Bab 6 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat Pemberian air susu ibu (ASI) sedini mungkin dan pemberian secara eksklusif terbukti dapat meningkatkan imunitas bayi, serta dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian, sehingga potensi genetiknya dapat berkembang secara optimal (Soekirman, 2005). Penelitian Edmond et al. (2006) menunjukkan bahwa keterlambatan memberikan ASI secara dini akan meningkatkan risiko kematian bayi. Sementara itu, penelitian Duong et al. (2004) menunjukkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif dapat mencegah bayi mengalami diare dan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Diare dan ISPA merupakan penyakit infeksi yang meningkatkan risiko kematian bayi. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan pemberian ASI eksklusif sangat penting bagi bayi. Oleh karenanya, sudah selayaknya program IMD dan ASI eksklusif yang telah dicanangkan pemerintah sejak satu dasawarsa ini perlu lebih diperhatikan. Namun permasalahannya sampai saat ini adalah cakupan ASI eksklusif belum sesuai dengan harapan. Secara nasional cakupan ASI eksklusif belum memenuhi target seperti yang direncanakan dalam standar pelayanan minimal kesehatan, yaitu sebesar 90%. Kenyataan sekarang ini, cakupan ASI eksklusif hanya mencapai 60% (Depkes, 2006). Rendahnya cakupan ASI eksklusif sebagaimana tampak dari data di atas, menurut beberapa penelitian sangat ditentukan oleh upaya pemberian ASI kepada bayi dalam dua jam pertama. Pemberian ASI saja pada dua jam pertama tersebut disebut dengan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Penelitian Nakao et al. (2008) di Jepang membuktikan bahwa pemberian ASI saja pada 120 menit pertama setelah kelahiran 61 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) adalah waktu yang sangat menentukan untuk pencapaian pemberian ASI secara eksklusif minimal sampai bayi berusia 6 bulan. Penelitian lain di Nigeria juga menunjukkan bahwa kegagalan pemberian ASI secara eksklusif ditentukan bahkan oleh 60 menit pertama setelah kelahiran (Awi & Alikor, 2006). Rendahnya cakupan IMD yang terlihat dari data-data di atas, tampak bahwa cakupan yang rendah bukan hanya terjadi pada Negara miskin dan berkembang saja, namun juga terjadi di Negara maju. Secara nasional di Indonesia belum ada data yang mengidentifikasi cakupan IMD. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa cakupan Inisiasi Menyusu Dini masih rendah. Penelitian Roesli (2007) di beberapa Rumah Sakit di kota besar di Indonesia menunjukkan ratarata hanya 4% bayi yang mendapat inisiasi dini pemberian ASI. Pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 450/2004 tentang ASI eksklusif. Dalam Permenkes tersebut sudah ditegaskan bahwa setiap Rumah Sakit/ Rumah Bersalin/ Bidan Praktek Swasta harus mendukung dan mengkampanyekan program pemberian ASI saja pada bayi sejak lahir sampai usia enam bulan (Depkes, 2004). Namun pada kenyataannya program tersebut kurang berhasil. Praktik Inisiasi Menyusu Dini Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan proses menyusui yang pertama kali dilakukan oleh seorang ibu kepada bayinya. Pada usia 30 menit bayi harus disusukan pada ibunya, bukan untuk pemberian nutrisi (nutritive sucking) tetapi untuk belajar menyusu atau membiasakan menghisap puting susu, dan juga guna mempersiapkan ibu untuk mulai memproduksi ASI. Gerakan refleks untuk menghisap pada bayi baru lahir akan mencapai puncaknya pada waktu berusia 2030 menit, sehingga apabila terlambat menyusui refleks ini akan berkurang dan tidak akan kuat lagi sampai beberapa jam kemudian (Rosenberg et al., 1998). 62 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat Satu jam pertama setelah bayi lahir dimaknai sebagai kesempatan emas yang akan menentukan keberhasilan ibu untuk menyusui bayinya secara optimal karena bayi sudah terlatih secara naluriah menemukan sendiri puting susu ibunya. Bila bayi bisa menyusu dalam 20-30 menit akan membantu bayi memperoleh ASI pertamanya, membangun ikatan kasih sayang ibu dan bayi, sehingga dapat meningkatkan produksi ASI yang akhirnya proses menyusu berikutnya akan lebih baik (Roesli, 2007). Praktik IMD Berdasarkan Wilayah dan Umur Ibu Temuan penelitian menunjukkan bahwa praktik IMD di Kabupaten Kendal menunjukkan adanya dua kecenderungan keadaan yaitu: pertama, praktik IMD pada masyarakat/ ibu bersalin di wilayah pegunungan jauh lebih baik daripada wilayah pantai (cakupan IMD di wilayah pegunungan adalah 70%, sedangkan di wilayah pantai 32%); kedua, di wilayah pantai ada kecenderungan bahwa IMD tidak dilaksanakan pada umur produktif ibu bersalin (69,33% ibu yang tidak melaksanakan IMD di wilayah pantai adalah berumur 20-35 tahun, sedangkan di daerah pegunungan ibu yang tidak IMD, 57,14% atau sebagian besar berusia lebih dari 35 tahun). Cakupan Inisiasi Menyusu Dini yang lebih baik pada masyarakat pegunungan sangat dipengaruhi oleh corak masyarakat agraris yang dalam setiap keputusannya lebih condong pada keputusan komunal. Tingginya praktik IMD pada masyarakat pegunungan juga digandakan dengan hadirnya faktor pemungkin (enabling factor). Faktor pemungkin yang tampak sangat kuat pengaruhnya dalam pola perilaku ini adalah etos kerja bidan desa dalam mengkampanyekan IMD. Gabungan budaya komunal dengan dorongan kuat dari institusi kesehatan (bidan desa) dalam mengkampanyekan IMD menjadi penentu keberhasilan IMD di masyarakat pegunungan. Hal ini dapat dilacak dengan menggunakan perspektif Theory Planned Behavior (Ajzen & Fishbein, 1985) yang menempatkan komponen sikap (attitude), norma subjektif (subjectif norm) dan keyakinan kemampuan 63 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) berperilaku (perceived behaviour control) sebagai aspek yang mempengaruhi niat untuk berperilaku (behaviour intention) untuk memperkirakan perilaku. Hasil Focused Group Disscusion (FGD) menunjukkan kuatnya dukungan dua hal tersebut, yaitu budaya komunal dan peran bidan menjadi pendukung utama terbentuknya sikap dan norma tentang IMD yang positif. Kondisi sebaliknya terjadi pada masyarakat pantai. Dalam FGD yang dilakukan berhasil memotret pernyataan dari subyek penelitian (petugas kesehatan) di wilayah tersebut yang kontra dengan upaya kampanye IMD. Berikut ini adalah beberapa pernyataan yang dapat menjelaskan mengapa di wilayah pantai cakupan IMD relatif lebih rendah. “Kami tahu bahwa program IMD sangat bermanfaat bagi kesehatan ibu dan bayi. Namun bagaimana program ini akan berhasil kalau di antara bidan desa ada yang belum meyakini manfaat positif dari program IMD itu sendiri” (Dokter Puskesmas Kaliwungu) Temuan lain dari penelitian ini adalah semakin muda kelompok umur ibu bersalin, semakin tinggi ibu yang tidak melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini. Dalam hal ini tampak adanya kecenderungan di wilayah tertentu serta kelompok umur tertentu memiliki praktik IMD lebih baik. Pada masyarakat pantai selain praktik IMD rendah, ada pola yang nyata bahwa semakin muda usia ibu bersalin semakin rendah praktik IMD. Keadaan sebaliknya justru terjadi pada masyarakat pegunungan, temuan penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pegunungan persentase ibu yang melakukan IMD lebih besar dibandingkan dengan yang tidak IMD. Demikian pula pada masyarakat pegunungan kelompok umur tidak membentuk pola praktik IMD. Kecenderungan tersebut disebabkan karena pada umumnya pada usia muda sebagian besar merupakan persalinan pertama bagi si ibu. Secara teknis IMD dapat dilakukan sejak persalinan kala dua. Namun pada persalinan pertama, khususnya pada persalinan yang sudah ditunggu lama oleh orang tua maupun keluarganya, praktik IMD 64 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Hasil FGD dengan ibu bersalin dan nenek/ mertua menunjukkan adanya kekhawatiran praktik IMD akan menyakitkan bagi si jabang bayi. Nenek/ mertua merasa tidak tega terhadap cucunya apabila dibiarkan dalam waktu cukup lama tidak mendapat minuman (susu). Hal ini dikarenakan proses IMD itu sendiri memakan waktu yang cukup lama, sementara itu di lain pihak ada kekhawatiran terhadap keselamatan si bayi. Persentase Praktik IMD Berdasarkan Wilayah dan Umur Ibu Produktif Jika dilihat dari umur ibu produktif, hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini pada umur ibu produktif (20 - 35 tahun) di wilayah pegunungan lebih baik daripada di wilayah pantai. Ibu yang berumur 20-35 tahun yang memberikan IMD di wilayah pegunungan mencapai 67,14%, sedangkan di wilayah pantai hanya 30,67%. Ibu usia produktif di wilayah pegunungan mempunyai praktik IMD yang lebih baik diduga dilatarbelakangi oleh gabungan antara kesiapan ibu menjalani persalinan dengan rasa percaya terhadap bidan penolong persalinannya. Pada usia produktif secara psikologis dan fisiologis, usia tersebut merupakan usia yang aman dan siap untuk menjalani serangkaian persalinan (Royston & Amstrong, 1998; De Cherney & Nathan, 2003). Keadaan ini didukung oleh peran yang bagus, maka anjuran-anjuran kesehatan seperti melaksanakan IMD akan dengan mudah diterima oleh ibu-ibu di wilayah pegunungan. Rasa percaya kepada bidan yang dirasakan oleh ibu di wilayah pegunungan tersebut, dalam tinjauan teori Green & Kreuter (1991) merupakan hasil evaluasi yang cukup panjang dari masyarakat. Tampak di sini bahwa bidan-bidan yang ada di wilayah pegunungan mampu mengubah ketidaktahuan masyarakat tentang IMD menjadi tahu. Selanjutnya membuat masyarakat tertarik dan mengambil keputusan menerima praktik IMD. Kuatnya rasa percaya pada bidan menunjukkan bahwa bidan di daerah pegunungan merupakan aktor yang perannya paling besar 65 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) dalam mendukung praktik IMD. Bidan di daerah pegunungan terbukti mempunyai etos kerja yang tinggi. Bidan di daerah pegunungan terbukti mampu mengarahkan ibu dengan latar belakang pendidikan, pekerjaan yang sama dengan daerah pantai untuk lebih peduli terhadap praktik IMD. Kuatnya peran bidan dalam mendorong praktik IMD dapat dilihat dari tanggapan positif dari ibu bersalin maupun bidan itu sendiri ketika diwawancarai tentang bagaimana peran bidan. Berikut ini salah satu petikan hasil wawancara: “Ngih, bu bidan meniko sae sanget, grapyak, mboten galak, kulo ngih ngertos babagan IMD saking bu bidan. Waunipun ngih kulo mboten pitados, tapi bu Bidan Budi sabar nerangaken ngantos jelas babagan meniko” (pasien bidan di Kecamatan Limbangan) Terjemahan: “Iya, ibu bidan sangat baik, mudah bergaul, tidak galak, saya juga mengerti tentang IMD dari ibu bidan. Tadinya saya tidak percaya (tentang manfaat IMD), namun ibu Bidan Budi menjelaskan dengan sabar kepada saya hingga jelas. Pernyataan ibu tersebut juga sejalan dengan pernyataan salah satu bidan ketika diwawancarai. Berikut ini adalah petikan hasil wawancara: “Dalam pertemuan dengan bidan-bidan di wilayah Limbangan, kami sering membahas tentang IMD. Kami telah berkomitmen untuk semaksimal mungkin mengupayakan keberhasilan program IMD” (Koordinator Bidan di Puskesmas Limbangan) Kondisi sebaliknya ditemukan di daerah pantai. Peran bidan di wilayah Kecamatan Kaliwungu dapat dikatakan agak kurang dalam mendorong program IMD. Berikut ini salah satu petikan hasil wawancara dengan ibu: “terus terang saya tidak tahu tentang IMD, bu bidan saat itu juga tidak bercerita tentang IMD” (pasien bidan di Kecamatan Kaliwungu) 66 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat Pernyataan tersebut tampaknya senada dengan petikan pernyataan seorang dokter di Puskesmas Kaliwungu sebagai berikut : “Kami tahu bahwa program IMD sangat bermanfaat bagi kesehatan ibu dan bayi. Namun bagaimana program ini akan berhasil kalau ada di antara bidan desa yang belum meyakini manfaat positif dari program IMD itu sendiri” (Dokter Puskesmas Kaliwungu) Praktik IMD Berdasarkan Jumlah Paritas dan Umur Ibu Praktik IMD ditinjau dari paritas dan umur memunculkan tiga temuan penting. Pertama, menurut kelompok umur dan paritas masyarakat wilayah pegunungan memiliki praktik Inisiasi Menyusu Dini yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat wilayah pantai. Kedua, walaupun pada masyarakat pantai, praktik Inisiasi Menyusu Dini lebih rendah, namun ada kesamaan pola yang ditunjukkan apabila ditinjau dari aspek paritas. Ibu dengan paritas lebih dari satu memiliki kecenderungan untuk berpraktik Inisiasi Menyusu Dini lebih besar apabila dibandingkan paritas satu. Ketiga, pada usia di atas 30 tahun pada semua jenis paritas, ibu bersalin yang melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini lebih baik apabila dibandingkan usia di bawah 30 tahun. Temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengalaman kelahiran pertama dan usia persalinan sangat menentukan praktik IMD. Hal ini menunjukkan pentingnya peningkatan upaya komunikasi dan edukasi yang kuat bagi ibu dan keluarganya. Kekhawatiran yang dialami ibu dan terutama nenek/mertua terhadap keselamatan bayinya ketika ASI belum keluar menjadi penyebab utama gagalnya upaya Inisiasi Menyusu Dini. Hal ini tampak dari petikan wawancara kepada keluarga ibu bersalin berikut ini. “Kulo niku kuwatos mas, lha meniko wayah kulo ingkang sepindah. Kulo inggih mesakaken sebab bayi lahir jebrol kok langsung diteteki ibunipun. Mesakaken bayinipun ugi ibunipun” (Sup, salah satu ibu dari ibu bersalin) 67 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) Terjemahan : “Saya khawatir, karena ini adalah cucu saya yang pertama. Saya kasihan kalau bayi baru lahir langsung diteteki ibunya. Kasihan bayinya dan juga ibunya “ Petikan wawancara tersebut memberi gambaran bahwa pengetahuan yang mereka miliki tentang IMD belum masuk ke dalam wilayah keyakinan akan besarnya manfaat IMD. Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi bidan desa untuk lebih memperkuat upaya komunikasi, informasi, dan edukasi tentang Inisiasi Menyusu Dini. Praktik IMD Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Bayi Dilihat dari aspek pendidikan, penelitian ini menemukan empat hal penting. Pertama, tingkat pendidikan yang rendah memberikan kecenderungan praktik Inisiasi Menyusu Dini yang rendah baik di wilayah pantai maupun pegunungan. Pada ibu bersalin yang tidak tamat SD, praktik Inisiasi Menyusu Dini cenderung rendah. Kedua, untuk tingkat pendidikan yang sama, masyarakat pegunungan memiliki praktik Inisiasi Menyusu Dini yang lebih baik dibandingkan masyarakat di wilayah pantai. Ketiga, ada kecenderungan tingkat pendidikan yang tinggi (di atas SMA) baik pada masyarakat pantai maupun pegunungan, praktik Inisiasi Menyusu Dini lebih baik. Keempat, usia ibu bersalin tidak memberi kecenderungan khusus pada praktik Inisiasi Menyusu Dini. Pendidikan sesuai dengan teori perilaku Green & Kreuter (1991) merupakan salah satu determinan utama yang akan memperbaiki predisposing factor atau faktor yang ada dalam diri ibu. Pendidikan yang baik akan memberi dasar yang cukup bagi ibu bersalin untuk menerima informasi dengan baik. Pendidikan juga akan memberi kemampuan kepada ibu bersalin dalam mengambil keputusan. Data di atas menunjukkan rendahnya pendidikan ibu (tidak tamat SD) telah membentuk pola perilaku tidak mengadopsi praktik IMD. Oleh karena itu dalam upaya peningkatan cakupan IMD perlu bersinergi dengan upaya peningkatan derajat pendidikan formal bagi calon ibu bersalin. Artinya, tentang pentingnya pendidikan dalam 68 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat meningkatkan cakupan IMD dapat dilihat dari fakta penelitian bahwa ada kecenderungan tingkat pendidikan yang tinggi (di atas SMA) baik pada masyarakat pantai maupun pegunungan, berkaitan dengan meningkatnya persentase ibu yang berpraktik IMD. Data penelitian juga menunjukkan satu temuan menarik, yaitu bahwa ternyata untuk tingkat pendidikan yang sama, masyarakat pegunungan memiliki praktik IMD lebih baik daripada masyarakat di wilayah pantai. Bahwa sangat dimungkinkan hal ini dipengaruhi oleh adanya budaya komunal pada masyarakat pegunungan. Budaya tersebut ditambah dengan faktor peran bidan desa yang mampu melakukan komunikasi persuasif untuk pelaksanaan IMD. Praktik IMD Berdasarkan Pekerjaan Ibu Praktik IMD berdasarkan pekerjaan dan umur pada masyarakat daerah pantai dan pegunungan menunjukkan dua temuan penting. Pertama, ibu dengan status tidak bekerja, praktik IMD di wilayah pegunungan lebih baik jika dibandingkan dengan ibu di wilayah pantai (cakupan IMD ibu tidak bekerja di wilayah pegunungan adalah 69,44%, sedangkan di wilayah pantai adalah 30,14%). Kedua, pada semua status pekerjaan (kecuali pedagang), menunjukkan di wilayah pegunungan praktik IMD lebih baik dibanding masyarakat wilayah pantai. Ketiga, terdapat jenis pekerjaan tertentu yang sama sekali tidak melakukan praktik IMD. Jenis pekerjaan tersebut pada masyarakat wilayah pantai adalah petani, sedangkan pada wilayah pegunungan adalah kelompok pedagang. Pada masyarakat pegunungan, kelompok tidak bekerja menunjukkan praktik IMD tinggi. Sementara itu pada kelompok yang sama (tidak bekerja) di wilayah pantai memiliki praktik IMD yang rendah. Hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik budaya masyarakat pegunungan yang lebih mendukung praktik IMD. Karakteristik budaya tersebut secara umum Koentjoroningrat (2007) telah menjelaskan terdapat tujuh unsur budaya universal. Dalam konteks temuan penelitian ini, salah satu unsur budaya yang kental 69 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) terdapat di masyarakat pegunungan adalah unsur organisasi sosial, khususnya sistem kemasyarakatan. Dalam sistem kemasyarakatan wilayah pegunungan, seorang bidan ditempatkan sejajar dengan tokoh masyarakat walaupun usianya masih muda. Penghargaan atas ketokohan bidan tersebut akan lebih dalam seiring dengan usia dan lamanya bidan tersebut mengabdi di wilayah tersebut. Bagi pribadi bidan, penokohan dirinya oleh masyarakat, selanjutnya akan menjadi suatu sistem nilai yang membatasi atau mengatur tata cara seorang bidan dalam melayani masyarakat. Penokohan ini akan membuat seorang bidan yang bertugas di wilayah pegunungan berfikir ulang untuk melakukan tindakan yang akan melukai perasaan warga masyarakat. Kepemimpinan bidan yang lahir dari suatu sistem kemasyarakatan di wilayah pegunungan tersebut menjadi satu senjata yang sakti untuk merubah perilaku masyarakat. Ibu hamil/ bersalin secara umum, dan khususnya ibu bersalin yang tidak bekerja di wilayah pegunungan secara budaya akan terikat dengan norma untuk mematuhi nasihat tokoh masyarakat. Sehingga ibu tidak bekerja yang tinggal di wilayah pegunungan memiliki praktik IMD yang lebih baik. Praktik IMD pada ibu yang statusnya bekerja di wilayah pegunungan meskipun masih termasuk baik, namun dengan status pekerjaannya tersebut akan mendatangkan suatu sistem nilai baru yang menimbulkan akulturasi budaya. Proses akulturasi budaya tersebut di atas mendorong keputusan sebagain ibu bersalin tidak mematuhi anjuran bidan. Kesimpulan tentang peran budaya masyarakat desa/ pegunungan yang mendorong kelompok ibu tidak bekerja untuk berpraktik IMD lebih baik dibanding masyarakat pantai dapat dilihat dari petikan hasil wawancara berikut: Petikan wawancara 1: “Menawi teng mriki bidan meniko ugi kalebet tokoh masyarakat mas, umpaminipun wonten hajatan bidan 70 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat meniko dipun punjung sami kados mbah lurah/manten” (mertua perempuan dari salah satu responden di Kecamatan Limbangan) Terjemahan: “Kalau disini bidan juga termasuk dianggap tokoh masyarakat, sepertii misalnya ketika ada upacara/ hajatan, ibu bidan diberi hadiah berupa makanan, yang mana makanan tersebut jenisnya disamakan dengan yang dihadiahkan kepada ibu kepala desa atau mantan kepala desa” Petikan wawancara 2: “Ngih mas, menawi teng daerah mriki, bu bidan ingkang nulung babaran meniko diaturi pakurmatan arupi ayam sakjodo kalih jarit. Sak sampunipun bu bidan taksih kerso rawuh nuweni bayi kalih ibu ingkan babaran meniko. Wekdal meniko ngih mboten ngaturi arto, namung biasanipun menawi dinten riyadin utawi wekdal panen bu bidan dipun aturi punjungan” (mertua perempuan dari salah satu responden di Kecamatan Limbangan) Terjemahan: “Iya, kalau di daerah ini, ibu bidan yang menolong persalinan diberi penghormatan berupa ayam sepasang (jantan dan betina yang belum pernah bertelur), dan kain jarik. Setelah menolong persalinan ibu bidan juga masih mau mengunjungi ibu dan bayinya ke rumah (home visit untuk pemeriksaan kesehatan). Saat itu ibu bidan tidak diberi uang, hanya biasanya ketika hari raya idul fitri atau saat panen ibu bidan diberi hadiah makanan”. Pernyataan tersebut di atas menunjukkan adanya sistem nilai yang kuat dan mengikat antara bidan dan masyarakat. Oleh karena itu anjuran bidan kepada ibu bersalin untuk IMD juga lebih dipatuhi. Kondisi yang agak berbeda ditunjukkan dengan situasi sistem kemasyarakatan di wilayah pantai. Dalam penelitian ini, pada masyarakat pantai tidak ditemukan ikatan sistem kemasyarakatan seperti yang terdapat di wilayah pegunungan. Di lokasi penelitian wilayah pantai, sistem nilai organisasi sosial berupa sistem kemasyarakatan yang menokohkan bidan telah 71 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) bergeser sedikit demi sedikit menjadi sistem hubungan transaksional. Hal ini karena kebetulan wilayah pantai yang menjadi lokasi penelitian dekat dengan wilayah perkotaan. Dari tujuh sistem budaya universal yang dikemukanan Koentjoroningrat (2007), ada indikasi bahwa sistem kemasyarakatan yang melingkupi hubungan bidan dan masyarakat sedikit demi sedikit bergeser menjadi sistem mata pencaharian bagi sang bidan. Petikan wawancara berikut dapat menjadi penguat adanya dugaan tersebut: “Iya nek teng mriki, bidan ya tetep dihormati, ning ngih mboten ngantos dipunjung. Lha kan sampun dibayar” (Orang tua responden di daerah pantai) Terjemahan : “iya kalau disini, bidan tetap dihormati, hanya saja tidak sampai diberi hadiah makanan ketika hari raya. Karena sudah dibayar (saat menolong persalinan)” Dari petikan wawancara tersebut diperoleh gambaran adanya perbedaan sistem kemasyarakatan antara wilayah pantai dan pegunungan. Dari sisi penggunaan bahasa, masyarakat pegunungan ketika di wawancarai menggunakan bahasa Jawa halus, sedangkan masyarakat pantai cenderung menggunakan bahasa Jawa ngoko. Hal ini juga dapat merefleksikan bagaimana masyarakat pantai mendudukkan bidan dalam sistem kemasyarakatan. Pergeseran sistem kemasyarakatan dalam hubungan bidan dan masyarakat ke arah sistem mata pencaharian bagi bidan, juga tampak dari adanya transaksi antara bidan dengan peneliti ketika tahap awal masuk ke lokasi penelitian. Pada saat pertama kali peneliti masuk ke lokasi penelitian di wilayah pantai, bidan menanyakan tentang honor yang akan diperoleh dari kegiatan penelitian. Keadaan yang demikian tidak terjadi ketika peneliti memasuki wilayah pegunungan. Saat itu peneliti disambut dengan baik di aula Puskesmas Limbangan, dan bidan dengan tangan terbuka menerima tim peneliti untuk melaksanakan kegiatan pengumpulan data tanpa meminta imbalan. 72 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat Simpulan dari mengapa pada kelompok ibu yang tidak bekerja di wilayah pegunungan mempunyai praktik IMD yang lebih baik adalah adanya sistem kemasyarakatan yang kokoh mengikat interaksi bidan dan ibu hamil/bersalin. Ikatan yang terjalin saling menjaga agar kedua pihak tetap saling menghormati dan saling percaya. Adapun pada kelompok ibu tidak bekerja di wilayah pantai yang sebagian besar tidak melaksanakan IMD diduga karena lemahnya sistem kemasyarakatan yang mengikat pola hubungan antara bidan dan ibu hamil/masyarakat. Nilai yang lambat laun terbangun justru bergeser ke arah sistem transaksional, sehingga ketulusan bidan dalam menolong, serta kepatuhan ibu dalam menjalani nasehat bidan tidak berurat dan berakar. Praktik Pemberian ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) eksklusif merupakan makanan alamiah yang ideal untuk bayi, terutama pada bulan-bulan pertama. Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa pemberian ASI eksklusif atau menyusui eksklusif sampai bayi umur 6 bulan sangat menguntungkan karena dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit penyebab kematian bayi. Selain menguntungkan bayi, maka pemberian ASI eksklusif juga menguntungkan ibu, yaitu mengurangi perdarahan pasca persalinan, mengurangi kehilangan darah pada saat haid, mempercepat pencapaian berat badan sebelum hamil, mengurangi risiko kanker payudara, dan kanker rahim. Meskipun menyusui dan ASI sangat bermanfaat, diperkirakan 85% ibu-ibu di dunia tidak memberikan ASI secara optimal. Hal ini tampak bahwa pemberian ASI eksklusif masih jarang dipraktikkan oleh ibu-ibu di berbagai negara, karena berbagai faktor seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik (WHO, 2002). Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Pantai dan Pegunungan Praktik pemberian ASI eksklusif di daerah pantai dan pegunungan pada penelitian ini menunjukkan adanya pembenaran 73 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) kondisi yang diungkapkan oleh WHO mengenai rendahnya pemberian ASI eksklusif di negara berkembang, termasuk Indonesia. Perbedaan daerah pegunungan dan pantai juga berpengaruh pada pemberian ASI eksklusif. Di daerah pegunungan pemberian ASI eksklusif cenderung lebih baik dibandingkan di daerah pantai. Cakupan ASI eksklusif di wilayah pegunungan adalah 56,00% sedangkan di wilayah pantai adalah 33,7%. Kondisi ini sejalan dengan penelitian Hidayat (2012) yang menjelaskan bahwa faktor tempat tinggal merupakan faktor penentu dalam praktik pemberian ASI eksklusif. Secara sosial ekonomi keluarga, masyarakat pantai lebih mengarah pada sikap masyarakat kota (modern) dan memiliki cara pandang berbeda dengan masyarakat di pegunungan yang cenderung bersikap seperti masyarakat desa. Penelitian oleh Qiu et al. (2008), diketahui pada usia ibu produktif yakni usia 25–34 tahun, pemberian ASI eksklusif di kota lebih rendah dibandingkan di daerah pinggiran maupun desa. Sebanyak 62% masyarakat kota menggunakan pengganti ASI eksklusif, seperti susu formula maupun makanan pengganti ASI eksklusif. Selain itu, setiap harinya masyarakat kota lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja sehingga kesan individualistis menjadi sangat kental. Sebaliknya, masyarakat desa lebih mengedepankan kebersamaan dan gotong royong sehingga masyarakat desa cenderung lebih banyak berkumpul keluarga dan tetangga dari pada bekerja. Budaya komunal ini mendorong masyarakat desa (pegunungan) menjadi lebih baik dibandingkan masyarakat kota (pantai). Atas dasar perbedaan pandangan masyarakat pantai dan pegunungan, perilaku ibu ketika memberikan ASI eksklusif kepada bayinya menjadi berbeda-beda. Perbedaan ini disandarkan pada teori tindakan beralasan (theory of reasoned action) oleh Ajzen & Fishbein (1980), bahwa ada hubungan sikap dalam konteks cara pandang dengan praktik pemberian ASI. Asumsi yang mendasari teori ini adalah: (a) Manusia umumnya melakukan tindakan dengan cara yang masuk akal; (b) Manusia akan mempertimbangkan informasi yang mendasari perhitungan akibat dari tindakan. Sikap positif tentang ASI akan berpengaruh pada praktik pemberian ASI secara eksklusif. Perilaku 74 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat merupakan hasil proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian tindakan tersebut. Di samping itu, perbedaan kondisi pemberian ASI eksklusif pada masyarakat pantai dan pegunungan ditentukan oleh keberadaan suami (ayah) maupun keluarga. Masyarakat pantai yang identik dengan cara pandang sebagai masyarakat bekerja tentu keberadaan suami kurang memberikan dukungan dalam pemberian ASI eksklusif. Suami lebih disibukkan dengan dunia bekerja dan bahkan ada juga ketika istri melahirkan suami tidak ada di samping istri. Berbeda dengan masyarakat pegunungan, waktu kerja seorang suami (ayah) yang relatif lebih sedikit memberikan keuntungan dalam mendampingi istri ketika melahirkan hingga memberikan ASI eksklusif. Dengan demikian, keberadaan dan dukungan suami (ayah) dalam proses persalinan dan pemberian ASI eksklusif tidak dapat diabaikan begitu saja. Hasil ini mengkonfirmasi fakta bahwa ayah merupakan salah satu kunci dalam praktik pemberian ASI (Bar-Yam & Darby, 1997; Zulfayeni dan Helmiyanti, 2005) Signifikansi peran ayah dalam memberikan ASI eksklusif juga ditemukan dari hasil penelitian Pisacane et al. (2005) di Italia yang mengemukakan bahwa peran ayah bermakna dalam kesuksesan memberikan praktik menyusui dan meningkatkan angka ASI ekslusif. Temuan ini sejalan dengan penelitian Februhartanty (2008) bahwa peran suami terhadap praktik ASI masih rendah karena keterlibatan pencarian informasi dan pembuatan keputusan mengenai pemberian ASI dan pemberian makan bayi masih kurang. Suami kurang mendukung istri dalam proses menyusui disebabkan persepsi bahwa payudara wanita akan berkurang keindahannya bila menyusui dan rasa cemburu terhadap anak (Biancuzzo, 2002). Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Usia Ibu Produktif Keputusan untuk memberikan ASI eksklusif berada di tangan seorang ibu. Widiastuti (1999) menyatakan bahwa pemberian ASI 75 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) eksklusif pada bayi erat kaitanya dengan keputusan yang dibuat oleh ibu. Selama ini ibu merupakan figur utama dalam keputusan untuk memberikan ASI eksklusif atau tidak pada bayinya. Kematangan seseorang akan bergantung pada usianya. Untuk itu, usia penikahan maupun usia kelahiran dapat dijadikan patokan untuk melihat pelaksanaan pemberian ASI eksklusif. Usia ibu dalam pemberian ASI eksklusif di wilayah pegunungan lebih baik daripada di wilayah pantai. Cakupan ASI eksklusif pada ibu usia produktif di wilayah pegunungan adalah 53,84%, sedangkan di wilayah pantai adalah 40,00%. Temuan lain dari penelitian ini adalah meski usia pernikahan ada yang di bawah usia 20 tahun, masyarakat pegunungan tidak banyak memiliki pertimbangan ekonomis dalam pemberian ASI eksklusif. Masyarakat pegunungan memandang kehadiran bayi di rumah ataupun di tengah-tengah keluarga termasuk sesuatu yang mampu mendatangkan berkah. Bahkan, ada ungkapan yang beredar di kalangan masyarakat pegunungan (desa) yakni “banyak anak banyak rezeki”. Ungkapan tersebut mempengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat pegunungan (desa) tentang bayi dan anak. Sebaliknya, dengan berdalih tidak mau repot dan masih banyak pekerjaan yang ditinggalkan selama proses persalinan, masyarakat pantai cenderung mengabaikan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini menunjukkan, usia dominan dalam pemberian ASI eksklusif berada pada rentang usia 20-35 tahun. Rentang usia ini merupakan usia yang dianjurkan seorang wanita hamil (usia produktif wanita). Usia kurang dari 20 tahun maupun lebih dari 35 tahun memiliki risiko yang mengkhawatirkan bagi ibu maupun bayi, termasuk dalam pemberian ASI eksklusif. Kekurangan ASI eksklusif membuat orang tua menggantinya dengan susu formula atau makanan lain. Depkes (2004) menggambarkan pada ibu hamil dengan usia di bawah 20 tahun, rahim dan panggul sering kali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya, ibu hamil pada usia itu mungkin mengalami persalinan lama/macet, atau gangguan lainnya karena 76 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua. Adapun pada umur 35 tahun atau lebih, kesehatan ibu sudah menurun, dan akibatnya, ibu hamil pada usia tersebut mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama dan pendarahan. Hal yang sama dinyatakan oleh Gopaldas et al. (2000) bahwa hasil penelitian di Meksiko, Algeria, dan Amerika Serikat memperlihatkan bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dengan umur di bawah 20 tahun berisiko dua kali untuk meninggal dan mengalami gangguan pertumbuhan pada bayinya. Pertumbuhan ini terkait dengan kecukupan gizi bayi dalam menerima asupan gizi melalui ASI eksklusif. Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Paritas dan Usia Ibu Bayi Secara umum pemberian ASI eksklusif pada masyarakat pegunungan memperlihatkan kondisi yang lebih baik dari pada masyarakat pantai. Meskipun demikian, pada masyarakat pantai terdapat keadaan yang cenderung baik dibandingkan dengan masyarakat pegunungan dalam pemberian ASI eksklusif, yakni pada usia 31 sampai dengan 35 tahun menegaskan bahwa makin kecil paritas makin baik pemberian ASI eksklusif. Keadaan ini memberikan indikasi bahwa keberhasilan pemberian ASI eksklusif pada masyarakat pantai dapat dilakukan saat ibu memiliki paritas satu kali. Jumlah paritas yang lebih dari satu kali cenderung kurang berhasil. Sementara itu, pada masyarakat pegunungan keberhasilan pemberian ASI eksklusif bersifat linier. Artinya, keberhasilan pemberian ASI eksklusif akan ditentukan pada saat paritas pertama. Jika pemberian ASI eksklusif pada paritas pertama berhasil, tentunya paritas selanjutnya juga berhasil. Sebaliknya, pada paritas pertama tidak memberikan ASI eksklusif tentu pada paritas selanjutnya tidak akan memberikan ASI eksklusif. Dengan demikian, pengalaman ibu dalam memberikan ASI eksklusif pertama kali menentukan pemberian ASI eksklusif pada paritas berikutnya. Ibu yang mempunyai pengalaman 77 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) dalam pemberian ASI Eksklusif memiliki keberanian untuk menyusui bayi dengan tidak ragu-ragu lagi. Hal ini berbeda dengan masyarakat pantai, keberhasilan pemberian ASI eksklusif jumlah paritas satu tidak berpengaruh pada paritas selanjutnya. Keberhasilan memberikan ASI eksklusif bergantung pada kematangan pola pikir serta informasi/pengetahuan ibu dalam memberikan nutrisi kepada bayinya. Menurut World Health Organization (WHO), United Nation Children Education and Fund (UNICEF) dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia melalui SK Menkes No. 450/Men.Kes/SK/IV/2004 tanggal 7 April 2004 telah menetapkan, waktu 6 bulan direkomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif disebabkan ASI mempunyai banyak manfaat. Dalam rekomendasi tersebut dijelaskan bahwa manfaat ASI akan meningkatkan IQ dan kesehatan bayi, jika bayi hanya diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. ASI mengandung 88,1% air sehingga diminum bayi selama pemberian ASI eksklusif sudah mencukupi kebutuhan bayi dan sesuai dengan kesehatan bayi. Temuan lain dari penelitian ini adalah pengalaman paritas lebih dari satu kali membuat pola asuh bayi cenderung menurun, khususnya pada masyarakat pantai. Sementara pada masyarakat pegunungan pengalaman paritas menjadikan ibu bayi lebih baik dibandingkan paritas sebelumnya. Dalam konteks ini, faktor pengalaman memberikan stigma kepada para ibu bayi yang berbedabeda bergantung pada wilayah pemukiman. Wilayah pegunungan tetap menjadi tempat lebih baik dari wilayah pantai dalam pemberian ASI eksklusif. Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Tingkat Pendidikan Berdasarkan tingkat pendidikan, pemberian ASI eksklusif di daerah pantai maupun di daerah pegunungan memiliki konstribusi positif. Kedua wilayah tersebut sama-sama memiliki kondisi yang kondusif bagi pemberian ASI eksklusif. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan adanya kondisi yang fluktuatif pada setiap jenjang 78 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. faktor pendidikan Analisis ini sejalan pendapat Handayani dan Apriyanti (2011) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan sehingga dengan berpendidikan tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Adanya pemberian ASI eksklusif yang dilakukan oleh ibu bayi di wilayah pantai maupun pegunungan ditentukan oleh informasi yang diperoleh dari berbagai sumber. Sumber informasi diperoleh dari pemberian sosialisasi, iklan masyarakat baik yang dilakukan oleh pemerintah, para aktor bidang persalinan maupun orang-orang terdekat ibu bayi seperti keluarga, tetangga, maupun teman. Dengan demikian, pengetahuan pemberian informasi tidak diperoleh dari dunia pendidikan tetapi pada kekuatan informasi yang diterima oleh ibu sebagai aktor utama dalam pemberian ASI eksklusif. Dari informasi tersebut terbangun pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Kondisi tersebut akan semakin memprihatinkan jika kurangnya pengetahuan yang benar tentang ASI eksklusif ternyata diikuti dengan sikap yang tidak mendukung (negatif) terhadap ASI eksklusif. Kondisikondisi tersebut merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap praktik ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Meski sebagian dari bidan yang menolong persalinan mereka telah memberikan informasi mengenai manfaat ASI eksklusif saat ANC, tetapi oleh karena sikap mereka terhadap ASI eksklusif yang 79 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) terkadang longgar (tidak komitmen) membuat ibu akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan makanan atau minuman tambahan ASI termasuk di dalamnya adalah susu formula. Salah satu faktor yang menyebabkan masih banyak ibu yang belum mengetahui tentang ASI eksklusif serta sikapnya yang tidak mendukung ASI eksklusif adalah karena ibu tersebut masih jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan informasi yang benar dan lengkap mengenai ASI eksklusif. Informasi dari Bidan yang oleh didapatkan ibu selama proses ANC adalah hanya seputar cara pemberiannya saja bahwa ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja sampai 6 bulan. Pemberian informasi tentang manfaat ASI eksklusif masih jarang dilakukan oleh bidan saat ANC. Hal tersebut dikarenakan bahwa sampai saat ini belum pernah mengetahui/mendengar tentang standar pelayanan khususnya standar pelayanan tentang pemberian ASI eksklusif. Yang selama ini diketahui adalah cara pemberiannya saja bahwa ASI eksklusif hanya diberikan ASI saja sampai 6 bulan, tetapi tidak mengetahui bahwa pemberian ASI eksklusif perlu persiapan yaitu dengan pemberian informasi tentang manfaat ASI eksklusif saat ANC kepada ibu. Pemberian ASI Eksklusif berdasarkan Pekerjaan/Profesi Pemberian ASI eksklusif di wilayah pantai maupun pegunungan berdasarkan aspek profesi memiliki perbedaan. Pada masyarakat pantai, profesi atau jenis pekerjaan bagi ibu yang kondusif untuk memberikan dukungan pemberian ASI eksklusif adalah pedagang. Sebaliknya, pada masyarakat pegunungan profesi bagi ibu yang mendukung dalam pemberian ASI Eksklusif adalah buruh, petani, dan tidak bekerja. Hal ini berarti pekerjaan/profesi ibu menentukan dalam pemberian ASI eksklusif. Hidayat (2012) menegaskan faktor penentu ibu tidak bekerja berhubungan dengan praktik pemberian ASI eksklusif. Ibu hanya sebagai ibu rumah tangga tentunya lebih banyak waktu untuk menyusukan anaknya setiap saat atau setiap kali anak menangis bisa langsung diberi ASI, karena anak selalu bersama ibunya. 80 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat Sebaliknya ibu yang bekerja di luar rumah mempunyai kesempatan lebih kecil. Konsep inilah yang dipegang oleh para ibu-ibu di pegunungan. Karena itu, profesi ibu rumah tangga (tidak bekerja) menjadi profesi yang kondusif untuk mendukung pemberian ASI eksklusif, khususnya di daerah pegunungan yang identik dengan masyarakat desa. Di samping itu, profesi yang digeluti akan mempengaruhi terhadap besar kecilnya penghasilan keluarga. Tingkat penghasilan keluarga berpengaruh terhadap cara hidup. Penghasilan keluarga dapat mendukung pemberian ASI eksklusif ataupun sebaliknya. Dalam pemberian ASI eksklusif dapat dilihat bagaimana keluarga memanfaatkan sumber-sumber material dalam perilaku pemberian ASI eksklusif. Pemanfaatan penghasilan keluarga dapat dilihat seperti dalam pemilihan nutrisi untuk ibu menyusui, penggunaan vitamin, penggunaan obat ataupun jamu, dan pembelian media untuk menambah pengetahuan ibu. Namun demikian, beban semacam itu terletak di tangan suami sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anaknya. Dalam peran inilah suami menjadi faktor penentu lain dalam pemberian ASI eksklusif. Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif Pada Responden yang Berasal dari Daerah Pantai Faktor predisposisi yang mempengaruhi praktik Inisiasi Menyusu Dini (IMD) oleh ibu pasca bersalin di daerah pantai dipengaruhi oleh : (a) pendidikan ibu (r=0,326; p value=0,001); (b) pengetahuan ibu tentang IMD dan ASI (r=0,246; p value=0,014), dan (c) sikap ibu terhadap IMD dan pemberian ASI eksklusif (r=0,276; p value=0,005). Sedangkan umur, pekerjaan, dan jumlah paritas tidak berpengaruh. 81 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) Faktor Pendidikan Ibu Secara geografis dan demografis, daerah pantai pada penelitian ini memiliki kelebihan. Karena daerah pantai lokasinya dekat dengan perkotaan. Kondisi ini berdampak pada tingkat pendidikan penduduk termasuk pendidikan ibu-ibu. Tingkat pendidikan ibu di daerah pantai secara umum lebih baik jika dibandingkan dengan ibu-ibu di daerah pegunungan. Tingkat pendidikan ibu-ibu di daerah pantai yang lebih baik, merupakan faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi praktik IMD dan pemberian ASI eksklusif oleh ibu melahirkan di wilayah ini. Melalui pendidikan yang pernah dijalani sebelumnya, ibu-ibu ini memiliki banyak kesempatan untuk mengakses informasi baik dari pelajaran di sekolah maupun informasi yang berasal dari media baik cetak maupun elektronik. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan menengah ke atas memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan praktik Inisiasi Menyusu Dini. Hal ini terkait dengan informasi Inisiasi Menyusu Dini yang mereka dapatkan baik dari tenaga kesehatan selama Antenal Care (ANC) maupun informasi yang diperoleh sendiri dari berbagai media baik cetak maupun elektronik dipahami secara sungguh-sungguh dan kemudian diterapkan pasca mereka melakukan persalinan. Sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, merasa bahwa IMD merupakan hal yang rumit untuk dilakukan. Selain itu, banyak dari mereka menganggap karena kurang kuatnya motivasi dari bidan agar ibu melakukan IMD sehingga ibu merasa IMD bukanlah suatu keharusan yang harus dilakukan oleh ibu pasca persalinan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sutriyani dkk. (2012), yang menyatakan bahwa pendidikan memberi kontribusi terhadap pelaksanaan IMD oleh ibu bersalin. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi juga daya penalarannya terhadap setiap informasi yang diberikan, sehingga lebih mudah untuk melakukan suatu tindakan. Penelitian lain, juga menyebutkan bahwa frekuensi menyusu dini lebih tinggi di antara wanita terpelajar (Amalia, 2008). Ibu yang terpelajar menyadari keuntungan fisiologis dan psikologis dari menyusui sehingga ibu terpelajar lebih termotivasi 82 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat dan memiliki kesempatan lebih banyak untuk mendapat informasi serta mempunyai fasilitas yang lebih baik. Demikian pula, penelitian Setegn et.al. (2011) di Ethiopia menunjukkan bahwa ibu yang berpendidikan formal memiliki kemungkinan 1-4 kali lebih besar untuk memulai menyusui pada satu jam pertama dibandingkan yang tidak berpendidikan formal. Faktor Pengetahuan tentang IMD Dalam penelitian ini juga menyebutkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik IMD oleh ibu pasca persalinan. Hal ini sejalan dengan teori Notoatmodjo (2007) yang menyebutkan bahwa perilaku yang diadopsi atau didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari dengan pengetahuan dan kesadaran maka akan tidak berlangsung lama. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh ibu akan berpengaruh terhadap sikap mereka khususnya terkait praktik IMD dan ASI eksklusif. Pengetahuan dan sikap ini dapat menjadi dasar dalam membentuk perilaku yang langgeng. Tingkat pengetahuan yang memadai merupakan dasar pengembangan daya nalar seseorang dan jalan untuk memudahkan menerima motivasi, dan selanjutnya memberikan implikasi pada sikap dan perilaku seseorang dalam melakukan IMD. Ibu-ibu bersalin di daerah pantai mendapat informasi seputar ASI dan Inisiasi Menyusu Dini berasal dari informasi yang disampaikan oleh Bidan pada saat mereka melakukan pemeriksaan kehamilan (antenal care). Meskipun demikian mereka mengakui bahwa informasi yang diberikan oleh bidan adalah sangat singkat sehingga informasi yang detail tentang IMD dan ASI eksklusif tidak mereka dapatkan. Ibuibu bersalin yang tidak melaksanakan IMD beralasan mereka tidak tahu tentang cara IMD yang benar serta alasan psikologis yaitu masih merasa jijik dengan kondisi bayi yang belum dibersihkan. 83 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) Di daerah pantai yang juga dekat dengan wilayah perkotaan, sebagian besar ibu-ibu bersalin sebenarnya tahu bahwa mereka harus menyusui bayi mereka, namun karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang cara yang tepat menyusui dini dan manfaat menyusui dini maka ini berdampak pada penundaan praktik inisiasi menyusu dini yang dilakukan oleh ibu bersalin. Ketidaktahuaan ibu tentang cara dan manfaat IMD ini dikarenakan Bidan penolong persalinan masih kurang intensif dalam memberikan pendampingan dan pelatihan kepada ibu bersalin baik saat ANC (pemeriksaan kehamilan) maupun saat pasca persalinan (Chaundary, et al., 2011). Faktor Sikap terhadap IMD Penelitian ini menunjukkan bahwa sikap ibu berpengaruh terhadap praktik IMD. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gijsbers et al. (2006) yang menyatakan bahwa sikap secara signifikan berpengaruh terhadap praktik IMD oleh ibu pasca persalinan. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Raffle et al. (2011) yang menyatakan bahwa sikap ibu adalah faktor individual yang secara signifikan berpengaruh terhadap IMD. Ibu yang memiliki sikap yang positif terhadap IMD sebagian besar melaksanakan IMD. Hal yang menyebabkan sebagian besar ibu memiliki sikap negatif terhadap pelaksanaan IMD adalah pengetahuan ibu yang kurang terkait IMD sehingga berdampak pada sikap dan pelaksanaan IMD. Selain faktor pengetahuan, sikap negatif ibu mengenai IMD disebabkan karena kepercayaan mereka yang kurang terhadap IMD. Sebagian besar dari mereka tidak mempercayai jika bayi yang baru lahir dapat langsung menyusu dan dapat ditengkurapkan di dada ibu. Hal inilah yang kemudian membuat mereka tidak melaksanakan IMD. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Ibu yang memiliki pengetahuan cukup mengenai IMD dan manfaatnya sebagian besar akan memiliki sikap positif terhadap 84 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat IMD dan cenderung melaksanakan IMD selama 30 menit hingga satu jam pasca melahirkan (Roesli, 2008). Demikian halnya praktik pemberian ASI eksklusif oleh ibu kepada bayinya pasca persalinan sampai bayi berusia enam bulan, juga dipengaruhi oleh : (a) pendidikan ibu, (b) pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif, (c) sikap ibu, serta (d) faktor keberhasilan IMD. Sedangkan, faktor umur, pekerjaan, dan jumlah paritas tidak berpengaruh. Pendidikan Ibu Sama halnya dengan praktik IMD, ibu yang memiliki tingkat pendidikan menengah ke atas memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan praktik ASI eksklusif kepada bayinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan ibu berhubungan terhadap praktik pemberian ASI Eksklusif. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian oleh Holbrook et al. (2013) yang menyebutkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan ibu, makin tinggi tingkat pemberian ASI eksklusif kepada bayinya (Holbrook et al., 2013). Pengetahuan Ibu tentang ASI Eksklusif Sama halnya dengan praktik IMD, dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa ada hubungan pengetahuan ibu terhadap praktik ASI eksklusif. Semakin baik pengetahuan ibu tentang ASI maka akan semakin baik pula praktik pemberian ASI eksklusif. Praktik ASI eksklusif ini dapat berlangsung sampai 6 bulan jika didasari oleh pengetahuan dan kesadaran yang tinggi. Sebaliknya, jika tidak didasari dengan pengetahuan dan kesadaran yang tinggi maka praktik dan perilaku tersebut tidak akan berhasil sampai 6 bulan penuh. Sikap Ibu terhadap ASI Eksklusif Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sikap ibu berpengaruh terhadap praktik pemberian ASI eksklusif. Sikap adalah salah satu komponen penting dalam penentu perilaku seseorang. 85 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) Sikap ibu yang positif terhadap ASI eksklusif akan berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif oleh ibu kepada bayinya. Sebaliknya sikap ibu yang negatif berdampak pada ketidakberhasilan pemberian ASI eksklusif kepada bayi selama 6 bulan. Faktor Keberhasilan IMD terhadap Pemberian ASI Eksklusif Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberhasilan IMD dengan pemberian ASI eksklusif (r=0,584; p value=0,000). Ibu yang melakukan IMD memiliki kecenderungan untuk memberikan ASI eksklusif lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak melaksanaan IMD pasca persalinan. Meskipun sebagian besar ibu-ibu di daerah pantai bekerja sebagai buruh pabrik, pemberian ASI eksklusif kepada bayi tetap mereka lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa status pekerjaan secara signifikan tidak mempengaruhi praktik IMD maupun pemberian ASI eksklusif oleh ibu pasca persalinan. Temuan penelitian ini, sebagian ibu-ibu yang bekerja tersebut, memiliki kebiasaan menyimpan ASI untuk persediaan konsumsi bayi. Kebiasaan setiap harinya, bayi dititipkan kepada ibu atau mertuanya. Pola asuh yang diberikan kepada orang terdekat tersebut merupakan dukungan positif dalam pemberian ASI eksklusif. Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa ada hubungan antara keberhasilan pelaksanaan IMD dengan praktik ASI eksklusif. Ibu yang telah berhasil melakukan IMD akan termotivasi untuk melanjutkannya dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai umur 6 bulan. Sebaliknya, ibu yang tidak berhasil melakukan IMD, kemungkinan besar tidak dapat melanjutkannya dengan pemberian ASI eksklusif. Pada Responden yang Berasal dari Daerah Pegunungan Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa ada perbedaan karakteristik ibu-ibu bersalin antara di daerah pegunungan dan daerah 86 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat pantai. Di daerah pegunungan yang dengan kata lain karakternya masih pedesaan, tingkat pendidikan ibu-ibu bersalin di daerah ini masih tergolong lebih rendah dibandingkan dengan ibu-ibu di daerah pantai. Selain itu, sebagian besar ibu-ibu tersebut tidak bekerja. Aktifitas setiap harinya sebagian besar adalah sebagai ibu rumah tangga. Praktik IMD oleh ibu di daerah pegunungan (pedesaan), lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengetahuan (r=0,299; p value=0,003) dan sikap ibu (r=0,252; p value=0,012). Faktor Pengetahuan Ibu tentang IMD dan ASI Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu-ibu bersalin di daerah pegunungan tidak terlepas dari peran Bidan di daerah tersebut. Bidan sebagai penolong persalinan di wilayah ini lebih intensif dalam memberikan informasi dan pendampingan kepada ibu khususnya dalam melaksanakan IMD dan pemberian ASI eksklusif saat ANC (pemeriksaan kehamilan). Hal inilah yang menyebabkan ibu-ibu tersebut mendapatkan pengetahuan yang cukup banyak mengenai IMD dan ASI eksklusif. Di daerah pegunungan diakui bahwa pola komunikasi antara bidan dan ibu hamil atau ibu bersalin jauh lebih baik bila dibandingkan di daerah pantai. Di daerah ini Bidan sangat dihargai sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang lebih. Masyarakat menempatkan bidan sebagai salah satu tokoh masyarakat yang sangat dihormati dan dihargai. Penghargaan sosial kepada Bidan oleh masyarakat ini membuat pola kekeluargaan yang baik di antara mereka. Sehingga, ibuibu di daerah ini merasa lebih nyaman dan biasa berkomunikasi dengan bidan dan cenderung menurut dengan apa yang disampaikan oleh Bidan. Pengetahuan dan informasi yang diberikan oleh bidan ini akhirnya mampu merubah sikap para ibu yang memandang penting IMD itu dilakukan segera setelah melahirkan dan melanjutkannya dengan pemberian ASI eksklusif. Dengan kata lain, pengetahuan yang 87 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) dimiliki oleh ibu akan berpengaruh terhadap sikap mereka. Pengetahuan dan sikap ini dapat menjadi dasar dalam membentuk perilaku yang langgeng. Tingkat pengetahuan yang memadai merupakan dasar pengembangan daya nalar seseorang dan jalan untuk memudahkan menerima motivasi, dan selanjutnya memberikan implikasi pada sikap dan perilaku seseorang dalam melakukan IMD dan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian sesuai dengan teori Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari dengan pengetahuan dan kesadaran maka akan tidak berlangsung lama. Faktor Sikap terhadap IMD Penelitian ini menunjukkan bahwa di daerah pegunungan, sikap ibu berpengaruh terhadap praktik IMD. Sikap merupakan domain penting dalam penentu perilaku seseorang. Ibu yang memiliki sikap positif terhadap IMD memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan praktik IMD segera setelah bayi lahir. Sebaliknya, ibu yang masih bersikap negatif terhadap IMD akan lebih besar kemungkinannya untuk tidak melakukan IMD. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Lawrence Green yang menyatakan bahwa sikap merupakan faktor predisposisi (penentu) yang berhubungan dengan perilaku seseorang (Green, 1991). Hal ini mengindikasikan bahwa sikap akan memunculkan adanya perilaku yang sesuai dengan sikapnya. Sedangkan praktik pemberian ASI eksklusif di daerah pegunungan secara spesifik dipengaruhi oleh sikap ibu sendiri. Faktor umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah paritas, serta pengetahuan tidak berpengaruh. Di daerah pegunungan yang sebagian besar adalah wilayah pedesaan, faktor pengetahuan tidak berhubungan dengan sikap serta dengan praktik ASI eksklusif. Pengetahuan ibu yang baik tentang ASI 88 Cakupan Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif di Masyarakat eksklusif tidak serta merta akan berpengaruh terhadap munculnya sikap yang positif bahkan praktik pemberian ASI eksklusif. Hal ini dikarenakan seorang ibu akan melakukan praktik ASI eksklusif, terlebih dahulu didasari pada sikapnya yang sangat mendukung ASI eksklusif. Sikap tersebut muncul karena atas pertimbanganpertimbangan sesuai analisis mereka. Hal ini sesuai dengan teori Ajzen yang menganggap bahwa orang akan mempertimbangkan untung atau rugi dari perilaku sesuai dengan analisis mereka (Machfoedz, 2007). Meskipun ibu mengetahui manfaat ASI bagi bayi maupun ibu, serta ibu menyadari sepenuhnya bahwa memberikan ASI adalah kewajiban kodrati seorang ibu, ia tetap tidak memberikan ASI eksklusif. Kondisi dan alasan-alasan seperti ibu sibuk bekerja dan tidak sempat menyusui, ASI tidak keluar secara lancar, bayi tidak cukup gizi jika hanya minum ASI, bayi masih rewel jika hanya diberi ASI, serta akan tambah gemuk dan kuat jika diberi makanan tambahan selain ASI, dan sebagainya menyebabkan ibu lebih memilih untuk memberikan susu formula maupun makanan tambahan untuk bayinya. Susu formula dinilai lebih menguntungkan jika diberikan kepada bayi karena ibu merasa tidak kerepotan. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa pendidikan tidak terbukti berpengaruh terhadap praktik IMD maupun pemberian ASI eksklusif. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat khususnya ibu-ibu di wilayah ini tergolong masih rendah. Sebagian besar ibu-ibu di wilayah ini (71%) adalah tamatan SMP ke bawah. Praktik IMD oleh ibu banyak dipegaruhi oleh pengetahuan ibu sendiri khususnya pengetahuan yang diperoleh dari bidan pada saat pemeriksaan kehamilan maupun saat dan pasca persalinan. Selain itu, status pekerjaan ibu secara langsung juga tidak terbukti berpengaruh terhadap praktik IMD maupun pemberian ASI eksklusif. Pengetahuan dan sikap ibu sendirilah yang secara signifikan berpengaruh terhadap prakik IMD yang dilakukan oleh ibu. Sikap dan motivasi yang kuat dari ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya merupakan faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif di daerah ini. Melalui peran bidan yang selalu 89 Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian Sosial Budaya Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat Kendal Jawa Tengah) mengkampanyekan pentingnya pemberian ASI eksklusif bagi bayi sampai umur enam bulan saat pemeriksaan kehamilan, telah mampu merubah mind set dan sikap masyarakat yang menyadari pentingnya ASI bagi bayi. Di samping sikap dan motivasi yang kuat untuk memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, alasan lainnya yang meneguhkan sikap ibu adalah karena status ekonomi. Masyarakat di daerah pegunungan ini, status ekonominya lebih rendah bila dibandingkan di daerah pantai. Ibu-ibu yang sebagian besar tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan sendiri, merasa tidak mampu membeli susu formula untuk bayinya. Sehingga ibu hanya mengandalkan ASI sebagai makanan pokok bagi bayinya sampai umur 6 bulan. Oleh karenanya, cakupan praktik IMD dan ASI eksklusif di daerah pegunungan ini lebih baik dibandingkan di daerah pantai. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ekanem et al. (2012) yang menyatakan bahwa faktor usia, suku, agama, pekerjaan, status perkawinan, status pendidikan, status kesehatan, status sosioekonomi, kehadiran di klinik ante-natal, jumlah anak, mempengaruhi sikap ibu terhadap pemberian ASI eksklusif. 90