1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kesehatan merupakan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan suatu keadaan sungguh sangat berharga, yang
diharapkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupannya. Walaupun demikian,
harapan ini terkadang putus di tengah jalan, karena tanpa disadari berbagai penyakit
dapat dialami oleh setiap individu apabila tidak diwaspadai. Seringkali berbagai
penyakit kronis maupun akut, dapat menyebabkan kematian. Menurut Sarafino
(1998) penyebab kematian banyak dikarenakan oleh penyakit kronis. Di antara
penyakit kronis yang sekarang menjadi perhatian orang banyak adalah diabetes
mellitus (DM).
Jumlah kasus DM di Amerika bertambah sangat cepat, dan 90% dari semua
kasus tersebut adalah DM tipe-2 (DM-2), dibandingkan dengan DM tipe-1(DM-1)
(Glasgow & Nutting, 2004; Taylor, 2006). Diabetes Statistics (2011) memperlihatkan
bahwa, Amerika Serikat telah memberikan data berdasarkan laporan dari National
Diabetes Fact Sheet tahun 2011. Berdasarkan laporan tersebut terdapat data sekitar
25,8 juta (8,3%) populasi baik golongan usia remaja maupun dewasa terkena
diabetes, sehingga diperkirakan menyedot anggaran untuk berobat sebesar 174
milyar dolar Amerika. Berdasarkan jumlah tersebut, terdapat 18,8 juta penduduk
yang terdiagnosa dan 7,0 juta penduduk yang tidak terdiagnosa. Di antara jumlah
tersebut terdapat 79 juta penduduk dalam status prediabetes. Lebih lanjut data
tersebut melaporkan tentang angka kematian akibat diabetes pada tahun 2007,
bahwa diabetes mellitus telah memberikan kontribusi sebesar 231.404 kematian.
Menurut Sarah, Gojka, Anders, Richard, dan Hilary (2004) serta Williams dan
Pickup, (2004) pada beberapa negara bagian di Amerika Serikat, DM-2 dengan
komplikasi merupakan sepertiga dari kasus diabetes, dan 80% mengenai anak-anak
2
remaja di Jepang, dan hal ini menghabiskan anggaran yang cukup besar.
Perhitungan secara ekonomis untuk setiap penderita diabetes mellitus adalah
penting, demikian juga terhadap efek yang ditimbulkannya, seperti depresi. Lebih
lanjut WFMH (2010) menjelaskan, setiap penderita diabetes mellitus yang
mengalami depresi terjadi peningkatan tambahan biaya kesehatan sebesar 50-75%.
Depresi meningkatkan angka kematian penduduk dunia sebesar 30% pada penderita
diabetes mellitus.
International Diabetic Federation (IDF) mengestimasi jumlah penduduk
Indonesia usia 20 tahun ke atas, menderita diabetes sebanyak 5,6 juta orang pada
tahun 2001, dan akan meningkat menjadi 8,2 juta orang pada tahun 2020. Survey
Depkes Tahun 2001 terdapat 7,5% penduduk Jawa dan Bali menderita diabetes.
Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia termasuk Indonesia diperkirakan akan
meningkat sampai tahun 2020. Terdapat 300 juta atau bertambah 3 kali lipat dari
tahun 1994. Atas dasar prevalensi bertambah 1,5% dari tahun 1994 sehingga
berjumlah 2,5 juta, tahun 1998:3,5 juta, tahun 2010:5 juta dan prediksi tahun
2020:6,5 juta terkena diabetes mellitus. Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar
untuk jumlah kasus diabetes mellitus dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk
setelah India, Cina dan Amerika Serikat (Perkeni, 2006 & Mubarak, 2008). Survey
yang dilakukan olah Departemen Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa
prevalensi diabetes melitus sebesar 12,7% dari seluruh penduduk, dan penyakit ini
hampir selalu disertai dengan komplikasi yang diakibatkan adanya gangguan
vaskuler (Makmur, 2008; Perkeni, 2006).
Dampak kesehatan di masyarakat menurut hasil penelitian epidemiologi,
bahwa diabetes mellitus di Indonesia menunjukkan angka prevalensi sebesar 1,52,3% pada penduduk dengan usia lebih dari 15 tahun. Berdasarkan pola
pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 akan ada 3,56 juta
penderita diabetes mellitus dengan prevalensi 2%. Peningkatan pendapatan
3
perkapita dan perubahan gaya hidup, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit
degeneratif seperti; penyakit jantung koroner, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes
mellitus dan lain-lain (Fisher, Thorpe, Mc. DeVellis & DeVellis, 2007; Suyono, 2007).
Mangoenprasojo (2005) juga memperkirakan bahwa sekitar lima juta penduduk
Indonesia, yang berarti 1 dari 40 penduduk Indonesia menderita diabetes mellitus.
Walaupun secara pasti, tidak ada data tentang jumlah penderita diabetes mellitus di
Indonesia. Data di Indonesia juga tidak menunjukkan jumlah yang pasti antara DM-1
dan DM-2. Menurut Suyono (dalam Soegondo, 2007) kasus DM-1 di Indonesia
sangat jarang. Sehubungan dengan data tersebut, maka penelitian ini akan
dilakukan pada pasien DM-2.
Bertambahnya angka harapan hidup bangsa Indonesia, menyebabkan
perhatian masalah kesehatan beralih dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif.
Selain penyakit jantung koroner dan hipertensi, diabetes mellitus juga merupakan
salah satu penyakit degeneratif, yang saat ini semakin bertambah jumlahnya di
Indonesia. Beberapa alasan mengapa perhatian bangsa Indonesia tertuju pada
diabetes mellitus, sementara banyak penyakit degeneratif lainnya juga menyebabkan
angka kematian yang cukup tinggi?
Pertama, diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan global yang serius
(Glasgow, & Nutting, 2004), karena terjadinya semakin banyak dan bertambah lebih
buruk. Soegondo (2007) menjelaskan, kejadian tersebut telah mempengaruhi
sedikitnya 5-7% dari populasi dunia. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya angka
prevalensi dari 135 juta orang di tahun 1995, menjadi sekitar 300 juta orang di tahun
2025.
Kedua, diabetes mellitus tipe-2 merupakan bentuk tipe yang lebih banyak,
dengan prevalensi sekitar 60 per 1000 kasus. Perawatan diabetes dengan
komplikasinya, menghabiskan biaya sekitar 12%-14% pertahun dari total biaya
pelayanan kesehatan di Amerika Serikat (Boll, 2004). Frekuensi tinggi terutama pada
4
suku minoritas yang tinggal di daerah industri, atau masyarakat di wilayah Negara
bagian barat, seperti orang Amerika asli di USA dan orang India Asia di UK. Saat ini
diabetes mellitus sedang mewabah di seluruh dunia, dengan prevalensi 150 juta
orang, menggambarkan adanya prediksi ganda di tahun 2025. Di masa yang akan
datang, kebanyakan kasus ini akan berada di negara berkembang yang sedang
mengadopsi suatu gaya hidup orang barat (Mubarak, 2008; Mulvaney, et al., 2008).
Menurut data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa, jumlah kasus
diabetes mellitus di Indonesia, mencapai 17 juta orang atau 8,6% dari populasi
penduduk yang berjumlah 220 juta orang. Kasus diabetes di kota-kota besar di
Indonesia semakin meningkat. Penelitian di Jakarta menunjukkan prevalensi 5,7%,
Manado 6,1% dan Jawa Barat 1,1%. Sembilan puluh persen dari penderita diabetes
melitus ini adalah diabetes mellitus tipe-2. Secara tradisional diabetes mellitus
dianggap sebagai penyakit orang kaya. Sebagai implikasinya negara dunia ketiga
kurang memperhatikan penyakit ini, karena dianggap sebagai penyakit negaranegara maju. Saat ini penyakit diabetes mellitus di Indonesia belum mendapat
prioritas pelayanan kesehatan (Perkeni, 2006; Williams & Pickup, 2004).
Berdasarkan hasil studi preliminary, terhadap 10 pasien DM-2, yang
melakukan kontrol rutin di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat DR.
Sardjito Yogyakarta, pada bulan Oktober 2011 disimpulkan, depresi juga dialami oleh
individu DM-2 dengan gejala sebagai berikut: Sebesar 90% individu dengan DM-2
merasa lelah, letih dan kurang bersemangat; 70% mengalami penurunan berat
badan; 70% mengalami susah tidur atau bangun terlalu pagi dan susah tidur
kembali; 60% merasa gelisah; 40% merasa sedih atau suasana hati yang kosong;
30% mengalami susah konsentrasi, mengingat atau mengambil keputusan; dan 30%
pernah merasa bersalah, hilang harga diri atau tidak berdaya.
Pengelolaan terhadap diabetes untuk memperoleh pengendalian yang baik,
merupakan hal yang kompleks dan menuntut individu untuk mampu melaksanakan
5
secara tepat dan disiplin, meliputi diet yang dilakukan, manajemen terhadap berat
badan, berolahraga teratur, pengobatan secara medis, serta kontrol gula darah yang
rutin (Sridhar & Madhu, 2002). Penyakit diabetes mellitus apabila dibiarkan tidak
terkendali, dapat menimbulkan penyulit atau komplikasi yang berakibat fatal seperti;
penyakit jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan, infeksi akibat ulkus dan dapat
mengakibatkan kematian. Upaya pengendalian penyakit tersebut dapat dilakukan
dengan pengelolaan diet yang tepat, keteraturan minum obat atau menyuntikkan
insulin, melakukan olah raga atau aktivitas fisik secara teratur dan melakukan
pemeriksaan gula darah secara rutin. Untuk mengetahui terkendalinya diabetes
tersebut dan keberhasilan terapi dapat dilakukan pemeriksaan gula darah secara
berkala (Mindy & Catherine, 2004; Snoek & Skinner 2000).
Kenyataannya bahwa banyak individu yang menderita diabetes melitus, tidak
memperoleh kontrol gula darah yang baik, sehingga berlanjut dan menghasilkan
berbagai macam masalah kesehatan. Misalnya terjadi tingkat komplikasi yang serius
seperti retinopathy dan penyakit ginjal, yang berkaitan langsung dengan penyakit
diabetes mellitus. Hal ini jika dikaitkan dengan biaya perawatan kasus diabetes di
berbagai negara, baik di negara maju maupun negara berkembang masih sangat
tinggi. Inggris di tahun 1986-1987, menyedot anggaran belanja kesehatan sebesar 45% untuk pengobatan diabetes. Di Indonesia biaya perawatan gangren antara 1,31,6 juta rupiah perorang dalam setahun. Pengobatan yang intensif dapat menambah
umur harapan hidup pasien diabetes rata-rata 2,5 tahun, tentunya bertambah juga
biaya sekitar US $ 430.000 pertahun. Individu dengan diabetes yang menderita
gagal ginjal bila mendapatkan haemodialisa maka biaya bertambah Rp 150.000200.000 setiap kali melakukan haemodialisa. Ini merupakan gambaran kesulitan
pasien diabetes untuk memenuhi semua biaya tersebut. Diabetes melitus dikenal
sebagai salah satu penyakit yang ”mahal” dalam konteks kehidupan manusia
maupun hitungan ekonomi (Delamater, 2006).
6
Data di lapangan yang diperoleh dari Poliklinik Penyakit Dalam berdasarkan
Laporan Tahunan, jumlah pasien diabetes mellitus tipe-2 di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta menunjukkan adanya peningkatan. RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah
sakit rujukan, dan terbesar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jumlah
pasien rawat inap di tahun 2008 sekitar 107 orang dan meningkat di tahun 2009
meningkat menjadi 197 orang. Sementara jumlah kunjungan pasien di Poliklinik
Penyakit Dalam pada bulan Desember 2009 rata-rata mencapai 61-63 orang perhari
(Laporan Tahunan, 2010). Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kesehatan
di Poliklinik Penyakit Dalam, jumlah kunjungan pasien lama dan baru untuk kasus
diabetes mellitus di tahun 2010 sebanyak 13.632 orang sehingga diperkirakan setiap
bulan sekitar 1.136 orang, dan setiap bulan Poliklinik tersebut memberikan
pelayanan selama 16 hari kerja sehingga kunjungan perhari diperkirakan mencapai
71-72 pasien diabetes mellitus.
Demikian juga di Puskesmas Wilayah Kerja Kabupaten Sleman. Sejak
pelaksanaan desentralisasi sampai saat ini, Kabupaten Sleman sebagai salah satu
Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah banyak memberikan
kontribusi terhadap pencapaian derajat kesehatan masyarakat. Salah satu indikator
pencapaian adalah diperolehnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan nilai
77,70 dan menempati peringkat ke 14 dari 483 kabupaten dan kota di Indonesia, dan
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dengan peringkat ke 7 se
Indonesia. Kabupaten Sleman melalui Dinas Kesehatan dalam melaksanakan
kebijakan bidang kesehatan sesuai dengan Sistem Kesehatan Daerah (SKD), yang
dituangkan dalam keputusan Bupati Sleman No.114/Kep.KDH/A/2007, telah
mempunyai blue print yang jelas, sehingga dalam pengambilan data penyakit dapat
dipertangungjawabkan, termasuk data tentang penyakit diabetes mellitus (Dinas
Kesehatan, 2012).
7
Dibandingkan dengan penderita lainnya, pasien diabetes mellitus memiliki
risiko lebih tinggi, dan jauh lebih besar terhadap gangguan depresi. Beberapa riset
terdahulu mendukung pendapat ini bahwa, diagnosis penyakit kronik akan memicu
depresi, demikian sebaliknya. Artinya, diabetes mellitus dapat menyebabkan depresi
dan depresi dapat memperparah diabetes mellitus, dengan kata lain diabetes
mellitus dan depresi mempunyai hubungan sebab akibat.
Pertama, depresi akan lebih parah dua kali lipat, jika diderita oleh pasien
diabetes mellitus, dibandingkan dengan penderita lain. Dalam Kinder, et al., (2006)
dijelaskan depresi yang diderita oleh penderita selain diabetes mellitus, hanya
mencapai 11%-15%.
Kedua, prevalensi depresi mungkin lebih tinggi pada pasien DM, yang
memiliki komplikasi ganda. Depresi pada pasien DM, sering tidak terdeteksi dan
merupakan penghalang utama, terhadap manajemen diabetes yang efektif. WFMH,
(2010) mengestimasi prevalensi dunia pada tahun 2000, terdapat 43 juta kasus DM,
yang mengalami depresi. Indikasi estimasi bahwa, satu diantara empat pasien DM
mengalami depresi. Lebih lanjut dikatakan bahwa depresi berkembang lipat ganda,
bahkan meningkatkan angka kematian 30% pada individu dengan DM.
Ketiga, berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap manajemen rejimen diet,
olahraga dan obat-obatan serta kontrol HbA1c (Mindy, & Catherine, 2004), maka
depresi memperberat beban penyakit (Lype, Shaji, Balakrishnan, & Varghese, 2009),
serta memunculkan lebih banyak gejala fungsional (Clark, & Treisman, 2004). Selain
itu, depresi juga telah dikaitkan dengan tingkat keparahan berupa komplikasi, (Lee,
et al., 2009) dan bahkan kematian pada individu akibat DM, serta berbagai kesulitan
hidup lainnya (Glasgow, Toobert, & Gillette, 2001).
Kesulitan pasien DM dalam mengatasi depresi yang dialaminya, disimpulkan
dalam penelitian yang dilakukan oleh Talbot, Nouwen, Gingras, Belanger, dan Audet
(1999) tentang bagaimana mengakomodir berbagai gejala yang ada, termasuk
8
depresi adalah sulit untuk dikendalikan. Depresi merupakan salah satu tekanan yang
dapat memperparah diabetes. Menurut Sargyn, H dan Sargyn (2002) ada hubungan
yang signifikan antara depresi dan hiperglikemia pada diabetes tipe-1 dan tipe-2.
Adanya akibat yang merugikan dari depresi terhadap diabetes yaitu risiko
meningkatnya keparahan komplikasi. Di sisi lain hasil studi ini juga menyatakan
bahwa, apabila manajemen depresi efektif, maka gula darah dapat terkontrol.
Penelitian yang dilakukan oleh Kinder, et al., (2006) menjelaskan, bahwa pasien
diabetes mellitus mempunyai risiko 3 (tiga) kali lebih banyak terkena depresi, dan 10
kali lebih banyak terkena penyakit jantung koroner, dibandingkan dengan penyakit
lainnya.
Depresi merupakan salah satu gangguan psikologis pada kehidupan
seseorang. Beck (1985) menggambarkan depresi sebagai suatu gangguan yang
meliputi sekelompok problem yang heterogen, terdiri dari berbagai macam kondisi
psikopatologi. Gonzalez, et al., (2008) menjelaskan, depresi dapat menyerang setiap
orang, tetapi penderita DM berisiko lebih besar terhadap terjadinya komplikasi.
Pengobatan terhadap depresi dapat menolong orang terhindar dari gejala penyakit
yang lain. Lebih lanjut dikatakan, penderita diabetes mellitus mempunyai risiko dua
kali lipat, mengalami depresi dibandingkan dengan mereka yang tanpa diabetes.
Adanya peningkatan depresi akan memperburuk komplikasi diabetes mellitus. Riset
ini menunjukkan bahwa depresi menyebabkan tekanan mental dan fisik, sehingga
tubuh menjadi semakin tidak berfungsi. Menurut Lee, et al., (2009) pengobatan
depresi dengan psikoterapi atau kombinasi, dapat meningkatkan well-being pasien
terhadap kemampuan untuk mengendalikan diabetes mellitus.
Keadaan well-being dapat menguatkan sikap positif yang bersifat individual
(Green, Kreuter, Deeds, & Patrige, 2000), dan penerimaan individu terhadap objek
sikap tertentu (Debono & Cachia, 2007) berdasarkan sikap yang dimiliki individu,
dapat diketahui perilaku yang akan dilakukannya. Perilaku merupakan tindakan yang
9
mempunyai frekuensi, lama, dan bertujuan khusus. Berkaitan dengan hal tersebut
Young (dalam Suhadi, 2005) menyatakan bahwa, pada dasarnya perilaku kesehatan
adalah respon seseorang terhadap stimulus, yang berkaitan dengan sakit dan sistem
pelayanan kesehatan serta lingkungan. Penelitian ini tidak menjelaskan bahwa,
respon manusia terbagi menjadi dua yaitu respon yang bersifat pasif dan aktif.
Respon pasif terdiri dari pengetahuan, persepsi dan sikap, dan respon aktif terdiri
dari tindakan nyata dan praktis. Dalam hal ini sikap positif berpengaruh terhadap
berbagai komplikasi pada pasien diabetes mellitus. Seseorang yang optimis dan
resilien (Cristea, et al., 2011) cenderung berfikir positif dan mampu bertahan dalam
keadaan tertekan.
Individu dengan diabetes yang mengalami depresi, berdampak sangat besar
pada setiap dimensi kehidupannya. Sebagai suatu analisa yang membandingkan,
antara depresi pada diabetes dan non diabetes (Debono, & Cachia, 2007)
menunjukkan perbedaan secara statistik yang penting pada kualitas hidup, terutama
pada komponen mental dan fisik. Seperti yang dijelaskan oleh Goldney, Phillips, dan
Wilson (2004) tentang prevalensi depresi pada diabetes, telah mencapai 24%
dibandingkan dengan populasi non diabetes yang hanya 17%. Depresi pada pasien
diabetes mellitus, memerlukan penanganan yang lebih baik, agar tidak memperparah
kondisi diabetes itu sendiri. Brands, et al., (2007) dan WFMH (2010) menjelaskan,
depresi menyebabkan individu dengan diabetes mellitus menjadi lemah terhadap
pengambilan keputusan, gaya hidup, pola makan yang tidak sehat, kurang
berolahraga, merokok, penyalahgunaan alkohol, dan tidak terkontrolnya berat badan
sehingga menyebabkan berlebihan atau obesitas. Semua kejadian tersebut
merupakan faktor risiko terhadap naiknya kadar gula dalam darah, yang lasim
disebut dengan DM tipe 2.
Diabetes mellitus tipe 2 (DM-2) merupakan tipe yang paling banyak dijumpai
di masyarakat. DM-2 ditandai dengan adanya gangguan kinerja insulin, atau
10
gangguan sekresi insulin (Asdie, 2000) karena pankreas menghasilkan sedikit
insulin. Hal ini menyebabkan terjadinya resistensi dan defisiensi insulin. Artinya,
insulin dalam darah tidak mampu mengambil dan menggunakan glukosa ke dalam
sel secara maksimal.
Pertama, sebagai faktor utama pemicu DM-2 dalam hal ini adalah obesitas.
Apa yang menyebabkan terjadinya obesitas? Terlalu banyak makan dapat
menstimulasi produksi insulin yang berlebihan oleh pankreas. Insulin yang meningkat
dalam darah menyebabkan terjadinya resistensi insulin dalam sel. Prokop, Bradley,
Burish, Anderson, dan Fox (1991) menjelaskan, disamping itu sel beta dalam
pankreas yang mengalami kerusakan, menuntut untuk memproduksi insulin yang
banyak, namun akhirnya menghasilkan sedikit insulin.
Kedua, DM-2 terjadi jika insulin hasil produksi pankreas tidak cukup, atau sel
lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin, sehingga terjadi gangguan
pengiriman gula ke sel tubuh (Landel, Yout, & Rudniki, 2003). DM-2 sering juga
disebut dengan istilah Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Dalam
prosesnya, lambung mengubah makanan menjadi gula (glukosa), kemudian glukosa
masuk ke dalam aliran darah, dan selanjutnya pankreas memproduksi insulin,
namun hal ini tidak terjadi pada pasien DM-2. Tjokroprawiro (2004) menjelaskan, hal
ini disebabkan karena terlalu banyak insulin masuk ke dalam aliran darah, sehingga
glukosa tidak dapat masuk ke sel tubuh, dan menumpuk pada pembuluh darah.
Sebagian besar individu dengan DM-2 di masyarakat, dapat mengelola
tingkat gula darah tanpa memakai insulin, dengan mengikuti diet khusus DM, serta
melakukan olahraga dan meditasi. DM-2 dapat berkembang di berbagai usia, namun
biasanya muncul setelah usia 40 tahun. Walaupun di lapangan penulis menemukan
juga kasus tersebut pada usia kurang dari 40 tahun. Pada saat terdiagnosis hingga
sepanjang hidupnya pasien DM-2 menggunakan tritmen insulin sebagai kontrol gula
darah, bukan sebagai pertahanan hidup. Risiko dari DM-2 meningkat dengan
11
bertambahnya usia, obesitas dan tidak aktif secara fisik. Sarafino (1998) dan Taylor
(2006) serta WHO (2003) menjelaskan, individu dengan orangtua atau saudara
kandung yang menderita diabetes, akan memiliki risiko tinggi untuk menderita
diabetes juga. Asdie (2000) menyebutkan tipe ini sebagai tipe dewasa (maturityonset atau adult-onset diabetes).
Sebagian
berkembangnya
besar
dampak
komplikasi.
dari
Komplikasi
diabetes
pada
kronis
umumnya
diakibatkan
adalah
oleh
penyakit
mikrovaskuler (microangiopathy, retinopathy, nephropathy dan neuropathy) dan
penyakit makrovaskuler (atherosclerosis) (Glasgow, & Nutting, 2004). Terdapat bukti
yang cukup kuat bahwa penyakit mikrovaskuler dihubungkan dengan jangka waktu
atau lamanya hiperglikemi pada diabetes. Suatu penelitian klasik dari Pirart
menunjukkan adanya mata rantai ini pada 4400 pasien diabetes tipe-1 dan tipe-2
yang dapat diobservasi sampai ke 25 tahun. Lamanya menderita diabetes, akan
meningkatkan prevalensi retinopathy, nephropathy dan neuropathy (Williams &
Pickup, 2004).
Ketidakseimbangan ini nampaknya tidak dapat diregulasi oleh faktor-faktor
seperti obesitas dan stres, serta faktor-faktor lain yang memberikan kontribusi
(Debono & Cachia, 2007). Gejala yang muncul pada penderita antara lain
penglihatan kabur yang mengakibatkan kebutaan, luka yang lama sembuh, kaki
terasa kebas, geli atau merasa terbakar, infeksi jamur pada saluran reproduksi
perempuan, dan impotensi pada pria. Menurut Williams dan Pickup (2004) kasus
DM-2 di negara berkembang, banyak mengalami komplikasi bahkan sampai
menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penanganan komplikasi di negara
berkembang juga mengalami berbagai kesulitan dalam prakteknya, seperti
kurangnya tenaga dokter, perawat dan ahli gizi bahkan kekurangan obat termasuk
insulin. Julien (2010) menjelaskan, penanganan DM-2 berhubungan dengan
kepatuhan makan. Merupakan hal penting untuk dipertimbangkan (Fisher, 2006)
12
bagaimana individu dengan DM-2 mengatasi kondisi stres, sehingga dapat
termotivasi untuk menjalankan rejimen diet yang seharusnya dijalani.
Walaupun penelitian tentang diabetes mellitus dan depresi telah banyak
dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, namun hasil yang diperoleh belum
dapat disimpulkan dengan jelas. Adanya hubungan antara depresi dan diabetes
seperti penelitian yang dilakukan oleh Nguyen, Wong, Hubbard, Miller, dan Darwin
(2008) menyimpulkan bahwa, penyebab yang mendasari hubungan antara depresi
dan diabetes mellitus belum jelas. Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis
memberikan beberapa alasan.
Pertama, depresi terjadi karena stres yang diakibatkan oleh efek samping
metabolisme dari diabetes itu sendiri, oleh karena itu tidak semua penderita diabetes
dapat mengalami depresi, seperti yang dijelaskan oleh Gonzales, et al., (2008).
Demikian juga menurut hasil penelitian WFMH (2010) terdapat interaksi yang tidak
dipahami, antara diabetes mellitus dan depresi. Bagaimanapun penyebab atau efek
kombinasi antara diabetes mellitus dan depresi, mengakibatkan masing-masing
keadaan
lebih
sulit
untuk
dikendalikan,
namun
diketahui
bahwa
depresi
memperburuk diabetes mellitus.
Kedua, depresi merupakan reaksi yang paling umum dan sering kali dialami
oleh penderita penyakit kronis. Seseorang dengan penyakit kronis diperkirakan
memiliki risiko tinggi untuk terkena depresi. Kecenderungan depresi terjadi pada saat
tertentu dalam beberapa waktu (state) yang tidak menetap. Depresi timbul karena
adanya perubahan-perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi dari pengelolaan
terhadap penyakit itu sendiri. Dalam Davison dan Neale, (2004) serta Taylor (2006),
reaksi psikologis penderita terhadap penyakitnya meliputi, penyangkalan diri (denial),
kecemasan (anxiety), dan depresi (depressed).
Ketiga, frekuensi diabetes mellitus meningkat terutama di negara yang
sedang berkembang, di mana gaya hidup telah mengubah seseorang dari kehidupan
13
agrikultur tradisional, kepada kehidupan atau gaya hidup barat yang berkenaan
dengan budaya kota. Menyantap makanan siap saji, yang tinggi karbohidrat dan
tidak melakukan aktivitas yang cukup. Kondisi seperti ini merupakan salah satu
faktor pencetus terjadinya diabetes mellitus. Secara psikologis keadaan ini
merupakan stresor tersendiri terhadap individu dengan DM-2. Seperti yang
dijelaskan oleh Williams dan Pickup (2004) pasien diabetes mellitus di negara
berkembang, kebanyakan diabetes mellitus mengalami komplikasi sehingga
menyebabkan kenaikan angka kematian yang cukup tinggi. Doherty, James, dan
Robert (2000) menjelaskan komplikasi diabetes diperberat oleh keadaan depresi,
dengan adanya tekanan-tekanan sosial, termasuk mengalami berbagai kesulitan
dalam mengelola diabetes seperti kurangnya tenaga dokter, perawat dan ahli gizi,
bahkan kekurangan obat termasuk insulin.
Fakta yang ada sekarang menunjukkan bahwa, faktor psikologis seperti stres
juga dapat menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi tidak terkontrol, sehingga
memunculkan simtom-simtom diabetes mellitus, baik simtom hiperglikemia maupun
hipoglikemia (Pitt & Philips, 1991; Vitaliano, Scanlan, Krenz & Fujimoto, 2006), oleh
karena itu penanganan terhadap individu dengan diabetes mellitus, kini tidak hanya
difokuskan pada pengobatan berbasis farmakologis semata. Penanganan berbasis
psikologis, sosial dan budaya diyakini memberikan sumbangan yang signifikan
terhadap keseimbangan kadar gula darah dan memberikan peranan yang cukup
penting dalam mengelola diabetes (Sridhar & Madhu, 2002; Zimbardo, Johnson &
McCann, 2012).
Cox dan Gonder-Frederick (1992) dalam tulisannya tentang perkembangan
riset diabetes, jika dilihat dari sudut pandang ilmu perilaku, penelitian tersebut
membuktikan bahwa variabel psikososial merupakan penyangga (buffer) efek
negatif, dari stres terhadap kenaikan glukosa darah. Dalam Skinner, John, dan
Hampson (2000), variabel tersebut adalah dukungan sosial, kompetensi sosial, dan
14
coping style. Selanjutnya diperkuat oleh penelitian Glasgow, Toobert, dan Gillette
(2001) yang memfokuskan pada tiga konstrak psikologis, dan dua faktor
sosial/interpersonal, yang secara teoretik dianggap penting dan dapat diterapkan
dalam perspektif kedokteran perilaku. Konstrak tersebut meliputi; efikasi diri,
personal illness models (adanya keyakinan tentang konsekuensi pasien diabetes dan
efektivitas tritmen) dan health beliefs, serta depresi. Faktor sosial yang diteliti adalah,
stres dan dukungan dari teman dekat serta keluarga. Dalam WHO (2004b)
disebutkan juga bahwa, faktor psikologis dan sosial/interpersonal sebagai faktor
psikososial. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konstrak yang paling kuat
dan konsisten, diantaranya berhubungan dengan rendahnya dukungan sosial yang
berasal dari keluarga.
Dukungan sosial keluarga menjadi faktor penting dalam pengelolaan DM.
Berawal dari sebuah harapan bahwa, setiap individu memiliki keinginan untuk
menyelesaikan semua tugas dan tanggung jawabnya di dunia, sehingga perhatian
terhadap kesehatan sering terabaikan. Perilaku kesehatan seringkali tidak menjadi
perhatian utama, walaupun setiap individu mempunyai pemahaman yang berbeda
terhadap representasi sakit. Menurut Jessop dan Rutter (2003) pemahaman tentang
representasi sakit mengacu pada keyakinan tentang penyakit serta representasi
emosi meliputi respon individu, pengetahuan, dan pengalaman tentang penyakit
tersebut. Hal ini akan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Hofstad, Rodrigues,
Quiles, Mira, dan Sirges (2003) menjelaskan, representasi sakit tidak hanya penting
untuk memastikan kepatuhan terhadap tritmen, tetapi juga untuk memprediksi reaksi
pasien terhadap penyakit, serta akibatnya bagi kesehatan mental.
Beberapa pendapat di atas memberikan makna bahwa, penyakit fisik dapat
menimbulkan masalah kesehatan mental. Penjelasan World Federation for Menthal
Health (WFMH) (2010), salah satu masalah kesehatan yang memiliki prevalensi
tinggi serta kecenderungannya semakin meningkat, adalah diabetes mellitus. Selain
15
menyebabkan masalah berupa gangguan kesehatan fisik, diabetes mellitus juga
menimbulkan masalah kesehatan mental, terutama depresi.
Rose, Fliege, Hildebrandt, Schirop, dan Klapp (2002) menjelaskan bahwa,
aspek-aspek psikologis seperti emosi negatif, efikasi diri, dukungan sosial,
karakteristik kepribadian dan perilaku koping, merupakan kontrol terhadap diabetes
melitus. Penelitian tersebut menghubungkan antara komplikasi mayor terhadap
aspek-aspek fisik, yang memperberat beban psikologis seperti; kebutaan, dialysis
neuropati, luka kaki, amputasi, stroke dan gagal jantung. Berkaitan dengan
kesehatan seseorang, WHO (2004a) menjelaskan, yang harus dijalani oleh setiap
individu dengan diabetes mellitus adalah pengendalian terhadap penyulit, dan
apabila tidak diupayakan akan mempermudah munculnya komplikasi seperti;
penyakit jantung iskemik, stroke dan neuropati. Menurut Milenkovic, et al., (2004)
terdapat juga penghambat lain terhadap pengendalian komplikasi seperti; biaya yang
relatif mahal, manajemen diet, tipe dan lamanya menderita diabetes, tritmen
diabetes, kontrol kadar gula darah, dan unsur demografi seperti jenis kelamin, serta
tingkat pendidikan. Demikian juga Nakahara, et al., (2006) dan Polonsky, et al.,
(2005) menambahkan, dari faktor psikologis terdapat juga emosional distress yang
berhubungan dengan diabetes mellitus yaitu; stres peristiwa kehidupan dan stresor
harian.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa diabetes
melitus yang sudah dikenal di masyarakat dapat menyebabkan depresi dan
sebaliknya depresi dapat memperparah komplikasi diabetes mellitus. Hal ini tidak
terlepas dari faktor-faktor psikologis yang melekat pada kepribadian seseorang.
Kepribadian menjadi faktor penting dalam menentukan terjadinya depresi. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi-dimensi kepribadian mempunyai peran
yang sangat penting dalam menentukan, dan mempertahankan kondisi fisik dan
psikologis seseorang. Penelitian Chang dan Strunk (1999) menjelaskan bahwa
16
kepribadian tangguh, perfeksionis, neurotis dan optimis berhubungan dengan
keberhasilan seseorang dalam penyesuaian terhadap kondisi depresi. Demikian juga
Appel (2000); Hagberg, Park, dan Brown (2000); serta Seligman (2005) menjelaskan
bahwa, orang yang optimis akan menghadapi tantangan dengan melakukan
penyesuaian-penyesuaian psikologis selama kejadian depresi, sehingga dapat
menghasilkan kesehatan yang lebih baik. Hal ini berarti bahwa, kegagalan atau
keberhasilan seseorang dalam melakukan penyesuaian, sangat bergantung pada
kondisi kepribadian dengan struktur dan fungsinya.
Pertama, orang yang tidak optimis akan mempercayai penyakitnya pervasif,
personal dan permanen, sehingga cenderung tidak akan melakukan sesuatu.
Keadaan ini berdampak pada ketidakberdayaan dan penerimaan yang negatif
terhadap penyakit yang diderita, sehingga perilakunya tidak akan menghasilkan efek
yang memuaskan. Terkait dengan hal tersebut Argyle (2001) menjelaskan,
optimisme berpengaruh terhadap kesehatan mental, karena melalui optimisme
individu dapat mengontrol stresor sehingga berdampak pada mood dan sistem imun.
Dalam hal ini optimisme dapat menjadi salah satu kontrol internal yang
mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Duangdao dan Roesch (2008)
menyatakan bahwa pasien yang optimis dan berpikir tentang tritmen kesehatan serta
memodifikasikan gaya hidup, termasuk penurunan berat badan, latihan aerobik dan
terapi diet, maka keadaan diabetes akan membaik.
Kedua, dimensi kepribadian lain yang mempengaruhi depresi diantaranya
adalah resiliensi. Individu yang resilien mempunyai ketrampilan khusus untuk
bertahan dalam penyesuaian. Menurut Benard (dalam Spector, 2006) serta Waaktar,
Christie, Borge, dan Torgersen, (2004) individu yang resilien memiliki kemampuan
penyesuaian diri secara multidimensi, dimana kemampuan tersebut terdiri dari
beberapa ketrampilan khusus yang berhubungan dengan resiliensi. Yu, dan Zhang,
(2007) menjelaskan, kemampuan tersebut memiliki kapasitas dalam merencanakan
17
sesuatu, memecahkan masalah, berinisiatif, dan mengambil hikmah dari suatu
kejadian, serta mempunyai kemampuan penyesuaian diri. Resiliensi merupakan
salah satu faktor intrapersonal, yang sangat berpengaruh pada kesehatan mental.
Luthar, Ciccehetti dan Becker (2000); serta Schoon (2006) menambahkan bahwa,
hal mendasar yang membedakan antara resiliensi dan penyesuaian diri adalah faktor
risiko tinggi. Seseorang dikatakan resilien apabila dapat berkembang melampaui
risiko tinggi dan menghindari dampak negatif akibat tekanan hidup atau keadaan
depresi yang dihadapinya. Connor (2006) menjelaskan, semakin rendah resiliensi
seseorang maka depresi akan lebih muda dialami. Noris dan Steven (2007) serta
Smith (2009) menambahkan, resiliensi melindungi individu dari depresi. Semakin
tinggi resiliensi seseorang, akan semakin besar kemungkinan orang tersebut
melakukan sesuatu upaya untuk terhindar dari depresi.
Ketiga,
dimensi
kepribadian
selain
optimisme
dan
resiliensi
yang
mempengaruhi depresi adalah harga diri. Menurut Lype, Shaji, Balakrishnan, dan
Varghese (2009) harga diri rendah dapat memicu terjadinya depresi. Harga diri
merupakan penilaian dan penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri (Wood,
2005) hubungan harga diri rendah dan terjadinya depresi dapat dilihat pada
penderita dengan kasus kronis seperti diabetes mellitus. Demikian juga Sympson,
Hilman, Crawford, dan Everton (2010) menjelaskan bahwa harga diri merupakan
salah satu variabel potensial yang secara konsisten berhubungan dengan depresi.
Berdasarkan hasil meta analisis yang dilakukan oleh Donsu (2010) disimpulkan,
terdapat hubungan yang positif antara harga diri dan depresi. Individu yang memiliki
harga diri rendah merasa tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan untuk
memperbaiki keadaan atau masa depannya. Munculnya kognisi negatif terhadap diri
individu, yang ditandai dengan adanya keyakinan diri bahwa, ia tidak berharga dan
tidak mampu, maka keadaan ini akan memperburuk depresi. Hal ini berarti bahwa
harga diri berperan dalam proses berpikir, emosi, dan keputusan-keputusan yang
18
diambil bahkan berpengaruh juga pada nilai-nilai, cita-cita serta tujuan yang akan
dicapai seseorang.
Selain dimensi kepribadian, kemampuan interpersonal juga seperti, mampu
tidaknya
seseorang
memperoleh
dukungan
dari
lingkungan
sosial,
dapat
mempengaruhi terjadinya depresi (McDowell & Newell, 1996). Menurut Anderson
(2002) ketika seseorang mengalami diabetes mellitus, lingkungan keluarga
merupakan penentu potensial yang mempengaruhi adaptasi pasien. Dalam McEwen,
Pasvogel, Gallegos, dan Barrera (2010) serta Sacco dan Yanover (2006) gejala
depresi pada diabetes melitus terkait dengan dukungan sosial. Depresi, dukungan
sosial dan diabetes berhubungan secara signifikan dengan gejala medis. Pertama,
hubungan dua arah antara dukungan sosial dan depresi nampak jelas. Kedua,
dukungan sosial secara independen memberikan kontribusi terhadap depresi.
Menurut Bandura (1986) lingkungan, individu dan perilaku merupakan tiga
unsur yang saling berhubungan satu sama lain. Artinya, lingkungan dapat
memberikan dukungan sosial pada individu yang berefek terhadap perubahan
perilaku. Teori ini merupakan dasar dari penelitian tersebut. Dukungan sosial yang
tinggi akan berefek terhadap rendahnya peristiwa hidup yang menekan, dan faktorfaktor psikologis pada individu akan menjadi perantara terhadap kejadian depresi.
Semakin tinggi dukungan sosial yang dipersepsikan individu ditambah dengan faktorfaktor psikologis yang tinggi, akan menurunkan depresi.
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa banyak faktor psikologis yang
mempengaruhi seseorang terhadap depresi, namun terdapat 4 (empat) faktor
penting menurut penulis yang lebih banyak didukung oleh peneliti sebelumnya
berdasarkan referensi, yaitu; optimisme, resiliensi, harga diri, dan dukungan sosial.
Dalam penelitian ini penulis menyajikan seberapa besar kontribusi dari masingmasing faktor-faktor psikologis terhadap penurunan depresi pada individu dengan
19
diabetes melitus. Faktor-faktor tersebut selain mempengaruhi kesehatan fisik, juga
memperburuk kesehatan mental.
Kasus diabetes mellitus yang berkaitan dengan kesehatan mental telah
banyak diteliti di Rumah Sakit. Penelitian dengan kasus serupa sangat jarang
dilakukan di Puskesmas. Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat, juga perlu sebagai kancah penelitian. Menurut hasil
wawancara dengan petugas Puskesmas, bahwa kasus diabetes mellitus yang
dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis sangat jarang diteliti. Oleh karena itu
peneliti tidak menemukan data kasus diabetes mellitus yang mengalami depresi.
Sehubungan dengan penjelasan petugas kesehatan di Puskesmas, ternyata hal
tersebut tidak pernah tercatat. Melalui tulisan ini penulis ingin memberikan kontribusi
kepada Puskesmas bahwa faktor-faktor psikologis dapat memperparah atau
memperingan tingkat depresi pada penderita diabetes mellitus.
Berbagai alasan dapat diperhitungkan dalam penelitian ini, pertama; kasus
diabetes mellitus termasuk dalam urutan 10 besar penyakit di Puskesmas, dan pada
Puskesmas Godean 1; Godean 2; Gamping 1; dan Gamping 2, masuk dalam urutan
3 (tiga) besar penyakit. Kedua, perlunya masalah ini diteliti untuk melihat kontribusi
dari masing-masing variabel berdasarkan model teoretik yang diajukan. Mencermati
hasil penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa antara jurnal satu dan lainnya
menunjukkan hasil yang berbeda atau tidak konsisten, sehingga untuk mengetahui
seberapa besar faktor-faktor psikologis memberikan peranannya terhadap depresi
pada individu dengan DM-2, maka penelitian ini diadakan dan perlu dilakukan uji
terhadap beberapa model yang terkait dengan faktor-faktor tersebut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, studi preliminari, hasil wawancara,
dan hasil meta analisis, serta hasil jurnal dari penelitian-penelitian sebelumnya,
20
diperoleh gambaran bahwa DM-2 berpotensi terhadap munculnya depresi. Demikian
juga depresi dapat meningkatkan risiko keparahan berupa komplikasi DM-2. Oleh
karena itu individu dengan DM-2 yang mengalami depresi akan lebih banyak gejala
penyakitnya, lebih besar biaya secara hitungan ekonomis, mengalami cacat
pekerjaan, dan lebih banyak jasa medis, dibandingkan dengan individu yang
mengalami salah satu, diabetes atau depresi saja. Adapun faktor-faktor psikologis
merupakan
sifat
yang
diasumsikan
sebagai
suatu
kepribadian
dengan
kecenderungan yang stabil, berpengaruh terhadap perilaku seseorang seperti yang
telah diuraikan sebelumnya, sehingga secara konsisten dan menetap, sifat tersebut
mengacu pada karakteristik yang membedakan individu satu dan lainnya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, beberapa peneliti menyatakan bahwa faktorfaktor psikologis menjadi moderator terhadap munculnya depresi, walaupun ada juga
sebagian peneliti menyatakan sebagai mediator atau bahkan kedua-duanya. Dalam
penelitian ini penulis ingin melakukan uji terhadap beberapa model untuk
menemukan hubungan faktor-faktor psikologis berperan sebagai mediator bukan
moderator atau keduanya.
Peran mediator yang diharapkan penulis dalam penelitian ini karena
banyaknya kejadian menekan pada pasien DM-2 yang memberikan dampak negatif
terhadap tidak optimalnya karakteristik kepribadian individu dan rendahnya
dukungan sosial yang diterima. Asumsi penulis bahwa, makin sering pasien DM-2
mengalami kejadian menekan maka kemampuan mengatasi masalah menjadi
tumpul sehingga rentan mengalami depresi. Adanya faktor-faktor psikologis sebagai
mediator akan memberikan efek terhadap menurunnya depresi.
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan membuktikan hubungan antara
dukungan sosial dan faktor-faktor psikologis yaitu; optimisme, resiliensi, harga diri,
terhadap depresi pada pasien DM-2 melalui beberapa asumsi, dan sebagai
pertanyaan penelitian, yaitu: 1) Apakah dukungan sosial tinggi, optimisme tinggi,
21
resiliensi tinggi, ditambah dengan harga diri tinggi akan berperan terhadap depresi
pada pasien DM-2; 2) Apakah dukungan sosial tinggi, resiliensi tinggi dan harga diri
tinggi akan berperan terhadap depresi pada pasien DM-2; 3) Apakah dukungan
sosial tinggi tanpa faktor psikologis lainnya akan berperan terhadap depresi pada
pasien DM-2.
3. Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencari dukungan empiris terhadap
beberapa dari pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah, yaitu:
1) Mengetahui bagaimana peranan dari faktor-faktor psikologis berdasarkan model
yang diajukan.
2) Mengetahui bagaimana dinamika hubungan antara faktor-faktor psikologis
terhadap depresi pada individu dengan DM-2.
b. Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan teoretis dan praktis dalam
bidang psikologi klinis dan kesehatan. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian
ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan psikologi, khususnya untuk
mengetahui seberapa besar kontribusi atau peran dari faktor-faktor psikologis
terhadap depresi pada DM-2.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, dapat digunakan sebagai referensi
baik pada bidang psikologi maupun kesehatan, dalam upaya meminimalisir depresi
melalui peningkatan faktor-faktor psikologis. Demikian juga hasil tersebut dapat
mengambil
andil
dalam
memberikan
sumbangan
pengetahuan,
terutama
bagaimana mengelola kasus-kasus diabetes melalui pendekatan psikologis,
22
sehingga dengan demikian dapat menurunkan prevalensi penyakit diabetes
mellitus.
Bagi pengembang ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat memberikan
informasi yang berguna untuk meneliti lebih lanjut melalui pendekatan psikologis
terkait penyakit-penykait yang berhubungan dengan kardiovaskuler, aterosklerosis,
dan lain-lain yang merupakan komplikasi dari diabetes mellitus.
4. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai depresi dan diabetes mellitus telah banyak dilakukan
oleh peneliti sebelumnya namun masih jarang yang menghubungkan dengan faktorfaktor psikologis. Umumnya penelitian diabetes mellitus dilakukan di kalangan
medis berupa intervensi atau pemberian terapi perilaku pada kasus diabetes
mellitus. Penelitian Williams, Clouse dan Lustman (2006) dengan judul ”Treating
Depression to Prevent Diabetes and Its Complication: Understanding Depression as
a Medical Risk Factors”. Penelitian Williams, Clouse dan Lustman (2006) ini,
bertujuan untuk melihat angka prevalensi depresi pada diabetes mellitus dan
bagaimana manajemen jangka pendek dan panjang pada pasien DM-2.
Menggunakan metode eksperimen dengan intervensi terapi perilakuan. Penelitian
Williams, et al., (2006) menyimpulkan bahwa, depresi pada diabetes mellitus
membutuhkan perawatan komprehensif secara simultan dan itu sebagai suatu
proses yang harus dijalani. Penanganan tersebut harus dilakukan secara simultan
dari aspek medis dan kejiwaan. Kesimpulan sebuah meta-analisis dari penelitian
tersebut bahwa, pengobatan depresi pada pasien diabetes mellitus dapat
meningkatkan proporsi kontrol diabetes sebesar 41-58%. Persamaannya, variabel
dependen adalah depresi dan subjeknya adalah penderita diabetes mellitus.
Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada metode dan variabel independen.
23
Metode yang digunakan pada penelitian Williams, et al., (2006) adalah eksperimen
dan penelitian ini menggunakan metode survey.
Penelitian Williams, et al., (2006) tidak memberikan gambaran terhadap
penanganan diabetes mellitus tetapi berfokus pada manajemen depresi. Intervensi
berupa manajemen terhadap depresi diharapkan dapat meningkatkan kontrol gula
darah pada individu dengan diabetes mellitus. Depresi pada individu dengan
diabetes mellitus diungkap melalui skala Beck Depression Inventory (BDI) tanpa
penjelasan pengisian kuesioner. Pemberian penjelasan atau mencantumkan
petunjuk pengisian pada skala BDI dianggap penting, karena skala tersebut adalah
untuk mengukur kondisi psikologis seseorang pada waktu tertentu.
Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Kinder, et al., (2006)
berjudul ”Improving Depression Care in Patients with Diabetes and Multiple
Complication”. Penelitian Kinder, et al., (2006) bertujuan untuk menentukan apakah
suatu intervensi perawatan kolaboratif untuk depresi akan lebih efektif pada pasien
diabetes yang memiliki dua komplikasi atau lebih. Metode uji coba kontrol secara
acak, membandingkan perawatan kolaboratif manajemen kasus untuk depresi dan
perawatan primer pada pasien komorbiditas depresi dan diabetes. Kesimpulan dari
penelitian Kinder, et al., (2006) adalah pasien depresi dan diabetes mellitus dengan
beberapa komplikasi memperoleh manfaat besar dari perawatan kolaboratif terhadap
depresi. Intervensi yang tepat terhadap depresi dapat mengatasi masalah diabetes
dengan tingkat keparahan medis tertinggi. Persamaannya antara penelitian Kinder,
et al., (2006) dengan penelitian ini, adalah menggunakan populasi dan sample
penderita diabetes mellitus. Perbedaannya, penelitian Kinder, et al., (2006)
menggunakan metode eksperimen dan penelitian ini menggunakan metode survey.
Pada penelitian Kinder, et al., (2006), depresi diukur dengan menggunakan
20 aitem skala Hopkins. Depresi dinilai pada awal bulan ke 3 (tiga), 6 (enam), dan 12
(dua belas). Komplikasi diabetes dinilai langsung dari catatan medis. Penelitian
24
Kinder, et al., (2006) tidak berdasarkan teori, bahwa diagnosa klinis depresi
ditegakkan apabila seorang pasien telah 5 kali atau lebih mengalami gejala depresi
dalam waktu dua minggu (Sargin, H & Sargin, 2002). Demikian juga kriteria ini
ditetapkan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual dari American Psychiatric
Association 4th Edition (DSM-4), namun tidak mengikuti ketentuan yang berlaku.
Penelitian selanjutnya oleh Gonzales, et al., (2008) berjudul ”Depression, Self
Care, and Medication Adherence Type-2 Diabetes”. Penelitian Gonzales, et al.,
(2008) bertujuan untuk melihat hubungan antara depresi dan perilaku perawatan diri
pada pasien diabetes mellitus tipe-2. Penelitian Gonzales, et al., (2008)
menggunakan metode survey pada beberapa klinik rumah sakit di Harvard untuk
melihat perilaku perawatan diri pada pasien depresi dengan DM-2. Kesimpulannya
bahwa, penelitian Gonzales, et al., (2008) merupakan tantangan untuk menemukan
konseptualisasi tentang depresi sebagai faktor risiko kategori ketidakpatuhan.
Ditemukan juga bahwa gejala depresi terkait dengan ketidakpatuhan terhadap
penanganan diabetes. Persamaannya, antara penelitian Gonzales, et al., (2008)
dengan penelitian ini adalah menggunakan metode survey pada pasien DM-2
dengan depresi. Perbedaannya, penelitian Gonzales,et al., (2008) menggunakan
variabel perilaku perawatan diri dan penelitian ini menggunakan variabel optimisme,
resiliensi, harga diri dan dukungan sosial.
Penelitian Gonzales, et al., (2008) menggunakan variabel perawatan diri
pasien diabetes mellitus dengan depresi, tetapi tidak menyimpulkan bagaimana
hubungan antara perawatan diri terhadap pasien DM-2 dengan depresi. Juga tidak
memberikan kesimpulan yang bermakna sesuai dengan tujuan penelitian, serta tidak
memberikan gambaran terhadap adanya kontribusi perawatan diri yang dilakukan,
apakah dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat depresi atau mencegah
komplikasi pada pasien diabetes mellitus. Penulis menyimpulkan bahwa, kesimpulan
dari penelitian Gonzales, et al., (2008) bukan hubungan perawatan diri terhadap
25
depresi seperti pada tujuan tetapi ketidakpatuhan penderita depresi terhadap
pengelolaan diabetes mellitus.
Ada lagi penelitian berikut ini, melihat kontribusi komplikasi dari sudut
pandang demografi, seperti penelitian Lee, et al., (2009) berjudul ”Depression,
quality of life, and glycemic control in individuals with type 2 diabetes”. Penelitian
Lee, et al., (2009) bertujuan untuk melihat kontribusi dari komplikasi diabetes mellitus
terhadap depresi dan kontribusi karakteristik demografi dari pasien DM-2.
Kesimpulannya bahwa, setelah dikontrol jenis kelamin dan usia, maka perempuan
dengan diabetes mellitus berusia muda yang mengalami depresi, cenderung juga
mengalami komplikasi neuropati. Persamaannya, antara penelitian Lee, et al., (2009)
dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metode survey pada pasien
DM-2 yang mengalami depresi. Perbedaannya, karakteristik demografi sebagai
variabel independen, sedangkan pada penelitian ini adalah faktor-faktor psikologis
sebagai variabel independen.
Penelitian Lee, et al., (2009) menggunakan metode survey cross sectional
pada 55 individu dengan DM-2 sebagai subjek penelitiannya. Jumlah sampel yang
digunakan sangat kurang, tidak memenuhi ketentuan. Besarnya ukuran sampel
memiliki peran penting dalam menginterpretasi hasil. Ukuran sampel memberikan
dasar untuk mengestimasi sampling error. Direkomendasikan bahwa ukuran sampel
antara 150 sampai 400 untuk digunakan dalam metode estimasi (Ghozali, 2009).
Terakhir dari keaslian penelitian yang hampir menyerupai penelitian ini yaitu
penelitian Dupuis dan Ramsey (2011) berjudul ”The Relation of Social Support to
Depression in Massively Multiplayer Online Role-Playing Games”. Penelitian Dupuis
dan Ramsey (2011) bertujuan untuk melihat dukungan sosial dari masyarakat
melalui games on line terhadap depresi. Kesimpulannya bahwa, lebih tinggi tingkat
dukungan sosial yang dirasakan berhubungan dengan rendahnya tingkat depresi.
Kurangnya dukungan sosial yang dirasakan berhubungan dengan tingkat depresi
26
yang lebih tinggi. Persamaannya, antara penelitian Dupuis dan Ramsey (2011)
dengan penelitian ini adalah, menggunakan salah satu variabel independen
dukungan sosial dengan analisis uji model persamaan struktural dan metode survey
pada pasien depresi. Perbedaannya, metode survey yang digunakan adalah survey
game on line atau survey non klinik, sedangkan penelitian ini menggunakan metode
survey klinik karena dilakukan langsung pada pasien yang sedang melakukan rawat
jalan.
Penelitian Dupuis dan Ramsey (2011) tersebut tidak didasarkan pada teori
bahwa, dukungan sosial sebagai sumber daya psikologis dan material, sehingga
seseorang mampu dalam mengatasi stres. Penelitian Dupuis dan Ramsey ini,
menggunakan metode survey games on line, dimana peneliti tidak dapat mengetahui
dengan pasti, apakah pengguna games on line tersebut adalah orang yang sedang
mengalami stres atau tidak. Populasi dan sampel juga tidak jelas, karena tidak ada
kriteria inklusi yang membatasi pengguna games on line tersebut. Walaupun demikian
penelitian ini dapat menarik kesimpulan bahwa, keterlibatan yang tinggi dikaitkan
dengan tingkat dukungan sosial yang dirasakan, berhubungan dengan rendahnya
tingkat depresi. Sebagai pelengkap, penelitian Dupuis dan Ramsey menggunakan
analisis
model
persamaan
struktural
untuk
menemukan
berhubungan dengan sosial yang dirasakan mendukung.
keterlibatan
tidak
Download