9 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tentang teori

advertisement
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas tentang teori yang digunakan sebagai dasar
untuk mendukung penelitian yaitu teori sinyal, variabel yang digunakan dalam
penelitian seperti underpricing, tujuan penggunaan dana untuk investasi, ROE,
kepemilikan dewan komisaris, ukuran perusahaan, return pasar dan tingkat bunga
sertifikat Bank Indonesia. Selain itu pada bab ini, penulis juga akan melakukan
telaah penelitian terdahulu yang mendasari penelitian, pengembangan hipotesis,
dan kerangka pemikiran.
2.1
Landasan Teori dan Pengertian Variabel
2.1.1 Teori Sinyal
Teori sinyal menyatakan bahwa ada beberapa indikator yang memberikan
sinyal kepada calon investor tentang kemampuan perusahaan untuk melakukan
IPO serta nilai perusahaan di masa depan (Hidayat dan Kusumastuti, 2014). Teori
sinyal juga mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan
memberikan sinyal yaitu berupa informasi mengenai kondisi perusahaan kepada
pihak yang berkepentingan (Susilowati dan Turyanto, 2011).
Sinyal akan meningkatkan visibilitas perusahaan saat IPO di kalangan
investor, analis, dan media (Pollock dan Gulati, 2007). Dengan kata lain, sinyal
yang diberikan perusahaan saat IPO digunakan oleh calon investor sebagai
parameter penilaian utama tentang reputasi perusahaan. Teori sinyal menjelaskan
10
bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri
informasi dikarenakan manajer yang terlibat dalam operasi sehari-hari perusahaan
memiliki informasi yang lebih dibandingkan dengan pihak luar.
Salah satu sinyal yang diberikan oleh perusahaan ketika IPO bagi calon
investor adalah prospektus. Informasi yang diungkapkan dalam prospektus berupa
informasi akuntansi dan informasi non akuntansi. Prospektus hendaknya memuat
informasi yang relevan dan mengungkapkan informasi yang dianggap penting
untuk diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
2.1.2 Underpricing
Fenomena underpricing terjadi saat IPO ketika harga saham pada pasar
perdana lebih rendah dari harga saham pada pasar sekunder pada hari pertama
(Hidayat dan Kusumastuti, 2014). Dampak yang ditimbulkan oleh underpricing
akan berbeda bagi perusahaan dan investor. Menurut Beatty (1989) dalam
Wicaksono (2012), underpricing akan tidak menguntungkan bagi perusahaan
karena dana yang diperoleh dari go public tidak maksimum. Sementara itu bagi
investor, underpricing akan memberikan keuntungan karena investor menerima
initial return dari perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana dengan
harga jual saham di pasar sekunder.
Harga penawaran merupakan harga kesepakatan antara harga yang
ditawarkan oleh perusahaan dan underwriter. Kedua pihak memiliki cara
perhitungan yang berbeda dalam menetapkan harga penawaran (Samsul, 2006:
76). Menurut Dempere dkk. (2014), valuasi perusahaan untuk menetapkan harga
11
penawaran merupakan proses yang kompleks. Menurut Baron (1982) dalam
Wicaksono (2012), underwriter dianggap memiliki informasi yang lebih tinggi
mengenai permintaan saham-saham perusahaan emiten daripada emiten itu
sendiri. Underwriter cenderung menetapkan harga yang rendah untuk mengurangi
risiko terjadinya kekurangan pembeli dan memudahkan distribusi saham ke pasar.
Emiten yang kurang memiliki informasi harus menerima harga yang diberikan
underwriter bagi penawaran sahamnya.
2.1.3 Initial Public Offering (IPO)
Initial Public Offering (IPO) adalah “kegiatan penawaran saham atau efek
lainnya oleh perusahaan kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh
Undang-Undang
yang
mengatur
tentang
pasar
modal
dan
peraturan
pelaksanaannya” (Darmadji dan Fakhruddin, 2012: 58). Dana hasil dari IPO akan
digunakan untuk ekspansi, pelunasan utang, atau menambah modal kerja.
Menurut Samsul (2006: 70), tahapan-tahapan perusahaan melakukan IPO
dibagi menjadi 5, yaitu :
1.
Rencana Go Public
Rencana go public membutuhkan waktu yang cukup berkaitan dengan
kondisi internal perusahaan seperti :
(a) Rapat gabungan pemegang saham, dewan direksi, dan dewan komisaris
(b) Kesiapan mental personel
(c) Perbaikan organisasi
(d) Perbaikan sistem informasi
12
(e) Perbaikan aspek hukum
(f) Perbaikan struktur permodalan
(g) Persiapan dokumen
2.
Persiapan Go Public
(a) Penunjukkan lembaga penunjang dan lembaga profesi
Setelah merencanakan go public, calon emiten akan menunjuk
perusahaan penjamin emisi efek (underwriter), akuntan publik, notaris,
konsultan hukum, dan perusahaan penilai. Hal ini ditujukan untuk
menghasilkan kelengkapan dokumen yang dibutuhkan dalam proses
berikutnya.
(b) Due Diligence Meeting
Untuk memperoleh gambaran awal mengenai kekuatan pasar, emiten
melakukan
due
diligence
meeting
yang
dikoordinasikan
oleh
underwriter, yaitu pertemuan antara emiten, underwriter, lembaga
profesi, analis, dan investor kelembagaan.
(c) Pernyataan Pendaftaran ke Bapepam (sekarang OJK)
(d) Public Expose dan Road Show
3.
Pelaksanaan Go Public
(a) Penyerahan dokumen ke Bapepam
(b) Tanggapan dari Bapepam
(c) Perbaikan dokumen pernyataan pendaftaran
(d) Mini expose di Bapepam
(e) Penentuan harga perdana
13
(f) Sindikasi dan penjaminan emisi
4.
Penawaran Umum
(a) Distribusi prospektus
(b) Penyusunan prospektus ringkas untuk iklan
(c) Penawaran
(d) Penjatahan
(e) Pengembalian dana
(f) Penyerahan saham
(g) Pencatatan saham
5.
Kewajiban setelah Go Public
(a) Tidak melakukan tindakan yang menjatuhkan harga saham di pasar
(b) Memberikan informasi secepat mungkin
(c) Menyampaikan laporan keuangan yang diaudit
(d) Menyampaikan laporan berkala yang diwajibkan bursa
(e) Menyampaikan
laporan
insidentil
atas
peristiwa
yang
dapat
mempengaruhi harga saham.
2.1.4 Faktor Internal yang Mempengaruhi Underpricing
Informasi prospektus merupakan keterbukaan informasi yang dilakukan
perusahaan kepada publik pertama kali dimana sebelumnya perusahaan berstatus
perusahaan tertutup yang nilai perusahaannya belum diketahui. Prospektus
merupakan gambaran perusahaan yang disajikan dalam bentuk tertulis yang
memuat keterangan lengkap dan keterbukaan mengenai gambaran keadaan
14
perusahaan dan prospek perusahaan di masa depan serta informasi yang
dibutuhkan sehubungan dengan penawaran umum. Informasi yang terkandung di
dalam prospektus tersebut dianggap dapat memberikan sinyal kepada calon
investor dalam mengambil keputusan investasi.
Dari beberapa penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa terdapat beberapa
faktor internal atau dengan kata lain informasi yang berasal dari perusahaan itu
sendiri memiliki pengaruh terhadap fenomena underpricing, diantaranya reputasi
underwriter, reputasi auditor, ukuran perusahaan, ROE, PBV, tujuan penggunaan
dana, proporsi saham yang ditawarkan, nilai penawaran saham, kepemilikan
dewan komisaris dan jumlah dewan komisaris.
Faktor internal yang mempengaruhi underpricing dalam penelitian ini
adalah :
2.1.4.1 Tujuan Penggunaan Dana Untuk Investasi
Motivasi perusahaan untuk IPO berbeda pada tiap negara, bergantung pada
kondisi ekonomi, perkembangan pasar modal, dan peraturan yang berlaku pada
suatu negara. Menurut Ismiyanti dan Armansyah (2010), motivasi IPO di
Indonesia lebih dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah.
Perusahaan-perusahaan yang ada lebih memilih untuk mendapatkan modal
melalui IPO daripada menggunakan utang karena tingkat bunga dan kondisi
ekonomi yang sukar diprediksi.
Dana yang diperoleh dari IPO, oleh perusahaan akan digunakan untuk
kebutuhan belanja modal, restrukturisasi utang, atau modal kerja. Penggunaan
15
dana untuk belanja modal seperti membuka cabang usaha baru, investasi pada
anak usaha, akuisisi, pembelian aset tetap, dan sebagainya dianggap sebagai
tujuan penggunaan dana untuk investasi. Bagi perusahaan dengan kualitas baik,
penggunaan dana IPO untuk belanja modal dapat dianggap sebagai upaya
meningkatkan kualitas perusahaan melalui peningkatan kapasitas produksi,
sementara bagi perusahaan dengan kualitas kurang baik hal itu tidak bermakna
apa-apa (Kim dkk., 1993).
2.1.4.2 Return on Equity
Return on Equity (ROE) merupakan rasio yang mengukur besarnya tingkat
pengembalian ekuitas dari perusahaan. Nilai ROE yang tinggi menunjukkan
kinerja yang baik dan merupakan informasi penting bagi investor untuk
mengambil keputusan. Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan
mengurangi ketidakpastian bagi investor, sehingga akan menurunkan tingkat
underpricing.
2.1.4.3 Kepemilikan Dewan Komisaris
Kepemilikan dewan komisaris adalah kepemilikan saham perusahaan oleh
dewan komisaris atau dengan kata lain komisaris tersebut sekaligus sebagai
pemegang saham. Dewan komisaris sebagai mekanisme tata kelola perusahaan,
memainkan peran penting dalam mengurangi konflik keagenan antara manajer
dan pemegang saham (Darmadi dan Gunawan, 2012). Dewan komisaris
diharapkan dapat mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dan investor.
16
Dengan adanya kepemilikan saham di perusahaan, maka dewan komisaris
akan merasa memiliki perusahaan sehingga mereka akan berusaha semaksimal
mungkin untuk mengambil tindakan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan
mereka sendiri.
2.1.4.4 Ukuran Perusahaan
Tolak ukur skala atau besarnya suatu perusahaan adalah total aset. Secara
teoritis, perusahaan yang lebih besar mempunyai kepastian yang lebih besar dari
perusahaan yang lebih kecil, sehingga akan mengurangi tingkat ketidakpastian di
masa yang akan datang (Wicaksono, 2012).
2.1.5 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Underpricing
Selain faktor internal, faktor eksternal atau yang berasal dari luar
perusahaan juga dianggap mempunyai pengaruh terhadap underpricing dan
overpricing. Bank Indonesia, dalam Ratnasari dan Hudiwinarsih (2013)
menyatakan bahwa secara teori banyak indikator yang dapat mengukur variabel
makro, namun dari sekian banyak indikator yang cukup lazim digunakan untuk
memprediksi fluktuasi saham adalah variabel yangsecara langsung dikendalikan
melalui kebijakan moneter dengan mekanisme transmisi melalui pasar keuangan
yaitu tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing. Menurut Samsul
(2006:200), pengaruh perubahan faktor ekonomi makro tidak akan mempengaruhi
kinerja perusahaan dalam jangka pendek, namun, harga saham akan terpengaruh
dengan seketika akibat reaksi investor terhadap informasi ekonomi makro.
17
Menurut Martani (2003), nilai informasi selama proses penawaran
dipengaruhi oleh dua hal yaitu kondisi pasar yang terjadi selama proses
penawaran dan persepsi investor terhadap perusahaan yang go public. Keadaan
pasar tersebut dapat diwakili oleh variabel tingkat suku bunga SBI pada saat
proses penawaran, return indeks harga saham selama proses penawaran, tingkat
harga saham, jangka waktu saham terdaftar sampai dengan listing dan price
eaming ratio pasar.
Faktor eksternal yang mempengaruhi underpricing dalam penelitian ini
adalah :
2.1.5.1 Return Pasar
Return pasar adalah retum indeks harga saham secara keseluruhan. Return
pasar dianggap sebagai parameter penilaian utama dalam melihat pasar modal
suatu negara. Return pasar merupakan aspek yang sangat diperhatikan oleh
investor di pasar sekunder.
2.1.5.2 Tingkat Bunga SBI
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yaitu dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang. SBI merupakan salah satu
mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk menyerap kelebihan uang
primer yang beredar dan mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Tingkat bunga SBI
ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang.
18
2.2
Telaah Penelitian Terdahulu
Deb (2014) melakukan penelitian tentang underpricing dan likuiditas
saham dengan menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO di Amerika
Serikat tahun 2001-2004. Variabel independen yang digunakan untuk mengetahui
penyebab underpricing adalah kepemilikan dewan komisaris dan kepemilikan non
dewan komisaris. Variabel independen yang digunakan untuk mengetahui
penyebab likuiditas saham adalah kepemilikan dewan komisaris, kepemilikan non
dewan komisaris, dan underpricing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kepemilikan dewan komisaris dan kepemilikan non dewan komisaris berpengaruh
negatif terhadap underpricing. Underpricing berpengaruh positif terhadap
likuiditas saham dan kepemilikan non dewan komisaris berpengaruh negatif
terhadap likuiditas saham.
Hidayat
dan
Kusumastuti
(2014)
melakukan
penelitian
tentang
underpricing dengan menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO di
Indonesia tahun 2005-2012. Variabel independen yang digunakan adalah dewan
komisaris, dewan komisaris independen, umur perusahaan, komite audit, ukuran
perusahaan, dan leverage. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dewan komisaris
dan leverage berpengaruh negatif terhadap underpricing.
Kristiantari (2013) menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO
di Indonesia tahun 1997-2010. Variabel independen yang digunakan adalah
reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ukuran perusahaan,
tujuan penggunaan dana, profitabilitas, leverage, dan tipe industri. Hasil penelitian
19
menunjukkan bahwa reputasi underwriter, ukuran perusahaan, dan tujuan
penggunaan dana berpengaruh negatif terhadap underpricing.
Ratnasari dan Hudiwinarsih (2013) melakukan penelitian tentang
underpricing dengan menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO di
Indonesia tahun 2007-2011. Variabel independen yang digunakan adalah
ROE,DER, inflasi, reputasi underwriter, dan reputasi auditor. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ROE, reputasi underwriter, dan reputasi auditor berpengaruh
negatif terhadap underpricing, sedangkan DER dan inflasi tidak berpengaruh
terhadap underpricing.
Wicaksono (2012) melakukan penelitian tentang underpricing dengan
menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia tahun 19982010. Variabel independen yang digunakan adalah umur perusahaan, proporsi
penawaran, ukuran perusahaan, latar belakang industri, ROA, financial leverage,
tujuan penggunaan dana, reputasi underwriter, reputasi auditor, dan earning per
share. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ukuran perusahaan yang
berpengaruh terhadap underpricing. Ukuran perusahaan berpengaruh negatif
terhadap underpricing, hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar suatu
perusahaan maka semakin kecil risiko berinvestasi pada perusahaan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Zouari dkk. (2011) menguji faktor yang
mempengaruhi underpricing pada hari pertama, kedua, dan ketiga di pasar
sekunder. Sampel yang digunakan adalah perusahaan yang melakukan IPO di
Tunisia pada tahun 1992-2008. Variabel independen yang digunakan adalah
prosentase pemilik lama, dukungan harga underwriter, permintaan saham, listing
20
delay, harga penawaran, umur perusahaan, ukuran perusahaan, ukuran penawaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosentase pemilik lama dan harga
penawaran berpengaruh negatif terhadap underpricing pada hari pertama, kedua,
dan ketiga di pasar sekunder. Dukungan harga underwriter dan listing delay
berpengaruh positif terhadap underpricing hari pertama, kedua, dan ketiga di
pasar sekunder. Permintaan saham berpengaruh positif terhadap underpricing
pada hari kedua dan ketiga di pasar sekunder.
Marshall (2004) melakukan penelitian tentang underpricing dengan
menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO di Amerika Serikat tahun
1993-1995. Variabel yang digunakan adalah reputasi underwriter, reputasi
auditor, persentase saham yang ditahan, persentase penggunaan dana untuk selain
modal kerja, dana IPO, persentase venture-capital, utang bank, industri, risiko
keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase penggunaan dana
untuk selain modal kerja berpengaruh negatif terhadap underpricing. Utang bank,
industri, dan risiko keuangan berpengaruh positif terhadap underpricing,
sedangkan dana IPO, persentase venture-capital, reputasi underwriter, reputasi
auditor, dan persentase saham yang ditahan tidak berpengaruh terhadap
underpricing.
Penelitian yang dilakukan oleh Martani (2003) tentang underpricing
dengan menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia tahun
1990-2003. Variabel independen yang digunakan adalah umur perusahaan, return
pasar, bunga SBI, jangka waktu penawaran, PER pasar, maturitas pasar, PBV,
volume perdagangan, prosentase pemilik lama, pertumbuhan penjualan, dan
21
penjulan dibagi total aset. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur perusahaan,
bunga SBI, dan PER pasar berpengaruh negatif terhadap underpricing. Return
pasar, maturitas pasar, dan PBV berpengaruh positif terhadap underpricing.
2.3
Pengembangan Hipotesis
2.3.1 Tujuan Penggunaan Dana Untuk investasi
Tujuan penggunaan dana dari IPO dapat diidentifikasi dari prospektus,
yaitu untuk kebutuhan belanja modal, restrukturisasi utang, atau modal kerja. Bagi
perusahaan dengan kualitas baik, penggunaan dana IPO untuk belanja modal
dapat dianggap sebagai upaya meningkatkan kualitas perusahaan melalui
peningkatan kapasitas produksi, sementara bagi perusahaan dengan kualitas
kurang baik hal itu tidak bermakna apa-apa (Kim dkk., 1993).
Penelitian yang dilakukan oleh Kristiantari (2013) dan Kim dkk. (1993),
menunjukkan bahwa tujuan penggunaan dana IPO untuk investasi berpengaruh
negatif terhadap underpricing. Berbeda dengan penelitian tersebut, Wicaksono
(2012) dan Ismiyanti dan Armansyah (2010) menyatakan bahwa tujuan
penggunaan dana untuk investasi tidak berpengaruh terhadap underpricing.
Dana IPO yang akan digunakan untuk investasi atau ekspansi oleh emiten
dianggap sebagai sinyal positif yang mengisyaratkan perusahaan tersebut akan
semakin berkembang, dibandingkan dengan emiten yang akan menggunakan dana
hasil IPO untuk membayar utang (Kristiantari, 2013). Hal ini menyebabkan
emiten dan underwriter cenderung untuk tidak menentukan harga penawaran
perdana yang jauh lebih rendah dibawah harga sewajarnya atau dengan kata lain
22
menurunkan besarnya underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis
yang dapat diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
H1 : Tujuan penggunaan dana untuk investasi berpengaruh negatif terhadap
underpricing saat Initial Public Offering.
2.3.2 Return on Equity
Return on Equity (ROE) merupakan rasio yang mengukur besarnya tingkat
pengembalian ekuitas dari perusahaan. Nilai ROE yang tinggi menunjukkan
kinerja yang baik dan merupakan informasi penting bagi investor untuk
mengambil keputusan.
Penelitian
yang
dilakukan
Ratnasari
dan
Hudiwinarsih
(2013)
menunjukkan bahwa ROE berpengaruh negatif terhadap underpricing. Menurut
Ratnasari dan Hudiwinarsih (2013) IPO dari emiten dengan ROE yang tinggi
akan menciptakan sentimen positif bagi investor dalam membeli saham
perusahaan tersebut, sehingga dalam pelaksanaan IPO underwriter dan emiten
kemudian cenderung untuk tidak menentukan harga penawaran perdana yang jauh
lebih rendah dibawah harga sewajarnya atau dengan kata lain menurunkan
besarnya underpricing. ROE yang tinggi membuat investor semakin tertarik untuk
menanamkan dananya ke dalam perusahaan (Susilowati dan Turyanto, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dapat diuji dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
H2 : Return on Equity berpengaruh negatif terhadap underpricing saat Initial
Public Offering.
23
2.3.3 Kepemilikan Dewan Komisaris
Kepemilikan saham oleh dewan komisaris merupakan sinyal psikologis
dari keterikatan organisasi, dan penyelarasan kepentingan pemilik dengan
kepentingan perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Dewan komisaris dianggap
memiliki pengetahuan spesifik tentang perusahaan dan dianggap mampu
mengarahkan strategi perusahaan. Dewan komisaris sebagai mekanisme tata
kelola perusahaan, memainkan peran penting dalam mengurangi konflik keagenan
antara manajer dan pemegang saham (Darmadi dan Gunawan, 2012). Dewan
komisaris diharapkan dapat mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dan
investor.
Dengan adanya kepemilikan saham di perusahaan, maka dewan komisaris
akan merasa memiliki perusahaan sehingga mereka akan berusaha semaksimal
mungkin untuk mengambil tindakan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan
mereka sendiri. Hal ini dianggap sebagai sinyal positif yang menyebabkan emiten
dan underwriter cenderung untuk tidak menentukan harga penawaran perdana
yang jauh lebih rendah di bawah harga sewajarnya atau dengan kata lain
menurunkan besarnya underpricing.
Penelitian yang dilakukan oleh Deb (2013) menunjukkan bahwa
kepemilikan dewan komisaris berpegaruh negatif terhadap underpricing.
Kepemilikan dewan komisaris dianggap merupakan mekanisme corporate
governance yang penting dalam meminimalisir underpricing saham. Berdasarkan
uraian di atas, maka hipotesis yang dapat diuji dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
24
H3 : Kepemilikan dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap underpricing
saat Initial Public Offering.
2.3.4 Ukuran Perusahaan
Tolak ukur skala atau besarnya suatu perusahaan adalah total aset. Secara
teoritis, perusahaan yang lebih besar mempunyai kepastian yang lebih besar dari
perusahaan yang lebih kecil, sehingga akan mengurangi tingkat ketidakpastian di
masa yang akan datang (Wicaksono, 2012). Perusahaan besar umumnya lebih
dikenal oleh masyarakat daripada perusahaan kecil hal sehingga informasi
mengenai perusahaan besar lebih banyak dan lebih mudah diperoleh dibandingkan
perusahaan kecil, hal ini akan mengurangi asimetri informasi dan akan
mengurangi tingkat underpricing (Kristiantari, 2013).
Penelitian yang dilakukan Kristiantari (2013) dan Wicaksono (2012)
menunjukkan
bahwa
ukuran
perusahaan
berpengaruh
negatif
terhadap
underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dapat diuji dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
H4 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing saat Initial
Public Offering.
2.3.5 Return Pasar
Informasi-informasi
yang terjadi selama proses penawaran akan
mempengaruhi harga saham di pasar sekunder (Martani, 2003). Return pasar
merupakan aspek yang sangat diperhatikan oleh investor di pasar sekunder.
Sebelum membeli saham di pasar sekunder, investor melakukan analisis pasar
25
untuk memaksimalkan keuntungan. Jika return pasar tinggi, maka juga akan
menyebabkan banyaknya permintaan terhadap saham di pasar sekunder. Hal ini
mendorong terjadinya underpricing pada saham perusahaan yang melakukan IPO.
Penelitian yang dilakukan Martani (2003) menunjukkan bahwa return
pasar berpengaruh positif terhadap underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka
hipotesis yang dapat diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
H5 : Return pasar berpengaruh positif terhadap underpricing saat Initial Public
Offering.
2.3.6 Tingkat Bunga SBI
Bank Indonesia, dalam Ratnasari dan Hudiwinarsih (2013) menyatakan
bahwa secara teori banyak indikator yang dapat mengukur variabel makro, namun
dari sekian banyak indikator yang cukup lazim digunakan untuk memprediksi
fluktuasi saham adalah variabel yang secara langsung dikendalikan melalui
kebijakan moneter dengan mekanisme transmisi melalui pasar keuangan yaitu
tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing.
Seluruh informasi sebelum saham didaftarkan merupakan informasi yang
relevan mempengaruhi penentuan harga pada saham di pasar perdana (Martani,
2003). Naiknya tingkat bunga SBI yang merupakan risk free rate akan
menyebabkan
investor lebih memilih untuk berinvestasi pada SBI daripada
saham karena memiliki risiko yang lebih rendah. Oleh karena itu, emiten dan
underwriter cenderung untuk tidak menentukan harga penawaran perdana yang
tinggi untuk menghindari risiko saham tidak habis terjual.
26
Penelitian yang dilakukan Martani (2003) menunjukkan bahwa tingkat
bunga SBI berpengaruh negatif terhadap underpricing. Berdasarkan uraian di atas,
maka hipotesis yang dapat diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
H6 : Tingkat bunga SBI berpengaruh negatif terhadap underpricing saat Initial
Public Offering.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Variabel Independen
H1 (-)
Tujuan Penggunaan
Dana Untuk Investasi
H2 (-)
Return
on Equity
H3 (-)
Kepemilikan Dewan
Komisaris
H4 (-)
Ukuran
Perusahaan
H5 (+)
Return
Pasar
H6 (-)
Tingkat
Bunga SBI
Variabel Dependen
Underpricing
Download