BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bayi Berat Badan Lahir Rendah 2.1.1 Pengertian Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan. Berat badan ditimbang dalam waktu satu jam setelah lahir. Kelahiran bayi BBLR ini dapat terjadi pada usia kehamilan cukup bulan atau bahkan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu (WHO, 1961 dalam Surasmi, 2003). Berdasarkan berat badan lahir bayi BBLR dibagi menjadi tiga yaitu untuk bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram disebut bayi BBLR. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 1500 gram disebut bayi berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) sedangkan bila bayi lahir dengan berat badan kurang dari 1000 gram disebut bayi berat badan amat sangat rendah (BBLASR) (Hockenberry & Wilson, 2009). 2.1.2 Faktor Penyebab Kelahiran dengan BBLR disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor janin, ibu, dan plasenta. Faktor penyebab BBLR yang berasal dari keadaan janin antara lain berupa kelainan kromosom, malformasi organ, dan infeksi. Adapun faktor 7 8 penyebab yang berasal dari ibu meliputi usia kehamilan remaja atau kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun, kehamilan kembar, riwayat kehamilan dengan berat badan rendah dan gizi buruk, riwayat melahirkan dengan BBLR dan atau prematur sebelumnya, inkompetensi servik, penyakit hipertensi, penyakit kronis, anemia, infeksi, riwayat merokok, konsumsi alkohol, serta penyalahgunaan obat. Faktor penyebab lainnya berasal dari plasenta, seperti defek plasenta dan tali pusat (Lissauer & Fanaroff, 2009). 2.1.3 Karakteristik Bayi BBLR Selama dalam kandungan fungsi metabolik janin dilakukan dalam hubungannya dengan fungsi metabolik ibu melalui plasenta. Ketergantungan janin pada ibu melalui plasenta diantaranya adalah untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida, mendapatkan asupan nutrisi, melakukan pengeluaran sisa metabolism dan bahan-bahan toksik, serta melaksanakan fungsi imunologi sebagai pertahanan terhadap infeksi (Wylie, 2005). Namun segera setelah lahir, hubungan dengan plasenta ini berakhir dan selanjutnya bayi memulai proses penyesuaian dengan lingkungan di luar rahim. Periode segera setelah lahir ini merupakan periode awal untuk menjalankan fungsi organ tubuh secara mandiri dalam hal memenuhi kebutuhan diri untuk menunjang kehidupan. Proses penyesuaian dengan lingkungan luar rahim yang dijalani bayi BBLR adalakanya menjadi lebih sulit. Kesulitan penyesuaian ini disebabkan oleh ketidakmatangan sistem organ (Bobak dkk, 2005). Beberapa contoh karakteristik sistem organ yang belum 9 matang pada bayi BBLR berupa pembuluh darah imatur, lumen sistem pernapasan yang kecil, insufisiensi kalsifikasi tulang toraks, kekurangan surfaktan, dan jumlah alveoli yang berfungsi sedikit, mengakibatkan bayi mengalami kesulitan untuk bernafas segera setelah lahir, dapat mengalami apneu, dan juga penyakit seperti penyakit membran hialin atau sindrom distress pernapasan. Struktur kulit yang tipis dan transparan, lemak subkutan kurang, jaringan lemak bawah kulit sedikit, aktivitas otot lemah, dan perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan yang besar mengakibatkan bayi mudah mengalami kehilangan panas yang dapat ditandai dengan hipotermia. Karakteristik lainnya seperti kurangnya otot polos pembuluh darah dan rendahnya kadar oksigen darah mengakibatkan terjadinya keterlambatan penutupan duktus arteriosus dan trauma susunan saraf pusat. Usia sel darah merah lebih pendek, pembentukan sel darah merah lambat, pembuluh kapiler rapuh, dan deposit vitamin E yang rendah menyebabkan bayi mengalami masalah hematologi seperti anemia dan mudah terjadi perdarahan. Ginjal yang belum matang menyebabkan bayi tidak mampu mengelola air, elektrolit, asam basa, hasil metabolism dan pemekatan urin. Selain itu, ketidakmatangan retina menyebabkan bayi rentan mengalami retinophaty of prematurity (Bobak dkk, 2005 ; Hockenberry & Wilson, 2007). Karakteristik lainnya dari bayi BBLR adalah imaturitas pembuluh darah otak dan susunan saraf pusat. Imaturitas ini menyebabkan bayi BBLR belum mampu meregulasi banyaknya rangsang yang datang dari lingkungan sehingga 10 bayi sangat rentan untuk mengalami stress dan menyebabkan perdarahan otak serta mengalami beberapa masalah pertumbuhan dan perkembangan di kemudian hari (Maguire et al., 2008). 2.1.4 a. Saturasi oksigen dan denyut nadi Pengertian Saturasi Oksigen Saturasi oksigen didefinisikan sebagai presentase jumlah hemoglobin yang teroksigenasi di dalam darah (Hockenberry & Wilson, 2007). Saturasi oksigen juga merupakan gambaran aliran oksigen dalam tubuh yang sangat penting bagi optimalnya fungsi jantung dan organ tubuh lainnya karena oksigen merupakan bahan bakar metabolism. Sekitar 97% oksigen yang ditransportasikan ke dalam aliran darah berikatan dengan hemoglobin di dalam sel darah merah dan sebanyak 3% lainnya larut dalam plasma. Nilai normal saturasi oksigen berada dalam rentang antara 88-92% (Lissauer & Fanaroff, 2009). Menurut Berman et al., (2009) faktor yang dapat mempengaruhi kadar saturasi oksigen adalah: 1). Anemia Kadar hemoglobin rendah seperti pada keadaan anemia mengakibatkan nilai saturasi oksigen dapat menjadi rendah karena jumlah hemoglobin yang mengikat oksigen berkurang. 11 b). Sirkulasi Sistem sirkulasi berperan dalam transportasi darah dan oksigen. Pada kondisi dimana sistem sirkulasi mengalami gangguan seperti pada penyakit jantung, pendarahan, anemia, dan penyakit pada sistem pernafasan (paru-paru), akan turut berpengaruh terhadap ikatan oksigen dan hemoglobin dalam darah. c). Hipoksemia Hipoksemia adalah kondisi dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah dengan nilai < 50 mmHg. d). Suhu tubuh Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan peningkatan metabolisme sehingga terjadi peningkatan kebutuhan oksigen tubuh yang dapat mengakibatkan penurunan saturasi oksigen (Mac Gregor, 2008). b. Pengertian Denyut nadi Denyut nadi merupakan gambaran dari setiap denyut jantung yang memompakan sejumlah darah ke dalam arteri (Berman et al., 2009). Rentang nilai normal denyut nadi pada bayi, termasuk bayi BBLR, berada pada rentang 100 – 160 kali setiap menit. Disebut takikardi bila frekwensi denyut nadi > 160 kali setiap menit, bradikardi bila denyut nadi < 100 kali setiap menit. Faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi 12 adalah latihan fisik, berada pada wilayah dengan tekanan atmosfir rendah, kondisi emosional, penyakit jantung, dan demam (Gill & O’Brien,2003; MacGregor, 2008). Alat yang dapat digunakan untuk mengukur nilai saturasi oksigen dan denyut nadi adalah oksimetri nadi (pulse oksimetetry). Pulse oksimetry merupakan alat ukur non invasif untuk mengukur kadar saturasi oksigen darah arteri (Berman et al,. 2009). Area pemasangan sensor pulse oksimeter dapat pada ujung jari, hidung, daun telinga, dahi, atau sekitar tangan dan kaki pada bayi. Sensor pulse oksimeter terdiri dari dua diode pemancar cahaya (diode merah dan inframerah) yang mentransmisikan cahaya melalui kuku, darah vena, darah arteri, dan jaringan dan foto detekor yang diletakkan langsung didepan diode. Hemoglobin yang tersaturasi akan lebih banyak mengabsorbsi cahaya infra merah, sedangkan hemoglobin yang tidak tersaturasi lebih banyak mengabsorbsi cahaya merah. Jumlah cahaya merah dan inframerah yang diasorbsi oleh hemoglobin yang tersaturasi dan tidak tersaturasi dalam darah arteri akan diukur oleh foto detector dan dilaporksn sebagai prosentase saturasi (Brerman et al., 2009) 2.2 Developmental Care 2.2.1 Definisi Developmental care adalah praktek profesional edukasi dan penelitian dimana perawat perlu mengeksplorasi, mengevaluasi dan menemukan secara terus-menerus perubahan teknologi lingkungan di unit perawatan neonatus (Coughlin et al, 2009). Development 13 care merupakan asuhan yang memfasilitasi perkembangan bayi melalui pengelolaan lingkungan perawatan dan observasi perilaku sehingga bayi mendapatkan stimulus lingkungan yang adekuat (Lissauer & fanaroff, 2009; Maguire et al., 2009). Developmental care bertujuan untuk mengenali kerentanan fisik, psikologi, dan emosional bagi bayi prematur atau bayi sakit. Developmental care memberi struktur lingkungan perawatan yang mendukung, mendorong dan mengantar perkembangan yang terorganisir bagi bayi prematur atau bayi sakit. Developmental care berakar pada teori keperawatan Florence Nightingale dimana perawat bertanggung jawab untuk menciptakan dan menjaga lingkungan yang kondusif untuk membantu proses penyembuhan. Developmental care meliputi modifikasi lingkungan bagi bayi, belajar untuk membaca dan merespon perilaku bayi untuk memenuhi kebutuhan bayi (Horner, 2010). Stimulus lingkungan yang adekuat menyebabkan terjadinya peningkatan stabilitas fisiologis tubuh dan penurunan stress (Coughlin et al, 2009; Lissauer & Fanaroff, 2009). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa developmental care adalah kegiatan praktek profesional dengan cara memodifikasi lingkungan ruang perawatan, membaca dan mempelajari respon bayi agar dapat mendukung perkembangan bayi. 14 2.2.2 Latar belakang developmental care Manusia merupakan makhluk yang senantiasa berinteraksi dengan stimulus lingkungan secara terus menerus sepanjang kehidupannya. Interaksi dengan lingkungan dimulai sejak manusia berada dalam kandungan yang dikenal sebagai periode janin dan akan terus berlangsung sepanjang kehidupan. Di dalam kandungan, janin hidup dalam lingkungan yang hangat, gelap, dan penuh cairan. Jenis suara yang dikenal janin secara konstan adalah denyut jantung dan suara napas ibu (Wylie, 2005). Ketika periode janin ini berakhir, lingkungan yang dihadapi adalah lingkungan di luar kandungan yang sangat berbeda. Periode ini disebut sebagai periode bayi dimana bayi akan terpapar dengan kondisi lingkungan yang berubah-ubah seperti dalam hal pencahayaan, suhu, suara, dan lain sebagainya. Pada periode ini pula, ketergantungan janin pada ibu melalui hubungan dengan plasenta akan berbagai macam asupan nutrisi, pertukaran oksigen, karbondioksida, dan darah berakhir dan bayi memulai kemandiriannya (Bobak dkk, 2005; Wylie, 2005). Bayi dibekali dengan berbagai potensi diri untuk tumbuh dan berkembang. Salah satu contoh potensi diri ini adalah kematangan sistem organ yang prosesnya telah dimulai sejak dalam kandungan dan mempersipakan bayi untuk dapat berinteraksi secara adaptif dengan lingkungan (Lissauer & Fanaroff, 2009). Interaksi yang adaptif dengan lingkungan bermanfaat bagi bayi untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Bayi BBLR, terlebih yang lahir dengan berat badan lahir sangat rendah dan lahir pada usia kehamilan 15 kurang dari 37 minggu, seringkali mengalami hambatan kemampuan untuk melakukan interaksi yang adaptif dengan lingkungan sebagai akibat imaturitas sistem organ (Bobak dkk, 2005). Kondisi ini membuat bayi membutuhkan dukungan perawatan intensif untuk menunjang kehidupan. Maguire,(2008) mengatakan bahwa pemanfaatan kemajuan teknologi dalam perawatan intensif telah mengantarkan perawatan intensif menjadi suatu jenis perawatan yang dilengkapi dengan berbagai macam prosedur tindakan dan fasilitas perawatan terkini serta telah menunjukkan keberhasilan dalam penurunan angka mortalitas bayi-bayi yang dirawat. Beberapa contoh prosedur tindakan yang dijumpai di ruang perawatan intensif tersebut diantaranya seperti fisioterapi dada; intubasi; pemasangan pipa endotrakeal dan selang nasogastrik; pemasangan jalur vena sentral, perifer, dan perkutan. Adapun fasilitas perawatan penunjang yang dapat dijumpai diantaranya berupa ventilator sebagai alat bantu pernapasan; radiant warmer dan inkubator untuk mempertahankan suhu bayi tetap berada dalam rentang normal; serta alat monitoring suhu, pernapasan, denyut nadi, dan saturasi oksigen. Kemajuan teknologi dalam lingkungan perawatan intensif ini disisi lain juga sekaligus memberikan dampak negatif yaitu menjadi sumber stress karena memberikan stimulasi yang berlebihan bagi bayi yang sedang menjalani perawatan. Sumber stress tersebut berasal dari prosedur pengobatan, perawatan, dan pemeriksaan lain yang dilakukan, serta beberapa fasilitas penunjang yang digunakan. Perpisahan dengan orang tua juga menjadi 16 sumber stress lainnya dalam lingkungan perawatan intensif ini (Lissauer & Fanaroff, 2009). Maguire (2008) mengungkapkan bahwa bayi BBLR belum memiliki kemampuan untuk meregulasi setiap rangsangan yang berlebihan yang datang dari lingkungan. Kondisi lingkungan dan aktivitas perawatan yang demikian menyebabkan bayi mengalami hipoksemia dan periode apnoe, nyeri, ketidaknyamanan, serta adanya peningkatan kadar hormon stress. Bayi BBLR membutuhkan rangsangan yang adekuat dari lingkungan untuk tumbuh dan berkembang (Lissauer & fanaroff, 2009; Maguire et al., 2009). Strategi pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan untuk menurunkan stress sebagai akibat stimulus lingkungan perawatan yang berlebihan ini salah satunya adalah dengan asuhan perkembangan (development care). Stimulus lingkungan yang adekuat menyebabkan terjadinya peningkatan stabilitas fisiologis tubuh dan penurunan stress (Coughlin et al, 2009; Lissauer & Fanaroff, 2009) 2.2.3 Strategi developmental care Beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam upaya mengelola lingkungan perawatan dalam developmental care yaitu: 17 a. Minimal handling Minimal handling dilakukan untuk memberikan waktu istirahat dan tidur bagi bayi tanpa adanya gangguan dari aktivitas pengobatan, perawatan, dan pemeriksaan lainnya dengan cara sedikit mungkin memberikan penanganan pada bayi atau memungkinkan penanganan bayi untuk beberapa tindakan dalam satu waktu. Adapun contoh tindakan minimal handling ini adalah tindakan reposisi dan pengaturan jadwal pemberian obat dalam periode waktu yang besamaan, minimalisasi tindakan membuka dan menutup inkubator untuk hal yang tidak perlu, dan pemberian jam tenang (Maguire et al., 2008; Bredmeyer,2008; Hockenberry & Wilson., 2009). b. Fasilitas ikatan atau interaksi orang tua - anak Fasilitas ikatan atau interaksi orang tua anak juga merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan perawatan intensif ini. Fasilitas ikatan atau interaksi orang tua-anak dapat berupa kunjungan orang tua yang tidak dibatasi dan skin to skin contact atau yang dikenal juga dengan perawatan metode kanguru, dimana keduanya sangat penting untuk mendukung proses adaptasi bayi dan orang tua terhadap kehadiran dan penerimaan satu sama lain (Maguire et al., 2008; Hockenberry & Wilson., 2009). c. Pengaturan posisi dengan pemasangan nesting. Pemasangan nesting atau sarang yang mengelilingi bayi dan posisi fleksi juga merupakan aspek lain dari pengelolaan lingkungan perawatan dalam development care. Nesting adalah suatu alat yang digunakan pada bayi prematur atau BBLR yang terbuat 18 dari bahan phlanyl dengan panjang 121-132 centimeter sesuai panjang badan bayi untuk meminimalkan pergerakan bayi (Priya & Biljlani, 2005). Seperti diketahui bahwa perilaku bayi BBLR dan premature cenderung pasif dan malas. Perilaku ini dapat diamati dari ekstremitas yang tetap cenderung ekstensi dan tidak berubah sesuai dengan bayi yang lahir cukup bulan yang menunjukkan perilaku normal fleksi dan aktif. Nesting sebagai salah satu strategi dalam development care, merupakan asuhan yang memfasilitasi atau mempertahankan bayi berada dalam posisi normal fleksi. Nesting dapat menopang tubuh bayi dan juga sekaligus memberi bayi tempat yang nyaman (Lissauer & Fanaroff, 2009). Posisi fleksi sendiri merupakan posisi terapeutik karena posisi ini bermanfaat dalam mendukung regulasi diri karena melalui posisi ini, bayi difasilitasi untuk meningkatkan aktivitas tangan ke mulut dan tangan menggenggam (Hockenberry & Wilson., 2009). Kemampuan regulasi diri ini merupakan cerminan bahwa bayi mampu mengorginisir perilakunya dan menunjukkan kesiapan bayi untuk berinteraksi dengan lingkungan (Hockenberry & Wilson., 2009.; Lissauer & Fanaroff, 2009). Posisi fleksi bayi baru lahir diduga berfungsi sebagai sistem pengaman untuk mencegah kehilangan panas karena sikap ini mengurangi pemajangan permukaan tubuh pada suhu lingkungan (Bobak, dkk. 2005). Bayi baru lahir memiliki risiko permukaan tubuh besar terhadap berat badan sehingga berisiko tinggi untuk mengalami kehilangan panas. 19 d. Tutup telinga Kebisingan lingkungan perawatan berkontribusi terhadap peningkatan kadar hormone stress pada bayi BBLR. Strategi development care untuk menurunkan stress pada bayi yang bersumber dari kebisingan ruang perawatan ini adalah pemasangan penutup telinga e. Pengaturan pencahayaan Pengaturan pencahayaan juga menjadi bagian penting dari pengelolaan lingkungan perawatan dalam development care. Pengelolaan lingkungan perawatan terkait pencahayaan ini adalah dengan memberikan penutup incubator dan menurunkan pencahayaan ruang perawatan (Hockenberry & Wilson., 2009). 2.2.4 Kompetensi perawat dalam developmental care Perawat selayaknya memiliki kemampuan dalam mengenali perilaku bayi karena merupakan dasar pemberian asuhan perkembangan (development care) sehingga pada akhirnya dapat memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu bayi. Perubahan dalam keseimbangan fisiologis, tingkat kewaspadaan, aktivitas motorik, dan perhatian merupakan petunjuk yang dapat digunakan oleh seorang perawat untuk menilai kemampuan bayi beradaptasi dengan suatu kondisi. Contoh perilaku yang dapat diamati adalah perilaku tersentak dan tidak teratur, tampak tegang, dan pola tidur yang sering terjaga. Perilaku ini merupakan respon stress bayi terhadap kondisi lingkungan yang tidak mendukung seperti lingkungan yang bising dan 20 pencahayaan yang terang dan menunjukkan bahwa bayi belum kompeten dalam mengatur dirinya sendiri untuk berespon terhadap stimulus lingkungan (Lissauer & Fanaroff, 2009) 2.3 Pengaruh developmental care terhadap saturasi oksigen dan denyut nadi bayi BBLR Stimulasi berlebihan dari ruang perawatan mengakibatkan stress pada bayi. Manifestasi stres pada bayi dapat berupa stress autonomic, perubahan keadaan umum dan perubahan tingkah laku. Stress autonomic dapat dilihat dari perubahan warna kulit (pucat, berbercak, sianosis), tremor, terkejut, denyut jantung cepat tidak teratur, terdapat jeda respirasi, gasping dan takipneu (Hockenberry & Wilson, 2007). Dua sistem tubuh yang berperan dalam kondisi stress yaitu system saraf otonom dan hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Respon sistem saraf otonom terhadap stress dapat berupa perubahan pada pola pernafasan, denyut nadi, perfusi jaringan, keseimbangan sistem saraf, dan fungsi sistem pencernaan. Stress dan nyeri dapat mengaktifkan HPA axis, mengakibatkn peningkatan sekresi kortisol. Bayi yang mengalami prosedur perawatan yang menyakitkan mengalami peningkatan hormon kortisol dan bahkan sampai saat pulang dari rumah sakit (Mitchell, et al, 2012). Peningkatan kadar hormon kortisol pada bayi BBLR berhubungan dengan kejadian kesakitan dan kematian pada bayi BBLR (Bowen, 2009). 21 Pencahayaan yang berlebihan merupakan salah satu sumber stress pada bayi yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan fisiologis pada bayi. Perubahan denyut nadi, saturasi oksigen, tekanan darah dan pergerakan tubuh merupakan reaksi neonatus terhadap stimulasi berlebihan dari ruang perawatan (Als, 1982; Lotas, 1992; Gibbins et al, 2008). Bayuningsih (2011) meneliti tentang pengaruh developmental care terhadap saturasi oksigen dan denyut nadi pada bayi prematur, intervensi developmental care yang diberikan yaitu pemberian posisi prone dan pemakaian nesting, dengan hasil didapatkan pengaruh bermakna terhadap saturasi oksigen namun tidak didapatkan pengaruh signifikan terhadap denyut nadi. Deswita (2012) meneliti pengaruh salah satu strategi developmental care yaitu perawatan metode kangguru terhadap suhu tubuh, saturasi oksigen dan denyut jantung dimana didapatkan pengaruh bermakna perawatan metode kangguru terhadap perubahan fisiologis bayi BBLR, diantaranya peningkatan suhu tubuh kearah normal, denyut jantung kearah normal dan saturasi oksigen meningkat kearah normal. Indriansari (2011) meneliti pengaruh developmental care terhadap fungsi fisiologis bayi BBLR dengan hasil terdapat pengaruh bermakna developmental care terhadap perilaku tidur terjaga bayi BBLR, dimana terjadi peningkatan tidur tenang, penurunan tidur aktif, penurunan denyut jantung, tetapi tidak ada perbedaan bermakna pada kadar saturasi oksigen.