perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 14 BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Pembahasan Teori
1. Brand (Merek)
Merek merupakan persepsi atau emosi yang dipertahankan dan
dipelihara oleh para pembeli atau calon pembeli yang melukiskan
pengalaman yang berhubungan dengan persoalan menjalankan bisnisbisnis bersama sebuah organisasi atau memakai produk atau jasa-jasanya
(McNally dan Speak, 2004: 6). Menurut American Marketing Association,
merek didefinisikan sebagai nama, istilah, simbol, tanda, rancangan, atau
kombinsi dari hal-hal tersebut. Brand as “a name, term, symbol, or design,
or combination of them, intended to identify the goods or services of one
seller or group of seller and to differentiate them from those competitors”
A brand is thus a product or services that add dimensions that differentiate
it in some way from other products or services designed to satisfy the same
need (Kotler & Keller, 2006 dalam Surachman, 2008: 2).
Pengertian merek terbagi dalam enam tingkatan (Surachman, 2008: 3):
a. Merek sebagai atribut; merek mengingatkan pada atribut-atribut
tertentu.
b. Merek sebagai manfaat; yaitu suatu merek lebih dari serangkaian
atribut, pelanggan tidak membeli atribut tetapi mereka membeli
commit to user
manfaat.
14
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Merek sebagai nilai; yaitu merek menyatakan sesuatu tentang nilai
produk, nilai produsen atau pemegang merek, dan nilai pelanggan.
d. Merek sebagai budaya; merek yang berperan mewakili budaya
tertentu.
e. Merek sebagai kepribadian; merek mencerminkan kepribadian tertentu
f. Merek sebagai pemakai; merek dapat menunjukkan jenis konsumen
yang membeli atau menggunakan produk tersebut.
Menurut Retnawati (Putra, 2011), merek menjadi sangat strategis
bagi perusahaan dikarenakan adanya manfaat yang diberikan bagi penjual
dan pembeli sebab: 1) Pengelolaan merek yang efektif dimungkinkan
dapat mempertahankan kesetiaan konsumen yang ada, nantinya bisa
dipakai
untuk
menghambat
serangan
pesaing
dan
membantu
memfokuskan program pemasaran; 2) Merek membantu dalam melakukan
segmentasi pasar; 3) Citra perusahaan dapat dibangun dengan merek yang
kuat dan memberi peluang dalam peluncuran merek-merek baru yang
lebih mudah diterima oleh pelanggan dan distributor; 4) Memberikan ciriciri produk yang unik dan perlindungan hukum (hak paten) yang dapat
mempermudah prosedur klaim apabila terdapat cacat produksi pada
produk yang dibeli oleh konsumen.
2. Brand Associations (Asosiasi Merek)
Menurut Aaker (1991), asosiasi merek adalah kategori aset dan
commit to user
kewajiban merek yang mencakup apa saja yang terkait dalam memori ke
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merek. Keller (1998) mendefinisikan asosiasi merek sebagai node
informasi terkait dengan node merek dalam memori yang mengandung arti
merek bagi konsumen. Asosiasi merek penting bagi pemasar dan
konsumen.
Bagi
konsumen,
asosiasi
merek dapat
membantu proses,
mengorganisir, dan mendapatkan kembali informasi dalam ingatan dan
untuk membantu pegambilan keputusan (Aaker, 1991 dalam Low dan
Lamb Jr, 2000), di samping melalui nama merek dan atribut produk dapat
berguna
untuk memprediksi kinerja produk dan pencarian informasi
(Janiszewski dan Van Osselaer, 2000). Menurut Washburn et al. (Albari
dan Pramudito, 2005), konsumen dapat
mengembangkan keragaman
asosiasi nama merek dan kemudian mengelompokkan dalam co-branding
produk, memproses informasi, membedakan merek, membantu pilihan
pembelian yang rasional, menciptakan sikap dan perasaan positif, serta
memberikan dasar menciptakan rasa kesesuaian antara nama merek dan
produk baru.
Penelitian yang dilakukan oleh Suppheller, 2000 (Albari dan
Pramudito, 2005) menyebutkan bahwa bagi pemasar, asosiasi merek
dibutuhkan untuk mendefinisikan strategi merek secara optimal, desain
komunikasi yang efektif dan untuk memahami lingkungan persaingannya.
Pemasar juga bisa menggunakan asosiasi merek untuk membedakan dalam
memposisikan dan memperluas merek, menciptakan sikap dan perasaan
positif terhadap merek, mengesankan atribut dan manfaat pembelian atau
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggunaan merek secara khusus (Low dan Lamb Jr, 2000). Asosiasi
merek produk berguna membantu seseorang memahami positioning
produk dan mengenal potensi pemanfaatan situasi pembelian (Janiszewski
dan Van Osselaer, 2000).
Dalam konteks branding kota, tiga konstruksi: sikap terhadap
merek, persepsi kualitas merek dan keunikan yang dirasakan pada merek
mewakili asosiasi merek yang diusulkan untuk mempengaruhi proses selfbrand connection (Kemp et al., 2012).
3. Brand Attitude (Sikap merek)
Sikap terhadap merek (brand attitudes) merupakan komponen
paling abstrak dari asosiasi merek (Keller, 1998). Brand attitude adalah
perilaku konsumen yang erat kaitannya dengan nilai merek bagi konsumen
dan ekspekstasi konsumen (Rossiter dan Percy, 1998). Sikap terhadap
merek dapat juga dibentuk melalui kepercayaan dasar seseorang tentang
atribut ekstrinsik dari suatu merek dan juga manfaat simbiotik yang ada di
dalamnya (Keller, 1998). Selanjutnya Chaudhuri (Kurniawati, 2009)
mengatakan bahwa sikap terhadap merek atau brand attitude adalah
evaluasi keseluruhan konsumen terhadap merek, dalam model ekuitas
merek ditemukan bahwa peningkatan pangsa pasar terjadi ketika sikap
terhadap merek makin positif. Sikap merek dikatakan mendapat nilai
positif apabila merek tersebut lebih disukai, merek lebih diingat (Till &
Baack, 2005; Shapiro & Krishnan, 2001 dalam Kurniawati, 2009), dan
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurut Hyun Seung Jin (Kurniawati, 2009) merek tersebut lebih dipilih
dibandingkan merek pesaing.
Sikap terhadap merek mempresentasikan pengaruh konsumen
terhadap suatu merek, yang dapat mengarah pada tindakan nyata, seperti
pilihan terhadap suatu merek (Keller, 1998). Semakin tertariknya
seseorang terhadap suatu merek, maka semakin kuat keinginan seseorang
itu untuk memiliki dan memilih merek tersebut (Chaudhuri, 2001 dalam
Kurniawati, 2009).
Individu secara intrinsik termotivasi untuk mencapai kekhasan
positif dan biasanya ingin diidentifikasi dengan benda-benda dan ide-ide
positif (Tajfel, 1974 dalam Kemp et al., 2012). Sehingga, ketika konsumen
memiliki sikap yang menguntungkan terhadap sebuah merek, mereka
mungkin lebih cenderung untuk menyesuaikan diri dengan merek.
Sehubungan dengan city branding, sikap positif terhadap brand kota
kemungkinan meningkatkan koneksi diri berkembang dengan merek.
Untuk tujuan tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
H1: Sikap yang menguntungkan terhadap strategi branding kota
berpengaruh terhadap self-brand connection.
4. Perceived Quality (Persepsi Kualitas)
Perceived quality (persepsi kualitas) didefinisikan sebagai persepsi
pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk
atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Aaker, 1997 dalam Puspitasari, 2006). Menurut Simamora (2001: 78),
perceived quality adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas atau
keunggulan suatu produk atau layanan ditinjau dari
fungsinya secara
relatif dengan produk-produk lain.
Aaker (Puspitasari, 2006) menegaskan satu hal yang harus selalu
diingat, yaitu bahwa persepsi kualitas merupakan persepsi para pelanggan,
oleh sebab itu persepsi kualitas tidak dapat ditetapkan secara obyektif.
Sejumlah faktor dapat mempengaruhi penilaian konsumen atas kualitas,
termasuk pengalaman pribadi produk, kebutuhan khusus dan konsumsi
(Yoo et al., 2000 dalam Kemp et al., 2012). Kualitas tinggi yang dirasakan
akan memotivasi konsumen untuk memilih merek atas produk yang
bersaing (Dodds et al., 1991; Netemeyer et al., 2004 dalam Kemp et al.,
2012).
Menurut Simamora (2001: 78) perceived quality berbeda dengan
konsep-konsep lain tentang kualitas seperti :
a. Kualitas aktual atau obyektif (actual or objective quality) : kemampuan
produk atau layanan memberikan fungsi yang dijanjikan.
b. Kualitas
produk
(product-based
quality):
sifat
dan
kuantitas
kandungan, fitur, dan layanan tambahan.
c. Kualitas manufaktur (manufacturing quality): kesesuaian dengan
spesifikasi, hasil akhir yang tanpa cacat (zero defect)
Persepsi kualitas mencerminkan perasaan pelanggan yang tidak
nampak dan secara menyeluruh mengenai suatu merek. Akan tetapi,
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
biasanya persepsi kualitas didasarkan pada dimensi-dimensi yang
termasuk dalam karakteristik produk tersebut dimana merek dikaitkan
dengan hal-hal seperti keandalan dan kinerja. Lima dimensi kualitas jasa
(Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988; Zeithaml et al., 1996 dalam
Puspitasari, 2006) yang dipergunakan untuk memahami harapan dan
persepsi konsumen terhadap kualitas jasa tersebut adalah :
a. Keandalan (Reliability)
Kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat
dan terpercaya.
b. Ketanggapan (Responsiveness)
Kemauan perusahaan untuk membantu pelanggan dan memberikan
jasa dengan cepat.
c. Keyakinan (Assurance)
Pengetahuan dan keramahtamahan para karyawan serta kemampuan
mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan.
d. Empati (Empathy)
Syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.
e. Berwujud (Tangibles)
Penampilan fasilitas fisik (interior dan eksterior), peralatan, karyawan,
dan media komunikasi.
Berbagai dimensi yang mendasari penilaian kesan kualitas akan
bergantung pada konteksnya, berikut merupakan dimensi-dimensi kualitas
suatu produk (Aaker, 1997) :
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Kinerja (performance)
Melibatkan berbagai karakteristik operasional pada suatu produk.
b. Karakteristik produk (feature)
Bagian-bagian tambahan dari produk (features), merupakan elemen
sekunder dari produk yang dapat membedakan dengan produk lain
yang sejenis.
c. Kesesuaian dengan spesifikasi (Conformance with specifications)
Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur yang
berorientasi tradisional. Mengurangi presentasi cacat produksi,
terutama pada sisi pelanggan.
d. Keandalan (Reliability)
Keandalan adalah konsistensi kinerja dari satu pembelian hingga
pembelian berikutnya, dan persentasi waktu yang dimiliki produk
untuk berfungsi sebagaimana seharusnya.
e. Ketahanan (Durability)
Mencerminkan kehidupan ekonomis dari produk tertentu sehingga
dapat tetap digunakan.
f. Pelayanan (Serviceability)
Mencerminkan kemampuan memberi pelayanan pada produk tersebut.
g. Hasil akhir (Fit and Finish)
Menunjukkan pada munculnya atau dirasakannya kualitas yang
melibatkan enam dimensi sebelumnya.
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Rangkuti (2004: 42) terdapat lima keuntungan kesan
kualitas. Keuntungan pertama
adalah alasan untuk membeli. Kesan
kualitas sebuah merek memberikan alasan yang penting untuk membeli.
Hal ini mempengaruhi merek-merek mana yang harus dipertimbangkan,
dan selanjutnya mempengaruhi merek apa yang akan dipilih. Keuntungan
kedua adalah diferensiasi. Artinya, suatu karakteristik penting dari merek
adalah posisinya dalam dimensi kesan kualitas.
Keuntungan ketiga
adalah harga optimum. Keuntungan ketiga ini memberikan pilihan-pilihan
dalam penetapan harga optimum (premium price). Keuntungan keempat
adalah meningkatnya minat para distributor. Keuntungan ke empat ini
memiliki arti penting bagi para distributor, pengecer serta berbagai saluran
distribusi lainnya, karena hal itu sangat membantu perluasan distribusi.
Keuntungan kelima adalah perluasan merek. Kesan kualitas dapat
dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai perluasan merek, yaitu
dengan menggunakan merek tertentu untuk masuk ke dalam kategori
produk baru.
Berkenaan dengan destination branding, kualitas yang dirasakan
dari sebuah merek dapat mencakup keyakinan masyarakat bahwa upaya
branding mengilhami apa yang benar-benar khusus dan positif dari atribut
lokasi. Jika masyarakat yakin bahwa upaya branding mencerminkan
kompetensi inti kota atau wilayahnya, hal ini dapat memotivasi mereka
untuk mulai menyesuaikan diri dengan merek yang berharga dan
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melambangkan kualitas. Berdasarkan perumusan tersebut, maka hipotesis
dalam penelitian ini:
H2: Perseived quality (persepsi kualitas) merek berpengaruh terhadap
self-brand connection.
5. Brand Uniqueness (Keunikan Merek)
Brand uniqueness adalah asosiasi yang berhubungan dengan
keunikan merek yang tercipta dari asosiasi strength (kekuatan merek) dan
favorability (kesukaan merek), yang ada di benak responden yang
membuat sebuah kota menjadi berbeda dari yang lainnya (Widjaja et al.,
2007). Brand uniqueness merupakan penilaian konsumen terhadap fitur
yang membedakan merek satu dengan yang
lain dan menentukan
keunikan yang dirasakan dari sebuah merek. Keunikan merek sering
terbentuk melalui iklan atau dari pengalaman masa lalu dengan merek.
Aspek unik dari merek sering diasosiasikan konsumen dengan nilai terbaik
dan kualitas yang lebih tinggi (Netemeyer et al., 2004).
Terkait
dengan
tempat,
masyarakat
sering
mengandalkan
karakteristik unik dari kotanya untuk menyoroti poin lebihnya atas kota
lain. Kekhasan tempat dapat mencakup hal-hal seperti makanan khas,
musik asli, budaya, dan lainnya. Dengan demikian, persepsi keunikan
dapat menumbuhkan perasaan kebanggaan dan kepemilikan di benak
masyarakat setempat. Jadi, perasaan ini dapat menyebabkan masyarakat
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi lebih terkoneksi diri dengan merek kota. Berdasarkan perumusan
tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini:
H3:
Keunikan
yang dirasakan
dari
strategi
branding
kota
berpengaruh terhadap self-brand connection.
6. Brand Advocacy (Advokasi Merek)
Menurut Cross dan Smith (Umar, 2002), brand advocacy bertujuan
agar konsumen menjadi pemasar suatu produk perusahaan, pelayanan
perusahaan serta calon perusahaan, perusahaan telah mencapai hubungan
yang erat dan telah memperoleh kepercayaan. Hal ini merupakan
pencapaian akhir dari suatu ikatan yang bernilai, ketika berkembangnya
semacam promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang dilakukan
oleh konsumen.
Ketika seorang konsumen menjadi terhubung ke merek, hubungan
ini dapat menyebabkan advokasi untuk merek kemudian konsumen
menyebar word-of-mouth yang positif tentang merek (Kemp et al., 2012).
Dalam rangka membangun merek kota, penduduk lokal yang telah
mengembangkan koneksi ke upaya branding kota bisa menjadi duta untuk
merek dan mempromosikan merek kepada orang lain. Hipotesis dalam
penelitian ini, yaitu:
H4: Self-brand connection berpengaruh terhadap advokasi untuk
merek.
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Self-Brand Connection
Self-brand connection terbentuk ketika konsumen terlibat dalam
proses pencocokan untuk mengidentifikasi produk atau merek yang
kongruen dengan citra dirinya (Chaplin dan John, 2005). Wacana budaya
yang melekat pada merek (McCracken, 1993) telah memungkinkan
konsumen untuk mengkomunikasikan kepribadian, umur, kelas, kekayaan,
dan status mereka dengan hanya memilih merek tertentu; merek telah
menjadi alat komunikasi sosial. Sebuah studi terbaru oleh Schembri,
Merrilees, dan Kristiansen (Mocanu, 2013) menunjukkan bagaimana
"konsumen menggunakan merek tertentu sebagai teks narasi untuk
berkomunikasi siapa mereka".
Asosiasi merek dapat memainkan peran utama dalam membantu
beberapa
konsumen
dalam
membangun,
mengembangkan
dan
mengekspresikan identitasnya. Setelah koneksi dengan merek terbentuk
dan konsumen merasa bahwa merek mewujudkan siapa mereka, maka
mereka cenderung untuk berbagi evaluasi dan penilaian positif tentang
merek kepada orang lain (Kemp et al., 2012). Berdasarkan perumusan
tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini:
H5: Self-brand connection akan memediasi hubungan antara (a) brand
attitude dan brand advocacy, (b) perceived quality dan brand
advocay serta (c) brand uniqueness dan brand advocacy.
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Kemp et al. (2012) perihal menciptakan
self-brand connection dan brand advocacy yang bertujuan untuk meneliti
bagaimana para pemangku kepentingan internal, khususnya masyarakat kota,
sangat penting dalam proses membangun merek. Penelitian yang dilakukan
oleh Kemp et al. (2012) menggunakan responden sebanyak 499. Hasilnya
yaitu menunjukkan bahwa asosiasi merek, termasuk sikap terhadap upaya
branding kota, perceived quality merek dan brand uniqueness, sangat penting
dalam branding dan positioning dari upaya sebuah kota bagi para
penghuninya. Ketika asosiasi merek yang kuat ada, masyarakat bisa
mengembangkan hubungan tersebut kepada merek yang mencerminkan
konsep diri mereka. Ketika ini terjadi, self-brand connection terbentuk dan
penduduk dapat menjadi pendukung merek.
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Kerangka Penelitian
Kerangka teoritis ini bertujuan untuk memberikan gambaran pokok
permasalahan penelitian secara jelas dan menyeluruh. Adapun kerangka
teoritis adalah sebagai berikut :
Attitude
Toward Brand
H1
Perceived
Quality
Self-Brand
Connection
H2
H4
Brand
Advocacy
H3
Brand
Uniqueness
Gambar II.1 Model Penelitian
Sumber : Kemp et al., 2012
Berdasarkan kerangka penelitian diatas dapat dijelaskan bahwa attitude
toward brand, perceived qulity dan brand uniqueness merupakan variabel
independen, self-brand connection (variabel mediasi), sedangkan yang
merupakan variabel dependen adalah brand advocacy.
commit to user
27
Download