4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan Degradatif Kriteria kesuburan

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lahan Degradatif
Kriteria kesuburan tanah ditentukan oleh kombinasi tiga faktor yang saling
berinteraksi, yaitu faktor fisik, kimia dan biologi. Karakteristik fisik dan kimis
tanah dapat dipahami lebih sempurna daripada karakteristik biologinya. Oleh
karenanya lebih banyak diketahui status fisik dan kimia tanah, dan sedikit
informasi tentang status biologi tanah. Penentuan status biologi tanah memang
sedikit kesulitan, karena substansinya bersifat hidup, dinamis dan dapat
mengalami perubahan pada ruang dan waktu. Sifat dinamis pada status biologi
tanah ini memberikan peluang besar dalam pengelolaannya. Status biologi tanah
dapat
memberikan
peringatan
dini
adanya
degradasi
tanah,
sehingga
memungkinkan untuk menerapkan praktik-praktik pengelolaan lahan yang lebih
berkelanjutan (Loreau et al. 2001 dalam Prihastuti 2011).
Adanya degradasi produktivitas lahan di Tawangmangu disebabkan karena
kesuburan tanah. Kesuburan tanah yang rendah dapat memacu serangan parasit
lemah seperti Fusarium oxysporum Schlecht. f. sp. cepae (Hanz.) Snyd. et. Hans
(FOCe) yang umumnya meningkat serangannya pada pertanaman yang
pertumbuhannya
terhambat.
FOCe
yang
menyerang
bawang
putih
di
Tawangmangu dan peningkatan serangan FOCe dianggap sebagai penyebab
primer degradasi lahan tersebut (Hadiwiyono 2004).
Usaha untuk mengendalikan patogen umumnya dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia atau pestisida. Petani sebagai pelaku utama kegiatan
pertanian seringkali menggunakan pestisida sintetis terutama untuk patogen yang
sulit dikendalikan seperti patogen tular tanah. Petani cenderung menggunakan
pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi
kesehatan dan lingkungan. Penggunaan pestisida yang berlebihan dan terus
menerus telah menunjukkan suatu dampak negatif seperti timbulnya resurjensi
hama atau patogen ke dua, resisten jasad patogen, matinya musuh-musuh alami
sehingga mengganggu keseimbangan eksosistem (Istikorini 2002 dalam Nurhayati
2011).
4
5
Fusarium merupakan salah satu jamur patogen tanaman yang sulit
dikendalikan. Jamur ini merupakan patogen tanaman yang penting secara
ekonomi karena dapat menyebabkan busuk dan layu pada akar, batang maupun
kecambah pada lebih dari 100 jenis tanaman. Genus ini terdiri atas berbagai
spesies, yaitu F.oxysporum, F.affine, F.culmorum, F.dimerum, F.graminearum,
F.moniliforme, F.radicicola, F.roseum, F.solani, dan Fusarium sp. F.oxysporum
mempunyai beberapa varietas tergantung pada jenis tanaman inangnya. Fusarium
oxysporum yang menyerang tanaman menyebabkan busuk rimpang yang ditandai
dengan layu dan menguningnya daun dan berujung pada kematian tanaman
sebelum panen (Ferniah et al. 2011).
Busuk pangkal bawang putih merupakan penyakit yang merugikan dan
mengancam pertanaman bawang putih serta menjadi kendala baru sejak musim
tanam 2000 di Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah Busuk pangkal bawang
putih disebabkan oleh Fusarium oxysporum Schlecht. f. sp. cepae (Hanz.) Snyd.
et. Hans. Pada musim tanam 2000 intensitas penyakit baru mencapai 10 % namun
pada musim tanam 2002 intensitas penyakit meningkat mencapai 60 %
(Hadiwiyono dan Widono 2008). Busuk pangkal bawang putih ini terutama
menyerang lahan-lahan degeneratif akibat praktik pertanaman yang kurang baik.
Fusarium ini terdistribusi secara luas, pada iklim apapun. Genus Fusarium
ini merupakan salah satu patogen tular tanah yang menyerang tanaman dan
menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi. Fusarium dapat terdistribusi
secara luas disebabkan karena faktor lingkungan yaitu curah hujan, suhu,jenis
tanah dan vegetasi lokal (Shabani et al. 2014).
Peningkatan supresifitas tanah menggunakan perubahan bahan organik
telah banyak dijelaskan, terutama untuk penyakit tular tanah. Namun, ada
variabilitas yang besar dalam efektivitas penekanan tergantung pada sifat dari
perubahan, tanaman, patogen, dan kondisi lingkungan (Bonilla et al. 2012).
Konsep kualitas tanah lebih luas daripada kesehatan tanah. Kesehatan
tanah dapat dianggap sebagai bagian dari kesehatan ekosistem. Kesehatan tanah
ditentukan terutama oleh karakteristik ekologi. Kesehatan tanah dapat
berhubungan dengan biologi keragaman dan stabilitas (Bruggen dan Smenov
6
2000). Indikator kesehatan tanah adalah mengidentifikasi dan memonitor
perubahan sifat-sifat tanah ini untuk memastikan produktivitas jangka panjang
tanah (Dose et al. 2015).
B. Mikrob Fungsoional
Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) sudah lama digunakan untuk meningkatkan
efisiensi pemupukan P. MPF mempunyai kemampuan melepas P dari ikatan Fe,
Al, Ca, dan Mg sehingga P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman.
Mikrob tersebut dapat digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer). Pelarutan
fosfat oleh MPF didahului dengan sekresi asam organik (sitrat, oksalat, glukonat,
laktat, fumarat, dan lainnya). Asam organik tersebut akan berfungsi sebagai
katalisator, pengkelat dan memungkinkan asam organik tersebut membentuk
senyawa kompleks dengan kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan Al3+ sehingga terjadi
pelarutan fosfat menjadi tersedia bagi tanaman (Rao 1999 dalam Tamad dan
Maryanto 2010).
Fosfor adalah salah satu nutrisi tanaman utama. Ini ada di lingkungan
tanah
baik
dalam
bentuk
organik
dan
anorganik.
Beberapa
varietas
mikroorganisme pelarut fosfat telah diisolasi dari tanah rizosfer tanaman. Dari
jumlah tersebut, 20-40% adalah mikroorganisme tanah dapat dikulturkan.
Mayoritas organisme terisolasi adalah organisme bakteri, meskipun beberapa
jamur juga diketahui melarutkan fosfat (Jain dan Khichi 2014).
Jamur lebih mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 (pada tanah
masam). Jamur pelarut P tersebut meningkatkan kadar fosfat terlarut sebesar 2747 % di tanah masam. Lingkungan pertumbuhan yang berbeda ini memberi
peluang yang baik untuk mengembangkan jamur di daerah tropis karena jamur
lebih menyukai tanah masam. Kemampuan jamur melarutkan fosfat berkisar dari
12-162 ppm di medium Pikovskaya yang mengandung sumber P AlPO4 yang
relatif lebih sukar larut dari sumber P lainnya (Banik dan Dey 1982, Goenadi dan
Saraswati 1993, Lestari dan Saraswati 1997 dalam Ginting et al. 2006).
Jamur saprofit antagonis dapat menekan jamur patogen tular tanah melalui
tiga mekanisme, seperti jamur T. viride mampu hidup sebagai mikoparasit yang
dapat melakukan penetrasi ke miselium dan klamidospora jamur patogen sehingga
7
terjadi lisis dan pengkristalan, menghasilkan antibiotik (gliotoksin dan viridin)
yang dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen, dan mempunyai
kemampuan tumbuh yang lebih cepat sehingga terjadi persaingan dalam ruang
dan nutrisi dengan jamur lainnya (Baker dan Cook 1982 dalam Sudantha et al.
2011).
Pupuk hayati (bakteri pelarut fosfat) dianggap salah satu yang paling
efektif membantu tanaman untuk memasok fosfor pada tingkat yang
menguntungkan. Pupuk ini diproduksi atas dasar pemilihan mikroorganisme tanah
yang bermanfaat yang memiliki tertinggi efisiensi untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman dengan memberikan nutrisi dalam bentuk yang mudah
diserap (Siddqui et al. 2006 dalam Illavarasi 2014).
Pengendalian secara biologis dapat mempengaruhi kelangsungan hidup
pathogen di dalam tanah. Kombinasi mikrob antagonis dan pupuk organik
memiliki keunggulan yang unik, yaitu pupuk organik dapat menyediakan mikrob
antagonis dengan karbon gizi dan nutrisi lainnya. Hal ini dapat menjamin populasi
mikrob antagonis dapat bertahan di tanah dengan perlakuan tersebut (Zhao et al.
2011).
Sebagai
penyediaan
dan
penyerapan
unsur
hara
bagi
tanaman
(biofertilizer), aktivitas mikrob diperlukan untuk menjaga ketersediaan tiga unsur
hara yang penting bagi tanaman antara lain, Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium
(K). Kurang lebih 74% kandungan udara adalah N. Namun, N udara tersebut
harus ditambat oleh mikrob dan diubah bentuknya terlebih dahulu agar bisa
langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Mikrob penambat N ada yang hidup bebas
dan ada pula yang bersimbiosis. Mikrob penambat N simbiotik antara lain:
Rhizobium sp yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan
(leguminose). Mikrob penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp dan
Azotobacter sp. Mikrob penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk
tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N-non simbiotik dapat
digunakan untuk semua tanaman. Mikrob tanah lain yang berperan dalam
penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut unsur fosfat (P) dan kalium (K).
Kandungan P yang cukup tinggi (jenuh) pada tanah pertanian, sedikit sekali yang
8
dapat digunakan oleh tanaman karena terikat pada mineral liat tanah. Di sinilah
peran mikrob pelarut P yang melepaskan ikatan P dari mineral liat dan
menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikrob yang mampu melarutkan P,
antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus
megatherium. Mikrob yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga
berkemampuan tinggi dalam melarutkan K (Nurtjahyani 2011).
C. Bahan Pembawa (Carrier) Jamur Fungsional
Untuk memproduksi inokulan dibutuhkan bahan pembawa yang mampu
mendukung pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme pelarut fosfat.
Beberapa bahan pembawa yang telah diuji antara lain tanah-tanah mineral,
gambut, zeolit, batu bara, bentonit, vermikulit, dan perlit. Saat ini gambut
merupakan bahan pembawa yang paling banyak digunakan untuk memproduksi
inokulan. Namun demikian, bahan pembawa gambut bukan berarti tidak
mempunyai masalah, karena beberapa jenis gambut dapat menghambat
pertumbuhan strain rhizobia tertentu (Ginting et al. 2006).
Media pembawa difungsikan sebagai media tumbuh yang mempengaruhi
kegigasan dan kemampuan spesifik dari mikrob tersebut. Pemanfaatan media
yang mudah dan murah, namun efektif dan efisien dalam merakit inokulan untuk
produksi biofertilizer perlu dikembangkan. Media padat yang sering digunakan
sebagai pembawa inokulan adalah produk pertanian, antara lain: pepadian,
kekacangan, dan sesayuran. Media tersebut mengandung 40 sampai 70% air
dengan ditambah media penyangga CaCO3 dan KH2PO4 (Tamad dan Maryanto
2010).
Suatu bahan pembawa digunakan untuk memindahkan kultur bakteri dan
jamur hidup ke lapang, sehingga harus mampu menopang kelangsungan hidup
mikroorganisme tersebut selama periode penyimpanan dan pendistribusiannya.
Pengembangan formulasi inokulan yang lebih baik juga diperlukan untuk
memastikan kelangsungan hidup dan aktivitas mikroorganisme target di lapang,
serta sesuai dengan perlakuan biologi dan kimia lain. Formulasi yang sesuai untuk
mikroorganisme agar tetap hidup dalam jangka waktu lama, sangat penting untuk
pengembangan teknologi secara komersial. Sebagian besar inokulan mikrob
9
komersial menggunakan gambut sebagai bahan pembawa yang standar. Kompos
merupakan merupakan bahan pembawa alternatif yang potensial pengganti
gambut, karena tersedia berlimpah dan terbarukan serta ramah lingkungan
(Mulyana dan Sudrajad 2012).
Beberapa material padat alternatif telah dievaluasi seperti tanah,
vermikulit, perlit, serbuk fosfat alam, serbuk gergaji, kompos serbuk gergaji, batu
bara, kompos bagas, kompos residu tanaman, tepung beras, dedak padi, blotong
dan lain-lain. Meskipun bahan pembawa memiliki komposisi dan tipe formulasi
yang beragam, satu karakteristik penting yang harus dimiliki oleh bahan pembawa
yang baik adalah kemampuan untuk memelihara jumlah sel hidup dalam kondisi
fisiologis yang baik dalam kurun waktu yang lama (Larasati et al. 2012).
Baku mutu pupuk hayati merupakan syarat-syarat mutu yang harus
dipenuhi oleh suatu pupuk hayati agar fungsi mikrob yang terkandung dalam
pupuk hayati yang bersangkutan dapat memberikan pengaruh positif terhadap
tanaman yang diinokulasi. Beberapa karakteristik mikrob yang menentukan mutu
suatu pupuk hayati antara lain adalah jumlah populasi, jumlah minimal populasi
mikrob yang hidup pada waktu produksi dan sebelum kedaluwarsa yang dapat
memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman. Artinya ada jumlah
populasi mikrob hidup yang minimum dalam inokulan diperlukan untuk dapat
memberikan pengaruh pertumbuhan terhadap tanaman. Keefektifan, mikrob
dalam inokulan merupakan mikrob pilihan (unggul) hasil seleksi, pengujian secara
sistematis baik di laboratorium, rumah kaca, maupun di lapangan. Bahan
pembawa harus dapat memberikan lingkungan hidup yang baik bagi mikroba atau
campuran berbagai mikrob selama produksi, transportasi, dan penyimpanan
sebelum inokulan tersebut digunakan. Masa kedaluwarsa, ini menyangkut umur
inokulan apakah masih dapat digunakan. Bila masa kedaluwarsa ini lewat, mutu
(keefektifan) inokulan tidak dijamin lagi, karena jumlah mikroba sudah tidak
memenuhi syarat minimal lagi (Simanungkalit et al. 2006).
Persyaratan bahan untuk pembuatan medium pembawa adalah tidak
bersifat toksik bagi agen biologis (strain mikroba yang digunakan), mempunyai
kapasitas penyerapan air yang baik untuk menjaga kelembaban, mudah dalam
10
proses penggunaannya dan tidak membentuk gumpalan, mudah dalam proses
sterilisasi, mudah diperoleh karena ketersediaan cukup, murah, mempunyai
kemampuan mengikat benih yang baik, khususnya untuk penerapan dalam bidang
pertanian, mempunyai kemampuan untuk menjaga kestabilan pH, dapat berfungsi
sebagai penyangga pH, tidak bersifat toksik bagi tumbuhan, hewan, dan makhluk
hidup lainnya (Somasegaran dan Hoben 1994).
Gambut banyak digunakan sebagai bahan pembawa karena memiliki
beberapa sifat yaitu tidak menimbulkan racun pada bakteri yang akan di
inokulasikan, mudah diaplikasikan, memiliki kapasitas penyerapan air yang baik,
memiliki tekstur material yang tidak bergumpal, keberadaannya tersedia di alam,
memiliki pelekatan yang baik terhadap biji, dan memiliki kapasitas penyangga pH
yang baik (Somasegaran dan Hoben 1994).
Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua
(gelap). Gambut merupakan tanah yang berada di lingkungan rawa atau
tergenang, dan umumnya terbentuk dari tanah yang perkembangannya belum
mengalami perkembangan (Noviana dan Budi 2009).
Zeolit adalah sekelompok mineral alami dengan sifat fisik dan fisikokimia.
Zeolit alami memiliki beberapa sifat seperti memiliki kapasitas tukar kation besar
(1,47 meq g-1), memiliki struktur berpori (7 - 10 angstrom), penyerapan air dan
emisi dan penghambatan pencucian nitrat, yang berguna untuk amandemen tanah
dan meningkatkan ameliorasi tanah. Zeolit merupakan bahan inert yang dapat
digunakan dalam berbagai bidang seperti pengolahan air limbah, pertanian
(menyerap dan menahan zat berbahaya atau beracun) , industri (Komaromine et
al. 2008, Gholizadeh et al. 2010).
D. Bawang Putih
Bawang putih dapat tumbuh pada berbagai ketinggian tempat bergantung
kepada varietas yang digunakan. Daerah penyebaran bawang putih di Indonesia
yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok dan
Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah tersebut mempunyai agroklimat yang sesuai
untuk bawang putih sehingga daerah-daerah tersebut sampai saat ini merupakan
daerah penghasil utama bawang putih (Ditjentan 1997 dalam Hilman et al. 2007).
11
Tanaman bawang putih dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Pada tanah
yang ringan, gembur (bertekstur pasir atau lempung) dan mudah meneteskan air
(porous) dapat menghasilkan umbi bawang putih yang lebih baik dari pada tanah
yang berat seperti liat atau lempung. Kondisi tanah yang porous menstimulir
perkembangan akar dan bulu-bulu akar sehingga serapan unsur hara akan berjalan
dengan baik. Tanaman bawang putih kurang baik ditanam pada musim penghujan
karena kondisi tanah terlalu basah, temperatur tinggi sehingga mempersulit
pembentukan siung (Hilman et al. 2007).
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) utama yang sering menyerang
tanaman bawang putih, antara lain Thrips fabaci yang dapat menimbulkan
kerusakan sebesar 80%, Spodoptera exigua, Fusarium sp, Alternaria porii dan
Onion Yellow Dwarf Virus (OYDV). Pengendalian dilakukan dengan sistem PHT,
yaitu dengan menggunakan benih sehat, musuh alami, pengendalian secara kultur
teknis, penggunaaan perangkap, sanitasi, dan penggunaan pestisida berdasarkan
ambang pengendalian. Pengendalian dengan pestisida harus dilakukan dengan
benar baik pemilihan jenis, dosis, volume semprot, cara aplikasi, interval maupun
aplikasinya
(Budiarti et al 2010).
E. Fusarium
Fusarium sp. banyak ditemukan di dalam tanah dan jika ditumbuhkan
pada media biakan akan membentuk tiga macam spora yaitu mikrokonidium,
makrokonidium dan klamidospora. Mikrokonidium banyak dihasilkan dalam
berbagai kondisi, bentuknya lonjong atau bulat bersel satu dan tidak berwarna,
berukuran 6-15 μm x 2,5-4 μm. Makrokonidium lebih jarang ditemukan,
bentuknya lurus atau bengkok seperti sabit, tidak berwarna, kebanyakan bersekat
dua atau tiga, dan berukuran 25- 33 μm x 3,5-5,5 μm. Klamidospora dibentuk
sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai yang bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidup patogen. Klamidospora berukuran 7-11 μm,
bersel satu atau dua, berdinding tebal dan dihasilkan di dalam makrokonidium
atau miselium yang telah tua (Sastrahidayat 1992, Semangun 1991).
Penyebab penyakit layu fusarium adalah cendawan fusarium. Cendawan
ini menginfeksi tanaman melalui luka-luka, baik luka yang terjadi pada akar
12
karena pendangiran, luka karena serangan hama, luka karena pemangkasan,
maupun luka karena faktor lainnya. Tanaman yang telah terinfeksi cendawan
fusarium akan menunjukkan kelayuan, kemudian mati. Cendawan yang telah
menginfeksi tanaman akan berkembang pada berkas pembuluh dan dapat
menyebabkan terganggunya pengangkutan air dan zat-zat ke daun sehingga
tanaman menjadi layu dan mati. Patogen lebih cepat berkembang pada tanah yang
terlalu basah/ becek, kelembaban udara yang tinggi dan temperatur yang tinggi
pula. Patogen ini dapat mengakibatkan kerugian yang besar, karena seluruh areal
pertanman akan mati jika gejala awalnya terlambat diketahui (Tjahjadi 1989,
Samadi 1999).
Download