BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan salah satu elemen terpenting dalam kehidupan manusia. Komunikasi akan selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam situasi apapun. Komunikasi menjadi salah satu kunci dari kegiatan yang dilakukan untuk menyampaikan dan memperoleh pesan. Pentingnya sebuah komunikasi dilakukan oleh setiap individu adalah supaya tidak terjadi kesalahpahaman ataupun kekeliruan dalam menanggapi adanya suatu informasi. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan lambang yang mengandung arti, baik berupa informasi, pemikiran, pengetahuan dan lainnya, dari komunikator ke komunikan (Walgito, 2001: 75). Dalam proses komunikasi terdapat dua atau lebih orang yang terlibat dalam transmisi informasi. Sehingga pada dasarnya komunikasi menjadi faktor yang penting dalam menjalin hubungan interpersonal antara satu orang dengan yang lainnya. Mulyana (2009: 77) dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar menyatakan bahwa komunikasi tidak berlangsung dalam ruang hampa-sosial, melainkan dalam konteks atau situasi tertentu. Sehingga, komunikasi bisa terjadi di manapun, kapanpun, dan dengan siapapun serta dalam segala situasi, salah satu contohnya adalah komunikasi antara seseorang dengan temannya atau dengan tetangganya. Komunikasi interpersonal sendiri adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003: 85). Dapat dikatakan dalam kehidupan sosial, komunikasi tidak dapat dihindari. Untuk menyampaikan pesan kepada seseorang, seseorang dalam suatu masyarakat perlu melakukan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan nonverbal (Liliweri, 1991: 21). Setiap anggota masyarakat di dalam berbagai struktur masyarakat memiliki latar belakang sosial, agama, budaya, dan ekonomi yang berbeda. Perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, dan khususnya budaya mempengaruhi perbedaan tata cara dan kebiasaan dalam berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal tersebut. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam komunikasi tersebut dapat menyebabkan hambatan-hambatan dalam proses penyampaian maupun penerimaan pesan. Salah satu bagian dari struktur masyarakat yang secara menonjol memiliki perbedaan dalam tata cara berkomunikasi tersebut yakni komunitas Salafi. Komunitas Salafi memiliki tata cara berkomunikasi yang cukup berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang memungkinkan adanya hambatan dalam proses penyampaian maupun penerimaan pesan. Maka kemudian hal tersebut membutuhkan tinjauan lebih lanjut untuk menganalisis hambatan komunikasi yang ada dalam suatu struktur masyarakat. Sebelum masuk pada problematika komunikasi dalam komunitas ini, perlu dipahami mengenai latar belakang komunitas Salafi terlebih dahulu. Komunitas Salafi di Indonesia muncul sejak 1980-an dan berkembang pesat sejak berakhirnya kepemimpinan Soeharto (Hidayat, 2012: 2). Perkembangan ini didukung oleh sistem politik pada era reformasi yang cenderung terbuka, demokratis, dan lebih toleran pada keberagaman, sehingga kebebasan berekspresi bagi setiap orang dan kelompok terjamin adanya. Komunitas Salafi merupakan kaum yang mengikuti paham Salaf. Menurut para ulama, Salaf adalah sahabat (sahabat Rasulullah). Salaf ini diikuti dua generasi yaitu tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush sholih atau Salafi (orang-orang terdahulu yang sholih). Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Singkatnya, kaum Salafi merupakan suatu kaum yang mengikuti atau menerapkan tata cara kehidupan Rasulullah. Komunitas Salafi memiliki pandangan bahwa cara hidup terbaik adalah dengan mengikuti cara hidup Rasulullah yaitu tata cara yang sesuai kaidah agama. Tata cara tersebut diurai dari hadits-hadits 1 yang sahih 2 meliputi tata cara 1 Segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam 2 Sah; benar berpakaian, sekolah, dan komunikasi/interaksi. Dalam berpakaian, perempuan Salafi mengenakan pakaian jubah (jilbab besar dan pakaian besar yang tidak menunjukkan lekuk tubuh) dan umumnya bercadar untuk menjaga pandangan lelaki terhadap dirinya. Sedangkan laki-laki Salafi dianjurkan untuk memanjangkan jenggot dan mengenakan celana yang panjangnya tidak menutupi mata kaki atau congklang. Untuk sekolah, kaum Salafi mendalami ilmu-ilmu agama Islam secara khusus seperti tahfiz3. Selain memiliki tata cara tersendiri dalam berpakaian dan bersekolah, seperti yang telah disinggung sebelumnya, komunitas Salafi memiliki tata cara berkomunikasi yang cukup berbeda dengan masyarakat umum karena kaum Salafi menerapkan batasan yang sangat ketat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Dalam ajarannya, mereka melarang laki-laki dan perempuan untuk berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal kepada orang-orang yang bukan mahram4. Contohnya, seorang perempuan yang ingin berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan kepada seorang laki-laki beristri, maka perempuan tersebut harus menyampaikannya melalui istri laki-laki tersebut. Sedangkan komunikasi antara laki-laki yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami sama sekali tidak diperbolehkan. Di Indonesia, orang-orang pengikut paham salaf ini memiliki komunitaskomunitas di berbagai daerah. Di Yogyakarta ada beberapa daerah pemukiman khusus kaum Salafi, salah satunya di Kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman yang berlokasi di Dusun Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul. Seratus persen warga di dusun ini merupakan warga yang menganut paham Salaf. 5 Adapun sejarah terbentuknya pemukiman ini ialah diawali dengan dibangunnya Pondok Pesantren Jamilurrahman di Dusun Glondong, kemudian seiring berkembangnya informasi mengenai kehidupan di pondok tersebut orang-orang 3 Mengahafal Al-­‐Qur’an 4 Semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Berdasar surat An-­‐Nisa Ayat 22-­‐23, mahram atau yang haram dinikahi karena keturunan adalah ibu, puteri, saudari, saudari bapak (bibi), saudari ibu (bibi dari pihak ibu), puteri dari saudara laki-­‐laki maupun saudara perempuan. Yang haram dinikahi karena sepersusuan adalah ibu susu dan saudari susu. Yang haram dinikahi karena pernikahan yaitu istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, ibu istri kita dst. ke atas (contoh: nenek, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya) dan anak tiri yaitu puteri dari istri kita yang lahir dari selain kita. 5 Wawancara dengan Ibu Tinuk atau Ummu Rasyad pada 14 Maret 2015 dengan paham Salaf dari seluruh Indonesia mulai berdatangan dan bemukim di dusun tersebut. Orang-orang yang bermukim di daerah ini sebagian besar merupakan orangorang yang hidup dengan tata cara Salafi yang telah diuraikan sebelumnya. Mereka dilarang berkomunikasi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Di dalam masing-masing rumah telah diberi sekat (hijab) untuk membatasi ruang laki-laki dan perempuan, sehingga bila ada tamu laki-laki mereka akan masuk dalam ruang khusus laki-laki, dan perempuan pun juga akan berada di ruang perempuan. Dalam berkomunikasi lisan dalam ruang tersebut, satu sama lain antara perempuan dan laki-laki tidak akan saling melihat karena harus ditutup oleh hijab. Hal ini dilakukan untuk tidak saling bertatapan mata. Berdasar temuan Sabarudin (1999: 137) dalam risetnya yang berjudul Gerakan Salafiyah At-Turats Al-Islami Di Yogyakarta, ketatnya para Salafiyin dalam menerapkan hijab ini sering menjadi faktor penyebab keengganan dari masyarakat di sekitarnya untuk bergaul dengan mereka. Hal ini dianggap terlalu berlebihan oleh masyarakat sekitar. Perilaku sosial ini menunjukkan jika mereka terkesan menarik diri dari pergaulan, agak tertutup, sehingga banyak yang menganggap mereka kurang bisa bermasyarakat. Namun demikian, sebagian di antaranya masih membuka diri untuk berinteraksi dalam forum-forum sosial di masyarakat. Sabarudin juga menemukan fakta bahwa perempuan bercadar mengalami banyak hambatan dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat setempat. Adapun faktor penyebabnya antara lain karena mereka jarang keluar rumah selain jika ada hajat, dan apabila keluar rumah mereka selalu memakai cadar, sehingga komunikasi mereka sangat terbatas hanya dengan kalangan ibuibu atau remaja putri yang sangat terbatas pula (Sabarudin, 1999: 140). Pengenaan cadar oleh perempuan Salafi maupun sekat pembatas di dalam rumah agar perempuan dan laki-laki tidak menatap langsung lawan bicara yang bukan mahramnya, tentu membatasi aspek nonverbal untuk memperkuat pesan dalam komunikasi interpersonal. Menurut DeVito (1997: 40) dalam berkomunikasi perilaku verbal dan nonverbal saling memperkuat dan mendukung sehingga semua bagian dari sistem pesan biasanya bekerja bersama-sama untuk mengkomunikasikan makna tertentu. Terutama dalam komunikasi interpersonal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, perilaku verbal dan nonverbal menjadi aspek yang saling berkesinambungan untuk mewujudkan proses komunikasi yang efektif. Secara spesifik, dalam bertukar informasi di tempat-tempat yang tidak terdapat sekat pembatas di dalam ruangan, perempuan Salafi juga sangat ketat menjaga diri. Pertukaran informasi kepada seseorang yang bukan mahramnya dilakukan melalui istri-istri bagi yang beristri, dan melalui antar ibu bagi anakanak yang belum menikah. Hal ini tidak hanya berlaku dalam konteks komunikasi interpersonal secara langsung, tapi termasuk bertukar informasi melalui SMS atau telepon juga harus melalui istri-istri. Namun demikian, ada kondisi-kondisi tertentu yang pada akhirnya tetap mengharuskan mereka untuk saling berbicara langsung seperti ketika adanya bencana, kebakaran, adanya ular yang masuk rumah, dan lain-lain.6 Dapat diketahui bila komunikasi atau pertukaran informasi tetap dapat dilakukan antara perempuan Salafi dengan lelaki yang bukan mahramnya, namun dengan tata cara yang sesuai dengan manhaj7 salaf yang diyakininya yaitu melalui perantara perempuan yang merupakan mahram dari lelaki tersebut. Segala bentuk penjagaan citra diri dalam berkomunikasi dan berinteraksi ini bagi perempuan Salafi adalah wujud dari pengamalan agama Islam. Salah satu ajaran Islam yang asasi adalah “menghormati wanita” (Roqib, 2003: 34). Adanya ketentuan bagi perempuan muslimah dalam berbusana tertutup dan berinteraksi dengan lelaki non-mahram dalam konsepsi Islam adalah bentuk penghormatan dan perlindungan kepada mereka yang secara fitrah8 berbeda dengan laki-laki (Asy-Syarif, 2009). Sehingga perlu dipahami bila tuntunan dalam menutup aurat dan menjaga diri dalam berkomunikasi bukanlah untuk merendahkan dan membatasi perempuan, karena justru kedudukan perempuan dalam konsep Islam adalah terhormat dan sangat berharga sehingga perlu menjaga diri sebaik-baiknya. Hanifah (2013: 9) dalam penelitiannya mengenai Identitas Cadar Bagi Perempuan Bercadar, menemukan bila pengenaan cadar sendiri di kalangan perempuan Salafi adalah bentuk dari penjagaan citra diri dan sebagai identitas 6 Wawancara dengan Ibu Panca atau Ummu Fathi pada 30 April 2014 7 Jalan yang jelas dan terang; metode; cara 8 Kejadian atau awal mula penciptaan feminis yang bersifat religi, atau dapat dikatakan merupakan bentuk penjagaan kehormatan diri maupun agama. Menurut Hanifah (2013: 11), cadar bagi perempuan Salafi berperan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan bahwa seorang muslimah yang menggunakannya adalah muslimah yang melindungi diri atau tubuhnya, karena wajah atau kecantikan diri dianggap sebagai sumber fitnah sehingga perlu dilakukan adanya proteksi diri. Melalui cadar perempuan Salafi berupaya membangun citra diri sebagai muslimah yang terhormat karena mampu menjaga diri sesuai dengan syariat agama Islam. Namun demikian, pengenaan cadar ini membangun sebuah perilaku sosial yang eksklusif terhadap kelompok masyarakat di sekitar mereka. Sikap ini menunjukkan identitas personal mereka sebagai seorang muslimah menurut ideologi kelompok mereka dan ini berarti orang lain atau perempuan lain tanpa identitas ini bukanlah bagian dari kelompok mereka (Hanifah, 2013: 18). Perilaku penjagaan citra diri dan terbangunnya citra diri baik sebagai muslimah terhormat dan adanya eksklusivitas yang muncul karena pengenaan cadar sebenarnya tergantung dari bagaimana perempuan Salafi sendiri menegosiasikan citra diri tersebut terhadap masyarakat umum. Negosiasi citra diri ini dapat dilakukan melalui komunikasi interpersonal karena menurut Liliweri (1991: 12) komunikasi interpersonal adalah jenis komunikasi yang paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena sifatnya yang dialogis, berupa percakapan. Dapat dipahami jika komunikasi interpersonal mampu mengubah pendapat maupun pandangan seseorang atas suatu objek termasuk pandangan atas citra diri seseorang. Melalui komunikasi interpersonal, perempuan Salafi memiliki kesempatan untuk menegosiasikan citra diri mereka di hadapan masyarakat umum sebagai diri yang memang menutup diri dan eksklusif dalam konteks sosial atau sebagai diri yang masih dapat bermasyarakat dan “terbuka” dalam kehidupan sosial. Citra diri akan terbentuk tergantung dari bagaimana komunikasi interpersonal yang mereka lakukan. Bagi sesama Salafi, khususnya perempuan yang secara penampilan fisik mudah dikenali, tata cara berkomunikasi Salafi maupun citra eksklusif yang menempel pada diri mereka tidaklah menjadi kendala dalam hubungan sosial. Apalagi para perempuan di kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman yang notabene seluruh warganya adalah Salafi. Namun banyaknya warga Salafi dari berbagai bagian di Indonesia yang datang bermukim tidak semuanya dapat ditampung di Kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman, sehingga warga Salafi yang tidak tertampung mencari tempat tinggal yang dekat dengan Kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman seperti di Kampung Sawo. Kampung Sawo merupakan kampung terdekat dari Kompleks Pondok Pesantren Jamilurrahman yang warga aslinya merupakan warga umum di daerah Bantul yang tidak menganut paham Salaf. Seiring perkembangannya sejak tahun 2006, sekitar 40% warga yang tinggal di Kampung Sawo merupakan kaum Salafi (Ummu Rasyad, 14 Maret 2015). Meskipun warga Salafi di Kampung Sawo menerapkan tata cara hidup dan berkomunikasi sesuai dengan manhaj salaf yang diyakini, hingga saat ini mereka dapat hidup berdampingan dengan warga umum (Ummu Rasyad, 21 Maret 2015). Warga umum di sini adalah warga di luar komunitas Salafi yang dalam kesehariannya memang tidak menerapkan tata cara hidup dan berkomunikasi seperti komunitas Salafi. Padahal seperti yang telah diketahui dari penelitian Sabarudin sebelumnya bahwa tata cara berkomunikasi dan berinteraksi komunitas Salafi, khususnya perempuan Salafi mengalami banyak hambatan dalam berinteraksi sosial karena mengenakan cadar. Aspek-aspek komunikasi interpersonal di sini meliputi hambatan maupun batasan diri perempuan Salafi dalam berkomunikasi dan pengenaan cadar yang selain membatasi komunikasi nonverbal juga membentuk citra eksklusif yang kurang menyatu dengan masyarakat pada diri perempuan Salafi menjadi pertimbangan peneliti untuk mengkaji lebih lanjut mengenai praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi. Mengacu pada pemahaman perempuan Salafi dalam menutup aurat hingga mengenakan cadar guna menjaga diri serta membatasi diri dalam berkomunikasi ini, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai praktek komunikasi interpersonal yang dilakukan para perempuan Salafi dengan masyarakat umum di Kampung Sawo. Secara lebih lanjut, merujuk pada penelitian Hanifah mengenai identitas perempuan bercadar, maka dalam penelitian ini juga akan menelisik bagaimana peranan komunikasi interpersonal tersebut dalam menegosiasikan citra diri perempuan Salafi. Hal ini menarik untuk didalami karena eksklusivitas dianggap terbangun karena adanya pengenaan cadar, namun di Kampung Sawo justru perempuan Salafi dapat hidup berdampingan dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. Sehingga peneliti ingin didalami meskipun mengenakan cadar, bagaimana negosiasi citra diri mereka sebagai bagian dari masyarakat sehingga dapat hidup berdampingan dengan masyarakat umum. B. Rumusan Masalah Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi dengan masyarakat umum di luar komunitasnya di Kampung Sawo Bantul? Pertanyaan sekunder dalam penelitian ini meliputi: 1. Bagaimana praktek komunikasi yang dilakukan komunikator terhadap bermacam kelompok komunikan? 2. Bagaimana strategi face negotiation yang dilakukan komunikator dalam proses komunikasi interpersonal? C. Tujuan Penelitian Adapun dari penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui komunikasi interpersonal perempuan Salafi yang terjalin dengan masyarakat Kampung Sawo Bantul di luar komunitasnya. 2. Mengetahui bagaimana peranan komunikasi interpersonal yang dilakukan perempuan Salafi dalam menegosiasikan citra diri mereka. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diberikan melalui penelitian ini, meliputi: 1. Manfaat akademis -­‐ Sebagai kajian dalam bidang komunikasi interpersonal -­‐ Menjadi tambahan referensi bagi penelitian selanjutnya 2. Manfaat praktis - Memberikan tambahan informasi mengenai tata cara berkomunikasi suatu budaya masyarakat yang menganut paham Salaf di Indonesia - Memberi gambaran mengenai komunikasi interpersonal yang dilakukan komunitas Salafi, khususnya perempuan Salafi terhadap masyarakat umum E. Kerangka Pemikiran Untuk menjelaskan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti memaparkan beberapa teori yang terbagi dalam sub judul Penelusuran Praktek Komunikasi Interpersonal Melalui Pesan Verbal dan Nonverbal, Strategi Face negotiation dalam Komunikasi Interpersonal, Komunikasi Perempuan Salafi dalam Ranah Gender, dan Perempuan Salafi Sebagai Bagian dari Komunitas Subkultur Salafi. Adapun teori komunikasi interpersonal yang akan dibahas merupakan dimensi komunikasi yang akan ditinjau. Teori face negotiation secara lebih lanjut akan digunakan sebagai pisau analisis atas komunikasi interpersonal yang dikaji. Komunikasi gender memaparkan perspektif komunikasi dalam menganalisis komunikasi interpersonal perempuan Salafi. Sub judul Perempuan Salafi membahas mengenai pemahaman serta cara hidup yang diterapkan oleh perempuan Salafi. 1. Penelusuran Praktek Komunikasi Interpersonal Melalui Pesan Verbal dan Nonverbal Komunikasi interpersonal menurut Joseph A. Devito (1989: 4) dalam bukunya The Interpersonal Communication Book adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orangorang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Senada dengan Liliweri (2003: 21) yang berpendapat jika komunikasi interpersonal adalah berkomunikasi dengan seseorang secara informal dan tidak berstruktur, yang terjadi di antara dua atau tiga orang. Berdasar pada definisi-definisi tersebut dapat dikatakan jika komunikasi interpersonal dapat terjadi dalam berbagai kondisi karena terjadi secara tidak berstruktur dan tidak dalam konteks tertentu, seperti misalnya dalam percakapan melalui telepon, percakapan tatap muka antar ibu dan anak, dan percakapan antara penjual dan pembeli di pasar. Proses komunikasi interpersonal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor personal maupun kelompok. Faktor-faktor personal tersebut meliputi faktor kognitif seperti konsep diri, persepsi, sikap, orientasi diri, dan harga diri (Liliweri, 2003: 21). Karena berlangsung antara dua individu atau di antara sekelompok kecil orang, komunikasi antarpribadi mengandalkan pemahaman antarpribadi dalam proses psikologis. Setiap individu memiliki pemahaman dan makna pribadi terhadap setiap hubungan dan interaksi yang ia terlibat di dalamnya. Faktor-faktor personal lah yang mempengaruhi pemahaman dan pemaknaan tersebut. Sebagai seorang individu dan bagian dari masyarakat, perempuan Salafi maupun masyarakat umum di luar komunitasnya tersebut akan memiliki faktor personal yang berbedabeda dalam melihat hubungan yang terjalin di antara mereka. Bentuk komunikasi interpersonal secara spesifik didefinisikan oleh Beebe, Beebe, dan Redmond (1996: 6) sebagai “a special form of human communication that occurs when we interact simultaneously with another person and mutually influence each other.” Komunikasi interpersonal diartikan sebagai bentuk khusus dari komunikasi manusia yang terjadi ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain secara bersamaan atau simultan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Interaksi simultan yang dimaksud di sini adalah ketika mitra komunikasi keduanya bertindak atas informasi yang sama pada waktu yang sama. Saling mempengaruhi berarti bahwa interaksi itu mempengaruhi pikiran mereka, perasaan mereka, dan cara mereka menafsirkan informasi yang mereka tukar (Beebe, Beebe, dan Redmond, 1996: 6). Dapat dikatakan jika bentuk dari komunikasi interpersonal adalah apabila kita berinteraksi dengan orang lain secara simultan atas informasi yang sama dan pada waktu yang sama, kemudian interaksi tersebut saling mempengaruhi pikiran, perasaan, dan cara menafsirkan informasi. Dapat dipahami bahwa melalui proses komunikasi interpersonal, pikiran, perasaan, dan cara menafsirkan informasi seorang komunikan dapat dipengaruhi oleh komunikatornya. Komunikasi interpersonal dengan masing-masing orang berbeda tingkat kedalaman komunikasinya, tingkat intensifnya, dan tingkat ekstensifnya (Hardjana, 2003: 85). Artinya, komunikasi interpersonal yang dilakukan dengan seseorang dengan sahabatnya yang memiliki kadar kedekatan yang tinggi akan berbeda dengan seseorang yang baru saja dikenal. Menurut Hardjana (2003: 87) komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang berproses pengembangan. Komunikasi berkembang dari awal yang dangkal kemudian berlanjut semakin mendalam dan berakhir dengan saling pengenalan yang amat mendalam. Namun demikian, dalam situasi tertentu pengenalan ini juga dapat terputus. Sehingga melalui komunikasi interpersonal, hubungan antara seseorang dengan seorang lainnya dapat melalui taraf pengembangan maupun sebaliknya tergantung dari kualitas komunikasi interpersonal yang terjalin. Liliweri (1991: 13-14) merumuskan ciri-ciri dari komunikasi interpersonal meliputi: 1) spontan dan terjadi sambil lalu saja (umumnya tatap muka); 2) tidak mempunyai tujuan terkebih dahulu; 3) terjadi secara kebetulan di antara peserta yang tidak mempunyai identitas yang belum tentu jelas; 4) berakibat sesuatu yang disengaja maupun tidak disengaja; 5) kerap kali berbalas-balasan; 6) mempersyaratkan adanya hubungan paling sedikit dua orang, serta hubungan harus bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan; 7) harus membuahkan hasil; 8) menggunakan pelbagai lambang-lambang bermakna. Salah satu ciri yang perlu digarisbawahi adalah komunikasi interpersonal dikatakan sukses jika membawa hasil. Komunikasi interpersonal melibatkan dua orang atau lebih dalam keadaan bebas dan saling mempengaruhi, saling bercakap-cakap berbalasan, membuahkan hasil disengaja dan tidak disengaja dan didorong oleh banyak faktor pendorong, maka hasil-hasil komunikasi harus nyata merubah cara pandang atau wawasan, perasaan, maupun perilaku yang nyata (Liliweri, 1991: 18). Hal ini senada dengan pendapat Effendi (2008: 8) bahwa komunikasi interpersonal sebagai komunikasi antara komunikator dengan komunikan, dianggap sebagai jenis komunikasi yang paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang. Perubahan sikap ini mampu diwujudkan dalam komunikasi interpersonal karena sifatnya yang dapat secara langsung mendapat timbal balik. Komunikasi interpersonal berperan menggiring pemikiran seseorang karena komunikasi interpersonal merupakan proses yang berkembang dan berlangsung secara berkesinambungan. Dari ciri-ciri ini dapat diketahui bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses yang dinamis dan umumnya informal. Meskipun komunikasi interpersonal ini sangat “cair”, DeVito (1997: 259-263) memformulasikan komunikasi interpersonal ini akan berjalan secara efektif apabila memenuhi aspek-aspek antara lain sebagai berikut: a. Keterbukaan (Openness) Keterbukaan adalah adanya kesediaan untuk membuka diri. Keterbukaan seseorang dalam komunikasi ditunjukkan oleh adanya pengungkapan informasi mengenai diri pribadi, kesediaan untuk bereaksi secara jujur atas pesan yang disampaikan orang lain, adanya “kepemilikan” dari perasaan dan pikiran, adanya kebebasan mengungkapkan perasaan dan pikiran, serta adanya tanggung jawab terhadap pengungkapan tersebut. b. Empati (Empathy) Berempati adalah merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain tanpa kehilangan identitas diri sendiri. Empati memungkinkan seseorang untuk mengerti baik secara emosional maupun intelektual atas apa yang dirasakan orang lain. c. Dukungan (Supportiveness) Dukungan dipahami sebagai lingkungan yang tidak mengevaluasi (descriptivenes). Dukungan dapat dilihat dari sikap: (a) deskriptif, tidak evaluatif, (b) spontan, bukan strategic, dan (c) provisional, bukan sangat yakin. Dukungan dalam komunikasi ditunjukkan oleh kebebasan individu dalam mengungkapkan perasaannya, tidak malu, tidak merasa dirinya menjadi bahan kritikan. Individu dapat berfikir secara terbuka, mau menerima pandangan yang berasal dari orang lain, serta bersedia untuk mengubah diri jika perubahan dipandang perlu. d. Sikap Positif (Positiveness) Sikap positif dalam komunikasi diwujudkan dengan menyatakan sikap positif dan secara positif mendorong orang menjadi teman kita dalam berinteraksi atau menjadi lawan interaksi. Komunikasi interpersonal dapat terbina dan terjalin dengan baik jika seseorang memiliki rasa positif terhadap diri sendiri. Perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Sikap positif dalam komunikasi ditunjukkan oleh adanya kejelasan dan kepuasan dalam proses komunikasi. e. Kesetaraan (Equality) Kesetaraan adalah adanya kedudukan yang sama dalam suatu hal atau kondisi (status). Kesederajatan dalam komunikasi interpersonal, ditunjukkan oleh adanya rasa saling menghormati antara pelaku komunikasi. Ketika kelima aspek di atas dilakukan dalam interaksi komunikasi interpersonal, dapat dikatakan komunikasi interpersonal yang terjadi di antara dua orang atau lebih berjalan secara efektif. Kelima aspek ini menjadi acuan untuk meninjau komunikasi interpersonal yang terjalin ketika perempuan Salafi berkomunikasi dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. Beebe, Beebe, dan Redmond (1996: 15) menyebutkan terdapat beberapa konteks dalam komunikasi interpersonal yakni psikologis, relasional, situasional, lingkungan, dan budaya. Konteks psikologis meliputi siapa diri kita dan apa yang kita bawa dalam suatu interaksi. Konteks relasional adalah reaksi kita terhadap orang lain menyangkut tingkat kepercayaan, tingkat keterbukaan diri, tingkat kekuasaan dan kontrol, dan sejarah yang kita bagi. Konteks situasional adalah peristiwa atau alasan kita berkomunikasi, seperti belajar di sekolah untuk menuntut ilmu. Konteks lingkungan adalah lingkungan fisik di mana kita berkomunikasi. Konteks budaya meliputi semua unsur budaya (perilaku dan aturan) yang mempengaruhi interaksi. Kelima konteks ini akan berlangsung di dalam setiap aktivitas interaksi yang kita lakukan dengan orang lain (Beebe, Beebe, dan Redmond, 1996: 15). Lebih lanjut perlu dipahami pula mengenai sistem seperti apa yang diusung dalam komunikasi interpersonal. Sistem komunikasi interpersonal merupakan sistem yang mengatur konsepsi diri seorang individu. Konsepsi diri seseorang adalah kesatuan ide mengenai bagaimana karakter, jenis, atau definisi dari seseorang tersebut (Chusman dan Craig, 1976: 44). Ada dua poin penting dalam konsepsi diri di sini yakni konsepsi diri bersifat individu dan ada hubungan kausal timbal balik antara konsepsi diri seseorang dengan apa yang orang lain pikirkan mengenai diri seseorang tersebut. Menurut Chusman dan Craig (1976: 44) yang dimaksud dengan hubungan kausal timbal balik ini adalah presentasi seseorang diri kepada orang lain akan mempengaruhi kesan yang dimiliki orang lain atas seseorang tersebut, dan reaksi orang lain tersebut akan kembali mempengaruhi konsepsi diri seseorang. Konsepsi diri ini tergantung pada hubungan pribadi seseorang dengan orang lain, atau dapat dikatakan sebagai hubungan interpersonal. Sistem interpersonal muncul dari interaksi bermasyarakat. Sistem interpersonal cenderung berkembang berdasar pada gaya pribadi dan pengalaman individu. Sedangkan proses khas sistem komunikasi interpersonal melibatkan pengembangan, presentasi, dan validasi konsepsi diri. Seseorang dalam interaksi mengusulkan identitas diri dan lainnya. Konsepsi yang diusulkan tersebut akan diterima atau ditolak oleh orang lain dalam proses negosiasi “diam-diam”, dan inilah yang menciptakan hubungan responsif terhadap kebutuhan hubungan mereka (Chusman dan Craig, 1976: 44). Interaksi bermasyarakat merupakan hal penting dalam menjalin sistem interpersonal dalam komunikasi, sehingga jika membicarakan komunikasi interpersonal tidak dapat lepas dari komunikasi organisasi sosial dan budaya. Budaya, organisasi sosial, dan interpersonal saling mempengaruhi satu sama lain (Chusman dan Craig, 1976: 44). Misalnya saja, kelancaran kerja organisasi sosial tergantung dari iklim interpersonal yang meliputi kualitas hubungan pribadi antara anggota organisasi. Dengan kata lain, kita tidak bisa memahami sebuah sistem komunikasi interpersonal tanpa memahami lingkungan organisasi sosial dan budaya. Aspek sosial dan budaya akan tetap mengambil bagian dari analisis mengenai komunikasi interpersonal ini. Komunikasi interpersonal melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan nonverbal (Liliweri, 1991: 31). Dalam proses komunikasi secara interpersonal dengan orang lain, segala aspek di dalam diri akan turut terlibat mengungkap pesan-pesan baik itu yang ditunjukkan melalui verbal kita ataupun nonverbal. Komunikasi verbal merupakan pertukaran makna melalui bahasa atau kata-kata. Bahasa sendiri dapat didefinisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung makna (Cangara, 2007: 99). Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita (Mulyana, 2009: 261). Bahasa di seluruh dunia ini telah diidentifikasi dalam berbagai jenis yang umumnya ditinjau dari aspek budaya dan geografis. Keberadaan suatu komunitas subkultur atau sub budaya menimbulkan adanya subbahasa. Subbahasa digunakan untuk menunjuk pada bahasa khas yang digunakan oleh kelompok atau subkultur tertentu yang ada dalam kultur yang lebih besar dan lebih dominan (DeVito, 1997: 158). Komunikasi yang dilakukan secara verbal sendiri dapat meliputi penggunaan kata-kata yang diutarakan secara lisan maupun tertulis. Kata-kata adalah simbol-simbol yang merepresentasikan sesuatu. Kata yang dihasilkan seseorang akan memicu suatu gambar, suara, konsep, atau pengalaman (Beebe, Beebe, dan Redmond, 1996: 168). Jika kita mendengar suatu kata, di dalam benak kita akan terdorong untuk membayangkan hal-hal yang berkenaan dengan kata tersebut. Kita bisa membayangkan suaranya, wujudnya, atau kenangan kita atas kata yang kita dengar tersebut. Namun demikian, setiap kata mengandung konteks yang terikat tergantung pada situasi apa kata-kata tersebut digunakan (Beebe, Beebe, dan Redmond, 1996: 169). Sehingga kata-kata yang terpatri dalam benak akan membentuk makna tergantung pada konteks yang digunakan. Melalui kata-kata seseorang dapat memiliki pemahaman atau pemaknaan atas segala sesuatu. Beebe, Beebe, dan Redmond (1996: 175) berpendapat jika katakata juga merupakan alat bagi seseorang untuk menamai atau melabeli sesuatu yang seseorang alami. Seseorang dapat menunjukkan suasana hati dan emosinya melalui kata-kata yang digunakan. Sehingga melalui kata-kata yang terkandung dalam komunikasi verbal, seseorang dapat mengetahui perasaan dan emosi lawan bicaranya dan juga sebaliknya. Dan yang terpenting adalah, kata-kata memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang (Beebe, Beebe, dan Redmond, 1996: 175). Dengan kata-kata yang seseorang sampaikan kepada orang lain, lawan bicaranya dapat membayangkan gambar, suara, maupun pengalaman dan kesemuanya ia olah dalam suatu pemikiran. Secara simultan, jika kata-kata tersebut terus disusun untuk menggiring pemikiran seseorang maka tidaklah kecil kemungkinannya bila pemikiran atau tindakan seseorang tersebut dapat berubah. Di samping komunikasi verbal, komunikasi yang ditunjukkan secara nonverbal juga tidak dapat lepas dari proses komunikasi interpersonal. Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi yang dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik (Budyatna dan Mona, 2011: 110). Adapun fungsi dari komunikasi nonverbal dalam proses interaksi antara lain pengulangan (to repeat), penekanan (to emphasize), melengkapi (to complement), dan menentang (to contradict). Komunikasi nonverbal terdiri dari beberapa bentuk antara lain kinesics, proxemics, dan paralanguage. Kinesics atau kinesik dikenal sebagai bahasa tubuh atau gerakan tubuh. Kinesik merupakan komunikasi nonverbal melalui gerakan tubuh seseorang atau bagian-bagian tubuh (Morissan, 2009: 93). Proksemik (proxemics) merupakan studi mengenai ruang informal di sekitar tempat yang kita gunakan dalam suatu saat. Proksemik lebih menekankan pada jarak yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Aspek terakhir dalam komunikasi secara nonverbal yakni paralanguage. Paralanguage atau “suara” nonverbal yang terdengar bersamaan dengan pengucapan bahasa verbal. Paralanguage adalah pola titinada, volume, kecepatan, dan kualitas. Lingkup paralanguage atau paralinguistik umumnya masuk dalam kajian ilmu budaya, sehingga pada penelitian ini aspek paralinguistik tidak menjadi salah satu aspek utama yang digali. Suatu komunikasi interpersonal harus ditandai dengan adanya umpan balik. Umpan balik pribadi mengacu pada respons verbal maupun nonverbal dari seorang komunikan maupun komunikator secara bergantian. Umpan balik ini tidak mungkin ada jika tidak ada interaksi atau kegiatan dan tindakan yang menyertainya (Liliweri, 1991: 38). Jucius (1967) dalam Liliweri (1991: 38) mengemukakan bahwa interaksi dalam komunikasi interpersonal merupakan satu kekuatan pendukung. Ada lima hal yang harus diketahui dalam interaksi terhadap sesama, yaitu: 1) dengan siapa individu mengadakan hubungan; 2) seberapa sering, eratnya maupun renggangnya hubungan tersebut; 3) bagaimana status dan peranan individu di dalam lingkungan kerja maupun lingkungan pribadinya; 4) bagaimana ikatan-ikatan dengan organisasi sosial maupun politik, anggota kelompoknya; 5) pertemuan-pertemuan apa yang dihadiri oleh individu dalam kelompok yang diteliti. Kelima hal ini perlu dipertimbangkan sebelum menganalisis lebih lanjut mengenai praktek komunikasi interpersonal. Adapun bentuk-bentuk komunikasi verbal dan nonverbal yang telah dipaparkan sebelumnya akan diamati untuk meninjau praktek komunikasi interpersonal yang dilakukan perempuan Salafi dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. Berkenaan dengan negosiasi citra diri yang dilakukan oleh perempuan Salafi dalam komunikasi interpersonalnya lebih lanjut dipaparkan dalam teori face negotiation. 2. Strategi Face Negotiation dalam Komunikasi Interpersonal Di samping komunikasi interpersonal, face negotiation menjadi teori tambahan yang digunakan untuk menganalisis praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi. Teori ini digunakan karena menurut Ting-Toomey setiap orang dalam tiap budaya akan selalu menegosiasikan atau merundingkan citra diri (face) mereka (Griffin, 2006: 440). Face sendiri didefinisikan oleh Ting-Toomey & Kurogi (1998) sebagai “a claimed sense of favorable social self-worth that a person wants others to have of her or him” (Gudykunst dan Kim, 2003: 312). Face dikatakan sebagai klaim sosial atas diri seseorang yang ia harapkan dimiliki oleh orang lain. Face merupakan citra diri seseorang yang ia inginkan orang lain pikirkan tentang dirinya. Definisi ini seirama dengan Brown dan Levinson (1978) yang menganggap face sebagai citra diri individu secara publik, dan mereka juga menghubungkan face dengan “kesopanan” (Gudykunst dan Kim, 2003: 306). Cupach dan Imahori (1993a) berpendapat jika pemeliharaan face adalah kondisi alami dan tak terelakkan dari interaksi manusia (Gudykunst dan Kim, 2003: 120). Dapat dikatakan jika negosiasi face dilakukan dalam medium komunikasi interpersonal karena face melekat pada diri seseorang secara alami pada saat seseorang melakukan komunikasi antar manusia atau sesamanya. Kemampuan untuk mempertahankan face dalam interaksi juga merupakan salah satu indikator kompetensi komunikasi individu (Gudykunst dan Kim, 2003: 120). Ting-Toomey, et.al (2000) mengamati jika face yang berkaitan dengan keuntungan diri terjadi dalam situasi interpersonal (West dan Turner, 2010: 450). Namun demikian, face bukan sekedar hal yang bersifat individu karena face dipertimbangkan dalam kaitannya dengan orang-orang dalam jaringan sosial individu (Ho, 1976 dalam Gudykunst dan Kim, 2003: 306). Sehingga kebutuhan akan face ini akan muncul justru ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Ho (1976) menekankan jika face tidaklah muncul ketika seseorang tidak bergantung pada orang lain, justru face muncul ketika seseorang saling bergantung dengan orang lain (Gudykunst dan Kim, 2003: 306). Sehingga kebutuhan akan face yang ingin ditampilkan seseorang diinterpretasi dalam dua cara utama yaitu kepedulian akan muka (face concern) dan kebutuhan akan muka (face need). Kebutuhan akan muka sendiri terdiri dari dua kebutuhan universal yakni kebutuhan muka positif (positive face) dan kebutuhan muka negatif (negative face). Positive face mengacu pada kebutuhan individu untuk persetujuan sosial, koneksi, dan inklusi, atau dapat dikatakan jika seseorang ingin divalidasi dan dianggap positif oleh orang lain. Sedangkan negative face mengacu pada kebutuhan individu untuk otonomi diri dan kemandirian. Hal ini menunjukkan kebutuhan seseorang untuk bebas dari hambatan dalam interaksi sosial (Brown dan Levinson, 1987, dalam Miller, 2002: 287). Kedua kebutuhan face ini tidak selalu bertentangan satu sama lain, atau dapat dikatakan seseorang dapat menginginkan otonomi dan persetujuan serta koneksi sosial secara bersamaan (Miller, 2002: 287). Lim (1994) dalam Canelon dan Ryan (2013: 112) menyatakan adanya tiga karakteristik dari face antara lain: (1) Face tidaklah bersifat pribadi, melainkan bersifat publik. Face bukanlah mengenai apa yang seseorang pikirkan tentang dirinya sendiri, namun mengenai apa yang seseorang pikirkan mengenai apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya; (2) Face berhubungan dengan citra diri yang diproyeksikan oleh seseorang, yang mungkin bertepatan maupun tidak bertepatan dengan penilaian orang lain terhadap dirinya yang sesungguhnya; (3) Face didefinisikan sebagai nilai-nilai sosial yang positif. Oetzel, et.al (2000) dalam Canelon dan Ryan (2013: 112) menekankan pula bahwa face adalah sumber daya yang mewakili klaim citra diri positif seseorang dalam konteks interaksi sosial. Dapat ditarik kesimpulan jika face cenderung kepada citra positif yang seseorang inginkan orang lain pikirkan tentang dirinya. Face dapat hilang, disimpan atau dilindungi dan setiap orang ingin menyajikan dan melindungi citra diri publiknya sendiri (Brown & Levinson, 1987; Goffman, 1967; Ting-Toomey, 1988 dalam Canelon dan Ryan, 2013: 112). Untuk melindungi atau menjaga face ini maka seseorang akan melakukan facework. Setiap orang akan melakukan facework atau menciptakan dan melindungi citra mereka melalui pesan verbal dan nonverbal (Griffin, 2006: 441). Contohnya, seorang perempuan hendak meminta temannya untuk lebih menutup aurat dengan mengenakan jilbab. Untuk menjaga face di hadapan temannya agar tidak terlihat terlalu menggurui, alih-alih menyuruh temannya untuk mengenakan jilbab, ia mengatakan jika temannya akan tampak lebih cantik jika mengenakan jilbab. Upaya menjaga face merupakan salah satu wujud facework. Facework merupakan tindakan-tindakan yang digunakan untuk menghadapi kebutuhan atau keinginan muka diri. Dapat dikatakan jika facework berupa tindakan verbal maupun nonverbal untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial seseorang dan menyerang atau menyelamatkan citra sosial orang lain. Terdapat tiga jenis facework yaitu: facework kepekaan (tact facework) yakni merujuk pada batas di mana seseorang menghargai otonomi orang lain; facework solidaritas (solidarity facework) yakni berhubungan dengan seseorang menerima orang lain sebagai anggota kelompok dalam (in-group); dan facework keperkenaan/pujian (approbation facework) yaitu meminimalkan penjelekan dan memaksimalkan pujian kepada orang lain. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hilangnya face memiliki konsekuensi langsung terhadap interaksi interpersonal di masa depan (Brown dan Levinson, 1987; Hodgins et al 1996 dalam Canelon dan Ryan, 2013: 112) Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan Lin (2010) bahwa bertindak untuk mepertahankan face dalam suatu hubungan sangat penting untuk menjaga hubungan yang harmonis (Canelon dan Ryan, 2013: 112). Face menjadi hal penting ketika seseorang akan menjalin hubungan secara interpersonal. Seseorang akan mempertahankan face dalam rangka menjaga hubungan dengan orang lain. Maka facework akan selalu dilakukan dalam upaya melakukan penjagaan face ketika berkomunikasi secara interpersonal. Teori face negotiation mengenalkan bagaimana seseorang akan melakukan negosiasi penjagaan face sesuai dengan kebutuhan yang ia ingin ia wujudkan. Asumsi dasar dari teori ini dipaparkan oleh Oetzel, et.al (2000) meliputi: 1) Orang-orang di semua budaya melakukan negosiasi face selama situasi komunikasi berjalan; 2) Face memainkan peran penting dalam situasi ketidakpastian, seperti konflik; 3) Variabel situasional mempengaruhi penggunaan perilaku facework dalam pertemuan interpersonal maupun antarkelompok (Canelon dan Ryan, 2013: 112). Dapat dipahami jika face negotiation dilakukan dalam proses komunikasi, berperan penting dalam konflik, dan situasi interpersonal dan kelompok akan mempengaruhi facework yang dilakukan seseorang. Teori ini menggabungkan dua masalah mengenai face yaitu self-face dan other-face. Self-face mengacu pada kekhawatiran untuk imej diri sendiri, sedangkan other-face mengacu pada kekhawatiran pada imej orang lain. Kemudian mutual-face adalah perhatian simultan pada imej kedua belah pihak (Canelon dan Ryan, 2013: 112). Pemikiran penting yang dalam teori ini menurut Ting-Toomey yaitu, pertama, identitas diri merupakan hal penting dalam interaksi interpersonal, dan setiap individu menegosiasikan identitas mereka berbeda antar budaya satu dengan yang lain (West dan Turner, 2010: 453). Cupach dan Metts (1994) mengamati bahwa ketika orang bertemu, mereka menyajikan citra diri dari siapa mereka sesungguhnya dalam interaksi. Citra diri ini adalah identitas yang ia inginkan seseorang asumsikan atau terima mengenai dirinya. Identitas diri ini mencakup pengalaman kolektif, pemikiran, ide, kenangan, dan rencana seseorang (West dan Turner, 2009 dalam West dan Turner, 2010: 453). Asumsi kedua dalam teori ini adalah manajemen konflik dimediasi oleh face. Bagi Ting-Toomey (1994b) dalam (West dan Turner, 2010: 453), konflik dapat merusak citra diri sosial seseorang dan dapat berfungsi untuk mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. Menurut Ting-Toomey, konflik adalah "forum" untuk kehilangan muka (face loss) dan wajah penghinaan (face humiliation). Konflik mengancam face kedua orang tersebut, dan ketika ada negosiasi yang tidak kompatibel dalam menyelesaikan konflik (seperti menghina yang lain, memaksakan kehendak seseorang, sebagainya), konflik dapat memperburuk situasi. Ting-Toomey menyatakan bahwa cara manusia disosialisasikan ke dalam budaya mereka mempengaruhi bagaimana mereka akan mengelola konflik (West dan Turner, 2010: 453). Asumsi ketiga adalah budaya dan tindakan-tindakan tertentu dapat mempengaruhi citra diri yang diproyeksikan seseorang. Ting-Toomey menegaskan bahwa tindakan pengancaman citra diri mengancam baik positif atau wajah negatif dalam berhubungan. Tindakan pengancaman citra diri dapat baik secara langsung maupun tidak langsung dan terjadi ketika identitas orang yang diinginkan tertantang (Tracy, 1990 dalam West dan Turner, 2010: 453). Tindakan pengancaman citra diri langsung akan lebih mengancam ke wajah orang lain, sedangkan tindakan pengancaman citra diri tidak langsung akan kurang mengancam. Ting-Toomey dan Mark Cole (1990) mencatat adanya dua tindakan yang membentuk proses pengancaman yaitu penjagaan face dan restorasi face (West dan Turner, 2010: 453). Penjagaan face melibatkan upaya untuk mencegah kejadian yang menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penjagaan face sering kali mencegah rasa malu. Sedangkan restorasi face terjadi setelah kehilangan muka terjadi. Ting-Toomey dan Cole (1990) mengamati bahwa orangorang akan berusaha untuk mengembalikan citra diri mereka dalam menanggapi peristiwa (West dan Turner, 2010: 453). Teori ini mengenalkan dua budaya yang melekat pada diri setiap individu yakni budaya kolektivistik dan individualistik. Individualisme adalah pola sosial yang terdiri dari individu-individu yang terkait secara longgar melihat diri mereka sebagai bagian kolektif yang independen dan mengutamakan tujuan pribadi mereka atas tujuan lain (Triandis, 1995 dalam Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 602). Sedangkan kolektivisme adalah pola sosial yang terdiri dari individuindividu yang terkait erat yang melihat diri mereka sebagai bagian dari satu atau lebih kolektif (keluarga, rekan kerja, suku, atau bangsa) dan bersedia untuk memberikan prioritas lebih pada tujuan kolektif dibanding tujuan pribadi mereka sendiri (Triandis, 1995 dalam Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 602). Kedua budaya ini akan terlihat dalam diri seseorang ketika ia melakukan face negotiation dan lebih lanjut dapat ditelisik dari tipe-tipe penjagaan citra diri yang dilakukan seseorang ketika berkomunikasi. Tipe-tipe penjagaan citra diri yang dilakukan para perempuan Salafi ini yang nantinya akan ditelisik lebih lanjut dalam praktek komunikasi interpersonal dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. Griffin (2006: 444) menawarkan tiga tipe penjagaan citra diri, tipe penjagaan citra diri yang pertama adalah selfface maintenance atau penjagaan citra diri sendiri. Dalam tipe ini terdapat dua jenis tindakan yang meliputi face restoration (pemulihan citra diri) yaitu strategi facework yang digunakan untuk menjaga posisi seseorang di dalam masyarakat, mempertahankan otonomi, melawan segala usaha yang menghilangkan kebebasan diri. Jenis tindakan berikutnya adalah face giving (pemberian citra diri) yaitu strategi facework untuk mempertahankan dan mendukung kebutuhan seseorang untuk menjadi bagian dari kelompok (memberikan perhatian, dan tidak mempermalukan orang lain di hadapan publik). Tipe penjagaan citra diri yang kedua adalah mutual face maintenance (penjagaan kesamaan citra diri) yakni strategi facework yang dilakukan seseorang dengan menjaga kesamaan citra dengan kelompoknya. Yang ketiga adalah otherface maintenance (penjagaan citra diri lain) merupakan kondisi seorang kolektif akan menonjolkan diri secara proaktif membalikkan gambar diri untuk melawan citra orang lain atau diri mereka sendiri Dari tipe-tipe tindakan ini diasumsikan jika seseorang merupakan individualis ketika lebih sering melakukan self-face maintenance, dan sebaliknya seseorang merupakan kolektif ketika melakukan other-face maintenance. Dalam berkomunikasi dengan setiap anggota masyarakat, konflik belum tentu dapat terhindari, dalam face negotiation juga mengamati tipe-tipe manajemen yang akan dilakukan oleh masing-masing anggota dalam merespon suatu konflik. Konflik akan ada di setiap kondisi dalam suatu kegiatan yang tidak diharapkan atau tidak sesuai terjadi. Konflik bukan hanya pertentangan yang cenderung berwujud bentrok atau perkelahian. Konflik justru dapat muncul dalam hal seperti adanya perbedaan pendapat kecil dan konflik tidaklah dapat dihindari dalam suatu hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain baik kita menginginkannya atau tidak (Gudykunst dan Kim, 2003: 297). Roloff (1987) merumuskan beberapa sumber konflik antara lain konflik terjadi ketika seseorang salah menafsirkan perilaku orang lain; yang kedua adalah konflik dapat timbul dari persepsi ketidakcocokan; dan yang terakhir konflik muncul ketika adanya ketidaksetujuan pada penyebab perilaku sendiri atau perilaku orang lain (Gudykunst dan Kim, 2003: 297). Dapat dipahami jika konflik berpotensi muncul hanya dalam hal-hal kecil saja dan hal tersebut juga dapat muncul tanpa disadari kita ingini atau tidak. Komunikasi merupakan media melalui mana konflik dibuat dan dikelola. Cara kita berkomunikasi dengan orang asing sering kali menimbulkan konflik. Cara kita berkomunikasi dengan orang asing pun mencerminkan apakah kita mengalami konflik dengan mereka (Gudykunst dan Kim, 2003: 296-297). Di sini face digunakan dalam menegosiasikan diri pada suatu konflik. Dalam hal merespon suatu konflik, Ting-Toomey mengidentifikasi adanya lima respon saat seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan, kepentingan, dan tujuan diri, yaitu avoiding, obliging, compromising, dominating dan integrating (mempersatukan) (Griffin, 2006: 446). Avoiding atau menghindar dalam konteks merespon suatu konflik yakni situasi seseorang akan berusaha menghindari konflik yang akan menyulitkan dirinya. Obliging atau menurut/membantu yakni situasi seseorang menawarkan bantuan kepada orang lain karena ada rasa prihatin atau iba. Compromising atau berkompromi adalah tindakan seseorang dalam mengambil pendekatan kedua belah pihak memberikan sesuatu dalam rangka menemukan jalan tengah dan mencapai solusi. Dominating atau mendominasi yaitu ketika seseorang yang memiliki dominasi akan menekan pihak lain dengan kekuatan yang dimilikinya. Tipe respon terakhir yakni integrating atau mempersatukan, kondisi ini merupakan win-win solution yang bermanfaat untuk kedua belah pihak dan menjadi solusi yang baik. Budaya dan gaya konflik dimediasi oleh faktor di tingkat individu (Gudykunst, et.al, 1996 dalam Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 603). Perilaku konflik sendiri dipelajari dalam proses sosialisasi kelompok budaya atau etnis seseorang. Individu mempelajari norma-norma dan aturan untuk menghadapi konflik secara tepat dan efektif dalam lingkungan budaya mereka. Kecenderungan ini mempengaruhi faktor di tingkat individu seperti cara individu memahami diri mereka sendiri. (Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 603) Sehingga individu menjadi sangat beragam di dalam masyarakat. Menurut Ting-Toomey dan Oetzel (2003: 603) nilai-nilai budaya memiliki efek langsung pada perilaku konflik yang dimediasi melalui faktor di tingkat individu. Faktor di tingkat individu ini disebut sebagai self-construal. Self-construal atau konstrual diri adalah faktor kunci individu yang berfokus pada variasi dan budaya individu (Markus dan Kitayama, 1991 dalam Ting-Toomey dan Oetzel, 2003: 603). Markus dan Kitayama (1991) menyatakan jika self-construal adalah citra diri seseorang dan terdiri dari independent dan interdependent self-construal. Independent self-construal memandang diri mereka unik dan berbeda dengan yang lain. Interdependent selfconstrual memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. Ia bersifat fleksibel dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan sosial merupakan hal utama. Gaya komunikasi interdependent self-construal cenderung memikirkan perasaan lawan bicaranya. Kedua jenis self-construal ini berhubungan dengan gaya konflik seseorang. Orang dengan independent selfconstrual akan cenderung mendominasi. Sedangkan interdependent self-construal akan cenderung menghindari konflik. Elemen-elemen dalam face negotiation baik dari bingkai facework, tipe-tipe manajemen citra diri seseorang, dan tipe manajemen seseorang dalam merespon konflik di atas menjadi kerangka analisis face negotiation yang dilakukan perempuan Salafi ketika berkomunikasi secara interpersonal dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. Penelitian ini secara spesifik akan melihat face negotiation melalui facework kepekaan (tact facework), facework solidaritas (solidarity facework), dan facework keperkenaan/pujian (approbation facework); tipe-tipe penjagaan citra diri meliputi self-face maintenance, mutual face maintenance, dan other-face maintenance; dan lima respon seseorang terhadap konflik yaitu avoiding, obliging, compromising, dominating dan integrating. Aspek-aspek ini akan ditinjau melalui bahasa verbal maupun nonverbal yang dilakukan selama proses komunikasi berlangsung. 3. Komunikasi Perempuan Salafi dalam Ranah Gender Penelitian ini secara spesifik mengkaji praktek komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh perempuan yang dalam hal ini adalah perempuan Salafi. Perlu dipahami dulu sebelumnya bahwa komunikasi yang dilakukan perempuan dan laki-laki tidaklah sama. Maka dalam sub judul ini akan dibahas mengenai komunikasi gender untuk mengetahui perbedaan esensial yang ada dalam gender perempuan. Jika membicarakan mengenai gender, yang jelas terpatri dalam benak kita adalah mengenai perempuan dan laki-laki. Namun demikian, gender tidaklah serta merta mengenai seks atau jenis kelamin. Ada perbedaan signifikan antara gender dan jenis kelamin. Gender adalah pembagian manusia pada maskulin dan feminin yang di dalamnya terkandung peran dan sifat yang dilekatan oleh masyarakat kepada kaum laki-laki dan perempuan dan dikonstruksikan secara sosial ataupun kultural (Roqib, 2003:111). Sedangkan seks atau jenis kelamin mengacu pada kategori biologi, pria dan wanita, ditentukan oleh adanya kromoson XX untuk wanita dan pola kromosom XY untuk pria (Pearson, West & Turner, 1995: 6). Dapat disimpulkan jika jenis kelamin mengacu pada aspek biologi yang secara fisik mengkategorikan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada aspek sosial maupun kultural yang menyangkut pada peran dan sifat laki-laki dan perempuan. Berkenaan dengan sifat maskulin dan feminin, terdapat dua argumen yang saling bertentangan mengenai pembentukan sifat maskulin dan feminin pada pria dan wanita. Argumen pertama menurut Friedl (1975) percaya bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminin ada hubungannya dengan, bahkan tidak lepas dari, pengaruh perbedaan biologis (seks) pria dan wanita (Megawangi, 1999: 94). Perbedaan biologis pria dan wanita adalah alami, begitu pula sifat maskulin dan feminin yang dibentuknya. Oleh karena itu, sifat stereotip gender sulit untuk diubah. Argumen ini sering disebut mazhab esensial biologis (biological essentialism), atau orientasi biologis (biologically oriented contestants) (Megawangi, 1999: 94). Argumen kedua percaya bahwa pembentukan sifat maskulin dan feminin bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara pria dan wanita, melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturisasi. Sifat maskulin dan feminin dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi (nurture). Pemikiran ini disebut mazhab orientasi kultur (culturally oriented contestants) (Friedl, 1975, dalam Megawangi, 1999: 94-95). Mereka yang berorientasi budaya berargumentasi bahwa, adanya diferensiasi peran (division of Labor) antara pria dan wanita bukan disebabkan oleh adanya nature biologis, melainkan lebih disebabkan oleh faktor budaya. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologis, dan menjadi terinstitusionalisasi. Institusi ini berfungsi sebagai wadah sosialisasi, di mana kebiasaan dan norma yang berlaku akan diwariskan secara turun-menurun (Megawangi, 1999: 102). Menurut Megawangi (1999: 103), kendala biologis yang melekat pada diri perempuan atau laki-laki dewasa ini dapat dihilangkan melalui rekayasa teknologi. Contohnya seperti kodrat perempuan untuk melahirkan dan mengasuh seorang bayi, kini dapat diatur dengan teknologi alat kontrasepsi yang memungkinkan seorang perempuan untuk mengatur jumlah anak yang dilahirkan atau bahkan tidak punya anak sama sekali. Berhubung peran gender ini dapat diubah, maka perbedaan peran gender yang selama ini berlangsung bukan disebabkan oleh adanya perbedaan nature antara pria dan wanita, melainkan karena adanya budaya atau tradisi. Sesuatu yang nature tidak dapat diubah, sedangkan peran gender dapat diubah dengan teknologi. Dengan demikian, mereka yang berorientasi kultur percaya bahwa peran gender adalah konstruksi sosial budaya. Praktek komunikasi yang dilakukan perempuan dan laki-laki pun cenderung berbeda. Dalam bukunya berjudul Gender & Communication, Pearson, West, dan Turner (1995: 25) memandang bahwa proses komunikasi merupakan proses yang rumit yang meliputi diri, konteks, simbol, dan pengiriman serta penerimaan kode yang simultan. Sedangkan dalam kaitannya dengan gender, perlu diketahui jika gender semakin bervariasi dari waktu ke waktu, dan cara berkomunikasi antara perempuan dan laki-laki pun juga memiliki perbedaan dalam beberapa hal. Proses komunikasi meliputi persepsi, pendengaran, dan empati dalam memproses suatu informasi. Pengolahan informasi, atau memberikan makna yang yang datang kepada kita melalui indera kita, adalah proses yang kompleks yang terdiri dari sejumlah kegiatan yang saling terkait yang memungkinkan kita untuk berpikir, belajar, dan mengingat (Pearson, West, dan Turner, 1995: 28). Melalui proses pengolahan infomasi, kita akan berpikir dan kemudian bertindak akan informasi yang didapat. Segala tindakan dalam proses inilah yang menunjukkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berkomunikasi. Dalam hal persepsi akan informasi, wanita lebih suka kompleksitas dibandingkan laki-laki (Eisenman & Johnson, 1969; Looft & Baranowski, 1971, dalam Pearson, West, dan Turner, 1995: 31). Andrews (1985) mengamati bahwa pria lebih cenderung berpegang pada kriteria yang tetap ketika mereka membuat argumen mereka. Sedangkan responden perempuan lebih suka mempertimbangkan masalah yang kurang harfiah, dan lebih secara kompleks daripada yang laki-laki lakukan (Pearson, West, dan Turner, 1995: 31-32). Dapat diketahui dalam aspek ini perempuan memiliki kecenderungan lebih rumit dibandingkan dengan laki-laki. Dalam mendengarkan, perempuan memiliki keterampilan mendengarkan yang lebih baik daripada laki-laki. Tamen (1990) berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mungkin mendengarkan dengan cara berbeda berbeda. Laki-laki mendengarkan untuk mengetahui bagaimana memecahkan masalah, sementara wanita mendengarkan untuk memahami sesuatu yang tidak mereka mengerti sebelumnya (Pearson, West, dan Turner, 1995: 35). Aspek pendengaran menunjukkan jika perempuan cenderung lebih sensitif dalam mendengarkan karena memiliki target untuk mengejar pemahaman atas sesuatu. Hughey (1984) menemukan bahwa ketika pria sedang berbicara dengan lakilaki lain, mereka lebih sukses dalam berempati setelah mereka menyesuaikan diri. Sedangkan dalam lingkup antar perempuan, metode terbaik untuk berhasil dalam hal empati adalah dengan mendapatkan atau memupuk kepercayaan (Pearson, West, dan Turner, 1995: 37-38). Perempuan cenderung menjunjung ikatan diri dengan lawan bicara perempuannya untuk mendapatkan empati. Kemudian dalam aspek sosial dan psikologi, Halpern (1986) mengamati bahwa perempuan mendominasi dalam keterampilan verbal dan laki-laki mendominasi dalam kemampuan spasial (Pearson, West, dan Turner, 1995: 44). Dapat diketahui jika kemampuan verbal atau bertutur perempuan cenderung berperan dalam hubungan sosial dan secara psikologis dengan orang lain. Macam-macam aspek dalam berkomunikasi yang ditemukan dalam beberapa kajian tersebut memang melihat perempuan secara general. Di sini dapat dipahami jika secara gender, perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam melakukan teknik berkomunikasi. Dalam praktek komunikasi interpersonal yang akan digali lebih lanjut pada perempuan Salafi, tidak sekedar melihat perbedaan perempuan dalam berkomunikasi secara general namun juga mengkajinya melalui aspek nilai-nilai paham Salaf yang mereka terapkan. 4. Perempuan Salafi Sebagai Bagian dari Komunitas Subkultur Salafi Komunikasi gender yang disorot dalam penelitian ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh perempuan Salafi. Perempuan Salafi merupakan bagian dari komunitas subkultur Salafi. Pengertian komunitas sendiri menurut Wenger (2002: 4) adalah sekumpulan orang yang saling berbagi masalah, perhatian atau kegemaran terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling berinteraksi secara terus-menerus. Sedangkan pengertian subkultur menurut Suprapto dan Limakrisna (2007: 47) mendefinisikan subkultur sebagai sekelompok orang tertentu dalam sebuah masyarakat yang sama-sama memiliki makna budaya yang sama untuk respon afektif dan kognitif (reaksi emosional, kepercayaan, nilai, pencapaian, tujuan), perilaku (kebiasaan/tradisi, sikap dan ritual, norma perilaku) dan faktor lingkungannya (kondisi tempat tinggal, lokasi geografis, objek yang penting). Dari definisi ini dapat dikatakan jika komunitas subkultur merupakan bagian dari masyarakat yang berkelompok yang memiliki kepentingan yang sama dan saling beriteraksi berbagi informasi, pengetahuan, serta pemikiran berdasar pada makna budaya yang sama atas respon afektif-kognitif, perilaku, dan faktor lingkungannya. Pada konteks kajian ini, perempuan Salafi sebagai bagian dari komunitas subkultur Salafi merupakan perempuan yang saling berhubungan karena memiliki kesamaan atas nilai-nilai dari manhaj atau pemahaman Salaf yang mereka ikuti. Singkatnya, perempuan Salafi adalah perempuan yang tata cara kehidupannya mengikuti manhaj Salaf. Pengertian manhaj menurut bahasa adalah jalan yang jelas dan terang. Atau secara konseptual dapat dikatakan sebagai metode atau cara hidup. Sedangkan pengertian Salaf menurut terminologi berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) yang terdiri dari para sahabat (sahabat Rasulullah). tabi’in9, tabi’ut tabi’in 10 dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah (Jawaz, 2006: 34). Tiga generasi awal yang terdiri dari para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in ini disebut dengan salafush sholih atau Salafi (orang-orang terdahulu yang sholih). Rasulullah bersabda “shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Singkatnya, Salafi merupakan suatu kaum yang mengikuti manhaj Salaf dan menerapkan tata cara kehidupan Rasulullah. Perempuan Salafi memandang cara hidup terbaik adalah dengan mengikuti cara hidup Rasulullah yaitu tata cara yang sesuai kaidah agama Islam. Syaikh Muhammad Asy-Syarif memaparkan tata cara hidup perempuan sesuai hadits yang diterapkan oleh perempuan Salafi dalam bukunya yang berjudul 40 Hadits Wanita: Bunga Rampai Hadits Fikih dan Akhlaq. Tata cara hidup tersebut antara lain meliputi anjuran bagi perempuan dalam: 1) menetap di dalam rumah; 2) menghindari ikhtilat11; 3) menjaga lisan dan aurat; 4) menggapai pernikahan penuh berkah; dan 5) tuntunan dalam pakaian dan perhiasan. Kelima hal tersebut dipaparkan oleh Asy-Syarif berdasar pada hadits-hadits yang sahih. Anjuran menetap di rumah perlu dilakukan perempuan dengan tujuan sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Selain itu agar dirinya fokus dalam melayani suami, berkonsentrasi dalam mengasuh dan mendidik anak, lebih cermat dan tanggap dalam memahami kebutuhan rumah tangga, menjaga waktu yang merupakan sesuatu yang paling berharga (dalam hal ini perempuan dianjurkan untuk memanfaatkan waktu dengan membaca), terhindar dari keletihan fisik akibat keluar rumah dan berpergian, dan menjadi teladan yang baik bagi kerabat dan tetangga wanita yang lain (Asy-Syarif, 2009: 18-20). Anjuran kedua bagi perempuan sesuai hadits adalah menghindari ikhtilat yang secara etimologi berarti membaur satu sama lain (Asy-Syarif, 2009: 87). Ikhtilat 9 Orang-­‐orang yang mengikuti sahabat 10 Orang-­‐orang yang mengikuti tabi’in 11 Membaur satu sama lain yang harus dijauhi oleh perempuan adalah berkumpul jadi satu dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Untuk menghindari hal ini, umumnya di masjid-masjid sudah menerapkan pintu khusus bagi perempuan sebagai tempat keluar dan masuk jamaah perempuan. Islam melarang ikhtilat di tempat-tempat kerumunan yang bersifat permanen seperti masjid dan semacamnya dan juga di tempat-tempat yang bersifat sementara seperti di jalan. Lokasi-lokasi seperti jalan ini memungkinkan para pejalan kaki saling berpapasan. Menurut hadits yang diriwayatkan Hamzah bin Abu Usaid Al-Anshari, Rasulullah bersabda kepada kaum perempuan yang membaur dengan laki-laki di jalanan untuk tidak berjalan di tengah jalan atau berjalan di tepi jalan (Asy-Syarif, 2009: 97). Perempuan dianjurkan untuk berjalan di tepi jalan guna melindunginya dari tatapan atau interaksi dengan lawan jenis karena dengan berjalan di tengah memungkinkan dirinya untuk terlihat sangat jelas dan menjadi pusat perhatian. Anjuran ketiga bagi perempuan adalah menjaga lisan dan aurat. Asy-Syarif (2009: 145) menjabarkan beberapa anjuran kepada perempuan dalam menjaga lisan, perempuan tidak boleh bicara dengan suara keras hingga didengar kaum lelaki selain bila dibutuhkan. Perempuan harus berusaha semaksimal mungkin untuk melirihkan suara agar tidak didengar laki-laki nonmahram. Perempuan boleh mengucapkan salam kepada lawan jenis dengan isyarat tangan ketika ada keperluan. Perempuan maupun laki-laki dianjurkan menasihati orang yang lalai, memerintah mereka pada kebaikan, dan melarang mereka dari kemungkaran. Dari anjuran-anjuran ini, kita ketahui jika ada batasan komunikasi secara verbal terhadap lawan jenis dan bahkan harus sebisa mungkin berusaha melirihkan suara agar tidak terdengar laki-laki yang bukan mahram. Anjuran keempat mengenai kehidupan pernikahan, perempuan boleh mengungkapkan ketidakcocokan atau penolakan terhadap laki-laki yang dijodohkan dengannya. Perempuan boleh bicara dengan laki-laki ketika ada kebutuhan, seperti meminta fatwa, mengadu, dan lain-lain. Dalam ruang pengadilan, seluruh hadirin boleh mendengarkan pengaduan dari pihak perempuan dan mereka tidak diharuskan keluar dari ruang siding (Asy-Syarif, 2009: 204). Meskipun telah disampaikan sebelumnya jika perempuan harus sebisa mungkin untuk menjaga dan membatas komunikasi secara verbal, namun dalam beberapa kasus perempuan masih diperkenankan untuk berbicara dengan laki-laki. Anjuran kelima adalah mengenai tuntunan dalam pakaian dan perhiasan. Perempuan maupun laki-laki pada dasanya sama-sama dilarang untuk mengubah ciptaan Allah dari fisik mereka. Bagi perempuan haram untuk mengubah ciptaan fisiknya dengan tujuan mempercantik diri seperti mencabut rambut di wajah, merenggangkan gigi, menyambung rambut, dan memasang tato. Namun demikian, hal-hal tersebut diperkenankan dilakukan dengan alasan menyembuhkan penyakit (Asy-Syarif, 2009: 333-348). Dalam berpakaian yang dalam konteks ini berpakaian di hadapan lelaki yang bukan mahramnya, perempuan Salafi menerapkan adab berpakaian bagi muslimah yakni berbusana syar’i atau tidak memandang pakaian sebagai “perhiasan”. Berbusana syar’i tidaklah menggunakan pakaian luar yang menampakkan “perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki. “Perhiasan “di sini dapat dilatakan sebagai daya tarik yang dapat membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih normal yakni aurat. Adab berbusana bagi muslimah lainnya adalah berjilbab yakni menutupi segala sesuatu yang menjadi “perhiasan” perempuan. Dengan kata lain muslimah wajib mengenakan pakaian yang menutupi semua auratnya yaitu seluruh bagian tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Pakaian tersebut tidak tembus pandang dan tidak menunjukkan lekuk badan atau longgar/tidak ketat. Mereka juga tidak mengenakan pakaian yang terdiri dari berbagai warna atau warna-warni, pakaian yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak, tidak mengenakan aksesoris, tidak menyerupai pakaian lelaki dan dianjurkan mengenakan pakaian gelap seperti para istri Nabi (diperoleh dari berpakaian-bagi-muslimah.html http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/adabdiakses 31 Maret 2015 dan http://asysyariah.com/kajian-utama-ketentuan-ketentuan-pakaian-wanita/ diakses 31 Maret 2015). Dalam menerapkan adab berpakaian sesuai tuntunan Al-Qur’an, perempuan Salafi umumnya mengenakan pakaian jubah (jilbab besar dan pakaian besar yang tidak menunjukkan lekuk tubuh) dan juga bercadar untuk menutup semua auratnya. Selain batasan-batasan dalam berkomunikasi, perempuan Salafi juga umumnya mencoba menerapkan penggunaan bahasa Arab seperti halnya Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Istilah-istilah yang sering digunakan antara lain seperti ummi (ibu), abi (ayah), ammah (tante/ibu-ibu yang bukan ibu kandung), ammi (om/bapak-bapak yang bukan bapak kandung), afwan (maaf), ma’isyah(penghasilan), akhi (saudara/teman laki-laki), ukhti (saudara/teman perempuan), sobakhul khoir (selamat pagi), masa’ul khoir (selamat sore). Dari pemaparan anjuran tata cara bersikap, berhias, berkomunikasi dan penerapan bahasa Arab dapat diketahui bila perempuan Salafi menerapkan hal-hal yang cukup berbeda dengan perempuan-perempuan pada umumnya. Beberapa aspek dalam berkomunikasi dan menjaga diri pun menjadi sorotan yang secara spesifik membedakannya dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. F. Model Penelitian Komunikasi Interpersonal Perempuan Salafi – Masyarakat Umum - keterbukaan empati dukungan sikap positif kesetaraan Verbal: Nonverbal: - Bahasa / jenis bahasa Facework: - tact facework solidarity facework approbation facework -­‐ -­‐ -­‐ kinesics proxemics paralanguage Penjagaan citra diri: -­‐ -­‐ -­‐ self-face maintenance mutual face maintenance other-face maintenance Gaya konflik: - avoiding obliging compromising dominating integrating G. Kerangka Konsep Berikut adalah kerangka konsep penelitian mengenai praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi dengan masyarakat umum di luar komunitasnya di Kampung Sawo Bantul. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa perempuan Salafi memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan perempuan pada umumnya ditinjau dari keterbatasan verbal maupun nonverbal menurut tata cara Salafi yang mereka terapkan. Adapun keterbasan yang secara jelas terlihat yakni tertutupnya mereka dalam berbusana, khususnya mengenakan cadar dalam kesehariannya yang membuat perilaku nonverbal di sini akan sangat terbatas dan juga terbatasnya interaksi dengan laki-laki. Sehingga definisi operasional dalam unsur komunikasi interpersonal dijabarkan peneliti berdasarkan hasil pra-riset terhadap praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi guna merumuskan unsur-unsur yang akan ditinjau lebih lanjut di lapangan. 1. Komunikasi Interpersonal Dalam penelitian ini, komunikasi interpersonal yang akan dikaji adalah komunikasi antara perempuan Salafi dengan masyarakat umum di Kampung Sawo Bantul. Perempuan Salafi adalah perempuan yang mengikuti dan menerapkan manhaj Salaf dalam tata cara kehidupannya. Masyarakat umum di sini adalah setiap anggota masyarakat di Kampung Sawo yang bukan anggota dari komunitas Salafi. Adapun proses komunikasi tersebut dilihat dari: a. Keterbukaan: perempuan Salafi mengungkapkan informasi mengenai diri pribadi, bersedia bereaksi secara jujur atas pesan yang disampaikan masyarakat umum kepadanya, dan bebas mengungkapkan perasaan, pikiran, dan prinsip diri kepada masyarakat umum. Perempuan Salafi akan dengan terbuka melakukan interaksi lebih dulu kepada masyarakat umum dengan menyapa duluan dengan sebutan umum (bu, pak, atau mbak), menepuk pundak atau paha kepada sesama perempuan, merangkul kepada perempuan yang lebih tua, mengangguk kepada laki-laki sebagai bentuk sapaan, memencet klakson motor jika berpapasan di jalan, dan membungkukkan badan jika melewati warga yang lebih tua. b. Empati : perempuan Salafi berupaya merasakan apa yang dirasakan orang lain dengan cara menunjukkan kepedulian dengan tetap melayat jika ada yang meninggal, menjenguk jika ada yang sakit, memberi hadiah, berangkat ke masjid, dan turut hadir jika ada yang menikah namun datang sebelum acara untuk menghindari musik. c. Dukungan: perempuan Salafi tidak malu berinteraksi dengan masyarakat umum dan berfikir secara terbuka dengan menerima pandangan yang berasal dari masyarakat umum, serta bersedia untuk mengubah diri jika perubahan dipandang perlu. Perempuan Salafi menerima masukan warga dalam berdiskusi atau berkegiatan. Bekerja sama dalam mengelola kegiatan warga. d. Sikap positif: sikap positif perempuan Salafi ditunjukkan dari kejelasan dan kepuasan dalam proses komunikasi. Tidak memaksakan obrolan yang sekiranya tidak disenangi warga. Mendorong orang menjadi teman kita dalam berinteraksi atau menjadi lawan interaksi e. Kesetaraan: perempuan Salafi memandang derajat dalam berkomunikasi dengan bersikap hormat dengan lawan bicara. Perempuan Salafi mengangkat wajahnya / mendongak ketika berbicara baik kepada laki-laki atau perempuan. Terhadap laki-laki tidak menatap mata langsung tetapi wajah tetap diangkat, sedangkan terhadap perempuan tetap melakukan kontak mata. 2. Verbal Aspek verbal yang akan diamati dalam komunikasi interpersonal perempuan Salafi dengan masyarakat umum adalah bahasa atau jenis bahasa yang ia gunakan ketika berbicara secara langsung terhadap masyarakat umum. 3. Nonverbal Aspek nonverbal yang diamati dalam komunikasi interpersonal perempuan Salafi dengan masyarakat umum yakni: a. Kinesics (kinesik): ekspresi wajah, gerak isyarat (gesture), postur tubuh (posisi dan gerakan tubuh), dan sentuhan yang dilakukan perempuan Salafi selama melakukan komunikasi dan interaksi dengan masyarakat umum b. Proxemics (proksemik): jarak yang diterapkan perempuan Salafi ketika berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung dengan masyarakat umum c. Paralanguage: pola titinada, volume, kecepatan, dan kualitas suara yang terdengar bersamaan dengan pengucapan bahasa verbal yang dilakukan perempuan Salafi ketika berkomunikasi dengan masyarakat umum 4. Facework Face negotiation atau negosiasi citra diri dalam penelitian ini adalah face negotiation yang dilakukan oleh anggota komunitas Salafi saat sedang berkomunikasi dengan masyarakat umum Kampung Sawo. Face negotiation tersebut ditinjau dari facework. Facework yang dilakukan berdasar pada: a. Tact facework (facework kepekaan): perempuan Salafi menghargai otonomi dan posisi orang lain yang dalam penelitian ini adalah masyarakat umum. b. Solidarity facework (facework solidaritas): perempuan Salafi menerima orang lain sebagai anggota kelompok c. Approbation facework (facework keperkenaan/pujian): perempuan Salafi tidak menjelek-jelekkan atau meminimalisir penjelekkan terhadap orang lain, dan memaksimalkan pujian kepada orang lain 5. Penjagaan Citra Diri Selain facework, dalam negosiasi citra diri juga dilakukan penjagaan citra diri yang dilihat dari: a. Self-face maintenance (penjagaan citra diri sendiri): perempuan Salafi melakukan face restoration (pemulihan citra diri) dengan menjaga posisi seseorang (baik diri sendiri maupun orang lain) di dalam masyarakat, mempertahankan otonomi diri, dan melawan segala usaha yang menghilangkan kebebasan diri; atau perempuan Salafi melakukan face giving (pemberian citra diri) dengan mempertahankan dan mendukung kebutuhan seseorang untuk menjadi bagian dari kelompok dengan cara memberi perhatian dan tidak mempermalukan orang lain di hadapan publik. b. Mutual face maintenance (penjagaan kesamaan citra diri): perempuan Salafi menjaga kesamaan citra dengan kelompok yang lebih besar atau masyarakat umum c. Other-face maintenance (penjagaan citra diri lain): perempuan Salafi secara proaktif membalikkan gambar diri untuk melawan citra orang lain atau diri mereka sendiri. Perempuan Salafi menjaga diri sebagai bagian dari kolektif masyarakat baik itu dengan cara menonjolkan diri dengan menunjukkan gambar dirinya yang lain/keterbalikan dari individualistiknya. 6. Gaya Konflik Salah satu hal yang tidak dapat dihindari dalam berkomunikasi adalah konflik. Dalam praktek komunikasi interpersonal di sini juga akan menganalisis respon perempuan Salafi dalam menghadapi konflik yang mungkin terjadi. Adapun bentuk respon atas konflik tersebut antara lain: a. Avoiding : perempuan Salafi menghindari konflik yang akan menyulitkan dirinya. b. Obliging: perempuan Salafi menawarkan bantuan kepada orang lain karena rasa iba. c. Compromising: perempuan Salafi mengambil pendekatan kedua belah pihak untuk menemukan jalan tengah dan mencapai solusi. d. Dominating: perempuan Salafi menekan orang lain dengan kekuatan yang dimilikinya. e. Integrating: perempuan Salafi mempersatukan dengan menerapkan winwin solution yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan menjadi solusi yang baik. H. Metodologi Penelitian Penelitian mengenai komunikasi interpersonal ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2010: 4), pendekatan kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Senada dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller menjelaskan pendekatan kualitatif ini sebagai suatu tradisi dalam ilmu pengetahuan yang bergantung pada pengamatan seseorang (Moleong, 2010: 4). Pada penelitian ini peneliti menjadi instrumen peneliti utama yang akan melakukan pengamatan terhadap subjek penelitian yang kemudian menyajikan data deskriptif. Data deskriptif yang digali secara spesifik dijelaskan oleh Moleong (2010: 11) sebagai data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Sehingga pada penelitian ini peneliti akan menyajikan data yang berupa kata-kata dan gambar untuk mendeskripsikan hasil dari pengamatan yang dilakukan dalam penelitian. 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi. Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain dan bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai semua kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu (Spradley, 2007: 13). Jenis etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi adalah sebuah pendekatan, perspektif, dan metode untuk mendalami studi sarana budaya yang khas dan makna komunikasi yang berfokus pada praktek komunikasi dan bahasa (Carbaugh, 2007: 245). Carbaugh (2007: 246) menyebutkan bahwa salah satu kajian dalam etnografi komunikasi adalah kajian mengenai cara-cara tertentu dalam berbicara yang didasarkan pada etnis maupun gender. Metode ini melibatkan observasi partisipan dalam kehidupan sehari-hari dan wawancara. Dalam etnografi komunikasi, praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi akan digali dengan merujuk pada empat unit dasar yang dikenalkan oleh Hymes (dalam Carbaugh, 2007: 246-247) yang terdiri dari aktivitas komunikasi, tindakan komunikasi, situasi komunikasi, dan masyarakat tutur. Aktivitas komunikasi meliputi tata urutan dari tindakan sosial dalam peristiwa komunikasi yang dipahami dengan merumuskan norma-norma atau aturan tentang perempuan Salafi. Aktivitas komunikasi ini melibatkan berbagai jenis tindakan komunikasi. Tindakan komunikasi berupa interpretasi dari interaksi sosial dalam konsep komunikasi. Situasi komunikasi mengidentifikasi pengaturan dan adegan tertentu dalam komunikasi. Yang terakhir, mengidentifikasi masyarakat tutur yakni dengan mengidentifikasi sekelompok orang yang memiliki berbagai aturan dalam menggunakan dan menafsirkan satu praktek komunikasi. Etnografi komunikasi digunakan dalam penelitian ini karena penelitian proses komunikasi antara anggota komunitas Salafi dengan anggota masyarakat umum di luar komunitas membutuhkan observasi langsung dan pengumpulan data lapangan berdasar budaya yang lengkap dan alamiah. Fokus utama dari kajian etnografi komunikasi adalah perilaku-perilaku komunikatif suatu masyarakat, yang pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek sosiokultural (Kuswarno, 2008: 36). Sehingga peneliti akan mencari dan mengetahui bagaimana bentuk komunikasi atau praktek komunikasi itu bekerja pada perempuan Salafi dalam konteks komunikasi interpersonal dengan masyarakat umum di luar komunitasnya 2. Subjek Penelitian Subjek atau informan dari penelitian ini adalah perempuan Salafi di Kampung Sawo, Bantul. Secara spesifik, subjek dalam penelitian ini perempuan yang merupakan anggota komunitas Salafi yang melakukan aktivitas komunikasi dengan masyarakat umum di luar komunitasnya. Adapun karakteristik subjek dari penelitian ini yakni: perempuan Salafi; berumur ≥17 tahun; mengenakan pakaian jubah; berjilbab panjang/besar menutup seluruh anggota badan kecuali telapak tangan dan mengenakan cadar. Informan perempuan Salafi haruslah yang tinggal di Kampung Sawo Bantul. Batas usia yang ditentukan adalah usia dewasa. Adapun rentang waktu lamanya informan tinggal di Kampung Sawo yakni perempuan Salafi yang telah tinggal rata-rata selama 10 tahun. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 3 orang. Informan dipilih dengan menelisik perbedaan mata pencaharian sehari-hari dan tempat tinggal asal sebelum bermukim di Kampung Sawo. Perbedaan umur, mata pencaharian, serta budaya asal diharapkan menjadi variasi dari subjek penelitian. Sedangkan kesamaan lama waktu tinggal di Kampung Sawo sendiri untuk mencari kedalaman atas karakteristik perempuan Salafi yang telah lama bermukim di kampung tersebut karena mereka lah yang telah lama hidup berdampingan dengan warga umum/non-subkultur Salafi di Kampung Sawo. Penentuan informan penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling atau dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya (Poerwandari, 1998). Melalui teknik snowball, subjek atau sampel dipilih berdasarkan rekomendasi orang ke orang yang sesuai dengan penelitian dan adekuat untuk diwawancarai (Patton, 2002). Dari proses pencarian informan selama dua bulan yakni bulan Juli hingga Agustus, ditentukan tiga informan bernama Ummu Abdurrahman atau yang lebih akrab dengan panggilan Mbak Anis, Ummu Jundi, dan Ummu Qois. 12 Ketiga informan ini merupakan perempuan Salafi yang telah menikah atau berkeluarga dan memiliki mata pencaharian yang berbeda. Meskipun memiliki mata pencaharian berbeda, latar belakang ekonomi mereka cenderung sama yakni menengah ke bawah. Sehingga variasi mengenai latar belakang ekonomi yang tidak dapat cukup menonjol dalam penelitian ini merupakan bagian dari keterbatasan penelitian. Dalam penelitian ini hanya akan mendalami praktek komunikasi interpersonal dan strategi face negotiation yang dilakukan perempuan Salafi yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah. 3. Teknik Pengambilan Data Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi. Sedangkan studi pustaka digunakan untuk mendukung data-data yang telah didapat di lapangan. Instrumen utama yang digunakan dalam pengambilan data yakni observasi partisipatif. Melalui observasi partisipatif ini peneliti mengikuti aktivitas yang dilakukan informan/subjek penelitian selama berjalannya proses komunikasi dalam interaksi yang dilakukan dengan masyarakat umum. Observasi partisipatif ini dilakukan guna mengamati langsung praktek komunikasi interpersonal sesungguhnya yang berjalan antara perempuan Salafi dengan masyarakat umum. Konteks komunikasi yang diamati dalam penelitian ini adalah komunikasi yang terjalin sehari-hari antara perempuan Salafi dengan warga umum karena selama pengambilan data memang tidak dijumpai situasi yang memberi ruang bagi munculnya dialog dan interaksi yang memuat topik-topik bahasan sensitif seperti: perbedaan konsep religius antara kedua belah pihak. Di samping observasi partisipatif, instrumen kedua yang digunakan dalam pengambilan data yaitu dengan indepth interview atau wawancara mendalam. 12 Keterangan lebih lanjut mengenai ketiga informan tercantum pada BAB III Indepth interview merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi wawancara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapat data lengkap dan mendalam (Kriyantono, 2006: 97). Teknik dokumentasi yang diterapkan dalam pengambilan data yakni perekaman wawancara dengan informan atau subjek penelitian. Sedangkan dokumentasi visual dilakukan dengan pengambilan foto dan video dengan media elektronik serta penggambaran sketsa dengan alat tulis meliputi pensil/pena. Sketsa menjadi alternatif dalam pendokumentasian aktivitas komunikasi informan perempuan Salafi yang tidak berkenan untuk diambil gambar dirinya dalam bentuk foto maupun video dengan menggunakan alat atau media elektronik seperti kamera, handycam dan semacamnya. Maka dari itu. dalam penelitian ini tidak semua aktivitas komunikasi didokumentasikan dalam foto dan video. Beberapa proses interaksi akan diilustrasikan dalam bentuk sketsa gambar. Teknik-teknik ini digunakan untuk mengambil data perilaku nonverbal informan, yakni spesifik pada aspek kinesics dan proxemics. Data nonverbal pada aspek paralanguage yang meliputi pola titinada, volume, kecepatan, dan kualitas suara memang cenderung lebih sulit diambil. Data mengenai paralanguage yang didapat dalam penelitian ini merupakan hasil penangkapan indera pendengaran peneliti. Sehingga data paralanguage dalam penelitian merupakan hasil tafsiran yang terbatas pada kualitas dan kemampuan pendengaran peneliti. Selama pengambilan data, bila ada data paralanguage yang mampu peneliti tangkap didokumentasikan dalam catatan etnografi. Pengambilan data dilakukan selama tiga bulan yakni pada bulan SeptemberNovember. Pada bulan pertama penelitian yaitu September peneliti melakukan observasi partisipatif dengan informan pertama yakni Mbak Anis. Pada bulan kedua yakni Oktober dan setiap akhir minggu pada bulan November peneliti melakukan observasi partisipatif selama kurang lebih dua minggu penuh dengan Ummu Jundi. Bulan November, peneliti melakukan observasi partisipatif dengan Ummu Qois. Penentuan waktu pengambilan data disesuaikan dengan hasil observasi sebelumnya mengenai aktivitas ketiga informan. Wawancara kepada ketiga informan dilakukan selama observasi partisipatif dalam sela waktu yang memungkinkan. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melakukan observasi partisipatif, wawancara, dan dokumentasi pada semua subjek penelitian adalah tiga bulan. Wawancara mendalam mengenai profil informan dilakukan juga di sela-sela observasi partisipatif. Sedangkan wawancara mendalam mengenai data etnografi dilakukan di akhir penyusunan data etnografi guna mendapatkan data yang lebih komprehensif mengenai pola aktivitas komunikasi interpersonal ketiga informan. Rangkaian observasi partisipatif terhadap ketiga informan terangkum pada tabel berikut: Tabel 1.1 Rangkaian Observasi Partisipatif Kepada Tiga Informan Informan Mbak Anis Waktu Penelitian Agustus Minggu IV September Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Ummu Jundi Ummu Qois September Minggu IV Oktober Minggu I Minggu II November Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Minggu III Oktober Minggu IV November Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Pengambilan Data Observasi partisipatif untuk menentukan aktivitas komunikasi Mbak Anis Observasi partisipatif untuk menentukan aktivitas komunikasi Mbak Anis Dua hingga tiga hari setiap minggunya mengikuti aktivitas Mbak Anis Observasi penentuan aktivitas komunikasi Ummu Jundi Selama dua minggu mengikuti aktivitas Ummu Jundi mengajar di sekolah dan beraktivitas sehari-hari Setiap Sabtu mengikuti aktivitas arisan Ummu Jundi Observasi pencarian informan ketiga Observasi penetuan aktivitas komunikasi Ummu Qois Dua hingga tiga hari setiap minggunya mengikuti aktivitas Ummu Qois Adapun praktek komunikasi interpersonal yang diamati spesifik pada lingkup komunikasi antara perempuan Salafi dengan warga umum di luar subkulturnya atau di luar Salafi, sementara prakek komunikasi yang terjalin dalam keluarga menjadi data tambahan. Praktek komunikasi dalam penelitian ini memang mengamati proses komunikasi yang terjalin antara perempuan Salafi dan warga umum, namun data primer yang diambil hanya berfokus pada praktek komunikasi yang dilakukan perempuan Salafi sebagai komunikator karena penelitian ini melihat lebih dalam mengenai strategi face negotiation perempuan Salafi. 4. Teknik Analisis Data Dalam analisis data hal-hal yang harus dilakukan adalah meringkas data, memilih data, menerjemahkan data, dan mengorganisasikan data. Dengan kata lain, upaya tersebut mengubah kumpulan data yang tidak terorganisir menjadi kumpulan kalimat singkat yang dapat dimengerti orang lain. Adapun teknik analisis data yang akan dilakukan secara spesifik akan mengacu pada konsep yang ditawarkan Creswell meliputi deskripsi, analisis, dan interpretasi (Kuswarno, 2008: 68). Deskripsi menjadi bagian pertama bagi etnografer dalam menuliskan laporan etnografinya. Pada bagian ini peneliti mempresentasikan hasil penelitian proses komunikasi interpersonal yang dilakukan perempuan Salafi dengan masyarakat umum di Kampung Sawo dengan menggambarkan secara detail proses komunikasi dan interaksi yang terjalin. Adapun deskripsi dilakukan berdasar dokumentasi dan pengamatan langsung di lapangan selama mengamati subjek penelitian. Di bagian analisis, peneliti mengemukakan beberapa data akurat mengenai subjek penelitian terkait proses komunikasi antara perempuan Salafi dengan masyarakat umum. Penggambaran tersebut melalui tabel, grafik, diagram, model yang menggambarkan proses komunikasi terbebut. Bentuk lain dari bagian ini adalah membandingkan subjek yang diteliti dengan subjek yang lain, mengevaluasi subjek dengan nilai-nilai yang umum berlaku, membangun hubungan antara subjek penelitian dengan lingkungan yang lebih besar. Hal terakhir yang dilakukan dalam proses analisis data adalah interpretasi. Setelah melakukan pemaparan data dan menganalisisnya, peneliti melakukan interpretasi atas data analisis tersebut dan mengambil kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. 5. Batasan Penelitian Adapun batasan dari penelitian mengenai praktek komunikasi interpersonal yang dilakukan anggota komunitas Salafi dengan masyarakat umum di luar komunitasnya meliputi: a. Waktu penelitian akan dilakukan selama tiga bulan yakni pada bulan September-November. b. Aspek yang diteliti mencakup proses komunikasi interpersonal yang dilakukan perempuan Salafi dengan masyarakat umum. Proses komunikasi interpersonal di sini merupakan komunikasi interpersonal yang dilakukan secara langsung atau tatap muka. Sehingga dalam penelitian ini tidak digambarkan komunikasi interpersonal yang dilakukan melalui media komunikasi elektronik seperti telepon, handphone dan gadget sejenis lainnya. c. Subjek dalam penelitian ini adalah perempuan Salafi yang merupakan penduduk Kampung Sawo Bantul DIY dengan masyarakat umum. Sehingga penelitian ini tidak memberi gambaran mengenai perempuan Salafi di Indonesia secara general. d. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah perempuan Salafi yang hanya merupakan bagian dari subkulur Salafi. Sedangkan laki-laki Salafi sendiri tidak menjadi subjek penelitian. Sehingga penelitian ini tidak mewakili komunitas subkultur Salafi secara keseluruhan. e. Penelitian ini hanya mendalami praktek komunikasi interpersonal dan strategi face negotiation yang dilakukan perempuan Salafi yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Sehingga penelitian ini tidak mewakili strategi face negotiation yang dilakukan perempuan Salafi yang berada dalam latar ekonomi lainnya. f. Karena hanya mendalami strategi face negotiation perempuan Salafi, penelitian ini hanya meninjau praktek komunikasi interpersonal perempuan Salafi sebagai komunikator dan tidak meninjau lebih dalam strategi yang dilakukan pihak warga umum yang dalam penelitian ini dilihat sebagai komunikan. g. Konteks komunikasi yang diamati dalam penelitian ini adalah komunikasi yang terjalin sehari-hari antara perempuan Salafi dengan warga umum karena selama pengambilan data memang tidak dijumpai situasi yang memberi ruang bagi munculnya dialog dan interaksi yang memuat topiktopik bahasan sensitif seperti: perbedaan konsep religius antara kedua belah pihak.