1 BAB I PENDAHULUAN U A. Latar Belakang Masalah Perdarahan pascasalin adalah penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas, yang merupakan suatu permasalahan klasik yang tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, namun juga negara-negara berkembang yang lain. Menurut definisi dari World Health Organization (WHO) perdarahan pascasalin adalah hilangnya darah setelah persalinan sebanyak 500 ml atau lebih, dan pada operasi seksio sesarea sebanyak 1000 ml lebih (WHO, 2000). Penyebab terbanyak perdarahan pascasalin meliputi kegagalan uterus untuk berkontraksi setelah bayi lahir (atonia uteri), laserasi jalan lahir dan retensi sisa plasenta (WHO, 2004). Kala tiga persalinan didefinisikan periode persalinan setelah bayi lahir sampai keluarnya plasenta. Lepasnya plasenta menyebabkan perdarahan kapiler dan hal ini berkurang dengan kontraksi otat-otot uterus. Jumlah kehilangan darah selama kala tiga tergantung lamanya waktu pelepasan plasenta dan seberapa efektif kontraksi uterus pada tempat perlekatan plasenta (placental bed)(Cunningham, 2010) Pemberian uterotonika sangat penting untuk mencegah atoni uteri dan mencegah terjadinya perdarahan pascasalin (Dyer et al., 2010). Oksitosin baik yang diberikan secara intramuskuler maupun secara infus intravena direkomendasikan sebagai uterotonika pilihan pertama (first line agent) untuk mencegah perdarahan pascasalin (Leduc et al., 2009). Golongan ergot alkaloid seperti metilergometrin direkomendasikan sebagai pilihan kedua jika oksitosin tidak tidak didapatkan (Leduc et al., 2009). Dosis Obat-obatan ini mempunyai batas keamanan yang sempit, sehingga dosis, cara dan jumlah pemberian harus diketahui secara baik (Dyer et al., 2010). Metilergometrin dapat diberikan secara oral, intramuskuler maupun secara intravena. Masing-masing cara pemberian ini memberikan efek dan efek samping yang berbeda-beda. Menurut review dari Cochrane, pemberian metilergometrin 2 profilaksis baik secara intramuskuler maupun intravena terbukti efektif dalam mengurangi dan mencegah perdarahan pascasalin (Cotter, 2010). Walaupun mempunyai efek samping, metilergometrin masih banyak digunakan dalam penanganan perdarahan pascasalin. RCOG merekomendasikan pemberian injeksi metilergometrin 0,5 mg secara intravena pelan untuk pencegahan atoni uteri pada operasi seksio sesarea, sedangkan WHO merekomendasikan pemberian 0,2 mg metilergometrin intravena atau intramuskuler, dan bila perlu dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 1 mg. Karena tingginya angka mual muntah setelah pemberian dengan dosis yang direkomendasikan, yaitu 0,5 mg, menjadikan metilergomerin tidak dijadikan uterotonika pertama pada seksio sesarea. (WHO, 2009). Di RSUP DR Sardjito dan beberapa Rumah Sakit afiliasi, pemberian metilergometrin rutin digunakan pada operasi seksio sesarea, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi tertentu. Namun terdapat cara perbedaan dalam pemberian, ada yang memberikan secara intravena ada pula yang memberikan intramiometrial, saat pemberian pun berbeda-beda, ada yang sebelum plasenta lahir, ada juga setelah plasenta lahir. U B. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut Apakah pemberian metilergometrin intravena berbeda dengan pemberian secara intramiometrial terhadap lama pelepasan plasenta dan jumlah perdarahan kala III dan kala IV pada operasi seksio sesarea? U C. Tujuan penelitian 1. Tujuan primer Mengetahui perbandingan pengaruh pemberian metilergometrin baik secara intramiometrial maupun intravena terhadap: a. Lama pelepasan plasenta 3 b. Jumlah perdarahan kala III dan kala IV c. Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit 2. Tujuan sekunder Untuk mengetahui efek samping pemberian metilergometrin secara intravena dan intramiometrial, yaitu: a. Angka kejadian hipertensi b. Kejadian mual muntah U D. Manfaat penelitian Mengetahui keefektifan pemberian intravena dan intramiometrial pada operasi seksio sesarea sehingga dapat dijadikan referensi dalam penanganan perdarahan pascasalin terutama pada operasi seksio sesarea. U E. Keaslian penelitian Penelitian yang hampir sama adalah perbandingan pemberian misoprostol sublingual, metilergometrin intravena dan oksitosin intravena untuk penanganan aktif kala III pada persalinan vaginal. Penelitian yang dilakukan oleh Gunjan dkk (2009) di India ini membandingkan luaran primer dan sekunder dari pemberian misoprostol sublingual, metilergometrin intravena dan oksitosin intravena. Luaran primer yang diteliti adalah jumlah perdarahan kala III dan kala IV. Luaran sekunder yang dinilai adalah lama kala III, penurunan kadar hemoglobin dan efek samping obat. Perdarahan kala III dan kala IV pada pasien yang mendapatkan misoprostol 600 mcg jumlahnya paling sedikit (96,05±21,10 ml), diikuti oksitosin (154,7±45,7 ml), dan terbanyak pada metilergometrin (223,4±73,7 ml)(p<0,01). Untuk lama pelepasan plasenta, waktu tercepat (5,74 menit) pada pemberian misoprostol 600 mcg, dan terlama (6,83 menit) pada metilergometrin. (P<0,05). Untuk penurunan kadar hemoglobin dari ketiganya didapatkan hasil yang hampir sama. (p>0,05). Efek samping terbanyak pada pemberian metilergometrin berupa kenaikan tekanan darah. (p<0,05). (Gunjan et 4 al,. 2009). Penelitian tentang pemberian uterotonika pada operasi seksio sesarea membandingkan efek pemberian oksitosin dan kombinasi oksitosin dan metilergometrin. Dalam penelitian yang dilakukan Balki dkk (2007) di Kanada ini, luaran primernya adalah jumlah perdarahan dan luaran sekunder berupa perlu tidaknya tambahan uterotonika, kebutuhan transfusi darah dan kejadian efek samping. Dalam penelitian ini dihasilkan bahwa jumlah perdarahan pada oksitosin dan kelompok kombinasi oksitosin dan metilergometrin hampir sama 1218±716 ml dan 1299 ±774 ml dengan p=0,72. Kebutuhan tambahan uterotonika secara signifikan lebih sedikit pada kelompok kombinasi. (21 dan 57%; p=0,01) kejadian mual (42% dan 9%; p=0,01) (Balki et al.,2009)