5 TINJAUAN PUSTAKA Fotosintesis Proses utama fotosintesis terjadi di kloroplas. Pada tumbuhan C3 sebagian besar kloroplas terdapat dalam sel mesofil daun. Proses reaksi fotosintesis pada tumbuhan tingkat tinggi berlangsung dua tahap, yaitu: 1) reaksi terang (Gambar1), dan 2) reaksi gelap (Gambar 2). Tahapan reaksi fotosintesis adalah sebagai berikut (Taiz & Zeiger 2003; Lambers et al. 2008; Campbell et al. 2010). 1. Penyerapan foton oleh pigmen, terutama klorofil, bekerja sama dengan dua fotosistem. Pigmen tersimpan dalam membran bagian dalam tilakoid dan menyerap sebagian besar energi dari radiasi aktif fotosintesis (PAR = Photosynthetically Active Radiation) pada panjang gelombang 400-700 nm. Pigmen ini mentransfer energi eksitasi ke pusat reaksi pada fotosistem di mana proses selanjutnya dimulai. 2. Elektron yang dihasilkan dari pemecahan molekul air dengan produksi oksigen berkesinambungan ditranspor melalui rantai transpor elektron yang tertanam dalam membran tilakoid. NADPH dan ATP yang dihasilkan dari proses ini digunakan untuk proses reaksi gelap. Kedua reaksi ini bergantung pada energi cahaya, oleh karena itu disebut reaksi terang fotosintesis. Reaksi terang mengubah energi surya menjadi energi kimia dalam ATP dan NADPH. 3. NADPH dan ATP digunakan dalam siklus reduksi karbon fotosintesis (siklus Calvin). Dalam siklus ini CO2, yang masuk melalui stomata, diasimilasi membentuk senyawa berkarbon tiga (triosa fosfat). Proses ini dapat berlangsung tanpa cahaya, oleh karena itu disebut reaksi gelap. Proses ini berlangsung di dalam stroma. 6 Gambar 1 Reaksi terang fotosintesis (Campbell et al. 2010) Gambar 2 Reaksi gelap fotosintesis (Siklus Calvin) (Champbell et al. 2010) 7 Pada fotosintesis, tumbuhan memanfaatkan energi matahari untuk mengoksidasi air untuk melepaskan O2, dan mereduksi CO2 untuk membentuk senyawa karbon yang lebih besar, terutama gula (Champbell et al. 2010). Faktor abiotik seperti cahaya, suhu, konsentrasi CO2, uap air, keberadaan nutrisi memiliki pengaruh utama pada fotosintesis bersih, yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas. Kapasitas fotosintesis tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan abiotik tetapi juga dipengaruhi oleh umur dan posisi daun pada kanopi. Jenis atau genus yang berbeda memiliki laju fotosintesis yang berbeda. Daun Populus memiliki laju fotosintesis maksimum sebelum daun berukuran maksimum, sedangkan daun Quercus mencapai laju fotosintesis maksimum beberapa minggu setelah daun berukuran maksimum (Ceulemans & Saugier 1991). Laju fotosintesis daun tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Perbedaan jenis tumbuhan Tumbuhan berdasarkan metabolisme fotosintesisnya dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu jenis C-3, C-4, dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism). Tanaman kehutanan umumnya termasuk C-3. Tumbuhan C-4 secara umum mempunyai laju fotosintesis tertinggi, sementara tumbuhan CAM memiliki laju fotosintesis terendah (Lakitan 2010). Contoh tanaman C-4 seperti jagung, tebu, dan sorgum. Nanas dan kaktus termasuk ke dalam tanaman CAM. Ketiga jenis tumbuhan tersebut juga memiliki anatomi yang berbeda. Tumbuhan C-4 sel seludangnya berkembang baik dan memiliki klorofil (Taiz & Zeiger 2003; Campbell et al. 2010). Perbedaan dalam golongan tumbuhan yang sama juga terjadi. Tanaman kacang tanah dan bunga matahari merupakan tanaman yang yang senang cahaya matahari (sun-adapted), tingkat kejenuhan terhadap cahayanya rendah. Tanaman C-4 dapat beradaptasi pada intensitas cahaya dan suhu tinggi, dan jenis tanaman ini lebih efisien dalam memanfaatkan air dalam kondisi tersebut. Tanaman C-3 cenderung mencapai puncak laju fotosintesis pada intensitas cahaya dan suhu moderat, dan akan terganggu oleh suhu tinggi dan intensitas cahaya penuh (Odum 1996). 8 b. Umur daun Daun muda umumnya mempunyai kemampuan fotosintesis yang masih rendah. Kemampuan fotosintesis akan meningkat dengan bertambahnya umur dan luasan daun. Setelah ukuran daun mencapai maksimum, maka daun akan menjadi tua dan berubah warna menjadi kuning karena klorofil mulai rusak. Rusaknya klorofil akan menurunkan kemampuan fotosintesis daun (Salisbury & Ross 1995; Lakitan 2010). c. Letak daun Daun yang terletak di bagian dalam tajuk kurang mendapat cahaya matahari. Laju fotosintesis daun yang terletak di bagian dalam tajuk akan lebih rendah dibanding dengan daun yang terletak di tepi luar tajuk (Salisbury & Ross 1995; Lakitan 2010). Susunan daun dalam tajuk juga mempengaruhi efektifitas penyerapan cahaya matahari. Jika letak daun mendatar dan sebagian besar cahaya datang dari atas, maka daun bagian atas akan terpajan pada cahaya matahari penuh, sehingga fotosintesis pada daun tersebut akan terlalu jenuh, dan banyak cahaya yang diserap menjadi tidak berguna (Salisbury & Ross 1995). d. Fase pertumbuhan Tumbuhan yang sedang tumbuh, sedang berbunga, dan berbuah, memiliki laju fotosintesis yang tinggi dan laju translokasi fotosintat yang juga tinggi. Tumbuhan yang sedang dalam fase istirahat memiliki laju fotosintesis yang rendah (Lakitan 2010). e. Intensitas cahaya matahari Setiap jenis tumbuhan membutuhkan intensitas cahaya matahari yang berbeda-beda. Ada jenis tumbuhan yang pertumbuhannya baik pada cahaya matahari penuh (sun plant), ada juga tumbuhan yang pertumbuhannya baik pada kondisi ternaungi (shade plant). Bahwa cahaya sering membatasi fotosintesis terlihat dengan menurunnya laju penambatan CO2 ketika tumbuhan terkena bayangan awan sebentar. Daun naungan umumnya mempunyai klorofil lebih banyak, khususnya klorofil b, terutama karena tiap kloroplas mempunyai lebih banyak grana dibandingkan pada daun matahari (Salisbury & Ross 1995; Lambers et al. 2008; Lakitan 2010). 9 f. Konsentrasi gas CO2 Gas CO2 merupakan bahan yang dibutuhkan untuk fotosintesis. Jika konsentrasi gas meningkat, maka hasil fotosintesis akan meningkat pula. Akan tetapi secara umum konsentrasi gas yang melebihi 1000-2000 ppm akan berpengaruh buruk pada fotosintesis (Salisbury & Ross 1995; Lambers et al. 2008; Lakitan 2010). g. Suhu udara Rentang suhu yang memungkinkan tumbuhan berfotosintesis sangat luas. Konifer dapat berfotosintesis sangat lambat pada suhu -6 oC atau lebih rendah. Pengaruh suhu terhadap fotosintesis bergantung pada spesies, keadaan lingkungan tempat tumbuh, dan keadaan lingkungan saat pengukuran. Secara umum, suhu optimum untuk fotosintesis sama dengan suhu siang hari di tempat tumbuhan tersebut biasa hidup. Enzim sensitif terhadap suhu. Proses reduksi karbondioksida pada karbohidrat memiliki banyak reaksi enzim. Salah satu enzim yang terdapat dalam daun dengan konsentrasi tinggi yaitu ribulosa bifosfat karboksilase (Rubisco) (Salisbury & Ross 1995; Lakitan 2010). h. Ketersediaan air Air merupakan bahan baku fotosintesis selain CO2. Kekurangan air dapat menghambat laju fotosintesis karena pengaruhnya terhadap turgiditas sel penjaga stomata. Jika tumbuhan kekurangan air, maka turgiditas sel penjaga akan menurun, sehingga stomata menutup. Menutupnya stomata akan menghambat serapan CO2 (Hopkins & Hüner 2004; Lakitan 2010). i. Unsur hara Unsur hara secara tidak langsung mempengaruhi proses fotosintesis. Jika unsur esensial tidak terpenuhi, laju fotosintesis akan berkurang. Kapasitas fotosintesis umumnya sensitif dengan kandungan nitrogen. Nitrogen sangat berperan dalam proses fotosintesis, yakni sebagai bagian dari molekul klorofil, pembawa redoks pada rantai transpor elektron, dan berperan pada semua reaksi enzimatis dalam metabolisme fotosintesis. Nitrogen juga menentukan produktivitas primer (Hopkins & Hüner 2004). Tumbuhan menanggapi kurangnya pasokan unsur esensial dengan menunjukkan gejala kekahatan yang khas. Pada tanaman yang kekurangan Mg, karena Mg adalah bagian esensial molekul 10 klorofil, maka klorofil tak terbentuk tanpa Mg atau terbentuk dalam jumlah sedikit bila konsentrasi Mg rendah (Salisbury & Ross 1995). j. Kesehatan daun Daun yang terserang penyakit tidak dapat melakukan fotosintesis dengan baik. Penyakit pada daun akibat patogen dapat menyebabkan klorosis dan nekrosis. Daun yang mengalami klorosis dan nekrosis akan mengalami degradasi klorofil sehingga laju fotosintesisnya terhambat (Hopkins & Hüner 2004) k. Polutan udara Beberapa polutan dapat mempengaruhi fotosintesis, seperti gas SOx, NOx, ozon,logam berat, dan hujan asam. Zat-zat tersebut dapat mengganggu proses pembentukan atau mempengaruhi umur kloroplas, serta mengganggu proses biokimia yang terjadi di daun (Hopkins & Hüner 2004). Lamanya pemaparan polutan pada tumbuhan akan mengakibatkan terakumulasinya polutan tersebut. Hal ini antara lain dapat terjadi pada sistem membran kloroplas, tempat proses awal fotosintesis, terjadi perubahan pada strukturnya (Treshow & Anderson 1991). Klorofil dan Karakteristiknya Klorofil terdapat dalam kloroplas dalam jumlah banyak, yaitu pada membran tilakoid, sering terikat longgar pada protein, tetapi mudah diekstraksi ke dalam pelarut lipid seperti aseton dan eter (Harborne 1987). Tumbuhan tingkat tinggi mengandung klorofil a dan klorofil b. Klorofil a berwarna hijau tua dengan rumus kimia C55H72O5N4Mg, sedang klorofil b berwarna hijau muda dengan rumus kimia C55H70O6N4Mg. Rumus bangunnya berupa cincin yang terdiri atas 4 pirol (tetrapirol) dengan Mg sebagai inti. Struktur klorofil a mempunyai gugus metil (CH3), sedangkan klorofil b mempunyai gugus aldehida (CHO) (Harborne 1987; Champbell et al. 2010), seperti terlihat pada Gambar 3. Molekul klorofil terdiri dari dua bagian yaitu kepala porfirin dan rantai hidrokarbon yang panjang. Porfirin adalah tetrapirol siklik, yang terdiri dari empat nitrogen yang mengikat cincin pirol yang dihubungkan dengan empat rantai metana (Champbell et al. 2010). 11 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klorofil yaitu: 1) Faktor genetik, 2) Cahaya. Pada beberapa kecambah tanaman Angiospermae, klorofil dapat terbentuk tanpa cahaya. Tanaman lain yang ditumbuhkan di tempat gelap tidak berhasil membentuk klorofil, atau mengalami klorosis. Terlalu banyak cahaya berpengaruh buruk kepada klorofil. Larutan klorofil yang dihadapkan kepada sinar kuat tampak berkurang hijaunya. Daun-daun yang terus-menerus terpapar sinar matahari langsung, warnanya menjadi hijau kekuning-kuningan. 3) Oksigen. Kecambah yang ditumbuhkan di tempat gelap tidak dapat membentuk klorofil jika tidak diberikan oksigen kepadanya. 4) Karbohidrat dalam bentuk gula sangat menolong dalam pembentukan klorofil, terutama pada daun yang tumbuh di tempat gelap. 5) Nitrogen dan magnesium merupakan bahan pembentuk klorofil, dan merupakan suatu keharusan. Kekurangan salah satu zat tersebut akan mengakibatkan klorosis. 6) Air merupakan faktor keharusan. Kekurangan air mengakibatkan desintegrasi klorofil, seperti terjadi pada rumput dan pohon-pohon di musim kering. 7) Temperatur yang paling baik untuk pembentukan klorofil adalah antara 26o-30 oC (Dwidjoseputro 1986). Gambar 3 Struktur molekul klorofil (Chambell et al. 2010) 12 Molekul klorofil berperan sebagai antena untuk menangkap cahaya dan mentransfer energi eksitasinya ke pusat reaksi fotosistem I. Sejumlah besar klorofil terdapat dalam LHC (Light Harvesting Complex). Rasio klorofil a dan klorofil b sekitar 1.12 untuk LHC. Klorofil b bekerja sama penuh dengan LHC dan sedikit dengan kompleks PSI dan PSII. Daun terlihat berwarna hijau dalam cahaya putih karena klorofil lebih efisien berfungsi sebagai penyerap cahaya pada panjang gelombang biru dan merah daripada pada spektrum hijau, yang praktis dipantulkan seluruhnya (Lambers et al. 2008) sehingga daun nampak berwarna hijau. Cahaya (dalam hal ini satuan partikel cahaya terkecil yaitu foton) yang ditangkap oleh klorofil akan mengeksitasi klorofil ke tingkat energi yang lebih tinggi. Klorofil yang menyerap cahaya biru akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi dari pada klorofil yang menyerap cahaya merah. Pada tingkat energi yang lebih tinggi, klorofil dalam kondisi tidak stabil, sehingga akan melepaskan energinya dalam bentuk panas ke lingkungan dan akan kembali ke tingkat eksitasi yang lebih rendah, di mana tingkat eksitasi ini akan stabil selama maksimum beberapa nanodetik (10-9 detik). Oleh karena itu, proses pemanenan energi harus terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Energi inilah yang digunakan untuk proses fotosintesis (Taiz & Zeiger 2003). Pada tingkat tereksitasi terendah ada beberapa kemungkinan penyaluran energi terjadi. Kemungkinan pertama, energi akan dilepas perlahan secara radiatif sebagai foton pada panjang gelombang yang lebih panjang melalui fluorosen. Kemungkinan kedua, energi akan segera dilepaskan kembali dalam bentuk panas. Kemungkinan ini umumnya yang cukup besar terjadi pada tumbuhan di alam. Kemungkinan ketiga, klorofil mungkin akan menyalurkan energinya kepada molekul lain seperti molekul oksigen. Kemungkinan keempat, energi akan dimanfaatkan untuk reaksi fotokimia dari fotosintesis untuk membentuk ATP dan NADPH (Taiz & Zeiger 2003). Keempat bentuk penyaluran energi ini merupakan kemungkinan umum dari mekanisme ebergi dalam sistem cahaya fotosintesis. Pada kondisi lingkungan yang baik bagi tanaman, maka penyaluran dalam bentuk reaksi fotokimia relatif besar, sehingga proses fotosintesis akan berjalan dengan laju yang tinggi, sejalan dengan tingginya laju transpor elektron dalam reaksi terang fotosintesis. Namun 13 dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti cekaman kekeringan, keasaman, dan suhu rendah/tinggi, penyaluran energi ke arah fotokimia akan mengalami hambatan (Taiz & Zeiger 2003). Prinsip dasar penyerapan cahaya, sering disebut Hukum Stark Einstein, adalah bahwa setiap molekul hanya dapat menyerap satu foton setiap kali, dan foton ini menyebabkan eksitasi satu elektron saja. Energi dalam tiap foton berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Cahaya biru dan ungu dengan gelombang yang lebih pendek memiliki lebih banyak foton energetik dibanding cahaya merah atau jingga dengan gelombang yang lebih panjang. Satu mol (6.02 x 1023) foton sering disebut sebagai satu einstein (Salisbury & Ross 1995; Campbell et al. 2010; Lakitan 2010). Tumbuhan sebagai Penyerap CO2 Agus dan van Noordwijk (2007) melaporkan bahwa pembakaran hutan alami pada lahan gambut menyebabkan pelepasan CO2 sebanyak 734 ton ha-1 yang berasal dari C yang tersimpan di vegetasi sebasar 200 ton ha-1. Tetapi jumlah tersebut mungkin masih lebih rendah dari jumlah CO2 yang diemisikan sebenarnya, karena selama pembakaran hutan lapisan atas gambut juga terbakar dan melepaskan CO2. Seandainya gambut yang terbakar setebal 10 cm, maka akan terjadi penambahan emisi CO2 sebesar 220 ton ha-1 karena tanah gambut mengandung C sekitar 6 ton ha-1 cm-1. Pada tahun 2007 (PEACE 2007) Indonesia dianggap sebagai salah satu negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia. Emisi GRK terutama berasal dari kegiatan alih guna lahan hutan dan pengeringan lahan gambut menjadi lahan pertanian (Tabel 1). Negara emitor GRK terbesar sebenarnya adalah USA dan China, jumlah GRK yang diemisikan dua kali lipat lebih besar dari emisi asal Indonesia. Bedanya, emisi GRK dari kedua negara industri tersebut berasal dari penggunaan bahan bakar fosil dan industri (Hairiah 2008). 14 Tabel 1 Emisi GRK (Mt CO2) dari berbagai sumber emisi dari tujuh negara emitor utama (sumber data PEACE 2007) Emisi USA China Indonesia Brazil Rusia India Energi 5752 3720 275 303 1527 1051 442 1171 141 598 118 442 -403 -47 2563 1372 54 -40 213 174 35 43 46 124 6005 5017 3014 2316 1745 1177 Pertanian Kehutanan & pengeringan gambut Limbah Total Catatan: 1. Emisi GRK rata-rata 1.5-4.5 Gt ha-1 th-1; Gt = giga ton = 1015 g = 109 ton Mt=Mega ton =106 ton; Satuan CO2/C = 3.67 2. Data hasil pengukuran emisi GRK dari sumber lainnya masih terus dibutuhkan 3. Nilai negatif pada bagian kehutanan dan pengeringan gambut di USA, China, dan India adalah dikarenakan keberhasilan kedua negara tersebut dalam penghutanan kembali CO2 masuk ke dalam daun melalui stomata dengan cara difusi. Stomata yang terbuka penuh memiliki ukuran lebar 5-15 µm dan panjang sekitar 20 µm. Jumlah total area stomata sekitar 0.5-2% dari luas total daun. Dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa K+ ditemukan dalam level amat tinggi pada sel penjaga stomata yang terbuka, dan amat rendah pada sel penjaga stomata yang tertutup. Oleh karena itu akumulasi K+ pada sel penjaga mengontrol pembukaan stomata. Faktor lain yang mempengaruhi pembukaan stomata adalah cahaya, karbon dioksida, keberadaan air, dan suhu. Stomata akan menutup pada kondisi CO2 yang tinggi, tetapi menutupnya stomata pada kondisi tersebut dapat diinduksi agar membuka jika ditempatkan pada lingkungan bercahaya. Cahaya biru memicu terbukanya stomata (Hopkins & Hüner 2004). Penurunan difusi CO2 karena penutupan stomata akan mengurangi laju fotosintesis (Hidayati 1999). Tumbuhan dapat menyerap gas CO2 melalui proses fotosintesis berdasarkan rumus: Energi (cahaya matahari) 6 CO2 + 12 H2O C6H12O6 + 6 O2 + 6 H2O klorofil 15 Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa fotosintesis merupakan reaksi antara CO2 dan air untuk memproduksi glukosa, karbohidrat berkarbon 6 atau disebut heksosa (Hopkins & Hüner 2004). Fotosintesis tidak dapat berjalan tanpa energi dari sinar matahari dan molekul klorofil sebagai penangkap energinya. Hutan mempunyai potensi yang besar dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manajemen hutan. Hutan sekunder muda dalam pertumbuhannya memerlukan CO2 sehingga banyak dihasilkan biomassa tumbuhan melalui proses fotosintesis hutan yang sedang tumbuh (Heriyanto & Siregar 2007). Fotosintesis dan Pertumbuhan Pertumbuhan tanaman bergantung kepada kemampuan tanaman tersebut untuk menyerap karbon di atmosfer dan mengolahnya menjadi senyawa organik dengan memanfaatkan energi cahaya melalui proses fotosintesis. Kurang lebih 40% dari berat kering tanaman mengandung karbon, yang dihasilkan dari fotosintesis. Proses ini vital untuk pertumbuhan dan berlangsung pada setiap tanaman serta merupakan bagian utama dari siklus pertumbuhan (Lambers et al. 2008). Pertumbuhan merupakan akumulasi bahan organik. Kandungan karbon, komponen struktural utama tanaman berbeda untuk jenis tanaman yang berbeda. Contohnya, kandungan karbon pada pinus sebesar 50% dari berat kering. Model pertumbuhan tegakan pohon bergantung pada keseimbangan karbon, laju fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan bersih merupakan selisih antara pertumbuhan dan senesen. Proporsi respirasi dari produksi fotosintesis total pada hutan Pinus sylvestris sekitar 40-50% dan mencapai 90% pada hutan Pinus radiata (Raghavendra 1991). Pohon dengan laju pertumbuhan cepat memiliki laju asimilasi CO2 relatif lebih tinggi pada wilayah beriklim tropis (Hidayati et al. 2009). Diduga laju asimilasi CO2 dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi karakteristik pertumbuhan. Kajian mengenai fotosintesis pohon jauh lebih sedikit dipelajari dibandingkan dengan fotosintesis tanaman budidaya karena beberapa alasan yaitu: ukuran pohon dewasa mempersulit proses pengambilan sampling, pohon di hutan 16 alami memiliki tingkat keragaman yang tinggi, kesulitan untuk pengukuran laju fotosintesis seluruh jenis tegakan pohon di hutan, minimnya model pertumbuhan pohon ditinjau dari sudut pandang proses fisiologi (Raghavendra 1991). Deskripsi Tanaman Restorasi TNGGP Beleketebe (Sloanea sigun (Blume) K. Schumann) Beleketebe atau ki somang adalah nama daerah S. sigun. Tumbuh di Jawa khususnya Jawa Barat pada ketinggian 600 – 2100 m dpl. Daerah penyebaran selain Indonesia adalah Birma, Kamboja, India, Malaysia, Myanmar, dan Thailand. Jenis ini tumbuh tersebar atau kadang-kadang berkelompok di hutan hujan primer yang lembab, terutama pada tanah subur. Pohon ini berbunga kecil, kuning muda sampai putih. Bunga-bunga tersebut tumbuh berkelompok atau tunggal pada ranting baru. Buahnya berukuran sedang, bulat, dan berbulu panjang seperti rambutan, berwarna hijau muda (Lembaga Biologi Nasional Indonesia – LIPI 1977). Jenis ini termasuk keluarga Elaeocarpaceae. Pohonnya dapat mencapai 30 m dengan diameter 120 cm. Diameter bebas cabang tidak berdaun mencapai 40 cm. Batangnya lurus, tidak berbanir, dengan kulit yang licin dan berwarna abu-abu tua. Tajuknya lebat sekali, bulat, dan daunnya gugur selama ± dua hari yang diikuti oleh pertumbuhan daun muda, kemudian berbunga di ujung-ujung ranting. Daunnya tunggal, tersusun dalam bentuk spiral dan kadang-kadang agak berhadapan, berbentuk bulat telur sampai jorong, ujungnya melancip, tidak berbulu, permukaan atasnya mengkilap bertangkai panjang (Lembaga Biologi Nasional – LIPI 1977). Tangkai daun berukuran 2-2.5 cm, ramping, bengkak di ujung. Helai daun berbentuk elips berukuran 12-14 cm × 5-6 cm, tipis, vena lateral berjumlah 5 atau 6 per sisi, tepi daun bergigi. Bunga soliter, sepal berjumlah 4, kelopak 4, berwarna kekuningan. Benang sari berukuran 5-7 mm. Ovarium bulat telur (Backer & van Den Brink 1965). Termasuk pohon lapis pertama atau kanopi (van Steenis 2006). 17 Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) D. imbricatus yang memiliki nama padanan Podocarpus imbricatus Blume, termasuk ke dalam famili Podocarpaceae yang merupakan kelompok tanaman berdaun jarum atau konifer. Jamuju, nama umum, juga dikenal dengan nama lokal: ampinur bunga (Karo), medang cemara (Melayu), ambun (Minangkabau), ki jamuju, ki mades, kiputri, kicemara (Sunda), aru, taji, tekit, camara ukung, cemara rante, cemara waris (Jawa), cemara binek (Madura), kaju (Sumbawa), kaju angin, camba-camba (Banten) (Heyne 1987), embun (Sumatera, Sulawesi), cemba-cemba (Sulawesi), igem (Filipina), sha-mo-pin (Burma), podo churcher atap (Malaysia), thong nang (Vietnam). Sebaran tumbuh meliputi selatan China, Indochina, Burma, Thailand, Malaysia, hingga Vanuatu dan Fiji. Di Indonesia jenis ini tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Jawa Barat. Merupakan tanaman dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 750 – 2500 dpl. Tinggi pohon jamuju rata-rata 50 m, termasuk pohon mencuat (van Steenis 2006) dengan diameter mencapai 100-200 cm. Termasuk tanaman moderat-lambat, walaupun pertumbuhannya lebih cepat di daerah yang disinari matahari penuh. Jamuju berdaun majemuk berbentuk lancip membentuk apiculus yang halus. Daun dewasa jamuju menyebar, lurus, seperti skala, rebah pada 1 sampai 4 sisi, berukuran 1.0-1.8 mm x 0.4-1.0 mm. Daun involucralnya menyebar dan membuka pada reseptakel pada saat muda. Jamuju termasuk tanaman yang selalu hijau, tidak menggugurkan daunnya pada musim kemarau, memiliki kanopi yang lebat berbentuk piramid hingga oval (Backer & van Den Brink 1963). Jamuju memiliki pepagan keras, permukaan kasar berlentisel disana-sini, pada pohon tua mengelupas dalam bentuk lempengan tebal kecil-kecil memanjang vertikal menggelendong. Hidup di hutan campuran basah atau di hutan cemara. Penyebaran jenis D. imbricatus di Taman Nasional Gede Pangrango mengelompok, karena jenis ini banyak ditemukan pada ketinggian 1400 sampai 2045 m dpl. D. imbricatus di Taman Nasional Gede Pangrango tumbuh pada ketinggian tempat 1400 sampai 2045 m dpl dan kelerengan 3 sampai 40 % dengan suhu 15 sampai 25 oC dengan kelembaban 73 sampai 100%. Jenis tanah yang cocok untuk jenis D. imbricatus adalah jenis tanah regosol dan andosol dengan 18 kemasaman tanah yang termasuk kategori asam sampai sangat asam (Bramasto 2008). Ki Sireum (Syzygium lineatum (Bl.) Merr. & Perry) Pohon ini masuk ke dalam keluarga Myrtacea. S. lineatum memiliki nama lokal kayu udang Sumatera), ki sireum (Sunda, Jawa), nagasari rangkang (Jawa), phung kha, kelat puteh, daeng sok phlueak, khwat (Thailand), lagi-lagi (Philipina), kelat lapis (Malaysia). Nama sinonim jenis ini di antaranya adalah S. longiflorum. Habitusnya pohon. Cabangnya berwarna coklat kehitaman ketika kering, berbentuk silinder tetapi biasanya sedikit runcing di kedua ujungnya, membulat pada bagian melintang, permukaannya halus; cabang tua putih keabu-abuan. Tangkai daun berukuran 1-1.2 cm; daun elips berukuran 6-8 x 2.5-3.5 cm, kasar, abaksial (bagian bawah daun) sedikit berwarna saat kering, adaksial (bagian atas daun) berwarna coklat tua dan mengkilap saat kering. Abaksial memiliki kelenjar banyak, adaksial berkelenjar kecil, tulang daun sekunder padat, terpisah dengan jarak 1 mm, dengan sudut 75o dari tulang daun bagian tengah. Tulang daun intramarginal kurang dari 1 mm dari batas pinggir, bagian dasar lebar dan tumpul. Puncak daun melancip dengan titik puncak 1-1.5 cm. Berbunga banyak dengan ukuran 8-10 cm, bercabang tiga, kuncup bunga berukuran 6-7 mm. Kelopak bunga berbentuk lobus semiorbital pendek. Kelopak bunga terpisah berukuran 3 mm. Benang sari berukuran 5-7 mm (Backer & van Den Brink 1965). Lame (Alstonia scholaris (L) R. Br.) Lame merupakan anggota famili Apocynaceae, memiliki nama daerah kayu gabus, kayu skola, pulai, lame, pule (Indonesia); chattin (Bengal); lettok (Burma); birrba, black board tree, dita bark, milk wood, milkwood pine, milky pine, white cheesewood (Inggris); dalipoen, dita (Filipina); chatian (India); pulai, pule, rite (Indonesia); pule (Jawa); pulai, pulai linlin (Malaysia); chataun, chhatiwan (Nepal); sattaban, teenpet, teenpethasaban (Thailand); chatiyan wood, pulai, shaitan wood, white cheese wood (nama dagang); caay mof cua, caay suwxa (Vietnam). Habitus A. scholaris adalah pohon besar, dengan tinggi sekitar 40 m. Lame memiliki lateks susu yang mengalir cepat ketika dipotong. Batang berwarna 19 abu-abu gabus agak ke abu-abu-putih kulit. Daun berkarang di aksila atas dengan jumlah 4-8 daun. Tangkai daun tangkai berukuran 1-1.5 cm, elips atau lanset, gundul atau berbulu jarang, meruncing ke arah dasar, dengan ukuran daun 11.5-23 x 4-7.5 cm. Permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau-putih dengan 25-40 pasang urat lateral pada setiap sisi pelepah berjarak 2-6 mm terpisah. Ujung daun bulat atau meruncing ke arah dasar. Bunga majemuk, malai terminal, hingga 120 cm; berukuran 7-10 mm berwarna putih, krem atau hijau; tabung berbulu; lobus jarang atau padat puber, 1,5-4 mm, margin kiri tumpang tindih; sangat wangi. Buah terjumbai, dengan dua lobus, folikelnya pecah, coklat atau hijau, kering atau berkayu, berbentuk gelendong lonjong, berukuran 15-32 cm, 4-6 mm, biji cokelat, berukuran 4-5 mm x 0.9 -1.2 mm, dengan seberkas rambut 7-13 mm pada setiap akhir. Lame ditemukan pada ketinggian 0-900 m, dengan suhu tahunan rata-rata 12-32 oC dan curah hujan tahunan rata-rata 1200-1400 mm. Jenis ini baik hidup pada jenis tanah bermacam-macam, termasuk aluvial. Lateksnya bisa dibuat permen karet berkualitas baik. Kayunya direkomendasikan sebagai spesies kayu bakar untuk daerah Patana, Sri Lanka. Kulit kayu menghasilkan serat, dan kayu dianggap sebagai cocok untuk produksi pulp dan kertas. Bunga A. scholaris menghasilkan minyak esensial. Kedokteran aborigin Australia menggunakan kulit kayu untuk pengobatan sakit perut dan demam, lateks untuk neuralgia dan sakit gigi. Di India, kulit kayu digunakan untuk mengobati keluhan usus (worldagroforestrycentre.org; Backer & van Den Brink 1965). Manglid (Manglietia glauca Bl.) Manglid masuk ke dalam keluarga Magnoliaceae. Nama botaninya adalah Manglietia glauca, dengan nama sinonim Magnolia blumei (worldagroforestrycentre.org; Backer & van Den Brink 1963). Jenis ini memiliki nama daerah: manglid (Sunda); baros, cempaka bulus (Jawa); antuang, madang limpaung, sitibai (Minangkabau); cempaka. Manglid berupa pohon, dengan tinggi mencapai 25 – 40 m dengan bebas cabang 25 m dan diameter mencapai 150 cm, tersebar di ketinggian 1000 – 1500 m dpl. Hidupnya berkelompok dan di tempat yang lembab. Tajuk membulat, lebat, percabangannya berbentuk garpu 20 yang dimulai jauh dari atas tanah (Heyne 1987). Daun tunggal bentuk elips memanjang atau elips melebar, kebanyakan bulat telur memanjang, ukuran 13-18 cm, panjang kadang sampai 25 cm. Ujung dan pangkal daun runcing, tangkai daun panjang. Tidak berbulu, abaksial daun berwarna abu-abu kebiruan, bagian adaksial hijau muda agak mengkilap, tersusun spiral. Bunga terminal, soliter, besar, tangkai panjang 2.5 - 4 cm, berwarna kuning muda, harum, kelopak 9-13 tersusun dalam 3 lingkaran, benang sari banyak dan tersusun spiral, tangkai benang sari panjang atau pendek. Ovary ada 4 atau lebih pada masing-masing karpel. Penyerbukan dibantu oleh lebah madu dan berbunga sepanjang tahun. Buah majemuk, berbentuk kerucut (kegelvormig) panjang 6-8 cm, pada permukaan berwarna hijau dengan titik-titik putih, kemudian menjadi coklat hitam. Biji 2-6 banyaknya, kadang sampai 12, berwarna merah (http://www.dephut.go.id). Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) S. wallichii termasuk famili Theaceae, tinggi pohonnya dapat mencapai 40 m, termasuk pohon lapis kedua/kanopi (van Steenis 2006), dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m dan diameter sampai 250 cm. Tidak berbanir, kulit luar berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas. Kulit hidup tebalnya sampai 15 mm berwarna merah dan di dalamnya terdapat miang gatal. Tajuknya bulat sampai lonjong, lebat, hijau tua, mengkilat, dengan daun muda berwarna merah jambu. Daunnya tunggal, tebal, bagian abaksial hijau kebiru-biruan, berbentuk jorong. Bunganya putih, tunggal, terdapat pada ketiak daun dan berkelompok pada ujung ranting. Buahnya agak bulat, berwarna putih perak seperti sutra saat muda, coklat dan pecah bila sudah tua (Sastrapradja et al. 1977). Puspa tumbuh pada tanah kering dan tidak memiliki keadaan tekstur dan kesuburan tanah, sehingga baik untuk reboisasi padang alang-alang, belukar dan tanah kritis. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai agak kering, hidup pada dataran rendah sampai di dataran pegunungan dengan ketinggian 1000 m dpl (Martawijaya et al. 1989). Puspa dapat tumbuh pada kisaran iklim, habitat dan tanah yang luas. Kebutuhan akan cahaya tergolong sedang, sering berkelompok 21 dan terdapat pada dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, akan tetapi terutama terdapat pada hutan yang terganggu dan hutan sekunder. Adapun persebaran alami Puspa yaitu Brunei, India, China, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Nepal, Papua, Philipina, Thailand dan Vietnam (Agroforestry Data Base 2007). Rasamala (Altingia excelsa Noronha) Rasamala dikelompokkan ke dalam famili Hamamelidaceae, memiliki nama daerah rasamala, mala, tulasan, atau mandung. Jenis ini menyebar mulai dari Himalaya menuju wilayah lembab di Myanmar hingga Semenanjung Malaysia, ke Sumatera dan Jawa. Di Jawa, jenis ini hanya tumbuh di wilayah barat dengan ketinggian 500-1500 m dpl, di hutan bukit dan pegunungan lembab. Di Sumatera, A. excelsa tersebar di Bukit Barisan. Tumbuh alami terutama pada tapak lembab dengan curah hujan lebih 100 mm per bulan dan tanah vulkanik. Jenis ini digunakan untuk penanaman terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ditanam pada jarak rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak sinar matahari. Pohon selalu hijau, tinggi dapat mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m, diameter hingga 80-150 cm. Kulit kayu halus, abu-abu, dan kayunya merah. Pohon yang masih muda bertajuk rapat dan berbentuk piramid, kemudian berangsur menjadi bulat setelah tua. Letak daun bergiliran, bentuknya lonjong, panjangnya 6 - 12 cm, dan lebarnya 2.5-5.5 cm, dengan tepi daun bergerigi halus. Bunga berkelamin satu. Bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang sama. Malai betina terdiri dari 14-18 bunga, berkumpul menyerupai kepala. A. excelsa tumbuh alami terutama di bukit campuran yang lembab dan hutan pegunungan. Jenis ini sering ditemukan hidup berkelompok dengan spesies Podocarpus, Quercus dan Castanopsis. Ditemukan pada ketinggian 500-1500 m, dengan rata-rata curah hujan tahunan lebih 100 mm. Rasamala baik hidup di tanah vulkanik atau kadang-kadang pada tanah di atasnya terdapat batuan sedimen (http://www.worldagroforestry.org). 22 Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.) Saninten masuk ke dalam famili Fagaceae. Ia memiliki nama daerah kandik kurus, paning-paning, rasak, selasik (Sumatera), berangan, saninten, sarangan, dan wrakas (Jawa). Daerah penyebaran meliputi Sumatera Barat, Jawa, Papua, Myanmar, dan Malaysia (Heyne 1987). Habitus pohon bertajuk lebar dengan ketinggian 15-35 m, diameter 0.5-1 m, dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m, tidak berbanir (http://www.d-forin.com). Daun pohon saninten berbentuk lancip memanjang (lanset) dengan ukuran panjang 7-12 cm, lebar 2-3.5 cm, bagian terlebar di tengah, permukaan daun licin berlilin, dan bagian bawahnya berwarna abu-abu keperakan ditutupi bulu-bulu menyerupai bintang atau sisik yang lebat. Jika dibanding dengan daun jenis lain, C. Argentea lebih terlihat keperakan (Backer & van Den Brink 1965). Tumbuhan ini berdaun tunggal dengan kedudukan berseling dan tersusun seperti spiral dan daun penumpu mudah luruh. Ahli botani van Steenis (1972) menyatakan bahwa daun penumpu (stipula) ditutupi bulu yang lebat, panjang daun berkisar antara 10-15 mm dan lebar 2-3 cm. Salah satu ciri khas organ vegetatifnya, yaitu bila daun dilipat maka akan terlihat garis lilin berwarna putih memanjang pada bagian daun di sebelah atas. Kulit batang pohon berwarna hitam, kasar, dan pecah-pecah dengan permukaan batang tidak rata, terdapat alur-alur memanjang pada batang yang tak lain adalah garis empulur yang menonjol keluar. Hal ini merupakan salah satu ciri khas organ vegetatif famili Fagaceae. Kayu terasnya berwarna coklat kelabu sampai merah muda, kayu gubal/bagian tengah berwarna putih, kuning muda, dan kadang-kadang kemerah-merahan dengan ketebalan 5-6 cm (Prawira 1990). Pohon saninten berbunga pada Agustus-Oktober dan berbuah pada November-Februari. Bunga jantan tersusun dalam untaian berbentuk bulir sepanjang 15-25 cm, bunga betina tumbuh menyendiri dengan panjang 5-15 cm, diameter 2-4 mm, dan bunga berwarna kuning keputihan. Buahnya bertangkai seperti buah rambutan, berkelompok di mana kulit buah ditutupi oleh duri yang tumbuh berkelompok, ramping, tajam, dan berkayu. Buah berbentuk bulat telur dengan duri mencuat pada empat sisi yang berisi tiga biji berbentuk tipis dan 23 cekung. Biji biasanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar (van Steenis 1972). Keadaan Umum Lokasi Penelitian Area restorasi terletak di Resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) (06o46’.241” LS; 106o50’.447”BT) pada ketinggian 620709 m dpl, berdekatan dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam (PPKA) Bodogol (Gambar 4). Gambar 4 Lokasi restorasi Resort Bodogol TNGGP (tanda panah menunjukkan lokasi) (Balai TNGGP) Bagian dari wilayah ini merupakan lahan pertanian aktif dan sisanya merupakan lahan pertanian yang telah ditinggalkan. Lahan pertanian di wilayah ini merupakan milik TNGGP. Menurut sejarahnya, lahan ini dulunya milik Perum Perhutani Unit III, perusahaan publik yang bertugas mengelola produksi kayu, dari tahun 1978-2003. Tiga spesies kayu utama yang ditanam monokultur di wilayah ini adalah Altingia excelsa, Agathis damara, dan Pinus merkusii. Setelah penebangan pada tahun 2003, wilayah yang terbuka dimanfaatkan oleh petani 24 lokal sampai sekarang, dan wilayah ini menjadi bagian dari TNGGP. Para petani menanam tanaman tahunan seperti jagung, singkong, cabai, kacang panjang, dan lain-lainnya. Sementara, lahan yang ditinggalkan didominasi oleh tanaman liar. Karakteristik lahan dapat dilihat pada Tabel 2. Tahun 2009 UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas menanam sekitar 2400 benih dari 8 jenis tanaman yang secara alami dapat ditemukan di hutan TNGGP. Penanaman dilaksanakan di lahan seluas 4 ha secara acak. Kedelapan spesies pohon tersebut adalah Altingia excelsa, Alstonia scholaris, Castanopsis argentea, Dacrycarpus imbricatus, Manglietia glauca, Syzygium lineatum, Schima wallichii, dan Sloanea sigun. Sampel tanaman sebanyak 240 pohon (30 pohon untuk setiap jenis) diberi label dan dimonitor pertumbuhannya (Rahman et al. 2011). Tabel 2 Karakteristik lahan restorasi (0-10 cm) Wilayah Restorasi 5.27 Hutan Alami TNGGP 5.10 (10-20 cm) 4.75 4.76 (0-10 cm) 6.73 9.86 (10-20 cm) 6.48 10.2 (0-10 cm) 0.66 0.56 (10-20 cm) 0.67 0.72 Parameter pH tanah Bahan organik (%) Bulk density (g/cm3) Pasir (%) 9.11 Debu (%) 49.69 Liat (%) 41.20 o Kemiringan lahan ( ) 48-60 Suhu udara (oC) Intensitas cahaya rata-rata (lux) 23.3-33.0 Jam 09.00-11.00 32 000