I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Iklim dan cuaca merupakan fenomena alam yang terbentuk dari berbagai interaksi antara laut, atmosfer, dan darat yang digerakkan oleh energi matahari. Terjadinya cuaca di suatu tempat pada satu waktu dikendalikan oleh gerak matahari relatif terhadap bumi maupun oleh rotasi bumi itu sendiri yang menimbulkan keteraturan – keteraturan dengan simpangan-simpangannya. Pemahaman tentang dinamika keteraturan beserta simpangannya dapat dijadikan dasar dalam melakukan antisipasi terjadinya bencana dan perencanaan di berbagai sektor kegiatan manusia. Kejadian banjir, angin puting beliung, kekeringan, tanah longsor, dan kebakaran hutan merupakan bencana alam yang erat kaitannya dengan fenomena iklim dan cuaca. Pada umumnya penanganan yang dilakukan tidak banyak mengalami perubahan dan seringkali penanganan hanya dilakukan pada saat terjadi bencana dan tidak ada usaha yang serius serta berkesinambungan untuk menangani akar permasalahannya. Padahal bencana yang sering terjadi tersebut merupakan fenomena alam yang perlu dikenali untuk kemudian dikembangkan menjadi informasi untuk menyusun berbagai rencana operasional yang peka terhadap terjadinya iklim ekstrem. Fenomena cuaca penyebab timbulnya bencana, terutama banjir, angin kencang dan tanah longsor dapat memberikan kerugian yang cukup besar di wilayah tersebut, baik kerugian secara material, sosial, maupun politik, tetapi karena skalanya sangat lokal maka kurang mendapatkan perhatian dalam skala nasional. Oleh karena itu, pada wilayah yang peka terhadap cuaca ekstrem, pendekatan dalam menangani masalah cuaca dan iklim harus dilakukan dalam skala lokal dan nasional. Pemanfaatan informasi iklim tidak hanya bermanfaat bagi penanganan bencana tetapi juga dapat digunakan dalam perencanaan di berbagai sektor yang berkelanjutan (contohnya sektor pertanian). Selain itu, fenomena tersebut dapat berdampak sangat luas dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan dapat menimbulkan efek samping yang dapat merugikan perkembangan pembangunan secara umum. Air yang berada di bumi terus menerus mengalami sirkulasi, mulai dari penguapan, presipitasi, dan pengaliran keluar (outflow). Sirkulasi antara air laut dan air daratan berlangsung terus menerus, yang sering disebut siklus hidrologi, tetapi sirkulasi air ini tidak merata, karena terdapat perbedaan presipitasi dari tahun ke tahun, dari musim ke musim yang berikutnya, dan dari wilayah ke wilayah yang lain. Sirkulasi air ini dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfer, angin, dan lain-lain) dan kondisi topografi, tetapi yang paling menentukan adalah kondisi meteorologi. Air permukaan dan air tanah yang dibutuhkan untuk kehidupan dan produksi adalah air yang terdapat dalam proses sirkulasi ini. Sirkulasi sering terjadi tidak merata, sehingga terjadi bermacam-macam kesulitan. Saat terjadi kekurangan air, maka kekurangan air ini harus ditambah dalam satu usaha pemanfaatan air, demikian juga jika terjadi kelebihan air, seperti banjir, maka harus dilakukan pengendalian banjir (Sosrodarsono dan Takeda (eds), 2006). 1 Gambar 1. Kejadian banjir di DKI Jakarta dan lokasi daerah yang tergenang di lokasi perumahan di wilayah Jakarta pada tahun 2007 (Sumber: DKI Jakarta, 2007). DKI Jakarta sebagai ibukota Negara telah banyak mengalami bencana banjir yang menimbulkan kerugian sangat besar baik kerugian moral maupun material. Kejadian banjir juga semakin sering terjadi sekarang ini, contohnya kejadian pada tahun 1996, 2002, 2007, 2008, bahkan pada tahun 2010. Walaupun sering terjadi, bencana banjir ini belum mendapatkan penanganan yang optimal baik dari pemerintah ataupun masyarakat, serta belum banyak diketahui penyebabnya. Selain faktor sosial yang menimbulkan banjir, faktor alam juga sangat berpengaruh. Curah hujan yang tinggi di suatu tempat ternyata merupakan penyebab utama banjir. Musim hujan yang terjadi di Indonesia biasanya mulai bulan Desember dan berakhir bulan Maret. Tahun 2007, intensitas hujan mencapai puncaknya pada bulan Februari, dengan intensitas terbesar pada akhir bulan. Banjir Jakarta 2007 adalah bencana banjir yang menghantam Jakarta dan sekitarnya sejak tanggal 1 Februari 2007. Kondisi ini semakin parah dengan sistem drainase yang buruk. Banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari 2007 hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari 2007, ditambah banyaknya volume air di 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir. Banjir tahun 2007 merupakan banjir terburuk yang pernah dialami oleh Jakarta, bahkan lebih buruk dari banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2002 (Caljouw et al., 2005). Kejadian banjir besar tahun 1996, dan tahun 2002 telah menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah, demikian juga kejadian besar pada tahun 2007 telah merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi seperti yang disajikan pada Gambar 1, lokasi daerah yang tergenang ditandai dengan warna biru (untuk genangan tahun 2002) dan merah muda (untuk tahun 2007). Selain itu dari Gambar 1 juga bisa dilihat ketinggian banjir di lokasi perumahan di wilayah Jakarta pada tahun 2007. Setidaknya pada kejadian banjir 2007 telah menyebabkan 55 orang menjadi korban 2 meninggal dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang, dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah merupakan kerugian tidak langsung (Departemen Kehutanan, 2009). Salah satu usaha yang telah dilakukan oleh Pemerintah melalui Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) adalah melakukan penelitian untuk memonitor kondisi cuaca ekstrem penyebab banjir. BPPT telah melakukan kerjasama penelitian dengan JAMSTEC (Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology) melalui Program HARIMAU (Hydrometeorological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Automonitoring), dan memasang berbagai radar cuaca di sekitar ekuator Indonesia, antara lain X-band Doppler Radar (XDR) di Tiku dan Ketaping Padang, Sumatera Barat, Wind Profiler Radar (WPR) di Pontianak (Kalimantan Barat), Biak (Papua), dan Manado (Sulawesi Utara), C-band Doppler Radar (CDR) di Serpong, DKI Jakarta, selain itu juga memasang alat-alat pengamatan permukaan seperti Automatic Weather Station (AWS), Global Positioning System (GPS), dan lain-lain seperti yang disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Infrastruktur radar cuaca dan pengamatan meteorologi permukaan milik BPPT di Benua Maritim Indonesia (kerjasama dengan JAMSTEC dalam program HARIMAU). Melihat berbagai bencana banjir yang terjadi di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, serta dengan adanya kemajuan teknologi untuk memanfaatkan data radar cuaca CDR, sebenarnya dapat dikembangkan sistem peringatan dini terhadap cuaca ekstrem/banjir, tetapi pada kenyataannya belum ada penelitian yang telah dilakukan di Indonesia untuk memanfaatkan data radar cuaca bagi kepentingan mitigasi bencana. Oleh karena itu, Penulis mencoba mengolah dan memanfaatkan data radar cuaca C-band Doppler (CDR), data pengamatan permukaan, dan data pengamatan tinggi muka air sungai, sebagai masukan model simulasi hidrologi terdistribusi hujan – limpasan, diharapkan dengan melakukan penelitian ini, hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk membantu program mitigasi bencana khususnya bencana banjir di Wilayah DKI Jakarta. 3 1.2. Kerangka Pemikiran Perkembangan teknologi radar cuaca dapat dimanfaatkan untuk mendukung program mitigasi bencana di Indonesia. Kontribusi radar cuaca ini antara lain untuk memonitor kondisi atmosfer melalui pengamatan secara berkelanjutan (continue) dan distribusi data yang real time sehingga dapat dimanfaatkan untuk peringatan dini terjadinya cuaca ekstrem penyebab bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Selain itu, radar tersebut juga dapat menyediakan data observasi secara statistik dan kesempatan untuk mempelajari bagaimana data-data tersebut dapat berguna untuk bidang pertanian, ketersediaan air, dan lain-lain. Belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia dalam hal pemanfaatan data radar cuaca untuk kepentingan mitigasi bencana terkait adanya cuaca ekstrem yang sering terjadi di Indonesia, padahal data radar cuaca tersebut salah satu manfaatnya adalah dapat digunakan untuk memahami penyebab terjadinya bencana banjir dan cuaca ekstrem di suatu wilayah, oleh karenanya penelitian ini perlu dilakukan. Data curah hujan diperoleh dari data radar cuaca C-band Doppler (CDR) yang telah dipasang di PUSPIPTEK, Serpong. Data radar cuaca dalam format CAPPI (Constant Altitude Plan Position Indicator) setiap 6 (enam) menit pada ketinggian 2 km dihitung dengan menggunakan rumus Marshall – Palmer sehingga diperoleh data reflektifitas radar, data reflektifitas radar dihubungkan dengan data pengamatan permukaan dari Automatic Weather Station (AWS) sehingga diperoleh hubungan antara data reflektifitas radar (Z) dan intensitas curah hujan (R) serta menghasilkan konstanta empirik a dan b. Konstanta empirik a dan b ini digunakan untuk menghitung kembali intensitas curah hujan pada satu wilayah, selanjutnya data tersebut digunakan sebagai masukan model simulasi hidrologi terdistribusi. Data tinggi muka air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung digunakan sebagai pembanding hasil keluaran dari model simulasi tersebut, dari model simulasi hidrologi terdistribusi akan diperoleh simulasi aliran sungai. Model simulasi hidrologi terdistribusi untuk meramalkan aliran sungai membutuhkan masukan informasi yang sangat kompleks, kapasitas penyimpanan data radar cuaca yang sangat besar karena luasnya cakupan wilayah radar dan resolusi data yang tinggi, sehingga dalam penelitian ini simulasi aliran sungai yang dihitung hanya dilakukan pada tingkatan/level satu grid, misalnya sub-grid Manggarai. 1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menghitung/mendapatkan: a. Hubungan antara data reflektifitas radar cuaca C-Band Doppler Radar (CDR) dengan intensitas curah hujan (rain-rate) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. b. Model simulasi aliran sungai sub-grid Manggarai (kecepatan aliran dan waktu tempuh rata-rata) berbasis data radar cuaca C-Band Doppler Radar (CDR), penakar hujan, dan Automatic Water Level Recorder (AWLR) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. 1.4. Manfaat Penelitian ini dapat memberikan informasi hubungan antara data radar cuaca CDR dan data pengamatan permukaan AWS, yang selanjutnya dapat digunakan untuk masukan terhadap model simulasi aliran sungai sebagai komponen sistem peringatan dini banjir yang sering terjadi di DKI Jakarta. 4 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini mencakup lima tahap kegiatan utama, yaitu (1) Kompilasi dan Kontrol Kualitas Data, (2) Membuat hubungan reflektifitas radar dan intensitas curah hujan (Z – R), (3) Kriteria sifat intensitas curah hujan, (4) Pola distribusi curah hujan, dan (5) Model Simulasi Hidrologi Terdistribusi Hujan – Limpasan untuk level grid. Wilayah kajian yang digunakan adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang sangat mempengaruhi kondisi limpasan di DKI Jakarta. Hasil yang akan dicapai pada penelitian ini adalah mencakup informasi mengenai kecepatan dan waktu tempuh aliran Sungai Ciliwung pada sub-grid Manggarai, yang diperoleh dari data curah hujan berasal dari radar cuaca C-band Doppler (CDR) dan data pengamatan permukaan dari Automatic Weather Station (AWS), serta data tinggi muka air di beberapa titik pengamatan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. 5