BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia Menjadi tua tidak dapat dicegah. Proses penuaan dapat dibagi ke dalam beberapa tingkatan yaitu optimal aging dimana performance pada orang yang menua masih sama atau bahkan lebih tinggi daripada saat ia muda; successful aging dimana orang yang menua mampu beradaptasi dengan usianya sehingga bisa tetap aktif dan memiliki kualitas hidup yang dianggap memuaskan; normal aging dimana penuaan merupakan proses yang umum terjadi di populasi atau orang yang menua terhindar dari kondisi patologis; pathological aging dimana adaptasi terhadap perubahan fisik yang kurang baik atau adanya penyakit terkait usia. Adanya perbedaan pada jenis penuaan disebabkan karena adanya perbedaan genetik, perbedaan sosial budaya, dan perbedaan kemampuan adaptasi secara biologis ataupun secara psikologis (Sidiarto & Kusumoputro, 2003). Tidak semua orang bisa mencapai usia lanjut sehingga usia lanjut dianggap sebagai usia emas (Maryam dkk, 2008). Tidak ada definisi yang yang standar untuk umur lansia. Karena setiap negara memiliki kriteria masing-masing untuk umur seseorang memasuki lansia (WHO, 2015b). Menurut Undang-undang No.13 tahun 1998 lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia ada yang potensial dan ada juga yang tidak potensial. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan atu jasa. Sedangkan lansia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Sedangkan menurut WHO dalam Nugroho (2009), lansia diklasifikasikan menjadi 8 9 empat yang meliputi usia pertengahan (45-59 tahun), lansia (60-74 tahun), lansia tua (75-90 tahun), dan lansia sangat tua yang berumur di atas 90 tahun. Di era ini sebagian besar negara di dunia mengalami transisi demografi yang ditandai dengan penurunan tingkat kelahiran maupun tingkat kematian. Hal ini menyebabkan pertumbuhan penduduk semakin meningkat. Selain itu, perubahan penting juga terjadi pada komposisi umur penduduk (Bongaarts, 2009). Hampir di setiap negara, pertumbuhan proporsi penduduk di atas 60 tahun lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kelompok umur lainnya. Penuaan populasi ini dapat mencerminkan kesuksesan dalam bidang kesehatan masyarakat namun juga sebagai tantangan kepada masyarakat untuk beradaptasi, memaksimalkan kapasitas kesehatan maupun fungsional dari orang tua (WHO, 2015). Indonesia merupakan salah satu negara yang berstruktur umur tua. Proporsi lansia di Indonesia telah melebihi 7% dari total jumlah penduduk Indonesia. Jumlah penduduk lansia di Indonesia sebesar 20.04 juta jiwa sebesar 8.05% dari total seluruh penduduk Indonesia. Jika dilihat berdasarkan umur maka lansia dibagi menjadi lansia muda (60-69 tahun) dengan proporsi 4.91%, lansia madya (70-79 tahun) sebesar 2.31%, dan lansia tua (≥80 tahun) sebesar 0.83%. Jumlah lansia perempuan sebesar 10.67 juta orang dimana jumlah ini lebih besar dari jumlah penduduk lansia laki-laki yang sebesar 9.38 juta orang (BPS, 2014). Orang tua di Indonesia terutama yang tinggal di pedesaan biasanya tinggal dengan anak-anak mereka. Hal ini tentu menunjukkan bahwa peranan keluarga sangat penting bagi orang tua atau lansia di Indonesia. Namun, sekarang Indonesia berangsur mengalami perubahan di mana struktur keluarga besar telah bergeser menjadi struktur keluarga kecil yang tentunya akan mempengaruhi persepsi perawatan lansia dalam keluarga (Hastuti, 2003). Hal ini dikarenakan kaum muda 10 atau anak-anak dari orang tua tersebut cenderung mencari pekerjaan ke kota (Kadar, Francis, & Sellick, 2013). Menurut Susenas Kor BPS (2013) di Indonesia 26.82% lansia tinggal bersama keluarga dalam rumah tangga, 41.44% tinggal dengan tiga generasi dalam rumah tangga, sedangkan lansia yang tinggal sendiri masih cukup besar yaitu 9.89%. Di Indonesia, pada tahun 2013 lansia lebih banyak yang tinggal di pedesaan dibanding perkotaan. 8.67% lansia tinggal di pedesaan sedangkan yang tinggal di perkotaan sebesar 7.43%. Tempat tinggal merupakan hal yang penting bagi setiap orang tidak terkecuali lansia. Tempat tinggal yang baik adalah tempat tinggal yang aman serta nyaman namun tidak semua orang bisa memenuhi hal itu. Jika dilihat dari tahun 2011 hingga 2013, persentase lansia yang tinggal di tempat yang layak huni sudah mengalami peningkatan. Dalam hal tempat tinggal, lansia di perkotaan lebih beruntung dibandingkan lansia yang tinggal di pedesaan. 88.46% lansia di perkotaan tinggal di rumah layak huni sedangkan lansia di pedesaan yang tinggal di tempat layak huni hanya sebesar 76.1% (BPS, 2014). 2.2 Masalah-Masalah Pada Lansia Pertambahan usia pada usia lanjut tentu berdampak pada fungsi fisiologisnya. Hal ini dikarenakan adanya proses degeneratif dalam tubuh sehingga muncul penyakit degeneratif pada usia lanjut. Selain itu kondisi atau daya tahan tubuh lansia yang rendah juga mengakibatkan lansia mudah terkena penyakit infeksi (Kemenkes RI, 2013). Selain itu, lansia juga menghadapi berbagai keluhan kesehatan. Menurut data Susenas Kor BPS (2013) persentase lansia yang mengalami keluhan kesehatan meningkat seiring peningkatan umur. Pada tahun 2013 penduduk pralansia (45-45 tahun) yang mengalami keluhan kesehatan sebesar 35.18%, pada lansia (60-69 11 tahun) sebesar 46.71%, lansia madya (70-79 tahun) sebesar 56, 26%, dan pada lansia tua (≥80 tahun) sebesar 61.04%. Penyakit infeksi yang menyerang lansia diantaranya tuberkulosis, diare, pneumonia, sedangkan penyakit tidak menular pada lansia seperti hipertensi, stroke, diabetes mellitus, dan penyakit kronis lainnya (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lyons & Levine (2013) di Amerika disebutkan bahwa seiring dengan peningkatan umur laporan tentang penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Carson et al (2012) yang berjudul “Ethnic Differences in Hypertension Incidence among Middle Aged and Older U. S. Adults: The Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis” yang menyatakan bahwa untuk semua etnis yang ada di Amerika, risiko untuk mengalami hipertensi seumur hidup meningkat seiring bertambahnya usia. Selain hipertensi, lansia juga berisiko terhadap penyait diabetes. Sebuah penelitian dilakukan oleh Rosyada dan Trihandini (2010) tentang “Determinan komplikasi kronik DM Pada Usia Lanjut” menunjukkan bahwa sebagian besar penderita diabetes mellitus di Indonesia ada pada kelompok umur 60-74 tahun (83.3%). Data penelitian ini berasal dari data sekunder Riskesdas 2007. Sedangkan menurut penelitian di Tanimbar tahun 2010, selain diabetes gangguan fisik lain yang sering ditemukan pada lansia adalah katarak, gastritis kronis, altralgia genu, serta nyeri pinggang bawah (Aswin & Cornelles, 2010). Gangguan fisik yang juga menonjol pada lansia seperti gangguan pengelihatan (katarak dan glaucoma), gangguan pendengaran (presbikusis, gangguan komuikasi), gangguan sistem pernapasan, gangguan sistem hormonal, serta gangguan 12 musculoskeletal seperti kekakuan sendi sehingga gerak menjadi terbatas (Notoatmodjo, 2007). Selain kemunduran fisik juga terjadi kemunduran kognitif seperti kepikunan, kemunduran terhadap orientasi waktu, ruang, tempat, dan kesulitan dalam menerima hal baru (Maryam dkk, 2008). Seiring dengan bertambahnya usia, seseorang akan sulit untuk meningkatkan kualitas dirinya bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari pun akan menjadi sulit dan terbatas (Topinkova, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zulsita (2010) tentang gambaran kognitif pada lansia didapatkan hasil penurunan fungsi kognitif pada masyarakat masih cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan di RSUP HAM dan Puskesmas Petisah ini mendapatkan hasil bahwa 34% responden mengalami penurunan fungsi kognitif dan penurunan ini sebagian besar terjadi pada lansia tua (50%). Selain perubahan secara fisik dan kognitif, lansia juga mengalami perubahan dari segi ekonomi maupun sosial. Jika dilihat dari aspek ekonomi, lansia dipandang sebagai beban dikarenakan sudah tidak produktif seperti dahulu. Produktivitas penduduk lansia juga sudah menurun jika memasuki lapangan pekerjaan meskipun tidak semua. Sedangkan jika dilihat dari aspek sosial anggapan tentang lansia berbeda antara negara satu dengan negara lainnya. Di masyarakat tradisional terutama Indonesia lansia masih sangat dihormati dan menduduki strata tinggi namun tidak begitu halnya dengan negara barat (Notoatmodjo, 2007). 2.3 Akses Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan mencakup semua layanan yang berhubungan dengan diagnosis penyakit dan pengobatannya, atau promosi, pemeliharaan, dan pemulihan kesehatan (WHO, 2015). Sedangkan akses ke pelayanan kesehatan adalah peluang 13 atau kesempatan untuk mengonsumsi barang dan jasa kesehatan (Haddad & Mohindra, 2002 dalam Levesque et al 2013). Sebuah artikel yang disusun oleh Racher dan Ardene menunjukkan bahwa masalah akses itu kompleks dimana tidak hanya menyangkut ketersediaan fasilitas namun juga bagimana penerima layanan mampu dan mau untuk mencari layanan tersebut (Racher & Vollman, 2002). Ada lima dimensi spesifik akses dari sisi penawaran (provider) yang disebut “The Penchansky taxonomy” (Penchansky, 1981 dalam Clark & Coffee, 2011., Levesque et al., 2013; Racher & Vollman, 2002) yaitu: Approachability (kedekatan) berarti orang yang memiliki kebutuhan akan kesehatan mendapatkan pelayanan kesehatan yang dapat diidentifikasi dalam bentuk keberadaan pelayanan, terjangkau, dan berdampak pada kesehatan orang tersebut; Acceptability (penerimaan) berhubungan dengan faktor sosial budaya yang memungkinkan seseorang menerima aspek layanan kesehatan yang ditawarkan oleh provider; Availability dan acommondation (ketersediaan dan akomodasi) yang berarti bahwa pelayanan kesehatan dapat dijangkau kapanpun. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sumber daya pelayanan kesehatan; Affordability (keterjangkauan) mencerminkan keterjangkauan pelayanan kesehatan dilihat dari kemampuan pengguna secara sosial ekonomi; Appropriateness (kesesuaian) yang berarti adanya kesesuaian antara kebutuhan dengan pelayanan yang diberikan (Racher & Vollman, 2002; Levesque et al, 2013). Selain dari segi penyedia layanan kesehatan, akses ke layanan kesehatan juga dipengaruhi oleh orang yang membutuhkan pelayanan tersebut. Adapun pengaruh dari segi penerima pelayanan meliputi 1) ability to perceive (kemampuan menerima layanan yang berhubungan dengan kesadaran akan kesehatan, kepercayaan, dan harapan); 2) ability to seek (kemampuan untuk mencari layanan dimana hal ini berkaitan dengan kebudayaan, status gender, maupun nilai dan norma di 14 masyarakat); 3) ability to reach (kemampuan untuk menjangkau dimana hal ini terkait transportasi, tempat tinggal, maupun dukungan sosial); 4) ability to pay (kemampuan untuk membayar yang berkaitan dengan status ekonomi seseorang); 5) and ability to engage (kemampuan untuk berpartisipasi dalam layanan yang berkaitan dengan pemberdayaan, keberadaan informasi, serta dukungan) (Levesque et al., 2013). Aday dan Adersen dalam “A Framework for the Study of Access to Medical Care” menyebutkan bahwa tingkat penggunaan dan nilai kepuasan dari sorang pelanggan dapat digunakan untuk mengevaluasi akses. Dengan kata lain penggunaan atau pemanfaatan dari pelayanan kesehatan akan mencerminkan akses pelayanan kesehatan tersebut. Pemanfaatan pelayanan kesehatan terlihat dari tujuan pemanfaatan pelayanan kesehatan (pencegahan/pengobatan), jenis pelayanan kesehatan yang digunakan (rumah sakit, dokter, puskesmas), tempat penerimaan pelayanan kesehatan, dan interval waktu dari pemanfaatan pelayanan kesehatan (Aday & Andersen, 1974). Teori Adersen dan Newman menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang berhubungan dengan akses dan penggunaan pelayanan kesehatan yang meliputi predisposing factors yang merupakan karakteristik sosial budaya individu seperti pendidikan, pekerjaan, pegetahuan, sikap, umur,jenis kelamin, dan sebagainya. Selain predisposing factors ada enabling factors yang meliputi kepemilikan asuransi, cara mengakses pelayanan kesehatan, ketersediaan dari fasilitas kesehatan, dan sebagainya. Yang terakhir adalah need factors yang merupakan alasan mengapa seseorang membutuhkan pelayanan kesehatan yang dilihat dari persepsi seseorang tentang kesehatan dan evaluasi keadaan kesehatan yang sebenarnya dari individu (Andersen & Newman, 1973) 15 Kesenjangan akses ke pelayanan kesehatan sudah tentu akan mempengaruhi masyarakat dan individu. Terbatasnya akses layanan kesehatan berdampak negatif pada kualitas hidup seseorang. Hambatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan dapat meliputi biaya tinggi, kurangnya ketersediaan layanan kesehatan, dan kurangnya cakupan asuransi. Hambatan ke pelayanan kesehatan mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan kesehatan, tertundanya perawatan yang tepat, dan kurangnya aspek preventif terhadap penyakit (Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) dalam Healthypeople.gov, 2015). Lansia sangat berisiko terserang pnyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes mielitus, arthritis, gagal jantung, dimensia, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya (Kramarow et al, 2007 dalam Healthypeople.gov, 2015). Oleh karena itu, pelayanan kesehatan bagi lansia sangatlah vital (Setiti, 2006). Pelayanan Kesehatan pada lansia dilakukan secara terintegrasi dengan upaya pelayanan kesejahteraan lainnya (Hastuti, 2003). Seiring dengan berbagai kemunduran yang dihadapi lansia tentu akan mempengaruhi akses lansia ke pelayanan kesehatan. Orang tua yang mengalami disabilitas baik itu secara fisik maupun mental akan mengalami kesulitan didalam mengakses pelayanan kesehatan (Thorpe et al., 2011). Sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan juga terlihat dari tempat tinggal para lansia. Lansia yang tinggal di daerah pedesaan lebih sulit untuk mengakses pelayanan kesehatan terutama rumah sakit daripada yang tinggal di perkotaan. Hal ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk menciptakan pelayanan kesehatan bagi lansia yang selalu tersedia, mudah diakses, sesuai, terjangkau, dan terintegrasi (Kadar et al., 2013). Menurut BPS (2013) lansia cenderung mengalami berbagai keluhan kesehatan. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan oleh keluarga maupun lansia 16 sendiri untuk menjaga kesehatannya yang salah satunya dengan mencari pengobatan. Lansia bisa berobat sendiri, mendatangi pelayanan kesehatan modern (rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, praktek dokter, puskesmas/pustu, dan praktek tenaga kesehatan) ataupun dengan pengobatan tradisional. Untuk memelihara, memberikan perlindungan, dan meningkatkan taraf kesejahteraan serta kualitas hidup lanjut usia diperlukan suatu jaminan sosial yang salah satunya dengan mengembangkan sistem jaminan sosial hari tua. Ini merupakan salah satu program dari Departemen Sosial RI (Notoatmodjo, 2007). Namun, keadaan di Indonesia masih jauh dari harapan dimanan masih banyak rumah tangga lansia yang belum memiliki jaminan sosial. Proporsi rumah tangga lansia di Indonesia yang mempunyai jaminan sosial hanya sebesar 6.72% dari jumlah seluruh rumah tangga lansia tahun 2013. Dalam bidang kesehatan juga ada jaminan dalam hal pembiayaan kesehatan/asuransi kesehatan. Sekitar 51.93% rumah tangga lansia di Inonesia memiliki jaminan pembiayaan kesehatan, namun masih banyak yang belum sehingga pemerintah perlu memberikan perhatian khusus (BPS, 2014). Masih banyaknya lansia yang belum memiliki jaminan/ asuransi kesehatan tentu harus mendapat perhatian khusus. Hal ini dikarenakan system pembiayaan kesehatan mempengaruhi perilaku pasien di dalam mencari layanan kesehatan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah studi di Cina yang dilakukan oleh Hengjin Dong tentang “Health Financing Policies: Patient Care-Seeking Behavior in Rural China”. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa system pembiayaan kesehatan mempengaruhi perilaku pasien. Proporsi pasien yang dirawat di rumah sakit lebih tinggi pada kelompok yang memiliki asuransi daripada yang tidak memiliki asuransi kesehatan dan sistem pembayaran Out of Pocket menurunkan akses pasien ke rumah 17 sakit. Asuransi kesehatan memberikan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih baik (Dong, 2003). 2.4 Perilaku Pencarian Pengobatan Pada Lansia Perilaku merupakan aktivitas dari individu yang mencakup banyak hal seperti bereaksi, berjalan, berbicara, dan sebagainya. Sedangkan respon seseorang terhadap rangsangan yang berkaitan dengan sakit, penyakit, sistem layanan kesehatan, serta makanan dan lingkungan disebut perilaku kesehatan. Apabila sseorang merasakan sakit pasti dia akan merespon hingga melakukan berbagai tindakan terhadap penyakit tersebut. Salah satu tindakan yang biasanya dilakukan adalah mencari pengobatan. Perilaku untuk mencari pengobatan baik itu dengan mengobati sendiri maupun mengunjungi tempat playanan kesehatan swasta atau modern disebut dengan perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior) (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmojdo (2003) dalam Gaol (2013) disebutkan bahwa apabila seseorang mengalami sakit, mereka tidak selalu mendatangi tempat pelayanan kesehatan. Mereka bisa saja tidak melakukan sesuatu dengan alasan kondisi sakitnya bisa hilang sendiri dan tidak mengganggu kegiatan, fasilitas kesehatan yang jauh, ataupun karena takut. Selain itu, ada yang mengobati sendiri penyakitnya, membeli obat diwarung, ataupun datang ke tempat pengobatan tradisional. Perilaku pencarian pengobatan dilakukan seseorang apabila mengalami sakit (Notoatmodjo, 2007). Hal ini tentu juga berlaku pada lansia apalagi dengan keadaan mereka yang sudah cenderung menurun terutama dalam hal fisik yang mempermudah mereka untuk terkena penyakit. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wameru et al yang berjudul “Health Status and Health Seeking Behaviour of The Elderly Persons in Dagoretti Division, Nairobi” menyatakan bahwa penuaan 18 yang dialami orang tua, status ekonomi, serta kurangnya akses ke pelayanan kesehatan berkontribusi terhadap rendahnya status kesehatan lansia. Sebanyak 92.5% dari sampel yang diwawancari mengalami sakit dalam tiga bulan terakhir. Penyakit yang umumnya diderita seperti penyakit yang berkaitan dengan musculoskeletal yaitu sebanyak 80%, pernapasan sebanyak 68%, dan masalah gigi (40%). Sebanyak 24.8% responden tinggal sendiri, dan sebanyak 76% dari responden memiliki rumah yang kurang layak. Hanya 26% dari responden yang bisa mendapatakan pengobatan, keterbatasan dana membuat 73% responden tidak dapat mengakses layanan kesehatan (Waweru et al, 2003). Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Bourne et al di Jamaika. Penelitian ini berjudul ”Health literacy and health seeking behavior among older men in a middle-income nation” yang dilakukan pada tahun 2007. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 56.9 penduduk perkotaan dan 44.5% penduduk pedesaan sadar akan kesehatan. Sebanyak 37% responden yang berasal dari pedesaan mencari perawatan medis ketika sakit dibandingkan yang dari perkotaan sebesar 31.9%. Dalam waktu 6 bulan terakhir (hingga saat penelitian), ada berbagai penyakit yang dialami responden seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, dan penyakit degenerative lainnya. Kurangnya pengetahuan atau kesadaran tentang kesehatan perlu mendapat perhatian dari pemerintah khususnya kementrian kesehatan (Bourne et al, 2010). Sebuah penelitian terhadap keluhan kesehatan yang dialami lansia yang berkunjung ke pengobatan gratis di satu wilayah pedesaan di Bali juga menyangkut perilaku pencarian pertolongan pengobatan. Penelitian ini dilakukan oleh Suyasa dkk pada tahun 2014. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa lansia mengahadapi berbagai keluhan kesehatan. Keluhan kesehatan yang ummum dialami oleh 19 responden adalah pengelihatan kabur, mata berair, nyeri sendi, nyeri tangan, dan sebagainya. Sedangkan hipertensi, rheumatoid arthritis, dan katarak adalah diagnose utama dari para lansia yang datang ke pengobatan gratis dan tempat pemeriksaan kesehatan. Sebanyak 11.7% lansia penderita hipertensi memeriksakan kesehatan secara rutin ke dokter praktek swasta dan sebanyak 8.5% tidak berobat sama sekali. Sedangkan lansia yang menderita kencing manis, secara keseluruhan telah rutin memeriksakan kesehatannya (Suyasa dkk., 2014).