Konsumsi dan Hiperrealitas

advertisement
Tele-seksualitas & Cyberculture
Cyberporn dalam Perspektif
Budaya dan Agama
yasraf amir piliang
A. Pornografi dan Cyberporn
PORNOGRAFI
Representasi dan simulasi tubuh di dalam media untuk
manipulasi hasrat
Produksi dan distribusi obyek seks untuk profit dengan
merangsang hasrat.
Ekspolitasi tubuh perempuan di dalam aneka media
CYBERPORN
Representasi dan manipulasi tubuh di dalam
cyberspace, untuk merangsang gairah seksual
B. Aktivitas Cyberporn
Voyeurism
Kegiatan melihat tubuh atau ‘citra tubuh’ (body
image), yang mengarah pada dicapainya
‘kesenangan visual’ (visual pleasure).
Voyeurisme di dalam cyberporn berupa melihat
gambar secara interaktif (video, filem, life show, life
sex), untuk membangkitkan hasrat dan kepuasan.
Role Playing
Melihat tubuh atau citranya di dalam
media sambil melakukan tindakan,
seperti masturbasi.
Masturbasi tidak dapat dipisahkan dari
fantasi, yaitu ketika genital seseorang di
arahkan pada sebuah citra (image) yang
diimajinasikan.
Orgasme hanya dapat terjadi bila citra
(seksi, cantik) dan fantasi ‘penanda’
(wanita tertentu misalnya) hadir
bersanding di dalam membentuk
kepuasan seksual
Adult Sexual Game
Melihat ‘gambar interaktif’ di dalam
cyberspace, sambil melakukan
interaksi (atau ‘intercourse’) dengan
gambar itu secara interaktif.
Seseorang yang ‘mengambil peran’
(role playing) interaktif di dalam
sebuah kegiatan virtual sex.
Melalui role playing, seorang
pengguna internet dapat melakukan
hubungan virtual intercourse dengan
wanita tersebut lewat genital virtual
yang disediakan
Fetishism
Menjadikan benda atau simulasinya di
dalam internet sebagai substitusi
tubuh, untuk menimbulkan rangsangan
seksual, bahkan orgasme.
‘Obyek fetish’ (fetish objects) dapat
membangkitkan rangsangan seksual
karena dianggap dapat menggantikan
fungsi tubuh wanita yang
sesungguhnya.
‘Fetisisme digital’ (digital fetishism),
yaitu obyek-obyek fetish dalam wujud
digital
Teledildonics
Hubungan seksual virtual (virtual sex)
atau disebut juga ‘seksual jarak jauh
(tele-sexuality).
Bila seluruh tubuh kita dilapisi dengan
semacam ‘pakaian realitas virtual’
(virtual reality suit)—yang terdiri dari
berbagai sensor (perangkat pengirim
signal ke cyberspace) dan effectors
(saluran pengiriman kembali informasi
ke pengguna)—maka kita dapat
mensimulasi kegiatan seksual.
C. Tantangan Bagi Kebudayaan
sistem pengetahuan
sistem adat (lore)
sistem keyakinan
sistem kekuasaan
sistem dan kode sosial
sistem ritual
sistem etika
Batas Pengetahuan
Batas-batas pengetahuan terhadap apa yang
boleh dan tak boleh diketahui (dilihat, diamati,
diobservasi, ditonton, dinikmati).
Tidak ada lagi batas antara ‘dunia dewasa’
(adulthood) dan ‘dunia anak’ (childhood)
Segala yang dulu merupakan ‘rahasia’ atau
‘terlarang’, kini dapat dimasuki secara bebas.
Dunia cyberspace adalah dunia yang ‘tanpa
rahasia’ (secretless)
Tantangan Bagi Ideologi Budaya
‘Ideologi budaya’ (cultural ideology) adalah mekanisme di
mana ‘subyek’ direpresentasikan atau merepresentasikan
dirinya lewat bahasa.
Di dalam cyberporn tubuh dimuati dengan tema, tandan
dan makna, untuk dilihat, dintonton dan dinikmati
Tubuh-tubuh itu dimuati oleh ide-ide (ideologi): erotik, liar,
patuh, binal, matang, animal-like. Cyberporn adalah
tempat bagi para ‘eksibisionis’ (exhibitionist).
Kekuasaan
‘Ada kekuasaan atas tubuh (power on body), yaitu
kekuasaan eksternal yang mengatur tindak-tanduk tubuh
secara represif.
Kedua, kekuasaan dari tubuh itu sendiri (power of body).
Cyberporn adalah ‘pembebasan tubuh’ (liberation of the
body) dari segala kekuasaan
Tantangan Bagi Sistem Adat
Adat mengatur ‘tubuh’: aturan, tabu,
pamali, pantang.
Adat mengatur ‘keintiman’ (intimaccy)
atau ‘jarak’ (distance), :
kedekatan/keberjarakan,
keakraban/keasingan atau
integrasi/disintegrasi.
Cyberporn menjadikan tubuh menjadi
milik siapa saja, dalam relasi yang
disebut ‘promiskuitas’ (promiscuity).
Tantangan Bagi Etika
Etika mengatur tentang pantas/tak
pantas, malu/tak-malu, senonoh/taksenonoh.
Etika adalah tentang ‘rasa malu’(shame),
tentang apa yang dianggap menimbulkan
‘rasa malu’ dan ‘tak-bermalu’
‘Rasa malu’ menjadikan seks sebagai
milik ‘ruang pribadi’ (private space), yang
‘ditutupi’ oleh dinding, tirai, kamar.
Cyberporn adalah kebudayaan yang
tanpa malu (shameless society)
Tantangan Bagi Sistem Sosial
Sistem sosial mengatur tentang batas-batas antara
perilaku normal/abnormal, waras(sane)/tak
waras(insane), lurus/menyimpang’ (deviance).
Cyberporn menormalkan segala yang abnormal:
masokisme, sadisme, sado-masokisme, fetisisme,
voyeurism, perversion, seksualitas dengan hewan.
Tantangan Bagi Sistem Seni
Ada batas-batas kultural antara ‘seni’ dan ‘porno’
Seni= ekspresi yang membangkitkan ‘pengalaman estetik’
(aesthetic experiences)
Porno= ekspresi yang membangkitkan ‘pengalaman
seksual’ (sexual experience).
Berbagai bentuk pornografi dan cyberporn kini cenderung
mengkategorikan dirinya sebagai ‘seni’.
Lenyap batas antara ‘seni’ dan ‘porno’
D. Tantangan Bagi Agama
Tubuh (Body)
Tubuh adalah ‘milik’ Tuhan, bukan
manusia
Agama mengatur batas-batas
‘halal’/’haram’ menyangkut tubuh.
Gambar telanjang, setengah telanjang,
organ tubuh wanita dan pria dianggap
haramnya, baik menggambarkan,
menyiarkan, memasang maupun
melihat
Cyberporn mencabut tubuh dari
otoritas agama, sehingga ia kini
menjadi otoritas publik.
Mata (Eye)
Pandangan dalam agama Islam dilihat sebagai sumber
dari ‘penyakit hati’.
Di dalam Islam ada ‘zina mata’, yaitu tatapan yang
terperangkap di dalam ‘medan tatapan’(voyeurisme).
Dalam cyberporn tubuh dan tindakan seksual adalah
untuk ‘ditatap’
Cyberporn menjadikan ‘tatapan’, yang dulunya
‘muhrim’ (private), kini menjadi milik publik.
milik
Voyeurism yang ditentang oleh Islam, justeru menjadi
motif utama cyberporn.
Hasrat (Desire)
Agama pada dasarnya adalah ‘pembatasan hasrat’
Hasrat bukan untuk dilenyapkan, tetapi dimurnikan
Cyberporn, sebaliknya, adalah ruang tempat mengumbar
hasrat-hasrat rendah ini secar ekstrim: hyper, extreme,
obesity, promiscuity.
Apa yang ingin ‘dikendalikan’ oleh agama, justeru itulah
yang ingin ‘dibebaskan’ oleh cyberporn.
Dosa (Sins)
Keberadaan cyberporn, berdasarkan pandangan agama
samawi (Yahudi, Kristen, Islam), merupakan sumber dari
segala dosa.
Agama memerlukan situs untuk ‘membersihkan’ dosa itu:
Situs SurfWatch dan CyberPatrol (Kristen), World-WideQibla (Islam)
E. Langkah ke Depan
1.‘Penguatan komunitas nyata’ (real community).
2. Membangun ulang ‘budaya malu’ (shame culture),
3. ‘Penguatan budaya’ dan ‘penguatan spiritualitas’
4. Memperkuat relasi ‘intimasi’ (intimacy) di dalam dunia sosial
5. Membangun cyber counter culture, yang menekankan
potensi kreativitas, konstruktivitas dan produktivitas dunia
cyberspace,
Penutup
Download