7 TINJAUAN PUSTAKA Hidrodinamika Muara Sungai Berdasarkan bentuk geomorfologinya garis pantai, maka yang disebut muara sungai (estuaria) meliputi muara sungai semi tertutup (gobah), muara sungai dataran pesisir, muara sungai tipe tektonik, fjord, teluk dangkal. Menurut Nybakken (1992), muara sungai atau estuaria (aestus, air pasang) adalah lingkungan perairan pantai berbentuk teluk semi tertutup dan merupakan tempat terjadinya pertemuan dan percampuran air tawar dan air laut. Menurut Hutabarat dan Evans (1986), muara sungai merupakan daerah percampuran antara debit sungai dan air laut dengan salinitas lebih rendah dibandingkan perairan laut terbuka. Jadi definisi di atas memberi pengertian bahwa ada hubungan yang bebas dengan terjadinya percampuran massa air tawar dan air laut yang sangat kompleks (Chanlett et al. 1980; Nybakken 1992). Densitas air tawar jauh lebih rendah dibanding air laut. Hal itu menyebabkan air tawar terapung di atas permukaan air laut. Densitas berpengaruh terhadap gerakan massa air laut dan salinitas. Pengaruh massa air tawar yang keluar dari mulut ke laut pada waktu air laut surut menyebabkan salinitas rendah. Sebaliknya pada waktu air pasang, massa air laut masuk ke sungai menyebabkan salinitas meningkat (Nybakken 1992). Menurut Morrisey (1995), perairan muara sungai terdiri atas tiga bagian: Bagian pertama adalah muara sungai yang berhubungan langsung dengan laut dan dipengaruhi oleh pasang surut harian. Bagian kedua adalah bagian tengah muara sungai dan merupakan tempat terjadinya percampuran massa air tawar dan air laut. Bagian ketiga muara sungai yang berhubungan langsung dengan laut terbuka. Sifat fisik, kimia dan biologis seperti salinitas, suhu, oksigen terlarut, sedimen dan biota sangat beragam sangat dan kompleks (Kennish 1990; Nybakken 1992). Muara sungai merupakan bagian mulut yang terletak di wilayah paling hilir. Mulut sungai berhubungan langsung dengan hidrodinamika air sungai serta air laut. Kondisi demikian sangat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologis. Sungai berperan penting sebagai saluran pembuangan air hujan yang berlebihan di wilayah hulu. Oleh karena letaknya muara sungai berada di ujung hilir, maka debit air sungai lebih besar dibanding bagian hulu. Hal ini menyebabkan air sungai menyebar hingga puluh kilometer ke laut terbuka, sedangkan air laut yang memasuki 8 sungai dapat mencapai puluhan kilometer ke hulu. Hal ini tergantung topografi sungai dan debit air sungai. Tipe pasang surut di wilayah muara Sungai Kahayan dan Katingan termasuh tipe pasang surut harian ganda dan cenderung ke harian tunggal (Tri Atmodjo 1999). Berdasarkan data ketinggian pasang surut di wilayah muara sungai Kahayan dan Katingan dapat mencapai perbedaan ketinggian lebih dari 3 m pada harian tunggal dan pada harian ganda dapat mencapai 1.5 m. Keragaman salinitas air laut tergantung dengan besarnya debit sungai dan laut yang keluar masuk muara sungai. Selain itu, keragaman salinitas tergantung arus dan aliran sekunder yang dihasilkan. Oleh karena itu, kecepatan arus sungai dan laut berperan penting dalam pengaturan salinitas muara sungai. Percampuran massa air laut dan sungai dipengaruhi turbulensi, gelombang pasang, gesekan topografi dasar dan terjadinya wilayah (zona) keragaman salinitas (Nybakken 1992). Percampuran massa air sungai dan laut dihasilkan gradien salinitas bagi kelangsungan biota laut, yaitu oligohalin 3-15 ‰, eurihalin 15-30 ‰ dan stenohalin > 30 ‰. Debit air sungai yang mengalir keluar dari mulut sungai menyebabkan salinitas permukaan air laut turun secara perlahan, sedangkan salinitas dibagian bawah lebih tinggi. Hal ini menyebabkan perbedaan penampang salinitas (isohalin) (Hutabarat dan Evans 1986; Nyabakken 1992). Menurut Nyabakken (1992) dan Morrisey (1995) gradien salinitas dan proses percampuran massa air tawar dan laut di wilayah estuaria terdiri atas tiga tipe: 1 Muara sungai (estuaria) positif dengan karakteristik debit air sungai lebih tinggi pada musim hujan. Secara vertikal salinitas dibagian atas lebih rendah dan dibagian dasar lebih tinggi. Perairan muara sungai demikian disebut estuaria positif (baji garam) (Gambar 2a). Percampuran massa air tawar dan laut terjadi di wilayah yang berhubungan langsung dengan laut terbuka. Percampuran massa air menghasilkan salinitas homogen secara vertikal dan berubah berdasarkan musim. 2 Muara sungai (estuaria) negatif dengan karakteristik debit sungai kecil dan disertai dengan curah hujan lebih rendah, kecepatan penguapan air laut lebih tinggi pada musim kemarau (Gambar 2b). Kecilnya debit sungai menyebabkan air laut masuk ke dalam sungai hingga puluhan kilometer ke hulu. Hal ini menyebabkan massa air laut keluar masuk sungai menyebabkan pengenceran air sungai sangat kecil. Air laut yang masuk sungai berada dibagian dasar sungai, sedangkan air tawar berada 9 dibagian permukaan. Apabila kecepatan penguapan tinggi menyebabkan air sungai hipersalin. Air hipersalin lebih berat dan tenggelam di dasar serta dilepas ke laut. 3 Muara sungai (estuaria) netral dengan karakteristik debit sungai dan laut dengan penguapan berimbang (Gambar 2c). Gambar 2 (a) Estuaria positif, (b) Estuaria negatif, (c) Estuaria netral (Morrisey 1995) Menurut Pritchard (1967) dalam Kennish (1994) bahwa sirkulasi air laut di wilayah muara sungai terdiri atas empat tipe: 1 Tipe A: air estuaria baji garam (Salt wedge estuaries) dengan stratifikasi salinitas tinggi. 2 Tipe B: air estuaria muara tercampur sebagian (Partially mixed estuaries) dengan stratifikasi salinitas sedang (moderat). 3 Tipe C: air estuaria homogen secara partikal (Vertically homogeneous estuarine) dengan gradien salinitas ke arah samping. 4 Tipe D: air estuaria homogen terpisah pisah (Sectionally homogeneous estuarine or Fjord,) dengan gradian salinitas membujur dan berhubungan dengan sirkulasi air laut serta tawar tertutup, sehingga salinitas berubah ke segala arah. Menurut Duxbury dan Dexbury (1993) estuaria dapat bagi menjadi empat tipe: Tipe pertama disebut salt wedge estuaries dengan karakteristik massa air laut dan tawar tercampur oleh arus dasar sungai, stratifikasi densitas air laut lebih jelas, gradian salinitas terjadi secara vertikal, melintang atau membujur, tingkatan kekeruhan sangat tinggi. Tipe kedua disebut well mixed estuaries dengan karakteristik massa air tawar dan laut 10 tercampur oleh hembusan angin, arus pasang surut dan turbulensi, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut, gradian salinitas terjadi secara melintang dan membujur dan tingkat kekeruhan tinggi. Tipe ketiga disebut partially mixed estuaries dengan karakteristik massa air laut tercampur karena hembusan angin, arus sungai, pasang surut, air laut tercampur secara vertikal dari bawah ke atas, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut, gradien salinitas terjadi secara melintang atau vertikal dan membujur dan tingkat kekeruhan sedang. Tipe ke empat disebut fjord dengan karakteristik massa air laut dan tawar tercampur oleh hembusan angin, arus sungai, pasang surut, salinitas bagian dasar lebih homogen dan tetap, percampuran massa air laut dan tawar terjadi secara verikal dari lapisan atas ke dasar, stratifikasi densitas air laut terjadi di lapisan permukaan. Menurut Tri Atmodjo (1999) perairan estuaria di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh pasang surut air laut harian dengan tipe: 1 Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) dengan karakteristik dua kali air pasang dan dua kali surut sehari dengan tinggi yang hampir sama antara pasang surut. Kejadian pasang surut terjadi secara berurutan (Gambar 3a). Periode pasang surut rata-rata 12 jam 24 menit. Tipe pasang surut demikian terjadi di Selat Malaka dan Laut Andaman (Gambar 4). 2 Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) dengan karakteristik satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari (Gambar 3b). Periode pasang terjadi selama 24 jam 50 menit. Tipe pasang surut demikian terjadi di selat Karimata (Gambar 4). Gambar 3 Tipe pasang surut di wilayah Indonesia (Tri Atmodjo 1999) 3 Pasang surut campuran cenderung keharian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal) dengan karakteristik dua kali air pasang dan dua kali surut sehari. Ketinggian 11 kedua pasang berbeda (Gambar 3c). Tipe pasang surut demikian terjadi di wilayah Indonesia Timur (Gambar 4). 4 Pasang surut campuran cenderung ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) dengan karakteristik sekali pasang dan sekali air surut. Hal demikian dapat terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi berbeda (Gambar 3c). Tipe pasang surut demikian terjadi di perairan Kalimantan dan utara Jawa Barat (Gambar 4). Gambar 4 Tipe sebaran pasang surut di perairan laut Indonesia Keragaman salinitas air di muara sungai berpengaruh terhahap proses pengaturan tekanan osmosis biota laut. Curah hujan bulanan dan musiman sangat dipengaruhi salinitas muara sungai (Laevastu dan Hela 1970). Perairan muara sungai merupakan wilayah yang kaya unsur hara dengan produktifitas tinggi. Hal ini terjadi karena makanan alami biota laut tersedia (Valiela 1995). Menurut Amin dan Nugroho (1992), spesies ikan laut pada musim barat kebanyakan bergerombol dilapisan permukaan laut antara kedalaman 0-100 m dan bermigrasi ke pantai. Penyebaran ikan di perairan muara sungai dipengaruhi oleh suhu air, salinitas, oksigen terlarut, pH, sedimen, jenis biota yang menjadi pakan alami dan kecerahan air (Laevastu dan Hela 1970; Collier et al. 1973; Cerri 1983; Wootton 1984). Selain itu, penyebaran ikan di wilayah muara sungai tergantung dengan hidrodinamika air sungai dan laut (Jenkins dan Black 1994). Sebaran ikan di wilayah muara sungai relatif berbeda dan tergantung spesies, ikan air tawar menempati kolom air lapisan atas, spesies ikan laut menempati kolom air bagian bawah, spesies ikan estuaria menempati kolom air payau (front) (Kingsford dan Suthers 1994). Arus air pasang laut berperan penting dalam penyebaran salinitas, biota laut, padatan tersuspensi dan terlarut. 12 Pencemaran Perairan Muara Sungai Sumber Pencemaran Kegiatan manusia (antropogenik) adalah salah satu sumber pencemaran perairan muara sungai dan laut (Kennish 1992; Firor 1995; Dara 1997). Pertambangan, pertanian, perkotaan, transportasi dan bahan bakar fosil merupakan sumber penceraman zat kimia (Kennish 1992; Laevastu 1993; Kumar dan Hader 1999). Kebakaran hutan merupakan sumber pencemaran udara (Firor 1995; Primack et al. 1995). Bahan pencemaran juga dapat terakumulasi dalam partikel padatan tersususpensi dalam air, permukaan sedimen dan biota laut (Mason et al. 1993; Konovalov 1994). Hg, Cd dan Pb merupakan zat pencemar yang sangat toksik terhadap biota laut. Cd dapat berasosiasi dengan Pb dan seng (Zn) dalam air laut (Lee et al. 1995). Zn merupakan mineral penting dalam enzim dalam jaringan tubuh biota laut yang dapat disubstitusi logam berat. Pb dapat hadir bersama sulfat (SO4). Kehadiran Cd dalam biota laut akan berinteraksi dengan kalsium (Ca), tembaga (Cu) dan besi (Fe). Cd berpotensi menghambat akumulasi mineral essensial (Zn, Ca, Cu) ke dalam sel jaringan tubuh biota laut. Batuan alam mengandung Cd 0.03 ppb, air laut rata-rata mengandung sekitar 0.1 ppb, tanah rata-rata mengandung 4.5 ppb Cd (Lee et al. 1995). Kegiatan pertambangan menyebabkan lapisan tanah dan batuan yang mengandung Cd dan Pb tererosi. Menurut Dara (1997), tanah mengandung 0.002-0.03 μg/m3 Cd. Kegiatan pembersihan logam mulia dapat menyebabkan Pb dan Cd larut ke dalam air. Limbah perkotaan dan pupuk fosfat (PO4) mengandung Hg, Cd dan Pb. Industri keramik, cat, pipa PVC menggunakan Cd. Sabun, kertas, tinta printer dan pewarna tekstil mengandung Cd. Emisi gas hasil pembakaran bahan bakar fosil dan plastik mengandung 50% Cd (Lu 1995). Udara mengandung 1 nanogram/m3 Cd. Air tawar mengandung 1 μg/l Cd. Air laut mengandung 10 mg/l Cd dan dapat membunuh ikan dalam waktu sehari. Air laut yang mengadung 2 mg/l Cd dapat membunuh ikan dalam waktu 10 hari (Dara 1997). Pada masa lampau, limbah Hg salah satu pencemar global. Sekarang posisi Hg diganti oleh Pb. Jadi Pb salah satu pencemar global baru, karena penyebarannya sangat luas dipermukaan bumi. Tanah mengandung 5-25 mg/kg Pb berat kering, air tanah mengandung 0.001-0.006 mg/l Pb. Jadi kandungan Pb dalam tanah lebih tinggi dibandingkan air tanah. Batuan fosfat mengandung 15 mg/kg Pb (PbS = galena). Udara 13 mengandung 0.001 mg/m3 Pb dan disepanjang jalan raya sibuk mengandung Pb lebih tinggi. Debu dan tanah di sepanjang jalan raya yang sibuk mengandung 1000-4000 mg/kg Pb berat basah. Hg adalah satu-satunya logam berbentuk cair. Hg dalam perairan bersumber dari kegiatan gunung berapi, tanah dan batuan. Hasil penelitian Fitzgerald dan Lyons (1975) menunjukkan bahwa lapisan permukaan laut Atlantik Barat Laut mengandung 3-8 ng/l Hg. Hg dalanm air laut berbentuk senyawa anorganik dan organik (Dara 1997). Penambangan emas, pembakaran bahan fosil (minyak bumi, batubara, gambut), pestisida, limbah perkotaan dan industri merupakan sumber Hg (Lu 1995). Insektisida, fungisida dan herbisida mengandung metil Hg, alkil Hg, fenil Hg dan HgCl2. Kegiatan manusia dan gunung merapi melepaskan sekitar 3000 ton/tahun Hg ke udara (Dara 1997). Batu bara muda mengandung 0.001-0.003 mg/kg Hg dan batu bara tua mengandung 0.0011-0.0027 mg/kg Hg, residu tars (kerak) cerobong asap pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara mengandung 0.0019-0.0021 mg/kg Hg dan rata-rata 0.5200 mg/kg Hg. Kegiatan gunung berapi bawah laut menyumbang 5.000 ton Hg per tahun. Kegiatan industri menyumbang sekitar 1 juta kg Hg per tahun ke muara sungai dan laut (Dara 1997). Udara tidak tercemar mengandung 0.0001 mg/kg Hg, sedangkan udara disekitar tambang Hg mengandung sekitar 0.080 mg/kg Hg (Lu 1995). Kandungan Hg dalam air dan biota laut meningkat tajam apabila habitatnya tercemar oleh logam tersebut. Pengaruh Pencemaran Logam Berat Terhadap Biota Muara Sungai Ikan pada umumnya lebih sensitif terhadap pencemaran logam berat dibanding Crustacea dan biota bentik laut lainnya (Ward dan Young 1982 dalam Connell dan Miller 1995). Ikan Badukang dan Sembilang termasuk kelompok blackfish (catfish) yang lebih tahan terhadap perubahan lingkungan karena pencemaran dibanding ikan whitefish. Pencemaran perairan sungai, muara sungai dan laut salah satu ancaman yang harus ditangani secara serius. Karena sudah banyak kejadian yang membuktikan kegiatan manusia di darat dan laut mencemari perairan muara sungai, pantai dan laut. Limbah Hg, Cd dan Pb yang dibuang ke dalam air, sering menjadi sumber penyebab kematian biota laut. Hal ini terjadi karena toksisitas logam berat yang bersifat akut (letal). Namun limbah logam berat yang dibuang ke perairan laut, sering bersifat toksisitas kronis (subletal) dan tidak menyebabkan kematian biota laut secara langsung. Pengaruh toksisitas subletal 14 jarang terpantau oleh manusia, karena pengaruh baru muncul setelah beberapa tahun kemudian. Hal ini lebih berpeluang menyebabkan perubahan jaringan organ dalam tubuh ikan dan polimorfisme. Menurut Connell dan Miller (1990) dan Lu (1995), pengaruh toksisitas logam berat terhadap berbagai biota laut terjadi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding manusia (>10 tahun). Kehadirannya logam berat secara berlebihan mengganggu keseimbangan ekosistem (Ogunfowokan et al. 2005). Hal ini diperlukan upaya pemantauan secara biologis dan kimia (Connell dan Miller 1995; Lu 1995). Pemantauan kandungan logam berat dalam air laut di wilayah muara sungai perlu dilakukan karena pengetahuan dan pengalaman kita masih terbatas mengenai ekosistem muara sungai serta bahayanya (Hutabarat dan Evans 1985). Jika air laut dan makanan ikan terpapar logam berat dalam rentang waktu lama, maka kandungan logam berat organ tubuh meningkat dalam biota (Connell 1990; (Dara 1997). Sedimen, plankton, bentos, organ tubuh ikan mengakumulasi logam berat dalam air laut. Kegiatan mikroba dalam air dan sedimen merubah bentuk senyawa logam berat (metilasi). Metil logam berat senyawa logam paling toksik terhadap biota laut dan manusia. Senyawa logam berat ini memiliki tingkat kelarutan tinggi dalam air dan biota laut, sehingga mudah diserap dan diakumulasi organ tubuh biota laut. Penguraian dan pembebasan logam berat dalam sedimen dapat mencapai lebih dari 70 tahun. Selama selang waktu tersebut terjadi akumulasi logam berat yang berkelanjutan melalui kulit, insang, saluran pencernaan dan makanan. Pada selang waktu tersebut menyebabkan kematian biota laut dan gangguan terhadap ekosistem (Hutabarat dan Evans 1985). Padahal muara sungai berperan penting sebagai habitat biota laut (Strydom 2003). Akumulasi logam berat dalam sedimen berpotensi menyebabkan kematian telur dan anak biota laut serta fungsi ekosistem (Baran 2000). Bentuk Logam Berat dalam Perairan Logam berat tidak dapat larut dalam air laut, tetapi logam berat melepas ion kedalam air laut. Ion logam berat dalam air laut diserap oleh sel kulit, sel lamela insang, saluran pencernaan biota laut. Spesies organometal yang terakumulasi dalam jaringan organ tubuh biota laut dapat membentuk senyawa yang relatif stabil (Hawker 1995). Ion Cd2+ dalam air laut berasosiasi dengan ion klorida (Cl)-. Ion Cd dan Cl membentuk 15 senyawa sekitar 51% CdCl20, 39% (CdCl)+, 61% (Cd Cl3)- dan 2.5% Cd2+. Spesies Cd diakumulasi oleh partikel permukaan sedimen (Hawker 1995; Darmono 2001). Selanjutnya kandungan dan sifat senyawa Cd dalam air dapat berubah setiap waktu karena teroksidasi dan pencemaran. Sekitar 65-90% Cd yang terkandung dalam air laut terdiri atas ion dan senyawa kompleks. Ion dan semyawa kompleks tersebut diserap oleh biota laut. Hg dalam air laut ditemukan dalam bentuk Hg2+, Hg (OH)2 dan HgCl2. Air laut mengandung Hg (OH)2 dan HgCl2 paling tinggi. Ion halida kompleks Hg dalam air laut dapat membentuk senyawa (HgCl4)2- yang lebih stabil dengan protein (-NH) dan senyawa humik yang mengandung sulfur (-S). Hg dalam air laut memiliki kemampuan membentuk senyawa anorganik melalui oksidasi reduksi (Lu 1995). Kegiatan mikroba anaerobik dalam sedimen dapat merubah Hg anorganik menjadi Hg organik secara gradual (Hughes dan Poole 1989; Dara 1997). Partikel bahan organik dalam sedimen menyerap Hg dalam air dan membentuk senyawa HgS atau HgS22- (Hawker 1995). Kegiatan mikroba Clostridium cochkarium di dalam sedimen menyebabkan Hg termetilasi dan membentuk monometil Hg (CH3-Hg) dan dimetil Hg (CH3–Hg–CH3) (Watras 1992; Mason et al. 1993; Gagnon et al. 1996; Golding et al. 2002; Key-Young Choe dan Gill 2003). Dimetil Hg dalam sedimen lebih stabil pada pH tinggi, tetapi tidak dapat dipisahkan dengan CH 3Hg+ pada pH rendah dan keluar dari sedimen bersama air pori-pori. Metil Hg memiliki kelarutan tinggi dalam air dan biota laut. Dimetil Hg lebih mudah menguap pada waktu sedimen tidak tergenang air laut. Sekitar 50% metil Hg yang terkandung dalam air laut atau sedimen berupa senyawa anorganik (Dara 1997), sedangkan Pb dalam biota laut berupa senyawa timbal fosfat (Pb3(PO4)2 (Darmono 2001). Spesies Pb dalam air laut dapat membentuk senyawa PbCO30, Pb(CO3)22+, PbCl+ (Kennish 1992). Perubahan senyawa logam berat yang terakumulasi dalam biota laut sangat berpengaruh terhadap perkembangan sel jaringan. Mekanisme Biokonsentrasi dan Jalur Akumulasi Logam Berat Faktor Biokonsentrasi Kemampuan suatu jaringan organ tubuh biota laut mengakumulasi Hg, Cd dan Pb dalam air atau sedimen dapat dianalisis menggunakan faktor biokonsentrasi. Faktor biokonsentrasi adalah proses perpindahan logam berat dari air laut ke dalam jaringan biota laut hingga kepekatannya melebihi beberapa kali sumbernya. Proses biokonsentrasi logam berat dalam organ tubuh biota laut mencakup pemindahan unsur atau senyawa kimia dari 16 dalam air melalui jaringan insang, kulit dan saluran pencernaan makanan. Logam berat diserap dan diakumulasi diangkut sel darah dan menyebar melalui sirkulasi darah keseluruh organ tubuh biota. Pengangkutan logam berat oleh sel darah terjadi bersama dengan nutrisi dan oksigen. Jalur pengambilan logam berat dalam air laut oleh insang mirip dengan pengambilan oksigen dalam air. Penyarap logam berat oleh insang ikan melalui jalur yang sama dengan oksigen. Penyarapan logam berat oleh dinding saluran pencernaan ikan melalui jalur yang sama dengan zat makanan. Jadi setiap biota laut mempunyai mekanisme yang sama dengan penyebaran oksigen dalam biota laut (Connell 1995). Mekanisme penyerapan logam berat dalam air ke dalam organ tubuh biota laut dapat terjadi dengan cara difusi dengan permukaan sel jaringan organ tubuh biota (Hansch dan Fugita 1964 dalam Connell 1995). Kepekatan logam berat dalam organ tubuh biota laut berkaitan dengan laju penyerapan logam berat melalui insang, kulit dan saluran percernaan. Insang biota laut dapat menyerap oksigen dalam air laut melalui difusi menembus selaput (membran) lamela insang. Akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut terjadi melalui mekanisme pengangkutan difusi aktif dan pasif. Ikatan logam berat dengan gugus metalothionin (sulfhidril -SH), nitrogen (-NH), karboksilat (-COOH) dan hidroksil (-OH) yang terdapat dalam organ tubuh biota laut akan membentuk kompleks Hg, Cd dan Pb. Ikatan ion logam berat dengan gugus fungsi dalam organ tubuh biota laut sangat tergantung dengan kecepatan penyerapan (Hawker 1995). Pengangkutan logam berat melalui difusi aktif menyebabkan terbentuknya keseimbangan logam berat dalam organ insang dan air laut. Namun karena sifat logam berat akumulatif dalam jaringan organ tubuh biota laut menyebabkan kandungan meningkat. Akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut dapat mensubstiutsi kofaktor enzim. Hal ini menyebabkan kegiatan enzim dan metabolisme dalam organ tubuh biota terganggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pb dapat mensubsitusi kofaktor enzim Zn. Hal ini menyebabkan kegiatan enzim dan metabolisme dalam sel organ tubuh biota laut terganggu (Hawker 1995; Darmono 2001). Menurut Guthie (1980) dalam Lu (1995) bahwa protein plasma dalam biota laut dapat mengikat semua senyawa asing, sel organ hati dan ginjal mengakumulasi logam berat lebih tinggi, tulang merupakan tempat akumulasi Pb dan logam berat lainnya. Sumsum tulang dalam biota laut mengakumulasi logam berat sangat tinggi. Hal itu terjadi karena muatan dan ukuran logam non esensial dan essensial relatif sama. Logam berat 17 yang terakumulasi dalam tulang biota laut dapat terlepas melalui mekanisme pertukaran ion dengan pelarut kristal tulang melalui kegiatan osteoklasik. Namun otot biota laut mengandung logam berat lebih rendah dibanding organ hati dan ginjal (Lu 1995). Pengaruh akumulasi Cd dalam organ tubuh manusia terjadi sekitar 28 tahun. Kandungan Cd dalam organ tubuh biota laut meningkat seiring dengan kandungan Cd dalam habitat dan pakan alami. Akumulasi Cd dalam organ tubuh biota laut menghambat pertumbuhan jaringan organ genotip dan fenotip (Leonova et al. 1993). Kemampuan organ tubuh biota laut mengakumulasi logam berat tergantung spesies, ukuran, umur dan jenis logam berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hati dan insang ikan Tautagalobrus adspersus dapat mengakumulasi 8 kali Cd dalam air. Ikan yang dipelihara dalam air yang mengandung 48 mg/l Cd selama 4 hari dan hati ikan mengakumulasi 195 mg/kg Cd berat basah (bb). Insang dapat mengakumulasi 33.5 mg/kg Cd bb (Greig et al. 1974 dalam Darmono 2001). Kemampuan organ tubuh ikan mengakumulasi logam berat relatif bervariasi. Organ hati, ginjal, tulang dan otak dapat mengakumulasi lebih dari 10 % Pb. Sekitar 90% Pb dalam tulang tidak dapat dipindahkan (Dara 1997). Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan sel jaringan organ tulang. Menurut Evtushenko dan Danilko (1998), insang dan sisik ikan mengakumulasi Pb dan Cd. Kandungan Pb dalam insang, hati dan ginjal dapat melebihi kandungan dalam organ lainya. Hal ini terjadi karena kemampuan jaringan organ mengakumulasi logam berat sangat tergantung interaksi gugus fungsi. Kandungan Pb dalam organ tubuh ikan laut dapat mencapai 2.5 mg/kg berat kering (0.3 mg/kg bb), sedangkan kandungan Pb dalam air yang tercemar lebih tinggi. Tulang rangka (skeleton) ikan mengandung 8-18% Pb dari berat total, tulang sirip ikan mengandung 4-23% Pb, insang ikan mengandung 0-16% Pb. Akumulasi Pb dalam tulang dapat menghambat penyerapan Ca dan mengganggu perkembangan morfologi tulang (Leonova et al. 1993). Pengangkutan logam berat ke dalam organ tubuh ikan terjadi sebagai berikut: Hg > Cd > Pb > Cu > Zn > Ni (Hawker 1995; Dara 1997; Darmono 2001). Semua organ tubuh vertebrata berukuran kecil sampai berukuran besar mengakumulasi logam berat (Hutabarat dan Evans 1985; Nybakken 1992). Organ tubuh biota laut mengakumulasi logam berat dalam air dan makanan. Tingginya kandungan logam berat dalam air dan sedimen dapat menyebabkan ekosistem terganggu. Pencemaran logam berat dalam air laut menyebabkan terjadinya seleksi alam dan evolusi pada biota laut. 18 Tingginya kandungan logam berat dalam organ tubuh biota laut kehilangan manfaatnya secara ekonomi. Hal menyebabkan kualitas produk perikanan sangat rendah dan bahkan tidak dapat dikonsumsi oleh manusia (Darmono 2001). Air dan Sedimen Partikel dalam air dan permukaan sedimen mengakumulasi logam berat. Hal itu menyebabkan perilaku logam berat dalam sedimen banyak diteliti oleh para ahli lingkungan. Kandungan logam berat dalam air laut dan pori-pori sedimen dapat membentuk keseimbangan dinamis. Kandungan logam berat dalam biota laut dapat membentuk senyawa kompleks dengan kandungan lebih tinggi dibanding air laut. Kompleks logam berat dalam sedimen memiliki kelarutan tinggi dalam air dan organ tubuh biota laut. Hal ini menyebabkan logam berat dapat menyusup jauh ke dalam jaringan tubuh biota laut. Kandungan logam berat dalam sedimen dapat mencapai 5 x 10 4 dibandingkan dalam air laut. Kandungan logam berat dalam sedimen sangat tergantung tipe sedimen, lamanya kontak, suhu, reduks, pH, salinitas dan densitas air laut (Hawker 1995). Sedimen yang terpapar logam berat dapat menjadi sumber logam berat dalam air, walaupun sumber pertama sudah hilang. Hal ini terjadi karena remobilisasi dan difusi logam berat dari lapisan sedimen bagian bawah pindah ke bagian permukaan melalui aliran air pori-pori sedimen. Kegiatan mikroba anaerobik dapat menyebabkan logam berat termetilasi dan membentuk spesies Hg yang lebih toksik. Pada kondisi anaerobik Hg dalam sedimen dapat teroksidasi atau tereduksi oleh kegiatan mikroba Vibrio anguillarum dan Escherichria coli. Hg organik membentuk senyawa anorganik melalui difusi pasif dan lipofilik antara air dan sedimen (Golding et al. 2002). Metil Hg dalam lapisan sedimen bersifat anoksik dan terlepas ke dalam kolom air dan terakumulasi dalam biota bentik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air dipermukaan sedimen mengandung 10 µg/l metil Hg dengan kelarutan lebih besar dari 30%. Akumulasi metil Hg dalam sedimen dan biota bentik hingga predator bentik dengan cara berasimilasi (Gagnon et al. 1996). Menurut hasil penelitian Fabris et al. (1992), sedimen pada kedalaman 7-22 cm mengandung 0.01-0.89 µg/g Hg. Hal ini menyebabkan kandungan Hg di atas permukaan sedimen bervarisai. Biota dasar mengakumulasi Hg lebih tinggi dibanding permukaan. Biota bentik di wilayah muara sungai kebanyakan mengakumulasi logam berat dalam air permukaan sedimen. 19 Partikel Tersuspensi Bentuk unsur dan senyawa logam berat dalam air laut terdiri atas partikel padatan suspensi, koloid dan larutan. Menurut William et al. (1976) dalam Hawker (1995), partikel tersuspensi mempunyai diameter lebih besar dari 0.1 μm, sedangkan berbentuk koloid dengan berdiameter 15 μm. Akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut dipengaruhi oleh bentuk. Menurut Stordal et al. (1996), kandungan fraksi koloid Hg berkisar 12-90% dengan kelarutan 20±57% dan dapat melewati pori-pori kertas saring. Hg dalam air laut berasosiasi dengan partikel berukuran mikron, makromolekul dan karbon organik terlarut. Pb dan Cd dalam air laut dalam bentuk partikel tersuspensi, sedangkan Hg berbentuk koloid dan monometil (MmeHg). MmeHg berasosiasi dengan koloid dalam perairan berarus lambat di wilayah muara sungai. Air laut mengandung 18 µg/g MmeHg atau sekitar 57% dan dapat melewati pori-pori kertas saring berukuran mikron (Key-Young Choe dan Gill 2003a). Menurut Key-Young Choe et al. (2003b), Hg dalam air laut berasosiasi dengan partikel padatan tersuspensi, koloid dan larutan sekitar 7-88%. Hg dalam air laut berikatan sangat kuat dengan karbon organik. Karbon organik dalam air laut mengikat logam berat lebih dari dua kali lipat, sedangkan MmeHg dalam air berikatan dengan gugus sulfur (-SH) dan nitrogen (-NH) serta oksigen (-COOH, -OH) yang terkandung dalam biota laut (Watras et al. 1995). pH air laut sangat berpengaruh terhadap spesies Hg. Kondisi demikian menyebabkan Hg terikat sangat kuat dengan karbon organik dan anorganik. Menurut Mason et al. (1993), kandungan total Hg dalam partikel tersuspensi dalam lebih besar dari 40%. Elemen Hg yang paling tinggi ditemukan pada lapisan sedimen paling bawah dengan kandungan relatif tetap dan bersifat anoksik. Sedimen muara sungai bukan merupakan sumber utama dimetil Hg, tetapi merupakan sumber MMeHg. MMeHg memiliki kelarutan tinggi dalam air dan berhubungan dengan kegiatan mikroba berklorofil. Komunitas mikroba dalam sedimen berperan penting dalam hal memproduksi Mme-Hg. MmeHg dalam sedimen terjadi dalam lapisan pycnocline. Kecepatan produksi MMeHg pycnocline sekitar 1.7% per dm. MMeHg dalam lapisan pycnocline lebih reaktif. Kelarutan logam berat dalam air laut sangat berpengaruh terhadap kemampuan (faktor biokonsentrasi) organ tubuh biota mengakumulasi logam berat (Hawker 1995; Lee et al. 1999; Wilson et al. 1999). 20 Sistem Akumulasi dan Pelepasan Logam Berat pada Biota Laut Pada setiap spesies biota laut memiliki daya adaptasi dan toleransi yang bervariasi terhadap toksisitas logam berat. Demikian pula halnya dengan kemampuan mengakumulasi dan mengekskresi logam berat. Akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut dapat terjadi secara berkelanjutan (Hawker 1995). Menurut Soemirat (2003), organ tubuh biota laut mengakumulasi logam berat pada konsentrasi subletal. Akumulasi logam berat pada konsentrasi subletal merusak sel jaringan tubuh biota laut secara gradual, sehingga menyebabkan kematian biota laut. Kemampuan hati ikan laut mengakumulasi logam berat lebih tinggi dibandingkan ginjal dan selanjutnya diikuti oleh insang, tulang, kulit dan otot (Leonova et al.1993; Darmono 2001). Kemampuan metalotionin (sulfhidril –SH) dalam organ tubuh ikan mengikat Hg dalam air dan makan sejak terpapar logam berat. Kemampuan organ tubuh biota laut mengakumulasi logam berat dalam habitat berpengaruh terhadap faktor biokonsentrasi. Setiap organ tubuh biota laut memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat yang bervariasi. Sebaran akumulasi logam berat organ tubuh biota laut terjadi secara intraseluler melalui sirkulasi darah (Mounro dan Willes 1978 dalam Hawker 1995). Mekanisme pelepasan Hg dari sel darah dibantu oleh glomerulus dan tubulus ginjal. Hg yang terikat dengan metalothionin pada thiol (sulfhidril –SH) akan membentuk kompleks Cd dan Pb serta logam berat lainnya. Organ hati menyebabkan dimetilasi Hg dan membentuk Hg2+. Metil Hg dalam organ tubuh biota laut mudah larut dilepas melalui urine. Pb dan Cd dalam organ tubuh biota laut dapat dikeluakan melalui urine dan tinja (feces). Akumulasi logam berat dalam ginjal menyebabkan kerusakan filter glomerulus dan proksimat tubulus (Hawker 1995). Hal ini menyebabkan akumulasi logam berat semakin menigkat dalam organ tubuh biota laut. Pengaruh Faktor Lingkungan Suhu Air Musim kemarau di wilayah Kalimantan Tengah pada periode 23 tahun mulai bulan Juni sampai akhir Oktober dengan curah hujan 0-429 mm dengan suhu udara 27-36 0C. Pada musim hujan mulai bulan Nopember-Juni dengan curah hujan 4.00-565.20 mm (BMG Bandar Udara Cilik Riwut Palangka Raya 1982-2003). Suhu udara dan curah hujan mempercepat mobilitas logam berat dari dalam tanah, batuan dan gambut ke perairan 21 sungai dan muara sungai. Kegiatan manusia dan pemansan global mempercepat mobilitas logam berat diseluruh dunia (Firor 1995). Meningkatnya suhu udara berpengaruh terhadap suhu air laut dan metabolisme tubuh biota laut, menghambat pertumbuhan, menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air (Hutagalung 1988; Nybakken 1992). Perubahan suhu udara dan air laut berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biota laut (Kennish 1990, 1992). Perubahan sifat fisik dan kimia berpotensi menurunkan kelimpahan, komposisi, keanekaragaman, penyebaran dan dominansi biota laut. Meningkatnya suhu permukaan laut berpengaruh terhadap penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya matahari (Laevestu dan Hela 1970). Hasil penelitian Arinardi (1981) kenaikan suhu 2-3 0C menyebabkan metabolisme ikan meningkat dan tekanan (stress). Hal ini jarang terjadi di laut terbuka karena jika suhu air laut naik, maka ikan bermigrasi wilayah perairan yang lebih dingin. Menurut Croteau et al. (2002), suhu air berpengaruh terhadap proses akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut. Tokisisitas logam berat juga meningkat seiring dengan kenaikan suhu (Konovets et al. 1996). Hasil penelitian Wallis (1978), ikan estuaria langsung memberi respon terhadap suhu diluar kisaran 5-30 0C dengan salinitas 5-35 ‰. Menurut hasil penelitian Iskra dan Linik (1996), biota laut mengakumulasi Cd paling tinggi pada musim panas (73-84%). Kandungan logam berat dalam air laut paling tinggi pada lapisan permukaan (57-76%) dan dasar perairan (4663%). Spesies ikan laut tidak toleran terhadap suhu laut di luar kisaran 10-32 0C pada salinitas lebih kecil dari 15 ‰. Ha ini menyebabkan kematian anak ikan di wilayah muara sungai. Kenaikan suhu air mempengaruhi kemampuan sel darah menyerap kalsium (Ca2+). Salinitas Air sungai yang keluar dari mulut sungai ke laut berpengaruh terhadap salinitas. Salinitas air laut di wilayah pantai dan muara sungai di Kalimantan Tengah cenderung lebih rendah (< 30 ‰). Hal itu terjadi karena debit air sungai yang dibuang ke laut Jawa sangat besar. Salinitas air laut semakin menurun pada musim hujan dan meningkat pada musim kemarau Juni-Oktober. Salinitas air laut wilayah muara sungai dipengaruhi air pasang, air sungai, penguapan dan curah hujan (Ross 1970). Salinitas di wilayah muara sungai dalam kondisi dinamis dibandingkan laut terbuka (Prasad et al. 1995). Debit air sungai berperan penting dalam mempengaruhi variasi salinitas, sedangkan densitas air laut berpengaruh terhadap salinitas. Densitas air laut di wilayah muara sungai dipengaruhi 22 suhu, salinitas, tekanan dan kedalaman air laut (Ross 1970). Dinamika salinitas di wilayah muara sungai berpengaruh terhadap ion-ion Cd 2+, Pb2+, Hg2+, Na+ dan Cl- dalam sel darah biota laut. Hal itu menyebabkan perubahan elektrolit pada plasma darah biota laut (Prasad et al. 1995). Salinitas di wilayah laut terbuka berkisar antara 33-37 ‰ dan rata-rata 35 ‰. Salinitas dan suhu air laut di pantai dan muara sungai cenderung homogen dibandingkan laut terbuka. Salinitas air laut Jawa sangat dipengaruhi massa air Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan curah hujan di wilayah Indonesia (Nontji 1984; llahude 1999). Massa air laut Cina Selatan yang mengalir ke laut Jawa pada bulan Desember dengan salinitas lebih rendah (isohalin 33 ‰). Hal ini terjadi karena curah hujan di wilayah pantai timur Sumatera dan Kalimantan sangat tinggi. Kondisi demikian menyebabkan salinitas dipantai Kalimatan lebih rendah dibandingkan laut terbuka. Kalimantan merupakan pulau besar dan banyak terdapat sungai besar yang mengalir ke laut Jawa sehingga menyebabkan salinitas rendah. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut dalam air laut bersumber dari hasil difusi dan fotosintesis fitoplankton (Davis 1987). Penyebaran oksigen dalam air laut berperan penting bagi kelangsungan hidup biota laut. Kelarutan oksigen dalam air laut akan berkurang seiring dengan kenaikan suhu dan salinitas (Nybakken 1992; Connell dan Miller 1995). Menurunnya kandungan oksigen dalam air laut menyebabkan akumulasi logam berat dalam insang semakin meningkat. Kondisi demikian terjadi karena kegiatan penyaringan oksigen oleh insang meningkat, sehingga jumlah logam berat yang terserap meningkat. Menurunnya kandungan oksigen dalam air laut menyebabkan kandungan logam berat dalam organ biota laut meningkat. Biota laut juga membutuhkan oksigen terlarut lebih besar dari 3 mg/l. Untuk menunjang kehidupan normal biota laut diperlukan oksigen terlarut dalam air lebih besar dari 5 mg/l. Grobinko et al. (1996) mengemukakan bahwa ion Pb yang terserap sel darah berpengaruh terhadap kandungan oksigen dalam hemaglobin. Sedimen yang mengandung oksigen rendah menyebabkan logam berat teroksidasi reduksi (Dara 1997). 23 Derajat Keasaman (pH) Biota laut sangat sensitif terhadap perubahan pH dalam air laut dan sedimen. pH normal air laut berkisar antara 7-8.5. Nilai pH dalam air laut dipengaruhi kandungan bahan organik dalam air, suhu, oksigen terlarut, kandungan logam dan kegiatan mikroba dalam air. pH normal dalam air berkisar antara 6-8 (APHA 1989; Pardiaz 1992). pH air laut tidak menjadi masalah bagi kehidupan biota laut. Hal ini terjadi karena memiliki kemampuan merubah pH asam menjadi pH netral hingga basa. Derajat keasaman air laut lebih netral (pH 7) dibandingkan pH air sungai (pH < 6) (Wootton 1984). Kandungan Padatan Tersuspensi Total Kekeruhan air laut merupakan gambaran sifat optik air laut dan intensitas cahaya matahari yang dipancarkan serta diserap oleh partikel dalam air. Cahaya matahari berpengaruh terhadap suhu air laut (Hawker 1995). Kandungan total padatan tersuspensi dalam air terdiri atas partikel lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, biota laut berukuran mikroskopik. Secara ekologis kandungan total padatan tersuspensi menganggu penetrasi cahaya dalam air laut, fotosintesis fitoplankton dan produktivitas fitoplankton (APHA 1989; Nybakken 1992; Pardiaz 1992). Manurut Bubicz et al. (1982), kandungan logam berat dalam air dan sedimen berhubungan positif dengan kandungan total padatan tersuspensi dalam air laut. Hal ini terjadi karena partikel, koloid dan karbon organik dalam air mengikat ion logam berat dalam air (Mason et al.1993; Key-Young Choe et al. 2003ab). Logam berat yang terkandung dalam partikel sangat labil karena mudah terlepas ke dalam air laut dan diakumulasi oleh sel jaringan tubuh biota. Logam berat yang terakumulasi dalam air laut dapat terbiotransformasi dan terbiomagnifikasi melalui rantai makanan mangsa memangsa (predator-prey). Logam berat yang terakumulasi dalam padatan tersuspensi terlepas ke dalam air laut karena kegiatan mikroba, arus dan gelombang laut. Potensial Reduks Berdasarkan pengikatan atau pelepasan elektron bahwa reaksi oksidasi adalah peristiwa pelepasan elektron oleh suatu unsur atau senyawa, sedangkan reaksi reduksi adalah peristiwa pengikatan elektron oleh suatu unsur atau senyawa. Berdasarkan pengikatan atau pelepasan oksigen bahwa reaksi oksidasi adalah peristiwa pengikatan oksigen oleh suatu unsur atau senyawa disebut penambahan oksigen. Reaksi reduksi 24 adalah peristiwa pelepasan oksigen oleh suatu unsur atau peristiwa pengurangan oksigen. Peristiwa oksidasi reduksi berlangsung secara bersamaan. Oleh karena elektron yang dilepas unsur logam berat harus diambil oleh zat unsur lain, sehingga prosesnya melibatkan serah terima muatan (Svehla 1990). Pelepasan elektron atau ion logam berat dalam air dan sedimen dikontrol oleh pH, spesies dan kandungan logam berat, komponen mineral teroksidasi dan sistem reduksi. Kenaikan pH menyebabkan kelarutan logam berat dalam air semakin rendah. Semakin turun pH air dan sedimen menyebabkan kelarutan logam berat semakin tinggi (Palar 2004). Tingkah laku logam berat dalam air dan sedimen berkaitan dengan reaksi reduks dan sangat kompleks. Senyawa logam berat dalam air dan sedimen dipengaruhi oleh: (a) oksidasi langsung, yaitu reaksi oksidasi yang dipengaruhi oleh satu unsur dan muatan ionnya, (b) perubahan oksidasi atau reduksi karena kompetisi antar ion logam berat dengan khelat. Potensial reduks dalam lumpur sedimen dipengaruhi suhu dan kandungan oksigen. Pada kondisi anaerobik nilai potensial reduks < 0 mV. Pada kondisi aerobik nilai potensial reduks > 200 mV (Boyd 1988 dalam Effendi 2003). Pengaruh Logam Berat Terhadap Fisiologi Ikan Toksisitas subletal logam berat berpengaruh terhadap: (1) Morfologis jaringan histologis. (2) Fisiologis seperti metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan morfologi ikan. (3) Biokimia (kimia darah dan kegiatan enzim). (4) Perilaku (neurofisiologi). (5) Perkembangbiakan ikan (Connell dan Miller 1995). Toksisitas logam berat subletal berpengaruh terhadap: 1 Organ dalam dan fenotip ikan, sel mukus epitel insang, tulang belakang serta struktur organ tubuh ikan. 2 Pertumbuhan, perkembangan dan kepekaan organ tubuh ikan pada lingkungan. 3 Perkembangbiakan, fisiologis, enzim dan metabolisme. 4 Perilaku, pola makan dan respon ikan terhadap lingkungan. Manurut Dara (1997), logam berat berinteraksi dengan protein dan dapat merubah sifat protein, merusak dinding selaput sel dan sistem pengaturan enzim serta metabolisme. Sasaran logam berat pada organ target dalam organ tubuh biota laut: (1) Hg dengan target sel organ hati. (2) Hg, Cd dan Pb dengan target sel darah merah. (3) Hg dan Pb dengan target sel otak. (4) Hg, Cd dan Pb dengan target sel organ ginjal. (5) Hg dan Cd dengan 25 target sel organ insang (Connell dan Miller 1995; Hawker 1995). (6) Cd dan Pb dengan target sel organ tulang (Ariens et al. 1986; Lu 1995; Dara 1997). (7) Cd dengan target sel kulit (Leonova et al. 1993). Organ tubuh biota laut mengandung metalothionin (sulfihidril -SH), nitrogen (-NH) dan oksigen (-COOH, -OH) mengikat logam berat secara kovalen. Sperti dikemukanan di atas bahwa akumulasi logam berat dalam organ biota laut mengganggu kegiatan enzim dan metabolisme. Logam berat dapat membentuk kompleks Hg, Cd dan Pb yang berkoordinasi dengan gugus sulfur dan nitrogen. Logam berat berpengaruh terhadap sumsum tulang, saraf dan tubular renal (Dara 1997). Menurut Connell dan Miller (1995), Cd memiliki kemampuan merusak fungsi organ tubuh biota laut. Cd berikatan gugus sulfur yang terkandung dalam asam amino sistein (CdS). Pengaruh logam berat terhadap organ tubuh biota laut tergantung bentuk senyawa dan akumulasi logam berat. Kation Cd dan Hg mengikat gugus asam amino, peptida dan protein. Cd dalam organ tubuh biota mengganggu sintesis protein bermolekul rendah (Konovalov 1994). Hal dimikian menyebabkan perkembangan sel jaringan lokal dalam organ tubuh ikan abnormal dan polimorfisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan dosis 50 mg/kg Cd selama 1 bulan menghambat pertumbuhan ikan sekitar 25%. Pemberian pakan dengan dosis 100 mgCd/kg menghambat pertumbuhan ikan sekitar 50%. Pada dosis 100 mg/kg Cd ditemukan tulang mengalami malformasi dengan morfologi abnormal (Darmono 2001). Hal ini terjadi gangguan enzim dan metabolisme (Konovalov 1994). Logam berat berpengaruh terhadap mekanisme kerja subseluler pada nukleus, mitokondria, lisosom, retikulum endoplasma, selaput plasma dan struktur subseluler lainnya. Mekanismenya dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat molekul protein, koenzim, lemak dan asam nukleat. Logam berat merusak selaput plasma dan organel. Enzim sering menjadi sasaran utama logam berat. Pb dan Hg menghambat kegiatan coenzim enzim. Coenzim berperan penting dalam fungsi enzim normal. Logam berat berpengaruh terhadap hemoglobin. Logam berat menghambat penyerapan dan tranfort Ca, Zn dan Fe ke dalam tulang. Hal ini menyebabkan hemaglobin tidak mampu mengikat oksigen (Orbea et al. 1999; Wilson et al. 1999). Kompleks logam berat menghambat metabolisme secara keseluruhan (Soemirat 2003). Sistem gastrointestinal menyerap logam berat dengan cara berdifusi pasif dan aktif, sehingga menyebabkan proses pinositosis dengan sel gastrointestinal. Logam berat yang 26 memasuki organ tubuh ikan dapat diekskresi melalui tubulus ginjal, kulit, insang dan ginjal. Ekskresi logam berat melalui organ ginjal tergantung dengan pH dan asam amino (Trump et al. 1975; Soemirat 2003). Usus ikan menyerap metil-Hg dan dibawa ke hati serta diluarkan ke lambung bersama cairan empedu. Namun metil-Hg diserap logi oleh saluran percernaan. Sirkulasi logam berat di dalam organ tubuh ikan dapat menyebabkan kerusakan organ hati dan ginjal. Sirkulasi logam berat tersebut dikenal sebagai siklus enterohepatik (Orbea et al. 1999; Soemirat 2003). Cd menghambat kegiatan enzim δ-aminolevulinat dehidrastae dan probilinogenase serta pembentukan heme (Connell dan Miller 1995). Hal tersebut mengganggu metabolisme Ca dalam tulang dan mengakibatkan hiperkalsinuria dan perubahan morfologi tulang serta osteomalasia (Lu 1995). Pengaruh logam berat dalam organ tubuh ikan tergantung kandungan, organ target, sifat fisik dan kimia toksik lainnya. Sel organ dalam tubuh ikan yang tidak dapat diregenerasi akan diganti oleh jaringan ikat (fibrosis) (Trump et al. 1975; Lee et al. 1999; Orbea et al. 1999; Soemirat 2003). Insang merupakan organ pernapasan biota laut yang memiliki luas permukaan paling besar (Randall et al. 1996). Insang, hati dan ginjal memiliki enzim sitokrom P 450 yang berfungsi ganda sebagai pendegradasi logam berat. Logam berat yang tidak dapat didegradasi akan diserap dan diakumulasi oleh organ tubuh biota. Insang memiliki kemampuan membatasi masuknya logam berat ke dalam biota dengan cara membatasi pernapasan dan difusi oksigen serta perfusi (Soemirat 2003). Pembatasan air masuk kedalam filamen insang dalam sel epitel dan lamela menyebabkan penyerapan logam berat terhambat (Lee et al. 1999; Wilson et al. 1999). Biota laut memiliki organ ekskresi yang disebut dengan ginjal. Ginjal berfungsi sebagai alat filtrasi dan ekskresi hasil metabolit dan zat kimia asing (Trump et al. 1975). Selain itu ginjal berfungsi alat pengatur volume cairan ekstraseluler, mengendalikan elektrolit dan keseimbangan asam basa, mensintesis maupun memproses berbagai hormon (Soemirat 2003). Logam berat yang terakumulasi dalam hati menghambat kegiatan enzim dan sistem imun (Orbea et al. 1999). Ikan Brachiario rerio yang hidup diair tawar mengandung 5 mg/l Cd dan 5 mg/l Hg merusak ginjal setelah 13 hari terpapar (Darmono 2001). Pada ikan Tautogalobrus adspersus yang diberi Cd pada dosis 24 mg/l ditemukan pembengkakan pada proksimal tubulus. Pada dosis 48 mg/l Cd ditemukan 27 nekrosis pada tubulus ginjal. Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan laut bersifat mutagenik, teratogenik dan karsinogenik. Akumulasi Hg, Cd dan Pb dan sumsum tulang belakang menghambat pembentukan sel darah dan sintesis hemoglobin. Menurut Konovets et al. (1996), Pb memiliki kemampuan menghambat sintesis protein dalam organ tubuh biota laut. Pb merusak sel jaringan tulang (Kane et al. 2000). Jika pH dalam tulang berubah menyebabkan mobilisasi Pb dari tulang. Hal ini menyebabkan morfologi tulang sirip keras ikan abnormal. Pb menyebabkan sarcoma tulang dalam periode cukup lama (Ariens et al. 1986). Pb dalam organ tubuh biota laut menghambat penyerapan oksigen, sistem reproduksi dan menyebabkan mutagenesis pada embrio. Akumulasi Pb dalam tulang, hati, ginjal dan insang menyebabkan nekrosis, anemia dan kejang pada saluran pencernaan (Leonova et al. 1993). Ikan laut yang keracunan Pb dengan karakteristik sebagai berikut: ikan berenang abnormal, respirasi meningkat dan ikan suka menghirup udara dipermukaan air. Selain itu dengan karakteristik: (a) Sirip ekor berwarna hitam (caudal fin dan anal fin). (b) Morfologi organ fenotip berubah. (c) Tulang belakang rusak atau cacat (malformasi). (d) Tulang bengkok. (e) Ketajaman tulang berkurang dan morfologi abnormal. (f) Kedudukan tulang belakang berubah mengalami nekrosis. Menurut hasil penelitian Wagner dan Misof (1992), morfologi tulang sirip pektoral ikan abnormal terjadi karena seleksi alam dan adaptasi secara generatif. Sekitar 90% Pb disimpan dalam tulang dan sebagian dalam sel otak. Pb dalam tulang bersenyawa dengan fosfat (Pb3(PO4) dan menghambat penyerapan kalsium. Hal ini menyebabkan cadangan kalsium dalam tulang menurun. Apabila terjadi diet yang mengandung fosfat rendah, menyebabkan pembebasan Pb dari tulang. Penambahan vitamin D dalam makanan menyebabkan akumulasi Pb dalam tulang meningkat. Jika kandungan fosfat menurun, maka pengaruh negatif Pb menurun. Sel lamela insang menyerap dan mengakumulasi Pb dalam air laut. Organ tubuh biota laut dapat mengakumulasi logam berat dalam air dan rantai makanan (Davis et al. 2003). Organ tubuh biota laut mengakumulasi Hg anorganik lebih tinggi dibandingkan organik. Hg organik (metil atau dimetil) larut dalam air dan organ tubuh biota laut, menyebar bersama sel darah serta menyebabkan kerusakan sel otak. Ikatan Hg organik lebih spesifik dengan gugus sulfur (-SH). Cd menghambat sintesis protein senyawa thiol non protein bermolekul rendah (Konovalov 1994). Hal ini menyebabkan kegiatan enzim dan metabolisme terganggu. 28 Menurut Huges (1981) dalam Konovalov (1994), CdCl2 dan HgCl2 dalam senyawa merkaptilalbumin mengganggu metabolisme protein dengan reaksi sebagai berikut: Protein - SH + (HgCl2) Protein -- SHgCl + Protein - SH (Protein - S)2 Hg Protein - SH + (CdCl2) Protein -- SCdCl + Protein - SH (Protein - S)2 Cd Biota laut mempunyai stabilitas, stereokimia dan rentan terhadap pengaruh negatif logam berat. Pb2+, Cd2+, Hg2+ penghambat kegiatan enzim dan metabolisme. Logam berat tersebut mengikat gugus sulfur terkandung dalam enzim. Struktur enzim tersebut (Dara 1997) sebagai berikut: SH ENZIM + Hg2+ ------ ENZIM SH S Hg + 2 H+ S Ion logam berat menempati posisi disebelah kanan dan keluar dari metaloenzim menghambat kegiatan normal enzim. Pb2+, Cd2+ dan Hg2+ memiliki kemampuan mensubstitusi kofaktor enzim Zn2+ (metaloenzim). Cd2+ mengganggu sistem enzim amilase, carbonik anhidrase, adenosine tripospatase, alkohol dehidrogenase dan karboxypeptidase. Pb2+ menghambat sistem enzim carbonik anhidrase, sitokrom oxidase, alkaline pospatase, adenosin tripospatase dan beberapa enzim penting dalam sintesis heme. Gangguan sistem enzim dalam organ tubuh biota laut menyebabkan metabolism. Hal ini menyebabkan morfologi abnormal (polimorfisme). Pengaruh Logam Berat Terhadap Morfologi Ikan Ahli biologis banyak memperkenalkan istilah polimorfisme dan morfologi. Pengertian morfologi berbeda dengan polimorfisme. Polimorfisme ialah karagaman morfologis genetis dan fenotip populasi (Yatim 1999). Morfologi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik organ genotip dan fenotip suatu populasi. Morfologi organ tubuh biota laut dapat mengalami evolusi dan mutasi genetik. Evolusi dan mutasi dapat terjadi karena perubahan faktor lingkungan, perbedaan topografi dan relung habitat. Faktor lingkungan berperan penting dalam peristiwa perubahan morfologis dan polimorfisme. Ikan laut dapat mengalami berubahan lebih dari satu morfologi organ tubuh yang disebut polimorfisme. Seleksi alam menyebabkan organ tubuh ikan mengalami evolusi secara berkelanjutan. Evolusi menyebabkan perubahan fenotip ikan menjadi lebih rumit. Pengaruh faktor lingkungan 29 dapat terjadi pada fenotip ikan. Hal tersebut menyebabkan morfologi abnormal (Mayr 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa polimorfisme tidak selalu disebabkan mutasi genetik. Karena zat kimia dapat langsung berpengaruh terhadap sel jaringan organ tubuh biota (Mayr 2010). Perubahan faktor lingkungan berpengaruh terhadap genotip dan fenotip. Menurut Lu (1995), Hg dan Cd dapat menyebabkan mutasi genetik. Perubahan sifat fisik dan kimia air dan organ tubuh ikan dapat memicu perubahan morfologi fenotip ikan (Hildebrand dan Goslow 2001). Perubahan geografis dan relung habitat ikan berpotensi menyebabkan morfologi berubah dan polimorfisme. Secara kuantitatif perubahan morfologi biota laut kebanyakan dipengaruhi faktor lingkungan. Hal ini menyebabkan karakteristik organ tubuh ikan bervariasi. Perubahan morfologi organ tubuh ikan dapat terjadi pada skala makro dan mikro. Perubahan polimorfisme dapat terjadi sebelum dan sesudah lahir. Organ tubuh anak ikan lebih rentan berubah karena perubahan sifat fisik dan kimia perairan. Karena jaringan organ tubuh ikan dan enzim belum terbentuk tersedia. Pada skala makro, perubahan morfologi organ tubuh terlihat lebih jelas, sedangkan pada skala mikro morfologi organ tubuh ikan tidak terlihat dengan jelas (Yatim 1980). Bagian tubuh yang lebih dulu tumbuh lebih banyak dipengaruhi faktor genetis, sebaliknya pada bagian organ tubuh yang tumbuh kemudian lebih banyak dipengaruhi zat kimia (Yatim 1980; Mittelbach et al. 1999; Turner et al. 2000). Pengaruh faktor lingkungan dapat menyebabkan perubahan morfologi sebelum (prenatal) dan setelah ikan lahir (postnatal) yang dipicu perubahan zat kimia perairan atau faktor lingkungan (Wootton 1984; Wagner dan Misof 1992). Selain itu morfologi dapat berubah karena proses adaptasi (Salthe 1972). Perubahan morfologi dapat terjadi melalui proses evolusi dan biokimiawi yang berlangsung dari waktu ke waktu pada organ target (Fenster dan Sorhannus 1991; Wirakusumah 2003). Interaksi dan adaptasi organ tubuh ikan berkaitan erat dengan sifat fisik dan kimia (Gosline 1973; Futuyma 1998). Perubahan morfologi organ tubuh ikan bersifat permanen. Faktor makanan ikan memberi karakteristik yang berbeda pada morfologi organ tubuh ikan (Reyment dan Kennedy 1991;Yunekura et al. 2002). Tekanan lingkungan salah satu pemicu gangguan fisiologis ikan hingga menyebabkan morfologi ikan abnormal. Gangguan fisiologis berpengaruh terhadap sifat biologis (Connell dan Miller 1995; Lu 1995). Tekanan lingkungan menyebabkan polimorfisme (Wootton 1984). Menurut Alexander (1991), evolusi biologis terjadi karena perubahan sifat fisik dan kimia lingkungan. 30 Interaksi organ tubuh ikan dengan faktor lingkungan memicu kemunculan polimofisme (Wirakusumah 2003). Hasil penelitian Spain et al. (1980) menunjukkan bahwa perubahan faktor lingkungan menyebabkan morfologi ikan belanak lebih tajam (Mugil sp). Perbedaan relung habitat sangat berpengaruh terhadap morfologi ikan. Hal ini merupakan gambaran sifat fisik dan kimiawi sehingga spesies menempati ruang habitat yang berbeda. Faktor lingkungan yang terus menerus berubah menyebabkan ikan tertekan (Dillon dan Lynch 1978). Tekanan lingkungan salah satu pemicu polimorfisme. Perubahan komposisi kimia dalam tubuh ikan menyebabkan perubahan warna, ukuran dan bentuk sirip lemah (sirip punggung, sirip perut, sirip dada, sirip dubur, sirip ekor), bentuk sirip keras (spine), bentuk dan panjang tubuh serta lebar tubuh (Gosline 1973; Wootton 1984). Toksisitas subletal logam berat menghambat kegiatan enzim dan metabolisme serta polimorfisme (Ariens et al.1986; Lu 1995). Pada setiap individu spesies ikan tidak pernah sepenuhnya morfologi sama persis, paling tidak terdapat variasi karakteristik genetis, walaupun sangat kecil (Wirakusumah, 2003). Perubahan karakteristik morfologi berkaitan erat dengan: (a) Perubahan faktor genome (complement genetic) dalam spesies yang berbeda. Perubahan karakteristik morfologi organ tubuh ikan dapat terjadi variasi genotipik (genotype variation) dan evolusi dalam spesies pengatur frekwensi genetik dari banyak allel pemicu polimorfisme. (b) Perubahan sifat fisik dan kimiawi pemicu perubahan morfologi abnormal. Hal ini memicu variasi fenotipik (phenotype variation). Toksisitas subletal logam berat memicu perubahan sel jaringan lokal dalam organ tubuh ikan dan polimorfisme. Polimorfisme salah satu gambaran perbedaan lingkungan habitat ikan. Pada dasarnya perubahan morfologi tidak selalu diwariskan, tetapi dipicu oleh kekuatan seleksi alam (Mayr 2010). Informasi genetik yang diteruskan dari generasi ke generasi melalui kode intruksi dalam molekul DNA. Duplikasi DNA dalam replikasi gen dapat membuat kesalahan acak dan dapat mengakibatkan penyimpangan gen yang disebut mutasi. Proses mutasi pada dasarnya tidak diinginkan oleh spesies (Warakusumah 2003). Pada proses reproduksi, spesies secara seksual dan genetik akan mengalami seleksi dalam pembentukan gamet dan selanjutnya bergabung dalam proses rekombinasi. Genome yang mengandung gen berekombinasi dan terseleksi secara berkelanjutan (Futuyma 1998; Wirakusumah 2003). Menurut Armbruster dan Schwaegerle (1996), perubahan morfologi organ tubuh ikan dipengaruhi oleh variasi genetik dan faktor lingkungan, sedangkan 31 polimorfisme berkaitan erat seleksi alamiah. Perubahan morfologi dapat dipicu oleh gangguan sekunder dan fisiologis (Ariens et al. 1986). Perubahan morfologi dapat terjadi karena keterlambatan gen (allel) membaca kode informasi. Pengaruh keterlambatan informasi tersebut menyebabkan polimorfisme abnormal. Berdasarkan teori sintesis Neo Darwin bahwa perubahan morfologi terjadi karena proses seleksi alam. Seleksi alam mempengaruhi perilaku, fisiologis dan morfologi yang diwariskan kepada keturunan dari generasi kegenerasi (Salthe 1972; Wirakusumah 2003). Seleksi alam berpengaruh terhadap sifat genetik yang diwariskan dari spesies ke spesies (Gambar 5). Perubahan morfologi karena faktor lingkungan menyebabkan perubahan: (1) Sifat spesies pada induknya yang sama. (2) Sifat spesies pada variasi gen. (3) Sifat spesies alamiah berperan penting dalam proses perubahan karakteristik morfologi fenotip ikan (Wirakusumah 2003). Secara global, sifat fisik dan kimia paling berpengaruh terhadap penyebaran spesies (Hagen dan Moodie 1982). 1 Gambar 5 Perubahan morfologi pada organ tubuh ikan yang diwariskan dalam suatu komunitas (Wirakusumah 2003) Menurut Wootton (1984) sebagai dasar untuk memperoleh informasi polimorfisme abnormal (Gambar 6) sebagai berikut: 2 Jumlah lateral dan polimorfisme salah satu gambaran variasi genetik dan relung. 3 Variasi morfologi tulang sirip, panjang tulang sirip keras dan sirip perut ikan. 4 Variasi morfologi saringan insang (variation in gill rackers) ikan. 5 Variasi ketajaman badan dan ukuran (variation in body shape and size) ikan 6 Variasi warna spesies terjadi karena pengaruh faktor fisiologis dan biokimia. 32 Gambar 6 Perubahan morfologis pada tulang sirip keras dan lemah: (A) Kiri G. aculeatus, tengah P. pungitius, kanan Apeltes quadracus. (B). Perubahan morfologi pada tulang sirip keras perut (pelvic skeleton) ikan G. aculatus karena perkawinan silang (Wootton 1984). Spesies Indikator Pencemaran Perairan Pengaruh logam berat dapat dilakukan penilaian secara kuantitatif dan kualitatif. Indikator perubahan faktor lingkungan dapat mengungkapkan tingkat kerusakan dan sifat biologis (Lu 1995). Pb dalam organ tubuh ikan menghambat enzim δ-aminolevulinat dehidrase. Hal ini salah satu karakteristik toksik Pb yang berpengaruh terhadap enzim dan metabolisme. Pengaruh toksisitas logam berat paling berpengaruh terhadap kegiatan enzim dan metabolisme organ target. Perubahan polimorfisme dapat digunakan sebagai indikator perubahan lingkungan perairan. Menurut Connell dan Miller (1995), spesies dapat digunakan sebagi indikator perubahan lingkungan dengan karakteristik sebagai berikut: (1) Adaptasi spesies dilakukan secara selektif. Hal ini dapat digunakan mengetahu lingkungan tercemar dan tidak tercemar. Spesies yang digunakan dapat mencirikan kondisi lingkungan. Jenis spesies disebut indikator ekologis. (2) Biota mengakumulasi zat toksik dalam jumlah kisaran optimum. Analisis kimia dalam spesies dapat mencirikan kehadiran unsur toksik dalam lingkungan. Cara ini lebih efektif dibandingkan cara analisis contoh air dan sedimen. Spesies ini disebut spesies indikator kimiawi. Phillip (1980) dalam Connell dan Miller (1995) mengemukan bahwa penggunaan spesies indikator kimiawi yang digunakan harus mempunyai sifat sebagai berikut : 1 Biota mengakumulasi zat kimia pencemar tanpa terbunuh dalam konsentrasi tertentu. 2 Biota senang menggali lubang atau spesies menetap dalam kawasan tertentu. 33 3 Biota melimpah dalam seluruh wilayah. 4 Biota berumur panjang (>1 tahun) dan memungkinkan sebagai contoh. 5 Ukuran biota dan organ tubuh cukup besar untuk analisis kimiawi. 6 Biota mampu hidup dalam akuarium dan toleran. 7 Kandungan zat kimia dalam biota berkorelasi dengan kepekatan air laut sekelilingnya. 8 Seluruh biota contoh memiliki kemampuan sama dalam mengakumulasi zat kimia pencemar dan berkorelasi dengan lingkungan habitat. Kelompok biota laut yang banyak digunakan dalam pemantauan pencemaran berasal dari kelompok moluska. Biota laut ini memenuhi kriteria yang digunakan di atas. Biota yang hidup di wilayah muara sungai memungkinkan untuk dikembangkan sebagai indikator pencemaran lingkungan karena hewan ini menetap dalam sedimen. Menurut Phillip (1980) dalam Connell dan Miller (1995), perbedaan umur, kandungan lemak, variasi musim, jenis kelamin, perbedaan habitat, kedalaman air dapat digunakan sebagai dasar indikator pencemaran. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan indikator biologis adalah kepekatan unsur kimia yang berpotensi toksik dalam periode waktu tertentu dapat diketahui. Hasil lebih objektif dan waktu pemantauan pencemaran dapat diprediksi. Contoh biota dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu. sedangkan air tidak dapat disimpan lebih lama dan harus cepat dianalisis (Connell dan Miller 1995).