BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan salah satu elemen terpenting dalam kehidupan
manusia. Komunikasi akan selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam
situasi apapun. Komunikasi menjadi salah satu kunci dari kegiatan yang dilakukan
untuk menyampaikan dan memperoleh pesan. Pentingnya sebuah komunikasi
dilakukan oleh setiap individu adalah supaya tidak terjadi kesalahpahaman
ataupun kekeliruan dalam menanggapi adanya suatu informasi.
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan lambang yang
mengandung arti, baik berupa informasi, pemikiran, pengetahuan dan lainnya,
dari komunikator ke komunikan (Walgito, 2001: 75). Dalam proses komunikasi
terdapat dua atau lebih orang yang terlibat dalam transmisi informasi. Sehingga
pada dasarnya komunikasi menjadi faktor yang penting dalam menjalin hubungan
interpersonal antara satu orang dengan yang lainnya.
Mulyana (2009: 77) dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar
menyatakan bahwa komunikasi tidak berlangsung dalam ruang hampa-sosial,
melainkan dalam konteks atau situasi tertentu. Sehingga, komunikasi bisa terjadi
di manapun, kapanpun, dan dengan siapapun serta dalam segala situasi, salah satu
contohnya adalah komunikasi antara seseorang dengan temannya atau dengan
tetangganya. Komunikasi interpersonal sendiri adalah interaksi tatap muka antar
dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara
langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung
pula (Hardjana, 2003: 85). Dapat dikatakan dalam kehidupan sosial, komunikasi
tidak dapat dihindari. Untuk menyampaikan pesan kepada seseorang, seseorang
dalam suatu masyarakat perlu melakukan komunikasi interpersonal.
Komunikasi interpersonal melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan
nonverbal (Liliweri, 1991: 21). Setiap anggota masyarakat di dalam berbagai
struktur masyarakat memiliki latar belakang sosial, agama, budaya, dan ekonomi
yang berbeda. Perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, dan khususnya budaya
mempengaruhi perbedaan tata cara dan kebiasaan dalam berkomunikasi baik
secara verbal maupun nonverbal tersebut. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam
komunikasi tersebut dapat menyebabkan hambatan-hambatan dalam proses
penyampaian maupun penerimaan pesan. Salah satu bagian dari struktur
masyarakat yang secara menonjol memiliki perbedaan dalam tata cara
berkomunikasi tersebut yakni komunitas Salafi. Komunitas Salafi memiliki tata
cara berkomunikasi yang cukup berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang
memungkinkan adanya hambatan dalam proses penyampaian maupun penerimaan
pesan. Maka kemudian hal tersebut membutuhkan tinjauan lebih lanjut untuk
menganalisis hambatan komunikasi yang ada dalam suatu struktur masyarakat.
Sebelum masuk pada problematika komunikasi dalam komunitas ini, perlu
dipahami mengenai latar belakang komunitas Salafi terlebih dahulu. Komunitas
Salafi di Indonesia muncul sejak 1980-an dan berkembang pesat sejak
berakhirnya kepemimpinan Soeharto (Hidayat, 2012: 2). Perkembangan ini
didukung oleh sistem politik pada era reformasi yang cenderung terbuka,
demokratis, dan lebih toleran pada keberagaman, sehingga kebebasan berekspresi
bagi setiap orang dan kelompok terjamin adanya.
Komunitas Salafi merupakan kaum yang mengikuti paham Salaf. Menurut
para ulama, Salaf adalah sahabat (sahabat Rasulullah). Salaf ini diikuti dua
generasi yaitu tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut
tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang
disebut dengan salafush sholih atau Salafi (orang-orang terdahulu yang sholih).
Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sebaik-baik manusia adalah
generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi”
(HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Singkatnya, kaum Salafi
merupakan suatu kaum yang mengikuti atau menerapkan tata cara kehidupan
Rasulullah.
Komunitas Salafi memiliki pandangan bahwa cara hidup terbaik adalah
dengan mengikuti cara hidup Rasulullah yaitu tata cara yang sesuai kaidah agama.
Tata cara tersebut diurai dari hadits-hadits 1 yang sahih 2 meliputi tata cara
1 Segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam 2 Sah; benar berpakaian, sekolah, dan komunikasi/interaksi. Dalam berpakaian, perempuan
Salafi mengenakan pakaian jubah (jilbab besar dan pakaian besar yang tidak
menunjukkan lekuk tubuh) dan umumnya bercadar untuk menjaga pandangan
lelaki
terhadap
dirinya.
Sedangkan
laki-laki
Salafi
dianjurkan
untuk
memanjangkan jenggot dan mengenakan celana yang panjangnya tidak menutupi
mata kaki atau congklang. Untuk sekolah, kaum Salafi mendalami ilmu-ilmu
agama Islam secara khusus seperti tahfiz3.
Selain memiliki tata cara tersendiri dalam berpakaian dan bersekolah, seperti
yang telah disinggung sebelumnya, komunitas Salafi memiliki tata cara
berkomunikasi yang cukup berbeda dengan masyarakat umum karena kaum Salafi
menerapkan batasan yang sangat ketat dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
Dalam ajarannya, mereka melarang laki-laki dan perempuan untuk berkomunikasi
baik secara verbal maupun nonverbal kepada orang-orang yang bukan mahram4.
Contohnya, seorang perempuan yang ingin berkomunikasi baik secara lisan
maupun tulisan kepada seorang laki-laki beristri, maka perempuan tersebut harus
menyampaikannya melalui istri laki-laki tersebut. Sedangkan komunikasi antara
laki-laki yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami sama sekali tidak
diperbolehkan.
Di Indonesia, orang-orang pengikut paham salaf ini memiliki komunitaskomunitas di berbagai daerah. Di Yogyakarta ada beberapa daerah pemukiman
khusus kaum Salafi, salah satunya di Kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman
yang berlokasi di Dusun Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul. Seratus
persen warga di dusun ini merupakan warga yang menganut paham Salaf. 5
Adapun sejarah terbentuknya pemukiman ini ialah diawali dengan dibangunnya
Pondok Pesantren Jamilurrahman di Dusun Glondong, kemudian seiring
berkembangnya informasi mengenai kehidupan di pondok tersebut orang-orang
3 Mengahafal Al-­‐Qur’an 4 Semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Berdasar surat An-­‐Nisa Ayat 22-­‐23, mahram atau yang haram dinikahi karena keturunan adalah ibu, puteri, saudari, saudari bapak (bibi), saudari ibu (bibi dari pihak ibu), puteri dari saudara laki-­‐laki maupun saudara perempuan. Yang haram dinikahi karena sepersusuan adalah ibu susu dan saudari susu. Yang haram dinikahi karena pernikahan yaitu istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, ibu istri kita dst. ke atas (contoh: nenek, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya) dan anak tiri yaitu puteri dari istri kita yang lahir dari selain kita. 5 Wawancara dengan Ibu Tinuk atau Ummu Rasyad pada 14 Maret 2015 dengan paham Salaf dari seluruh Indonesia mulai berdatangan dan bemukim di
dusun tersebut.
Orang-orang yang bermukim di daerah ini sebagian besar merupakan orangorang yang hidup dengan tata cara Salafi yang telah diuraikan sebelumnya.
Mereka dilarang berkomunikasi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Di
dalam masing-masing rumah telah diberi sekat (hijab) untuk membatasi ruang
laki-laki dan perempuan, sehingga bila ada tamu laki-laki mereka akan masuk
dalam ruang khusus laki-laki, dan perempuan pun juga akan berada di ruang
perempuan. Dalam berkomunikasi lisan dalam ruang tersebut, satu sama lain
antara perempuan dan laki-laki tidak akan saling melihat karena harus ditutup
oleh hijab. Hal ini dilakukan untuk tidak saling bertatapan mata.
Berdasar temuan Sabarudin (1999: 137) dalam risetnya yang berjudul
Gerakan Salafiyah At-Turats Al-Islami Di Yogyakarta, ketatnya para Salafiyin
dalam menerapkan hijab ini sering menjadi faktor penyebab keengganan dari
masyarakat di sekitarnya untuk bergaul dengan mereka. Hal ini dianggap terlalu
berlebihan oleh masyarakat sekitar. Perilaku sosial ini menunjukkan jika mereka
terkesan menarik diri dari pergaulan, agak tertutup, sehingga banyak yang
menganggap mereka kurang bisa bermasyarakat. Namun demikian, sebagian di
antaranya masih membuka diri untuk berinteraksi dalam forum-forum sosial di
masyarakat. Sabarudin juga menemukan fakta bahwa perempuan bercadar
mengalami banyak hambatan dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat
setempat. Adapun faktor penyebabnya antara lain karena mereka jarang keluar
rumah selain jika ada hajat, dan apabila keluar rumah mereka selalu memakai
cadar, sehingga komunikasi mereka sangat terbatas hanya dengan kalangan ibuibu atau remaja putri yang sangat terbatas pula (Sabarudin, 1999: 140).
Pengenaan cadar oleh perempuan Salafi maupun sekat pembatas di dalam
rumah agar perempuan dan laki-laki tidak menatap langsung lawan bicara yang
bukan mahramnya, tentu membatasi aspek nonverbal untuk memperkuat pesan
dalam
komunikasi
interpersonal.
Menurut
DeVito
(1997:
40)
dalam
berkomunikasi perilaku verbal dan nonverbal saling memperkuat dan mendukung
sehingga semua bagian dari sistem pesan biasanya bekerja bersama-sama untuk
mengkomunikasikan makna tertentu. Terutama dalam komunikasi interpersonal
yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, perilaku
verbal dan nonverbal menjadi aspek yang saling berkesinambungan untuk
mewujudkan proses komunikasi yang efektif.
Secara spesifik, dalam bertukar informasi di tempat-tempat yang tidak
terdapat sekat pembatas di dalam ruangan, perempuan Salafi juga sangat ketat
menjaga diri. Pertukaran informasi kepada seseorang yang bukan mahramnya
dilakukan melalui istri-istri bagi yang beristri, dan melalui antar ibu bagi anakanak yang belum menikah. Hal ini tidak hanya berlaku dalam konteks komunikasi
interpersonal secara langsung, tapi termasuk bertukar informasi melalui SMS atau
telepon juga harus melalui istri-istri. Namun demikian, ada kondisi-kondisi
tertentu yang pada akhirnya tetap mengharuskan mereka untuk saling berbicara
langsung seperti ketika adanya bencana, kebakaran, adanya ular yang masuk
rumah, dan lain-lain.6 Dapat diketahui bila komunikasi atau pertukaran informasi
tetap dapat dilakukan antara perempuan Salafi dengan lelaki yang bukan
mahramnya, namun dengan tata cara yang sesuai dengan manhaj7 salaf yang
diyakininya yaitu melalui perantara perempuan yang merupakan mahram dari
lelaki tersebut.
Segala bentuk penjagaan citra diri dalam berkomunikasi dan berinteraksi ini
bagi perempuan Salafi adalah wujud dari pengamalan agama Islam. Salah satu
ajaran Islam yang asasi adalah “menghormati wanita” (Roqib, 2003: 34). Adanya
ketentuan bagi perempuan muslimah dalam berbusana tertutup dan berinteraksi
dengan lelaki non-mahram dalam konsepsi Islam adalah bentuk penghormatan
dan perlindungan kepada mereka yang secara fitrah8 berbeda dengan laki-laki
(Asy-Syarif, 2009). Sehingga perlu dipahami bila tuntunan dalam menutup aurat
dan menjaga diri dalam berkomunikasi bukanlah untuk merendahkan dan
membatasi perempuan, karena justru kedudukan perempuan dalam konsep Islam
adalah terhormat dan sangat berharga sehingga perlu menjaga diri sebaik-baiknya.
Hanifah (2013: 9) dalam penelitiannya mengenai Identitas Cadar Bagi
Perempuan Bercadar, menemukan bila pengenaan cadar sendiri di kalangan
perempuan Salafi adalah bentuk dari penjagaan citra diri dan sebagai identitas
6 Wawancara dengan Ibu Panca atau Ummu Fathi pada 30 April 2014 7 Jalan
yang jelas dan terang; metode; cara 8 Kejadian atau awal mula penciptaan feminis yang bersifat religi, atau dapat dikatakan merupakan bentuk penjagaan
kehormatan diri maupun agama. Menurut Hanifah (2013: 11), cadar bagi
perempuan Salafi berperan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan bahwa
seorang muslimah yang menggunakannya adalah muslimah yang melindungi diri
atau tubuhnya, karena wajah atau kecantikan diri dianggap sebagai sumber fitnah
sehingga perlu dilakukan adanya proteksi diri. Melalui cadar perempuan Salafi
berupaya membangun citra diri sebagai muslimah yang terhormat karena mampu
menjaga diri sesuai dengan syariat agama Islam. Namun demikian, pengenaan
cadar ini membangun sebuah perilaku sosial yang eksklusif terhadap kelompok
masyarakat di sekitar mereka. Sikap ini menunjukkan identitas personal mereka
sebagai seorang muslimah menurut ideologi kelompok mereka dan ini berarti
orang lain atau perempuan lain tanpa identitas ini bukanlah bagian dari kelompok
mereka (Hanifah, 2013: 18).
Perilaku penjagaan citra diri dan terbangunnya citra diri baik sebagai
muslimah terhormat dan adanya eksklusivitas yang muncul karena pengenaan
cadar sebenarnya tergantung dari bagaimana perempuan Salafi sendiri
menegosiasikan citra diri tersebut terhadap masyarakat umum. Negosiasi citra diri
ini dapat dilakukan melalui komunikasi interpersonal karena menurut Liliweri
(1991: 12) komunikasi interpersonal adalah jenis komunikasi yang paling efektif
dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena
sifatnya yang dialogis, berupa percakapan. Dapat dipahami jika komunikasi
interpersonal mampu mengubah pendapat maupun pandangan seseorang atas
suatu objek termasuk pandangan atas citra diri seseorang. Melalui komunikasi
interpersonal, perempuan Salafi memiliki kesempatan untuk menegosiasikan citra
diri mereka di hadapan masyarakat umum sebagai diri yang memang menutup diri
dan eksklusif dalam konteks sosial atau sebagai diri yang masih dapat
bermasyarakat dan “terbuka” dalam kehidupan sosial. Citra diri akan terbentuk
tergantung dari bagaimana komunikasi interpersonal yang mereka lakukan.
Bagi sesama Salafi, khususnya perempuan yang secara penampilan fisik
mudah dikenali, tata cara berkomunikasi Salafi maupun citra eksklusif yang
menempel pada diri mereka tidaklah menjadi kendala dalam hubungan sosial.
Apalagi para perempuan di kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman yang
notabene seluruh warganya adalah Salafi. Namun banyaknya warga Salafi dari
berbagai bagian di Indonesia yang datang bermukim tidak semuanya dapat
ditampung di Kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman, sehingga warga Salafi
yang tidak tertampung mencari tempat tinggal yang dekat dengan Kompleks
Pondok Pesantren Jamilurrahman seperti di Kampung Sawo. Kampung Sawo
merupakan kampung terdekat dari Kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman
yang warga aslinya merupakan warga umum di daerah Bantul yang tidak
menganut paham Salaf. Seiring perkembangannya sejak tahun 2006, sekitar 40%
warga yang tinggal di Kampung Sawo merupakan kaum Salafi (Ummu Rasyad,
14 Maret 2015). Meskipun warga Salafi di Kampung Sawo menerapkan tata cara
hidup dan berkomunikasi sesuai dengan manhaj salaf yang diyakini, hingga saat
ini mereka dapat hidup berdampingan dengan warga umum (Ummu Rasyad, 21
Maret 2015). Warga umum di sini adalah warga di luar komunitas Salafi yang
dalam kesehariannya memang tidak menerapkan tata cara hidup dan
berkomunikasi seperti komunitas Salafi. Padahal seperti yang telah diketahui dari
penelitian Sabarudin sebelumnya bahwa tata cara berkomunikasi dan berinteraksi
komunitas Salafi, khususnya perempuan Salafi mengalami banyak hambatan
dalam berinteraksi sosial karena mengenakan cadar.
Aspek-aspek komunikasi interpersonal di sini meliputi hambatan maupun
batasan diri perempuan Salafi dalam berkomunikasi dan pengenaan cadar yang
selain membatasi komunikasi nonverbal juga membentuk citra eksklusif yang
kurang menyatu dengan masyarakat pada diri perempuan Salafi menjadi
pertimbangan peneliti untuk mengkaji lebih lanjut mengenai praktek komunikasi
interpersonal perempuan Salafi. Mengacu pada pemahaman perempuan Salafi
dalam menutup aurat hingga mengenakan cadar guna menjaga diri serta
membatasi diri dalam berkomunikasi ini, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
praktek komunikasi interpersonal yang dilakukan para perempuan Salafi dengan
masyarakat umum di Kampung Sawo.
Secara lebih lanjut, merujuk pada penelitian Hanifah mengenai identitas
perempuan bercadar, maka dalam penelitian ini juga akan menelisik bagaimana
peranan komunikasi interpersonal tersebut dalam menegosiasikan citra diri
perempuan Salafi. Hal ini menarik untuk didalami karena eksklusivitas dianggap
terbangun karena adanya pengenaan cadar, namun di Kampung Sawo justru
perempuan Salafi dapat hidup berdampingan dengan masyarakat umum di luar
komunitasnya. Sehingga peneliti ingin didalami meskipun mengenakan cadar,
bagaimana negosiasi citra diri mereka sebagai bagian dari masyarakat sehingga
dapat hidup berdampingan dengan masyarakat umum.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi dengan
masyarakat umum di luar komunitasnya di Kampung Sawo Bantul?
Pertanyaan sekunder dalam penelitian ini meliputi:
1. Bagaimana praktek komunikasi yang dilakukan komunikator terhadap
bermacam kelompok komunikan?
2. Bagaimana strategi face negotiation yang dilakukan komunikator dalam
proses komunikasi interpersonal?
C. Tujuan Penelitian
Adapun dari penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui komunikasi interpersonal perempuan Salafi yang terjalin
dengan masyarakat Kampung Sawo Bantul di luar komunitasnya.
2. Mengetahui bagaimana peranan komunikasi interpersonal yang dilakukan
perempuan Salafi dalam menegosiasikan citra diri mereka.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diberikan melalui penelitian ini, meliputi:
1. Manfaat akademis
-­‐
Sebagai kajian dalam bidang komunikasi interpersonal
-­‐
Menjadi tambahan referensi bagi penelitian selanjutnya
2. Manfaat praktis
-
Memberikan tambahan informasi mengenai tata cara berkomunikasi
suatu budaya masyarakat yang menganut paham Salaf di Indonesia
-
Memberi
gambaran
mengenai
komunikasi
interpersonal
yang
dilakukan komunitas Salafi, khususnya perempuan Salafi terhadap
masyarakat umum
E. Kerangka Pemikiran
Untuk menjelaskan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini,
peneliti memaparkan beberapa teori yang terbagi dalam sub judul Penelusuran
Praktek Komunikasi Interpersonal Melalui Pesan Verbal dan Nonverbal, Strategi
Face negotiation dalam Komunikasi Interpersonal, Komunikasi Perempuan Salafi
dalam Ranah Gender, dan Perempuan Salafi Sebagai Bagian dari Komunitas
Subkultur Salafi. Adapun teori komunikasi interpersonal yang akan dibahas
merupakan dimensi komunikasi yang akan ditinjau. Teori face negotiation secara
lebih lanjut akan digunakan sebagai pisau analisis atas komunikasi interpersonal
yang dikaji. Komunikasi gender memaparkan perspektif komunikasi dalam
menganalisis komunikasi interpersonal perempuan Salafi. Sub judul Perempuan
Salafi membahas mengenai pemahaman serta cara hidup yang diterapkan oleh
perempuan Salafi.
1. Penelusuran Praktek Komunikasi Interpersonal Melalui Pesan Verbal
dan Nonverbal
Komunikasi interpersonal menurut Joseph A. Devito (1989: 4) dalam
bukunya The Interpersonal Communication Book adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orangorang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Senada dengan
Liliweri (2003: 21) yang berpendapat jika komunikasi interpersonal adalah
berkomunikasi dengan seseorang secara informal dan tidak berstruktur, yang
terjadi di antara dua atau tiga orang. Berdasar pada definisi-definisi tersebut dapat
dikatakan jika komunikasi interpersonal dapat terjadi dalam berbagai kondisi
karena terjadi secara tidak berstruktur dan tidak dalam konteks tertentu, seperti
misalnya dalam percakapan melalui telepon, percakapan tatap muka antar ibu dan
anak, dan percakapan antara penjual dan pembeli di pasar.
Proses komunikasi interpersonal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor personal
maupun kelompok. Faktor-faktor personal tersebut meliputi faktor kognitif seperti
konsep diri, persepsi, sikap, orientasi diri, dan harga diri (Liliweri, 2003: 21).
Karena berlangsung antara dua individu atau di antara sekelompok kecil orang,
komunikasi antarpribadi mengandalkan pemahaman antarpribadi dalam proses
psikologis. Setiap individu memiliki pemahaman dan makna pribadi terhadap
setiap hubungan dan interaksi yang ia terlibat di dalamnya. Faktor-faktor personal
lah yang mempengaruhi pemahaman dan pemaknaan tersebut. Sebagai seorang
individu dan bagian dari masyarakat, perempuan Salafi maupun masyarakat
umum di luar komunitasnya tersebut akan memiliki faktor personal yang berbedabeda dalam melihat hubungan yang terjalin di antara mereka.
Bentuk komunikasi interpersonal secara spesifik didefinisikan oleh Beebe,
Beebe, dan Redmond (1996: 6) sebagai “a special form of human communication
that occurs when we interact simultaneously with another person and mutually
influence each other.” Komunikasi interpersonal diartikan sebagai bentuk khusus
dari komunikasi manusia yang terjadi ketika seseorang berinteraksi dengan orang
lain secara bersamaan atau simultan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Interaksi simultan yang dimaksud di sini adalah ketika mitra komunikasi
keduanya bertindak atas informasi yang sama pada waktu yang sama. Saling
mempengaruhi berarti bahwa interaksi itu mempengaruhi pikiran mereka,
perasaan mereka, dan cara mereka menafsirkan informasi yang mereka tukar
(Beebe, Beebe, dan Redmond, 1996: 6).
Dapat dikatakan jika bentuk dari
komunikasi interpersonal adalah apabila kita berinteraksi dengan orang lain secara
simultan atas informasi yang sama dan pada waktu yang sama, kemudian interaksi
tersebut saling mempengaruhi pikiran, perasaan, dan cara menafsirkan informasi.
Dapat dipahami bahwa melalui proses komunikasi interpersonal, pikiran,
perasaan, dan cara menafsirkan informasi seorang komunikan dapat dipengaruhi
oleh komunikatornya.
Komunikasi interpersonal dengan masing-masing orang berbeda tingkat
kedalaman komunikasinya, tingkat intensifnya, dan tingkat ekstensifnya
(Hardjana, 2003: 85). Artinya, komunikasi interpersonal yang dilakukan dengan
seseorang dengan sahabatnya yang memiliki kadar kedekatan yang tinggi akan
berbeda dengan seseorang yang baru saja dikenal. Menurut Hardjana (2003: 87)
komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang berproses pengembangan.
Komunikasi berkembang dari awal yang dangkal kemudian berlanjut semakin
mendalam dan berakhir dengan saling pengenalan yang amat mendalam. Namun
demikian, dalam situasi tertentu pengenalan ini juga dapat terputus. Sehingga
melalui komunikasi interpersonal, hubungan antara seseorang dengan seorang
lainnya dapat melalui taraf pengembangan maupun sebaliknya tergantung dari
kualitas komunikasi interpersonal yang terjalin.
Liliweri (1991: 13-14) merumuskan ciri-ciri dari komunikasi interpersonal
meliputi: 1) spontan dan terjadi sambil lalu saja (umumnya tatap muka); 2) tidak
mempunyai tujuan terkebih dahulu; 3) terjadi secara kebetulan di antara peserta
yang tidak mempunyai identitas yang belum tentu jelas; 4) berakibat sesuatu yang
disengaja maupun tidak disengaja; 5) kerap kali berbalas-balasan; 6)
mempersyaratkan adanya hubungan paling sedikit dua orang, serta hubungan
harus bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan; 7) harus membuahkan hasil; 8)
menggunakan pelbagai lambang-lambang bermakna. Salah satu ciri yang perlu
digarisbawahi adalah komunikasi interpersonal dikatakan sukses jika membawa
hasil. Komunikasi interpersonal melibatkan dua orang atau lebih dalam keadaan
bebas dan saling mempengaruhi, saling bercakap-cakap berbalasan, membuahkan
hasil disengaja dan tidak disengaja dan didorong oleh banyak faktor pendorong,
maka hasil-hasil komunikasi harus nyata merubah cara pandang atau wawasan,
perasaan, maupun perilaku yang nyata (Liliweri, 1991: 18). Hal ini senada dengan
pendapat Effendi (2008: 8) bahwa komunikasi interpersonal sebagai komunikasi
antara komunikator dengan komunikan, dianggap sebagai jenis komunikasi yang
paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku
seseorang. Perubahan sikap ini mampu diwujudkan dalam komunikasi
interpersonal karena sifatnya yang dapat secara langsung mendapat timbal balik.
Komunikasi interpersonal berperan menggiring pemikiran seseorang karena
komunikasi interpersonal merupakan proses yang berkembang dan berlangsung
secara berkesinambungan.
Dari ciri-ciri ini dapat diketahui bahwa komunikasi interpersonal merupakan
proses yang dinamis dan umumnya informal. Meskipun komunikasi interpersonal
ini sangat “cair”, DeVito (1997: 259-263) memformulasikan komunikasi
interpersonal ini akan berjalan secara efektif apabila memenuhi aspek-aspek
antara lain sebagai berikut:
a. Keterbukaan (Openness)
Keterbukaan adalah adanya kesediaan untuk membuka diri. Keterbukaan
seseorang dalam komunikasi ditunjukkan oleh adanya pengungkapan
informasi mengenai diri pribadi, kesediaan untuk bereaksi secara jujur atas
pesan yang disampaikan orang lain, adanya “kepemilikan” dari perasaan
dan pikiran, adanya kebebasan mengungkapkan perasaan dan pikiran, serta
adanya tanggung jawab terhadap pengungkapan tersebut.
b. Empati (Empathy)
Berempati adalah merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain tanpa
kehilangan identitas diri sendiri. Empati memungkinkan seseorang untuk
mengerti baik secara emosional maupun intelektual atas apa yang
dirasakan orang lain.
c. Dukungan (Supportiveness)
Dukungan dipahami sebagai lingkungan yang tidak mengevaluasi
(descriptivenes). Dukungan dapat dilihat dari sikap: (a) deskriptif, tidak
evaluatif, (b) spontan, bukan strategic, dan (c) provisional, bukan sangat
yakin. Dukungan dalam komunikasi ditunjukkan oleh kebebasan individu
dalam mengungkapkan perasaannya, tidak malu, tidak merasa dirinya
menjadi bahan kritikan. Individu dapat berfikir secara terbuka, mau
menerima pandangan yang berasal dari orang lain, serta bersedia untuk
mengubah diri jika perubahan dipandang perlu.
d. Sikap Positif (Positiveness)
Sikap positif dalam komunikasi diwujudkan dengan menyatakan sikap
positif dan secara positif mendorong orang menjadi teman kita dalam
berinteraksi atau menjadi lawan interaksi. Komunikasi interpersonal dapat
terbina dan terjalin dengan baik jika seseorang memiliki rasa positif
terhadap diri sendiri. Perasaan positif untuk situasi komunikasi pada
umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Sikap positif dalam
komunikasi ditunjukkan oleh adanya kejelasan dan kepuasan dalam proses
komunikasi.
e. Kesetaraan (Equality)
Kesetaraan adalah adanya kedudukan yang sama dalam suatu hal atau
kondisi
(status).
Kesederajatan
dalam
komunikasi
interpersonal,
ditunjukkan oleh adanya rasa saling menghormati antara pelaku
komunikasi.
Ketika kelima aspek di atas dilakukan dalam interaksi komunikasi
interpersonal, dapat dikatakan komunikasi interpersonal yang terjadi di antara dua
orang atau lebih berjalan secara efektif. Kelima aspek ini menjadi acuan untuk
meninjau komunikasi interpersonal yang terjalin ketika perempuan Salafi
berkomunikasi dengan masyarakat umum di luar komunitasnya.
Beebe, Beebe, dan Redmond (1996: 15) menyebutkan terdapat beberapa
konteks dalam komunikasi interpersonal yakni psikologis, relasional, situasional,
lingkungan, dan budaya. Konteks psikologis meliputi siapa diri kita dan apa yang
kita bawa dalam suatu interaksi. Konteks relasional adalah reaksi kita terhadap
orang lain menyangkut tingkat kepercayaan, tingkat keterbukaan diri, tingkat
kekuasaan dan kontrol, dan sejarah yang kita bagi. Konteks situasional adalah
peristiwa atau alasan kita berkomunikasi, seperti belajar di sekolah untuk
menuntut ilmu. Konteks lingkungan adalah lingkungan fisik di mana kita
berkomunikasi. Konteks budaya meliputi semua unsur budaya (perilaku dan
aturan) yang mempengaruhi interaksi. Kelima konteks ini akan berlangsung di
dalam setiap aktivitas interaksi yang kita lakukan dengan orang lain (Beebe,
Beebe, dan Redmond, 1996: 15).
Lebih lanjut perlu dipahami pula mengenai sistem seperti apa yang diusung
dalam komunikasi interpersonal. Sistem komunikasi interpersonal merupakan
sistem yang mengatur konsepsi diri seorang individu. Konsepsi diri seseorang
adalah kesatuan ide mengenai bagaimana karakter, jenis, atau definisi dari
seseorang tersebut (Chusman dan Craig, 1976: 44). Ada dua poin penting dalam
konsepsi diri di sini yakni konsepsi diri bersifat individu dan ada hubungan kausal
timbal balik antara konsepsi diri seseorang dengan apa yang orang lain pikirkan
mengenai diri seseorang tersebut. Menurut Chusman dan Craig (1976: 44) yang
dimaksud dengan hubungan kausal timbal balik ini adalah presentasi seseorang
diri kepada orang lain akan mempengaruhi kesan yang dimiliki orang lain atas
seseorang tersebut, dan reaksi orang lain tersebut akan kembali mempengaruhi
konsepsi diri seseorang. Konsepsi diri ini tergantung pada hubungan pribadi
seseorang dengan orang lain, atau dapat dikatakan sebagai hubungan
interpersonal.
Sistem
interpersonal
muncul
dari
interaksi
bermasyarakat.
Sistem
interpersonal cenderung berkembang berdasar pada gaya pribadi dan pengalaman
individu. Sedangkan proses khas sistem komunikasi interpersonal melibatkan
pengembangan, presentasi, dan validasi konsepsi diri. Seseorang dalam interaksi
mengusulkan identitas diri dan lainnya. Konsepsi yang diusulkan tersebut akan
diterima atau ditolak oleh orang lain dalam proses negosiasi “diam-diam”, dan
inilah yang menciptakan hubungan responsif terhadap kebutuhan hubungan
mereka (Chusman dan Craig, 1976: 44).
Interaksi bermasyarakat merupakan hal penting dalam menjalin sistem
interpersonal dalam komunikasi, sehingga jika membicarakan komunikasi
interpersonal tidak dapat lepas dari komunikasi organisasi sosial dan budaya.
Budaya, organisasi sosial, dan interpersonal saling mempengaruhi satu sama lain
(Chusman dan Craig, 1976: 44). Misalnya saja, kelancaran kerja organisasi sosial
tergantung dari iklim interpersonal yang meliputi kualitas hubungan pribadi antara
anggota organisasi. Dengan kata lain, kita tidak bisa memahami sebuah sistem
komunikasi interpersonal tanpa memahami lingkungan organisasi sosial dan
budaya. Aspek sosial dan budaya akan tetap mengambil bagian dari analisis
mengenai komunikasi interpersonal ini.
Komunikasi interpersonal melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan
nonverbal (Liliweri, 1991: 31). Dalam proses komunikasi secara interpersonal
dengan orang lain, segala aspek di dalam diri akan turut terlibat mengungkap
pesan-pesan baik itu yang ditunjukkan melalui verbal kita ataupun nonverbal.
Komunikasi verbal merupakan pertukaran makna melalui bahasa atau kata-kata.
Bahasa sendiri dapat didefinisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun
secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung makna
(Cangara, 2007: 99). Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan
pikiran, perasaan, dan maksud kita (Mulyana, 2009: 261). Bahasa di seluruh dunia
ini telah diidentifikasi dalam berbagai jenis yang umumnya ditinjau dari aspek
budaya dan geografis.
Keberadaan suatu komunitas subkultur atau sub budaya menimbulkan adanya
subbahasa. Subbahasa digunakan untuk menunjuk pada bahasa khas yang
digunakan oleh kelompok atau subkultur tertentu yang ada dalam kultur yang
lebih besar dan lebih dominan (DeVito, 1997: 158). Komunikasi yang dilakukan
secara verbal sendiri dapat meliputi penggunaan kata-kata yang diutarakan secara
lisan maupun tertulis.
Kata-kata adalah simbol-simbol yang merepresentasikan sesuatu. Kata yang
dihasilkan seseorang akan memicu suatu gambar, suara, konsep, atau pengalaman
(Beebe, Beebe, dan Redmond, 1996: 168). Jika kita mendengar suatu kata, di
dalam benak kita akan terdorong untuk membayangkan hal-hal yang berkenaan
dengan kata tersebut. Kita bisa membayangkan suaranya, wujudnya, atau
kenangan kita atas kata yang kita dengar tersebut. Namun demikian, setiap kata
mengandung konteks yang terikat tergantung pada situasi apa kata-kata tersebut
digunakan (Beebe, Beebe, dan Redmond, 1996: 169). Sehingga kata-kata yang
terpatri dalam benak akan membentuk makna tergantung pada konteks yang
digunakan.
Melalui kata-kata seseorang dapat memiliki pemahaman atau pemaknaan atas
segala sesuatu. Beebe, Beebe, dan Redmond (1996: 175) berpendapat jika katakata juga merupakan alat bagi seseorang untuk menamai atau melabeli sesuatu
yang seseorang alami. Seseorang dapat menunjukkan suasana hati dan emosinya
melalui kata-kata yang digunakan. Sehingga melalui kata-kata yang terkandung
dalam komunikasi verbal, seseorang dapat mengetahui perasaan dan emosi lawan
bicaranya dan juga sebaliknya. Dan yang terpenting adalah, kata-kata memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang (Beebe, Beebe,
dan Redmond, 1996: 175). Dengan kata-kata yang seseorang sampaikan kepada
orang lain, lawan bicaranya dapat membayangkan gambar, suara, maupun
pengalaman dan kesemuanya ia olah dalam suatu pemikiran. Secara simultan, jika
kata-kata tersebut terus disusun untuk menggiring pemikiran seseorang maka
tidaklah kecil kemungkinannya bila pemikiran atau tindakan seseorang tersebut
dapat berubah.
Di samping komunikasi verbal, komunikasi yang ditunjukkan secara
nonverbal juga tidak dapat lepas dari proses komunikasi interpersonal.
Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi yang dikomunikasikan
tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik (Budyatna dan Mona, 2011:
110). Adapun fungsi dari komunikasi nonverbal dalam proses interaksi antara lain
pengulangan (to repeat), penekanan (to emphasize), melengkapi (to complement),
dan menentang (to contradict). Komunikasi nonverbal terdiri dari beberapa
bentuk antara lain kinesics, proxemics, dan paralanguage.
Kinesics atau kinesik dikenal sebagai bahasa tubuh atau gerakan tubuh.
Kinesik merupakan komunikasi nonverbal melalui gerakan tubuh seseorang atau
bagian-bagian tubuh (Morissan, 2009: 93). Proksemik (proxemics) merupakan
studi mengenai ruang informal di sekitar tempat yang kita gunakan dalam suatu
saat. Proksemik lebih menekankan pada jarak yang digunakan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Aspek terakhir dalam komunikasi secara
nonverbal yakni paralanguage. Paralanguage atau “suara” nonverbal yang
terdengar bersamaan dengan pengucapan bahasa verbal. Paralanguage adalah
pola titinada, volume, kecepatan, dan kualitas. Lingkup paralanguage atau
paralinguistik umumnya masuk dalam kajian ilmu budaya, sehingga pada
penelitian ini aspek paralinguistik tidak menjadi salah satu aspek utama yang
digali.
Suatu komunikasi interpersonal harus ditandai dengan adanya umpan balik.
Umpan balik pribadi mengacu pada respons verbal maupun nonverbal dari
seorang komunikan maupun komunikator secara bergantian. Umpan balik ini
tidak mungkin ada jika tidak ada interaksi atau kegiatan dan tindakan yang
menyertainya (Liliweri, 1991: 38). Jucius (1967) dalam Liliweri (1991: 38)
mengemukakan bahwa interaksi dalam komunikasi interpersonal merupakan satu
kekuatan pendukung. Ada lima hal yang harus diketahui dalam interaksi terhadap
sesama, yaitu: 1) dengan siapa individu mengadakan hubungan; 2) seberapa
sering, eratnya maupun renggangnya hubungan tersebut; 3) bagaimana status dan
peranan individu di dalam lingkungan kerja maupun lingkungan pribadinya; 4)
bagaimana ikatan-ikatan dengan organisasi sosial maupun politik, anggota
kelompoknya; 5) pertemuan-pertemuan apa yang dihadiri oleh individu dalam
kelompok yang diteliti. Kelima hal ini perlu dipertimbangkan sebelum
menganalisis lebih lanjut mengenai praktek komunikasi interpersonal.
Adapun bentuk-bentuk komunikasi verbal dan nonverbal yang telah
dipaparkan sebelumnya akan diamati untuk meninjau praktek komunikasi
interpersonal yang dilakukan perempuan Salafi dengan masyarakat umum di luar
komunitasnya. Berkenaan dengan negosiasi citra diri yang dilakukan oleh
perempuan Salafi dalam komunikasi interpersonalnya lebih lanjut dipaparkan
dalam teori face negotiation.
2. Strategi Face Negotiation dalam Komunikasi Interpersonal
Di samping komunikasi interpersonal, face negotiation menjadi teori
tambahan yang digunakan untuk menganalisis praktek komunikasi interpersonal
perempuan Salafi. Teori ini digunakan karena menurut Ting-Toomey setiap orang
dalam tiap budaya akan selalu menegosiasikan atau merundingkan citra diri (face)
mereka (Griffin, 2006: 440). Face sendiri didefinisikan oleh Ting-Toomey &
Kurogi (1998) sebagai “a claimed sense of favorable social self-worth that a
person wants others to have of her or him” (Gudykunst dan Kim, 2003: 312).
Face dikatakan sebagai klaim sosial atas diri seseorang yang ia harapkan dimiliki
oleh orang lain. Face merupakan citra diri seseorang yang ia inginkan orang lain
pikirkan tentang dirinya. Definisi ini seirama dengan Brown dan Levinson (1978)
yang menganggap face sebagai citra diri individu secara publik, dan mereka juga
menghubungkan face dengan “kesopanan” (Gudykunst dan Kim, 2003: 306).
Cupach dan Imahori (1993a) berpendapat jika pemeliharaan face adalah
kondisi alami dan tak terelakkan dari interaksi manusia (Gudykunst dan Kim,
2003: 120). Dapat dikatakan jika negosiasi face dilakukan dalam medium
komunikasi interpersonal karena face melekat pada diri seseorang secara alami
pada saat seseorang melakukan komunikasi antar manusia atau sesamanya.
Kemampuan untuk mempertahankan face dalam interaksi juga merupakan salah
satu indikator kompetensi komunikasi individu (Gudykunst dan Kim, 2003: 120).
Ting-Toomey, et.al (2000) mengamati jika face yang berkaitan dengan
keuntungan diri terjadi dalam situasi interpersonal (West dan Turner, 2010: 450).
Namun demikian, face bukan sekedar hal yang bersifat individu karena face
dipertimbangkan dalam kaitannya dengan orang-orang dalam jaringan sosial
individu (Ho, 1976 dalam Gudykunst dan Kim, 2003: 306). Sehingga kebutuhan
akan face ini akan muncul justru ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain.
Ho (1976) menekankan jika face tidaklah muncul ketika seseorang tidak
bergantung pada orang lain, justru face muncul ketika seseorang saling
bergantung dengan orang lain (Gudykunst dan Kim, 2003: 306). Sehingga
kebutuhan akan face yang ingin ditampilkan seseorang diinterpretasi dalam dua
cara utama yaitu kepedulian akan muka (face concern) dan kebutuhan akan muka
(face need). Kebutuhan akan muka sendiri terdiri dari dua kebutuhan universal
yakni kebutuhan muka positif (positive face) dan kebutuhan muka negatif
(negative face). Positive face mengacu pada kebutuhan individu untuk persetujuan
sosial, koneksi, dan inklusi, atau dapat dikatakan jika seseorang ingin divalidasi
dan dianggap positif oleh orang lain. Sedangkan negative face mengacu pada
kebutuhan individu untuk otonomi diri dan kemandirian. Hal ini menunjukkan
kebutuhan seseorang untuk bebas dari hambatan dalam interaksi sosial (Brown
dan Levinson, 1987, dalam Miller, 2002: 287). Kedua kebutuhan face ini tidak
selalu bertentangan satu sama lain, atau dapat dikatakan seseorang dapat
menginginkan otonomi dan persetujuan serta koneksi sosial secara bersamaan
(Miller, 2002: 287).
Lim (1994) dalam Canelon dan Ryan (2013: 112) menyatakan adanya tiga
karakteristik dari face antara lain: (1) Face tidaklah bersifat pribadi, melainkan
bersifat publik. Face bukanlah mengenai apa yang seseorang pikirkan tentang
dirinya sendiri, namun mengenai apa yang seseorang pikirkan mengenai apa yang
orang lain pikirkan tentang dirinya; (2) Face berhubungan dengan citra diri yang
diproyeksikan oleh seseorang, yang mungkin bertepatan maupun tidak bertepatan
dengan penilaian orang lain terhadap dirinya yang sesungguhnya; (3) Face
didefinisikan sebagai nilai-nilai sosial yang positif. Oetzel, et.al (2000) dalam
Canelon dan Ryan (2013: 112) menekankan pula bahwa face adalah sumber daya
yang mewakili klaim citra diri positif seseorang dalam konteks interaksi sosial.
Dapat ditarik kesimpulan jika face cenderung kepada citra positif yang seseorang
inginkan orang lain pikirkan tentang dirinya. Face dapat hilang, disimpan atau
dilindungi dan setiap orang ingin menyajikan dan melindungi citra diri publiknya
sendiri (Brown & Levinson, 1987; Goffman, 1967; Ting-Toomey, 1988 dalam
Canelon dan Ryan, 2013: 112). Untuk melindungi atau menjaga face ini maka
seseorang akan melakukan facework.
Setiap orang akan melakukan facework atau menciptakan dan melindungi
citra mereka melalui pesan verbal dan nonverbal (Griffin, 2006: 441). Contohnya,
seorang perempuan hendak meminta temannya untuk lebih menutup aurat dengan
mengenakan jilbab. Untuk menjaga face di hadapan temannya agar tidak terlihat
terlalu menggurui, alih-alih menyuruh temannya untuk mengenakan jilbab, ia
mengatakan jika temannya akan tampak lebih cantik jika mengenakan jilbab.
Upaya menjaga face merupakan salah satu wujud facework. Facework merupakan
tindakan-tindakan yang digunakan untuk menghadapi kebutuhan atau keinginan
muka diri. Dapat dikatakan jika facework berupa tindakan verbal maupun
nonverbal untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri
sosial seseorang dan menyerang atau menyelamatkan citra sosial orang lain.
Terdapat tiga jenis facework yaitu: facework kepekaan (tact facework) yakni
merujuk pada batas di mana seseorang menghargai otonomi orang lain; facework
solidaritas (solidarity facework) yakni berhubungan dengan seseorang menerima
orang lain sebagai anggota kelompok dalam (in-group); dan facework
keperkenaan/pujian (approbation facework) yaitu meminimalkan penjelekan dan
memaksimalkan pujian kepada orang lain.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hilangnya face memiliki
konsekuensi langsung terhadap interaksi interpersonal di masa depan (Brown dan
Levinson, 1987; Hodgins et al 1996 dalam Canelon dan Ryan, 2013: 112) Hal ini
didukung oleh studi yang dilakukan Lin (2010) bahwa bertindak untuk
mepertahankan face dalam suatu hubungan sangat penting untuk menjaga
hubungan yang harmonis (Canelon dan Ryan, 2013: 112). Face menjadi hal
penting ketika seseorang akan menjalin hubungan secara interpersonal. Seseorang
akan mempertahankan face dalam rangka menjaga hubungan dengan orang lain.
Maka facework akan selalu dilakukan dalam upaya melakukan penjagaan face
ketika berkomunikasi secara interpersonal.
Teori face negotiation mengenalkan bagaimana seseorang akan melakukan
negosiasi penjagaan face sesuai dengan kebutuhan yang ia ingin ia wujudkan.
Asumsi dasar dari teori ini dipaparkan oleh Oetzel, et.al (2000) meliputi: 1)
Orang-orang di semua budaya melakukan negosiasi face selama situasi
komunikasi berjalan; 2) Face memainkan peran penting dalam situasi
ketidakpastian, seperti konflik; 3) Variabel situasional mempengaruhi penggunaan
perilaku facework dalam pertemuan interpersonal maupun antarkelompok
(Canelon dan Ryan, 2013: 112). Dapat dipahami jika face negotiation dilakukan
dalam proses komunikasi, berperan penting dalam konflik, dan situasi
interpersonal dan kelompok akan mempengaruhi facework yang dilakukan
seseorang. Teori ini menggabungkan dua masalah mengenai face yaitu self-face
dan other-face. Self-face mengacu pada kekhawatiran untuk imej diri sendiri,
sedangkan other-face mengacu pada kekhawatiran pada imej orang lain.
Kemudian mutual-face adalah perhatian simultan pada imej kedua belah pihak
(Canelon dan Ryan, 2013: 112).
Pemikiran penting yang dalam teori ini menurut Ting-Toomey yaitu, pertama,
identitas diri merupakan hal penting dalam interaksi interpersonal, dan setiap
individu menegosiasikan identitas mereka berbeda antar budaya satu dengan yang
lain (West dan Turner, 2010: 453). Cupach dan Metts (1994) mengamati bahwa
ketika orang bertemu, mereka menyajikan citra diri dari siapa mereka
sesungguhnya dalam interaksi. Citra diri ini adalah identitas yang ia inginkan
seseorang asumsikan atau terima mengenai dirinya. Identitas diri ini mencakup
pengalaman kolektif, pemikiran, ide, kenangan, dan rencana seseorang (West dan
Turner, 2009 dalam West dan Turner, 2010: 453).
Asumsi kedua dalam teori ini adalah manajemen konflik dimediasi oleh face.
Bagi Ting-Toomey (1994b) dalam (West dan Turner, 2010: 453), konflik dapat
merusak citra diri sosial seseorang dan dapat berfungsi untuk mengurangi
kedekatan hubungan antara dua orang. Menurut Ting-Toomey, konflik adalah
"forum" untuk kehilangan muka (face loss) dan wajah penghinaan (face
humiliation). Konflik mengancam face kedua orang tersebut, dan ketika ada
negosiasi yang tidak kompatibel dalam menyelesaikan konflik (seperti menghina
yang lain, memaksakan kehendak seseorang, sebagainya), konflik dapat
memperburuk
situasi.
Ting-Toomey
menyatakan
bahwa
cara
manusia
disosialisasikan ke dalam budaya mereka mempengaruhi bagaimana mereka akan
mengelola konflik (West dan Turner, 2010: 453).
Asumsi ketiga adalah budaya dan tindakan-tindakan tertentu dapat
mempengaruhi
citra
diri
yang
diproyeksikan
seseorang.
Ting-Toomey
menegaskan bahwa tindakan pengancaman citra diri mengancam baik positif atau
wajah negatif dalam berhubungan. Tindakan pengancaman citra diri dapat baik
secara langsung maupun tidak langsung dan terjadi ketika identitas orang yang
diinginkan tertantang (Tracy, 1990 dalam West dan Turner, 2010: 453). Tindakan
pengancaman citra diri langsung akan lebih mengancam ke wajah orang lain,
sedangkan tindakan pengancaman citra diri tidak langsung akan kurang
mengancam.
Ting-Toomey dan Mark Cole (1990) mencatat adanya dua tindakan yang
membentuk proses pengancaman yaitu penjagaan face dan restorasi face (West
dan Turner, 2010: 453). Penjagaan face melibatkan upaya untuk mencegah
kejadian yang menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penjagaan
face sering kali mencegah rasa malu. Sedangkan restorasi face terjadi setelah
kehilangan muka terjadi. Ting-Toomey dan Cole (1990) mengamati bahwa orangorang akan berusaha untuk mengembalikan citra diri mereka dalam menanggapi
peristiwa (West dan Turner, 2010: 453).
Teori ini mengenalkan dua budaya yang melekat pada diri setiap individu
yakni budaya kolektivistik dan individualistik. Individualisme adalah pola sosial
yang terdiri dari individu-individu yang terkait secara longgar melihat diri mereka
sebagai bagian kolektif yang independen dan mengutamakan tujuan pribadi
mereka atas tujuan lain (Triandis, 1995 dalam Ting-Toomey dan Oetzel, 2003:
602). Sedangkan kolektivisme adalah pola sosial yang terdiri dari individuindividu yang terkait erat yang melihat diri mereka sebagai bagian dari satu atau
lebih kolektif (keluarga, rekan kerja, suku, atau bangsa) dan bersedia untuk
memberikan prioritas lebih pada tujuan kolektif dibanding tujuan pribadi mereka
sendiri (Triandis, 1995 dalam Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 602). Kedua
budaya ini akan terlihat dalam diri seseorang ketika ia melakukan face negotiation
dan lebih lanjut dapat ditelisik dari tipe-tipe penjagaan citra diri yang dilakukan
seseorang ketika berkomunikasi.
Tipe-tipe penjagaan citra diri yang dilakukan para perempuan Salafi ini yang
nantinya akan ditelisik lebih lanjut dalam praktek komunikasi interpersonal
dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. Griffin (2006: 444) menawarkan
tiga tipe penjagaan citra diri, tipe penjagaan citra diri yang pertama adalah selfface maintenance atau penjagaan citra diri sendiri. Dalam tipe ini terdapat dua
jenis tindakan yang meliputi face restoration (pemulihan citra diri) yaitu strategi
facework yang digunakan untuk menjaga posisi seseorang di dalam masyarakat,
mempertahankan otonomi, melawan segala usaha yang menghilangkan kebebasan
diri. Jenis tindakan berikutnya adalah face giving (pemberian citra diri) yaitu
strategi facework untuk mempertahankan dan mendukung kebutuhan seseorang
untuk menjadi bagian dari kelompok (memberikan perhatian, dan tidak
mempermalukan orang lain di hadapan publik).
Tipe penjagaan citra diri yang kedua adalah mutual face maintenance
(penjagaan kesamaan citra diri) yakni strategi facework yang dilakukan seseorang
dengan menjaga kesamaan citra dengan kelompoknya. Yang ketiga adalah otherface maintenance (penjagaan citra diri lain) merupakan kondisi seorang kolektif
akan menonjolkan diri secara proaktif membalikkan gambar diri untuk melawan
citra orang lain atau diri mereka sendiri Dari tipe-tipe tindakan ini diasumsikan
jika seseorang merupakan individualis ketika lebih sering melakukan self-face
maintenance, dan sebaliknya seseorang merupakan kolektif ketika melakukan
other-face maintenance.
Dalam berkomunikasi dengan setiap anggota masyarakat, konflik belum tentu
dapat terhindari, dalam face negotiation juga mengamati tipe-tipe manajemen
yang akan dilakukan oleh masing-masing anggota dalam merespon suatu konflik.
Konflik akan ada di setiap kondisi dalam suatu kegiatan yang tidak diharapkan
atau tidak sesuai terjadi. Konflik bukan hanya pertentangan yang cenderung
berwujud bentrok atau perkelahian. Konflik justru dapat muncul dalam hal seperti
adanya perbedaan pendapat kecil dan konflik tidaklah dapat dihindari dalam suatu
hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain baik kita menginginkannya
atau tidak (Gudykunst dan Kim, 2003: 297). Roloff (1987) merumuskan beberapa
sumber konflik antara lain konflik terjadi ketika seseorang salah menafsirkan
perilaku orang lain; yang kedua adalah konflik dapat timbul dari persepsi
ketidakcocokan; dan yang terakhir konflik muncul ketika adanya ketidaksetujuan
pada penyebab perilaku sendiri atau perilaku orang lain (Gudykunst dan Kim,
2003: 297). Dapat dipahami jika konflik berpotensi muncul hanya dalam hal-hal
kecil saja dan hal tersebut juga dapat muncul tanpa disadari kita ingini atau tidak.
Komunikasi merupakan media melalui mana konflik dibuat dan dikelola.
Cara kita berkomunikasi dengan orang asing sering kali menimbulkan konflik.
Cara kita berkomunikasi dengan orang asing pun mencerminkan apakah kita
mengalami konflik dengan mereka (Gudykunst dan Kim, 2003: 296-297). Di sini
face digunakan dalam menegosiasikan diri pada suatu konflik. Dalam hal
merespon suatu konflik, Ting-Toomey mengidentifikasi adanya lima respon saat
seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan, kepentingan, dan tujuan diri, yaitu
avoiding, obliging, compromising, dominating dan integrating (mempersatukan)
(Griffin, 2006: 446). Avoiding atau menghindar dalam konteks merespon suatu
konflik yakni situasi seseorang akan berusaha menghindari konflik yang akan
menyulitkan dirinya. Obliging atau menurut/membantu yakni situasi seseorang
menawarkan bantuan kepada orang lain karena ada rasa prihatin atau iba.
Compromising atau berkompromi adalah tindakan seseorang dalam mengambil
pendekatan kedua belah pihak memberikan sesuatu dalam rangka menemukan
jalan tengah dan mencapai solusi. Dominating atau mendominasi yaitu ketika
seseorang yang memiliki dominasi akan menekan pihak lain dengan kekuatan
yang dimilikinya. Tipe respon terakhir yakni integrating atau mempersatukan,
kondisi ini merupakan win-win solution yang bermanfaat untuk kedua belah pihak
dan menjadi solusi yang baik.
Budaya dan gaya konflik dimediasi oleh faktor di tingkat individu
(Gudykunst, et.al, 1996 dalam Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 603). Perilaku
konflik sendiri dipelajari dalam proses sosialisasi kelompok budaya atau etnis
seseorang. Individu mempelajari norma-norma dan aturan untuk menghadapi
konflik secara tepat dan efektif dalam lingkungan budaya mereka. Kecenderungan
ini mempengaruhi faktor di tingkat individu seperti cara individu memahami diri
mereka sendiri. (Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 603) Sehingga individu menjadi
sangat beragam di dalam masyarakat. Menurut Ting-Toomey dan Oetzel (2003:
603) nilai-nilai budaya memiliki efek langsung pada perilaku konflik yang
dimediasi melalui faktor di tingkat individu. Faktor di tingkat individu ini disebut
sebagai self-construal. Self-construal atau konstrual diri adalah faktor kunci
individu yang berfokus pada variasi dan budaya individu (Markus dan Kitayama,
1991 dalam Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 603). Markus dan Kitayama (1991)
menyatakan jika self-construal adalah citra diri seseorang dan terdiri dari
independent dan interdependent self-construal. Independent self-construal
memandang diri mereka unik dan berbeda dengan yang lain. Interdependent selfconstrual memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. Ia bersifat
fleksibel dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan
sosial merupakan hal utama. Gaya komunikasi interdependent self-construal
cenderung memikirkan perasaan lawan bicaranya. Kedua jenis self-construal ini
berhubungan dengan gaya konflik seseorang. Orang dengan independent selfconstrual akan cenderung mendominasi. Sedangkan interdependent self-construal
akan cenderung menghindari konflik.
Elemen-elemen dalam face negotiation baik dari bingkai facework, tipe-tipe
manajemen citra diri seseorang, dan tipe manajemen seseorang dalam merespon
konflik di atas menjadi kerangka analisis face negotiation yang dilakukan
perempuan Salafi ketika berkomunikasi secara interpersonal dengan masyarakat
umum di luar komunitasnya. Penelitian ini secara spesifik akan melihat face
negotiation melalui facework kepekaan (tact facework), facework solidaritas
(solidarity facework), dan facework keperkenaan/pujian (approbation facework);
tipe-tipe penjagaan citra diri meliputi self-face maintenance, mutual face
maintenance, dan other-face maintenance; dan lima respon seseorang terhadap
konflik yaitu avoiding, obliging, compromising, dominating dan integrating.
Aspek-aspek ini akan ditinjau melalui bahasa verbal maupun nonverbal yang
dilakukan selama proses komunikasi berlangsung.
3. Komunikasi Perempuan Salafi dalam Ranah Gender
Penelitian ini secara spesifik mengkaji praktek komunikasi interpersonal yang
dilakukan oleh perempuan yang dalam hal ini adalah perempuan Salafi. Perlu
dipahami dulu sebelumnya bahwa komunikasi yang dilakukan perempuan dan
laki-laki tidaklah sama. Maka dalam sub judul ini akan dibahas mengenai
komunikasi gender untuk mengetahui perbedaan esensial yang ada dalam gender
perempuan.
Jika membicarakan mengenai gender, yang jelas terpatri dalam benak kita
adalah mengenai perempuan dan laki-laki. Namun demikian, gender tidaklah serta
merta mengenai seks atau jenis kelamin. Ada perbedaan signifikan antara gender
dan jenis kelamin. Gender adalah pembagian manusia pada maskulin dan feminin
yang di dalamnya terkandung peran dan sifat yang dilekatan oleh masyarakat
kepada kaum laki-laki dan perempuan dan dikonstruksikan secara sosial ataupun
kultural (Roqib, 2003:111). Sedangkan seks atau jenis kelamin mengacu pada
kategori biologi, pria dan wanita, ditentukan oleh adanya kromoson XX untuk
wanita dan pola kromosom XY untuk pria (Pearson, West & Turner, 1995: 6).
Dapat disimpulkan jika jenis kelamin mengacu pada aspek biologi yang secara
fisik mengkategorikan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan gender
mengacu pada aspek sosial maupun kultural yang menyangkut pada peran dan
sifat laki-laki dan perempuan.
Berkenaan dengan sifat maskulin dan feminin, terdapat dua argumen yang
saling bertentangan mengenai pembentukan sifat maskulin dan feminin pada pria
dan wanita. Argumen pertama menurut Friedl (1975) percaya bahwa perbedaan
sifat maskulin dan feminin ada hubungannya dengan, bahkan tidak lepas dari,
pengaruh perbedaan biologis (seks) pria dan wanita (Megawangi, 1999: 94).
Perbedaan biologis pria dan wanita adalah alami, begitu pula sifat maskulin dan
feminin yang dibentuknya. Oleh karena itu, sifat stereotip gender sulit untuk
diubah. Argumen ini sering disebut mazhab esensial biologis (biological
essentialism),
atau
orientasi
biologis
(biologically oriented contestants)
(Megawangi, 1999: 94).
Argumen kedua percaya bahwa pembentukan sifat maskulin dan feminin
bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara pria dan wanita,
melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturisasi. Sifat maskulin dan feminin
dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi (nurture). Pemikiran ini
disebut mazhab orientasi kultur (culturally oriented contestants) (Friedl, 1975,
dalam Megawangi, 1999: 94-95).
Mereka yang berorientasi budaya berargumentasi bahwa, adanya diferensiasi
peran (division of Labor) antara pria dan wanita bukan disebabkan oleh adanya
nature biologis, melainkan lebih disebabkan oleh faktor budaya. Budaya akan
berinteraksi dengan faktor biologis, dan menjadi terinstitusionalisasi. Institusi ini
berfungsi sebagai wadah sosialisasi, di mana kebiasaan dan norma yang berlaku
akan diwariskan secara turun-menurun (Megawangi, 1999: 102).
Menurut Megawangi (1999: 103), kendala biologis yang melekat pada diri
perempuan atau laki-laki dewasa ini dapat dihilangkan melalui rekayasa
teknologi. Contohnya seperti kodrat perempuan untuk melahirkan dan mengasuh
seorang bayi, kini dapat diatur dengan teknologi alat kontrasepsi yang
memungkinkan seorang perempuan untuk mengatur jumlah anak yang dilahirkan
atau bahkan tidak punya anak sama sekali. Berhubung peran gender ini dapat
diubah, maka perbedaan peran gender yang selama ini berlangsung bukan
disebabkan oleh adanya perbedaan nature antara pria dan wanita, melainkan
karena adanya budaya atau tradisi. Sesuatu yang nature tidak dapat diubah,
sedangkan peran gender dapat diubah dengan teknologi. Dengan demikian,
mereka yang berorientasi kultur percaya bahwa peran gender adalah konstruksi
sosial budaya.
Praktek komunikasi yang dilakukan perempuan dan laki-laki pun cenderung
berbeda. Dalam bukunya berjudul Gender & Communication, Pearson, West, dan
Turner (1995: 25) memandang bahwa proses komunikasi merupakan proses yang
rumit yang meliputi diri, konteks, simbol, dan pengiriman serta penerimaan kode
yang simultan. Sedangkan dalam kaitannya dengan gender, perlu diketahui jika
gender semakin bervariasi dari waktu ke waktu, dan cara berkomunikasi antara
perempuan dan laki-laki pun juga memiliki perbedaan dalam beberapa hal.
Proses komunikasi meliputi persepsi, pendengaran, dan empati dalam
memproses suatu informasi. Pengolahan informasi, atau memberikan makna yang
yang datang kepada kita melalui indera kita, adalah proses yang kompleks yang
terdiri dari sejumlah kegiatan yang saling terkait yang memungkinkan kita untuk
berpikir, belajar, dan mengingat (Pearson, West, dan Turner, 1995: 28). Melalui
proses pengolahan infomasi, kita akan berpikir dan kemudian bertindak akan
informasi yang didapat. Segala tindakan dalam proses inilah yang menunjukkan
perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berkomunikasi.
Dalam hal persepsi akan informasi, wanita lebih suka kompleksitas
dibandingkan laki-laki (Eisenman & Johnson, 1969; Looft & Baranowski, 1971,
dalam Pearson, West, dan Turner, 1995: 31). Andrews (1985) mengamati bahwa
pria lebih cenderung berpegang pada kriteria yang tetap ketika mereka membuat
argumen
mereka.
Sedangkan
responden
perempuan
lebih
suka
mempertimbangkan masalah yang kurang harfiah, dan lebih secara kompleks
daripada yang laki-laki lakukan (Pearson, West, dan Turner, 1995: 31-32). Dapat
diketahui dalam aspek ini perempuan memiliki kecenderungan lebih rumit
dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam mendengarkan, perempuan memiliki keterampilan mendengarkan yang
lebih baik daripada laki-laki. Tamen (1990) berpendapat bahwa laki-laki dan
perempuan mungkin mendengarkan dengan cara berbeda berbeda. Laki-laki
mendengarkan untuk mengetahui bagaimana memecahkan masalah, sementara
wanita mendengarkan untuk memahami sesuatu yang tidak mereka mengerti
sebelumnya (Pearson, West, dan Turner, 1995: 35). Aspek pendengaran
menunjukkan jika perempuan cenderung lebih sensitif dalam mendengarkan
karena memiliki target untuk mengejar pemahaman atas sesuatu.
Hughey (1984) menemukan bahwa ketika pria sedang berbicara dengan lakilaki lain, mereka lebih sukses dalam berempati setelah mereka menyesuaikan diri.
Sedangkan dalam lingkup antar perempuan, metode terbaik untuk berhasil dalam
hal empati adalah dengan mendapatkan atau memupuk kepercayaan (Pearson,
West, dan Turner, 1995: 37-38). Perempuan cenderung menjunjung ikatan diri
dengan lawan bicara perempuannya untuk mendapatkan empati.
Kemudian dalam aspek sosial dan psikologi, Halpern (1986) mengamati
bahwa perempuan mendominasi dalam keterampilan verbal dan laki-laki
mendominasi dalam kemampuan spasial (Pearson, West, dan Turner, 1995: 44).
Dapat diketahui jika kemampuan verbal atau bertutur perempuan cenderung
berperan dalam hubungan sosial dan secara psikologis dengan orang lain.
Macam-macam aspek dalam berkomunikasi yang ditemukan dalam beberapa
kajian tersebut memang melihat perempuan secara general. Di sini dapat dipahami
jika secara gender, perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam melakukan
teknik berkomunikasi. Dalam praktek komunikasi interpersonal yang akan digali
lebih lanjut pada perempuan Salafi, tidak sekedar melihat perbedaan perempuan
dalam berkomunikasi secara general namun juga mengkajinya melalui aspek
nilai-nilai paham Salaf yang mereka terapkan.
4. Perempuan Salafi Sebagai Bagian dari Komunitas Subkultur Salafi
Komunikasi gender yang disorot dalam penelitian ini adalah komunikasi yang
dilakukan oleh perempuan Salafi. Perempuan Salafi merupakan bagian dari
komunitas subkultur Salafi. Pengertian komunitas sendiri menurut Wenger (2002:
4) adalah sekumpulan orang yang saling berbagi masalah, perhatian atau
kegemaran terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta keahlian
mereka dengan saling berinteraksi secara terus-menerus. Sedangkan pengertian
subkultur menurut Suprapto dan Limakrisna (2007: 47) mendefinisikan subkultur
sebagai sekelompok orang tertentu dalam sebuah masyarakat yang sama-sama
memiliki makna budaya yang sama untuk respon afektif dan kognitif (reaksi
emosional, kepercayaan, nilai, pencapaian, tujuan), perilaku (kebiasaan/tradisi,
sikap dan ritual, norma perilaku) dan faktor lingkungannya (kondisi tempat
tinggal, lokasi geografis, objek yang penting).
Dari definisi ini dapat dikatakan jika komunitas subkultur merupakan bagian
dari masyarakat yang berkelompok yang memiliki kepentingan yang sama dan
saling beriteraksi berbagi informasi, pengetahuan, serta pemikiran berdasar pada
makna budaya yang sama atas respon afektif-kognitif, perilaku, dan faktor
lingkungannya. Pada konteks kajian ini, perempuan Salafi sebagai bagian dari
komunitas subkultur Salafi merupakan perempuan yang saling berhubungan
karena memiliki kesamaan atas nilai-nilai dari manhaj atau pemahaman Salaf
yang mereka ikuti. Singkatnya, perempuan Salafi adalah perempuan yang tata
cara kehidupannya mengikuti manhaj Salaf.
Pengertian manhaj menurut bahasa adalah jalan yang jelas dan terang. Atau
secara konseptual dapat dikatakan sebagai metode atau cara hidup. Sedangkan
pengertian Salaf menurut terminologi berarti generasi pertama dan terbaik dari
ummat (Islam) yang terdiri dari para sahabat (sahabat Rasulullah). tabi’in9, tabi’ut
tabi’in 10 dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa)
pertama yang dimuliakan oleh Allah (Jawaz, 2006: 34). Tiga generasi awal yang
terdiri dari para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in ini disebut dengan salafush
sholih atau Salafi (orang-orang terdahulu yang sholih). Rasulullah bersabda
“shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku,
kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi” (HR.
Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Singkatnya, Salafi merupakan
suatu kaum yang mengikuti manhaj Salaf dan menerapkan tata cara kehidupan
Rasulullah.
Perempuan Salafi memandang cara hidup terbaik adalah dengan mengikuti
cara hidup Rasulullah yaitu tata cara yang sesuai kaidah agama Islam. Syaikh
Muhammad Asy-Syarif memaparkan tata cara hidup perempuan sesuai hadits
yang diterapkan oleh perempuan Salafi dalam bukunya yang berjudul 40 Hadits
Wanita: Bunga Rampai Hadits Fikih dan Akhlaq. Tata cara hidup tersebut antara
lain meliputi anjuran bagi perempuan dalam: 1) menetap di dalam rumah; 2)
menghindari ikhtilat11; 3) menjaga lisan dan aurat; 4) menggapai pernikahan
penuh berkah; dan 5) tuntunan dalam pakaian dan perhiasan. Kelima hal tersebut
dipaparkan oleh Asy-Syarif berdasar pada hadits-hadits yang sahih.
Anjuran menetap di rumah perlu dilakukan perempuan dengan tujuan sebagai
wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Selain itu agar dirinya fokus dalam
melayani suami, berkonsentrasi dalam mengasuh dan mendidik anak, lebih cermat
dan tanggap dalam memahami kebutuhan rumah tangga, menjaga waktu yang
merupakan sesuatu yang paling berharga (dalam hal ini perempuan dianjurkan
untuk memanfaatkan waktu dengan membaca), terhindar dari keletihan fisik
akibat keluar rumah dan berpergian, dan menjadi teladan yang baik bagi kerabat
dan tetangga wanita yang lain (Asy-Syarif, 2009: 18-20).
Anjuran kedua bagi perempuan sesuai hadits adalah menghindari ikhtilat yang
secara etimologi berarti membaur satu sama lain (Asy-Syarif, 2009: 87). Ikhtilat
9 Orang-­‐orang yang mengikuti sahabat 10 Orang-­‐orang yang mengikuti tabi’in 11 Membaur satu sama lain yang harus dijauhi oleh perempuan adalah berkumpul jadi satu dengan laki-laki
yang bukan mahramnya. Untuk menghindari hal ini, umumnya di masjid-masjid
sudah menerapkan pintu khusus bagi perempuan sebagai tempat keluar dan masuk
jamaah perempuan. Islam melarang ikhtilat di tempat-tempat kerumunan yang
bersifat permanen seperti masjid dan semacamnya dan juga di tempat-tempat yang
bersifat sementara seperti di jalan. Lokasi-lokasi seperti jalan ini memungkinkan
para pejalan kaki saling berpapasan. Menurut hadits yang diriwayatkan Hamzah
bin Abu Usaid Al-Anshari, Rasulullah bersabda kepada kaum perempuan yang
membaur dengan laki-laki di jalanan untuk tidak berjalan di tengah jalan atau
berjalan di tepi jalan (Asy-Syarif, 2009: 97). Perempuan dianjurkan untuk
berjalan di tepi jalan guna melindunginya dari tatapan atau interaksi dengan lawan
jenis karena dengan berjalan di tengah memungkinkan dirinya untuk terlihat
sangat jelas dan menjadi pusat perhatian.
Anjuran ketiga bagi perempuan adalah menjaga lisan dan aurat. Asy-Syarif
(2009: 145) menjabarkan beberapa anjuran kepada perempuan dalam menjaga
lisan, perempuan tidak boleh bicara dengan suara keras hingga didengar kaum
lelaki selain bila dibutuhkan. Perempuan harus berusaha semaksimal mungkin
untuk melirihkan suara agar tidak didengar laki-laki nonmahram. Perempuan
boleh mengucapkan salam kepada lawan jenis dengan isyarat tangan ketika ada
keperluan. Perempuan maupun laki-laki dianjurkan menasihati orang yang lalai,
memerintah mereka pada kebaikan, dan melarang mereka dari kemungkaran. Dari
anjuran-anjuran ini, kita ketahui jika ada batasan komunikasi secara verbal
terhadap lawan jenis dan bahkan harus sebisa mungkin berusaha melirihkan suara
agar tidak terdengar laki-laki yang bukan mahram.
Anjuran keempat mengenai kehidupan pernikahan, perempuan boleh
mengungkapkan ketidakcocokan atau penolakan terhadap laki-laki yang
dijodohkan dengannya. Perempuan boleh bicara dengan laki-laki ketika ada
kebutuhan, seperti meminta fatwa, mengadu, dan lain-lain. Dalam ruang
pengadilan, seluruh hadirin boleh mendengarkan pengaduan dari pihak
perempuan dan mereka tidak diharuskan keluar dari ruang siding (Asy-Syarif,
2009: 204). Meskipun telah disampaikan sebelumnya jika perempuan harus sebisa
mungkin untuk menjaga dan membatas komunikasi secara verbal, namun dalam
beberapa kasus perempuan masih diperkenankan untuk berbicara dengan laki-laki.
Anjuran kelima adalah mengenai tuntunan dalam pakaian dan perhiasan.
Perempuan maupun laki-laki pada dasanya sama-sama dilarang untuk mengubah
ciptaan Allah dari fisik mereka. Bagi perempuan haram untuk mengubah ciptaan
fisiknya dengan tujuan mempercantik diri seperti mencabut rambut di wajah,
merenggangkan gigi, menyambung rambut, dan memasang tato. Namun
demikian,
hal-hal
tersebut
diperkenankan
dilakukan
dengan
alasan
menyembuhkan penyakit (Asy-Syarif, 2009: 333-348).
Dalam berpakaian yang dalam konteks ini berpakaian di hadapan lelaki yang
bukan mahramnya, perempuan Salafi menerapkan adab berpakaian bagi muslimah
yakni berbusana syar’i atau tidak memandang pakaian sebagai “perhiasan”.
Berbusana syar’i tidaklah menggunakan pakaian luar yang menampakkan
“perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki. “Perhiasan “di sini dapat dilatakan
sebagai daya tarik yang dapat membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih
normal yakni aurat. Adab berbusana bagi muslimah lainnya adalah berjilbab yakni
menutupi segala sesuatu yang menjadi “perhiasan” perempuan. Dengan kata lain
muslimah wajib mengenakan pakaian yang menutupi semua auratnya yaitu
seluruh bagian tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Pakaian
tersebut tidak tembus pandang dan tidak menunjukkan lekuk badan atau
longgar/tidak ketat. Mereka juga tidak mengenakan pakaian yang terdiri dari
berbagai warna atau warna-warni, pakaian yang dihias dengan garis-garis
berwarna keemasan atau berwarna perak, tidak mengenakan aksesoris, tidak
menyerupai pakaian lelaki dan dianjurkan mengenakan pakaian gelap seperti para
istri
Nabi
(diperoleh
dari
berpakaian-bagi-muslimah.html
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/adabdiakses
31
Maret
2015
dan
http://asysyariah.com/kajian-utama-ketentuan-ketentuan-pakaian-wanita/ diakses
31 Maret 2015). Dalam menerapkan adab berpakaian sesuai tuntunan Al-Qur’an,
perempuan Salafi umumnya mengenakan pakaian jubah (jilbab besar dan pakaian
besar yang tidak menunjukkan lekuk tubuh) dan juga bercadar untuk menutup
semua auratnya.
Selain batasan-batasan dalam berkomunikasi, perempuan Salafi juga
umumnya mencoba menerapkan penggunaan bahasa Arab seperti halnya
Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Istilah-istilah yang sering digunakan
antara lain seperti ummi (ibu), abi (ayah), ammah (tante/ibu-ibu yang bukan ibu
kandung), ammi (om/bapak-bapak yang bukan bapak kandung), afwan (maaf),
ma’isyah(penghasilan), akhi (saudara/teman laki-laki), ukhti (saudara/teman
perempuan), sobakhul khoir (selamat pagi), masa’ul khoir (selamat sore).
Dari pemaparan anjuran tata cara bersikap, berhias, berkomunikasi dan
penerapan bahasa Arab dapat diketahui bila perempuan Salafi menerapkan hal-hal
yang cukup berbeda dengan perempuan-perempuan pada umumnya. Beberapa
aspek dalam berkomunikasi dan menjaga diri pun menjadi sorotan yang secara
spesifik membedakannya dengan masyarakat umum di luar komunitasnya.
F. Model Penelitian
Komunikasi Interpersonal
Perempuan Salafi – Masyarakat Umum
-
keterbukaan
empati
dukungan
sikap positif
kesetaraan
Verbal:
Nonverbal:
- Bahasa / jenis bahasa
Facework:
-
tact facework
solidarity
facework
approbation
facework
-­‐
-­‐
-­‐
kinesics
proxemics
paralanguage
Penjagaan citra diri:
-­‐
-­‐
-­‐
self-face maintenance
mutual face
maintenance
other-face
maintenance
Gaya konflik:
-
avoiding
obliging
compromising
dominating
integrating
G. Kerangka Konsep
Berikut adalah kerangka konsep penelitian mengenai praktek komunikasi
interpersonal perempuan Salafi dengan masyarakat umum di luar komunitasnya di
Kampung Sawo Bantul. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa
perempuan Salafi memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan perempuan
pada umumnya ditinjau dari keterbatasan verbal maupun nonverbal menurut tata
cara Salafi yang mereka terapkan. Adapun keterbasan yang secara jelas terlihat
yakni tertutupnya mereka dalam berbusana, khususnya mengenakan cadar dalam
kesehariannya yang membuat perilaku nonverbal di sini akan sangat terbatas dan
juga terbatasnya interaksi dengan laki-laki. Sehingga definisi operasional dalam
unsur komunikasi interpersonal dijabarkan peneliti berdasarkan hasil pra-riset
terhadap praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi guna merumuskan
unsur-unsur yang akan ditinjau lebih lanjut di lapangan.
1. Komunikasi Interpersonal
Dalam penelitian ini, komunikasi interpersonal yang akan dikaji adalah
komunikasi antara perempuan Salafi dengan masyarakat umum di Kampung
Sawo Bantul. Perempuan Salafi adalah perempuan yang mengikuti dan
menerapkan manhaj Salaf dalam tata cara kehidupannya. Masyarakat umum di
sini adalah setiap anggota masyarakat di Kampung Sawo yang bukan anggota dari
komunitas Salafi. Adapun proses komunikasi tersebut dilihat dari:
a. Keterbukaan: perempuan Salafi mengungkapkan informasi mengenai diri
pribadi, bersedia bereaksi secara jujur atas pesan yang disampaikan
masyarakat umum kepadanya, dan bebas mengungkapkan perasaan,
pikiran, dan prinsip diri kepada masyarakat umum. Perempuan Salafi akan
dengan terbuka melakukan interaksi lebih dulu kepada masyarakat umum
dengan menyapa duluan dengan sebutan umum (bu, pak, atau mbak),
menepuk pundak atau paha kepada sesama perempuan, merangkul kepada
perempuan yang lebih tua, mengangguk kepada laki-laki sebagai bentuk
sapaan, memencet klakson motor jika berpapasan di jalan, dan
membungkukkan badan jika melewati warga yang lebih tua.
b. Empati : perempuan Salafi berupaya merasakan apa yang dirasakan orang
lain dengan cara menunjukkan kepedulian dengan tetap melayat jika ada
yang meninggal, menjenguk jika ada yang sakit, memberi hadiah,
berangkat ke masjid, dan turut hadir jika ada yang menikah namun datang
sebelum acara untuk menghindari musik.
c. Dukungan: perempuan Salafi tidak malu berinteraksi dengan masyarakat
umum dan berfikir secara terbuka dengan menerima pandangan yang
berasal dari masyarakat umum, serta bersedia untuk mengubah diri jika
perubahan dipandang perlu. Perempuan Salafi menerima masukan warga
dalam berdiskusi atau berkegiatan. Bekerja sama dalam mengelola
kegiatan warga.
d. Sikap positif: sikap positif perempuan Salafi ditunjukkan dari kejelasan
dan kepuasan dalam proses komunikasi. Tidak memaksakan obrolan yang
sekiranya tidak disenangi warga. Mendorong orang menjadi teman kita
dalam berinteraksi atau menjadi lawan interaksi
e. Kesetaraan: perempuan Salafi memandang derajat dalam berkomunikasi
dengan bersikap hormat dengan lawan bicara. Perempuan Salafi
mengangkat wajahnya / mendongak ketika berbicara baik kepada laki-laki
atau perempuan. Terhadap laki-laki tidak menatap mata langsung tetapi
wajah tetap diangkat, sedangkan terhadap perempuan tetap melakukan
kontak mata.
2. Verbal
Aspek verbal yang akan diamati dalam komunikasi interpersonal perempuan
Salafi dengan masyarakat umum adalah bahasa atau jenis bahasa yang ia gunakan
ketika berbicara secara langsung terhadap masyarakat umum.
3.
Nonverbal
Aspek nonverbal yang diamati dalam komunikasi interpersonal perempuan Salafi
dengan masyarakat umum yakni:
a. Kinesics (kinesik): ekspresi wajah, gerak isyarat (gesture), postur tubuh
(posisi dan gerakan tubuh), dan sentuhan yang dilakukan perempuan
Salafi selama melakukan komunikasi dan interaksi dengan masyarakat
umum
b. Proxemics (proksemik): jarak yang diterapkan perempuan Salafi ketika
berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung dengan masyarakat umum
c. Paralanguage: pola titinada, volume, kecepatan, dan kualitas suara yang
terdengar bersamaan dengan pengucapan bahasa verbal yang dilakukan
perempuan Salafi ketika berkomunikasi dengan masyarakat umum
4. Facework
Face negotiation atau negosiasi citra diri dalam penelitian ini adalah face
negotiation yang dilakukan oleh anggota komunitas Salafi saat sedang
berkomunikasi dengan masyarakat umum Kampung Sawo. Face negotiation
tersebut ditinjau dari facework. Facework yang dilakukan berdasar pada:
a. Tact facework (facework kepekaan): perempuan Salafi menghargai
otonomi dan posisi orang lain yang dalam penelitian ini adalah masyarakat
umum.
b. Solidarity facework (facework solidaritas): perempuan Salafi menerima
orang lain sebagai anggota kelompok
c. Approbation facework (facework keperkenaan/pujian): perempuan Salafi
tidak menjelek-jelekkan atau meminimalisir penjelekkan terhadap orang
lain, dan memaksimalkan pujian kepada orang lain
5. Penjagaan Citra Diri
Selain facework, dalam negosiasi citra diri juga dilakukan penjagaan citra diri
yang dilihat dari:
a. Self-face maintenance (penjagaan citra diri sendiri): perempuan Salafi
melakukan face restoration (pemulihan citra diri) dengan menjaga posisi
seseorang (baik diri sendiri maupun orang lain) di dalam masyarakat,
mempertahankan otonomi diri, dan melawan segala usaha yang
menghilangkan kebebasan diri; atau perempuan Salafi melakukan face
giving (pemberian citra diri) dengan mempertahankan dan mendukung
kebutuhan seseorang untuk menjadi bagian dari kelompok dengan cara
memberi perhatian dan tidak mempermalukan orang lain di hadapan
publik.
b. Mutual face maintenance (penjagaan kesamaan citra diri): perempuan
Salafi menjaga kesamaan citra dengan kelompok yang lebih besar atau
masyarakat umum
c. Other-face maintenance (penjagaan citra diri lain): perempuan Salafi
secara proaktif membalikkan gambar diri untuk melawan citra orang lain
atau diri mereka sendiri. Perempuan Salafi menjaga diri sebagai bagian
dari kolektif masyarakat baik itu dengan cara menonjolkan diri dengan
menunjukkan
gambar
dirinya
yang
lain/keterbalikan
dari
individualistiknya.
6. Gaya Konflik
Salah satu hal yang tidak dapat dihindari dalam berkomunikasi adalah konflik.
Dalam praktek komunikasi interpersonal di sini juga akan menganalisis respon
perempuan Salafi dalam menghadapi konflik yang mungkin terjadi. Adapun
bentuk respon atas konflik tersebut antara lain:
a. Avoiding : perempuan Salafi menghindari konflik yang akan menyulitkan
dirinya.
b. Obliging: perempuan Salafi menawarkan bantuan kepada orang lain
karena rasa iba.
c. Compromising: perempuan Salafi mengambil pendekatan kedua belah
pihak untuk menemukan jalan tengah dan mencapai solusi.
d. Dominating: perempuan Salafi menekan orang lain dengan kekuatan yang
dimilikinya.
e. Integrating: perempuan Salafi mempersatukan dengan menerapkan winwin solution yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan menjadi solusi
yang baik.
H. Metodologi Penelitian
Penelitian mengenai komunikasi interpersonal ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2010: 4), pendekatan
kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Senada dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller menjelaskan
pendekatan kualitatif ini sebagai suatu tradisi dalam ilmu pengetahuan yang
bergantung pada pengamatan seseorang (Moleong, 2010: 4). Pada penelitian ini
peneliti menjadi instrumen peneliti utama yang akan melakukan pengamatan
terhadap subjek penelitian yang kemudian menyajikan data deskriptif. Data
deskriptif yang digali secara spesifik dijelaskan oleh Moleong (2010: 11) sebagai
data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Sehingga pada
penelitian ini peneliti akan menyajikan data yang berupa kata-kata dan gambar
untuk mendeskripsikan hasil dari pengamatan yang dilakukan dalam penelitian.
1.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi.
Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain dan
bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai semua
kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu
(Spradley, 2007: 13). Jenis etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi adalah sebuah pendekatan,
perspektif, dan metode untuk mendalami studi sarana budaya yang khas dan
makna komunikasi yang berfokus pada praktek komunikasi dan bahasa
(Carbaugh, 2007: 245). Carbaugh (2007: 246) menyebutkan bahwa salah satu
kajian dalam etnografi komunikasi adalah kajian mengenai cara-cara tertentu
dalam berbicara yang didasarkan pada etnis maupun gender. Metode ini
melibatkan observasi partisipan dalam kehidupan sehari-hari dan wawancara.
Dalam etnografi komunikasi, praktek komunikasi interpersonal perempuan
Salafi akan digali dengan merujuk pada empat unit dasar yang dikenalkan oleh
Hymes (dalam Carbaugh, 2007: 246-247) yang terdiri dari aktivitas komunikasi,
tindakan komunikasi, situasi komunikasi, dan masyarakat tutur. Aktivitas
komunikasi meliputi tata urutan dari tindakan sosial dalam peristiwa komunikasi
yang dipahami dengan merumuskan norma-norma atau aturan tentang perempuan
Salafi. Aktivitas komunikasi ini melibatkan berbagai jenis tindakan komunikasi.
Tindakan komunikasi berupa interpretasi dari interaksi sosial dalam konsep
komunikasi. Situasi komunikasi mengidentifikasi pengaturan dan adegan tertentu
dalam komunikasi. Yang terakhir, mengidentifikasi masyarakat tutur yakni
dengan mengidentifikasi sekelompok orang yang memiliki berbagai aturan dalam
menggunakan dan menafsirkan satu praktek komunikasi.
Etnografi komunikasi digunakan dalam penelitian ini karena penelitian proses
komunikasi antara anggota komunitas Salafi dengan anggota masyarakat umum di
luar komunitas membutuhkan observasi langsung dan pengumpulan data lapangan
berdasar budaya yang lengkap dan alamiah.
Fokus utama dari kajian etnografi komunikasi adalah perilaku-perilaku
komunikatif suatu masyarakat, yang pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh
aspek-aspek sosiokultural (Kuswarno, 2008: 36). Sehingga peneliti akan mencari
dan mengetahui bagaimana bentuk komunikasi atau praktek komunikasi itu
bekerja pada perempuan Salafi dalam konteks komunikasi interpersonal dengan
masyarakat umum di luar komunitasnya
2. Subjek Penelitian
Subjek atau informan dari penelitian ini adalah perempuan Salafi di Kampung
Sawo, Bantul. Secara spesifik, subjek dalam penelitian ini perempuan yang
merupakan anggota komunitas Salafi yang melakukan aktivitas komunikasi
dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. Adapun karakteristik subjek dari
penelitian ini yakni: perempuan Salafi; berumur ≥17 tahun; mengenakan pakaian
jubah; berjilbab panjang/besar menutup seluruh anggota badan kecuali telapak
tangan dan mengenakan cadar.
Informan perempuan Salafi haruslah yang tinggal di Kampung Sawo Bantul.
Batas usia yang ditentukan adalah usia dewasa. Adapun rentang waktu lamanya
informan tinggal di Kampung Sawo yakni perempuan Salafi yang telah tinggal
rata-rata selama 10 tahun. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 3 orang.
Informan dipilih dengan menelisik perbedaan mata pencaharian sehari-hari dan
tempat tinggal asal sebelum bermukim di Kampung Sawo. Perbedaan umur, mata
pencaharian, serta budaya asal diharapkan menjadi variasi dari subjek penelitian.
Sedangkan kesamaan lama waktu tinggal di Kampung Sawo sendiri untuk
mencari kedalaman atas karakteristik perempuan Salafi yang telah lama
bermukim di kampung tersebut karena mereka lah yang telah lama hidup
berdampingan dengan warga umum/non-subkultur Salafi di Kampung Sawo.
Penentuan informan penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik
snowball sampling atau dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada
orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya
(Poerwandari, 1998). Melalui teknik snowball, subjek atau sampel dipilih
berdasarkan rekomendasi orang ke orang yang sesuai dengan penelitian dan
adekuat untuk diwawancarai (Patton, 2002). Dari proses pencarian informan
selama dua bulan yakni bulan Juli hingga Agustus, ditentukan tiga informan
bernama Ummu Abdurrahman atau yang lebih akrab dengan panggilan Mbak
Anis, Ummu Jundi, dan Ummu Qois. 12 Ketiga informan ini merupakan
perempuan Salafi yang telah menikah atau berkeluarga dan memiliki mata
pencaharian yang berbeda. Meskipun memiliki mata pencaharian berbeda, latar
belakang ekonomi mereka cenderung sama yakni menengah ke bawah. Sehingga
variasi mengenai latar belakang ekonomi yang tidak dapat cukup menonjol dalam
penelitian ini merupakan bagian dari keterbatasan penelitian. Dalam penelitian ini
hanya akan mendalami praktek komunikasi interpersonal dan strategi face
negotiation
yang dilakukan perempuan Salafi yang memiliki latar belakang
ekonomi menengah ke bawah.
3. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi partisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi. Sedangkan studi
pustaka digunakan untuk mendukung data-data yang telah didapat di lapangan.
Instrumen utama yang digunakan dalam pengambilan data yakni observasi
partisipatif. Melalui observasi partisipatif ini peneliti mengikuti aktivitas yang
dilakukan informan/subjek penelitian selama berjalannya proses komunikasi
dalam interaksi yang dilakukan dengan masyarakat umum. Observasi partisipatif
ini dilakukan guna mengamati langsung praktek komunikasi interpersonal
sesungguhnya yang berjalan antara perempuan Salafi dengan masyarakat umum.
Konteks komunikasi yang diamati dalam penelitian ini adalah komunikasi yang
terjalin sehari-hari antara perempuan Salafi dengan warga umum karena selama
pengambilan data memang tidak dijumpai situasi yang memberi ruang bagi
munculnya dialog dan interaksi yang memuat topik-topik bahasan sensitif seperti:
perbedaan konsep religius antara kedua belah pihak.
Di samping observasi partisipatif, instrumen kedua yang digunakan dalam
pengambilan data yaitu dengan indepth interview atau wawancara mendalam.
12 Keterangan lebih lanjut mengenai ketiga informan tercantum pada BAB III Indepth interview merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi
wawancara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapat data lengkap
dan mendalam (Kriyantono, 2006: 97).
Teknik dokumentasi yang diterapkan dalam pengambilan data yakni
perekaman wawancara dengan informan atau subjek penelitian. Sedangkan
dokumentasi visual dilakukan dengan pengambilan foto dan video dengan media
elektronik serta penggambaran sketsa dengan alat tulis meliputi pensil/pena.
Sketsa menjadi alternatif dalam pendokumentasian aktivitas komunikasi informan
perempuan Salafi yang tidak berkenan untuk diambil gambar dirinya dalam
bentuk foto maupun video dengan menggunakan alat atau media elektronik seperti
kamera, handycam dan semacamnya. Maka dari itu. dalam penelitian ini tidak
semua aktivitas komunikasi didokumentasikan dalam foto dan video. Beberapa
proses interaksi akan diilustrasikan dalam bentuk sketsa gambar. Teknik-teknik
ini digunakan untuk mengambil data perilaku nonverbal informan, yakni spesifik
pada aspek kinesics dan proxemics.
Data nonverbal pada aspek paralanguage yang meliputi pola titinada, volume,
kecepatan, dan kualitas suara memang cenderung lebih sulit diambil. Data
mengenai paralanguage yang didapat dalam penelitian ini merupakan hasil
penangkapan indera pendengaran peneliti. Sehingga data paralanguage dalam
penelitian merupakan hasil tafsiran yang terbatas pada kualitas dan kemampuan
pendengaran peneliti. Selama pengambilan data, bila ada data paralanguage yang
mampu peneliti tangkap didokumentasikan dalam catatan etnografi.
Pengambilan data dilakukan selama tiga bulan yakni pada bulan SeptemberNovember. Pada bulan pertama penelitian yaitu September peneliti melakukan
observasi partisipatif dengan informan pertama yakni Mbak Anis. Pada bulan
kedua yakni Oktober dan setiap akhir minggu pada bulan November peneliti
melakukan observasi partisipatif selama kurang lebih dua minggu penuh dengan
Ummu Jundi. Bulan November, peneliti melakukan observasi partisipatif dengan
Ummu Qois. Penentuan waktu pengambilan data disesuaikan dengan hasil
observasi sebelumnya mengenai aktivitas ketiga informan.
Wawancara kepada ketiga informan dilakukan selama observasi partisipatif
dalam sela waktu yang memungkinkan. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan observasi partisipatif, wawancara, dan dokumentasi pada semua
subjek penelitian adalah tiga bulan. Wawancara mendalam mengenai profil
informan dilakukan juga di sela-sela observasi partisipatif. Sedangkan wawancara
mendalam mengenai data etnografi dilakukan di akhir penyusunan data etnografi
guna mendapatkan data yang lebih komprehensif mengenai pola aktivitas
komunikasi interpersonal ketiga informan. Rangkaian observasi partisipatif
terhadap ketiga informan terangkum pada tabel berikut:
Tabel 1.1 Rangkaian Observasi Partisipatif Kepada Tiga Informan
Informan
Mbak Anis
Waktu Penelitian
Agustus
Minggu IV
September
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
Ummu Jundi
Ummu Qois
September
Minggu IV
Oktober
Minggu I
Minggu II
November
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
Minggu III
Oktober
Minggu IV
November
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
Pengambilan Data
Observasi partisipatif
untuk menentukan
aktivitas komunikasi
Mbak Anis
Observasi partisipatif
untuk menentukan
aktivitas komunikasi
Mbak Anis
Dua hingga tiga hari
setiap minggunya
mengikuti aktivitas
Mbak Anis
Observasi penentuan
aktivitas komunikasi
Ummu Jundi
Selama dua minggu
mengikuti aktivitas
Ummu Jundi
mengajar di sekolah
dan beraktivitas
sehari-hari
Setiap Sabtu
mengikuti aktivitas
arisan Ummu Jundi
Observasi pencarian
informan ketiga
Observasi penetuan
aktivitas komunikasi
Ummu Qois
Dua hingga tiga hari
setiap minggunya
mengikuti aktivitas
Ummu Qois
Adapun praktek komunikasi interpersonal yang diamati spesifik pada lingkup
komunikasi antara perempuan Salafi dengan warga umum di luar subkulturnya
atau di luar Salafi, sementara prakek komunikasi yang terjalin dalam keluarga
menjadi data tambahan. Praktek komunikasi dalam penelitian ini memang
mengamati proses komunikasi yang terjalin antara perempuan Salafi dan warga
umum, namun data primer yang diambil hanya berfokus pada praktek komunikasi
yang dilakukan perempuan Salafi sebagai komunikator karena penelitian ini
melihat lebih dalam mengenai strategi face negotiation perempuan Salafi.
4. Teknik Analisis Data
Dalam analisis data hal-hal yang harus dilakukan adalah meringkas data,
memilih data, menerjemahkan data, dan mengorganisasikan data. Dengan kata
lain, upaya tersebut mengubah kumpulan data yang tidak terorganisir menjadi
kumpulan kalimat singkat yang dapat dimengerti orang lain. Adapun teknik
analisis data yang akan dilakukan secara spesifik akan mengacu pada konsep yang
ditawarkan Creswell meliputi deskripsi, analisis, dan interpretasi (Kuswarno,
2008: 68).
Deskripsi menjadi bagian pertama bagi etnografer dalam menuliskan laporan
etnografinya. Pada bagian ini peneliti mempresentasikan hasil penelitian proses
komunikasi interpersonal yang dilakukan perempuan Salafi dengan masyarakat
umum di Kampung Sawo dengan menggambarkan secara detail proses
komunikasi dan interaksi yang terjalin. Adapun deskripsi dilakukan berdasar
dokumentasi dan pengamatan langsung di lapangan selama mengamati subjek
penelitian.
Di bagian analisis, peneliti mengemukakan beberapa data akurat mengenai
subjek penelitian terkait proses komunikasi antara perempuan Salafi dengan
masyarakat umum. Penggambaran tersebut melalui tabel, grafik, diagram, model
yang menggambarkan proses komunikasi terbebut. Bentuk lain dari bagian ini
adalah membandingkan subjek yang diteliti dengan subjek yang lain,
mengevaluasi subjek dengan nilai-nilai yang umum berlaku, membangun
hubungan antara subjek penelitian dengan lingkungan yang lebih besar. Hal
terakhir yang dilakukan dalam proses analisis data adalah interpretasi. Setelah
melakukan pemaparan data dan menganalisisnya, peneliti melakukan interpretasi
atas data analisis tersebut dan mengambil kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan.
5. Batasan Penelitian
Adapun batasan dari penelitian mengenai praktek komunikasi interpersonal
yang dilakukan anggota komunitas Salafi dengan masyarakat umum di luar
komunitasnya meliputi:
a. Waktu penelitian akan dilakukan selama tiga bulan yakni pada bulan
September-November.
b. Aspek yang diteliti mencakup proses komunikasi interpersonal yang
dilakukan perempuan Salafi dengan masyarakat umum. Proses komunikasi
interpersonal di sini merupakan komunikasi interpersonal yang dilakukan
secara langsung atau tatap muka. Sehingga dalam penelitian ini tidak
digambarkan komunikasi interpersonal yang dilakukan melalui media
komunikasi elektronik seperti telepon, handphone dan gadget sejenis
lainnya.
c. Subjek dalam penelitian ini adalah perempuan Salafi yang merupakan
penduduk Kampung Sawo Bantul DIY dengan masyarakat umum.
Sehingga penelitian ini tidak memberi gambaran mengenai perempuan
Salafi di Indonesia secara general.
d. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah perempuan Salafi yang
hanya merupakan bagian dari subkulur Salafi. Sedangkan laki-laki Salafi
sendiri tidak menjadi subjek penelitian. Sehingga penelitian ini tidak
mewakili komunitas subkultur Salafi secara keseluruhan.
e. Penelitian ini hanya mendalami praktek komunikasi interpersonal dan
strategi face negotiation yang dilakukan perempuan Salafi yang memiliki
latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Sehingga penelitian ini tidak
mewakili strategi face negotiation yang dilakukan perempuan Salafi yang
berada dalam latar ekonomi lainnya.
f. Karena hanya mendalami strategi face negotiation perempuan Salafi,
penelitian
ini
hanya
meninjau
praktek
komunikasi
interpersonal
perempuan Salafi sebagai komunikator dan tidak meninjau lebih dalam
strategi yang dilakukan pihak warga umum yang dalam penelitian ini
dilihat sebagai komunikan.
g. Konteks komunikasi yang diamati dalam penelitian ini adalah komunikasi
yang terjalin sehari-hari antara perempuan Salafi dengan warga umum
karena selama pengambilan data memang tidak dijumpai situasi yang
memberi ruang bagi munculnya dialog dan interaksi yang memuat topiktopik bahasan sensitif seperti: perbedaan konsep religius antara kedua
belah pihak.
Download