Ruang Publik Tanpa Dominasi Masih Jadi PR Polisi dan Masyarakat

advertisement
Ruang Publik Tanpa Dominasi
Masih Jadi PR Polisi dan
Masyarakat
UNAIR NEWS – Sejak pemisahan institusi kepolisian dari tubuh
tentara, polisi dituntut aktif untuk berbaur dengan
masyarakat. Agar dekat dengan masyarakat, Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) bahkan membentuk sebuah forum yang mewadahi
suara masyarakat bernama Forum Kesatuan Polisi Masyarakat
(FKPM), pada tahun 2005. Harapannya, dalam forum itu tercipta
berbagai konsensus tanpa adanya dominasi. Namun, harapan itu
masih jauh dari nyata.
Pernyataan itu disampaikan oleh Alex Reynold Situmorang ketika
diwawancara mengenai penelitian disertasinya. Disertasi yang
ditulis oleh perwira menengah Polda Jawa Timur itu berjudul
‘Perpolisian Masyarakat: Studi tentang Interaksi Polisi dan
Masyarakat dari Perspektif Teori Habermas’.
Disertasi itu berhasil mengantarkannya menjadi pejabat Polda
Jatim pertama yang meraih gelar doktor ilmu sosial dari FISIP
UNAIR. Alex dinyatakan lulus doktor dan menyandang predikat
‘dengan pujian’, setelah berhasil mempertahankan disertasinya
dihadapan sembilan penguji.
Dalam disertasinya, ia mengangkat persoalan mengenai
perpolisian masyarakat atau yang dikenal dengan polmas. Sejak
tahun 2005 lalu, Mabes Polri telah mencanangkan polmas.
Harapannya, dengan keberadaan polmas, kepolisian tak hanya
bertugas untuk melakukan penegakan hukum. Tetapi, juga bekerja
pada sektor pencegahan serta pemulihan keamanan dan ketertiban
di masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya peran serta dari
masyarakat dalam membantu kepolisian, salah satunya melalui
wadah bernama forum kesatuan polisi masyarakat (FKPM).
Di berbagai daerah di Indonesia yang masih memegang kearifan
lokal, tuntutan peran aktif kepolisian kepada masyarakat
dilibatkan melalui lembaga adat. Di Bali, misalnya, masih ada
kelompok masyarakat yang menjadi pecalang (polisi adat), atau
di Padang yang disebut dengan nini mama.
“Kepolisian bukan lagi militer dan harus berbaur dengan
masyarakat. Duduk bersama untuk memikirkan problema yang ada
dalam masyarakat. Kepolisian dalam hal ini memang menuntut
peran aktif dari masyarakat dengan masuk pada ranah-ranah
kehidupan masyarakat melalui lembaga adat, seperti pecalang di
Bali, ada pula nini mama di Padang, komunitas, maupun ormas,”
terang Alex.
Ia menjelaskan, posisi kesetaraan dalam forum kemitraan itulah
yang dirinya teliti. Ia mengambil lokus penelitian di Jawa
Timur. Dengan
teori diskursif yang dicetuskan Habermas,
idealnya dibutuhkan ruang publik yang setara. Namun,
kesetaraan dalam forum itu masih belum bisa dilaksanakan
secara maksimal. Salah satunya adalah pengaruh ketokohan.
Berdasarkan penelitiannya, keterlibatan aktif dari masyarakat
tentang pentingnya keamanan memang sudah dilakukan. Namun,
ruang publik yang setara masih belum
khususnya pada daerah tapal kuda.
bisa
diciptakan,
“Peran ketokohan itu masih timbul ya rata-rata seperti di
wilayah Pasuruan, Jember, sehingga betul masyarakat itu sadar
pentingnya keamanan. Tapi untuk menjustifikasi itu, mereka
menunjuk tokoh seperti pamong desa, kyai, klebun (kades, red). Sementara dengan teori yang saya ambil, ruang publik itu
harus bebas dari dominasi. Gak boleh ada status, kesetaraan
itu terjadi karena ide. Itu tantangan mengenai teori Habermas
di Indonesia,” terang mantan Kapolsek Gading Rejo, Polres
Pasuruan Kota. (*)
Penulis: Defrina Sukma S.
Editor: Nuri Hermawan
Download