Chapter II - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Kolorektal
Kanker kolon dan rektum adalah kanker yang menyerang usus besar dan
rektum. Penyakit ini adalah kanker peringkat ke 2 yang mematikan. Usus besar
adalah bagian dari sistem pencernaan. Etiologi dari kanker kolorektal tidak
diketahui, tetapi tampaknya asal kanker kolorektal multifaktorial termasuk faktor
lingkungan dan komponen genetik. Diet mungkin memiliki peran etiologi,
terutama diet dengan kadar lemak tinggi (Smith, 2008).
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang mendominasi pada kasus
sindrom herediter seperti Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dari Heredetary
Non Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC). Kanker kolorektal yang sporadik
muncul setelah melewati rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor
lingkungan yang menimbulkan perubahan genetik yang berkembang menjadi
kanker (Smith, 2008). Kedua jenis kanker kolorektal (Herediter VS Sporadik)
tidak muncul secara mendadak melainkan melalui proses yang dapat diidentifikasi
pada mukosa kolon (seperti: dysplasia adenoma). HNPCC dapat dibedakan
dengan kanker kolorektal sporadik, biasanya muncul pada usia muda (± 40
tahun), risiko mendapat tumor sinkronous lebih tinggi (18% vs 6%), letak tumor
sebelah kanan (60-80% vs 25%) dan lebih sering tumor musinosa (35% vs 20%)
(Calvert et al., 2002).
Faktor risiko terjadi kanker kolorektal dapat kita jumpai pada:
1. Polip
Polip berpotensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari itu sendiri
merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari
hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker.
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease/ Ulseratif Kolitis
Kolitis ulseratif merupakan merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker
kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik kolitis ulseratif.
6
Universitas Sumatera Utara
Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia
terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari
kolitis ulseratif.
3. Faktor Genetik /Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat
kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat
mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita
kanker kolorektal dua kali lebih tinggi.
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian (Bolin et al., 2008). meskipun terdapat juga penelitian yang tidak
menunjukan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal (Casciato,
2011). Sejumlah penelitian nutrisi dan epidemiologi telah mengidentifikasi
diet tinggi serat sebagai faktor protektif terhadap kanker kolorektal, namun
hal ini juga masih kontroversi.
5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar .
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua
setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar (Casciato,
2011).
6. Usia
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker
kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal
meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50
tahun atau lebih (Depkes, 2006) dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul
pada orang dengan usia dibawah 40 tahun (Casciato, 2011). Kebanyakan
kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan umumnya
sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang
paling sering dirasakan pasien kanker kolorektal diantaranya: perubahan pola
buang air besar, perdarahan per anus (hematokezia dan konstipasi). Kanker
Universitas Sumatera Utara
kolorektal umumnya berkembang lambat, keluhan dan tanda-tanda fisik
timbul sebagai bagian dari komplikasi seperti obstruksi, perdarahan invasi
lokal, kaheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum, kolon
desendens dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih kecil daripada
bagian kolon yang lebih proksimal.
Tabel 2.1.1 Gejala Klinis yang Berhubungan dengan Kanker Kolorektal
Gejala
Frekuensi
Nyeri perut
44%
Perubahan pola BAB
43%
Hematokezia atau melena
40%
Lemas atau malaise
20%
Anemia tanpa adanya gejala gastrointestinal
11%
Penurunan berat badan
6%
2.2 Penapisan (Screening) Kanker Kolorektal
Penapisan (screening) merupakan suatu deteksi dini dengan melakukan
investigasi pada individu asimptomatik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya
penyakit pada stadium dini dapat dilakukan tindakan kuratif. Sehingga akan
berakibat menurunnya mortalitas. Dengan deteksi dini/ penapisan juga akan
didapatkan lesi precursor kanker, jika diterapi akan menurunkan insidensi kanker
kolorektal.
Tabel 2.2.1 Tes Skrining pada KKR (Smith, 2012)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2.2 Skrining KKR (Canan, 2008)
Gambar 2.2.1 Algoritma penapisan KKR (Canan, 2008)
Menurut Current American Cancer Society Guidelines and Screening
Issues, orang yang termasuk resiko tinggi untuk terjadi KKR adalah yang
mempunyai riwayat polip adenoma, riwayat curative intent resection, riwayat
keluarga menderita KKR, riwayat menderita inflammatory bowel disease, dan
yang diduga Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dari Heredetary Non
Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC) (Smith et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.3 CEA (Carsinoembrionic Antigen)
CEA pertama kali ditemukan oleh Gold dan Freedman pada tahun 1965
pada saat diidentifikasi adanya antigen yang dijumpai pada kolon janin dan
adenokarsinoma kolon tetapi tidak didapati pada kolon dewasa sehat (Goldstein et
al, 2005). Oleh karena protein hanya dideteksi pada jaringan kanker dan embrio
maka diberi nama CEA. Beberapa studi menunjukkan bahwa CEA juga terdapat
pada jaringan sehat namun kadar CEA pada tumor rata-rata 60 kali lipat lebih
tinggi dari jaringan tidak ganas dengan nilai ambang CEA normal < 5 ng/ml.
Antigen carsinoembrionic (CEA) terdeteksi dalam jumlah yang besar pada
pasien dengan keganasan saluran cerna (termasuk pankreas), paru, payudara, dan
ovarium. Dengan demikian, antigen ini tidak spesifik untuk tumor, konsentrasinya
dalam serum juga tergantung pada berbagai faktor seperti peradangan dan apakah
pasien merokok (kadar lebih tinggi). Karena perbedaan antara keganasan dan
penyakit jinak tidak dapat dibuat hanya berdasarkan kadar CEA, prosedur ini
tidak dianjurkan untuk penapisan kanker kolorektal. Namun setiap peningkatan
kadar yang berlebihan seyogyanya menimbulkan kecurigaan dan mungkin perlu
ditindak lanjuti dengan evaluasi diagnostik yang mendalam.
The American Society Of Clinical Oncology (ASCO) menyatakan bahwa:
1.
CEA seyogyanya tidak digunakan sebagai uji penapisan untuk kanker
kolorektal.
2.
CEA dapat diperiksa preoperasi pada pasien dengan pasien KKR apabila hal
ini membantu menentukan stadium dan merencanakn pengobatan.
3.
CEA dapat diperiksa setiap 2 sampai 3 bulan pascaoperasi apabila ada
indikasi reseksi metastasis hati.
4.
CEA dapat diperiksa untuk memantau pengobatan metastasis.
Menurut laporan pertama oleh Thomson et al mengenai CEA pada serum
ditemukan peningkatan
kadar CEA pada 35 orang dari 36 penderita KKR
(Michael et al, 2001). Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar CEA pada
penderita KKR yaitu: stadium tumor, derajat tumor, fungsi hati, letak tumor,
obstruksi usus, riwayat merokok, dan status ploidi tumor (Michael et al., 2001).
Hasil studi yang dilakukan Michael et al menyimpulkan bahwa KKR dengan
differensiasi baik
(well differentiated) menghasilkan lebih tinggi kadar CEA
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan spesimen KKR yang berdiferensiasi buruk (poorly differentiated).
Sebagai contoh pada laporannya kadar rata-rata CEA pada tumor diferensiasi
baik, sedang dan buruk adalah 18,0 , 5,5 , 2,2 ug/l (Michael et al., 2001).
Gambar 2.3.1 Rekomendasi CEA sebagai tumor marker (Canan, 2008)
2.4 CA 19-9
Penanda tumor pankreas, diagnosis, penentuan stadium dan pemantauan
terapi kanker kolorektal. Tidak direkomendasikan sebagai uji saring, dengan nilai
rujukan : ≤ 37 U/mL. CA 19-9 merupakan carbohidrat antibody dengan rantai
sialyl lewis a (sLea).
Gambar 2.3.2 Rekomendasi CA 19-9 sebagai marker monitoring KKR
(Canan, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Prosedur diagnosis pada pasien kanker kolorektal dapat dikenali dari tanda
dan gejala yang telah diuraikan sebelumnya. Kemajuan teknologi telah membuka
peluang untuk mendiagnosis kanker kolorektal lebih dini baik dengan
pemeriksaan invasif maupun non invasif. Penunjang diagnostik yang perlu segera
dilakukan antaralain:
1. Pemeriksaan Rektum
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan
anterior, serta spina iskiadika, sakrum dan koksigeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai
dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik.
Terabanya massa abdominal menunjukkan suatu penyakit yang sudah lanjut. Pada
Rectal examination (pemeriksaan colok dubur ) yang harus dinilai adalah:
a.
Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, serviks uteri, bagian atas kelenjar prostat atau
ujung os koksigeus.
b.
Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada
lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalam ulserasi lebih
dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau
perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding
posterior vagina atau dinding anterior uterus.
2. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan
kolonoskopi
sebesar
94%
(Depkes,
2006).
Teknologi
kromoendoskopi dapat membantu membedakan jenis polip dan adenokarsinoma
awal sehingga tindakan polipektomi dapat dilakukan pada saat pemeriksaan
kolonoskopi dilakukan tanpa perlu konfirmasi pemeriksaan histopatologi. Kanker
kolorektal stadium lanjut nampak sebagai massa eksofitik besar tumbuh ke
Universitas Sumatera Utara
intralumen, atau sebagai striktur kolon karena pertumbuhan sirkumferential
intralumen. Keganasan dicirikan sebagai striktur kolon yang ulseratif, berindurasi,
asimetris, dan mempunyai tepi yang irregular. Penampakan secara kolonoskopi
hanya merupakan gambaran sugestif, bukan suatu hal defenitif. Sehingga
pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi kolon dan pemeriksaan analisis sitologi
dari sikatan mukosa kolon diperlukan.
3. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna. Pada penelitian mengenai gambaran
histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di Amerika Serikat yang
melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran histopatologi
dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenokarsinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid karsinoma, dan 0,08%
berupa sarkoma.
4. Tes Occult Blood
Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluoresensi dari
occult blood mengubah Hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan
mendeteksi 5-10 mg hb/gr feses. Single- stool sample pada FOBT (Fecal Occult
Blood Test)
hasilnya tidak memuaskan
sebagai skrining KKR dan tidak
direkomendasikan (Levin, 2008).
5. Carcinoembrionic Antigen (CEA)
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan
metastasis ke hepar. CEA tidak spesifik untuk screening kanker kolorektal. Nilai
CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan dan
berguna sebagai pertanda prognosis setelah pembedahan dan sebagai pembanding
dengan nilai sebelum dilakukan operasi. Tingginya kadar CEA pre-operatif
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu indikator prognostik yang buruk. tingginya kadar CEA dalam
serum menunjukkan bahwa kanker lebih ekstensif dan kemungkinan terjadi
kekambuhan post-operatif. Setelah dilakukan
reseksi kanker secara lengkap,
kadar CEA serum akan turun menjadi normal, kegagalan serum CEA menjadi
normal post-operatif menunjukkan reseksi yang dilakukan tidak lengkap dan
masih tersisa (Michael, 2001). Nilai normal: < 5,0 ng/ml .
6. CA 19-9
Kegunaan pemeriksaan CA 19-9 adalah sebagai penanda tumor (tumor
marker). Selain itu digunakan untuk diagnosis kanker pankreas, membantu
membedakan kanker pankreas dan saluran empedu, serta kondisi non kanker
seperti pankreatitis, memonitor respon terhadap terapi, memonitor prognosis
kanker pankreas, pemeriksaan pendukung seperti: CEA, bilirubin, fungsi liver
(Michael, 2001).
7. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
pencitraan yang digunakan untuk evaluasi, stadium dan tindak lanjut pasien
dengan kanker kolon, tetapi bukan merupakan screening tes (Schwartz, 2005).
8. Endoscopy UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%,
70% untuk CT dan 60% untuk digital rectal examination (Casciato, 2011).
Studi yang dilakukan Lim Y et al menyimpulkan pasien asimptomatik
dengan kadar CEA yang meningkat perlu diinvestigasi dengan melakukan
pemeriksaan endoskopi serta radiologi yang
cara biasa dilakukan associated
cancers ternyata setelah di follow up kurang lebih 2 tahun menunjukkan 7,4%
terjadi malignancy yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4.1 Alogritma Evaluasi pada Pasien Asimptomatik dengan CEA
yang Meningkat (Lim Y et al., 2009).
2.5 Staging
Staging tumor tidak dapat diketahui sampai setelah operasi, yaitu dengan
analisis spesimen yang diambil ketika operasi oleh ahli patologi (Carolyn et al.,
2004).
Karakteristik yang diperhitungkan dalam system staging adalah:
1. Derajat penetrasi tumor melalui dinding rektum
2. Ada atau tidaknya keterlibatan Kelenjar Getah bening (KGB)
3. Ada atau tidaknya metastasis jauh.
2.6 Klasifikasi Karsinoma Rekti menurut DUKES
Dukes A : Tumor tidak menembus propia muskularis
Dukes B : Tumor menembus propia muskularis, mengenai jaringan ekstra
tetapi belum ada metastase ke KGB regional
Dukes C : Didapati deposit sekunder pada KGB regional. Ini dibagi lagi
menjadi: Duke C1 : Hanya KGB pararektal lokal terlibat
Duke C2 : KGB yang menyertai suplai pembuluh
darah terlibat
Dukes D : Akhir-akhir ini, stadium D dipopulerkan oleh Turnbull.
Pada stadium ini didapati metastasis jauh, biasanya ke hepar
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6.1 Klasifikasi dan definisi TNM (Greene, 2003)
Tabel 2.6.2 Sistem TNM Staging untuk Klasifikasi Dukes (Canan, 2008).
Rectal Cancer Stage TNM Staging
T 1-2 N0M0
Stage I
Stage II
A
T3N0M0
Duke Staging
A
5-year Survival
>90%
B
>60% - 85%
>60% - 85%
C
>53% - 60%
>35% - 42%
>25% - 27%
T4N0M0
B
Stage III
A
T1-2N1M0
T3-4N1M0
T1-4N2M0
B
C
D
Stage IV
T1-4N0-2M1
>5% - 7%
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6.1
Rata-rata kumulatif kelangsungan hidup pada KKR
(Stewart, 2003)
2.7 Histopathologic Grading
Grading merupakan penilaian terhadap seberapa besar perkembangan
(diferensiasi) dari tumor atau neoplasma, jumlah mitosis di dalam tumor, serta
derajat perbedaan antara sel kanker dan sel normal. Grading (disimbolkan G).
Histopathologic grade ditentukan juga oleh seorang ahli patologi dan
berupa ukuran differensiasi sel-sel tumor. Sel normal berdifferensiasi dengan baik,
sedangkan sel-sel kanker selalu kurang baik differensiasinya, semakin kurang
differensiasi suatu sel, semakin cepat pertumbuhan sel tersebut dan lebih
cenderung terjadinya metastasis.
Gx
:
Grade tidak bisa dinilai
G1
:
Well differentiated: Kelenjar atipik, disorganisasi dengan epitel
disorganisasi,
inti
pleomorfik,
hiperkromatik,
kromatin
kasar,
sitoplasma eosinofilik.
G2
:
Moderately well differentiated: Kelenjar proliferatif, disorganisasi
dengan epitel disolarisasi, inti pleomorfik, hiperkromatik, membran inti
irregular, sitoplasma eosinofilik.
Universitas Sumatera Utara
G3
:
Poorly differentiated: Sel epitel yang displastik, inti membesar
plemorfik, kromatin kasar, sitoplasma eosinofilik, tampak sel sebagian
masih membentuk struktur kelenjar.
G4
:
Undifferentiated: Tidak beraturan lagi, sel seluruhnya sudah membentuk
struktur kelenjar.
Well differentiated adenocarcinoma
Modderately differentiated adenocarcinoma
Poorly differentiated adenocarcinoma
Undifferentiated adenocarcinoma
Gambar 2.7.1 Differensiasi sel Adenokarsinoma (National Cancer Center
for Cancer Control and Information Services, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Download