Tinjauan Pustaka DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN NEUROPATI OTONOMIK JANTUNG Ayu Wulan Sari, Wira Gotera, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UnudRSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Salah satu komplikasi serius dari Diabetes Melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2 yang sering diabaikan adalah Cardiac Autonomic Neuropathy (CAN) atau neuropati otonomik jantung. Komplikasi ini meliputi kerusakan pada serabut saraf simpatis dan parasimpatis yang menginervasi jantung dan pembuluh darah, yang mengakibatkan kelainan pada kontrol denyut jantung dan dinamika vaskular (1). Keterlibatan serabut saraf somatis dan otonom sebagai komplikasi kronis pada pasien DM menunjukkan patofisiologi yang sangat kompleks, tetapi kontrol glukosa yang buruk dipercaya berperan penting pada patogenesis terjadinya neuropati otonomik jantung (2,3). Diabetes mellitus mengenai kurang lebih 250 juta penduduk dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (3). Prevalensi neuropati otonomik jantung ditemukan sebesar 25,3% pada DM tipe 1 dan 34,3% pada DM tipe 2 (2,4). Diagnosis neuropati otonomik jantung seringkali asimtomatik dan membutuhkan tes dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk menskrining tanda dan gejala yang terjadi, menyingkirkan diagnosis banding serta menilai derajat keparahan dari disfungsi otonomik (5). Manifestasi klinis neuropati otonomik jantung bisa disertai dengan hipotensi postural yang berat, penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik, aritmia jantung, iskemia pembuluh darah jantung, silent ischemia dan kematian mendadak. Penatalaksanaannya bertujuan untuk mengontrol glukosa secara optimal (5,6). Meskipun telah dikembangkan beberapa pedoman untuk menskrining kondisi ini, tetapi manfaat dari tes canggih yang disarankan tersebut sampai saat ini belum jelas (7). 2 Fisiologi Sistem Saraf Otonom Jantung Jantung dipersarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung, yaitu saraf vagus mempersarafi atrium, terutama nodus Sino Atrial (SA) dan nodus AtrioVentrikel (AV). Pengaruh sistem saraf parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung, sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang dan kontraksi atrium melemah (8). Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yang mengontrol kerja jantung pada situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus SA adalah meningkatkan kecepatan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu, stimulasi simpatis mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus (8,9). Patofisiologi Neuropati Otonomik Jantung Walaupun telah dilakukan penelitian yang intensif, namun etiologi dan mekanisme patologi dari neuropati otonomik jantung masih belum jelas. Sejauh ini, banyak literatur telah menyatakan bahwa sistem saraf otonom, yaitu parasimpatis dan simpatis mengalami kerusakan serat saraf yang progresif selama perjalanan penyakit diabetes. Saraf parasimpatis dan simpatis berfungsi mengatur denyut jantung, tekanan darah dan kontraksi jantung untuk mempertahankan homeostasis. Apabila terjadi gangguan pada integritas dari sistem kardiovaskular, akan menyebabkan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa penderita DM. Penelitian terbaru menunjukkan beberapa mekanisme dalam patologi neuropati otonomik jantung. Kontrol glikemik yang buruk tampaknya memiliki peranan kunci pada patologi ini, walaupun derajat keterlibatannya di antara mekanisme ini masih belum jelas (2,6). Mekanisme patologi Neuropati Otonomik Jantung, diantaranya : 3 a. Aktivasi jalur polyol Pada kondisi hiperglikemia, glukosa akan masuk jalur poliol karena heksokinase jenuh. Terdapat perbedaan utama ekspresi enzim pada jalur poliol di epineurial arteri dan jaringan endoneurial. Aldosa reduktase banyak diekspresikan baik di jaringan endoneurial maupun di arteri epineurial sedangkan SDH (sorbitol dehydrogenase) sedikit diekspresikan di endoneurial tapi banyak di arteri epineuron. Aldosa reduktase merubah glukosa menjadi sorbitol, yang menyebabkan penurunan glutathion dan NO akibat penggunaan NADPH. Sorbitol yang meningkat dalam sel, meningkatkan osmolit dalam sel. Sebagai kompensasi untuk keseimbangan osmolit, mioinositol menjadi berkurang yang menyebabkan fosfatidilinositol menurun, yang akan menekan produksi DAG (Diacylglycerol) dan akhirnya menurunkan PKC (bentuk α). Sebagai hasil akhir akan menurunkan aktivitas Na+/K+ ATPase. Menurunnya glutathion dan NO juga meningkatkan kepekaan sel terhadap proses stres oksidatif. Sebaliknya, jalur poliol yang diatur oleh SDH diaktifkan di dinding vaskular pada keadaan hiperglikemia. Akibatnya terjadi perubahan reaksi redok dari NAD/NADH, yang mengkonversi glyceraldehid 3-phosphate (Glycer-3) menjadi asam fosfatidil. Peningkatan DAG meningkatkan aktivitas PKC (bentuk β ) sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan penurunan aliran darah neuronal. b. Stress Oksidatif Hiperglikemia kronis menyebabkan stres oksidatif pada jaringan yang cendrung menyebabkan pasien DM mengalami komplikasi. Mekanisme yang mendasari stres oksidatif pada hiperglikemia kronis dan perkembangan dari neuropati telah diperiksa pada model binatang. Pada neuropati otonomik bukan saja terjadi kerusakan neuron tetapi kemampuan untuk beregenerasi juga terganggu, khususnya pada small caliber fiber. Mekanisme yang mengawali hilangnya regenerasi sel saraf termasuk kerusakan kerja insulin, hilangnya sistem growth factor dan penurunan bentuk spesifik dari PKC. c. Aktivasi Protein Kinase C Pada kondisi hiperglikemia terjadi peningkatan second messenger diacylglycerol yang mengaktifkan protein kinase C. Aktivasi protein Kinase C 4 meningkatkan aktivitas vasokontriktor endotelin-1 dan penurunan aktivitas vasodilator endotelhelial nitric oksida sinthase (eNOS) menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah ke serat saraf . d. Akumulasi AGEs Peningkatan glukosa intraseluler meningkatkan pembentukan AGE, melalui glikosilasi non enzimatik protein seluler. Glikosilasi non enzimatik ini merupakan hasil interkasi glukosa dengan asam amino protein. Peningkatan produksi AGE akan meningkatkan angiotensin II (vasokonstriktor) dan sintesis FFA dan terjadi aktivasi protein kinase C yang selanjutnya menyebabkan kerusakan endotel. e. Iskemia dan hipoksi endoneuronal Disebabkan oleh peningkatan resistensi di sistem vaskular dan menurunkan aliran darah ke serat saraf. Hipoksia menyebabkan kerusakan kapiler dan disfungsi aksonal. f. Destruksi dari faktor pertumbuhan serat saraf dan transport aksonal Faktor pertumbuhan serat saraf diinervasi oleh sistem saraf simpatis. Suatu kondisi hiperglikemi akan menurunkan produksi dari faktor pertumbuhan untuk endotel dan sel neuronal dan menyebabkan degenerasi serat saraf g. Gangguan metabolismse Free Fatty Acid (FFA) Defisiensi FFA akan menyebabkan akumulasi asam linoleic dan memicu perubahan pada membran sel sehingga menyebabkan penurunan aliran darah neuronal. h. Mekanisme imunologi Perubahan yang progresif dari sistem imun juga diduga berperan, namun masih dalam tahap penelitian. Manifestasi Klinis Neuropati Otonomik Jantung Gangguan pada sistem autonomik dapat terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis ditegakkan, dimana manifestasi klinis utamanya adalah gangguan pada sistem kardiovaskular, gastrointestinal dan disfungsi genitourinari (10,16,17). Ada beberapa manifestasi klinik pada pasien dengan komplikasi neuropati otonomik jantung, diantaranya : 5 a. Takikardi saat istirahat Abnormalitas pada variasi denyut jantung merupakan tanda awal dari gangguan neuropati otonomik jantung. Takikardi saat istirahat dan denyut jantung yang tetap merupakan tanda lanjutan adanya gangguan vagal pada pasien DM. Denyut jantung saat istirahat berkisar antara 90-100 kali per menit dan meningkat bertahap sampai 130 kali per menit. Denyut jantung yang menetap yang tidak berespon saat aktivitas fisik sedang, stress, atau saat tidur mengindikasikan adanya denervasi jantung. b. Intoleransi terhadap aktivitas fisik Disfungsi otonom menimbulkan gangguan respon jantung terhadap latihan, baik itu denyut jantung, tekanan darah dan mengurangi peningkatan curah jantung sebagai respon terhadap latihan fisik. Pasien DM yang kemungkinan mengalami neuropati otonomik jantung harus dilakukan stress cardiac test sebelum menjalani program latihan fisik. c. Instabilitas kardiovaskular preoperatif dan perioperatif Angka morbiditas dan mortalitas kardiovaskular perioperatif meningkat 2-3 kali lipat pada pasien DM dibandingkan pasien non DM. Pasien DM yang akan menjalani tindakan dengan anestesi umum akan mengalami derajat penurunan denyut jantung dan tekanan darah yang tinggi selama diinduksi obat anestesi dan sedikit meningkat setelah ekstubasi. Pemberian vasopressor lebih dibutuhkan pada pasien DM dengan neuropati otonomik jantung dibandingkan dengan yang tanpa gangguan neuropati otonom. Respon otonomik yang normal berupa vasokonstriksi dan takikardi tidak memberikan kompensasi yang adekuat terhadap efek vasodilatasi dari obat anestesi. d. Hipotensi Ortostatik Hipotensi ortostatik adalah adanya perbedaan tekanan darah sistolik sebesar 30 mmHg atau diastolik sebesar 10 mmHg sebagai respon perubahan posisi dari terlentang ke berdiri. Gejalanya antara lain lemah, pingsan, pusing, gangguan penglihatan dan bahkan sinkop. Gejala hipotensi ortostatik dapat misdiagnosis dengan hipoglikemi dan dapat disebabkan oleh beberapa jenis obat-obatan, seperti vasodilator, diuretik, fenotiazid dan terutama golongan antidepresan dan insulin. Perubahan posisi dari tidur ke berdiri secara normal adalah hasil dari 6 aktivasi baroreseptor, refleks simpatik sentral, menghasilkan peningkatan tahanan vaskular perifer dan akselerasi jantung. Pada pasien DM, hipotensi ortostatik terjadi akibat kerusakan pada serat vasomotor eferen simpatetik, teutama pada vaskulatur splanchnic. e. Silent Myocardial Ischemia Disfungsi serat saraf otonom aferen menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap iskemia miokardial dengan mengubah transmisi nyeri, sehingga keluhan angina sulit untuk dikenali. Mekanisme yang mendasari terjadi silent myocardial ischemia sangat kompleks dan masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Pada pasien yang asimtomatik, screening rutin untuk mengetahui penyakit jantung coroner masih kontroversial. Hal ini juga tidak mendapatkan rekomendasi dari American Diabetes Association (ADA), karena dianggap tidak mempengaruhi terapi. Skrining masih bisa dipertimbangkan pada pasien DM dengan risiko tinggi, misalnya dengan penyakit arteri perifer, proteinuria dan pasien yang akan memulai program latihan fisik berat (14,17). f. Abnormalitas interval QT QT interval pada EKG menggambarkan durasi depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Nilai QT correction yang lebih besar dari 440 ms menunjukkan pemanjangan dari QT interval. Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan langsung antara neuropati otonomik jantung dengan pemanjangan QT interval pada pasien DM yang mengalami komplikasi disfungsi otonom. Pasien ini cenderung akan mengalami aritmia ventrikel yang mengancam nyawa seperti torsades de pointes dan kematian mendadak. Mekanisme yang mendasari belum dipahami sepenuhnya, tetapi beberapa studi menduga perubahan inervasi simpatetik jantung kemungkinan menyebabkan pemanjangan QT interval. g. Sindrom kematian mendadak Signifikansi neuropati otonomik jantung sebagai penyebab independen dari kematian mendadak pada pasien DM masih dipertanyakan. Pada studi Rochester Diabetic Neuropathy, dinyatakan bahwa semua kasus kematian mendadak pada individu dengan atau tanpa diabetes menderita juga penyakit jantung atau disfungsi ventrikel kiri (19). 7 Diagnosis Neuropati Otonomik Jantung Sampai saat ini tidak ada bukti bahwa satu tes variasi denyut jantung lebih unggul dibandingkan tes lainnya dalam mendiagnosis kecurigaan neuropati otonomik jantung. Lebih jauh lagi, definisi diagnosis neuropati otonomik jantung itu sendiri dibuat berdasarkan beberapa tes sehingga mampu menurunkan angka positif palsu. Dalam pedoman diagnosis dikatakan bahwa dibutuhkan penggunaan beberapa tes untuk menilai fungsi vagal dan simpatetik (5). Konsensus Toronto terbaru menyimpulkan terdapat lima metode yang sensitif dan spesifik untuk menunjukkan kemungkinan terjadi neuropati otonomik jantung, yaitu : a. Heart Rate Variability (HRV) menggunakan ratio dari R-R interval pada EKG. Heart Rate Variability dinilai melalui perhitungan indeks berdasarkan pada analisis statistic interval R-R (time-domain analysis) atau analisis spektral (frequency-domain analysis). Untuk pengukuran statistik interval R-R, terdapat beberapa variabel yang dihitung, antara lain NN (interval RR), NN50 (jumlah NN yang memiliki interval >50 ms), pNN50 (perbandingan antara NN50 dan NN), RMSSD estimasi HRV jangka pendek, SDNN (standar deviasi dari semua NN interval, dan SDANN (standar deviasi dari rata-rata NN interval dalam 5 menit dari seluruh pengukuran 24 jam). Terdapat 3 frekuensi yang digunakan untuk analisis HRV, yaitu: Very-low frequency (VLF) component (0.003 Hz-0.04 Hz), berhubungan dengan fluktuasi tonus vasomotor (termoregulasi), dimediasi secara primer oleh sistem simpatetik, Lowfrequency (LF) component (0.04 Hz- 0.15 Hz), menggambarkan gelombang Mayer, berhubungan dengan refleks baroreseptor, di bawah pengaruh kontrol simpatetik dengan modulasi vagal, High frequency (HF) component (0.15 Hz0.4 Hz), berhubungan dengan aktivitas pernafasan, dibawah kontrol sistem parasimpatetik. Dengan menggunakan pendekatan matematika, seperti Fast Fourier Transform atau model autoregresif didapatkan hasil perhitungan yang mampu merefleksikan amplitudo dari fluktuasi denyut jantung pada berbagai frekuensi. Pemeriksaan HRV ini dilakukan pada kondisi istirahat. Variasi denyut jantung terjadi karena adanya rangsangan yang berbeda maupun aktivitas fisik 8 yang berbeda. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes antara lain: umur, denyut jantung, laju pernafasan, tekanan darah, makanan, kopi, aktivitas fisik, posisi, status volum, mental, merokok dan waktu pemeriksaan. Sinyal elektrokardiografi (EKG) merupakan sinyal AC dengan rentang frekuensi 0.05 Hz-100 Hz. EKG dapat digunakan untuk menilai neuropati otonom kardiovaskular dengan mengukur interval waktu pada sinyal EKG, yaitu: variasi dari interval R-R pada HF, LF dan VLF, variasi interval R-R dengan membandingkan R-R inspirasi dengan ekspirasi (expiration/inspiration ratio), variasi interval R-R diukur selama monitor EKG pada detak ke -15 dan ke-30 setelah berdiri (30:15 ratio), variasi dari interval R-R dengan valsava maneuver (Valsava ratio) dan respon tekanan darah sistolik akibat perubahan posisi. Berdasarkan analisis komputer, kriteria definitif Neuropati Otonomik Jantung ditegakkan apabila ditemukan 3 abnormal dari 7 parameter tersebut (spesifitas: 100%). Borderline atau incipient apabila didapatkan 2 abnormalitas (spesifitas: 98%). Apabila tidak memiliki analisis sistem komputer, maka 4 tes terakhir harus dilakukan dan definitif ditegakkan jika ditemukan 2 abnormalitas dari 4 parameter. Diantara tes HRV tersebut yang paling sensitif untuk mendeteksi abnormalitas pada pasien DM saat istirahat adalah koefisien variasi dari Low Frequency (LF). b. Baroreflex sensitivity (BRS) Baroreflex sensitivity adalah suatu teknik yang digunakan untuk menilai fungsi barorefleks dari jantung dengan mengkombinasi nilai dari denyut jantung dan tekanan darah. Teorinya teknik ini adalah untuk mengevaluasi dua serat aferen dari Autonomic Nervus Sistem (ANS) dari sistem kardiovaskular, yaitu serat saraf simpatetik (vasokontriksi arteri) dan saraf vagal (bradikardi atau takikardi) sebagai respon akibat perubahan dari tekanan darah. Sensitivitas dan spesivisitas dari metode ini masih dalam penelitian. c. Muscle sympathetic nerve activity (MSNA) Suatu metode invasif untuk menilai secara langsung konduksi dari sistem saraf simpatetik perifer melalui microneurography. Untuk pemeriksaan secara rutin, tes ini tidak direkomendasikan. 9 d. Mengukur Plasma level of catecholamine (PLC) Evaluasi PLC (adrenaline, noradrenaline dan metabolitnya) belum terbukti berguna untuk menstaging atau mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung. e. Cardiac sympathetic mapping (CSM). Teknik pencitraan untuk menilai inervasi dari saraf simpatetik melalui scintigrafi adalah dengan PET dan SPECT. CSM dengan radiolabel katekolamin secara aktif mampu ditangkap oleh serat terminal simpatetik. Karena biaya yang mahal dan kurangnya referensi dan metodologi standar mengenai teknik ini, maka tidak direkomendasikan sebagai tes rutin untuk mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung. Sampai saat ini, Cardiovaskular Autonomic Reflexs Test (CARTs) merupakan tes standar emas untuk mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung pada penderita DM. Tes fungsi otonom parasimpatis lebih sensitif untuk mendeteksi neuropati otonom jantung dibandingkan dengan tes fungsi simpatis (9,19). Beberapa tes yang digunakan untuk mendeteksi neuropati otonomik jantung, antara lain : 1. Heart Rate Response to Deep Breathing. Pada tes ini pasien istirahat dengan posisi terlentang, bernafas 6 kali per menit (5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi) dan denyut jantung dimonitor dengan EKG, kemudian dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut jantung minimal. Apabila didapatkan nilai perbedaan denyut jantung >15 kali/menit (normal), 11-14 kali/menit (borderline) dan <10 kali/menit (abnormal). Kesimpulan dari tes ini adalah bahwa variasi denyut jantung saat bernafas tergantung pada aktivitas saraf parasimpatis. Tes ini dalam banyak penelitian dipertimbangkan sebagai tes reflex otonom yang paling baik untuk menilai neuropati otonomik jantung. 2. Heart Rate Response to Valsalva Maneuver. Valsava manuver tergantung pada sistem simpatetik dan parasimpatetik jantung. Pada tes ini pasien dalam posisi duduk dan meniup melalui manometer yang telah dimodifikasi hingga tekanan 40 mmHg selama 15 detik dan interval RR dimonitor dengan EKG. Hasil ditunjukkan dengan rasio valsava, yaitu perbandingan R-R terpanjang setelah meniup dengan R-R terpendek selama 10 meniup. Apabila rasio valsava >1,21 (normal), 1,11-1,20 (borderline) dan <1.10 (abnormal). Pada sebagian besar kasus, respon refleks terhadap Valsava manuver akan menyebabkan takikardi dan vasokonstriksi perifer dan peningkatan tekanan darah selama diberikan tekanan, dan terjadi bradikardi setelah tekanan dilepaskan. Pada pasien dengan neuropati otonomik jantung, respon denyut jantung akan berubah, dimana terjadi penurunan tekanan darah saat mendapat tekanan dengan fase pemulihan yang sangat lambat. Kesimpulan dari tes ini adalah apabila ditemukan respon denyut jantung, mengindikasikan adanya disfungsi pada serat sarf simpatetik dan parasimpatetik. 3. Heart Rate Response to Standing. Normalnya denyut jantung akan meningkat dengan cepat setelah berdiri, mencapai maksimal denyut jantung pada detak ke-15 setelah berdiri kemudian diikuti oleh refleks bradikardi pada detak ke-30. Rasio antara interval R-R pada detak ke-15 dan detak ke-30 yang terlihat pada EKG disebut dengan ratio 30:15. Rasio ini menggambarkan fungsi parasimpatetik. Apabila didapatkan rasio >1,03 (normal), 1,01-1,03 (borderline) dan <1,01 (abnormal). Pada pasien DM dengan neuropati otonomik jantung, rasio 30:15 akan menurun dari nilai normal. 4. Blood Pressure Response to Standing. Terjadinya hipotensi ortostatik akibat kerusakan serat saraf simpatetik, sehingga respon tekanan darah terhadap perubahan posisi dari tidur ke berdiri sering digunakan untuk menilai disfungsi simpatetik. Normalnya memang terjadi penurunan tekanan darah apabila seseorang berdiri dari posisi terlentang. Pada pasien DM dengan neuropati otonomik jantung, Disebut abnormal apabila didapatkan penurunan tekan darah diastolic > 10 mmHg atau sistolik >30 mmHg dalam waktu 2 menit setelah berdiri. 5. Blood Pressure Response to Sustained Handgrip. Serat eferen dari saraf simpatetik terlibat didalam mempertahankan kontraksi otot, akan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan curah jantung karena terjadi peningkatan tahanan perifer. Tes ini menggunakan alat dynamometer dengan membuat tegangan sampai 30% dari maksimal selama 5 menit. Tekanan darah akan diukur sebelum dan interval 1 menit selama beban 11 handgrip. Hasilnya berupa perbedaan diantara tingginya tekanan diastolic selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolic sebelum dimulai handgrip. Normal apabila peningkatan tekanan diastolic >16 mmHg, borderline jika 11-15 mmHg dan abnormal bila <10 mmHg. Pasien DM dengan neuropati otonomik jantung mengalami sedikit peningkatan tekanan darah diastolic (12). Staging dari Neuropati Otonomik Jantung Kriteria untuk staging Neuropati Otonomik Jantung adalah (10,16): (1) Posible/early apabila didapatkan satu abnormalitas dari CARTs (2) Definitif/comfirmed apabila minimal 2 hasil dari CARTs yang abnormal (3) Severe/advanced bila ada hipotensi ortostatik dan abnormalitas CARTs. Gambar 1. Staging dari Neuropati Otonomik Jantung (10) Penatalaksanaan Neuropati otonomik jantung Penatalaksanaan Neuropati Otonomik Jantung diantaranya adalah: a. Perubahan gaya hidup b. Nutrisi yang seimbang dan aktivitas fisik yang tepat akan membantu memperbaiki level sensitivias insulin, membatasi asupan garam 2-4 g/d, batasi dan stop merokok, stop minum alkohol, batasi asupan kafein. c. Kontrol Gula Darah 12 Resistensi Insulin memegang peranan penting dalam pathogenesis miokardial pada pasien DM. dan tentu saja, agen farmakologi yang digunakan dalam pengobatan DM juga harus memiliki kemampuan memperbaiki kerusakan fungsi dan struktur pada sistem kardiovaskular (6,15). d. Antineural autoimmunity human immunoglobulin Human immunoglobulin yang diberikan secara intravena direkomendasikan untuk pasien dengan neuropati diabetik yang menunjukkan gejala autoimunitas antineural. Efek samping pemberian terapi ini adalah sakit kepala, dan bahkan reaksi anapilaktik (6,8). e. Aktivasi antioksidan Salah satu mekanisme patogenesis dari neuropati adalah stress oksidatif, jadi pemberian antioksidan adalah suatu keharusan. Terapi yang sangat potensial saat ini adalah α-LA. Mekanisme kerja dari α-LA belum dipahami sepenuhnya. Ada dua hipotesis mengenai mekanisme kerja dari α-LA. Pertama, α-LA menyebabkan proliferasi dari sel neuroblastoma. Perubahan pada membrane sel yang dimediasi oleh grup sulhydril dari α-LA diduga menyebabkan efek ini. α-LA meningkatkan proses ekspansi dan memperbaiki struktur dan fungsi membrane terminal saraf. Pemberian α-LA menstimulasi regenerasi dari saraf terminal pada kasus denervasi parsial. Kedua, mekanisme yang paling mungkin adalah kemampuan α-LA sebagai pengikat radikal bebas (“cleaner”) (6,8,13). f. Vitamin Benfotiamine (vitamin B1) memiliki potensi terapi yang cukup luas, memiliki efisiensi yang baik pada obat-obat yang mengandung derivate tiamin dengan tujuan mengatur aktivitas dari proses radikal bebas, memperbaiki disfungsi endotel pada kasus penyakit kardiovaskular, menstabilkan efek antioksidan. Pengobatan neuropati otonomik jantung dengan mengkombinasi tiamin dan α-LA berefek signifikan pada neuropati otonom (6,10). g. (γ-linolenic acid,acetyl L-carnitine) Prostanoin vasoaktif, metabolit dan Dihomo-γ-linolenic acid (DGLA), prostaglandin dan eicosanoid lainnya sangat bermanfaat untuk konduksi saraf dan aliran darah. L-carnitine berfungsi memperkuat metabolism asam lemak, 13 mengaktivasi metabolism glukosa, meningkatkan suplay energy dan fungsi ventrikel kiri (6). h. Pengobatan dengan ω -3 and ω -6 PUFAs Analisis studi eksperimental dan klinis membuktikan bahwa ω-3 PUFA menghambat penyerapan kolesterol dalam usus dan sintesis dalam hati, menyebabkan peningkatan clearance lipoprotein dalam darah, mencegah perkembangan IR pada diabetes eksperimental, menurunkan tingkat BP , dosis-dependen mencegah perkembangan diabetes, meningkatkan sensitivitas trombosit ke ADP dan kolagen, memberikan kontribusi untuk perubahan positif dalam parameter koagulasi, migrasi sel endotel, menghambat proliferasi sel otot polos (7,13,17). Manajemen hipotensi ortostatik yang bergejala Identifikasi penyebab lain hipotensi ortostatik, seperti volume depletion, obat-obat psikotropik, diuretic dan antagonis α-adrenoreceptor sangat penting dalam manajemen hipotensi ortostatik. Mengedukasi pasien tentang gerakan bertahap jika akan berubah posisi, menganjurkan aktifitas fisik ringan, posisi kepala yang lebih tinggi saat tidur, physical counter-manoeuvres (seperti menyilangkan kaki, membungkuk, skuat, dan menegangkan otot), menggunakan kursi lipat portable, meningkatkan asupan garam dan elektrolit bila tidak ada kontraindikasi, minum air (2– 2.5 l/hari) dan meningkatkan asupan garam ( > 8 g atau 150 mmol per hari) efektif untuk memperbaiki hipotensi ortostatik dan menghindari makanan tinggi karbohidrat. Agen yang dapat menambah volume plasma (fludrocortisone) dan selektif α1-adrenergik agonis (midodrine) adalah obat lini pertama dalam terapi hipotensi ortostatik. Midodrine memiliki efek pressor melalui penyempitan pembuluh darah arteri dan vena. Dosis harus disesuaikan secara individual (hingga dua sampai empat kali 10 mg / hari). Efek samping adalah reaksi pilomotor, pruritus, hipertensi terlentang, bradikardia, gejala gastrointestinal, dan retensi urin. Midodrine adalah satu-satunya obat yang disetujui oleh Food and Drug Administration untuk pengobatan gejala hipotensi ortostatik dan saat ini sedang dikerjakan peninjauan kembali (15,18) 14 Gambar 2. Manajemen pasien DM dengan hipotensi ortostatik (15) Prognosis Pasien dengan neuropati otonomik jantung biasanya juga menderita komplikasi lain. Disfungsi otonom, terutama nueropati parasimpatis dapat terjadi pada fase awal dari DM tipe 2, hal ini berkaitan erat dengan adanya aterosklerosis subklinis pada pasien DM. Pasien yang mengalami silent myocard ischemia, pemanjangan interval QT berpredisposisi mengalami kematian yang tiba-tiba. Neuropati otonomik jantung yang menimbulkan gejala mempunyai prognosis yang buruk, dimana angka harapan hidup hanya sebesar 27%. Penderita dengan neuropati otonomik yang bergejala mempunyai mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bergejala, akibat komplikasi dan progresifitas dari penyakit DM (11,20). 15 Ringkasan Salah satu komplikasi serius Diabetes Melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2 yang sering diabaikan adalah neuropati otonomik jantung. Kontrol glikemik yang buruk memiliki peran kunci pada patogenesis terjadinya neuropati otonomik jantung. Pengenalan neuropati otonomik jantung sedini mungkin sangat perlu, mengingat prognosisnya yang buruk, mortalitas yang tinggi akibat dari komplikasi dan progresifitas dari DM itu sendiri.dan dapat terjadi hal yang fatal seperti kematian mendadak. Penatalaksanaan neuropati otonomik jantung bertujuan untuk mengontrol glukosa secara optimal dan terapi gejala kardiovaskular yang terjadi. Daftar Pustaka 1. Vinik A, Ziegler D. Diabetic Cardiovaskular Autonomic Neuropathy. Circulation 2007;115: 387-397. 2. Oakley I, Emond L. Diabetic Cardiac Autonomic Neuropathy and Anesthetic Management: Review of the Literature. AANA Journal 2011;79: 473-479. 3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PERKENI; 2011. 4. Busui R. Cardiac Autonomic Neuropathy in Diabetes. Diabetes Care 2010;33: 434-41. 5. Rolim L, Souza J, Dib S. Tests for Early Diagnosis of Cardiovaskular Autonomic Neuropathy: Critical Analysis and Relevance. Front Endocrinol 2013;4: 1-4. 6. Serhiyenko V, Serhiyenko A. Diabetic Cardiac Autonomic Neuropathy: Do We Have Any Treatment Perspectives?. World J Diabetes 2015;6: 245-258. 7. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes, Diabetes Care 2015;38(Suppl.1): S58-S66. 8. Klabunde R. Autonomic Neural Control. Cardiovaskular Physiology Concepts. 3rd ed. United States of America; Data Reproductions Corporations; 2011.pp 118-138. 9. Somers V. Cardiovaskular Manifestations of Autonomic Disorders. In: Mann D, Zipes D, Libby P, Bonow R., Braunwald E., eds. Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovaskular Medicine. 10th ed. Philadelphia: ElSevier Saunders;2015.pp 1931-1943. 16 10. Spallone V, Ziegler D, Freeman R., Bernardi L, Frontoni S, Busui R.., Cardiovaskular Autonomic Neuropathy in Diabetes: Clinical Impact, Assessment, Diagnosis, and Management. Diabetes Metab Res and Rev 2011;27: 639–653. 11. Yulizal O, Denervasi Otonomik Kardiak pada Penderita DM Tipe 2: Perbandingan Antara yang mendapat Terapi Insulin dengan Obat Hipoglikemik Oral. USU. Institutional. Repository. (serial online), Mar., Diunduh dari: URL: http://repository.usu.ac.id/ 123456789/09E00065.pdf, akses 18 Mei 2015. 12. Timar R, Popescu S, Simu M., Diaconu , Timar B. QTc Interval and Insulin Resistance in Type 2 Diabetes Mellitus. Eur Sci Jour 2013; 9: 70-77. 13. Stevens M., Shefner J, Nathan D, Dashe J. Diabetic Autonomic Neuropathy. Up To Date. (serial online), Mar., Diunduh dari: http://www.uptodate.com/contents/diabetic-autonomic-neuropathy?, akses 18 Mei 2015. 14. Canani et al. Cardiovaskular Autonomic Neuropathy in Type 2 Diabetes Mellitus Patients with Peripheral Artery Disease. dms journal 2015; 5: 2-9. 15. Maser R, Lenhard M. Review: Cardiovaskular Autonomic Neuropathy Due to Diabetes Mellitus: Clinical Manifestations, Consequences, and Treatment. J Clin Endocrinol Metab 2005;10: 5896–903. 16. Brownlee M. Complications of Diabetes Mellitus. In: Melmed S, Polonsky K, Larsen R, Henry M., Hetherington P., eds. Williams Textbook of Endocrinology. 12th ed. Philadelphia: ElSevier Saunders;2011.pp 1508-1513. 17. Ryden et al. ESC Guidelines on Diabetes, Pre-diabetes, and Cardiovascular Diseases Developed in Collaboration with the EASD. eur heart j 2013;10: 163. 18. Lahrmann H. Orthostatic Hypotention. In: Gilhus N, Barnes P, Brainin M.,Gilhus N., eds. European Handbook of Neurological Management. 2nd ed. Austria: Blackwell Publishing;2011.pp 469-475 19. Basu A, Bandyopadhyay R, Chakrabarti S, Paul R, Santra S. A Study on The Prevalence of Cardiac Autonomic Neuropathy in Type-2 diabetes in Eastern India. JIACM 2010;190-4. 20. Fakhrzadeh H et al. Cardiac Autonomic Neuropathy Measured by Heart Rate Variability and Markers of Subclinical Atherosclerosis in Early Type 2 Diabetes. ISRN Endocrinology 2012;1-8.