1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kesehatan merupakan suatu keadaan sungguh sangat berharga, yang diharapkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupannya. Walaupun demikian, harapan ini terkadang putus di tengah jalan, karena tanpa disadari berbagai penyakit dapat dialami oleh setiap individu apabila tidak diwaspadai. Seringkali berbagai penyakit kronis maupun akut, dapat menyebabkan kematian. Menurut Sarafino (1998) penyebab kematian banyak dikarenakan oleh penyakit kronis. Di antara penyakit kronis yang sekarang menjadi perhatian orang banyak adalah diabetes mellitus (DM). Jumlah kasus DM di Amerika bertambah sangat cepat, dan 90% dari semua kasus tersebut adalah DM tipe-2 (DM-2), dibandingkan dengan DM tipe-1(DM-1) (Glasgow & Nutting, 2004; Taylor, 2006). Diabetes Statistics (2011) memperlihatkan bahwa, Amerika Serikat telah memberikan data berdasarkan laporan dari National Diabetes Fact Sheet tahun 2011. Berdasarkan laporan tersebut terdapat data sekitar 25,8 juta (8,3%) populasi baik golongan usia remaja maupun dewasa terkena diabetes, sehingga diperkirakan menyedot anggaran untuk berobat sebesar 174 milyar dolar Amerika. Berdasarkan jumlah tersebut, terdapat 18,8 juta penduduk yang terdiagnosa dan 7,0 juta penduduk yang tidak terdiagnosa. Di antara jumlah tersebut terdapat 79 juta penduduk dalam status prediabetes. Lebih lanjut data tersebut melaporkan tentang angka kematian akibat diabetes pada tahun 2007, bahwa diabetes mellitus telah memberikan kontribusi sebesar 231.404 kematian. Menurut Sarah, Gojka, Anders, Richard, dan Hilary (2004) serta Williams dan Pickup, (2004) pada beberapa negara bagian di Amerika Serikat, DM-2 dengan komplikasi merupakan sepertiga dari kasus diabetes, dan 80% mengenai anak-anak 2 remaja di Jepang, dan hal ini menghabiskan anggaran yang cukup besar. Perhitungan secara ekonomis untuk setiap penderita diabetes mellitus adalah penting, demikian juga terhadap efek yang ditimbulkannya, seperti depresi. Lebih lanjut WFMH (2010) menjelaskan, setiap penderita diabetes mellitus yang mengalami depresi terjadi peningkatan tambahan biaya kesehatan sebesar 50-75%. Depresi meningkatkan angka kematian penduduk dunia sebesar 30% pada penderita diabetes mellitus. International Diabetic Federation (IDF) mengestimasi jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun ke atas, menderita diabetes sebanyak 5,6 juta orang pada tahun 2001, dan akan meningkat menjadi 8,2 juta orang pada tahun 2020. Survey Depkes Tahun 2001 terdapat 7,5% penduduk Jawa dan Bali menderita diabetes. Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia termasuk Indonesia diperkirakan akan meningkat sampai tahun 2020. Terdapat 300 juta atau bertambah 3 kali lipat dari tahun 1994. Atas dasar prevalensi bertambah 1,5% dari tahun 1994 sehingga berjumlah 2,5 juta, tahun 1998:3,5 juta, tahun 2010:5 juta dan prediksi tahun 2020:6,5 juta terkena diabetes mellitus. Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar untuk jumlah kasus diabetes mellitus dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk setelah India, Cina dan Amerika Serikat (Perkeni, 2006 & Mubarak, 2008). Survey yang dilakukan olah Departemen Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus sebesar 12,7% dari seluruh penduduk, dan penyakit ini hampir selalu disertai dengan komplikasi yang diakibatkan adanya gangguan vaskuler (Makmur, 2008; Perkeni, 2006). Dampak kesehatan di masyarakat menurut hasil penelitian epidemiologi, bahwa diabetes mellitus di Indonesia menunjukkan angka prevalensi sebesar 1,52,3% pada penduduk dengan usia lebih dari 15 tahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 akan ada 3,56 juta penderita diabetes mellitus dengan prevalensi 2%. Peningkatan pendapatan 3 perkapita dan perubahan gaya hidup, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif seperti; penyakit jantung koroner, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus dan lain-lain (Fisher, Thorpe, Mc. DeVellis & DeVellis, 2007; Suyono, 2007). Mangoenprasojo (2005) juga memperkirakan bahwa sekitar lima juta penduduk Indonesia, yang berarti 1 dari 40 penduduk Indonesia menderita diabetes mellitus. Walaupun secara pasti, tidak ada data tentang jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia. Data di Indonesia juga tidak menunjukkan jumlah yang pasti antara DM-1 dan DM-2. Menurut Suyono (dalam Soegondo, 2007) kasus DM-1 di Indonesia sangat jarang. Sehubungan dengan data tersebut, maka penelitian ini akan dilakukan pada pasien DM-2. Bertambahnya angka harapan hidup bangsa Indonesia, menyebabkan perhatian masalah kesehatan beralih dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif. Selain penyakit jantung koroner dan hipertensi, diabetes mellitus juga merupakan salah satu penyakit degeneratif, yang saat ini semakin bertambah jumlahnya di Indonesia. Beberapa alasan mengapa perhatian bangsa Indonesia tertuju pada diabetes mellitus, sementara banyak penyakit degeneratif lainnya juga menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi? Pertama, diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan global yang serius (Glasgow, & Nutting, 2004), karena terjadinya semakin banyak dan bertambah lebih buruk. Soegondo (2007) menjelaskan, kejadian tersebut telah mempengaruhi sedikitnya 5-7% dari populasi dunia. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya angka prevalensi dari 135 juta orang di tahun 1995, menjadi sekitar 300 juta orang di tahun 2025. Kedua, diabetes mellitus tipe-2 merupakan bentuk tipe yang lebih banyak, dengan prevalensi sekitar 60 per 1000 kasus. Perawatan diabetes dengan komplikasinya, menghabiskan biaya sekitar 12%-14% pertahun dari total biaya pelayanan kesehatan di Amerika Serikat (Boll, 2004). Frekuensi tinggi terutama pada 4 suku minoritas yang tinggal di daerah industri, atau masyarakat di wilayah Negara bagian barat, seperti orang Amerika asli di USA dan orang India Asia di UK. Saat ini diabetes mellitus sedang mewabah di seluruh dunia, dengan prevalensi 150 juta orang, menggambarkan adanya prediksi ganda di tahun 2025. Di masa yang akan datang, kebanyakan kasus ini akan berada di negara berkembang yang sedang mengadopsi suatu gaya hidup orang barat (Mubarak, 2008; Mulvaney, et al., 2008). Menurut data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa, jumlah kasus diabetes mellitus di Indonesia, mencapai 17 juta orang atau 8,6% dari populasi penduduk yang berjumlah 220 juta orang. Kasus diabetes di kota-kota besar di Indonesia semakin meningkat. Penelitian di Jakarta menunjukkan prevalensi 5,7%, Manado 6,1% dan Jawa Barat 1,1%. Sembilan puluh persen dari penderita diabetes melitus ini adalah diabetes mellitus tipe-2. Secara tradisional diabetes mellitus dianggap sebagai penyakit orang kaya. Sebagai implikasinya negara dunia ketiga kurang memperhatikan penyakit ini, karena dianggap sebagai penyakit negaranegara maju. Saat ini penyakit diabetes mellitus di Indonesia belum mendapat prioritas pelayanan kesehatan (Perkeni, 2006; Williams & Pickup, 2004). Berdasarkan hasil studi preliminary, terhadap 10 pasien DM-2, yang melakukan kontrol rutin di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat DR. Sardjito Yogyakarta, pada bulan Oktober 2011 disimpulkan, depresi juga dialami oleh individu DM-2 dengan gejala sebagai berikut: Sebesar 90% individu dengan DM-2 merasa lelah, letih dan kurang bersemangat; 70% mengalami penurunan berat badan; 70% mengalami susah tidur atau bangun terlalu pagi dan susah tidur kembali; 60% merasa gelisah; 40% merasa sedih atau suasana hati yang kosong; 30% mengalami susah konsentrasi, mengingat atau mengambil keputusan; dan 30% pernah merasa bersalah, hilang harga diri atau tidak berdaya. Pengelolaan terhadap diabetes untuk memperoleh pengendalian yang baik, merupakan hal yang kompleks dan menuntut individu untuk mampu melaksanakan 5 secara tepat dan disiplin, meliputi diet yang dilakukan, manajemen terhadap berat badan, berolahraga teratur, pengobatan secara medis, serta kontrol gula darah yang rutin (Sridhar & Madhu, 2002). Penyakit diabetes mellitus apabila dibiarkan tidak terkendali, dapat menimbulkan penyulit atau komplikasi yang berakibat fatal seperti; penyakit jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan, infeksi akibat ulkus dan dapat mengakibatkan kematian. Upaya pengendalian penyakit tersebut dapat dilakukan dengan pengelolaan diet yang tepat, keteraturan minum obat atau menyuntikkan insulin, melakukan olah raga atau aktivitas fisik secara teratur dan melakukan pemeriksaan gula darah secara rutin. Untuk mengetahui terkendalinya diabetes tersebut dan keberhasilan terapi dapat dilakukan pemeriksaan gula darah secara berkala (Mindy & Catherine, 2004; Snoek & Skinner 2000). Kenyataannya bahwa banyak individu yang menderita diabetes melitus, tidak memperoleh kontrol gula darah yang baik, sehingga berlanjut dan menghasilkan berbagai macam masalah kesehatan. Misalnya terjadi tingkat komplikasi yang serius seperti retinopathy dan penyakit ginjal, yang berkaitan langsung dengan penyakit diabetes mellitus. Hal ini jika dikaitkan dengan biaya perawatan kasus diabetes di berbagai negara, baik di negara maju maupun negara berkembang masih sangat tinggi. Inggris di tahun 1986-1987, menyedot anggaran belanja kesehatan sebesar 45% untuk pengobatan diabetes. Di Indonesia biaya perawatan gangren antara 1,31,6 juta rupiah perorang dalam setahun. Pengobatan yang intensif dapat menambah umur harapan hidup pasien diabetes rata-rata 2,5 tahun, tentunya bertambah juga biaya sekitar US $ 430.000 pertahun. Individu dengan diabetes yang menderita gagal ginjal bila mendapatkan haemodialisa maka biaya bertambah Rp 150.000200.000 setiap kali melakukan haemodialisa. Ini merupakan gambaran kesulitan pasien diabetes untuk memenuhi semua biaya tersebut. Diabetes melitus dikenal sebagai salah satu penyakit yang ”mahal” dalam konteks kehidupan manusia maupun hitungan ekonomi (Delamater, 2006). 6 Data di lapangan yang diperoleh dari Poliklinik Penyakit Dalam berdasarkan Laporan Tahunan, jumlah pasien diabetes mellitus tipe-2 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan adanya peningkatan. RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit rujukan, dan terbesar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jumlah pasien rawat inap di tahun 2008 sekitar 107 orang dan meningkat di tahun 2009 meningkat menjadi 197 orang. Sementara jumlah kunjungan pasien di Poliklinik Penyakit Dalam pada bulan Desember 2009 rata-rata mencapai 61-63 orang perhari (Laporan Tahunan, 2010). Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kesehatan di Poliklinik Penyakit Dalam, jumlah kunjungan pasien lama dan baru untuk kasus diabetes mellitus di tahun 2010 sebanyak 13.632 orang sehingga diperkirakan setiap bulan sekitar 1.136 orang, dan setiap bulan Poliklinik tersebut memberikan pelayanan selama 16 hari kerja sehingga kunjungan perhari diperkirakan mencapai 71-72 pasien diabetes mellitus. Demikian juga di Puskesmas Wilayah Kerja Kabupaten Sleman. Sejak pelaksanaan desentralisasi sampai saat ini, Kabupaten Sleman sebagai salah satu Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah banyak memberikan kontribusi terhadap pencapaian derajat kesehatan masyarakat. Salah satu indikator pencapaian adalah diperolehnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan nilai 77,70 dan menempati peringkat ke 14 dari 483 kabupaten dan kota di Indonesia, dan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dengan peringkat ke 7 se Indonesia. Kabupaten Sleman melalui Dinas Kesehatan dalam melaksanakan kebijakan bidang kesehatan sesuai dengan Sistem Kesehatan Daerah (SKD), yang dituangkan dalam keputusan Bupati Sleman No.114/Kep.KDH/A/2007, telah mempunyai blue print yang jelas, sehingga dalam pengambilan data penyakit dapat dipertangungjawabkan, termasuk data tentang penyakit diabetes mellitus (Dinas Kesehatan, 2012). 7 Dibandingkan dengan penderita lainnya, pasien diabetes mellitus memiliki risiko lebih tinggi, dan jauh lebih besar terhadap gangguan depresi. Beberapa riset terdahulu mendukung pendapat ini bahwa, diagnosis penyakit kronik akan memicu depresi, demikian sebaliknya. Artinya, diabetes mellitus dapat menyebabkan depresi dan depresi dapat memperparah diabetes mellitus, dengan kata lain diabetes mellitus dan depresi mempunyai hubungan sebab akibat. Pertama, depresi akan lebih parah dua kali lipat, jika diderita oleh pasien diabetes mellitus, dibandingkan dengan penderita lain. Dalam Kinder, et al., (2006) dijelaskan depresi yang diderita oleh penderita selain diabetes mellitus, hanya mencapai 11%-15%. Kedua, prevalensi depresi mungkin lebih tinggi pada pasien DM, yang memiliki komplikasi ganda. Depresi pada pasien DM, sering tidak terdeteksi dan merupakan penghalang utama, terhadap manajemen diabetes yang efektif. WFMH, (2010) mengestimasi prevalensi dunia pada tahun 2000, terdapat 43 juta kasus DM, yang mengalami depresi. Indikasi estimasi bahwa, satu diantara empat pasien DM mengalami depresi. Lebih lanjut dikatakan bahwa depresi berkembang lipat ganda, bahkan meningkatkan angka kematian 30% pada individu dengan DM. Ketiga, berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap manajemen rejimen diet, olahraga dan obat-obatan serta kontrol HbA1c (Mindy, & Catherine, 2004), maka depresi memperberat beban penyakit (Lype, Shaji, Balakrishnan, & Varghese, 2009), serta memunculkan lebih banyak gejala fungsional (Clark, & Treisman, 2004). Selain itu, depresi juga telah dikaitkan dengan tingkat keparahan berupa komplikasi, (Lee, et al., 2009) dan bahkan kematian pada individu akibat DM, serta berbagai kesulitan hidup lainnya (Glasgow, Toobert, & Gillette, 2001). Kesulitan pasien DM dalam mengatasi depresi yang dialaminya, disimpulkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Talbot, Nouwen, Gingras, Belanger, dan Audet (1999) tentang bagaimana mengakomodir berbagai gejala yang ada, termasuk 8 depresi adalah sulit untuk dikendalikan. Depresi merupakan salah satu tekanan yang dapat memperparah diabetes. Menurut Sargyn, H dan Sargyn (2002) ada hubungan yang signifikan antara depresi dan hiperglikemia pada diabetes tipe-1 dan tipe-2. Adanya akibat yang merugikan dari depresi terhadap diabetes yaitu risiko meningkatnya keparahan komplikasi. Di sisi lain hasil studi ini juga menyatakan bahwa, apabila manajemen depresi efektif, maka gula darah dapat terkontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Kinder, et al., (2006) menjelaskan, bahwa pasien diabetes mellitus mempunyai risiko 3 (tiga) kali lebih banyak terkena depresi, dan 10 kali lebih banyak terkena penyakit jantung koroner, dibandingkan dengan penyakit lainnya. Depresi merupakan salah satu gangguan psikologis pada kehidupan seseorang. Beck (1985) menggambarkan depresi sebagai suatu gangguan yang meliputi sekelompok problem yang heterogen, terdiri dari berbagai macam kondisi psikopatologi. Gonzalez, et al., (2008) menjelaskan, depresi dapat menyerang setiap orang, tetapi penderita DM berisiko lebih besar terhadap terjadinya komplikasi. Pengobatan terhadap depresi dapat menolong orang terhindar dari gejala penyakit yang lain. Lebih lanjut dikatakan, penderita diabetes mellitus mempunyai risiko dua kali lipat, mengalami depresi dibandingkan dengan mereka yang tanpa diabetes. Adanya peningkatan depresi akan memperburuk komplikasi diabetes mellitus. Riset ini menunjukkan bahwa depresi menyebabkan tekanan mental dan fisik, sehingga tubuh menjadi semakin tidak berfungsi. Menurut Lee, et al., (2009) pengobatan depresi dengan psikoterapi atau kombinasi, dapat meningkatkan well-being pasien terhadap kemampuan untuk mengendalikan diabetes mellitus. Keadaan well-being dapat menguatkan sikap positif yang bersifat individual (Green, Kreuter, Deeds, & Patrige, 2000), dan penerimaan individu terhadap objek sikap tertentu (Debono & Cachia, 2007) berdasarkan sikap yang dimiliki individu, dapat diketahui perilaku yang akan dilakukannya. Perilaku merupakan tindakan yang 9 mempunyai frekuensi, lama, dan bertujuan khusus. Berkaitan dengan hal tersebut Young (dalam Suhadi, 2005) menyatakan bahwa, pada dasarnya perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus, yang berkaitan dengan sakit dan sistem pelayanan kesehatan serta lingkungan. Penelitian ini tidak menjelaskan bahwa, respon manusia terbagi menjadi dua yaitu respon yang bersifat pasif dan aktif. Respon pasif terdiri dari pengetahuan, persepsi dan sikap, dan respon aktif terdiri dari tindakan nyata dan praktis. Dalam hal ini sikap positif berpengaruh terhadap berbagai komplikasi pada pasien diabetes mellitus. Seseorang yang optimis dan resilien (Cristea, et al., 2011) cenderung berfikir positif dan mampu bertahan dalam keadaan tertekan. Individu dengan diabetes yang mengalami depresi, berdampak sangat besar pada setiap dimensi kehidupannya. Sebagai suatu analisa yang membandingkan, antara depresi pada diabetes dan non diabetes (Debono, & Cachia, 2007) menunjukkan perbedaan secara statistik yang penting pada kualitas hidup, terutama pada komponen mental dan fisik. Seperti yang dijelaskan oleh Goldney, Phillips, dan Wilson (2004) tentang prevalensi depresi pada diabetes, telah mencapai 24% dibandingkan dengan populasi non diabetes yang hanya 17%. Depresi pada pasien diabetes mellitus, memerlukan penanganan yang lebih baik, agar tidak memperparah kondisi diabetes itu sendiri. Brands, et al., (2007) dan WFMH (2010) menjelaskan, depresi menyebabkan individu dengan diabetes mellitus menjadi lemah terhadap pengambilan keputusan, gaya hidup, pola makan yang tidak sehat, kurang berolahraga, merokok, penyalahgunaan alkohol, dan tidak terkontrolnya berat badan sehingga menyebabkan berlebihan atau obesitas. Semua kejadian tersebut merupakan faktor risiko terhadap naiknya kadar gula dalam darah, yang lasim disebut dengan DM tipe 2. Diabetes mellitus tipe 2 (DM-2) merupakan tipe yang paling banyak dijumpai di masyarakat. DM-2 ditandai dengan adanya gangguan kinerja insulin, atau 10 gangguan sekresi insulin (Asdie, 2000) karena pankreas menghasilkan sedikit insulin. Hal ini menyebabkan terjadinya resistensi dan defisiensi insulin. Artinya, insulin dalam darah tidak mampu mengambil dan menggunakan glukosa ke dalam sel secara maksimal. Pertama, sebagai faktor utama pemicu DM-2 dalam hal ini adalah obesitas. Apa yang menyebabkan terjadinya obesitas? Terlalu banyak makan dapat menstimulasi produksi insulin yang berlebihan oleh pankreas. Insulin yang meningkat dalam darah menyebabkan terjadinya resistensi insulin dalam sel. Prokop, Bradley, Burish, Anderson, dan Fox (1991) menjelaskan, disamping itu sel beta dalam pankreas yang mengalami kerusakan, menuntut untuk memproduksi insulin yang banyak, namun akhirnya menghasilkan sedikit insulin. Kedua, DM-2 terjadi jika insulin hasil produksi pankreas tidak cukup, atau sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin, sehingga terjadi gangguan pengiriman gula ke sel tubuh (Landel, Yout, & Rudniki, 2003). DM-2 sering juga disebut dengan istilah Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Dalam prosesnya, lambung mengubah makanan menjadi gula (glukosa), kemudian glukosa masuk ke dalam aliran darah, dan selanjutnya pankreas memproduksi insulin, namun hal ini tidak terjadi pada pasien DM-2. Tjokroprawiro (2004) menjelaskan, hal ini disebabkan karena terlalu banyak insulin masuk ke dalam aliran darah, sehingga glukosa tidak dapat masuk ke sel tubuh, dan menumpuk pada pembuluh darah. Sebagian besar individu dengan DM-2 di masyarakat, dapat mengelola tingkat gula darah tanpa memakai insulin, dengan mengikuti diet khusus DM, serta melakukan olahraga dan meditasi. DM-2 dapat berkembang di berbagai usia, namun biasanya muncul setelah usia 40 tahun. Walaupun di lapangan penulis menemukan juga kasus tersebut pada usia kurang dari 40 tahun. Pada saat terdiagnosis hingga sepanjang hidupnya pasien DM-2 menggunakan tritmen insulin sebagai kontrol gula darah, bukan sebagai pertahanan hidup. Risiko dari DM-2 meningkat dengan 11 bertambahnya usia, obesitas dan tidak aktif secara fisik. Sarafino (1998) dan Taylor (2006) serta WHO (2003) menjelaskan, individu dengan orangtua atau saudara kandung yang menderita diabetes, akan memiliki risiko tinggi untuk menderita diabetes juga. Asdie (2000) menyebutkan tipe ini sebagai tipe dewasa (maturityonset atau adult-onset diabetes). Sebagian berkembangnya besar dampak komplikasi. dari Komplikasi diabetes pada kronis umumnya diakibatkan adalah oleh penyakit mikrovaskuler (microangiopathy, retinopathy, nephropathy dan neuropathy) dan penyakit makrovaskuler (atherosclerosis) (Glasgow, & Nutting, 2004). Terdapat bukti yang cukup kuat bahwa penyakit mikrovaskuler dihubungkan dengan jangka waktu atau lamanya hiperglikemi pada diabetes. Suatu penelitian klasik dari Pirart menunjukkan adanya mata rantai ini pada 4400 pasien diabetes tipe-1 dan tipe-2 yang dapat diobservasi sampai ke 25 tahun. Lamanya menderita diabetes, akan meningkatkan prevalensi retinopathy, nephropathy dan neuropathy (Williams & Pickup, 2004). Ketidakseimbangan ini nampaknya tidak dapat diregulasi oleh faktor-faktor seperti obesitas dan stres, serta faktor-faktor lain yang memberikan kontribusi (Debono & Cachia, 2007). Gejala yang muncul pada penderita antara lain penglihatan kabur yang mengakibatkan kebutaan, luka yang lama sembuh, kaki terasa kebas, geli atau merasa terbakar, infeksi jamur pada saluran reproduksi perempuan, dan impotensi pada pria. Menurut Williams dan Pickup (2004) kasus DM-2 di negara berkembang, banyak mengalami komplikasi bahkan sampai menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penanganan komplikasi di negara berkembang juga mengalami berbagai kesulitan dalam prakteknya, seperti kurangnya tenaga dokter, perawat dan ahli gizi bahkan kekurangan obat termasuk insulin. Julien (2010) menjelaskan, penanganan DM-2 berhubungan dengan kepatuhan makan. Merupakan hal penting untuk dipertimbangkan (Fisher, 2006) 12 bagaimana individu dengan DM-2 mengatasi kondisi stres, sehingga dapat termotivasi untuk menjalankan rejimen diet yang seharusnya dijalani. Walaupun penelitian tentang diabetes mellitus dan depresi telah banyak dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, namun hasil yang diperoleh belum dapat disimpulkan dengan jelas. Adanya hubungan antara depresi dan diabetes seperti penelitian yang dilakukan oleh Nguyen, Wong, Hubbard, Miller, dan Darwin (2008) menyimpulkan bahwa, penyebab yang mendasari hubungan antara depresi dan diabetes mellitus belum jelas. Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis memberikan beberapa alasan. Pertama, depresi terjadi karena stres yang diakibatkan oleh efek samping metabolisme dari diabetes itu sendiri, oleh karena itu tidak semua penderita diabetes dapat mengalami depresi, seperti yang dijelaskan oleh Gonzales, et al., (2008). Demikian juga menurut hasil penelitian WFMH (2010) terdapat interaksi yang tidak dipahami, antara diabetes mellitus dan depresi. Bagaimanapun penyebab atau efek kombinasi antara diabetes mellitus dan depresi, mengakibatkan masing-masing keadaan lebih sulit untuk dikendalikan, namun diketahui bahwa depresi memperburuk diabetes mellitus. Kedua, depresi merupakan reaksi yang paling umum dan sering kali dialami oleh penderita penyakit kronis. Seseorang dengan penyakit kronis diperkirakan memiliki risiko tinggi untuk terkena depresi. Kecenderungan depresi terjadi pada saat tertentu dalam beberapa waktu (state) yang tidak menetap. Depresi timbul karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi dari pengelolaan terhadap penyakit itu sendiri. Dalam Davison dan Neale, (2004) serta Taylor (2006), reaksi psikologis penderita terhadap penyakitnya meliputi, penyangkalan diri (denial), kecemasan (anxiety), dan depresi (depressed). Ketiga, frekuensi diabetes mellitus meningkat terutama di negara yang sedang berkembang, di mana gaya hidup telah mengubah seseorang dari kehidupan 13 agrikultur tradisional, kepada kehidupan atau gaya hidup barat yang berkenaan dengan budaya kota. Menyantap makanan siap saji, yang tinggi karbohidrat dan tidak melakukan aktivitas yang cukup. Kondisi seperti ini merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya diabetes mellitus. Secara psikologis keadaan ini merupakan stresor tersendiri terhadap individu dengan DM-2. Seperti yang dijelaskan oleh Williams dan Pickup (2004) pasien diabetes mellitus di negara berkembang, kebanyakan diabetes mellitus mengalami komplikasi sehingga menyebabkan kenaikan angka kematian yang cukup tinggi. Doherty, James, dan Robert (2000) menjelaskan komplikasi diabetes diperberat oleh keadaan depresi, dengan adanya tekanan-tekanan sosial, termasuk mengalami berbagai kesulitan dalam mengelola diabetes seperti kurangnya tenaga dokter, perawat dan ahli gizi, bahkan kekurangan obat termasuk insulin. Fakta yang ada sekarang menunjukkan bahwa, faktor psikologis seperti stres juga dapat menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi tidak terkontrol, sehingga memunculkan simtom-simtom diabetes mellitus, baik simtom hiperglikemia maupun hipoglikemia (Pitt & Philips, 1991; Vitaliano, Scanlan, Krenz & Fujimoto, 2006), oleh karena itu penanganan terhadap individu dengan diabetes mellitus, kini tidak hanya difokuskan pada pengobatan berbasis farmakologis semata. Penanganan berbasis psikologis, sosial dan budaya diyakini memberikan sumbangan yang signifikan terhadap keseimbangan kadar gula darah dan memberikan peranan yang cukup penting dalam mengelola diabetes (Sridhar & Madhu, 2002; Zimbardo, Johnson & McCann, 2012). Cox dan Gonder-Frederick (1992) dalam tulisannya tentang perkembangan riset diabetes, jika dilihat dari sudut pandang ilmu perilaku, penelitian tersebut membuktikan bahwa variabel psikososial merupakan penyangga (buffer) efek negatif, dari stres terhadap kenaikan glukosa darah. Dalam Skinner, John, dan Hampson (2000), variabel tersebut adalah dukungan sosial, kompetensi sosial, dan 14 coping style. Selanjutnya diperkuat oleh penelitian Glasgow, Toobert, dan Gillette (2001) yang memfokuskan pada tiga konstrak psikologis, dan dua faktor sosial/interpersonal, yang secara teoretik dianggap penting dan dapat diterapkan dalam perspektif kedokteran perilaku. Konstrak tersebut meliputi; efikasi diri, personal illness models (adanya keyakinan tentang konsekuensi pasien diabetes dan efektivitas tritmen) dan health beliefs, serta depresi. Faktor sosial yang diteliti adalah, stres dan dukungan dari teman dekat serta keluarga. Dalam WHO (2004b) disebutkan juga bahwa, faktor psikologis dan sosial/interpersonal sebagai faktor psikososial. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konstrak yang paling kuat dan konsisten, diantaranya berhubungan dengan rendahnya dukungan sosial yang berasal dari keluarga. Dukungan sosial keluarga menjadi faktor penting dalam pengelolaan DM. Berawal dari sebuah harapan bahwa, setiap individu memiliki keinginan untuk menyelesaikan semua tugas dan tanggung jawabnya di dunia, sehingga perhatian terhadap kesehatan sering terabaikan. Perilaku kesehatan seringkali tidak menjadi perhatian utama, walaupun setiap individu mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap representasi sakit. Menurut Jessop dan Rutter (2003) pemahaman tentang representasi sakit mengacu pada keyakinan tentang penyakit serta representasi emosi meliputi respon individu, pengetahuan, dan pengalaman tentang penyakit tersebut. Hal ini akan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Hofstad, Rodrigues, Quiles, Mira, dan Sirges (2003) menjelaskan, representasi sakit tidak hanya penting untuk memastikan kepatuhan terhadap tritmen, tetapi juga untuk memprediksi reaksi pasien terhadap penyakit, serta akibatnya bagi kesehatan mental. Beberapa pendapat di atas memberikan makna bahwa, penyakit fisik dapat menimbulkan masalah kesehatan mental. Penjelasan World Federation for Menthal Health (WFMH) (2010), salah satu masalah kesehatan yang memiliki prevalensi tinggi serta kecenderungannya semakin meningkat, adalah diabetes mellitus. Selain 15 menyebabkan masalah berupa gangguan kesehatan fisik, diabetes mellitus juga menimbulkan masalah kesehatan mental, terutama depresi. Rose, Fliege, Hildebrandt, Schirop, dan Klapp (2002) menjelaskan bahwa, aspek-aspek psikologis seperti emosi negatif, efikasi diri, dukungan sosial, karakteristik kepribadian dan perilaku koping, merupakan kontrol terhadap diabetes melitus. Penelitian tersebut menghubungkan antara komplikasi mayor terhadap aspek-aspek fisik, yang memperberat beban psikologis seperti; kebutaan, dialysis neuropati, luka kaki, amputasi, stroke dan gagal jantung. Berkaitan dengan kesehatan seseorang, WHO (2004a) menjelaskan, yang harus dijalani oleh setiap individu dengan diabetes mellitus adalah pengendalian terhadap penyulit, dan apabila tidak diupayakan akan mempermudah munculnya komplikasi seperti; penyakit jantung iskemik, stroke dan neuropati. Menurut Milenkovic, et al., (2004) terdapat juga penghambat lain terhadap pengendalian komplikasi seperti; biaya yang relatif mahal, manajemen diet, tipe dan lamanya menderita diabetes, tritmen diabetes, kontrol kadar gula darah, dan unsur demografi seperti jenis kelamin, serta tingkat pendidikan. Demikian juga Nakahara, et al., (2006) dan Polonsky, et al., (2005) menambahkan, dari faktor psikologis terdapat juga emosional distress yang berhubungan dengan diabetes mellitus yaitu; stres peristiwa kehidupan dan stresor harian. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa diabetes melitus yang sudah dikenal di masyarakat dapat menyebabkan depresi dan sebaliknya depresi dapat memperparah komplikasi diabetes mellitus. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor psikologis yang melekat pada kepribadian seseorang. Kepribadian menjadi faktor penting dalam menentukan terjadinya depresi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi-dimensi kepribadian mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan, dan mempertahankan kondisi fisik dan psikologis seseorang. Penelitian Chang dan Strunk (1999) menjelaskan bahwa 16 kepribadian tangguh, perfeksionis, neurotis dan optimis berhubungan dengan keberhasilan seseorang dalam penyesuaian terhadap kondisi depresi. Demikian juga Appel (2000); Hagberg, Park, dan Brown (2000); serta Seligman (2005) menjelaskan bahwa, orang yang optimis akan menghadapi tantangan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian psikologis selama kejadian depresi, sehingga dapat menghasilkan kesehatan yang lebih baik. Hal ini berarti bahwa, kegagalan atau keberhasilan seseorang dalam melakukan penyesuaian, sangat bergantung pada kondisi kepribadian dengan struktur dan fungsinya. Pertama, orang yang tidak optimis akan mempercayai penyakitnya pervasif, personal dan permanen, sehingga cenderung tidak akan melakukan sesuatu. Keadaan ini berdampak pada ketidakberdayaan dan penerimaan yang negatif terhadap penyakit yang diderita, sehingga perilakunya tidak akan menghasilkan efek yang memuaskan. Terkait dengan hal tersebut Argyle (2001) menjelaskan, optimisme berpengaruh terhadap kesehatan mental, karena melalui optimisme individu dapat mengontrol stresor sehingga berdampak pada mood dan sistem imun. Dalam hal ini optimisme dapat menjadi salah satu kontrol internal yang mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Duangdao dan Roesch (2008) menyatakan bahwa pasien yang optimis dan berpikir tentang tritmen kesehatan serta memodifikasikan gaya hidup, termasuk penurunan berat badan, latihan aerobik dan terapi diet, maka keadaan diabetes akan membaik. Kedua, dimensi kepribadian lain yang mempengaruhi depresi diantaranya adalah resiliensi. Individu yang resilien mempunyai ketrampilan khusus untuk bertahan dalam penyesuaian. Menurut Benard (dalam Spector, 2006) serta Waaktar, Christie, Borge, dan Torgersen, (2004) individu yang resilien memiliki kemampuan penyesuaian diri secara multidimensi, dimana kemampuan tersebut terdiri dari beberapa ketrampilan khusus yang berhubungan dengan resiliensi. Yu, dan Zhang, (2007) menjelaskan, kemampuan tersebut memiliki kapasitas dalam merencanakan 17 sesuatu, memecahkan masalah, berinisiatif, dan mengambil hikmah dari suatu kejadian, serta mempunyai kemampuan penyesuaian diri. Resiliensi merupakan salah satu faktor intrapersonal, yang sangat berpengaruh pada kesehatan mental. Luthar, Ciccehetti dan Becker (2000); serta Schoon (2006) menambahkan bahwa, hal mendasar yang membedakan antara resiliensi dan penyesuaian diri adalah faktor risiko tinggi. Seseorang dikatakan resilien apabila dapat berkembang melampaui risiko tinggi dan menghindari dampak negatif akibat tekanan hidup atau keadaan depresi yang dihadapinya. Connor (2006) menjelaskan, semakin rendah resiliensi seseorang maka depresi akan lebih muda dialami. Noris dan Steven (2007) serta Smith (2009) menambahkan, resiliensi melindungi individu dari depresi. Semakin tinggi resiliensi seseorang, akan semakin besar kemungkinan orang tersebut melakukan sesuatu upaya untuk terhindar dari depresi. Ketiga, dimensi kepribadian selain optimisme dan resiliensi yang mempengaruhi depresi adalah harga diri. Menurut Lype, Shaji, Balakrishnan, dan Varghese (2009) harga diri rendah dapat memicu terjadinya depresi. Harga diri merupakan penilaian dan penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri (Wood, 2005) hubungan harga diri rendah dan terjadinya depresi dapat dilihat pada penderita dengan kasus kronis seperti diabetes mellitus. Demikian juga Sympson, Hilman, Crawford, dan Everton (2010) menjelaskan bahwa harga diri merupakan salah satu variabel potensial yang secara konsisten berhubungan dengan depresi. Berdasarkan hasil meta analisis yang dilakukan oleh Donsu (2010) disimpulkan, terdapat hubungan yang positif antara harga diri dan depresi. Individu yang memiliki harga diri rendah merasa tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan untuk memperbaiki keadaan atau masa depannya. Munculnya kognisi negatif terhadap diri individu, yang ditandai dengan adanya keyakinan diri bahwa, ia tidak berharga dan tidak mampu, maka keadaan ini akan memperburuk depresi. Hal ini berarti bahwa harga diri berperan dalam proses berpikir, emosi, dan keputusan-keputusan yang 18 diambil bahkan berpengaruh juga pada nilai-nilai, cita-cita serta tujuan yang akan dicapai seseorang. Selain dimensi kepribadian, kemampuan interpersonal juga seperti, mampu tidaknya seseorang memperoleh dukungan dari lingkungan sosial, dapat mempengaruhi terjadinya depresi (McDowell & Newell, 1996). Menurut Anderson (2002) ketika seseorang mengalami diabetes mellitus, lingkungan keluarga merupakan penentu potensial yang mempengaruhi adaptasi pasien. Dalam McEwen, Pasvogel, Gallegos, dan Barrera (2010) serta Sacco dan Yanover (2006) gejala depresi pada diabetes melitus terkait dengan dukungan sosial. Depresi, dukungan sosial dan diabetes berhubungan secara signifikan dengan gejala medis. Pertama, hubungan dua arah antara dukungan sosial dan depresi nampak jelas. Kedua, dukungan sosial secara independen memberikan kontribusi terhadap depresi. Menurut Bandura (1986) lingkungan, individu dan perilaku merupakan tiga unsur yang saling berhubungan satu sama lain. Artinya, lingkungan dapat memberikan dukungan sosial pada individu yang berefek terhadap perubahan perilaku. Teori ini merupakan dasar dari penelitian tersebut. Dukungan sosial yang tinggi akan berefek terhadap rendahnya peristiwa hidup yang menekan, dan faktorfaktor psikologis pada individu akan menjadi perantara terhadap kejadian depresi. Semakin tinggi dukungan sosial yang dipersepsikan individu ditambah dengan faktorfaktor psikologis yang tinggi, akan menurunkan depresi. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa banyak faktor psikologis yang mempengaruhi seseorang terhadap depresi, namun terdapat 4 (empat) faktor penting menurut penulis yang lebih banyak didukung oleh peneliti sebelumnya berdasarkan referensi, yaitu; optimisme, resiliensi, harga diri, dan dukungan sosial. Dalam penelitian ini penulis menyajikan seberapa besar kontribusi dari masingmasing faktor-faktor psikologis terhadap penurunan depresi pada individu dengan 19 diabetes melitus. Faktor-faktor tersebut selain mempengaruhi kesehatan fisik, juga memperburuk kesehatan mental. Kasus diabetes mellitus yang berkaitan dengan kesehatan mental telah banyak diteliti di Rumah Sakit. Penelitian dengan kasus serupa sangat jarang dilakukan di Puskesmas. Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, juga perlu sebagai kancah penelitian. Menurut hasil wawancara dengan petugas Puskesmas, bahwa kasus diabetes mellitus yang dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis sangat jarang diteliti. Oleh karena itu peneliti tidak menemukan data kasus diabetes mellitus yang mengalami depresi. Sehubungan dengan penjelasan petugas kesehatan di Puskesmas, ternyata hal tersebut tidak pernah tercatat. Melalui tulisan ini penulis ingin memberikan kontribusi kepada Puskesmas bahwa faktor-faktor psikologis dapat memperparah atau memperingan tingkat depresi pada penderita diabetes mellitus. Berbagai alasan dapat diperhitungkan dalam penelitian ini, pertama; kasus diabetes mellitus termasuk dalam urutan 10 besar penyakit di Puskesmas, dan pada Puskesmas Godean 1; Godean 2; Gamping 1; dan Gamping 2, masuk dalam urutan 3 (tiga) besar penyakit. Kedua, perlunya masalah ini diteliti untuk melihat kontribusi dari masing-masing variabel berdasarkan model teoretik yang diajukan. Mencermati hasil penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa antara jurnal satu dan lainnya menunjukkan hasil yang berbeda atau tidak konsisten, sehingga untuk mengetahui seberapa besar faktor-faktor psikologis memberikan peranannya terhadap depresi pada individu dengan DM-2, maka penelitian ini diadakan dan perlu dilakukan uji terhadap beberapa model yang terkait dengan faktor-faktor tersebut. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, studi preliminari, hasil wawancara, dan hasil meta analisis, serta hasil jurnal dari penelitian-penelitian sebelumnya, 20 diperoleh gambaran bahwa DM-2 berpotensi terhadap munculnya depresi. Demikian juga depresi dapat meningkatkan risiko keparahan berupa komplikasi DM-2. Oleh karena itu individu dengan DM-2 yang mengalami depresi akan lebih banyak gejala penyakitnya, lebih besar biaya secara hitungan ekonomis, mengalami cacat pekerjaan, dan lebih banyak jasa medis, dibandingkan dengan individu yang mengalami salah satu, diabetes atau depresi saja. Adapun faktor-faktor psikologis merupakan sifat yang diasumsikan sebagai suatu kepribadian dengan kecenderungan yang stabil, berpengaruh terhadap perilaku seseorang seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sehingga secara konsisten dan menetap, sifat tersebut mengacu pada karakteristik yang membedakan individu satu dan lainnya. Berdasarkan permasalahan tersebut, beberapa peneliti menyatakan bahwa faktorfaktor psikologis menjadi moderator terhadap munculnya depresi, walaupun ada juga sebagian peneliti menyatakan sebagai mediator atau bahkan kedua-duanya. Dalam penelitian ini penulis ingin melakukan uji terhadap beberapa model untuk menemukan hubungan faktor-faktor psikologis berperan sebagai mediator bukan moderator atau keduanya. Peran mediator yang diharapkan penulis dalam penelitian ini karena banyaknya kejadian menekan pada pasien DM-2 yang memberikan dampak negatif terhadap tidak optimalnya karakteristik kepribadian individu dan rendahnya dukungan sosial yang diterima. Asumsi penulis bahwa, makin sering pasien DM-2 mengalami kejadian menekan maka kemampuan mengatasi masalah menjadi tumpul sehingga rentan mengalami depresi. Adanya faktor-faktor psikologis sebagai mediator akan memberikan efek terhadap menurunnya depresi. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan membuktikan hubungan antara dukungan sosial dan faktor-faktor psikologis yaitu; optimisme, resiliensi, harga diri, terhadap depresi pada pasien DM-2 melalui beberapa asumsi, dan sebagai pertanyaan penelitian, yaitu: 1) Apakah dukungan sosial tinggi, optimisme tinggi, 21 resiliensi tinggi, ditambah dengan harga diri tinggi akan berperan terhadap depresi pada pasien DM-2; 2) Apakah dukungan sosial tinggi, resiliensi tinggi dan harga diri tinggi akan berperan terhadap depresi pada pasien DM-2; 3) Apakah dukungan sosial tinggi tanpa faktor psikologis lainnya akan berperan terhadap depresi pada pasien DM-2. 3. Tujuan dan Manfaat a. Tujuan Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencari dukungan empiris terhadap beberapa dari pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah, yaitu: 1) Mengetahui bagaimana peranan dari faktor-faktor psikologis berdasarkan model yang diajukan. 2) Mengetahui bagaimana dinamika hubungan antara faktor-faktor psikologis terhadap depresi pada individu dengan DM-2. b. Manfaat Penelitian ini dapat memberikan sumbangan teoretis dan praktis dalam bidang psikologi klinis dan kesehatan. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan psikologi, khususnya untuk mengetahui seberapa besar kontribusi atau peran dari faktor-faktor psikologis terhadap depresi pada DM-2. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, dapat digunakan sebagai referensi baik pada bidang psikologi maupun kesehatan, dalam upaya meminimalisir depresi melalui peningkatan faktor-faktor psikologis. Demikian juga hasil tersebut dapat mengambil andil dalam memberikan sumbangan pengetahuan, terutama bagaimana mengelola kasus-kasus diabetes melalui pendekatan psikologis, 22 sehingga dengan demikian dapat menurunkan prevalensi penyakit diabetes mellitus. Bagi pengembang ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna untuk meneliti lebih lanjut melalui pendekatan psikologis terkait penyakit-penykait yang berhubungan dengan kardiovaskuler, aterosklerosis, dan lain-lain yang merupakan komplikasi dari diabetes mellitus. 4. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai depresi dan diabetes mellitus telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya namun masih jarang yang menghubungkan dengan faktorfaktor psikologis. Umumnya penelitian diabetes mellitus dilakukan di kalangan medis berupa intervensi atau pemberian terapi perilaku pada kasus diabetes mellitus. Penelitian Williams, Clouse dan Lustman (2006) dengan judul ”Treating Depression to Prevent Diabetes and Its Complication: Understanding Depression as a Medical Risk Factors”. Penelitian Williams, Clouse dan Lustman (2006) ini, bertujuan untuk melihat angka prevalensi depresi pada diabetes mellitus dan bagaimana manajemen jangka pendek dan panjang pada pasien DM-2. Menggunakan metode eksperimen dengan intervensi terapi perilakuan. Penelitian Williams, et al., (2006) menyimpulkan bahwa, depresi pada diabetes mellitus membutuhkan perawatan komprehensif secara simultan dan itu sebagai suatu proses yang harus dijalani. Penanganan tersebut harus dilakukan secara simultan dari aspek medis dan kejiwaan. Kesimpulan sebuah meta-analisis dari penelitian tersebut bahwa, pengobatan depresi pada pasien diabetes mellitus dapat meningkatkan proporsi kontrol diabetes sebesar 41-58%. Persamaannya, variabel dependen adalah depresi dan subjeknya adalah penderita diabetes mellitus. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada metode dan variabel independen. 23 Metode yang digunakan pada penelitian Williams, et al., (2006) adalah eksperimen dan penelitian ini menggunakan metode survey. Penelitian Williams, et al., (2006) tidak memberikan gambaran terhadap penanganan diabetes mellitus tetapi berfokus pada manajemen depresi. Intervensi berupa manajemen terhadap depresi diharapkan dapat meningkatkan kontrol gula darah pada individu dengan diabetes mellitus. Depresi pada individu dengan diabetes mellitus diungkap melalui skala Beck Depression Inventory (BDI) tanpa penjelasan pengisian kuesioner. Pemberian penjelasan atau mencantumkan petunjuk pengisian pada skala BDI dianggap penting, karena skala tersebut adalah untuk mengukur kondisi psikologis seseorang pada waktu tertentu. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Kinder, et al., (2006) berjudul ”Improving Depression Care in Patients with Diabetes and Multiple Complication”. Penelitian Kinder, et al., (2006) bertujuan untuk menentukan apakah suatu intervensi perawatan kolaboratif untuk depresi akan lebih efektif pada pasien diabetes yang memiliki dua komplikasi atau lebih. Metode uji coba kontrol secara acak, membandingkan perawatan kolaboratif manajemen kasus untuk depresi dan perawatan primer pada pasien komorbiditas depresi dan diabetes. Kesimpulan dari penelitian Kinder, et al., (2006) adalah pasien depresi dan diabetes mellitus dengan beberapa komplikasi memperoleh manfaat besar dari perawatan kolaboratif terhadap depresi. Intervensi yang tepat terhadap depresi dapat mengatasi masalah diabetes dengan tingkat keparahan medis tertinggi. Persamaannya antara penelitian Kinder, et al., (2006) dengan penelitian ini, adalah menggunakan populasi dan sample penderita diabetes mellitus. Perbedaannya, penelitian Kinder, et al., (2006) menggunakan metode eksperimen dan penelitian ini menggunakan metode survey. Pada penelitian Kinder, et al., (2006), depresi diukur dengan menggunakan 20 aitem skala Hopkins. Depresi dinilai pada awal bulan ke 3 (tiga), 6 (enam), dan 12 (dua belas). Komplikasi diabetes dinilai langsung dari catatan medis. Penelitian 24 Kinder, et al., (2006) tidak berdasarkan teori, bahwa diagnosa klinis depresi ditegakkan apabila seorang pasien telah 5 kali atau lebih mengalami gejala depresi dalam waktu dua minggu (Sargin, H & Sargin, 2002). Demikian juga kriteria ini ditetapkan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual dari American Psychiatric Association 4th Edition (DSM-4), namun tidak mengikuti ketentuan yang berlaku. Penelitian selanjutnya oleh Gonzales, et al., (2008) berjudul ”Depression, Self Care, and Medication Adherence Type-2 Diabetes”. Penelitian Gonzales, et al., (2008) bertujuan untuk melihat hubungan antara depresi dan perilaku perawatan diri pada pasien diabetes mellitus tipe-2. Penelitian Gonzales, et al., (2008) menggunakan metode survey pada beberapa klinik rumah sakit di Harvard untuk melihat perilaku perawatan diri pada pasien depresi dengan DM-2. Kesimpulannya bahwa, penelitian Gonzales, et al., (2008) merupakan tantangan untuk menemukan konseptualisasi tentang depresi sebagai faktor risiko kategori ketidakpatuhan. Ditemukan juga bahwa gejala depresi terkait dengan ketidakpatuhan terhadap penanganan diabetes. Persamaannya, antara penelitian Gonzales, et al., (2008) dengan penelitian ini adalah menggunakan metode survey pada pasien DM-2 dengan depresi. Perbedaannya, penelitian Gonzales,et al., (2008) menggunakan variabel perilaku perawatan diri dan penelitian ini menggunakan variabel optimisme, resiliensi, harga diri dan dukungan sosial. Penelitian Gonzales, et al., (2008) menggunakan variabel perawatan diri pasien diabetes mellitus dengan depresi, tetapi tidak menyimpulkan bagaimana hubungan antara perawatan diri terhadap pasien DM-2 dengan depresi. Juga tidak memberikan kesimpulan yang bermakna sesuai dengan tujuan penelitian, serta tidak memberikan gambaran terhadap adanya kontribusi perawatan diri yang dilakukan, apakah dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat depresi atau mencegah komplikasi pada pasien diabetes mellitus. Penulis menyimpulkan bahwa, kesimpulan dari penelitian Gonzales, et al., (2008) bukan hubungan perawatan diri terhadap 25 depresi seperti pada tujuan tetapi ketidakpatuhan penderita depresi terhadap pengelolaan diabetes mellitus. Ada lagi penelitian berikut ini, melihat kontribusi komplikasi dari sudut pandang demografi, seperti penelitian Lee, et al., (2009) berjudul ”Depression, quality of life, and glycemic control in individuals with type 2 diabetes”. Penelitian Lee, et al., (2009) bertujuan untuk melihat kontribusi dari komplikasi diabetes mellitus terhadap depresi dan kontribusi karakteristik demografi dari pasien DM-2. Kesimpulannya bahwa, setelah dikontrol jenis kelamin dan usia, maka perempuan dengan diabetes mellitus berusia muda yang mengalami depresi, cenderung juga mengalami komplikasi neuropati. Persamaannya, antara penelitian Lee, et al., (2009) dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metode survey pada pasien DM-2 yang mengalami depresi. Perbedaannya, karakteristik demografi sebagai variabel independen, sedangkan pada penelitian ini adalah faktor-faktor psikologis sebagai variabel independen. Penelitian Lee, et al., (2009) menggunakan metode survey cross sectional pada 55 individu dengan DM-2 sebagai subjek penelitiannya. Jumlah sampel yang digunakan sangat kurang, tidak memenuhi ketentuan. Besarnya ukuran sampel memiliki peran penting dalam menginterpretasi hasil. Ukuran sampel memberikan dasar untuk mengestimasi sampling error. Direkomendasikan bahwa ukuran sampel antara 150 sampai 400 untuk digunakan dalam metode estimasi (Ghozali, 2009). Terakhir dari keaslian penelitian yang hampir menyerupai penelitian ini yaitu penelitian Dupuis dan Ramsey (2011) berjudul ”The Relation of Social Support to Depression in Massively Multiplayer Online Role-Playing Games”. Penelitian Dupuis dan Ramsey (2011) bertujuan untuk melihat dukungan sosial dari masyarakat melalui games on line terhadap depresi. Kesimpulannya bahwa, lebih tinggi tingkat dukungan sosial yang dirasakan berhubungan dengan rendahnya tingkat depresi. Kurangnya dukungan sosial yang dirasakan berhubungan dengan tingkat depresi 26 yang lebih tinggi. Persamaannya, antara penelitian Dupuis dan Ramsey (2011) dengan penelitian ini adalah, menggunakan salah satu variabel independen dukungan sosial dengan analisis uji model persamaan struktural dan metode survey pada pasien depresi. Perbedaannya, metode survey yang digunakan adalah survey game on line atau survey non klinik, sedangkan penelitian ini menggunakan metode survey klinik karena dilakukan langsung pada pasien yang sedang melakukan rawat jalan. Penelitian Dupuis dan Ramsey (2011) tersebut tidak didasarkan pada teori bahwa, dukungan sosial sebagai sumber daya psikologis dan material, sehingga seseorang mampu dalam mengatasi stres. Penelitian Dupuis dan Ramsey ini, menggunakan metode survey games on line, dimana peneliti tidak dapat mengetahui dengan pasti, apakah pengguna games on line tersebut adalah orang yang sedang mengalami stres atau tidak. Populasi dan sampel juga tidak jelas, karena tidak ada kriteria inklusi yang membatasi pengguna games on line tersebut. Walaupun demikian penelitian ini dapat menarik kesimpulan bahwa, keterlibatan yang tinggi dikaitkan dengan tingkat dukungan sosial yang dirasakan, berhubungan dengan rendahnya tingkat depresi. Sebagai pelengkap, penelitian Dupuis dan Ramsey menggunakan analisis model persamaan struktural untuk menemukan berhubungan dengan sosial yang dirasakan mendukung. keterlibatan tidak