad nikah dengan laki-laki lain di dalam masa iddah tersebut. Masa tunggu itu sebagai akibat ditinggal mati atau perceraian dengan suaminya, dengan maksud tujuan untuk mengetahui apakah rahimnya benar-benar bersih tidak berisi janin. 2. Macam-macam Iddah dan Dasar Hukumnya Macam-macam iddah sekaligus dalil–dalil yang menjadi dasar hukumnya adalah sebagai berikut : a. Iddah wanita yang masih berdarah haid. Wanita bersuami ada yang sudah di campuri oleh suaminya adapula yang belum. Wanita bersuami yang belum pernah di campuri oleh suaminya, jika cerai hidup tidak wajib iddah meskipun ia masih dalam usia haid. Dasar hukumnya adalah surat al Ahzab ayat 49 yaitu : َ ِ ْءاﻣﻨﻮا ﻗﺒﻞ َأن َ َ ﱡ ُ ﱠ ﺛﻢ َ ﱠ ۡ ُ ُ ُ ﱠ ﻟﻜﻢ َ ِ ﯾﺄﯾﮭﺎ ﱠ ِ ٱﻟﻤﺆﻣ ٰﻨ ِ ۡ ُ ۡ َﻜﺤﺘﻢ ۡ ُ َ ﻓﻤﺎ ِ ۡ َ طﻠﻘﺘﻤﻮھﻦ ِﻣﻦ َﺖ ُ ﱠ َ َ ﺗﻤﺴﻮھﻦ ُ ُ ۡ َ إذا ﻧ َ ٰ َٓ َ ﱡ ٓ ُ َ َ ٱﻟﺬﯾﻦ ۖ َ ﺗﻌﺘﺪوﻧ ٗ ِ َ ﺳﺮاﺣﺎ ۡ ِ ﻋﻠﯿﮭﻦ ﻓﻤﺘﻌﻮھﻦ َ َ ِ ّ ُ ُ ﱠ َﮭﺎ َ َ ِ ّ ُ ُ ﱠ َ َۡ ِ ﱠ ﻋﺪة َ ۡ َ ﱡ ٤٩ ﺟﻤﯿﻼ ٗ َ َ وﺳﺮﺣﻮھﻦ ٖ ﻣﻦ ِ ﱠ Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum 4 kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah (pemberian) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”. b. Iddah wanita yang tidak disetubuhi Iddah wanita yang tidak berhaid meliputi ; anak-anak yang belum pernah berhaid sama sekali atau sudah dewasa dan pernah haid kemudian putus. Iddah mereka itu adalah tiga bulan yang menjadi dasar hukum dan ketentuan ini adalah firman Allah SWT, dalam surat at Thalaq ayat 4 yaitu : َ ٰ ٓﱠ َ َ ٰ َ ﻓﻌﺪﺗﮭﻦ ٱرﺗﺒﺘﻢ َ ِ ﱠ ُ ُ ﱠ أﺷﮭﺮ َ ِ ﯾﺌﺴﻦ َ ۡ ِ َ وٱﻟـِٔ ﻲ ۡ ُ ۡ َ ۡ إن ۡ ُ ِ ٓ َ ِّ ٱﻟﻤﺤﯿﺾ ِﻣﻦ ِ ِ َ ۡ ﻣﻦ ٖ ُ ۡ َ ُﺛﻠﺜﺔ ِ ِ ﻧﺴﺎﺋﻜﻢ َ ٰ ٓﱠ ٤… ﯾﺤﻀﻦ َ ۚ ۡ ِ َ وٱﻟـِٔ ﻲ َ ۡﻟﻢ Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid di antara perempuanperempuanmu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iiddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid”. c. Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. Para ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dan wanita itu tidak dalam kondisi hamil adalah empat bulan sepuluh hari. Ini mencakup wanita dan anak-anak, yang sudah menopause atau belum, dan juga meliputi wanita yang sudah dicampuri atau belum. Hal ini bila diperoleh kepastian bahwa wanita itu tidak hamil,adapun jika diperkirakan ia hamil, ia harus menunggu sampai melahirkan, atau diperoleh kepastian tidak ada benih. Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa dasar hukum ketentuan ini adalah firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 234 yaitu : ۖ ٗ ۡ َ َ أﺷﮭﺮ َ ِ َ وﻋﺸﺮا ﯾﺘﺮﺑﺼﻦ ِ َ ُ ِ ِ ﱠ ﻓﺈذا َ ۡ أزوﺟﺎ َ َ َ ﱠ َ ُ َ َ َ ﻣﻨﻜﻢ َ ۡ وٱﻟﺬﯾﻦ ُ َ َ ﱠ َ َِ ﱠ ٗ َ ٰ ۡ َ وﯾﺬرون ۡ ُ ِ ﯾﺘﻮﻓﻮن َ َ ۡ َ ﺑﺄﻧﻔﺴﮭﻦ ٖ ُ ۡ َ َأرﺑﻌﺔ َ َ أﺟﻠﮭﻦ ﻓﻲ َ ُ ِ ِ ﱠ ﺑﻠﻐﻦ َ َ َ ُ ﱠ ﺑﭑﻟﻤﻌﺮوف َ ﱠ ﺗﻌﻤﻠﻮن َ ُ َ ۡ َ ﺑﻤﺎ َ ۡ َﻓﯿﻤﺎ َﻓﻌ َ ۡ ََ ِ ۗ ُ ۡ َ ۡ ِ أﻧﻔﺴﮭﻦ ۡ ُ ۡ َ َ َﺎح َ ﻓﻼ ُﺟﻨ َ ِ ُ_وٱ َ ِ ﻋﻠﯿﻜﻢ ٓ ِ ﻠﻦ ٢٣٤ ﺧﺒﯿﺮ ٞ َِ Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu, dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu ) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian bila habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut, Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. 3. Hikmah Adanya Iddah Allah melarang atau memerintahkan sesuatu kepada hambanya tentu ada hikmahnya. Demikian pula ditetapkannya iddah bagi isteri setelah putus perkawinannya mengandung beberapa hikmah antara lain sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang isteri sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain. b. Iddah bagi isteri yang ditalak raj’i oleh suaminya mengandung arti memberi kesempatan secukupnya kepada bekas suami-isteri itu untuk memikirkan, merenungkan dan memperbaiki diri pribadi masing-masing dan memahami kekurangannya, mempertimbangkan kemaslahatan hidup bersama di masa-masa 5 selanjutnya, mengenang jasa dan kebaikan hati pihak yang satu terhadap yang lainnya, mempertimbangkan nasib anak-anaknya. Kesemuanya itu dianalisa dalam suasana tenang dan hati yang dingin. Dengan demikian masing-masing pihak berkesempatan luas untuk mempertimbangkan kesemuanya itu dengan sebaikbaiknya, kemudian mengambil langkah bijaksana untuk kemungkinan bersepakat ruju’ kembali sebagai suami-isteri. c. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calonnya terutama suami yang akan menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk ke dalam kehidupan si isteri yang baru bercerai dengan mantan suaminya. d. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami isteri sama-sama hidup lama dalam ikatan aqadnya 4. Biografi Ali bin Abi Thalib Alī bin Abī Thālib adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad. Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Abdul Hasan Haydar Ali bin Abi Thalib ibn Abdul Muthalib Al Hasyim Al Quraisy. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah). Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqirnya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa. 5. Biografi Abdullah bin Mas’ud Abdullah bin Mas’ud termasuk dalam golongan pertama yang masuk Islam (assabiquna al awalun) urutan ke-6 dari para sahabat Rasulullah dan ia termasuk pula sebagai orang yang hijrah ke Habsyah yaitu hijrah pertama kali dalam islam. 6 Nama lengkapnya Abdullah bin Mas’ud bin Ghofil bin Habib al-Hadzaly. Biasanya dipanggil Abu Abdurrahman. Beliau dikenal dengan sebutan “Habrul Ummah”(ilmuan umat Islam) seperti halnya Ibn ‘Abbas. Beliau juga termasuk orang yang ahli fiqh. Cerita tentang masuknya Abdulah bin Mas’ud ke dalam Islam, beliau berkata, ”Adalah aku menggembala kambing kepunyaan ‘Uqbah abi Mu’ith. Tiba-tiba berlalu Rasulullah bersama Abu Bakar. Kemudian Rasulullah bertanya, “Ya Ghulam (anak kecil), apakah ada susu di kambing ini ? Aku menjawab, “Ada tetapi aku hanya diamanati (ini bukan kepunyaanku) lantas Rasulullah bertanya lagi, “Adakah kambing betina yang belum di dekati si jantan?” Kemudian aku datangkan kambing betina kepada beliau, kemudian Rasulullah mengusap kantong kelenjar susunya, hingga keluarlah susu, lantas beliau memerahnya pada sebuah wadah, kemudian beliau meminumnya dan memberi Abu Bakar. Beliau bersabda pada kantong susu tersebut, “menyusutlah kamu’. maka susutlah air susu. Seusai kejadian itu aku datang kepada beliau. ”Ya Rasulullah ajarkanlah kepadaku al Quran. Kemudian Rasulullah mengusap kepalaku sambil mendo’akan, ”Semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya kamu ini anak kecil yang mulhama (yang diilhami Allah dengan kebaikan dan kebenaran). Dalam riwayat yang lain, “Ajarkanlah kami al Quran”. Kemudian Nabi bersabda, Sesungguhnya kamu adalah anak kecil yang pandai. Lantas kami mengambil 70 surat dari ucapan lisan Rasulullah. Beliau adalah sahabat Rasulullah yang berbadan kurus, pendek, besar perutnya serta kecil kedua betisnya. akan tetapi ia sangat lembut, sabar dan cerdik. Abdullah termasuk ulama pandai, sehingga dikatakan sebagai al-imam al-hibr (pemimpin yang alim, yang shalih). Faqihu al-Ummah (fakihnya ummat). Ia termasuk bangsawan mulia, termasuk sebaik-baik manusia dalam berpakaian putih D. Pembahasan Sebagaimana telah diuraikan bahwa Ali bin Abi Thalib berfatwa berkenaan dengan masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah masa yang terlama dari dua masa, dengan dasar menggabungkan kedua ayat kemudian mengamalkan hukum keduanya bersama-sama yakni firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 234 yaitu : ۖ ٗ ۡ َ َ أﺷﮭﺮ َ ِ َ وﻋﺸﺮا ﯾﺘﺮﺑﺼﻦ ِ َ ُ ِ ِ ﱠ ﻓﺈذا َ ۡ أزوﺟﺎ َ َ َ ﱠ َ ُ َ َ َ ﻣﻨﻜﻢ َ ۡ وٱﻟﺬﯾﻦ ُ َ َ ﱠ َ َِ ﱠ ٗ َ ٰ ۡ َ وﯾﺬرون ۡ ُ ِ ﯾﺘﻮﻓﻮن َ َ ۡ َ ﺑﺄﻧﻔﺴﮭﻦ ٖ ُ ۡ َ َأرﺑﻌﺔ َ َ أﺟﻠﮭﻦ ﻓﻲ َ ُ ِ ِ ﱠ ﺑﻠﻐﻦ َ َ َ ُ ﱠ ﺑﭑﻟﻤﻌﺮوف َ ﱠ ﺗﻌﻤﻠﻮن َ ُ َ ۡ َ ﺑﻤﺎ َ ۡ َ َ ﻓﯿﻤﺎ َ ۡ ََ ِ ۗ ُ ۡ َ ۡ ِ أﻧﻔﺴﮭﻦ ۡ ُ ۡ َ َ َﺎح َ ﻓﻼ ُﺟﻨ َ ِ ُ_وٱ َ ِ ﻋﻠﯿﻜﻢ ٓ ِ ﻓﻌﻠﻦ ٢٣٤ ﺧﺒﯿﺮ ٞ َِ Artinya : "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteriisteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat". (Q.S. al Baqarah : 234) 7 Menurut Ali bin Abi Thalib ayat ini menunjukkan umum bagi istri-istri yang ditinggal wafat oleh suaminya baik dalam keadaan hamil ataupun tidak adalah empat bulan sepuluh hari. Dan juga firman Allah SWT dalam surat at Thalaq ayat 4 yaitu : ٰٓ ٰ َ ﻓﻌﺪﺗﮭﻦ ۡ أﺷﮭﺮ َ ٰ ٓﱠ َ ﱠ ُ ۡ َ َ ُ ُ ُ ۡ ٓ ّ ﱠ َ ۡ َ ﱠ ۡ وٱﻟـِٔ ﻲ َ ۡﻟﻢ ﺛﻠﺜﺔ ٱرﺗﺒﺘﻢ إن ﻧﺴﺎﺋﻜﻢ ﻣﻦ ٱﻟﻤﺤﯿﺾ ﻣﻦ ﯾﺌﺴﻦ ﻲ وٱﻟـ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۡ ۡ ِ َ ِٔ َ َ ُ َ ُٖ ِ ِ ٰ ۚ ُ ۡ ﱠ َ َ َ ُ ۡ ِ ﻟﮫۥ ﯾﻀﻌﻦ َﺣﻤۡ َ ُ ﱠ ٱﻷﺣﻤﺎل َ ُ ﱠ ﯾﺘﻖ ﱠ ُ َ ْ َ ﯾﺤﻀﻦ ُ ﯾﺠﻌﻞ ﻣﻦ َ ۡ َ َ أﺟﻠﮭﻦ أن َۚ ۡ ِ َ ِ َ ۡ وأوﻟﺖ َ ۡ َ َ_ٱ َ َ ﻠﮭﻦ ِ وﻣﻦ َ ﱠ ٤ ﯾﺴﺮا ِ ِ َ ۡأﻣ ٗ ۡ ُ ﺮهۦ Artinya : "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuanperempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". (Q.S. ath Thalaq: 4). Ayat ini bersifat umum yang mencakup wanita-wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya atau wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya. Ali bin Abi Thalib telah menggabungkan kedua ayat yang bersifat umum itu dengan mengkhususkan surat at Thalaq ayat 4 terhadap wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya saja, karena dalam ayat ini sebelumnya ada disebutkan 'qarinah' (penyertaan) bermacam-macam keadaan wanita yang diceraikan; seperti wanita manopause dan wanita yang belum berhaidh, dengan tidak mengabaikan sifat umum keduanya yang mencakup wanita-wanita hamil, wanita manopause dan wanita yang belum berhaid yang ditinggal wafat oleh suami-suami mereka". Jadi pendapat Ali bin Abi Thalib dalam hal ini adalah jika seorang istri hamil yang ditinggal wafat suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan lagi dirinya dari nikah dengan pria lain sampai habis masa itu, tetapi jika ia telah melewatinya sebelum melahirkan kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai saat kelahiran. Adapun Ibnu Mas'ud memandang bahwa iddah wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari. Pendapatnya ini berdasarkan lil firman Allah SWT dalam surat at Thalaq ayat 4 : "Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya". Ayat ini menurut Abdulah bin Mas’ud diturunkan setelah turunnya ayat pada surat al Baqarah ayat 234. Abdulah bin Mas’ud menjelaskan bahwa "apakah kalian akan membuat kesulitan pada wanita tersebut dan tidak memberikan keringanan padanya”?, sesungguhnya ayat yang pendek ini diturunkan sesudah ayat yang panjang". Abdulah bin Mas’ud juga memperkuat pendapatnya ini dengan keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW pada peristiwa Subai'ah Al-Aslamiah, demikian Ummu Salamah meriwayatkan "bahwasanya seorang perempuan dari Qabilah Bani Aslam yang bernama Subai'ah Al Aslamiah ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan mengandung, datanglah Abu Sanabil bin Ba'aka melamarnya, tetapi ia menolaknya. Kemudian dikatakan padanya "Demi Allah engkau tidak pantas menikah lagi sehingga engkau beriddah sampai akhir dua masa". Maka kemudian perempuan itu menangguhkan dirinya selama kurang lebih sepuluh malam hingga ia melahirkan kandungannya. Setelah 8 itu ia menghadap Rasulullah SAW, beliapun bersabda "menikahlah dengan siapa saja yang engkau kehendaki". Apabila kita menganalisa lebih dalam terhadap fatwa Ali bin Abi Thalib tentang masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, dilatarbelakangi bukan hanya didasari pada kekosongan rahim perempuan dari janin sebagai satu-satunya pertimbangan bagi berakhirnya masa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya, tetapi dipertimbangkan pula masa berkabung yang empat bulan sepuluh hari meskipun dengan melahirkan saja sudah cukup sebagai bukti kuat bagi kosongnya rahim wanita, namun hal ini tidak ia jadikan sebagai standar bagi masa iddahnya kecuali jika telah melewati tempo yang telah ditentukan. Ali bin Abi Thalib selain memperhatikan segi kekosongan rahim juga menambahkan pentingnya seorang istri yang baru ditinggal mati suaminya untuk berkabung atas kematiannya, maka menurut fatwa Ali tidak dihalalkan baginya untuk menikah lagi kecuali setelah melewati masa berkabung yang telah ditentukan lamanya oleh al Quran meskipun ia telah melahirkan kandungannya sebelum masa itu. Ada kemungkinan perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil itu melahirkan kandungannya sebelum melewati masa empat bulan sepuluh hari, maka masa yang terima di antara dua masa baginya adalah dengan menunggu sampai akhir masa berkabung tersebut, yakni setelah perempuan itu melahirkan kandungannya ia masih harus menunggu dan dalam hal ini masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Atau boleh jadi pula ia melahirkan kandungannya setelah melewati masa berkabung, maka masa yang terima di antara dua masa baginya adalah dengan melahirkan kandungannya. Dengan demikian masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandungannya, karena masa yang empat bulan sepuluh hari sudah termasuk dalam masa hamil. Menurut hemat penulis fatwa Imam Ali bin Abi Thalib terhadap adanya masa berkabung bagi perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah sesuatu yang mengandung makna yang dalam, karena secara adat manapun tidak layak bagi seorang perempuan yang baru saja ditinggal mati suaminya untuk langsung menikah lagi dengan laki-laki lain atau setelah beberapa hari saja dari kematian sang suami. Yang demikian itu menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap jalinan tali perkawinan yang suci serta mengingkari kebaikan-kebaikan ataupun keutamaan-keutamaan orang yang pernah mendampingi hidupnya. Ini semua ditinjau dari satu aspek, sedangkan dari aspek yang lain adalah sesungguhnya dengan adanya masa berkabung bagi perempuan yang baru ditinggal suaminya akan memberikan gambaran yang baik baginya di mata masyarakat umum. Hal itu juga dapat mencegah pembicaraan orang yang tidak baik atas dirinya dan dapat menjaga kemuliaannya sehingga tidak ada seorangpun yang membicarakannya atau menjelekjelekkannya ataupun menghinanya oleh sebab perlakuannya yang tidak layak terhadap suami yang telah meninggal. Terlebih lagi dengan adanya masa berkabung tersebut akan mempererat hubungan kekeluargaan dengan pihak almarhum suami, karena hal itu menunjukkan betapa seorang istri masih ingat akan kebaikan-kebaikan yang pernah diberikan sang suami padanya dan betapa ia dapat memenuhi hak-hak suami semasa hidup maupun sesudah ia tiada. Selain itu semua dimaksudkan pula untuk menghormati perasaan sanak keluarga dan kaum kerabatnya, dan juga untuk mengungkapkan kesetiaan atau kesedihan hati karena ditinggal suami untuk selama-lamanya sebagai orang yang pernah 9 mendampingi hidupnya, ataupun hal-hal lain yang kesemuanya itu dapat mempererat hubungan kekeluargaan. Lebih lanjut Ali bin Abi Thalib menjelaskan perbedaan masa berkabung terhadap suami dan berkabung terhadap lainnya. Musibah kematian yang menimpa seseorang sudah pasti di belakangnya meninggalkan kekalutan, kepedihan dan kesedihan yang merupakan tabiat alamiah. Allah SWT yang Maha Bijaksana dan Maha Waspada telah membolehkan yang wajar-wajar saja dari hal itu, yaitu selama tiga hari untuk mengembalikan ketenangan jiwa dan menghilangkan kekalutan. Kemudian ia menambahkan dibolehkannya bagi wanita untuk berkabung karena wanita adalah makhluk yang lemah dan biasanya kurang sabar untuk berkabung atas kematian sanak familinya selama tiga hari, adapun berkabung atas kematian suami bagi mereka adalah seiring dengan masa iddah, karena sesungguhnya setiap wanita perlu berhias, berdandan dan memakai wewangian agar lebih dicintai oleh suami dan supaya hati suami tenteram memandangnya serta agar mendapatkan perlakuan yang harmonis darinya. Namun setelah sang suami meninggal dunia ia diharuskan untuk beriddah karenanya, dan selagi dalam masa iddahnya tersebut berarti ia masih terikat kewajiban dengan suami yang telah meninggal, yaitu dengan tidak memakai wewangian, pakaian-pakaian yang menyolok atau perhiasan-perhiasan sebagaimana dilakukan oleh istri-istri di hadapan suami mereka. Hal itu dimaksudkan untuk menutup kemungkinan laki-laki lain tertarik padanya atau sebaliknya ia yang berpaling pada laki-laki lain dengan melupakan suami yang belum lama meninggal. Setelah masa iddah atau masa berkabungnya selesai jika ia berhajat untuk menikah lagi maka dibolehkan baginya untuk bersolek, memakai perhiasan dan lain sebagainya sebagaimana layaknya seorang wanita yang bersuami. Tidak ada sesuatupun yang lebih baik daripada perintah untuk berkabung bagi istriistri yang baru ditinggal mati suaminya dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan atau hal-hal lain yang biasa mereka lakukan selama jangka waktu tertentu kemudian dibolehkan kembali setelah masa berkabungnya selesai. Adapun yang melatar belakangi fatwa Abdulah bin Mas’ud tentang masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari adalah adanya hadits yang diriwayatkan oleh Subai'ah Al-Aslamiah "bahwasanya seorang perempuan dari Qabilah Bani Aslam yang bernama Subai'ah Al Aslamiah ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan mengandung, datanglah Abu Sanabil bin Ba'aka melamarnya, tetapi ia menolaknya. Kemudian dikatakan padanya "Demi Allah engkau tidak pantas menikah lagi sehingga engkau beriddah sampai akhir dua masa". Maka kemudian perempuan itu menangguhkan dirinya selama kurang lebih sepuluh malam hingga ia melahirkan kandungannya. Setelah itu ia menghadap Rasulullah SAW, beliapun bersabda "menikahlah dengan siapa saja yang engkau kehendaki". Fatwa Abdullah bin Mas’ud sangat bertentangan dengan fatwa Ali bin Abi Thalib. Menurut Ali bin Abi Thalib fatwa yang menyebutkan tujuan masa iddah selain untuk mengetahui kekosongan rahim juga untuk memberi kesempatan berkabung atas kematian suaminya. Menurutnya meskipun tidak ada hadits Subai'ah dalam menetapkan masa yang terima dari dua masa (bagi masa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya) tetap tidak benar. Berdasarkan latar belakang pemikiran antara Ali bin Thalib dengan Abdullah bin Mas’ud tersebut di atas, menurut penulis bahwa pendapat Imam Ali bin Abi Thalib adalah yang paling mendekati kebenaran kalau saja tidak ada hadits Subai'ah Al-Aslamiah (hadits 10 yang dijadikan sandaran oleh Abulah bin Mas’ud) yang menerangkan bahwa sesungguhnya iddah perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah berakhir dengan melahirkan kandungannya walaupun hal itu terjadi sesaat saja setelah kematian suaminya, karena pendapat ini dikuatkan oleh adanya hadits shahih (hadits Subai'ah) yang wajib untuk diikuti, sesuai dengan perintah Allah SWT. E. Kesimpulan Berdasar kepada uraian sebelumnya dan mengacu kepada rumusan masalah yang telah dirumuskan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ali bin Abi Tholib berfatwa bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah menunggu sampai kandungannya melahirkan (at Thalaq ayat 4) juga menunggu selama empat bulan sepuluh hari (al Baqarah ayat 234). Jika seorang istri dalam kondisi hamil besar/tua yang ditinggal wafat oleh suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo yaitu empat bulan sepuluh hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan lagi dirinya untuk menikah dengan pria lain sampai habis masa iddahnya, (empat bulan sepuluh hari). Jika telah melewati empat bulan sepuluh hari tapi belum melahirkan kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai melahirkan. Inilah yang dikenal dengan istilah ab’adul ajalain yaitu masa yang panjang antara dua masa. 2. Abdullah bin Mas’ud berfatwa bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari. Abdullah bin Mas’ud menandaskan pendapatnya dengan firman Allah dalam surat at Thalaq ayat 4. 3. Fatwa Ali bin Abi Thalib ini dilatarbelakangi bukan hanya didasari pada kekosongan rahim perempuan dari janin sebagai satu-satunya pertimbangan bagi berakhirnya masa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya, tetapi dipertimbangkan pula masa berkabung yaitu empat bulan sepuluh hari meskipun dengan melahirkan saja sudah cukup sebagai bukti kuat bagi kosongnya rahim wanita. Adapun fatwa Abdulah bin Mas’ud berdasarkan kepada surat at Thalaq ayat 4 juga hadits yang diriwayatkan oleh Subai'ah Al-Aslamaiah. F. Kepustakaan Abdur Rahim Muhammad, Pengantar ke Fiqih Imam Ali RA., Penerjemah Suaidi, Arista, Jakarta, 1988. Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh Ala Mazahabil Arba’ah, Darul Fikr, Beirut, th 1990. Abu Zahroh Muhammad, Al-Ahwallusy-Syakshiyah, Darul Fiqr, Al Arabi, Mesir, 1987. Ahmaad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Cet III , Bulan Bintang, Jakarta, 1984. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000. Al Ustdaz Farid Wajdy, Mukaddamah Al Mushafful Mufassar, Al Maktabah, Cairo, t.th., As Syirazi, Thabaqat Fuqaha, Dar al Ilmi, Mesir, t. th. Departemen Agama RI., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 1996. ___________, Al Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989. 11 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Daarul Ihyaali Kutub, Al-Arabiyah, cet ii, Indonesia. tt. Muhammad Hasby Ash Shidiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran dan Tafsir, Pustaka Riski Putra, Semarang, 1997. __________, Ilmu Al Quran : Pokok-pokok dalam Menafsirkan Al Quran, Bulan Bintang, Jakarta, 1981. Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah, Syaiful Islam, Jilid 6, Al Maarif, Bandung, 1996. _________, Fiqih Sunnah, Penerjemah, Syaiful Islam, Jilid 14, Al Maarif, Bandung, 1996. Sumiati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan NO I , 1974, Liberty, Jakarta,,1986.