H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 23 KEHUJJAHAN QIYAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRODUK HUKUM FIQIH H. Ismail Yusuf* Abstract : Think in unsaid area in al-Quran and Sunnah, can be sailed through variously or method, amongst those: qiyas of mashalih al khalq's sentence (petting human living behalf), one that chastened in various its branch, as mashlahat mursalat, istihsan, istishhab and ‘urf. How decision qiyas and qiyas's implication to fiqh's jurisdictional product. Qiyas is a methodic to pull back and words aught law at one particular case which unclear permanence its law. By jumhur ulama ushul fiqh establishes that, qiyas is either one al is al syar's fair ’ iyah one that stay fourth position after al-Quran, hadis and ijma’. ulama's majority agrees to accept qiyas as hujjah in establishes law, and plays favorites little anothering to refuse decision qiyas with various their argument. Since qiyas can be seen of severally facet: facet tries a fall ‘illat one that available on furu’, sharpness facet ‘illat the aptitude facet ‘illat with its law, and of facet is worded or not it ‘illat on qiyas. So of the difference view between ulama ushul fiqh gets implication to fiqh's jurisdictional product that different too. Keywords : Decision qiyas, implication, fiqh jurisdictional product Abstrak: Berijtihad dalam bidang-bidang yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah, dapat ditempuh dengan berbagai cara atau metode, di antaranya: qiyas dari ayat mashalih al-khalq (memelihara kepentingan hidup manusia), yang diajarkan dalam berbagai cabangnya, seperti mashlahat muraslat, istihsan, istishhab dan ‘urf. Bagaiamana kehujjahan qiyas dan implikasi qiyas terhadap produk hukum fiqh. Qiyas adalah suatu metode untuk menyingkap dan menjelaskan hukum yang ada pada suatu kasus yang belum jelas ketetapan hukumnya. Oleh jumhur ulama ushul fiqh menetapkan bahwa, qiyas adalah salah satu dari al-adillah al-syar’iyah yang menempati posisi ke empat setelah al-Qur’an, hadis dan ijma’. Mayoritas ulama sependapat menerima qiyas sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, dan sebagian kecil lainnya menolak kehujjahan qiyas dengan berbagai argument masingmasing. Karena qiyas dapat dilihat dari beberapa segi: segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, segi kejelasan ‘illat-nya, segi keserasian ‘illat dengan hukumnya, dan dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas. Sehingga dari perbedaan pandangan di antara ulama ushul fiqh berimplikasi terhadap produk hukum fiqh yang berbeda-beda pula. Kata Kunci : Kehujjahan qiyas, implikasi, produk hukum fiqh. I. Pendahuluan Ketika Nabi Muhammad saw, akan mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu’az: “Apa yang akan kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?” Mu’az menjawab: “Saya akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktub di dalam Kitab Allah swt. (al-Qur’an)”. Nabi bertanya: “Bagaimana jika di dalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut”. Mu’az menjawab: “Aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah saw”. Nabi bertanya: “Bagaimana jika ketentuan Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 24 tersebut tidak terdapat di dalam Sunnah Rasulullah”. Mu’az menjawab: “Saya akan berijtihat dengan pikiranku, dan saya tidak akan membiarkan satu perkara pun tanpa putusan”. Lalu Mu’az mengatakan: Rasulullah saw, kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusanku untuk hal yang melegakanku”.1 Hadis tersebut di atas diperoleh kesimpulan, bahwa sumber asli hukum Islam ada dua, yaitu Qur’an, Sunnah dan ijtihad2 dapat saja dilakukan jika ada hal-hal yang hukumnya tidak secara jelas disebutkan di dalam ke dua sumber asli tersebut, agar manusia tidak terlepas dari ikatannya dengan hukum syara’ dalam upaya memelihara kepentingan dan kemaslahatan hidup mereka di dunia maupun di akhirat. Berijtihad dalam bidang-bidang yang tidak disebutkan di dalam Qur’an dan Sunnah, dapat ditempuh dengan berbagai cara atau metode, di antaranya: qiyas dan mashalih al-khalq (memelihara kepentingan hidup manusia), yang diajarkan dalam berbagai cabangnya, seperti mashlahat mursalat, istihsan, istishab dan ‘urf.3 Kajian ijtihad ini mempunyai cakupan yang terlalu luas, maka paper ini hanya membicarakan masalah kehujjahan qiyas dan implikasinya terhadap produk hukum fiqh. II. Pengertian Qiyas Secara etimologis, kata qiyas berarti al-takdiyr dan al-musawat (mengukur, membandingkan atau menyamakan). Misalnya, qistu al-tsawba bi al-zira’ (saya mengukur baju dengan hasta), artinya mengukur bagian-bagiannya dengan ukuran hasta. Fulan la yuqasu bi Fulan (Fulan tidak dikiaskan dengan si Fulan lain), artinya si Fulan tidak disamakan.4 * Dosen IAIN Palopo. Lihat, al-Imam Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa al-Turmuzi al-Silmi (w. 279H), Juz III. Sunnah al-Turmuzi, (Bairut: Dar Ihya al-Turaz al-‘Arabi, t.th), h. 616. 2 Kata Ijtihad dalam pengertian bahasa berarti mengerahkan kesungguhan untuk mencapai sesuatu atau melakukan suatu pekerjaan.Dalam istilah ulama fiqh, Ijtihad adalah mengerahkan segala kesungguhan dalam upaya menggali hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dari dalil-dalilnya secara rinci. Lihat, al-Imam Mufiq al-Din ‘Abd Allah bin Ahmad bin Qudamah al-Muqaddasiy, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), h. 190. 3 Mayoritas ulama fiqh sependapat bahwa sumber-sumber hukum islam ada empat, yaitu: alQur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara ulama yang lain membagi sumber-sumber hukum itu atas dua bentuk. Bentuk pertama adalah sebagai sumber utama syari’ah pertama, ialah al-Qur’an dan al-Sunnah.Bentuk kedua adalah sebagai sumber utama syari’ah kedua, ialah ijma’, qiyas dan ijtihad.Ulama lainnya seperti Abu Zahrah, menyatakan bahwa sumber hukum Islam adalah Qur’an, Sunnah, Ijma’, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ‘urf, mashalih mursalah, dzari’ah, istishab dan syariat umat terdahulu (syar’u man qablana) adalah termasuk metodologi kajian hukum yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah. Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th), h. Bandingkan dengan Kamil Musa, al-madkhal Ila al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Muassasah alRisalat, 1989), h. 196-202. Dan Abdur Rahman I. Doi, Shari’ah the Islamic Law, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh H. Basri Asgari dan H. Wardi Masturi, Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 35-129. 4 Umar ‘Abd al-Ganiy, Sullam al-Wushul Li ‘Ilm al-Ushul, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1956), h. 205. 1 Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 25 Menurut pengertian terminologinya terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun berbeda-beda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Di antara definisi-definisi itu adalah: 1. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali (445 H - 505 H) dalam memberi definisi sebagai berikut:5 حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بامر جامع بينهما من اثبات حكم او صفة او نفيهما عنهما “Menanggungkan (membawa) sesuatu yang diketahui (furu’) kepada sesuatu yang diketahui (ashal) dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”. 2. Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, sebagaimana dikutip dari al-Razi (544 H 606 H), qiyas ialah:6 حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بامر جامع بينهما “Memasukkan sesuatu yang dimaklumi (furu’) ke dalam sesuatu yang dimaklumi (ashal) karena adanya ‘illat hukum yang mempersamakan menurut pandangan mujtahid”. 3. Menurut al-Baidhawi, dikutip dari Syamsu al-Din Mahmud ‘Abd al-Rahman al-Ashfahani (674 H - 749 H),7qiyas adalah: اثبات مثل حكم فى معلوم اخر الشترا كهما فى علة الحكم عند المثبت “Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu yang lain diketahui, karena keduanya bersikeras dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan”. 4. Definisi qiyas menurut al-Amidi (w. 621 H):8 عبارة عن اال ستواء بين الفرع واالصل فى العلة المستنبطت من حكم االصل “Mempersamakan ‘illat yang ada padanya furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal yang diistimbatkan dari hukum ashal” Dari beberapa definisi yang disebutkan di atas tentang qiyas, sekalipun berbeda redaksi, para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal, melainkan 5 Al-Imam Hujjat al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Mustashafa Min ‘Ilm al-Ushul, Juz II (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 228. 6 Al-Imam Fakhr al-Din bin Umar bin al-Husain al-Razi, dikaji dan diteliti oleh Thoha Jabir Fayyadh al-‘Alawani, al-Mahshul Fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Juz II (Saudi Arabiah: Jami’ah al-Imam Muhammad Saud al-Islamiyah, 1401 H), h. 9. 7 Lihat, Syams al-Din Mahmud ‘Abd al-Reahman al-Ashfahani, diteliti dan dikomentari oleh ‘Abd al-Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, syarh al-Minhaj li al-Baidhawi Fi ‘Ilm al-Ushul, Jilid II, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.th), h. 634. 8 Al-Syekh al-Imam al-‘Alamah Sayf al-Din Abu al-Hasan Ali bin Abi Ali ibn Muhammad alAmidi, al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam, Jilid III (Mesir: dar al-Fikr, 1928), h. 8. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 26 hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penejelasan dan penyingkapan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illat-nya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut. Misalnya hukum minum bir yang diqiyaskan dengan hukum khamar. Disamping itu, mereka juga sepakat bahwa qiyas harus memiliki empat rukun, yaitu ashal, furu’, ‘illat dan hukm al-ashal. III. Kehujjahan Qiyas Para ulama berbeda pendapat tentang dapat atau tidaknya qiyas menjadi dalil syara’ untuk menetapkan suatu hukum di luar apa yang ditetapkan oleh nash. Dalam hal ini, Muhammad Abu Zahrah membagi perbedaan pendapat itu menjadi tiga kelompok, yaitu:9 1. Kelompok Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah dan Ijma’. Hal itu dilakukan dengan tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran. 2. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiah, yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’. 3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illat di antara keduanya. Kadang pula mereka memberi kekuatan yang paling tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagai ayat al-Qur’an atau Sunnah. Dari ketiga kelompok ulama yang disebutkan di atas, maka dapat dipilah ke dalam dua kelompok, yaitu: yang menerima dan yang menolak penggunaan qiyas sebagai al-dillah al-syar’iyyat berdasarkan kepada argumentasi masing-masing. A. Argumentasi kelompok yang menolak (nufat al-qiyas). Alasan penolakan qiyas sebagai dalill dalam menetapkan hukum syara’ sebagai berikut: 1. Dari al-Qur’an, seperti dinyatakan firman Allah swt. di dalam QS. al-Hujurat /49:1. .2 Ayat ini, menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Mempedomani qiyas adalah merupakan sikap beramal dengan sesuatu di luar al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan karenanya dilarang.10 9 Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th), h. 178. Al-Imam al-Jalil Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Dhahiri, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, Jilid II, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), h. 522-555. 10 Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 27 2. Selanjutnya, al-Qur’an mempertegas larangan untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Dan qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak pasti. Oleh sebab itu, mengamalkan qiyas dilarang berdasarkan QS. al-Isra’/17:36, sebagaimana firman Allah swt; ........ Terjemah: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. Dalam ayat lain, penegasan itu berulang kembali untuk tidak mengamalkan qiyas itu. Sebab bagaiman pun, qiyas bersifat zhann (persangkaan), dan karenanya qiyas tidak berguna untuk menetapkan hukum, sebagaimana dalam firman Allah swt. dalam QS. Yunus/10:36; Terjemah: “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran” Dari Sunnah Rasulullah saw, antara lain dalam sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Hazm dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: 11 قوله عليه الصالة والسالم؛ تعمل هذه االمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالكتاب وبرهة بالقياس فاذا فعلوا ذلك فقد ضلواـ اخر جه ابن حزم عن ابي هريرة “Umat ini sewaktu-waktu berpegang kepada al-Kitab, sewaktu-waktu berpegang kepada Sunnah, dan sewaktu-waktu berpegang kepada qiyas, maka mereka melakukan perbuatan tersebut di atas, sesatlah mereka”. Berdasakan pengertian hadis tersebut di atas, apabila umat ini melakukan perbuatan atas dasar penggunaan qiyas, maka mereka telah sesat.12 3. Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat yang mencela qiyas, meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan sahabat tersebut. Misalnya, Umar Ibn Khaththab sendiri pernah berkata, “hindarilah orang-orang yang mengemukakan pendapat tanpa alasan, karena mereka itu termasuk musuh sunnah dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas”.13 B. Argumentasi yang menerima qiyas. 1. Dari al-Qur’an seperti firman Allah dalam QS. al-Hasyr/59:2; 11 Ahmad bin Ali bin al-Mutsna Abu Ya’la al-Muawashshili al-Tamimi (w.207H), Musnad Abi Ya’la, Juz X, (Damaskus: Dar al-Ma’mun li al-Turats, 1984), h. 240. Lihat, Ali bin Abi Bakar alHaytsami (w.807H), Mjama’ al-Zawaid, Juz I (Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1407 H), h. 179. 12 Ibid. 13 Lihat, Al-Imam Fakhr al-Din bin Umar bin al-Husain al-Razi, op.cit., h. 105. Lihat, Syansu al-Din Mahmud ‘Abd al-Rahman al-Ashfahani,op.cit., h. 650. Lihat, Saymsu al-Din Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Abu Bakar, Masyhur dengan namanya Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam alMuawaqqi’in ‘An Rab al-‘Alamin, Jilid I, (t.dt), h. 54. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 28 Menurut Jumhur ushul fiqh bahwa ayat ini Allah swt. menyuruh menggunakan qiyas dengan menggunakan kata ‘ittibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari satu peristiwa termasuk qiyas. Oleh sebab itu, menetapkan hukum melalui qiyas disebut Allah swt. dengan al-‘ittibar adalah boleh.14 2. QS. al-Nisa’/4:59, Allah berfirman: .3 Menurut ulama ushul bahwa ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan “farudduhu ila Allah” kembalikanlah ia kepada Allah (alQur’an) dan Rasul (Sunnah) tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tandatanda kecenderungan apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari ‘illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sebagai misal dalam qishash, adalah dimaksudkan menjamin hak hidup. 3. Dalil Sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas, seperti: Rasulullah pernah ditanya oleh Umar tentang mencium istri pada bulan Ramadhan. 4. Pesan Umar ibn Khaththab kepada Abu Musa al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qadhi (hakim) di Yaman. Umar berkata, “Ketahuilah kesamaan dan keserupaan dan qiyas-kanlah segala urusan waktu itu”.15 Pesan Umar ini, secara jelas menyuruh mencari titik perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila menemukan kesamaan yang tidak mempunyai hukum dari al-Qur’an dan Sunnah. IV. Syarat-syarat Qiyas Seperti yang telah dikemukakan pada definisi qiyas, bahwa rukun qiyas itu ada empat. Keempat rukun itu (ashal, hukum ashal, furu’, dan ‘illat) harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. 1. Ashal Menurut Imam al-Ghazali16 bahwa, menetapkan ashal sebagai maqis ‘alaih (yang dijadikan ukuran) atau al-musyabbah bih (tempat penyerupaan) harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut: 14 Al-Imam al-Faqih al-Ushuli al-Nazhar Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl alSarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, Juz II, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), h. 130. 15 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Jilid I, op.cit., h. 85-86. Lihat, al-Imam al-Razi, ibid., h.75. Dan lihat, al-Imam Syamsu al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Hasyiyat al-‘Allamah al-Bannani ‘Ala Matni Jam’I al-Jawami’, Juz II,(Bairut: Dar al-Fikr, 1982), h. 392. 16 Al-Imam Abu Hanid bin Muhammad al-Ghazali, op.cit., h. 436-455. Lihat, Al-Imam Fakhr Al-Din bin Umar bin al-Husain al-Razi, op.cit., h. 483-486. Bandingkan dengan Imam al-Baidhawi yang mensyaratkan ashal atas empat syarat: Pertama, hendaknya penetapan berasal dari dalil syara’, Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 29 a. Ashal harus berupa ketentuan nash yang tidak beloh berubah (dinasakh); b. Ketentuan hukum pada ashal merupakan ketetapan syari’at, bukan ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijtihad; c. Ashal hendaknya mempunyai illat yang menjelaskan hukum syara’. Artinya, illat hukum pada ashal dapat dipahami dengan jelas bahwa ketentuan hukum pada ashal memang didasarkan pada illat dimaksud. d. Ashal bukan menjadi cabang dari ashal yang lain. Maksudnya tidak boleh terjadi bahwa ashal juga menjadi cabang bagi ashal yang lain; e. Hendaknya ada dalil yang memastikan illat pada ashal yang dapat dibuktikan secara jelas. f. Hukum ashal tidak boleh berubah dengan penentuan illat; g. Ashal tidak boleh keluar dari ketentuan qiyas. Artinya, dalil ashal bukanlah dalil yang berlaku khusus bagi sesuatu persoalan, seperti Nabi beristri lebih dari empat. 2. Furu’ atau maqis (sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal) Para ulama ushul berbeda pendapat dalam menentukan jumlah syarat-syarat yang berkenaan dengan furu’. Al-Imam al-Baydhawi17 dan Ibn Qudamah18 menetapkan syarat far’ (cabang) hanya satu, sementara ulama ushul fiqh kontemporer, seperti: Zaky al-Din Sya’ban19, ‘Abd al-Wahhab Khallaf20, Syeikh Khudhari Beik21, menentukan empat syarat: a. Furu’ hendaknya mempunyai ‘illat yang sama dengan ashal; b. Furu’ tidak mempunyai ketetapan hukum yang tersendiri; c. Furu’ tidak boleh berlawanan dengan naqh atau ‘ijma; d. Tidak terdapat sesuatu yang mungkin bisa menghalangi untuk mengamalkan furu’ dengan ashal; e. Furu’ tidak boleh mendahului ashal dalam penetapannya. 3. Syarat-syarat bagi hukum ashal Adapun syarat-syarat bagi hukum ashal ini, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali22, seperti halnya ketentuan persyaratan Abu Zahrah 23 adalah sebagai berkut: bukan dari qiyas.Kedua, dalil hukum ashal tidak mencakupi hukum far’.Misalnya, beras dikiaskan kepada gandum (al-burr), yang bisa diperlakukan hukum riba karena dalil al-burr mencakupi hukum al-aruzz.Ketiga, hukum ashal dita’lil dengan sifat tertentu, karena mempertemukan cabang dengan pokok perlu adanya sifat ‘illat yang tertentu.Keempat, hukum ashal tidak didahului oleh hukum far’ (cabang).Misalnya, hukum tayammum mendahului hukum wudhu, padahal hukum tayammum muncul ketika Nabi setelah hijrah. Lihat, Syansu al-Din Mahmud ‘Abd al-Reahman al-Ashfahani, op.cit.,h. 742-743. 17 Menurut al-Imam al-Baydhawi bahwa, syarat cabang (al-far’) adalah adanya ‘illat yang sama dengan ‘illat hukum ashal tanpa berlebihan. 18 Sedangkan, Ibn Qudamah menetapkan syarat far’ adalah hendaknya ‘illatashal (pokok) sama seperti ‘illat yang ada pada far’.Berdasarkan kedua pendapat anatara Ibn Qudamah dengan alBaydhawi tidak jauh berbeda 19 Lihat, Zaky al-Din Sya’ban, Ushul Fiqh al-Islami, (Mesir: Mathba’ Dar al-Ta’lif, 1965), h. 128-129. 20 ‘Abd al-Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fi Ma La Nashsha Fih, (Kuwat: Dar al-Qalam Li al-Thiba’ah Wa al-Nasyr Wa al-Tanzi’, 1972), h. 198. 21 Syeikh Khudhari Beik, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr, 1984), h. 198. 22 Imam al-Gazali, al-Mustashfa’ Min ‘Ilm Ushul, op.cit.,h. 250-254. 23 Muhammad Abu Zahrah, op.cit.,h.180-181. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 30 a. Hukum ashal itu harus merupakan hukum syara’ yang amaliah; b. Hukum ashal harus berupa hukum yang rasional (ma’qul al-ma’na); Artinya, suatu hukum yang dapat ditangkap sebab dan alasan penetapan hukumnya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat atas sebab-sebab itu. Misalnya, pengharaman minuman khamar disebabkan oleh iskar. c. Hukum ashal hendaklah hukum yang mempunyai ‘illat yang dapat diberlakukan dan menjangkau ke furu’; d. Hukum ashal bukan ketentuan yang berlaku khusus. Misalnya, kekhususan bagi Rasulullah saw, beristri lebih dari empat. 4. Syarat-syarat bagi ‘illat hukum Sebelum dikemukakan syarat-syarat bagi ‘illat hukum, terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘illat. Secara etimologi ‘illat berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan kebenarannya”. Misalnya, penyakit itu dikatakan ‘illat karena dengan adanya “penyakit” tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.24 Menurut al-Imam al-Razi25 ‘illat ialah “Sifat (washf) yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum”. Kalimat “sifat pengenal” dalam rumusan definisi tersebut adalah sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum. Adapun syarat-syarat penting bagi ‘illat hukum sebagaimana dijelaskan oleh ‘Abd al-Wahhab al-Khallaf adalah sebagai berikut:26 a. ‘Illat hukum, hendaklah merupakan suatu sifat yang jelas, dapat dipahami dan ditangkap oleh indera manusia, baik pada ashal maupun pada furu’. Misalnya, al-iskar (memabukkan) yang dapat diketahui dan ditangkap oleh indera kita. b. ‘Illat hukum hendaknya merupakan sifat yang akurat dan pasti, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif. Misalnya, memabukkan adalah ‘illat diharamkannya khamar. Bilaman pada situasi tertentu, khamar tidak memabukkan bukan berarti menggeser sifat aslinya. c. ‘Illat hukum itu tidak hanya terdapat pada ashal, tetapi ia juga terdapat pada furu’. d. ‘Illat hukum itu sendiri merupakan sifat yang pantas, sesuai dan cocok bagi penetapan hukum syara’. Artinya, keterpautan hukum dengan ‘illat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum. Misalnya, sabda Nabi saw:27 24 Abd al-‘Azia bin ‘Abd al-Rahman al-Said, Ibn Qudamah Wa Atsaruhu al-Ushuliyyah, Jilid II, (Saudi Arabiah: Jamia’h al-Imam Muhammad Sa’ud al-Islamiyah, 1987), h. 276. 25 Al-Imam Fakhr al-Din al-Razi, al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul Fiqh, Jilid II (Mekkah: Jami’al alImam Muhammad Ibn Sa’ud, 1980), h. 189.Bandingkan dengan Abu Zahrah, Ushul Fiqh. 26 Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm Ushul al-FiqhI, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990), h. 68-70. 27 Al-Imam Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa al-Turmuzi al-Silmi (w. 279 H), Juz IV. Op.cit., h. 425. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 31 Hadis ini memberi pengertian bahwa “pembunuhan” merupakan ‘illatuntuk terhalangnya hak kewarisan, sebab dasar hukum kewarisan adalah unsur hubungan yang mengaitkan antara pihak pewaris dengan pihak yang mewariskan.Jadi, “pembunuhan” itu merupakan korelasi pemutusan tali hubungan kewarisan. V. Pembagian Qiyas Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dilihat dari beberapa segi:28 1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas dapat dibagi kepada tiga, yaitu: a. Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlaku hukumnya pada furu’ lebih kuat dari pembelakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’. Misalnya, mengqiyaskan keharaman memukul orang tua kepada ucapan uf (berkata kasar), dengan ‘illat menyakiti. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS. al-Isra/17:23 Keharaman perbuatan “memukul” lebih kuat dari pada keharaman pada ucapan uf, karena menyakiti yang terdapat pada memukul lebih dari yang terdapat pada ucapan uf. b. Qiyas musawi, yaitu hukum pada furu’sama kualitasnya dengan hukum yang terdapat pada ashal, karena kualitas ‘illat-nya sama. Misalnya, Allah berfirman dalam QS. al-Nisa’/4:2; c. Membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim. Oleh karena itu, hukum yang berlaku pada membakar harta anak yatim sama dengan hukum haram pada memakannya tidak patut. d. Qiyas al-Adna, yaitu ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah disbanding dengan ‘illat yangada pada ashal. Misalnya, mengiyaskan apel pada gandum dalam berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah dari pada berlakunya hukum riba pada gandum karena ‘illat-nya lebih kuat. 2. Dilihat dari kejelasan ‘illat-nya, qiyas dibagi kepada dua macam: a. Al-Qiyas al-Jaliy, yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashal; atau nash tidak menetapkan ‘illat-nya, tetapi perbedaan antara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak adda 28 Lihat, al-Imam Sayf al-Din Abu al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Juz IV, op.cit., h. 2-5. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 32 pengaruhnya. Contoh bentuk pertama, qiyas memukul orang tua dengan ucapan “uf” dengan ‘illat dilarang menyakiti orang tua, seperti termaktub dalam QS. al-Isra’/17: 23. Contoh bentuk kedua, qiyas budak perempuan (al-amat) kepada budak laki-laki (al-‘abd) dalam masalah memerdekakan mereka. Antara keduanya terdapat perbedaan jenis kelamin. Akan tetapi, perbedaan jenis kelamin itu tidak berpengaruh dalam hukum memerdekakan budak. b. Al-Qiyas al-Khafiy, yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memperlakukan hukum qishash, karena ‘illat-nya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan. ‘Illat ini pada hukum ashal, yaitu pembunuhan dengan benda tajam lebih kuat dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada furu’, yaitu pembunuhan dengan benda keras. 3. Dilihat dari segi keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas dapat dibagi kepada dua, yaitu:29 a. Qiyas muatstsir, yaitu qiyas yang ‘illat-nya sama antara ashal dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’. Atau qiyas yang sifat itu sendiri (‘ain shifat) yang menghubungkan ashal dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri.30 Contoh pertama, mengiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illat belum dewasa.‘Illat belum dewasa ditetapkan melalui nash. Seperti firman Allah swt. dalam QS. al-Nisa’/4 : 6; Contoh kedua, mengqiyaskan minuman keras yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamar dengan ‘illat-nya sama, yaitu memabukkan.‘Illat memabukkan pada kedua jenis benda itu berpengaruh pada hukum keharaman meminumnya. b. Al-Qiyas al-Mulaim, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal mempunyai hubungan yang serasi.31 Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam yang mempunyai ‘illat hukum pada ashal mempunyai hubungan yang serasi dengan furu’, yaitu sama-sama pembunuhan. 4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi atas tiga: a. Qiyas al-Ma’na atau qiyas pada makna ashal, yaitu qiyas yang tidak dijelaskan ‘illat-nya, tetapi antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seolah-olah ashal. Misalnya, mengiyaskan 29 Jumhur ulama ushul membagi qiyas berdasarkan korelasi antara ‘illat dan hukum adalah seperti yang disebutkan di atas. Akan tetapi, ulama lainnya, seperti Ibn Qudamah dal al-Imam alGazali membagi atas tiga bentuk, yaitu: selain dari dua bentuk yang disebutkan sebelumnya, kemudian ditambah al-garib. Lihat, ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Rahman al-Said, op.cit., h. 303. AlImam al-Gazali, op.cit., h. 297. 30 Lihat, Abu Zahrah, op.cit., h. 191. 31 Lihat, ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Rahman al-Said, op.cit., h. 304. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 33 membaklar harta anak yatim kepada memakannya secara patut yang ‘illat-nya sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Oleh karena adanya kesamaan itu, maka furu’ tersebut seolah ashal itu sendiri. b. Qiyas al-‘Illat, yaitu qiyas yang dijelaskan ‘illat-nya dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Misalnya, mengiyaskan anggur kepada khamar dengan ‘illat rangsangan yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan furu’. c. Qiyas al-Dalalah, yaitu qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan kezaliman bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat. Misalnya, mengiyaskan minuman keras yang terbuat dari anggur kepada khamar dengan alasan bau yang menyengat. Bau itu merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam sifat memabukkan. VI. Implikasi Qiyas terhadap Produk Hukum Fiqh Sebelum membahas implikasi qiyas terhadap produk hukum fiqh, terlebih dahulu mengemukakan pendapat para ulama ushul tentang masalah yang boleh atau tidak boleh diberlakukan qiyas kepadanya. Dalam persoalan ini, para ulama membagi masalah tentang yang boleh diberlakukan qiyas, yaitu: hal-hal yang syar’i, dan hal-hal yang bukan syar’i. Sebahagian besar ulama kalam (al-mutakalimun) dan ahli bahasa sepakat bahwa, bolehnya hal-hal yang bukan syar’i, seperti al-aqliyat (pemikiran akal) dan al-lugah (bahasa) diberlakukan qiyas kepadanya.32 Namun, jumhur ulama sepakat bahwa al‘aqliyat dan al-lugah bisa dijadikan qiyas, sebab salah satu dari syarat-syarat qiyas adalah berasal dari nash hukum yang syar’i (al-Qur’an, hadis atau ijma’).33 Adapun, hal-hal yang syar’I, seperti al-hudud, dan al-kafarat yang oleh para fuqaha dan ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam masalah ini. Perbedanaan ini dapat dibagi kepada dua kelompok. Kelompok pertama, yaitu Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal,34 berpendapat bahwa qiyas boleh diberlakukan pada kedua masalah tersebut di atas. Mereka berpegang kepada keumuman dalil yang menetapkan bahwa boleh berhujjah dengan qiyas, sebab kedua masalah itu masuk ke dalam wilayah perkara syari’at.35 Kelompok kedua, yaitu Imam Abu Hanifah mengatakan sebaliknya bahwa qiyas tiak boleh diberlakukan pada maslah hudud dan kafarat.Alasannya menurut Imam Abu Hanifah, bahwa hudud dan kafarat itu adalah perkara yang sudah ditentukan atau ditetapkan ketentuannya.Oleh karena itu, akal tidak sanggup 32 Lihat, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi, op.cit., h. 449. Lihat, Muhammad Kamal al-Din Imam, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Bairut: al-Muassasah al-Jami’ah Li al-Dirasat Wa al-Nasyr Wa al-Tawzi’, 1996), h. 181. 33 Lihat, al-Imam al-Gazali, op.cit., h. 333. Lihat, Syeikh al-Islam ‘Abd al-Rahman al-Syarbini, hasyiah al-‘Alamah al-Bannani ‘Ala Matn Jam’I al-Jawami’, Juz II, (Bairut: Dar al-Fikr, 1982), h. 215. 34 Lihat, al-Amidi, op.cit., h. 82. Lihat, ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Rahman al-Said, op.cit., h. 338. 35 Lihat, Syamsu al-Din Mahmud ‘Abd al-Rahman al-Ashfahani, op.cit., h. 663. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 34 memahami makna dibalik kewajiban terhadap ketentuan yang ditetapkanNya. Misalnya, bilangan rakaat shalat dan jumlah nisbah zakat yang dikeluarkan.36 Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul sebagaimana disebutkan di atas, maka sudah barang tentu dapat dikatakan, bahwa perbedaan itu tidak sedikit membawa implikasi qiyas terhadap perbedaan produk hukum fiqih. Beberapa contoh yang dapat disebutkan di bawah ini, antara lain: 1. Masalah riba pada jenis-jenis yang tidak disebutkan oleh nash (hadis). Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berasal dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah saw., melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali dengan sama (dalam timbangan atau ukuran) dan kontan. Barang siapa melebihi salah satunya, ia termasuk dalam praktek riba.37 Hasil tersebut, oleh mayoritas ulama sependapat tentang pengharaman riba pada enam jenis barang yang telah disebutkan oleh nash di atas. Namun demikian, mereka tidak sepakat tentang adanya riba terhadap jenis barang yang serupa di luar dari ketentuan nash tersebut. Menurut jumhur bahwa, setiap jenis barang yang serupa ‘illat-nya dengan jenis barang yang telah ditetapkan oleh nash (hadis), maka dapat pula diberlakukan riba atasnya sebagaimana ketentuan perlakuan riba pada enam jenis barang yang dimaksud di atas.38 Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat di antara mereka mengenai masalah ‘illat yang terdapat pada setiap jenis barang yang serupa. Mazhab alZhahiriyah berpendapat, bahwa jenis barang yang serupa di luar dari ketentuan nash, walaupun memiliki ‘illat yang sama tidak mempengaruhi berlaku hukum riba atasnya. Oleh karena itu, riba tidak berlaku pada: beras, acar, kacang dan lain sebagainya, didasarkan atas penafian terhadap hukum qiyas.39 Ibn al-Rusyd menyatakan di dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid, masuknya jenis barang yang serupa di luar dari ketentuan enam jenis barang yang telah disebutkan dalam nash dalam perlakuan hukum riba adalah bukan berdasarkan qiyas, tapi didasarkan atas kaidah al-Khash allazi Yuradu bihi al-‘Am. (Ketentuan yang bersifat khusus itu dimaksudkan adalah makna yang bersifat umum).40 Beliau menambahkan, bahwa sesuatu yang didiamkan atau tidak disebut diikutkan kepada sesuatu yang telah disebut dilihat dari sisi penyerupaan yang tidak sama, bukan dari sisi qiyas, tapi dari sisi dhalalah al-lafazh (yang ditunjuk oleh lafazh-nya). Jadi, mengiyaskan sesuatu jenis barang serupa yang didiamkan (tidak 36 Lihat, al-Amidi, op.cit., h. 83. Lihat, Syekh al-Islam ‘Abd al-Rahman al-Syarbini, Hasyiah al-‘Alamah al-Bannani ‘Ala Matn Jami’I al-Jawami’. Juz II, (Bairut: Dar al-Fikr, 1982), h. 204. 37 Teks hadis dapat dilihat pada kitab Shahih Muslim, Imam Muslim bin al-Hajjaj Abu alHusain al-Qusyairi al-Naisaburi (206 H-261 H), Shahih Muslim, Juz III, (Bairut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.th), h. 1210. 38 Lihat, al-Imam Abu Zakariyah Mahyu al-Din bin Yusuf al-Nawawi (w. 676 H), Juz VI, alMajmu’ Syarh al-Muahzzab, (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), h. 377. 39 Al-Imam abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Hazm, op.cit., h. 204. 40 Al-Seykh al-Imam al-Hafizh al-Naqid Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi, Juz II, Bidayah al-Mujtahid,(Kairo: Maktabah al-Kuliyat alAzhariyah, 1969), h.139. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 35 ditentukan) kepada sesuatu jenis barang yang ditentukan dalam nash adalah dua jenis yang sangat berdekatan dan samar-samar, serta sangat tipis benang merahnya yang kadang oleh fuqaha sulit membedakannya.41 2. Masalah denda (kafarah) bagi orang yang berpuasa secara sengaja tanpa menggauli istri. Apabila seseorang berbuka puasa pada bulan ramadhan secara sengaja, apakah wajib baginya membayar denda, seperti halnya orang yang sengaja menggauli istrinya di siang hari puasa?. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam al-Tsawri, bahwa orang yang berbuka puasa (membatalkan puasanya) secara sengaja dengan makan dan minum, maka wajib atasnya mengganti puasa dan membayar denda (kafarah).42 Alasan mereka didasarkan pada qiyas kepada orang yang sengaja membatalkan puasanya dengan sengaja menggauli istrinya di siang hari.‘IllatI-nya menurut mereka adalah merusak atau melanggar kehormatan bulan suci ramadhan. Berbedah dengan Malik dan Abu Hanifah, al-Zhahiriyah, al-Syafi’iyah dan Hanabilah sependapat bahwa orang yang sengaja berbuka di siang hari pada bulan ramadhan tidak diwajibkan baginya membayar denda (kafarah). Alasan alZhahiriyah berpegang kepada makna teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di atas. Konteks hadis tersebut adalah berjima’ secara sengaja pada bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu, tidak boleh mengiyaskan orang yang membatalkan puasanya dengan makan dan minum di siang hari kepada orang yang berjima’ di siang harinya.43 Sementara, al-Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa orang yang berbuka dengan makan dan minum pada siang hari di bulan Ramadhan tidak dikenakan denda (kafarah) tetapi wajib mengganti puasanya. Alasan mereka tidak didasarkan qiyas, karena ‘illat hukum antara keduanya tidak sesuai. Bahkan hukum denda kepada orang yang berjima’ dengan sengaja dilakukan pada siang hari Ramadhan adalah sesuatu yang pantas dan sesuai. Akan tetapi hukum kafarah kepada orang yang berbuka makan dan minum dengan sengaja dilakukan di siang hari Ramadhan adalah sesuatu yang tidak pantas dan tidak sesuai.44 3. Masalah kafarah bagi istri yang berjima’ di siang hari Ramadhan. Menurut ulama Hanafiyah dan ulama al-Malikyah bahwa perempuan yang berhubungan badan dengan suaminya pada siang hari di bulan suci ramadhan diwajibkan membayar denda (kafarah). Alasan ini didasarkan atas qiyas kepada suami yang berjima’ pada siang hari ramadhan, karena kedua-duanya adalah mukallaf. ‘Illat-nya adalah intihak hurmat Ramadhan (merusak kehormatan bulan suci Ramadhan).45 Sementara ulama al-Zhahiriyah berbeda pendapat dengan ulama 41 Ibid., h. 140. Lihat, Syamsu al-Din al-Sarakhsi, al-Mabshut, Jilid II, (Mekah: al-Maktabah al-Tijariyah, t.th), h. 138. Lihat, al-Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm (w 456 H), Juz VI, al-Mahali, (Kairo: Maktabah al-Jumhuriyah al-‘Arabiyah, 1968), h. 405. 43 Lihat, al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm, op.cit., h. 404. 44 Lihat, Imam Mawfiq al-Din Abu Muhammad ‘Abd Allah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mugni, Jilid XI, (Kairo: Hijr Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’ wa al-‘Ilam, 1992), h. 730. 45 Al-Syekh al-Imam al-Hafizh al-Naqid Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi, Juz I, op.cit., h. 313. 42 Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 36 lainnya, bahwa ia tidak diwajibkan membayar kafarah berdasarkan makna lahir teks hadis sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.46 Ulama al-Syafi’iyah sependapat dengan ulama al-Zahiriyah, bahwa istri yang melakukan pelanggaran di siang hari Ramadhan dengan bersebadan dengan suaminya tidak dikenakan denda (kafarah). Alasan mereka adalah andaikan si istri diwajibkan membayar denda, sudah barang tentu Rasulullah saw, telah menerangkan dan menyatakan hal itu dalam hadisnya. Oleh karena itu, menangguhkan keterangan (penjelasan) saat dibutuhkan adalah sesuatu yang tidak lazim dan tidak boleh.47 Dalam kitab al-Mabshuth, Abu Hanifah mempunyai dua pendapat dalam masalah ini. Pertama, istri yang digauli dengan suaminya tidak wajib membayar kafarah, sebab si istri hanya objek (al-maw thu’ah) bukan subjek (al-wathi’). Kedua, si istri wajib kena kafarah dan mengganti puasa. VII. Penutup Sebagai penutup dari pembahasan paper ini, maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1. Qiyas adalah suatu metode untuk menyingkap dan menjelaskan hukum yang ada pada suatu kasus yang belum jelas ketetapan hukumnya. Oleh jumhur ulama ushul fiqh menetapkan bahwa, qiyass adalah salah satu dari al-adillah alsyar’iyah yang menempati posisi ke empat setelah al-Qur’an, hadis dan jima’. 2. Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas; ada yang menerima dan ada yang menolak. Mayoritas ulama sependapat menerima qiyas sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, dan sebagian kecil lainnya menolak kehujjahan qiyas dengan berbagai argument masing-masing. 3. Qiyas memiliki empat rukun: ashal, furu’, ‘illat dan hukum ashal, yang masingmasing rukun ini mempunyai syarat-syarat tertentu, sehingga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum. 4. Qiyas dapat dilihat dari beberapa segi: segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, segi kejelasan ‘illat-nya, segi keserasian ‘illat dengan hukumnya, dan dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas. 5. Ulama ushul fiqh terbagi atas dua golongan tentang masalah yang boleh atau tidak boleh diberlakukan qiyas, seperti al-hudud dan al-kafarah. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengakui bolehnya qiyas pada kedua masalah tersebut. Sementara Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya. Dari perbedaan pandangan ini, berimplikasi terhadap produk hukum fiqh yang berbeda-beda pula. Daftar Pustaka Al-Imam Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa al-Turmuzi al-Silmi, Juz III, Sunnah alTurmuzi. Bairut: Dar Ihya al-Turaz al-‘Arabi, t.th. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th. 46 Lihat, al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm, op.cit., h. 317. Al-Syekh al-Imam al-Hafizh al-Naqid Abu al-Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi, Juz I, loc.cit. 47 Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 37 Al-Imam Hujjat al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, alMustashafa Min ‘Ilm al-Ushul, Juz II. Bairut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Imam Fakhr al-Din bin Umar bin al-Husain al-Razi, dikaji dan diteliti oleh Thoha Jabir Fayyadh al-‘Alawani, al-Mahshul Fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Saudi Arabiah: Jami’ah al-Imam Muhammad Saud al-Islamiyah, 1401 H. Syams al-Din Mahmud ‘Abd al-Rahman al-Ashfahani, diteliti dan dikomentari oleh ‘Abd al-Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, syarh al-Minhaj li alBaidhawi Fi ‘Ilm al-Ushul, Jilid II. Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.th. Abd al-Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fi Ma La Nashsha Fih.Kuwat: Dar al-Qalam Li al-Thiba’ah Wa al-Nasyr Wa al-Tanzi’, 1972. Al-Syekh al-Imam al-‘Alamah Sayf al-Din Abu al-Hasan Ali bin Abi Ali ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam, Jilid III. Mesir: dar alFikr, 1928. Mushthafa Said al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf Fi al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Akhtilaf alFuqaha. Bairut: Muassasah al-Risalah, 1985. Al-Imam al-Jalil Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Dhahiri, alIhkam Fi Ushul al-Ahkam, Jilid II. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th Ahmad bin Ali bin al-Mutsna Abu Ya’la al-Muawashshili al-Tamimi (w.207H), Musnad Abi Ya’la, Juz X. Damaskus: Dar al-Ma’mun li al-Turats, 1984. Ali bin Abi Bakar al-Haytsami (w.807H), Mjama’ al-Zawaid, Juz I. Kairo: Dar alRayyan li al-Turats, 1407 H. Saymsu al-Din Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Abu Bakar, Masyhur dengan namanya Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muawaqqi’in ‘An Rab al‘Alamin, Jilid I. t.dt. Al-Imam al-Faqih al-Ushuli al-Nazhar Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl al-Sarakhsi. Ushul al-Sarakhsi, Juz II. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th. Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abd Allah al-Syaebani. Musnad Ahmad, Juz I. Mesir: Muassasah Qurthubah, t.th. Al-Imam Syamsu al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli. Hasyiyat al-‘Allamah al-Bannani ‘Ala Matni Jam’I al-Jawami’, Juz II. Bairut: Dar al-Fikr, 1982. Syekh al-Islam ‘Abd al-Rahman al-Syarbini, Hasyiah al-‘Alamah al-Bannani ‘Ala Matn Jami’I al-Jawami’. Juz II. Bairut: Dar al-Fikr, 1982. Al-Imam Abu Zakariyah Mahyu al-Din bin Yusuf al-Nawawi. Juz VI, al-Majmu’ Syarh al-Muahzzab.Bairut: Dar al-Fikr, 1996. Al-Seykh al-Imam al-Hafizh al-Naqid Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi, Juz II, Bidayah al-Mujtahid. Kairo: Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyah, 1969. Syamsu al-Din al-Sarakhsi, al-Mabshut, Jilid II. Mekah: al-Maktabah al-Tijariyah. t.th. al-Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm. Juz VI, al-Mahali. Kairo: Maktabah al-Jumhuriyah al-‘Arabiyah, 1968. Imam Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Nisaburi. Juz II. Bairut: Dar Ihya al-Turaz al-‘Arabi, t.th. Imam Muhammad bin Ismail Abu ‘Abd Allah al-Bukhari al-Ja’fi. Juz II. Shahih alBukhari. Bairut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016 H. Ismail Yusuf, Kehujjahan Qiyas Dan Implikasinya . . . 38 Imam Mawfiq al-Din Abu Muhammad ‘Abd Allah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mugni, Jilid XI. Kairo: Hijr Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa alTawzi’ wa al-‘Ilam, 1992. Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1. Juni 2016