Tinjauan Pustaka DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN

advertisement
Tinjauan Pustaka
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN NEUROPATI OTONOMIK
JANTUNG
Ayu Wulan Sari, Wira Gotera, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UnudRSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Salah satu komplikasi serius dari Diabetes Melitus (DM), baik tipe 1 maupun
tipe 2 yang sering diabaikan adalah Cardiac Autonomic Neuropathy (CAN) atau
neuropati otonomik jantung. Komplikasi ini meliputi kerusakan pada serabut saraf
simpatis dan parasimpatis yang menginervasi jantung dan pembuluh darah, yang
mengakibatkan kelainan pada kontrol denyut jantung dan dinamika vaskular (1).
Keterlibatan serabut saraf somatis dan otonom sebagai komplikasi kronis pada
pasien DM menunjukkan patofisiologi yang sangat kompleks, tetapi kontrol
glukosa yang buruk dipercaya berperan penting pada patogenesis terjadinya
neuropati otonomik jantung (2,3).
Diabetes mellitus mengenai kurang lebih 250 juta penduduk dunia. World
Health Organization (WHO) memperkirakan kenaikan jumlah penderita DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030
(3). Prevalensi neuropati otonomik jantung ditemukan sebesar 25,3% pada DM
tipe 1 dan 34,3% pada DM tipe 2 (2,4).
Diagnosis
neuropati
otonomik
jantung
seringkali
asimtomatik
dan
membutuhkan tes dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk
menskrining tanda dan gejala yang terjadi, menyingkirkan diagnosis banding serta
menilai derajat keparahan dari disfungsi otonomik (5). Manifestasi klinis
neuropati otonomik jantung bisa disertai dengan hipotensi postural yang berat,
penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik, aritmia jantung, iskemia pembuluh
darah jantung, silent ischemia dan kematian mendadak. Penatalaksanaannya
bertujuan untuk mengontrol glukosa secara optimal (5,6). Meskipun telah
dikembangkan beberapa pedoman untuk menskrining kondisi ini, tetapi manfaat
dari tes canggih yang disarankan tersebut sampai saat ini belum jelas (7).
2
Fisiologi Sistem Saraf Otonom Jantung
Jantung dipersarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat
memodifikasi kecepatan serta kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung,
yaitu saraf vagus mempersarafi atrium, terutama nodus Sino Atrial (SA) dan
nodus AtrioVentrikel (AV). Pengaruh sistem saraf parasimpatis pada nodus SA
adalah menurunkan kecepatan denyut jantung, sedangkan pengaruhnya ke nodus
AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus tersebut dan memperpanjang transmisi
impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di bawah pengaruh parasimpatis jantung
akan berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel
memanjang dan kontraksi atrium melemah (8).
Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yang mengontrol kerja jantung pada situasi
darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung melalui efeknya
pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus SA adalah
meningkatkan kecepatan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat dicapai.
Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV dengan
meningkatkan
kecepatan
penghantaran.
Selain
itu,
stimulasi
simpatis
mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus (8,9).
Patofisiologi Neuropati Otonomik Jantung
Walaupun telah dilakukan penelitian yang intensif, namun etiologi dan
mekanisme patologi dari neuropati otonomik jantung masih belum jelas. Sejauh
ini, banyak literatur telah menyatakan bahwa sistem saraf otonom, yaitu
parasimpatis dan simpatis mengalami kerusakan serat saraf yang progresif selama
perjalanan penyakit diabetes. Saraf parasimpatis dan simpatis berfungsi mengatur
denyut jantung, tekanan darah dan kontraksi jantung untuk mempertahankan
homeostasis. Apabila terjadi gangguan pada integritas dari sistem kardiovaskular,
akan menyebabkan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa penderita DM.
Penelitian terbaru menunjukkan beberapa mekanisme dalam patologi
neuropati otonomik jantung. Kontrol glikemik yang buruk tampaknya memiliki
peranan kunci pada patologi ini, walaupun derajat keterlibatannya di antara
mekanisme ini masih belum jelas (2,6). Mekanisme patologi Neuropati Otonomik
Jantung, diantaranya :
3
a. Aktivasi jalur polyol
Pada kondisi hiperglikemia, glukosa akan masuk jalur poliol karena
heksokinase jenuh. Terdapat perbedaan utama ekspresi enzim pada jalur poliol
di epineurial arteri dan jaringan endoneurial. Aldosa reduktase banyak
diekspresikan baik di jaringan endoneurial maupun di arteri epineurial
sedangkan SDH (sorbitol dehydrogenase) sedikit diekspresikan di endoneurial
tapi banyak di arteri epineuron. Aldosa reduktase merubah glukosa menjadi
sorbitol, yang menyebabkan penurunan glutathion dan NO akibat penggunaan
NADPH. Sorbitol yang meningkat dalam sel, meningkatkan osmolit dalam sel.
Sebagai kompensasi untuk keseimbangan osmolit, mioinositol menjadi
berkurang yang menyebabkan fosfatidilinositol menurun, yang akan menekan
produksi DAG (Diacylglycerol) dan akhirnya menurunkan PKC (bentuk α).
Sebagai hasil akhir akan menurunkan aktivitas Na+/K+ ATPase. Menurunnya
glutathion dan NO juga meningkatkan kepekaan sel terhadap proses stres
oksidatif. Sebaliknya, jalur poliol yang diatur oleh SDH diaktifkan di dinding
vaskular pada keadaan hiperglikemia. Akibatnya terjadi perubahan reaksi
redok dari NAD/NADH, yang mengkonversi glyceraldehid 3-phosphate
(Glycer-3) menjadi asam fosfatidil. Peningkatan DAG meningkatkan aktivitas
PKC (bentuk β ) sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan penurunan aliran
darah neuronal.
b. Stress Oksidatif
Hiperglikemia kronis menyebabkan stres oksidatif pada jaringan yang
cendrung menyebabkan pasien DM mengalami komplikasi. Mekanisme yang
mendasari stres oksidatif pada hiperglikemia kronis dan perkembangan dari
neuropati telah diperiksa pada model binatang. Pada neuropati otonomik bukan
saja terjadi kerusakan neuron tetapi kemampuan untuk beregenerasi juga
terganggu, khususnya pada small caliber fiber. Mekanisme yang mengawali
hilangnya regenerasi sel saraf termasuk kerusakan kerja insulin, hilangnya
sistem growth factor dan penurunan bentuk spesifik dari PKC.
c. Aktivasi Protein Kinase C
Pada
kondisi
hiperglikemia
terjadi
peningkatan
second
messenger
diacylglycerol yang mengaktifkan protein kinase C. Aktivasi protein Kinase C
4
meningkatkan aktivitas vasokontriktor endotelin-1 dan penurunan aktivitas
vasodilator endotelhelial nitric oksida sinthase (eNOS) menyebabkan
vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah ke serat saraf .
d. Akumulasi AGEs
Peningkatan glukosa intraseluler meningkatkan pembentukan AGE, melalui
glikosilasi non enzimatik protein seluler. Glikosilasi non enzimatik ini
merupakan hasil interkasi glukosa dengan asam amino protein. Peningkatan
produksi AGE akan meningkatkan
angiotensin II (vasokonstriktor) dan
sintesis FFA dan terjadi aktivasi protein kinase C
yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan endotel.
e. Iskemia dan hipoksi endoneuronal
Disebabkan oleh peningkatan resistensi di sistem vaskular dan menurunkan
aliran darah ke serat saraf. Hipoksia menyebabkan kerusakan kapiler dan
disfungsi aksonal.
f. Destruksi dari faktor pertumbuhan serat saraf dan transport aksonal
Faktor pertumbuhan serat saraf diinervasi oleh sistem saraf simpatis. Suatu
kondisi
hiperglikemi akan menurunkan produksi dari faktor pertumbuhan
untuk endotel dan sel neuronal dan menyebabkan degenerasi serat saraf
g. Gangguan metabolismse Free Fatty Acid (FFA)
Defisiensi FFA akan menyebabkan akumulasi asam linoleic dan memicu
perubahan pada membran sel sehingga menyebabkan penurunan aliran darah
neuronal.
h. Mekanisme imunologi
Perubahan yang progresif dari sistem imun juga diduga berperan, namun masih
dalam tahap penelitian.
Manifestasi Klinis Neuropati Otonomik Jantung
Gangguan pada sistem autonomik dapat terjadi pada tahun pertama setelah
diagnosis ditegakkan, dimana manifestasi klinis utamanya adalah gangguan pada
sistem kardiovaskular, gastrointestinal dan disfungsi genitourinari (10,16,17).
Ada beberapa manifestasi klinik pada pasien dengan komplikasi neuropati
otonomik jantung, diantaranya :
5
a. Takikardi saat istirahat
Abnormalitas pada variasi denyut jantung merupakan tanda awal dari
gangguan neuropati otonomik jantung. Takikardi saat istirahat dan denyut
jantung yang tetap merupakan tanda lanjutan adanya gangguan vagal pada
pasien DM. Denyut jantung saat istirahat berkisar antara 90-100 kali per menit
dan meningkat bertahap sampai 130 kali per menit. Denyut jantung yang
menetap yang tidak berespon saat aktivitas fisik sedang, stress, atau saat tidur
mengindikasikan adanya denervasi jantung.
b. Intoleransi terhadap aktivitas fisik
Disfungsi otonom menimbulkan gangguan respon jantung terhadap latihan,
baik itu denyut jantung, tekanan darah dan mengurangi peningkatan curah
jantung sebagai respon terhadap latihan fisik. Pasien DM yang kemungkinan
mengalami neuropati otonomik jantung harus dilakukan stress cardiac test
sebelum menjalani program latihan fisik.
c. Instabilitas kardiovaskular preoperatif dan perioperatif
Angka morbiditas dan mortalitas kardiovaskular perioperatif meningkat 2-3
kali lipat pada pasien DM dibandingkan pasien non DM. Pasien DM yang akan
menjalani tindakan dengan anestesi umum akan mengalami derajat penurunan
denyut jantung dan tekanan darah yang tinggi selama diinduksi obat anestesi
dan sedikit meningkat setelah ekstubasi. Pemberian vasopressor lebih
dibutuhkan pada pasien DM dengan neuropati otonomik jantung dibandingkan
dengan yang tanpa gangguan neuropati otonom. Respon otonomik yang normal
berupa vasokonstriksi dan takikardi tidak memberikan kompensasi yang
adekuat terhadap efek vasodilatasi dari obat anestesi.
d. Hipotensi Ortostatik
Hipotensi ortostatik adalah adanya perbedaan tekanan darah sistolik sebesar 30
mmHg atau diastolik sebesar 10 mmHg sebagai respon perubahan posisi dari
terlentang ke berdiri. Gejalanya antara lain lemah, pingsan, pusing, gangguan
penglihatan dan bahkan sinkop. Gejala hipotensi ortostatik dapat misdiagnosis
dengan hipoglikemi dan dapat disebabkan oleh beberapa jenis obat-obatan,
seperti vasodilator, diuretik, fenotiazid dan terutama golongan antidepresan dan
insulin. Perubahan posisi dari tidur ke berdiri secara normal adalah hasil dari
6
aktivasi baroreseptor, refleks simpatik sentral, menghasilkan peningkatan
tahanan vaskular perifer dan akselerasi jantung. Pada pasien DM, hipotensi
ortostatik terjadi akibat kerusakan pada serat vasomotor eferen simpatetik,
teutama pada vaskulatur splanchnic.
e. Silent Myocardial Ischemia
Disfungsi serat saraf otonom aferen menyebabkan penurunan sensitivitas
terhadap iskemia miokardial dengan mengubah transmisi nyeri, sehingga
keluhan angina sulit untuk dikenali. Mekanisme yang mendasari terjadi silent
myocardial ischemia sangat kompleks dan masih belum dapat dimengerti
sepenuhnya. Pada pasien yang asimtomatik, screening rutin untuk mengetahui
penyakit jantung coroner masih kontroversial. Hal ini juga tidak mendapatkan
rekomendasi dari American Diabetes Association (ADA), karena dianggap
tidak mempengaruhi terapi. Skrining masih bisa dipertimbangkan pada pasien
DM dengan risiko tinggi, misalnya dengan penyakit arteri perifer, proteinuria
dan pasien yang akan memulai program latihan fisik berat (14,17).
f. Abnormalitas interval QT
QT interval pada EKG menggambarkan durasi depolarisasi dan repolarisasi
ventrikel. Nilai QT correction yang lebih besar dari 440 ms menunjukkan
pemanjangan dari QT interval. Beberapa penelitian menemukan adanya
hubungan langsung antara neuropati otonomik jantung dengan pemanjangan
QT interval pada pasien DM yang mengalami komplikasi disfungsi otonom.
Pasien ini cenderung akan mengalami aritmia ventrikel yang mengancam
nyawa seperti torsades de pointes dan kematian mendadak. Mekanisme yang
mendasari belum dipahami sepenuhnya, tetapi beberapa studi menduga
perubahan
inervasi
simpatetik
jantung
kemungkinan
menyebabkan
pemanjangan QT interval.
g. Sindrom kematian mendadak
Signifikansi neuropati otonomik jantung sebagai penyebab independen dari
kematian mendadak pada pasien DM masih dipertanyakan. Pada studi
Rochester Diabetic Neuropathy, dinyatakan bahwa semua kasus kematian
mendadak pada individu dengan atau tanpa diabetes menderita juga penyakit
jantung atau disfungsi ventrikel kiri (19).
7
Diagnosis Neuropati Otonomik Jantung
Sampai saat ini tidak ada bukti bahwa satu tes variasi denyut jantung lebih
unggul dibandingkan tes lainnya dalam mendiagnosis kecurigaan neuropati
otonomik jantung. Lebih jauh lagi, definisi diagnosis neuropati otonomik jantung
itu sendiri dibuat berdasarkan beberapa tes sehingga mampu menurunkan angka
positif palsu.
Dalam pedoman diagnosis dikatakan bahwa dibutuhkan
penggunaan beberapa tes untuk menilai fungsi vagal dan simpatetik (5).
Konsensus Toronto terbaru menyimpulkan terdapat lima metode yang sensitif dan
spesifik untuk menunjukkan kemungkinan terjadi neuropati otonomik jantung,
yaitu :
a. Heart Rate Variability (HRV) menggunakan ratio dari R-R interval pada EKG.
Heart Rate Variability dinilai melalui perhitungan indeks berdasarkan pada
analisis statistic interval R-R (time-domain analysis) atau analisis spektral
(frequency-domain analysis). Untuk pengukuran statistik interval R-R, terdapat
beberapa variabel yang dihitung, antara lain NN (interval RR), NN50 (jumlah
NN yang memiliki interval >50 ms), pNN50 (perbandingan antara NN50 dan
NN), RMSSD estimasi HRV jangka pendek, SDNN (standar deviasi dari
semua NN interval, dan SDANN (standar deviasi dari rata-rata NN interval
dalam 5 menit dari seluruh pengukuran 24 jam). Terdapat 3 frekuensi yang
digunakan untuk analisis HRV, yaitu: Very-low frequency (VLF) component
(0.003 Hz-0.04 Hz), berhubungan dengan fluktuasi tonus vasomotor
(termoregulasi), dimediasi secara primer oleh sistem simpatetik, Lowfrequency (LF) component (0.04 Hz- 0.15 Hz), menggambarkan gelombang
Mayer, berhubungan dengan refleks baroreseptor, di bawah pengaruh kontrol
simpatetik dengan modulasi vagal, High frequency (HF) component (0.15 Hz0.4 Hz), berhubungan dengan aktivitas pernafasan, dibawah kontrol sistem
parasimpatetik.
Dengan menggunakan pendekatan matematika, seperti Fast Fourier
Transform atau model autoregresif didapatkan hasil perhitungan yang mampu
merefleksikan amplitudo dari fluktuasi denyut jantung pada berbagai frekuensi.
Pemeriksaan HRV ini dilakukan pada kondisi istirahat. Variasi denyut
jantung terjadi karena adanya rangsangan yang berbeda maupun aktivitas fisik
8
yang berbeda. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes antara lain: umur,
denyut jantung, laju pernafasan, tekanan darah, makanan, kopi, aktivitas fisik,
posisi, status volum, mental, merokok dan waktu pemeriksaan.
Sinyal elektrokardiografi (EKG) merupakan sinyal AC dengan rentang
frekuensi 0.05 Hz-100 Hz. EKG dapat digunakan untuk menilai neuropati
otonom kardiovaskular dengan mengukur interval waktu pada sinyal EKG,
yaitu: variasi dari interval R-R pada HF, LF dan VLF, variasi interval R-R
dengan membandingkan R-R inspirasi dengan ekspirasi (expiration/inspiration
ratio), variasi interval R-R diukur selama monitor EKG pada detak ke -15 dan
ke-30 setelah berdiri (30:15 ratio), variasi dari interval R-R dengan valsava
maneuver (Valsava ratio) dan respon tekanan darah sistolik akibat perubahan
posisi. Berdasarkan analisis komputer, kriteria definitif Neuropati Otonomik
Jantung ditegakkan apabila ditemukan 3 abnormal dari 7 parameter tersebut
(spesifitas: 100%). Borderline atau incipient apabila didapatkan 2 abnormalitas
(spesifitas: 98%). Apabila tidak memiliki analisis sistem komputer, maka 4 tes
terakhir harus dilakukan dan definitif ditegakkan jika ditemukan 2
abnormalitas dari 4 parameter.
Diantara tes HRV tersebut yang paling sensitif untuk mendeteksi
abnormalitas pada pasien DM saat istirahat adalah koefisien variasi dari Low
Frequency (LF).
b. Baroreflex sensitivity (BRS)
Baroreflex sensitivity adalah suatu teknik yang digunakan untuk menilai fungsi
barorefleks dari jantung dengan mengkombinasi nilai dari denyut jantung dan
tekanan darah. Teorinya teknik ini adalah untuk mengevaluasi dua serat aferen
dari Autonomic Nervus Sistem (ANS) dari sistem kardiovaskular, yaitu serat
saraf simpatetik (vasokontriksi arteri) dan saraf vagal (bradikardi atau
takikardi) sebagai respon akibat perubahan dari tekanan darah. Sensitivitas dan
spesivisitas dari metode ini masih dalam penelitian.
c. Muscle sympathetic nerve activity (MSNA)
Suatu metode invasif untuk menilai secara langsung konduksi dari sistem saraf
simpatetik perifer melalui microneurography. Untuk pemeriksaan secara rutin,
tes ini tidak direkomendasikan.
9
d. Mengukur Plasma level of catecholamine (PLC)
Evaluasi PLC (adrenaline, noradrenaline dan metabolitnya) belum terbukti
berguna untuk menstaging atau mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung.
e. Cardiac sympathetic mapping (CSM).
Teknik pencitraan untuk menilai inervasi dari saraf simpatetik melalui
scintigrafi adalah dengan PET dan SPECT. CSM dengan radiolabel
katekolamin secara aktif mampu ditangkap oleh serat terminal simpatetik.
Karena biaya yang mahal dan kurangnya referensi dan metodologi standar
mengenai teknik ini, maka tidak direkomendasikan sebagai tes rutin untuk
mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung.
Sampai saat ini, Cardiovaskular Autonomic Reflexs Test (CARTs) merupakan
tes standar emas untuk mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung pada penderita
DM. Tes fungsi otonom parasimpatis lebih sensitif untuk mendeteksi neuropati
otonom jantung dibandingkan dengan tes fungsi simpatis (9,19).
Beberapa tes yang digunakan untuk mendeteksi neuropati otonomik jantung,
antara lain :
1. Heart Rate Response to Deep Breathing.
Pada tes ini pasien istirahat dengan posisi terlentang, bernafas 6 kali per menit
(5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi) dan denyut jantung dimonitor dengan
EKG, kemudian dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut
jantung minimal. Apabila didapatkan nilai perbedaan denyut jantung >15
kali/menit (normal), 11-14 kali/menit (borderline) dan <10 kali/menit
(abnormal). Kesimpulan dari tes ini adalah bahwa variasi denyut jantung saat
bernafas tergantung pada aktivitas saraf parasimpatis. Tes ini dalam banyak
penelitian dipertimbangkan sebagai tes reflex otonom yang paling baik untuk
menilai neuropati otonomik jantung.
2. Heart Rate Response to Valsalva Maneuver.
Valsava manuver tergantung pada sistem simpatetik dan parasimpatetik
jantung. Pada tes ini pasien dalam posisi duduk dan meniup melalui manometer
yang telah dimodifikasi hingga tekanan 40 mmHg selama 15 detik dan interval
RR dimonitor dengan EKG. Hasil ditunjukkan dengan rasio valsava, yaitu
perbandingan R-R terpanjang setelah meniup dengan R-R terpendek selama
10
meniup. Apabila rasio valsava >1,21 (normal), 1,11-1,20 (borderline) dan
<1.10 (abnormal). Pada sebagian besar kasus, respon refleks terhadap Valsava
manuver akan menyebabkan takikardi dan vasokonstriksi perifer dan
peningkatan tekanan darah selama diberikan tekanan, dan terjadi bradikardi
setelah tekanan dilepaskan. Pada pasien dengan neuropati otonomik jantung,
respon denyut jantung akan berubah, dimana terjadi penurunan tekanan darah
saat mendapat tekanan dengan fase pemulihan yang sangat lambat. Kesimpulan
dari tes ini adalah apabila ditemukan respon denyut jantung, mengindikasikan
adanya disfungsi pada serat sarf simpatetik dan parasimpatetik.
3. Heart Rate Response to Standing.
Normalnya denyut jantung akan meningkat dengan cepat setelah berdiri,
mencapai maksimal denyut jantung pada detak ke-15 setelah berdiri kemudian
diikuti oleh refleks bradikardi pada detak ke-30. Rasio antara interval R-R pada
detak ke-15 dan detak ke-30 yang terlihat pada EKG disebut dengan ratio
30:15. Rasio ini menggambarkan fungsi parasimpatetik. Apabila didapatkan
rasio >1,03 (normal), 1,01-1,03 (borderline) dan <1,01 (abnormal). Pada pasien
DM dengan neuropati otonomik jantung, rasio 30:15 akan menurun dari nilai
normal.
4. Blood Pressure Response to Standing.
Terjadinya hipotensi ortostatik akibat kerusakan serat saraf simpatetik,
sehingga respon tekanan darah terhadap perubahan posisi dari tidur ke berdiri
sering digunakan untuk menilai disfungsi simpatetik. Normalnya memang
terjadi penurunan tekanan darah apabila seseorang berdiri dari posisi
terlentang. Pada pasien DM dengan neuropati otonomik jantung, Disebut
abnormal apabila didapatkan penurunan tekan darah diastolic > 10 mmHg atau
sistolik >30 mmHg dalam waktu 2 menit setelah berdiri.
5. Blood Pressure Response to Sustained Handgrip.
Serat eferen dari saraf simpatetik terlibat didalam mempertahankan kontraksi
otot, akan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan curah jantung
karena terjadi peningkatan tahanan perifer. Tes ini menggunakan alat
dynamometer dengan membuat tegangan sampai 30% dari maksimal selama 5
menit. Tekanan darah akan diukur sebelum dan interval 1 menit selama beban
11
handgrip. Hasilnya berupa perbedaan diantara tingginya tekanan diastolic
selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolic sebelum dimulai
handgrip. Normal apabila peningkatan tekanan diastolic >16 mmHg, borderline
jika 11-15 mmHg dan abnormal bila <10 mmHg. Pasien DM dengan neuropati
otonomik jantung mengalami sedikit peningkatan tekanan darah diastolic (12).
Staging dari Neuropati Otonomik Jantung
Kriteria untuk staging Neuropati Otonomik Jantung adalah (10,16):
(1) Posible/early apabila didapatkan satu abnormalitas dari CARTs
(2) Definitif/comfirmed apabila minimal 2 hasil dari CARTs yang abnormal
(3) Severe/advanced bila ada hipotensi ortostatik dan abnormalitas CARTs.
Gambar 1. Staging dari Neuropati Otonomik Jantung (10)
Penatalaksanaan Neuropati otonomik jantung
Penatalaksanaan Neuropati Otonomik Jantung diantaranya adalah:
a.
Perubahan gaya hidup
b.
Nutrisi yang seimbang dan aktivitas fisik yang tepat akan membantu
memperbaiki level sensitivias insulin, membatasi asupan garam 2-4 g/d,
batasi dan stop merokok, stop minum alkohol, batasi asupan kafein.
c.
Kontrol Gula Darah
12
Resistensi Insulin memegang peranan penting dalam pathogenesis miokardial
pada pasien DM. dan tentu saja, agen farmakologi yang digunakan dalam
pengobatan DM juga harus memiliki kemampuan memperbaiki kerusakan
fungsi dan struktur pada sistem kardiovaskular (6,15).
d.
Antineural autoimmunity human immunoglobulin
Human immunoglobulin yang diberikan secara intravena direkomendasikan
untuk pasien dengan neuropati diabetik yang menunjukkan gejala
autoimunitas antineural. Efek samping pemberian terapi ini adalah sakit
kepala, dan bahkan reaksi anapilaktik (6,8).
e.
Aktivasi antioksidan
Salah satu mekanisme patogenesis dari neuropati adalah stress oksidatif, jadi
pemberian antioksidan adalah suatu keharusan. Terapi yang sangat potensial
saat ini adalah α-LA. Mekanisme kerja dari
α-LA belum dipahami
sepenuhnya. Ada dua hipotesis mengenai mekanisme kerja dari α-LA.
Pertama, α-LA menyebabkan proliferasi dari sel neuroblastoma. Perubahan
pada membrane sel yang dimediasi oleh grup sulhydril dari α-LA diduga
menyebabkan efek ini. α-LA meningkatkan proses ekspansi dan memperbaiki
struktur dan fungsi membrane terminal saraf. Pemberian α-LA menstimulasi
regenerasi dari saraf terminal pada kasus denervasi parsial. Kedua,
mekanisme yang paling mungkin adalah kemampuan α-LA sebagai pengikat
radikal bebas (“cleaner”) (6,8,13).
f.
Vitamin
Benfotiamine (vitamin B1) memiliki potensi terapi yang cukup luas, memiliki
efisiensi yang baik pada obat-obat yang mengandung derivate tiamin dengan
tujuan mengatur aktivitas dari proses radikal bebas, memperbaiki disfungsi
endotel pada kasus penyakit kardiovaskular, menstabilkan efek antioksidan.
Pengobatan neuropati otonomik jantung dengan mengkombinasi tiamin dan
α-LA berefek signifikan pada neuropati otonom (6,10).
g.
(γ-linolenic acid,acetyl L-carnitine)
Prostanoin vasoaktif, metabolit dan Dihomo-γ-linolenic acid (DGLA),
prostaglandin dan eicosanoid lainnya sangat bermanfaat untuk konduksi saraf
dan aliran darah. L-carnitine berfungsi memperkuat metabolism asam lemak,
13
mengaktivasi metabolism glukosa, meningkatkan suplay energy dan fungsi
ventrikel kiri (6).
h.
Pengobatan dengan ω -3 and ω -6 PUFAs
Analisis studi eksperimental dan klinis membuktikan bahwa ω-3 PUFA
menghambat penyerapan kolesterol dalam usus dan sintesis dalam hati,
menyebabkan peningkatan clearance lipoprotein dalam darah, mencegah
perkembangan IR pada diabetes eksperimental, menurunkan tingkat BP ,
dosis-dependen mencegah perkembangan diabetes, meningkatkan sensitivitas
trombosit ke ADP dan kolagen, memberikan kontribusi untuk perubahan
positif dalam parameter koagulasi, migrasi sel endotel, menghambat
proliferasi sel otot polos (7,13,17).
Manajemen hipotensi ortostatik yang bergejala
Identifikasi penyebab lain hipotensi ortostatik, seperti volume depletion, obat-obat
psikotropik, diuretic dan antagonis α-adrenoreceptor sangat penting dalam
manajemen hipotensi ortostatik. Mengedukasi pasien tentang gerakan bertahap
jika akan berubah posisi, menganjurkan aktifitas fisik ringan, posisi kepala yang
lebih tinggi saat tidur, physical counter-manoeuvres (seperti menyilangkan kaki,
membungkuk, skuat, dan menegangkan otot), menggunakan kursi lipat portable,
meningkatkan asupan garam dan elektrolit bila tidak ada kontraindikasi, minum
air (2– 2.5 l/hari) dan meningkatkan asupan garam ( > 8 g atau 150 mmol per
hari) efektif untuk memperbaiki hipotensi ortostatik dan menghindari makanan
tinggi karbohidrat. Agen yang dapat menambah volume plasma (fludrocortisone)
dan selektif α1-adrenergik agonis (midodrine) adalah obat lini pertama dalam
terapi hipotensi ortostatik. Midodrine memiliki efek pressor melalui penyempitan
pembuluh darah arteri dan vena. Dosis harus disesuaikan secara individual
(hingga dua sampai empat kali 10 mg / hari). Efek samping adalah reaksi
pilomotor, pruritus, hipertensi terlentang, bradikardia, gejala gastrointestinal, dan
retensi urin. Midodrine adalah satu-satunya obat yang disetujui oleh Food and
Drug Administration untuk pengobatan gejala hipotensi ortostatik dan saat ini
sedang dikerjakan peninjauan kembali (15,18)
14
Gambar 2. Manajemen pasien DM dengan hipotensi ortostatik (15)
Prognosis
Pasien dengan neuropati otonomik jantung biasanya juga menderita
komplikasi lain. Disfungsi otonom, terutama nueropati parasimpatis dapat terjadi
pada fase awal dari DM tipe 2, hal ini berkaitan erat dengan adanya aterosklerosis
subklinis pada pasien DM. Pasien yang mengalami silent myocard ischemia,
pemanjangan interval QT berpredisposisi mengalami kematian yang tiba-tiba.
Neuropati otonomik jantung yang menimbulkan gejala mempunyai prognosis
yang buruk, dimana angka harapan hidup hanya sebesar 27%. Penderita dengan
neuropati otonomik yang bergejala mempunyai mortalitas lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak bergejala, akibat komplikasi dan progresifitas
dari penyakit DM (11,20).
15
Ringkasan
Salah satu komplikasi serius Diabetes Melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe
2 yang sering diabaikan adalah neuropati otonomik jantung. Kontrol glikemik
yang buruk memiliki peran kunci pada patogenesis terjadinya neuropati otonomik
jantung. Pengenalan neuropati otonomik jantung sedini mungkin sangat perlu,
mengingat prognosisnya yang buruk, mortalitas yang tinggi akibat dari komplikasi
dan progresifitas dari DM itu sendiri.dan dapat terjadi hal yang fatal seperti
kematian mendadak. Penatalaksanaan neuropati otonomik jantung bertujuan untuk
mengontrol glukosa secara optimal dan terapi gejala kardiovaskular yang terjadi.
Daftar Pustaka
1. Vinik A, Ziegler D. Diabetic Cardiovaskular Autonomic Neuropathy.
Circulation 2007;115: 387-397.
2. Oakley I, Emond L. Diabetic Cardiac Autonomic Neuropathy and Anesthetic
Management: Review of the Literature. AANA Journal 2011;79: 473-479.
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PERKENI;
2011.
4. Busui R. Cardiac Autonomic Neuropathy in Diabetes. Diabetes Care 2010;33:
434-41.
5. Rolim L, Souza J, Dib S. Tests for Early Diagnosis of Cardiovaskular
Autonomic Neuropathy: Critical Analysis and Relevance. Front Endocrinol
2013;4: 1-4.
6. Serhiyenko V, Serhiyenko A. Diabetic Cardiac Autonomic Neuropathy: Do
We Have Any Treatment Perspectives?. World J Diabetes 2015;6: 245-258.
7. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes,
Diabetes Care 2015;38(Suppl.1): S58-S66.
8. Klabunde R. Autonomic Neural Control. Cardiovaskular Physiology
Concepts. 3rd ed. United States of America; Data Reproductions
Corporations; 2011.pp 118-138.
9. Somers V. Cardiovaskular Manifestations of Autonomic Disorders. In: Mann
D, Zipes D, Libby P, Bonow R., Braunwald E., eds. Braunwald’s Heart
Disease A Textbook of Cardiovaskular Medicine. 10th ed. Philadelphia:
ElSevier Saunders;2015.pp 1931-1943.
16
10. Spallone V, Ziegler D, Freeman R., Bernardi L, Frontoni S, Busui R..,
Cardiovaskular Autonomic Neuropathy in Diabetes: Clinical Impact,
Assessment, Diagnosis, and Management. Diabetes Metab Res and Rev
2011;27: 639–653.
11. Yulizal O, Denervasi Otonomik Kardiak pada Penderita DM Tipe 2:
Perbandingan Antara yang mendapat Terapi Insulin dengan Obat
Hipoglikemik Oral. USU. Institutional. Repository. (serial online), Mar.,
Diunduh dari: URL: http://repository.usu.ac.id/ 123456789/09E00065.pdf,
akses 18 Mei 2015.
12. Timar R, Popescu S, Simu M., Diaconu , Timar B. QTc Interval and Insulin
Resistance in Type 2 Diabetes Mellitus. Eur Sci Jour 2013; 9: 70-77.
13. Stevens M., Shefner J, Nathan D, Dashe J. Diabetic Autonomic Neuropathy.
Up To Date. (serial online), Mar., Diunduh dari:
http://www.uptodate.com/contents/diabetic-autonomic-neuropathy?, akses 18
Mei 2015.
14. Canani et al. Cardiovaskular Autonomic Neuropathy in Type 2 Diabetes
Mellitus Patients with Peripheral Artery Disease. dms journal 2015; 5: 2-9.
15. Maser R, Lenhard M. Review: Cardiovaskular Autonomic Neuropathy Due to
Diabetes Mellitus: Clinical Manifestations, Consequences, and Treatment. J
Clin Endocrinol Metab 2005;10: 5896–903.
16. Brownlee M. Complications of Diabetes Mellitus. In: Melmed S, Polonsky K,
Larsen R, Henry M., Hetherington P., eds. Williams Textbook of
Endocrinology. 12th ed. Philadelphia: ElSevier Saunders;2011.pp 1508-1513.
17. Ryden et al. ESC Guidelines on Diabetes, Pre-diabetes, and Cardiovascular
Diseases Developed in Collaboration with the EASD. eur heart j 2013;10: 163.
18. Lahrmann H. Orthostatic Hypotention. In: Gilhus N, Barnes P, Brainin
M.,Gilhus N., eds. European Handbook of Neurological Management. 2nd ed.
Austria: Blackwell Publishing;2011.pp 469-475
19. Basu A, Bandyopadhyay R, Chakrabarti S, Paul R, Santra S. A Study on The
Prevalence of Cardiac Autonomic Neuropathy in Type-2 diabetes in Eastern
India. JIACM 2010;190-4.
20. Fakhrzadeh H et al. Cardiac Autonomic Neuropathy Measured by Heart Rate
Variability and Markers of Subclinical Atherosclerosis in Early Type 2
Diabetes. ISRN Endocrinology 2012;1-8.
Download