BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu: 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Misalnya seseorang mengetahui apa yang dimaksud dengan hipertensi. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Misalnya seseorang dapat menjelaskan dan menginterpretasikan hipertensi secara benar. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Misalnya setelah mengetahui gaya hidup tidak sehat dapat menyebabkan hipertensi, seseorang dapat merubah prilaku tersebut. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Misalnya seseorang yang tahu dan paham akan bahaya hipertensi, maka ia akan menjauhi faktor-faktor penyebabnya. 5. Sintesis (syntesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya seseorang menghubungkan kejadian hipertensi dengan penyakit jantung lainnya. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap sutu materi atau objek. Sehingga subjek akan menanggapi hipertensi secara positif maupun negatif. Pengukuran pengetahuan dapat kita lakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tantang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau responden. Sejauh mana pengetahuan yang ingin kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas. 2.2. Tekanan Darah Tekanan darah merupakan gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding pembuluh, bergantung pada volume darah yang terkandung didalam pembuluh dan compliance atau daya regang dinding pembuluh darah yang bersangkutan. Tekanan maksimum yang ditimbulkan diarteri sewaktu darah disemprotkan masuk ke dalam arteri selama sistol (tekana sistolik) rata-rata adalah 120mmHg. Tekanan minimum didalam arteri sewaktu darah mengalir ke luar ke pembuluh dihilir selama diastol (tekanan diastolik) rata-rata adalah 80mmHg. Sedangakan tekanan pada nadi adalah perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik (Sherwood, 2006). Pengaturan tekanan arteri jangka pendek dilakukan oleh sistem saraf simpatis, terutama melalui efek sistem saraf pada kapasitansi dan tahanan vaskular perifer total dan kemampuan memompa jantung. Sedangkan pengaturan untuk jangka panjang bekaitan dengan homeostasis volume cairan tubuh, yang ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan keluaran cairan. Bila tubuh mengandung banyak cairan ekstrasel, volume darah dan tekanan arteri akan meningkat. Peningkatan tekanan ini kemudian mempengaruhi ginjal untuk mengeksresikan kelebihan cairan ekstrasel, sehingg pengembalian tekanan kembali normal (Guyton dan Hall, 2006). 2.2.1. Sistem Pengaturan Tekanan Darah Jangka Pendek Pengaturan jangka pendek dikendalikan oleh sistem saraf. Mekanisme utama dalam proses pengontrolan tekanan darah ini berjalan sesuai dengan mekanisme umpan balik negatif. Mekanisme umpan balik negatif adalah mekanisme perangsangan yang akan mengurangi impuls respon tubuh. Mekanisme pengaturan ini membutuhkan sensor/ reseptor, neuron aferen, sistem saraf pusat, neuron eferen dan efektor (Ronny, 2009). Meurut Sherwood (2006), beberapa sensor yang mendeteksi perubahan tekanan darah diuraikan dibawah ini: a. Refleks Baroreseptor Setiap perubahan pada tekanan darah rata-rata akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai secara otonom. Sistem baroreseptor bekerja sangat cepat untuk mengkompensasi perubahan tekanan darah. Baroreseptor yang penting dalam tubuh manusia terdapat di sinus karotis dan arkus aorta. Baroreseptor secara terus menerus memberikan informasi mengenai tekanan darah, dan secara kontinu menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan didalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat, potensial aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan pembentukan potensial aksi di neuron eferen yang bersangkutan juga ikut meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi penurunan tekanan darah. Setelah mendapat informasi bahwa tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan potensial aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler berespon dengan mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen ini menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup, menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena serta menurunkan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika tekanan darah turun dibawah normal b. Osmoreseptor hipotalamus dan reseptor volume pada atrium kiri Osmoreseseptor pada hipotalamus peka terhadap perbahan osmolaritas darah yang dipengaruhi oleh keseimbangan cairan tubuh, keduanya mempengaruhi regulasi jangka panjang tekanan darah dengan mengontrol volume darah c. Kemoreseptor pada arteri karotis dan aorta Kemoreseptor tersebut peka terhadap kadar O2 rendah atau keasaman tinggi pada darah. Fungsi utamanya adalah secara refleks meningkatkan aktivitas penafasan sehingga lebih banyak O2 yang masuk atau lebih banyak CO2 pembentuk asam yang keluar. Disamping itu, reseptor ini juga akan menyampaikan impuls eksitatorik ke pusat kardiovaskuler. d. Sistem saraf pusat Sistem saraf akan mempengaruhi tekanan darah melaui perangsangan simpatis dan parasimpatis. Emosi dan prilaku tertentu memengaruhi kerja simpatis yang berefek pada respon kardiovaskular e. Olahraga Perubahan mencolok pada sistem kardiovaskular terjadi saat berolahraga, termasuk peningkatan besar aliran darah otot rangka, peningkatan curah jantung, penurunan resistensi perifer total f. Kontrol Hipotalamus terhadap arteriol kulit Tekanan darah dapat turun pada saat pembuluh kulit mengalami dilatasi menyeluruh untuk mengeluarkan kelebihan panas dari tubuh. 2.2.2. Sistem Pengaturan Tekanan Darah Jangka Panjang Selain refleks dan respon tersebut, pengaturan tekanan darah intermitten dan jangka panjang juga dipengaruhi secara vasoaktif, meliputi: a. Epinefrin, berasal dari medula adrenal, berikatan dengan reseptor α1 (vasokonstriksi) dan reseptor β2 (vasodilatasi), juga berikata dengan β1 (meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi (Ronny, 2009) b. Serotonin 5-hidroksitriptamin, biasanya terdapat pada saraf terminal, trombosit dan sel mast. Zat ini menyebabkan vasokonstriksi (Ronny, 2009) c. Histamin, biasanya dikeluarkan saat terjadi luka atau inflamasi yang dapat menyebabkan pembuluh darah di otot polos vasodilatasi, tetapi otot polos viseral berkontraksi (Ronny, 2009) d. Angiotensin II, merupakan bagian dari sistem renin angiotensin aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang sangat kuat. Walaupun hanya berada dalam darah 1 atau 2 menit dalam darah, tetapi angiotensin II mempunyai pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri, yaitu sebagai vasokonstriksi di berbagai daerah tubuh serta menurunkan eksresi garam dan air oleh ginjal. 2.3. Hipertensi 2.3.1. Definisi Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah diatas normal. Menurut pedoman The Seventh Report of Joint National Committeeon Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNCVII) (2009) , terdapat empat kategori definisi tekanan darah, yaitu: • Tekanan darah normal: tekanan darah sistolik <120 mmHg dan tekanan darah diastolik <80 mmHg • Prehipertensi: tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau tekanan darah diastolik 80-89 mmHg • Hipertensi tahap I: tekanan darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg • Hipertensi tahap II: tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥100 mmHg. 2.3.2. Jenis Hipertensi Berdasarkan penyebabnya Gray dkk (2005) , hipertensi di bagi menjadi dua jenis: a. Hipertensi primer Juga disebut hipertensi esensial atau idiopatik, dan merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular bertambah, atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui beberapa tahun setelah kecendrungan tersebut dimulai. Dan pada saat itu telah terjadi beberapa mekanisme fisiologis kompensasi sekunder, sehingga kelainan dasar curah jantung atau resistensi perifer tidak diketahui dengan jelas. b. Hipertensi sekunder Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, dan dapat dikelompokkan menjadi: • Penyakit parenkim ginjal (3%), setiap penyebab gagal ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan) yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim ginjal, akan cendrung menimbulkan hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan kerusakan ginjal. • Penyakit renovaskular (1%), terdiri dari penyakit yang menyebabkan gangguan pasokan darah ginjal, yaitu arterosklerosis dan fibrodisplasia. Penurunan pasokan darah ginjal akan memacu produksi renin ipsilateral dan meningkatkan tekanan darah. • Endokrin (1%), pertimbangkan aldosteronisme primer (sindrom Conn) jika terdapat hipokalemia bersama hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan renin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan natrium dan air. Biasanya disebabkan adenoma jinak soliter atau hiperplasia adrenal bilateral. • Sindrom Cushing, disebabkan oleh hiperplasia adrenal bilateral yang disebabkan oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan ACTH (adrenocorticotrophic hormone) pada dua per tiga kasus dan tumor adrenal primer pada sepertiga kasus. • Hiperplasia adrenal kongenital, merupakan penyebab hipertensi pada anak (jarang). • Feokromositosoma, disebabkan oleh tumor sel kromafin asal neural yang mensekresikan katekolamin, 90% berasal dari kelenjar adrenal, dan 10% lainnya terjadi ditempat lain. • Hipertensi pada kehamilan, terjadi sekitar 10% pada kehamilan pertama dan lebih sering terjadi pada ibu muda. Diperkirakan karena aliran uretroplasental yang kurang baik dan umumnya terjadi pada trimester terakhir atau awal periode postpartum. • Hipertensi akibat obat, yang paling banyak menyebabkan hipertensi adalah penggunaan pil kontrasepsi oral (OCP), dengan 5% perempuan mengalami hipertensi dalam 5 tahun sejak mulai penggunaan. 2.3.3. Gejala Penyakit hipertensi ini seringnya datangnya secara diam-diam dan tidak menunjukkan adanya gejala-gejala tertentu yang terlihat dari luar sehingga disebut sebagai the silent disease. Pada sebagian besar kasus hipertensi, penderita tidak mengetahui dan menyadari bahwa dirinya telah menderita hipertensi hingga dikeahui bahwa terjadi komplikasi. Ketika tekanan darah naik dengan sangat cepat sehingga tekanan diastolnya ≥140 mmHg, biasany a baru muncul gejala-gejala seperti sakit kepala atau pusing, muka merah, vertigo (rasa berputar), tinnitus (suara mendenging dalam telinga), keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan pengelihatan menjadi kabur (Sudarmoko, 2010). Tetapi, gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khusus yang hanya dimiliki pada penderita hipertensi, karena juga dapat terjadi pada pasien dengan tekanan darah normal. Jika hipertensi yang dialami sudah berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan kabur karena terjadi kerusakan otak, mata, jantung dan ginjal (Susilo dan Wulandari, 2011). Kadang-kadang penderita hipertensi berat dapat mengalalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakak otak, disebut ensefalopati hipertensif yang memerlukan penanganan segera, karena dapat memicu kematian (Susilo dan Wulandari, 2011). 2.3.4. Penyebab Seperti yang telah dijelaskan diatas, penyebab hipertensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang penyebabnya dapat berupa penyakit parenkim ginjal, penyakit renovaskular, penyakit endokrin, hipertensi akibat obat, hipertensi akibat kehamilan dan lain-lain (Gray dkk, 2005). Seventh Report of the Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), memperkirakan penyebab-penyebab hipertensi yang terindentifikasi sebagai berikut: a. Sleep apnea b. Pengaruh obat c. Penyakit ginjal kronis d. Aldosteronisme primer e. Penyakit renovaskular f. Cushing’s syndrome atau terapi dengan steroid g. Pheochromocytoma h. Penyakit tiroid/ paratiroid i. Coarctation of aorta 2.3.5. Faktor Resiko Sampai saat ini penyebab hipertensi primer tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stres akut, kerusakanvaskuler dan lain-lain (Anggraini dkk, 2009). Namun, menurut dilihat dari faktor pemicunya, dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. a. Faktor Genetik Dari berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa orang yang mempunyai riwayat atau silsilah dengan keluarga yang memiliki riwayat hipertensi ada kecendrungan untuk dapat juga terjadi hipertensi (Sudarmoko, 2010). Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individudengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini dkk, 2009) b. Usia Kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Individual yang berumur diatas 60 tahun, sekitar 50-60% mempunyai tekana darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal itu merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya (Susilo dan Wulandari, 2011). c. Jenis Kelamin Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria dan wanita sama, hanya saja wanita terlindungi dari penyakit kardiovaskular sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang dapat meningkatkan jumlah High Density Lipoprotein (HDL). Kadar HDL yang tinggi mampu mencegah terjadinya arterosklerosis (Anggraini dkk, 2009). Namun dari hasil penelitian menyebutkan bahwa pria lebih mudah terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita, mungkin dikarenakan gaya hidup pria yang kebanyakan lebih tidak terkontrol dibandingkan wanita, misalnya kebiasaan merokok, bergadang, stres kerja, hingga pola makan yang tidak teratur (Sudarmoko, 2010). d. Etnis Hipertensi banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada yang berkulit putih. Belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun pada orang berkulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopresin yang lebih basar (Susilo & Wulandari, 2011). e. Obesitas Menurut National Institutes for Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional) (Anggraini dkk, 2009). f. Asupan garam Asupan garam yang tinggi akan menyebabkan pengeluaran berlebihan dari hormon natriuretik yang secara tidak langsung akan meningkatkan tekanan darah (Susilo&Wulandari, 2011). Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi (Anggraini dkk, 2009). World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari (Anggraini dkk, 2009). g. Merokok Merokok merupakan salah satu faktor penyebab dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya hipertensi. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts (2007) terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Anggraini dkk, 2009). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebiasaa merokok dapat menyebabkan terjadinya hipertensi. h. Stres Stres dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Peningkatan simpatis akan meningkatkan kerja jantung dan meningkatkan tekanan darah (Susilo dan Wulandari, 2011). i. Kafein Konsumsi kafein dalam jumlah yang berlebihan juga dapat menjadi faktor resiko terjadi hipertensi. Kafein dapat menimbulkan perangsangan saraf simpatis, yang pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan gejala jantung berdebar-debar, sesak nafas dan lain-lain (Susilo dan Wulandari, 2011). j. Kolesterol tinggi Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah dapat menyebabkan penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat (Susilo dan Wulandari, 2011). 2.3.6. Patofisiologi Menurut Udjianti (2010), empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan, sistem renin angiotensin dan autoregulasi vaskular. Sistem baroreseptor seperti yang dijelaskan sebelumnya, merupakan monitor derajat tekanan arteri dan meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui mekanisme perlambatan jantung oleh respon vagal (stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi. Namun, pada hipertensi kontrol ini gagal menurunkan tekanan darah dan belum jelas penyebabnya. Bila tubuh menglami kelebihan garam dan air, tekanan darah akan meningkat melalui mekanisme fisiologi yang kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan peningkatan curah jantung. Bila ginjal masih berfungsi secara adekuat, peningkatan tekanan arteri dapat meningkatkan diuresis dan penurunan tekana darah. Kondisi patologis yang mengubah ambang tekanan pada ginjal dalam mengeksresikan garam dan air akan meningkatakan tekanan arteri sistemik. Renin dan aniotensin memegang peranan penting dalam pengaturan tekanan darah. mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang berperan penting dalam meningkatkan tekanan darah karena bersifat vasokonstriktor kuat pada pembuluh darah dan juga berperan dalam pelepasan aldosteron oleh korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Anggraini dkk, 2009). Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berpera dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer (Gambar 2.1) (Yogiantoro, 2006). Gambar 2.1. Diagram Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah Asupan garam berlebihan Retensi natrium ginjal Jumlah nefron berkurang Stres Penurunan permukaan filtrasi Volume cairan Aktifitas berlebihan saraf i i Perubahan Genetis Obesitas Renin angiotensin berlebihan Perubahan membran sel Bahanbahan yang berasal dari endotel Hiperinsuline mia Konstriksi vena kontraktilitas preload TEKANAN DARAH = Konstriksi fungsionil CURAH JANTUNG X Hipertensi = Penigkatan CJ dan/ atau Hipertrofi struktural TAHANAN PERIFER Peningkatan TP Otoregulasi (Hipertensi Esensial. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V) 2.3.7. Pencegahan Cara terbaik untuk mencegah terjadinya hipertensi adalah menghindari faktor - faktor penyebab dan faktor resiko timbulnya penyakit hipertensi. Dalam hal ini adalah faktor yang dapat dihindari, misalnya merokok, asupan garam yang berlebihan, stres, obesitas dan lain-lain. Selain dengan cek tekanan darah secara teratur, perawatan pada penderita hipertensi dapat dilakukan dengan menjalankan diet yang dirancang secara khusus sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kondisi penderita. Menurut Susilo dan Wulandari (2011), berikut yang dapat dilakukan untuk pencegahan hipertensi: 1. Pola makan sehat Inti pola makan sehat adalah makan makanan yang mengandung kalori dan kebutuhan nutrisi sesuai kebutuhan. a. Kurangi konsumsi garam dalam makanan sehari-hari b. Konsumsi makanan yang mengandung kalium, magnesium dan kalsium karena dapat mengurangi hipertensi seperti pisang dan alpukat c. Kurangi minuman beralkohol dan bersoda d. Makan sayur dan buah-buahan berserat tinggi seperti sayuran hijau, pisang, tomat, wortel, melon dan jeruk e. Kendalikan kolesterol, kurangi makanan yang mengandung lemak jenuh f. Kendalikan diabetes bila ada g. Hindari konsumsi obat yang dapat meningkatkan tekanan darah h. Tidur yang cukup setia hari, antara 6-8 jam setiap hari i. Konsumsi minyak ikan, karena mengandung omega-3 yang dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan j. Puasa yang rutin juga sangat baik untuk mengendalikan tekanan darah 2. Pola hidup sehat a. Melakukan olahraga teratur. Pada penderita hipertensi dapat melakukan olahraga ringan seperti berjalan kaki, bersepeda, lari santai dan berenang. Lakukan selama 30 hingga 45 menit sehari sebanyak tiga kali seminggu. b. Mengendalaikan emosi dan mengurangi kecemasan c. Berhenti merokok. Selain dapat meningkatkan faktor resiko terkena hipertensi, merokok juga dapat menyebabkan komplikasi pada penyakit paru dan kardiovaskular lain 2.3.8. Penatalaksanaan Menurut Anggraini dkk (2009), tujuan pengobatan hipertensi adalah sebagai berikut: • Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggiseperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg. • Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. • Menghambat laju penyakit ginjal. Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist blocker (ARB). Tabel 2.1. Terapi Hipertensi Klasifiksi TD Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg) Modifikasi Gaya Hidup Normal Prehipertensi <120 120-139 dan <80 atau 80-89 Dianjurkan Ya Hipertensi tahap I 140-159 atau 90-99 Ya Hipertensi tahap II ≥160 atau ≥100 ya Terapi Obat Tanpa Indikasi Dengan yang Memaksa Indikasi yang Memaksa Tidak ada indikasi pemberian antihipertensi Thiazide tipe diuretik, ACEi, ARB, BB, CCB atau kombinasi Dua kombinasi obat (biasanya Thiazide-tipe diuterik dan ACEi atau ARB atau BB atau CCB) Obat-obatan untuk indikasi yang memaksa Obat-obatan untuk indikasi yang memaksa Obat antihipertensi lain (diuretik, ACEi, ARB, BB,CCB) as needed (JNC7 Report on the prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure) Indikasi yang memaksa (Compelling indications) untuk terapi spesifik mencakup kondisi resiko tinggi yang dapat menyebabkan secara langsung gejala sisa dari hipertensi (gagal jantung, penyakit jantung iskemik, penyakit ginjal kronik dan stroke yang berulang) atau penyakit yang berhubungan dengan hipertensi (diabetes, resiko tinggi penyakit jantung), sehingga diperlukan obat antihipertensi tertentu (Yusuf, 2008). 2.3.9. Komplikasi Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya antibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitifitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro,2006). Gambar 2.2. Diagram Komplikasi Hipertensi Hipertens Afterload Disfungsi sitolik LVR Disfungsi diastolik Gagal jantung Kerusakan arteri Akseleasi Arterosklerosis Myocardial oxygen demand p.darah koroner Suplai oksigen miocardial Iskemik Miokardial p.darah serebral Stroke Iskemik Kelemahan pembuluh darah aorta p.darah serebral Aneurisma Stroke Hemorrhagic Nephrosklerosis dan gagal ginjal p.darah ginjal p.darah okular Retinopati