bab ii landasan teori - Perpustakaan Universitas Mercu Buana

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Pembelajaran
Menurut Dimyati Mahmud, bahwa belajar adalah suatu perubahan
dalam diri seseorang yang terjadi karena pengalaman. Adapun Winkel
menyatakan sebagai semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung
dalam interaksi aktif dalam lingkungan, yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengelolaan pemahaman. Dengan kata lain bahwa belajar
merupakan suatu perubahan tingkah laku pada diri seseorang melalui suatu
proses tertentu. Namun, tidak semua perubahan tingkah laku itu disebabkan
oleh hasil belajar, tetapi juga dikarenakan oleh proses alamiah atau keadaan
sementara pada diri seseorang.
Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana
seseorang belajar, sehingga membantu kita memahami proses kompleks
inheren pembelajaran. Secara umum terdapat tiga kategori utama tentang
teori belajar, yaitu :
1. Teori Belajar Behavioristik (Tingkah Laku)
Teori belajar behavioristik, yaitu bahwa suatu perilaku terbentuk
melalui hubungan antara rangsangan (stimulus) dengan respons.
Perubahan perilaku lebih banyak karena adanya pengaruh lingkungan.
Oleh karena itu teori behavioristik lebih menekankan pada terbentuknya
perilaku sebagai hasil dalam belajar. Jadi seseorang dianggap telah
belajar jika menunjukkan adanya perubahan dalam perilakunya. Dalam
hal ini inputnya berupa stimulus dan outputnya berupa respons. Yang
dimaksud stimulus adalah apa saja yang diberikan guru, baik teori
maupun praktik kepada anak didiknya. Sedangkan respons adalah reaksi
atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh gurunya
tersebut. Teori ini lebih mengutamakan pada sesuatu hal yang dapat
diamati dan diukur. Karena dari pengukuranlah dapat dilihat apakah
terjadi perubahan tingkah laku atau tidak dalam belajar. Yang dapat
dinikmati dan diukur adalah stimulus yang dilakukan guru dan respons
yang diberikan oleh anak didik.
Teori belajar behavioristik sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan pendidikan dan pembelajaran. Aliran behavioristik lebih
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik menggunakan model hubungan stimulus dan
responnya, mendudukan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respons atau perilaku tertentu dengan metode pembiasan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
2. Teori Belajar Humanistik
Dalam teori humanistik, yang menjadi tujuan belajar adalah peserta
didik. Jadi pesetra didik dalam proses belajarnya harus berusaha
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik - baiknya. Proses belajar baru
dianggap berhasil jika anak didik mampu memahami dirinya sendiri dan
lingkungannya. Teori ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelaku belajarnya bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Untuk itu yang menjadi tujuan utama para guru adalah membantu anak
didik untuk dapat mengembangkan dirinya sendiri dan membantu
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
Dalam teori humanistik, anak didik berperan sebagai pelaku utama
(student center). Ia akan belajar berdasarkan pengalaman yang dijalani
dan akan mengambil makna dari apa yang dipelajari. Menurut teori
belajar humanistik, agar belajar lebih bermakna bagi anak didik maka
diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari anak sendiri, sehingga
akan mendapatkan pengalaman belajar. Dengan demikian diharapkan
dapat memahami dirinya sendiri sehingga dapat mengembangkan
potensinya itu secara maksimal.
3. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif memandang belajar sebagai proses
pemfungsian unsur-unsur kognisi, yaitu tindakan mengenal atau
memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi. Aktivitas belajar pada
diri manusia ditekankan pada proses internal berpikir, yakni proses
pengolahan informasi. Dalam situsi belajar, seseorang terlibat langsung
dalam
situasi,
yang
kemudian
memecahkan suatu masalah.
mendapatkan pemahaman
untuk
Menurut teori belajar kognitif, ilmu tidak bisa ditransferkan begitu
saja kepada anak didik. Namun, selain guru mentransferkan ilmunya
kepada anak didik, anak didik sendiri harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif
yang dimilikinya. Ciri - ciri pembelajaran dalam teori kognitif adalah
sebagai berikut :
a. Menyediakan berbagai pengalaman belajar dengan menghubungkan
pengetahuan yang dimilik anak didik memanfaatkan berbagai media
pembelajaran baik komunikasi secara lisan maupun tulisan sehingga
proses pembelajaran menjadi lebih efektif.
b. Melibatkan anak didik dalam belajar secara aktif baik secara sosial
maupun emosional sehingga anak didik menjadi tertarik untuk belajar.
c. Mengintegrasikan pembelajaran dengan kenyataan yang terjadi di
lapangan sehingga anak lebih memahami materi yang diberikan.
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan biasa diartikan dengan kata intelegensi dari
bahasa latin yaitu “intelligere” yang berarti menghubungkan atau
menyatukan satu sama lain. Kecerdasan (Intelligence) adalah suatu
penyesuaian yang cepat dan tepat baik secara fisik atau mental terhadap
pengalaman-pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan
yang telah dimiliki siap untuk digunakan jika dihadapkan pada tantangan
baru.
Meskipun
bukan
sebagai
satu-satunya
yang
menentukan
kecerdasan seseorang, namun intelegensi juga menentukan proses belajar
seseorang. intelegensi merupakan kemampuan umum seseorang dalam
menyesuaikan diri, belajar, atau berpikir abstrak. Secara umum,
seseorang dengan tingkat kecerdasan yang tinggi dapat mudah belajar
menerima apa yang diberikan padanya. Adapun yang intelegensinya
rendah, cenderung lebih lambat menerima (kesulitan menangkap materi
yang diberikan). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heller,
Monks dan Passow menyatakan bahwa orang-orang yang memiiki
intelegensi yang tinggi, belum tentu tidak mengalami gangguan dalam
belajar.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) dalam Yuniani (2010)
mendefinisikan emosi sebagai “luapan perasaan yang berkembang dan
surut dalam waktu singkat serta keadaan dan reaksi psikologi dan
fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan dan kecintaan”.
Kecerdasan emosional dapat membantu membangun hubungan dalam
menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Sedangkan menurut Rissyo
Melandy RM dan Nurna aziza (2006) kecerdasan emosional adalah
kecerdasan untuk menuntut diri sendiri untuk belajar mengakui dan
menghargai
perasaan
diri
sendiri
dan
orang
lain
dan
untuk
menanggapinya dengan tepat, perlu diterapkan secara efektif dan positif
dalam kehidupan serta pekerjaan sehari - hari.
Emosi merupakan keadaan yang timbul dari hati, perasaan jiwa
yang kuat seperti sedih, luapan perasaan yang berkembang dan surut
dalam waktu cepat. Goleman (2003) dalam Yuniani (2010:24),
menganggap emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang
biologis dan psikologis dalam bertindak. Emosional adalah hal-hal yang
berhubungan dengan emosi.
Weisinger (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
(Emotional intelligence) adalah penggunaan emosi secara cerdas, dengan
maksud membuat emosi tersebut bermanfaat dengan menggunakannya
sebagai pemandu perilaku dan pemikiran kita sedemikian rupa sehingga
hasil
kita
meningkat.
Kecerdasan
emosional
digunakan
untuk
kepentingan interpersonal (membantu diri kita sendiri) dan juga
interpersonal (membantu orang lain).
Pada masa sekarang pengembangan kepribadian mahasiswa dapat
dikenal dengan istilah Emotional Quotient (EQ) atau Kecerdasan
Emosional. Kecerdasan Emosional (Goleman:2005) menyatakan bahwa
kemampuan akademik bawaan, nilai rapor, dan prediksi kelulusan
pendidikan tinggi tidak memprediksi seberapa baik kinerja seseorang
sudah bekerja atau seberapa tinggi sukses yang dicapainya dalam hidup.
Lebih lanjut Goleman menyatakan bahwa seperangkat kecakapan khusus
seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif mampu membedakan orang
sukses dari mereka yang berprestasi biasa - biasa saja, selain kecerdasan
akal yang mempengaruhi keberhasilan orang dalam bekerja.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau
yang sering disebut EQ sebagai: “himpunan kecerdasan sosial untuk
mengetahui perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain,
memilah - milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan, Shapiro dalam Nadhirin (2009).
Menurut Goleman dalam Sri Suryaningsum (2006) Kecerdasan
Emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan
perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional
merupakan
kemampuan
bagaimana
seseorang
dapat
memahami serta menghargai diri sendiri dan orang lain dengan
pengelolahan emosi yang baik.
2. Meningkatkan dan Mengembangkan Kecerdasan Emosional
Kecerdasan
emosional
dapat
dilatih,
dikembangkan,
dan
ditingkatkan. Emosi bukanlah suatu karakter yang dimiliki atau yang
tidak dimiliki. Kita dapat meningatkan kecerdasan emosional dengan
mempelajari dan melatih keterampilan serta kemampuan yang menyusun
kecerdasan emosional. Weisinger (2006) mempunyai cara untuk
meningkatkan kecerdasan emosional kita dengan:
a. Mengembangkan kesadaran diri yang tinggi. Dengan kesadaran yang
tinggi, kita dapat memonitor diri sendiri, mengamati tindakan dan
mempengaruhinya demi kebaikan kita.
b. Mengelola emosi. Mengelola emosi berati memahaminya, lalu
menggunakan pemahaman tersebut untuk menghadapi situasi secara
produktif, bukannya menekan emosi dan menghilangkan informasi
berharga yang disampaikan oleh emosi kepada kita.
c. Memotivasi diri sendiri. Motivasi adalah pencurahan tenaga pada
suatu arah tertentu untuk sebuah tujuan spesifik. Di dalam konteks
kecerdasan emosional, ini berarti menggunakan sistem emosional
untuk memfasilitasi keseluruhan proses dan menjaganya tetap
berlangsung.
Anthony
(2004)
menyajikan
progam
untuk
meningkatkan
kecerdasan emosional menuju pintu kesuksesan dengan lima langkah
berikut:
a. Awarennes
(kesadaran).
Menyesuaikan
dengan
kekuatan
dan
kelemahan alami, meneliti bagaimana dampak kepribadian seseorang
terhadap orang lain, dan menyadari emosi.
b. Restraint (pengekangan diri). Mengidentifikasi emosi negatif yang
dapat merusak hubungan, serta menyiapkan tanggapan rasional yang
akan mengekang emosi.
c. Resilience
(daya
pemulihan).
Belajar
mengembangkan
sifat
optimistis, gigih, mengenali sumber sesungguhnya dari keputusasaan,
dan menerima motivator intrinsik.
d. Other (empaty) / lain-lain (empati). Perasaan dan motif yang tajam,
mengembangkan radar emosional, dan belajar untuk menjadi
pendengar dan pengamat yang lebih baik.
e. Working with other (building rapport) / bekerja sama dengan orang
lain (membina hubungan). Berkomunikasi, menyelesaikan konflik,
dan belajar menjalin hubungan dan pemimpin orang lain.
3. Komponen Kecerdasan Emosional
Goleman
(2005:42-513),
memperlihatkan
hubungan
antara
kecerdasan emosi dengan dua puluh lima kecakapan emosi.
a. Kesadaran Diri
Mengetahui
apa
yang
kita
rasakan
pada
suatu
saat,
dan
menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri
sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan
kepercayaan diri yang kuat. Unsur-unsur kesadaran diri yaitu:
1) Kesadaran emosi (emosional awareness), yaitu mengenali
emosinya sendiri dan efeknya.
2) Penilaian diri secara teliti (accurate self awareness), yaitu
mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.
3) Percaya diri (self confidence), yaitu keyakinan tentang harga diri
dan kemampuan sendiri.
b. Pengaturan Diri
Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada
pelaksaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali
dari tekanan emosi. Unsur-unsur pengaturan diri yaitu:
1) Kendali diri, yaitu mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan
hati yang merusak.
2) Sifat dapat dipercayai, yaitu memelihara norma kejujuran dan
integritas.
3) Kewaspadaan, yaitu bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
4) Adaptibilitas, yaitu keluwesan dalam menanggapi perubahan.
5) Inovasi, yaitu mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan,
pendekatan, dan informasi-informasi baru.
c. Motivasi
Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif
dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi
kegagalan dan frustasi. Unsur-unsur motivasi yaitu:
1) Dorongan prestasi (achievement drive), yaitu dorongan untuk
menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
2) Komitmen (commitmen), yaitu menyesuaikan diri dengan sasaran
kelompok atau lembaga.
3) Inisiatif
(initiative),
yaitu
kesiapan
untuk
memanfaatkan
kesempatan.
4) Optimisme (optimisme), yaitu kegigihan dalam memperjuangkan
sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
d. Empati
Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami
perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Unsur-unsur
empati yaitu:
1) Memahami orang lain (understanding others), yaitu mengindra
perasaan dan perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif
terhadap kepentingna mereka.
2) Mengembangkan orang lain (developing other), yaitu merasakan
kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan
kemampuan orang lain.
3) Orientasi pelayanan (service orientation), yaitu mengantisipasi,
mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
4) Memanfatkan
keragaman
(leveraging
diversity),
yaitu
menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacammacam orang.
5) Kesadaran politis (political awareness), yaitu mampu membaca
arus - arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan
perasaan.
e. Keterampilan Sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain
dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi
dengan lancar, menggunakan keterampilan - keterampilan ini untuk
mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan
perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Unsurunsur keterampilan sosial antara lain:
1) Pengaruh (influence), yaitu memiliki taktik untuk melakukan
persuasi.
2) Komunikasi (communication), yaitu mengirim pesan yang jelas
dan meyakinkan.
3) Manajemen konflik (conflict management), yaitu negoisasi dan
pemecahan silang pendapat.
4) Kepemimpinan (leadership), yaitu membangkitkan inspirasi dan
memandu kelompok dan orang lain.
5) Katalisator perubahan (change catalyst), yaitu memulai dan
mengelola perusahaan.
6) Membangun hubungan (building bond), yaitu menumbuhkan
hubungan yang bermanfaat.
7) Kolaborasi dan kooporasi (collaboration and cooperation), yaitu
kerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
8) Kemampuan tim (team capabilities), yaitu menciptakan sinergi
kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.
C. Pemahaman Akuntansi
1. Pengertian Pemahaman Akuntansi
Paham dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pandai
atau mengerti benar, sedangkan pemahaman adalah proses, cara,
perbuatan memahami atau memahamkan. Menurut Melandy dan Aziza
(2006:9) Seseorang yang memiliki pemahaman akuntansi adalah
seseorang yang pandai dan mengerti benar akuntansi. Menurut Nuraini
(2007) menyatakan pemahaman akuntansi merupakan suatu kemampuan
seseorang untuk mengenal dan mengerti tentang akuntansi.
Akuntansi sering diartikan terlalu sempit sebagai proses pencatatan
yang bersifat teknis dan prosedural dan bukan sebagai perangkat
pengetahuan yang melibatkan penalaran dalam menciptakan prinsip,
prosedur, teknis, dan metode tertentu. Akuntansi bisa didefinisikan
sebagai
proses
pengidentifikasian,
pengukuran,
pencatatan,
dan
pengkomunikasian informasi ekonomi yang bisa dipakai untuk penilaian
(judgment) dan pengambilan keputusan oleh pemakai informasi tersebut.
Menurut A Statement Of Basic Accounting Theory (ASOBAT)
dalam Harahap (2007:5) Akuntansi adalah proses mengidentifikasikan,
mengukur dan menyampaikan informasi ekonomi sebagai bahan
informasi dalam hal mempertimbangkan berbagai alternatif dalam
mengambil kesimpulan oleh para pemakainya. Menurut Arie Pangestu
(2009:24) pemahaman akuntansi adalah proses atau cara mahasiswa
jurusan akuntansi dalam memahami mata kuliah akuntansi.
Menurut Budhiyanto dan Ika paskah (2004), mahasiswa dinyatakan
memahami akuntansi, apabila mahasiswa tersebut mengerti terhadap apa
yang sudah dipelajarinya di dalam kelas mengenai mata kuliah akuntansi.
Ciri - ciri seorang mahasiswa memahami akuntansi tidak hanya dilihat
dari nilai - nilai yang didapatkannya dalam mata kuliah, melainkan jika
mahasiswa tersebut mengerti dan dapat menguasai konsep - konsep yang
terkait. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai atau memahami akuntansi
apabila ilmu akuntansi yang sudah didapatkannya selama ini dapat
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat atau dengan kata lain dapat
dipraktekkan di dunia kerja. Pendidikan akuntansi seharusnya dapat
mempersiapkan peserta didik untuk memulai dan mengembangkan
keanekaragaman karir profesional dalam bidang Akuntansi.
2. Komponen Pemahaman Akuntansi
Dalam penelitian ini tingkat pemahaman akuntansi ditentukan oleh
prestasi akademik (IP) mahasiswa berdasarkan nilai mata kuliah
Akuntansi Keuangan Dasar, Akuntansi Keuangan Menengah, Akuntansi
Keuangan Lanjutan, Akuntansi Manajerial, Sistem Informasi Akuntansi,
Sistem Pengendalian Manajemen, Manajemen Biaya, Perpajakan,
Akuntansi Sektor Publik, Teori Akuntansi, Praktikum Akuntansi,
Praktikum Perpajakan, dengan maksud mengkhususkan pada mata kuliah
utama akuntansi.
D. Kerangka Pemikiran
1. Hubungan Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman
Akuntansi
Kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seesorang
dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan
jiwa. EQ memberikan rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk
menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. (Goleman dalam
Zohar & Marshall, 2005:3).
Kecerdasan emosional yang baik dapat dilihat dari kemampuan
mengenal diri sendiri, mengendalikan diri, memotivasi diri, berempati,
dan kemampuan sosial. Oleh karena itu, mahasiswa yang kecerdasan
emosinya berkembang secara baik, ia akan dapat berfikir secara jernih
dan dapat fokus dalam tugas-tugas kuliah yang disampaikan oleh dosen
dan memiliki kemauan untuk terus belajar. Sehingga ia akan lebih mudah
meraih kehidupan dengan penuh semangat dan termotivasi untuk
berprestasi, baik di kampus maupun di dunia kerja.
Sedangkan, mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosi yang
kurang baik, akan kurang memiliki motivasi untuk belajar, sehingga dapat
merusak pemikirannya dan sulit untuk memusatkan perhatian pada tugas tugas individu tersebut sebagai mahasiswa.
Oleh karena itu, hubungan kecerdasan emosional sangat erat
dengan pemahaman akuntansi. Karena, untuk bisa menghasilkan nilai
yang baik dalam mata kuliah akuntansi, mahasiswa harus dapat
mengendalikan emosinya dengan baik, dan berfikir secara fokus dalam
tugas - tugas kuliah serta masa depannya kelak. Dan juga melatih
ketahanan mental terhadap kegagalan yang mungkin dihadapi sehingga
kita tidak mudah menyerah dan terciptalah suatu keberhasilan yang
diinginkan.
Hubungan kecerdasan emosional terhadap tingkat pemahaman
akuntansi, juga diperkuat oleh peran penelitian terdahulu, antara lain :
a. Mugi Harsono dan Wisnu Untoro (2004)
Penelitian ini melakukan pengujian kerangka kerja dimensi - dimensi
kecerdasan emosional Daniel Goleman (1995) dan perbandingannya
berdasarkan karakteristik demografis responden. Populasi pada
penelitian tersebut adalah seluruh mahasiswa aktif FE Universitas
Diponegoro (akademisi). Pengembangan alat ukur kecerdasan
emosional
mempunyai
berdasarkan
validitas
kerangka
konstruk
kerja
dan
konseptual
reliabilitas
Goleman
yang
bisa
dipertanggung jawabkan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
akademisi mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi
dibanding dengan praktisi dalam faktor kesadaran diri dan
ketrampilan sosial.
b. Penelitian Greg Jones dan Anne Abraham (2009)
Penelitian ini menggunakan hubungan nilai kecerdasan emosional
dalam pelajaran akuntansi. Penelitian ini dilakukan di Universitas
Australia. Hasil penelitian menggunakan statistik non parametrik
dengan menggunakan software SPSS untuk serta menguji hasil
dengan menggunakan t-test dan f-test. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kecerdasan emosional secara signifikan mampu mendukung
nilai pada mata kuliah akuntansi. Dan peneliti menyarankan agar
universitas memasukkan bidang studi kecerdasan emosional agar
menciptkan
lulusan
dengan
ketrampilan
yang
baik
dalam
mendapatkan pekerjaan.
Persamaan penelitian Greg Jones dan Anne Abraham dengan
penelitian kali ini adalah yang diukur juga kecerdasan emosional
terhadap nilai akuntansi keuangan. Perbedaan terdapat pada objek
yang disurvey dan penelitian Greg Jones dan Anne Abraham
menggunakan kuantitatif sedangkan pada penelitian kali ini
menggunakan kualitatif.
c. Penelitian Trisnawati dan Suryaningsum (2003)
Penelitian ini menemukan kecerdasan emosional secara statistik tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi,
hal ini disebabkan karena banyaknya faktor-faktor di luar faktor
kecerdasan emosional yang berpengaruh dalam kehidupan individual,
dalam hal ini mahasiswa. Penelitian menggunakan sampel mahasiswa
akuntansi pada Universitas Diponegoro. Dari 120 kuesioner yang
disebar, diperoleh 100 kuesioner yang dapat diolah.
d. Suryaningsum, dkk (2004)
Meneliti pengaruh pendidikan tinggi akuntansi terhadap kecerdasan
emosional. Penelitian tersebut menemukan bahwa perbedaan usia,
perbedaan pengalaman berorganisasi, perbedaan pengalaman kerja
serta perbedaan pengalaman dalam menjalani hidup amat menentukan
perbedaan perkembangan kecerdasan emosional seseorang. mereka
lebih tua dalam usia, memilik lebih banyak pengalaman kerja serta
memiliki pengalaman
hidup
yang
lebih
berat
menunjukkan
kepemilikan kecerdasan emosional yang lebih tinggi.
Peran penelitian terdahulu sangat berguna bagi penulis untuk
melakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian kali ini dibuat dengan
mengacu penelitian terdahulu. Pada penelitian ini juga yang diukur adalah
kecerdasan emosional terhadap nilai akuntansi di Universitas Mercu
Buana. Perbedaan terdapat pada objek yang disurvey dan juga pada
penelitian. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian
Trisnawati dan Suryaningsum (2003), karena penelitiannya tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi,
yang penelitiannya menggunakan sampel mahasiswa akuntansi pada
Universitas Diponegoro. Dari 120 kuesioner yang disebar, diperoleh 100
kuesioner yang dapat diolah. Sedangkan hasil penelitian pada Universitas
Mercubuana jurusan akuntansi angkatan 2010 yang penyebaran
kuesionernya dilakukan tanggal 7-10 januari 2013, berjumlah 100
kuesioner. hasil penelitian ini berpengaruh secara signifikan terhadap
tingkat pemahaman akuntansi. Hasil - hasil penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan penelitian ini masih menghasilkan penemuan yang
berbeda - beda. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab permasalahan
ini menarik untuk diteliti kembali.
2. Model Konseptual
Suryanti dan Ika (2004) meneliti pengaruh kecerdasan emosional
terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Sampel penelitian diambil dari
mahasiswa tingkat akhir jurusan akuntansi di Universitas Diponegoro.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis, terdapat variabel variabel dari kecerdasan emosional yang memberikan pengaruh terhadap
tingkat pemahaman akuntansi. Pengaruh positif ditunjukkan oleh variabel
pengenalan
diri,
motivasi,
empati,
sedangkan
pengaruh
negatif
ditunjukkan oleh variabel pengendalian diri dan keterampilan sosial.
Dari faktor dan komponen kecerdasan emosional yang dijadikan
kerangka pemikiran, maka dapat digambarkan seperti berikut ini :
Pengenalan Diri
Pengendalian Diri
Motivasi
Tingkat Pemahaman
Akuntansi
Empati
Keterampilan Sosial
Dari gambar tersebut terlihat bahwa pengaruh kecerdasan
emosional yang terdiri dari pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi,
empati dan keterampilan sosial sebagai variebel independen, sedangkan
tingkat pemahaman akuntansi sebagai variabel dependen. Untuk melihat
bagaimana pengaruh kecerdasan emosional jika diterapkan dalam
pemahaman akuntansi. Komponen kecerdasan emosional tersebut
berpengaruh positif terhadap tingkat pemahaman akuntansi, sehingga
dapat memberikan nilai yang baik pada mata kuliah yang ditempuh dan
mendorong mahasiswa untuk termotivasi dalam belajar. Dapat dilihat
juga bahwa adanya hubungan yang baik antara kecerdasan emosional
dengan tingkat pemahaman akuntansi.
Download