PENDAHULUAN Latar Belakang Selama ini anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang secara global banyak ditemukan di berbagai negara maju maupun sedang berkembang. Penderita anemia diperkirakan hampir dua milyar atau 30% dari populasi dunia. Kelompok rawan penderita anemia mulai dari usia anak pra-sekolah, anak sekolah, remaja sampai dewasa; dan tidak hanya berasal dari kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. Salah satu program yang di rekomendasikan WHO sejak awal tahun 1970-an adalah suplementasi besi-folat, dan telah dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian perkembangan penurunan prevalensi anemia masih dinilai sangat lambat, yang ditunjukkan oleh rendahnya penurunan angka prevalensi, dan bahkan di beberapa negara malah terjadi peningkatan (WHO 2004). Di dalam siklus hidup manusia, remaja wanita (10-19 tahun) merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita anemia. Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi, yang ditunjukkan oleh laporan Depkes (2005) yaitu pada remaja wanita 26,50%, wanita usia subur (WUS) 26,9%, ibu hamil 40,1% dan anak balita 47,0%. Sebanyak 10-25% remaja wanita yang tinggal di pedesaan Indonesia sudah pernah menikah atau mengalami kehamilan (Depkes 2003). Pada ibu hamil, anemia dapat menyebabkan kematian ibu, bayi, atau berat bayi lahir rendah. Oleh karena itu, sasaran program perbaikan gizi pada kelompok remaja wanita dianggap strategis didalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi (inter generation malnutrition problem) agar tidak meluas ke generasi selanjutnya (WHO 2004). Selain itu dampak anemia gizi besi pada remaja adalah menurunkan produktivitas kerja dan juga akan menurunkan kemampuan akademis di sekolahan (Beard 2001; INACG 2004). Pada awalnya, program suplementasi zat besi direkomendasikan WHO untuk diberikan kepada ibu hamil. Pada tahun 1968, suplementasi berupa zat besi elemental 60 mg diberikan setiap hari kepada ibu hamil trimester kedua dan ketiga. Kemudian tahun 1970 direkomendasikan penambahan asam folat kedalam suplemen zat besi. Didalam perkembangannya, terdapat beberapa perubahan rekomendasi WHO terhadap program suplementasi besi tersebut, termasuk 2 diantaranya tentang jumlah dosis, jenis zat gizi, lama intervensi, dan sasarannya. Saat ini target program suplementasi diperluas tidak hanya kepada ibu hamil, tetapi juga anak balita, anak sekolah, dan wanita usia subur (Ekstrom 2001). Studi efikasi dan efektifnes suplementasi berbagai zat gizi mikro (multi-micro nutrients) sampai sekarang terus dilakukan dan masih terbuka untuk dikembangkan guna mendukung keberhasilan program perbaikan status gizi besi di masa mendatang. Penyebab anemia tidak hanya karena defisiensi zat besi, tetapi juga terkait dengan rendahnya zat gizi mikro lainnya seperti asam folat, vitamin A, vitamin C, vitamin B12 dan riboflavin (Beard 2000; Allen dan Casterin-Sabell 2001; Allen 2002; Andrew 1999). Vitamin mikro tersebut relatif banyak dijumpai di dalam berbagai sumber bahan pangan, baik pangan hewani maupun nabati (kecuali vitamin B12). Meskipun vitamin tersebut banyak terdapat di dalam bahan pangan, namun juga mudah mengalami kerusakan di dalam proses pengolahan, selain tingkat bioavailibilitasnya yang rendah pada pangan asal nabati (Lotfi et al. 1996). Sampai saat ini belum banyak studi tentang prevalensi defisit berbagai zat gizi mikro (vitamin) tersebut di Indonesia, apalagi secara spesifik pada kelompok remaja. Dari beberapa studi yang ada, misalnya prevalensi defisit vitamin A pada remaja di Tangerang dan Jakarta sebesar 7-20% (Dillon 2005); di Surabaya, Bangkalan, dan Sampang prevalensi sebesar 5-7% (Soekarjo et al. 2004). Diperkirakan sebanyak 50% balita di Indonesia masih mempunyai serum vitamin A < 20 mcg/dl (Depkes 2005). Prevalensi defisit riboflavin remaja wanita sebesar 59-96% (Dillon 2005). Dari pendekatan asupan zat gizi di tingkat nasional, dijumpai prevalensi rumahtangga yang defisit zat gizi (<50%AKG) cukup besar, yaitu untuk zat besi 37,9%, vitamin C 53,8%, dan vitamin A 35,3% (Depkes 2005). Di negara lain, kajian profil biomarker yang relatif lengkap untuk zat gizi mikro tersebut diantaranya studi Ahmed et al. (2005) di Bangladesh pada remaja wanita 14-18 tahun, dan ditemukan prevalensi defisit asam folat 29%, riboflavin 89%, vitamin A 41%, vitamin B12 4,5%, dan vitamin C 6%. Survey di lima negara Amerika Latin menunjukkan jumlah prevalensi defisit vitamin B12 yang 3 cukup merata antar negara yaitu 40-50%, sedangkan prevalensi defisit asam folat beragam yaitu antara 5-89% (Allen 2004). Berdasarkan data tersebut di atas, untuk perbaikan status besi melalui suplementasi zat besi kemungkinan diperlukan tambahan zat gizi lainnya (multivitamin). Secara terpisah beberapa peneliti telah melakukan penambahan zat gizi lain kedalam suplementasi zat besi, misalnya vitamin A (Suharno et al. 1993; Ahmad et al. 2001; Soekarjo et al. 2004; Tanumihardjo et al. 2004), vitamin C (Jayatissa dan Piyasena 1999), vitamin A dan vitamin C (AngelesAgdeppa et al. 1997) atau vitamin A dan riboflavin (Dillon 2005). Hasilnya menunjukkan dengan penambahan zat besi dengan zat gizi lainnya (vitamin), diantaranya akan dapat memperbaiki status besi. Namun masih perlu dilakukan studi lanjutan, dengan melihat efikasi gabungan besi-multivitamin (B-MV) tersebut terhadap perbaikan status besi. Selain masalah gizi mikro, kelompok remaja juga sering mengalami kekurangan energi dan protein. Angka prevalensi gizi kurang (stunted) yang sangat tinggi di Asia diantaranya akibat kekurangan zat gizi makro yang kronis (World Bank 2003; UNS-SCN 2004). Di Indonesia prevalensi gizi kurang (kurus) pada remaja sebesar 17,4 % (Permaesih dan Herman 2005). Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap mahasiswi IPB, rata-rata mengalami defisit energi sebesar 250-500 kkal (Fitri 2005). Oleh karena itu, IPB pada tahun ajaran 2005/2006 melakukan kegiatan perbaikan pangan dan gizi kepada mahasiswa tingkat satu, dengan memberikan makanan tambahan berupa snack/minuman dan pendidikan gizi. Suplementasi besi-multivitamin akan lebih efektif apabila kebutuhan terhadap zat gizi makro sudah terpenuhi. Energi dan protein diperlukan pada proses metabolisme zat besi di dalam tubuh mulai dari absorpsi, transportasi, dan mobilisasi simpanannya (Beard et al. 1996; Wessling-Resnick 2000). Zat besi di dalam tubuh hampir 80% berikatan dengan protein, diantaranya adalah haemoglobin, transferrin, transferrin receptor dan ferritin yang merupakan senyawa kompleks protein dengan zat besi. Senyawa tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator yang sensitif untuk penilaian status besi di dalam tubuh (Koury dan Ponka 2004). 4 Studi ini dilakukan untuk mengkaji efikasi kapsul besi-multi vitamin (BMV) terhadap perbaikan status besi pada kelompok remaja. Efikasi kapsul B-MV tersebut diuji dengan membandingkannya dengan kapsul program pemerintah besi-folat (B-F) dan kapsul plasebo. Suplementasi besi-multivitamin diberikan kepada remaja wanita yang kebutuhan zat gizi makronya (energi-protein) sudah relatif terpenuhi. Pertanyaan penelitian ini adalah: 1) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan meningkatkan hemoglobin?, 2) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan menurunkan serum transferin reseptor?, dan 3) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan meningkatkan serum feritin? Tujuan Tujuan umum penelitian adalah untuk mengkaji efikasi pemberian suplemen besi-multi vitamin terhadap perbaikan status besi pada remaja wanita. Secara khusus tujuan penelitian adalah: 1. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan hemoglobin (Hb) pada remaja wanita. 2. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan serum transferin reseptor (STfR) pada remaja wanita. 3. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan serum feritin (SF) pada remaja wanita. Hipotesis 1. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) meningkatkan kadar hemoglobin lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol. 2. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) menurunkan kadar serum transferin reseptor lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol. 3. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) meningkatkan kadar serum feritin lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol. Kegunaan Hasil studi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan perbaikan program suplementasi besi, khususnya untuk kelompok remaja dan wanita usia subur (WUS) yang tidak hamil. Pengembangan formulasi suplemen besi- multivitamin ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah yang mengarah pada penggunaan multi micro-nutrient (MMN) untuk perbaikan status gizi.