BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Keamanan Kerja (Job Security) Keamanan kerja (job security) menurut Borg dan Elizur (1992) dalam Staufenbiel dan Konig (2011), dapat didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap keberlangsungan pekerjaan yang dimiliki saat ini serta mencakup kesempatan promosi, kondisi pekerjaan pada umumnya dan kesempatan untuk terus berkarir dalam jangka waktu yang panjang. Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Staufenbiel dan Konig (2011), dapat ditunjukkan bahwa keamanan kerja adalah hal penting yang sangat berpengaruh terhadap tingkat ketidakhadiran karyawan, persepsi keadilan yang dimiliki oleh karyawan, perilaku di tempat kerja serta tingkat pengunduran diri (turnover) karyawan. Job security yang dirasakan oleh setiap karyawan yang bekerja di suatu perusahaan atau organisasi, dipengaruhi oleh motivasi kerja dan budaya organisasi. Pernyataan ini didukung oleh definisi dari motivasi kerja, yaitu proses psikologis yang merupakan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang kemudian menjadi daya penggerak yang berasal dari dalam diri individu untuk melakukan pekerjaannya demi mencapai tujuan tertentu, seperti tujuan individual ataupun tujuan perusahaan (Saydam, 1997). Menurut Mullins (2005) dan Cole (1998) dalam Chaneta (2010), mengatakan bahwa budaya organisasi yang kuat akan membentuk pola pikir karyawan akan pemahaman untuk mengatasi permasalahan atau urusan yang terjadi di tempat karyawan tersebut bekerja. Budaya organisasi dapat memberikan suatu stabilitas pada sebuah organisasi sehingga organisasi yang stabil akan menurunkan tingkat pengunduran diri karyawan (turnover), hal ini dikarenakan budaya organisasi yang kuat dapat terlihat dari kesepakatan untuk mempertahankan hal-hal yang menjadi prinsip dari organisasi tersebut. Komitmen untuk mempertahankan prinsip organisasi inilah yang pada akhirnya akan membentuk kesetiaan karyawan untuk tetap bekerja di perusahaan tersebut. Keinginan karyawan untuk mengundurkan diri (turnover intention) dari tempat ia bekerja, merupakan salah satu indikasi terjadinya turnover di dalam sebuah perusahaan. Keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan dari segi penghasilan dan lingkungan kerja yang lebih kondusif, merupakan beberapa contoh sikap yang dapat dilihat dari karyawan yang memiliki turnover intention (Low, 2001). Akan tetapi, jika karyawan yang bersangkutan tidak mendapatkan kesempatan untuk pindah kerja di perusahaan lain, karyawan tersebut akan memilih untuk tetap bertahan di perusahaan tempat ia bekerja saat ini. Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap kinerja karyawan tersebut, misalnya sering izin, sering datang terlambat, dan kurang antusias atau bersemangat dalam melakukan pekerjaannya. Job security berperan penting terhadap faktor sosial dan lingkungan kerja karyawan karena keyakinan yang dimiliki oleh karyawan akan pekerjaannya 4 5 berpengaruh terhadap persepsi individu untuk tidak khawatir akan masa depannya, meningkatkan produktivitas organisasi (perusahaan) dan menjaga keseimbangan serta nilai-nilai sosial (Senol, 2011). Ketika keamanan kerja dirasakan negatif oleh karyawan, maka karyawan tersebut akan mengalami kesulitan untuk mentransfer pengetahuan yang ia miliki dalam menjalankan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Akibatnya, produktivitas organisasi (perusahaan) akan mengalami penurunan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Senol (2011), keyakinan karyawan bahwa mereka tidak akan kehilangan pekerjaannya atau tetap dipekerjakan di perusahaan tempat mereka bekerja saat ini selama mereka menginginkannya, merupakan alasan yang paling signifikan untuk memotivasi karyawan. Oleh sebab itu, job security merupakan salah satu antiseden dari kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan. Kepuasan kerja ini dapat dilihat dari sikap yang ditunjukan oleh karyawan dalam menjalankan tugas-tugasnya di tempat mereka bekerja. Dalam penelitian ini, job security didefinisikan sebagai persepsi yang dimiliki individu tentang keyakinan terhadap kontinuitas posisi atau jabatan yang dimilikinya saat ini dalam perusahaan tempatnya bekerja serta keyakinannya terhadap kontinuitas pekerjaan yang dimilikinya saat ini (Ho, 2010), dengan indikator security in job dan security in organization. Kedua indikator ini diadaptasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ho (2010). 2.2 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) Menurut David Pincus seperti yang dikutip oleh Newstrom (1989) dalam bukunya organizational behaviour menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu perasaan atau emosi yang dirasakan seorang karyawan, apakah itu senang atau tidak dengan pekerjaan mereka. Scholl (2003) juga menjelaskan pengertian kepuasan kerja bahwa kepuasan kerja itu berhubungan dengan respon atau sikap seorang karyawan terhadap organisasi atau perusahaan tempat ia bekerja. Respon atau sikap yang disebutkan menjelaskan bagaimana perilaku karyawan di tempat kerjanya. Perilaku yang dihasilkan oleh karyawan yang puas dengan pekerjaannya cenderung membawa dampak positif terhadap organisasi, tentunya dalam hubungan antar rekan kerja, atasan, dan bawahan. Sebaliknya jika karyawan merasa tidak puas dengan pekerjaannya, maka karyawan cenderung akan menghasilkan perilaku yang tidak baik, bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kerusakan dalam organisasi. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja pada karyawan merupakan hal yang penting. Banyak manajer di beberapa organisasi salah satunya seperti IBM, sangat memperhatikan kepuasan kerja karyawannya. Ini menjadi suatu hal yang biasa di beberapa organisasi dimana pihak manajemen merasa bahwa kesejahteraan karyawan itu merupakan hal yang sangat penting. Kepuasan kerja juga menjadi tujuan atau target dari organisasi (Spector, 1997). Sebagaimana disebutkan oleh Greenberg & Baron (2003), ia menjelaskan tentang dua teori kepuasan kerja, yaitu teori dua faktor (twofactor theory) dan teori nilai (value theory). 6 -Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory) Menurut teori ini, karakteristik kerja dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Yang pertama disebut “dissatisfiers” atau “hygiene factors” dan yang kedua disebut “satisfiers” atau “motivator factors”. Yang termasuk hygiene factors adalah gaji, supervisi, hubungan hubungan interpersonal, kondisi kerja, keamanan kerja, dan status. Karyawan akan merasakan ketidakpuasan kerja saat kadar tertentu dari hygiene factors tidak terpenuhi. Sebaliknya, jika kadar tertentu dari hygiene factors tersebut terpenuhi, maka karyawan tidak akan lagi merasakan ketidakpuasan. Adapun yang termasuk motivator factors adalah yang menarik dan menantang, tanggung jawab, peluang untuk berprestasi, pengakuan, dan kemajuan, juga mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk tercapainya situasi kerja yang sehat dan produktif maka perusahaan harus berusaha untuk meminimalisasi ketidakpuasan kerja dan memaksimalkan kepuasan kerja dengan cara mengelola sebaik-baiknya hygiene factors dan motivator factors. -Teori Nilai (Value Theory) Konsep dalam teori ini adalah ‘Jika karyawan mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang mereka kerjakan, maka semakin puas karyawan tersebut akan pekerjaan mereka tetapi, jika hasil yang didapatkan ternyata tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan (lebih berat pekerjaannya), maka karyawan akan merasa tidak puas dengan pekerjaannya. 2.3 Perilaku Bersepeda Motor (Driving Behavior) Berdasarkan data statistik biro tenaga kerja Amerika Serikat (2004) yang termuat dalam Newnam et al (2010), kecelakaan yang terjadi di jalan raya menjadi penyebab utama dari cedera, ketidakhadiran dalam bekerja, serta kecelakaan yang berujung kepada kematian. Sebagai contohnya, di Amerika Serikat, pekerjaan yang mengharuskan seseorang untuk berkendara pribadi (occupational drivers) terhitung sebagai kecelakaan kerja tertinggi yang berakibat fatal dari jenis pekerjaan apapun seperti yang ada dalam Biro Tenaga Kerja AS (2004) yang termuat dalam Newnam et al (2010). Hal yang serupa juga terjadi di Inggris, bahkan setelah dilakukan penyesuaian dan uji kelayakan terhadap kendaraan (Newnam et al, 2010). Menurut Adnas (2012) kecelakaan yang sering terjadi di jalan raya, disebabkan oleh 4 faktor utama, yaitu: • Faktor manusia (human) Manusia berada pada urutan utama dalam kasus kecelakaan di jalan raya, misalnya karena kondisi fisik pengendara yang sedang tidak prima seperti kelelahan atau mengantuk, memikirkan hal-hal di luar kondisi jalan, dsb. • Faktor cuaca (weather) Berkendara di jalan raya, juga dipengaruhi oleh faktor alam (cuaca). Contohnya, ketika terjadi hujan deras, kondisi jalan menjadi licin sehingga rawan sekali terjadi kecelakaan. Cuaca yang terlalu terik juga membuat pengendara lebih cepat merasa lelah sehingga pengendara menjadi kurang fokus ketika berkendara di jalan raya. 7 • Faktor Kendaraan (vehicle) Kendaraan yang tidak layak dioperasikan dapat membahayakan pengendara maupun pengendara lainnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan uji kelayakan kendaraan serta melakukan maintenance berkala untuk memastikan kendaraan yang digunakan dapat dioperasikan dengan baik. • Faktor prasarana jalan Kondisi jalan raya yang layak digunakan akan mengurangi resiko terjadinya kecelakaan. Sebaliknya, kondisi jalan raya yang sering kali berlubang ataupun tidak rata sangat berbahaya untuk dilalui oleh kendaraan beroda dua. Banyak kecelakaan yang terjadi dikarenakan kondisi jalan raya yang tidak memadai, akibatnya kecelakaan yang terjadi tidak saja dialami oleh mereka yang mengendarai sepeda motor, tetapi juga pengguna jalan lainnya termasuk pejalan kaki. Berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, faktor manusia merupakan faktor utama yang menjadi penyebab kecelakaan di jalan raya. Perilaku manusia dalam berkendara sangat mempengaruhi tingkat kecelakaan yang mungkin saja terjadi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Newnam et al (2010), menunjukkan bahwa terdapat 4 dimensi yang berhubungan dengan perilaku berkendara di jalan raya. Dimensi pertama adalah kecepatan (speeding). Menurut Stradling (2000), pengendara yang menggunakan kendaraan pribadi dan yang berkendara dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas-tugas kerjanya, diketahui sangat terikat dengan dimensi kecepatan. Lebih lanjut lagi Stradling (2000) mengatakan, bahwa dibandingkan dengan seseorang yang berkendara untuk tujuan personal, bukan karena tuntutan pekerjaan, individu yang berkendara untuk tujuan menyelesaikan tugas kerja terbukti lebih sering mendapatkan sanksi lalu lintas karena berkendara melebihi kecepatan yang seharusnya. Tingkat kecepatan yang tinggi dalam berkendara di jalan raya inilah yang sering kali menjadi penyebab utama kecelakaan lalu lintas. Dimensi kedua yang berhubungan dengan perilaku berkendara adalah pelanggaran aturan lalu lintas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Davey (2007) tentang Driver Behavior Questionnaire di Australia, pelanggaran aturan lalu lintas menjadi faktor tertinggi penyebab kecelakaan lalu lintas. Misalnya melakukan putar balik di tempat yang tidak memiliki tanda putar balik (u-turn), menghentikan kendaraan melebihi garis batas lampu merah, mengendarai kendaraan dengan kondisi melawan arah arus lalu lintas, dsb. Hal-hal tersebut tidak hanya membahayakan pengendara yang melakukan pelanggaran peraturan lalu lintas tetapi juga pengguna jalan atau pengendara lainnya. Dimensi ketiga adalah tidak fokus (inattention) ketika berkendara di jalan raya. Penelitian terdahulu oleh NHSTA (2006) dalam Wester et al (2008) telah membuktikan bahwa inattention telah menjadi seperempat penyebab kecelakaan di Amerika Serikat. Penelitian lainnya telah menemukan fakta bahwa terdapat kemunduran atau kemerosotan kualitas berkendara ketika pengendara melakukan hal-hal kecil yang dilakukan bersamaan ketika menyetir (Wester et al, 2008). Misalnya, menggunakan telepon genggam, melihat speedometer atau kaca spion. 8 Penelitian serupa yang dilakukan oleh Salminen & Lahdeniemi (2002), mengatakan bahwa setiap orang yang berkendara dengan memikirkan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan kondisi jalan seperti tugas atau pekerjaan yang menjadi beban pikiran, akan membuat si pengendara tidak fokus dengan situasi dan kondisi jalan yang sedang dilalui. Dimensi keempat yang mempengaruhi perilaku individu dalam berkendara adalah berkendara ketika kondisi tubuh dalam keadaan lelah. Penelitian Harrison dan Madrik dalam Newnam et al (2010) mengatakan bahwa pengendara yang mengeluarkan usaha lebih untuk mencapai tempat tujuan ketika kondisi tubuhnya sangat lelah cenderung beresiko mengalami kecelakaan. Sekitar 16-23% kecelakaan yang terjadi di jalan raya, juga disebabkan oleh individu yang berkendara dalam keadaan mengantuk (Newnam et al, 2010).